• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. respon terhadap kebutuhan bayi seiring dengan pertumbuhannya (Welford, 2008). ASI adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. respon terhadap kebutuhan bayi seiring dengan pertumbuhannya (Welford, 2008). ASI adalah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Air Susu Ibu (ASI)

2.1.1 Pengertian ASI dan ASI Ekslusif

Air susu ibu (ASI) merupakan suatu cairan hidup yang dapat berubah dan memberi respon terhadap kebutuhan bayi seiring dengan pertumbuhannya (Welford, 2008). ASI adalah suatu cairan yang terbentuk dari campuran dua zat yaitu lemak dan air yang terdapat dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam anorganik yang dihasilkan oleh kelenjar payudara ibu, dan bermanfaat sebagai makanan bayi (Maryunani, 2012).

ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja selama enam bulan tanpa tambahan cairan apapun, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih dan tanpa pemberian makanan tambahan lain, seperti pisang, bubur susu, biskuit, bubur atau nasi tim. Setelah bayi berusia enam bulan, barulah bayi diberikan makanan pendamping ASI dengan ASI tetap diberikan sampai usia bayi 2 tahun atau lebih (Wiji, 2013).

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI selama 6 bulan tanpa pemberian minuman atau makanan apapun, termasuk air bening, vitamin dan obat (Maryunani, 2012).

2.1.2 Manfaat ASI

Manfaat ASI bagi bayi dan ibu antara lain (Maryunani, 2012) : 1. Manfaat ASI bagi bayi

Kandungan antibodi yang terdapat di dalam ASI mengakibatkan bayi akan menjadi lebih sehat dan kuat dan menghindari bayi dari malnutrisi. Didalam manfaatnya untuk kecerdasan,

(2)

laktosa yang terkandung dalam ASI berfungsi untuk proses pematangan otak secara optimal. Pembentukan Emotional Intelligence (EI) akan dirangsang ketika bayi disusui dan berada dalam dekapan ibunya. Kandungan di dalam ASI juga dapat meningkatkan sistem imun yang menyebabkan bayi lebih kebal terhadap berbagai jenis penyakit (Quigley et al, 2011).

2. Manfaat Memberikan ASI bagi Ibu :

Pemberian ASI merupakan diet alami bagi ibu karena pada saat menyusui akan terjadi proses pembakaran kalori yang membantu penurunan berat badan lebih cepat, mengurangi resiko anemia yang diakibatkan oleh perdarahan setelah melahirkan, menurunkan kadar estrogen sehingga mencegah terjadinya kanker payudara, serta pemberian ASI juga akan memberikan manfaat ekonomis bagi ibu karena ibu tidak perlu megeluarkan dana untuk membeli susu atau suplemen untuk bayi.

2.1.3 Kandungan ASI

Adapun zat nutrient yang terkandung dalam ASI menurut IDAI (2008) adalah sebagai berikut : 1. Karbohidrat

Laktosa adalah karbohidrat utama dalam ASI dan berfungsi sebagai salah satu sumber energi dalam otak. Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir dalam dua kali lipat dibanding laktosa yang ditemukan pada susu sapi atau susu formula. Kadar karbohidrat dalam kolostrum tidak terlalu tinggi, tetapi jumlahnya meningkat terutama laktosa pada ASI transisi (7-14 hari setelah melahirkan). Sesudah melewati masa ini maka kadar karbohidrat ASI relatif stabil.

2. Protein

Kandungan protein ASI cukup tinggi dan komposisinya berbeda dengan protein yang terdapat dalam susu sapi.

(3)

Kadar lemak dalam ASI tinggi yaitu lemak omega 3 dan omega 6 yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan otak yang cepat selama masa bayi. Disamping itu ASI juga mengandung banyak asam lemak rantai panjang diantaranya asam dokosaheksanoik (DHA) dan asam arakodinat (ARA) yang berperan terhadap perkembangan saraf dan retina mata. ASI mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang sehingga baik untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah.

4. Karnitin

Karnitin ini mempunyai peran membantu proses pembentukan energi yang diperlukan untuk mempertahankan metabolisme tubuh. ASI mengandung kadar karnitin yang tinggi terutama pada tiga minggu pertama menyusui, bahkan didalam kolostrum kadar karnitin ini lebih tinggi lagi.

5. Vitamin

Meliputi kandungan vitamin K, vitamin D, vitamin E, vitamin A, vitamin yang larut dalam air, dan mineral.

6. Garam dan mineral

Dalam ASI terkandung zat besi dan kalsium yang merupakan mineral yang sangat stabil dan mudah diserap oleh bayi (Maryunani, 2012).

2.2 Determinan Sosial Kesehatan

Determinan sosial kesehatan adalah keadaan dimana manusia itu dilahirkan, tumbuh, hidup, bekerja, dan menua serta mencakup keseluruhan sistem yang menciptakan kondisi kehidupan sehari-hari. Keseluruhan sistem ini, mencakup kebijakan dan sistem ekonomi, agenda pembangunan, norma sosial, kebijakan sosial dan sistem politik (WHO, 2015). Faktor-faktor

(4)

determinan sosial kesehatan antara lain pendapatan dan status sosial, partisipasi sosial dan jaringan dukungan sosial, pendidikan, kesehatan, kondisi hidup sehat, rasisme, diskriminasi dan budaya, faktor awal kehidupan dan genetika, perilaku individu dan faktor gaya hidup, serta akses ke pelayanan kesehatan (Mikkonen, 2010).

1. Rasisme

Suatu anggapan yang membedakan suatu ras dengan ras lainnya dan menganggap ras sendirilah yang paling unggul dibandingkan dengan ras-ras lainnya (KBBI, 2007).

2. Diskriminasi

Perilaku menerima atau menolak seseorang semata-mata berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok (Sears, et al 1999).

3. Genetika

Ilmu tentang pewarisan watak dari induk ke keturunannya baik secara biologis melalui gen atau secara sosial melalui pewarisan gelar, atau status sosial (Saefudin, 2007).

4. Gaya Hidup

Gaya hidup merupakan perpaduan antara kebutuhan ekspresi diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada norma yang berlaku, Susanto (dalam Nugrahani, 2003).

5. Umur

Derajat kesehatan seorang individu yang berkaitan dengan alat-alat reproduksinya dipengaruhi oleh usia. Menurut Warsini (2009), usia reproduksi yang aman adalah pada rentang usia 20-35 tahun. Martadisoebrata (dalam Hidajati 2012) mengatakan, perempuan yang berumur < 20 tahun dianggap masih belum matang secara fisik, mental, dan psikologi dalam menghadapi pemberian ASI secara eksklusif pada bayinya. Sedangkan perempuan yang melahirkan diatas

(5)

umur 35 tahun termasuk beresiko, karena erat kaitannya dengan anemia gizi yang dapat mempengaruhi produksi ASI sehingga akan lebih banyak menemukan kendala seperti produksi ASI kurang dan mudah lelah (Arini, 2012). Hasil penelitian Scott, et al (2009) di Perth Australia menyatakan ibu yang termasuk dalam kelompok umur > 35 tahun memiliki resiko sebesar 1,78 kali lebih besar untuk tidak memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu yang berumur < 35 tahun.

Hasil penelitian Hilala (2014) di Kabupaten Gorontalo menyatakan bahwa terdapat hubungan antara usia ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian Soeparmanto (2001) dalam Yamin (2007) menunjukkan bahwa semakin bertambah usia ibu semakin kecil kemungkinan untuk memberikan ASI Eksklusif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yamin (2007), tidak semua ibu mempunyai kemampuan yang sama dalam menyusui karena rata-rata ibu yang lebih muda mampu menyusui lebih baik daripada ibu yang lebih tua.

6. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi pengetahuannya, semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka semakin tinggi pula pengetahuannya tentang ASI eksklusif. Di samping itu tingkat pendidikan seseorang juga akan membantu orang tersebut untuk lebih mudah menangkap dan memahami suatu informasi. Sehingga semakin tinggi pendidikan ibu maka tingkat pemahaman tentang ASI eksklusif juga meningkat (Notoatmodjo, 2005).

Hasil penelitian Ransum, et al (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan praktek pemberian ASI eksklusif. Ibu yang berpendidikan tinggi lebih banyak memberikan ASI eksklusif pada bayinya dimana sekitar 40,9% sedangkan ibu yang berpendidikan rendah hanya 3,6%. Hasil penelitian Ulfah (2014) juga menyatakan ada hubungan pendidikan ibu dengan pemberian ASI eksklusif, responden dengan tingkat pendidikan

(6)

SLTP/sederajat berjumlah 18 orang (24,6%) yang terdiri dari 8 orang (10,9%) tidak memberikan ASI eksklusif dan 10 orang (13,6%) lainnya memberikan ASI eksklusif serta responden dengan tingkat pendidikan ibu lulus SMA/sederajat atau lebih tinggi berjumlah 42 orang (57,5%) yang terdiri dari 30 orang (41,0%) memberikan ASI eksklusif dan 12 orang (16,4%) tidak memberikan ASI eksklusif.

7. Status Pekerjaan

Meskipun ibu bekerja diluar rumah, ibu harus tetap memberikan ASI secara eksklusif karena ibu yang bekerja diluar rumah mempunyai lingkungan yang lebih luas dan informasi tentang ASI eksklusif yang didapat juga akan lebih banyak, sehingga dapat merubah perilaku-perilaku ibu untuk memilih memberikan ASI saja kepada bayinya (Notoatmodjo, 2003). Negara menyatakan bahwa ibu yang bekerja diluar rumah dapat terus memberikan ASI kepada anaknya dengan memerah dan menyusui selama jam kerja. Peraturan perundangan yang mengatur hal tersebut yaitu Pasal 83 Undang-undang No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: “Pekerja atau buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja” (Kristiyanasari, 2009).

Menurut penelitian Juliastuti (2011), pemberian ASI secara eksklusif akan semakin tinggi jika ibu tidak bekerja. Hal tersebut karena ibu yang tidak bekerja hanya menjalankan fungsinya sebagai ibu rumah tangga dan banyak menghabiskan waktunya dirumah tanpa terikat pekerjaan diluar rumah sehingga dapat memberikan ASI secara optimal tanpa dibatasi oleh waktu dan kesibukan. Sama halnya dengan penelitian Evareny, et al (2010) yang menyatakan bahwa risiko untuk tidak memberikan ASI eksklusif pada ibu yang kembali bekerja adalah 14 kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja dan penelitian Setegn (2012) yang menyatakan bahwa ibu yang tidak bekerja lima kali lebih mungkin memberikan ASI eksklusif dibandingkan

(7)

dengan ibu yang bekerja serta hasil penelitian Indrawati (2012) juga menunjukkan adanya hubungan status pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi saat usia 0-6 bulan. Dari 28 ibu bekerja hanya empat (14,3%) yang memberikan ASI eksklusif pada bayinya sedangkan pada 12 ibu yang tidak bekerja, 9 (75%) memberikan ASI eksklusif pada bayinya. 8. Pendapatan

Kemampuan keluarga untuk memproduksi dan membeli pangan dipengaruhi oleh status sosial ekonomi keluarga. Ibu-ibu dari keluarga yang berpendapatan rendah kebanyakan adalah berpendidikan lebih rendah dan informasi kesehatan yang dimiliki akan lebih terbatas dibandingkan ibu-ibu dari keluarga yang memiliki pendapatan tinggi. Sehingga pemahaman yang dimiliki untuk memberikan ASI secara eksklusif pada bayi menjadi rendah (Prasetyono, 2009).

Tetapi hasil penelitian Sriningsih (2011) pada ibu bayi usia 0-6 bulan sebanyak 344 sampel di Puskesmas Magelang Utara dan 113 ibu bayi di Puskesmas Jurang Ombo, menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif dengan hasil analisis bahwa ibu yang mempunyai penghasilan rendah lebih mungkin untuk memberikan ASI eksklusif. Hasil penelitian Purnamawati (2001) yang dikutip oleh Sarbini (2008), membuktikan faktor dominan yang mempengaruhi pemberian ASI adalah faktor sosial ekonomi seperti pendapatan keluarga. Sosial ekonomi rendah mempunyai peluang 4,6 kali untuk memberikan ASI dibanding ibu dengan sosial ekonomi tinggi.

9. Keterpaparan Sampel Susu Formula

Menurut penelitian Afifah (2007) salah satu faktor penghambat pemberian ASI secara eksklusif adalah keterpaparan promosi susu formula. Pemberian susu formula sering dilakukan di BPS, RB maupun RS dengan alasan utama karena ASI belum keluar dan bayi masih kesulitan

(8)

menyusu sehingga bayi akan menangis bila dibiarkan saja. Biasanya bidan akan langsung memberikan nasihat untuk memberikan susu formula terlebih dahulu. Bahkan pembuatan susu formula dilakukan sendiri oleh bidan atau perawat, dan mereka menyediakan jasa sterilisasi botol. Hal ini akan memberi pengaruh negatif terhadap keyakinan ibu bahwa pemberian susu formula adalah obat paling ampuh untuk menghentikan tangis bayi. Kurangnya keyakinan terhadap kemampuan memproduksi ASI untuk memuaskan bayinya mendorong ibu untuk memberikan susu tambahan melalui botol.

Menurut hasil penelitian Lestari (2012) terdapat hubungan antara promosi susu formula dengan pemberian ASI Eksklusif dimana dalam penelitian tersebut pemberian promosi susu formula menyebabkan penurunan pemberian ASI eksklusif. Promosi susu formula lebih mengunggulkan produknya dibanding mempromosikan kebaikan ASI bagi bayi.

10. Dukungan Keluarga

Dukungan dari orang lain atau orang terdekat sangat berperan di dalam sukses tidaknya menyusui. Semakin besar dukungan yang didapatkan untuk terus menyusui maka akan semakin besar pula kemampuan untuk dapat bertahan untuk terus menyusui. Dalam hal ini dukungan keluarga sangat besar pengaruhnya, jika seorang ibu kurang mendapat dukungan dari keluarga akan lebih mudah dipengaruhi untuk beralih ke susu formula (Budiasih, 2008).

Hasil penelitian Trisnawati et al (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Ngaliyan Semarang, prosentase ibu yang memberikan ASI eksklusif dengan dukungan keluarga yang baik yaitu (81,4%). Hal ini dikarenakan semakin tinggi memberikan dukungan maka ibu akan lebih termotivasi, semangat dan yakin selama menyusui.

(9)

Hasil penelitian Rahman, et al (2015) yang mengatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI). Dukungan keluarga dalam penelitian tersebut adalah bentuk respon yang diberikan keluarga dalam memberikan dukungan terhadap pemberian MP-ASI pada bayi setelah usia 6 bulan. Keluarga mendukung pemberian makanan pendamping ASI, hal ini disebabkan karena sebagian responden mengatakan bahwa ASInya kurang dan tidak ada ASI yang keluar sehingga mau tidak mau keluarga mendukung pemberian makanan pendamping ASI, kegagalan dalam pemberian ASI eksklusif pun terjadi.

11. Dukungan Suami

Individu yang selalu mendapat dukungan, akan berorientasi secara positif terhadap masalah yang sedang didahapinya. Orientasi yang positif akan menjadikan individu memiliki optimisme, karena dukungan menjadikan individu mampu berbagi masalah yang sedang dihadapi, serta akan memiliki kesehatan yang jauh lebih baik daripada individu yang tidak menerima dukungan sosial (Seligman, 2008).

Peran suami pada program ASI eksklusif dapat menyebabkan kondisi psikis ibu menjadi sehat karena terciptanya suasana yang nyaman. Para istri membutuhkan perhatian dari suami dalam suatu proses produksi ASI yaitu reflex oxytocin, karena pikiran ibu yang positif dapat merangsang kontraksi otot disekeliling kelenjar susu sehingga mengalirkan ASI ke sinus lactiferous dan kemudian dihisap oleh bayi (Roesli, 2000).

Hasil penelitian Septria (2013) menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan suami dengan optimisme pemberian ASI eksklusif. Semakin tinggi dukungan suami akan semakin tinggi optimisme pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian Maharaj (2013) menyatakan bahwa ibu yang mendapat dukungan dari suami, mampu memberikan ASI secara

(10)

eksklusif walaupun menghadapi kesulitan disaat menyusui seperti merasakan sakit dan nyeri pada puting susunya.

12. Dukungan Petugas Kesehatan

Masalah yang muncul dalam pemberian ASI tidak terlepas dari petugas yang membantu bayi dan ibunya dalam masa perawatan. Petugas kesehatan hendaknya selalu memberikan nasihat tentang pemberian pemberian ASI yang pertama kali keluar walaupun sedikit (Proverawati, 2010).

Dari hasil penelitian Rahmawati (2010), didapatkan ada hubungan yang signifikan antara dukungan petugas kesehatan dengan pemberian ASI eksklusif. Petugas kesehatan merupakan komponen utama yang turut berperan dan akan memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap berhasilnya upaya promosi dan penggalakan pemberian ASI, petugas kesehatan tersebut mempunyai andil yang besar dalam upaya-upaya peningkatan penggunaan ASI selain Faktor yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

2.3 Determinan Perilaku

Perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus dari luar diri seseorang, dan respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor lain dari orang tersebut. Walaupun demikian, respons yang diberikan oleh setiap orang berbeda-beda. Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu (Notoatmodjo S, 2014) :

2.3.1 Determinan atau faktor internal, yaitu karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

(11)

2.3.2 Determinan atau faktor eksternal, yatu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor eksternal yang paling besar perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah faktor sosial dimana seseorang tersebut berada.

Faktor sosial adalah faktor yang ada diluar diri organisme atau individu itu sendiri antara lain faktor keluarga atau keadaan rumah tangga, dosen-dosen, metode pengajaran, media pembelajaran yang dipergunakan, lingkungan dan kesempatan yang tersedia (Rahmat, 2009).

2.4 Pengukuran Perilaku Kesehatan

Perilaku seseorang sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas. Benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2014) mengembangkan menjadi 3 tingkat ranah perilaku, yaitu :

2.4.1 Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil “tahu” yang terjadi setelah adanya penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka pengetahuan seseorang akan semakin luas, namun bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah harus berpengetahuan rendah. Pengetahuan tidak hanya diperoleh dari pendidikan formal saja, akan tetapi dapat diperoleh melalui pendidikan non formal. Ada dua aspek yang terkandung di dalam pengetahuan seseorang tentang suatu objek yaitu aspek positif dan aspek negatif, yang mana akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap semakin positif terhadap objek tertentu (Wawan & Dewi, 2010). Menurut teori WHO yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007), salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh

(12)

pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri. Secara garis besar, ada 6 tingkat pengetahuan (Notoatmodjo, 2014).

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap seluruh bahan yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Misalnya tahu bahwa ASI mengandung berbagai macam vitamin.

2. Memahami (Comprehention)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dimana dapat menginterpretasikan secara benar.

3. Aplikasi (Application)

Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

4. Analisis (Analysis)

Kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Syntesis)

Kemampuan untuk menyatakan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih di dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

6. Evaluasi (Evaluation)

Kemampuan di dalam melakukan penilaian terhadap suatu objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

(13)

2.4.2 Sikap

Sikap adalah sekumpulan tanggapan, reaksi dan jawaban yang tetap terhadap objek sosial (Campbel dalam Wawan & Dewi, 2010). Menurut Notoatmodjo (2014) sikap merupakan pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal-hal yang terkait dengan kesehatan. Berdasarkan intensitasnya, tingkatan sikap terdiri dari :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa subyek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek). Misalnya sikap seorang ibu terhadap pemberian ASI eksklusif, dapat diukur dari kehadiran ibu untuk mendengarkan penyuluhan tentang ASI eksklusif di lingkungannya.

2. Merespon (responding)

Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi. Seorang ibu yang mengikuti penyuluhan ASI eksklusif tersebut diminta untuk menanggapi oleh penyuluh, kemudian ibu menanggapinya.

3. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu objek, dan menganjurkan orang lain merespons. Contohnya: ibu mendiskusikan ASI eksklusif dengan suaminya, atau bahkan mengajak tetangga untuk mendengarkan penyuluhan ASI eksklusif. 4. Bertanggung jawab (responsible)

Berani mengambil resiko terhadap segala sesuatu yang dipilih berdasarkan keyakinannya. 2.4.3 Perilaku

Perilaku yaitu tanggapan, reaksi dan jawaban terhadap suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak disadari (Wawan & Dewi, 2010).

Referensi

Dokumen terkait

menunjukkan bahwa koefisien reliabilitas tes termasuk dalam kategori (0,800-1,000), maka instrument dinyatakan memiliki reliabilitas yang tinggi. Dengan demikian dapat

Kegiatan pengembangan pemberian kompensasi pada umumnya bertujuan, selain untuk kepentingan Organisasi juga untuk Pegawai itu sendiri, hal ini dimaksudkan agar supaya tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap korelasi antara tingkat ketergantungan dan prilaku pro-relasi dalam relasi berpacaran pada mahasiswa Yogyakarta yang

Nilai Taksiran/ Biaya Pembelian baru diisi dengan nilai &#34;Biaya Pembelian baru&#34; yang diambil dari Standarisasi Harga Barang dan Jasa yang diterbitkan oleh

[r]

Secara berkelompok dan dengan bimbingan fasilitator berdiskusi terkait konsep dan prinsip komunikasi efektif dalam pembelajaran serta kegunaan pengetahuannya

nafkah masa tunggu istri yang tertalak ba’in kubra&gt; dalam keadaan hamil , maka penulis melakukan penelitian yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, namun

[r]