• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU DENGAN EMISI GAS METAN YANG RENDAH MELALUI PEMBERIAN RMK SEBAGAI IMBUHAN PADA RANSUM SAPI PERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU DENGAN EMISI GAS METAN YANG RENDAH MELALUI PEMBERIAN RMK SEBAGAI IMBUHAN PADA RANSUM SAPI PERAH"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENINGKATAN PRODUKSI DAN KUALITAS SUSU

DENGAN EMISI GAS METAN YANG RENDAH MELALUI

PEMBERIAN RMK SEBAGAI IMBUHAN PADA RANSUM

SAPI PERAH

(The Improvement on Milk Production and Quality with Low Emission of

Enteric CH

4

by the Utilization of RMK as Additive on Diet of Dairy Cows)

AMLIUS THALIB dan YENI WIDIAWATI

Balai Penelitian Ternak, Bogor

ABSTRACT

Production and quality of milk on dairy cow depend on many factors, such as feed, management, performance of bull, age of first post partum and animal health. The utilization of complete rumen modifier (RMK) as feed additive has been studied on sheep since 2005. It has been reported that the use of RMK as additive could improve the ADG of animal by 43%, FCR by 20%, decreased the enteric CH4 by 25 %. The

benefit of RMK when added into the diet of ruminant is due to the positive action of components contained in RMK additive. The function of components present RMK are as defaunator, methanogenesis inhibitor, microbes growth stimulator, VFA enhancer, H2 sink and antireductant. It is assumed that the benefit of RMK

on sheep will also be beneficial for dairy cows due to the same type of digestion system. Improvement of milk quality would be indicated by increase of fat content.

Keywords: Dairy cow, defaunator, methanogenesis inhibitor, acetogenic bacteria ABSTRAK

Produksi dan kualitas susu pada usaha sapi perah ditentukan oleh beberapa faktor utama, antara lain pakan, tata laksana, pejantan, umur beranak pertama dan kesehatan. Rumen modifier komplit (RMK) telah diteliti manfaatnya sebagai imbuhan pakan pada domba sejak 3 tahun terakhir. RMK memperlihatkan dapat meningkatkan ADG sebesar 43 % dengan perbaikan FCR sebesar 20% dan menurunkan produksi gas metan sebesar 25 %. Manfaat RMK pada ternak ruminansia sehubungan dengan adanya peranan komponen-komponen yang terkandung dalam formulasinya, yaitu antara lain berperan sebagai defaunator, inhibitor metanogenesis, memacu pertumbuhan mikroba, pengaya asam-asam lemak volatil (VFA), penampung gas hidrogen (H2 sink), dan antireduktan terhadap bioreaksi karbondioksida menjadi gas metan. Pemanfaatan

RMK diharapkan akan memberikan dampak positip terhadap produksi dan kualitas susu pada usaha sapi perah dengan kontribusi emisi gas yang lebih rendah. Peningkatan kualitas susu yang akan dicapai diindikasikan oleh kenaikan kadar lemak susu.

Kata kunci: Sapi perah, defaunator, inhibitor metanogenesis, bakteri asetogenik

PENDAHULUAN

Agribisnis sapi perah dengan susu sebagai produksi utama adalah salah satu usahatani di bidang peternakan. Susu dikenal sebagai bahan pangan bergizi tinggi yang sangat dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat (masa bayi hingga masa lanjut usia), terutama untuk pertumbuhan dan memelihara kesehatan. Namun produksi susu Indonesia masih jauh dibawah kebutuhan nasional (yakni rata-rata

produksi hingga tahun 2005 sekitar 0,5 ton pertahun sedangkan kebutuhan sekitar 1,5 juta ton/tahun). Dengan demikian sapi perah di Indonesia (populasi 374.000 ekor) hanya mampu memenuhi kebutuhan susu nasional sekitar 30% (DITJENNAK, 2005). Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya produk-tivitas sapi perah dalam negeri, yaitu hanya berkisar 3000 – 5200 liter per 305 hari laktasi (ANGGAENI et al., 2001 dan TALIB et al., 2004), atau berkisar 10 – 13 liter/ekor/hari.

(2)

Bila produktivitas sapi perah dalam negeri dapat ditingkatkan hingga mampu berproduksi rata-rata mencapai 20 liter/ekor/hari maka sekitar 80% kebutuhan susu nasional dapat dicapai.

Dengan kondisi produktivitas sapi perah dalam negeri yang masih rendah maka pencapaian konsumsi susu rata-rata per kapita pertahun jauh tertinggal dengan negara-negara lain. Dibandingkan dengan sesama negara berkembangpun, Indonesia jauh tertinggal. Konsumsi susu rata-rata warga Indonesia pada tahun 1998 = 4,16 kg/kapita/tahun sementara kamboja sudah mencapai 12,97 kg/kapita/ tahun dan Bangladesh 31,55 kg/kapita/tahun Peningkatan konsumsi rata-rata dalam negeri Indonesia bergerak sangat lambat sebagaimana yang diperlihatkan dalam periode tahun 2000 hingga 2005 yaitu hanya sekitar 1,47% pertahun (DITJENNAK, 2005). Nilai konsumsi

susu perkapita pertahun merupakan salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kecerdasan suatu bangsa/negara.

Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi perah, antara lain ketersediaan pakan yang mencukupi dan berkualitas, kualitas pejantan, umur beranak pertama, periode laktasi, frekuensi pemerahan, iklim, tatalaksana dan kesehatan/kebersihan (SCHMIDT et al., 1988; TALIB et al., 2001 dan

SIREGAR, 2007). Dalam laporan ini, aspek

pakan dibahas sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi perah dan sebagai faktor emisi gas rumah kaca.

DAMPAK KONDISI PAKAN TERHADAP PRODUKTIVITAS SAPI PERAH DAN

EMISI GAS METAN ENTERIC Pakan sapi perah terdiri dari sejumlah hijauan dan konsentrat. Hijauan yang tersedia untuk pakan sapi perah di Indonesia berkualitas sangat rendah hingga sedang. Ketersediaan rumput kultur yang berkualitas sedang seperti rumput gajah dan rumput raja, sangat terbatas dikarenakan keterbatasan lahan yang dimiliki oleh petani/pengusaha sapi perah. Untuk memenuhi kebutuhan hijauan, peternak menambahkan dengan hijauan limbah tanaman pangan/palawija/holtikultura seperti jerami padi, pucuk tebu, jerami jagung, jerami kedele, batang pisang, dan daun jagung. Ketersediaan

konsentrat untuk sapi perah juga tidak terlepas dari berbagai masalah. Bahan konsentrat yang dapat dimanfaatkan diperoleh dari berbagai sumber, yaitu bahan limbah/hasil sampingan dari kegiatan pertanian, perkebunan dan industri seperti dedak padi, dedak jagung, polar, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit, bungkil kacang tanah, bungkil biji kapuk, ampas tahu, dan onggok (SIREGAR, 2007).

Walaupun jumlah bahan konsentrat secara keseluruhan kelihatan mencukupi, tapi memiliki berbagai masaalah yaitu dari aspek gizi (relatif rendah), dan ketersediaannya tidak kontinyu sepanjang masa untuk jenis bahan tertentu, begitupun lokasi ketersediaan bahan-bahan tersebut yang kebanyakan berada jauh dari kegiatan usaha sapi perah. Bahwa kebanyakan usaha sapi perah berlokasi di daerah dataran tinggi atau sedang, sebaliknya bahan limbah/hasil sampingan tersebut lebih banyak berada di daerah-daerah dataran rendah.

Kualitas pakan (hijauan dan konsentrat) yang rendah serta sistem ketersediaanya yang tidak berkesinambungan sepanjang musim, secara signifikan berdampak tidak meng-untungkan terhadap produksi susu sapi perah dalam negeri. Dengan kondisi pakan yang kurang mendukung serta tatalaksana yang kurang baik, disinyalir oleh SIREGAR (2001) bahwa kemampuan berproduksi sapi perah dalam negeri (yaitu jenis FH yang awalnya berasal dari Eropa) masih berada jauh dibawah potensi genetiknya.

Persentase terbesar kapasitas produksi sapi perah dalam negeri hanya menghasilkan susu sekitar 10 liter/ekor/hari (TALIB et al., 2000),

sedangkan produksi susu sapi perah di negara-negara maju (seperti Amerika, Eropa dan Australia) rata-rata sekitar 30 liter/ekor/hari. Pakan terutama komponen hijauan yang berkualitas rendah juga memberikan dampak yang tidak baik terhadap lingkungan udara, yaitu menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam hal ini gas metan yang diproduksi oleh hewan ruminansia menjadi tinggi.

Emisi gas metan pada hewan-hewan ruminansia berasal dari 2 sumber yaitu berasal dari hasil fermentasi saluran pencernaan (enteric fermentation) dan kotoran (manure). Proses fermentasi dalam sistem saluran pencernaan rumen yang menghasilkan gas

(3)

metan dinamakan metanogenesis. Dari 2 sumber ini, produksi metan enteric fermentation memberikan kontribusi sekitar 94% dari total emisi metan dari sektor peternakan, dan 23% dari kontribusi gas metan di sektor pertanian secara keseluruhan berasal dari sektor peternakan. Kontributor gas metan tertinggi di sektor peternakan berasal dari sapi potong yaitu sebesar 473 Gg/tahun yakni sekitar 61% (HANDOKO et al., 1996). Namun emisi gas metan enteric fermentation dalam satuan per ekor hewan ruminansia, sapi perah dan kerbau adalah yang tertinggi yaitu masing-masing 56 dan 55 kg/ekor/tahun, dan berikut-nya sapi potong sebesar 44 kg/ekor/tahun (IPCC, 1995). Hal ini mungkin sangat terkait dengan sistem manajemen pemberian komposisi pakan untuk ternak sapi perah, bahwa hijauan merupakan komponen yang lebih banyak diberikan daripada konsentrat

agar sapi perah dapat berproduksi secara maksimal. Namun karena kualitas sumber hijauan yang tersedia sangat rendah yaitu tinggi kandungan serat, menyebabkan produktivitas sapi perah dalam negeri rendah sebaliknya emisi gas metan enteric nya tinggi.

Terdapat hubungan sebanding antara produksi susu dan jumlah emisi gas metan enteric pada ternak sapi perah seperti yang diperlihatkan dalam Tabel 1. Diperlihatkan dalam Tabel ini mengenai prinsip hubungan produktivitas dengan emisi gas metan enteric, bahwa peningkatan produksi susu akibat lebih banyak energi yang terkonsumsi juga akan menyebabkan emisi gas metan meningkat. Namun apabila efisiensi pakan hijauan yang dikonsumsi tinggi, maka persentase energi kasar yang membentuk gas metan dan jumlah gas metan per satuan produksi makin rendah dengan makin tingginya produksi susu. . Tabel 1. Emisi metan pada sapi perah dengan 3 level produksi susu*

Produksi susu (liter/tahun) Emisi metan enteric fermentation

3000 3500 4000

Emisi metan (kg/ekor/tahun) Emisi metan (% energi kasar) Emisi metan (kg/1000 liter susu)

86,5 7,11 28,2 90,4 6,98 25,83 94,2 6,85 23,54

*Tipikal sapi perah New Zealand dengan bobot badan rata-rata 450 kg. (Hasil kalkulasi dengan metode IPCC-2000)

Strategi manajemen pemberian pakan pada sapi perah, khususnya hijauan, untuk mening-katkan produktivitas yang disertai dengan pengurangan emisi gas metan enteric, dapat dilakukan dengan menggunakan pedoman bahwa pakan hijauan yang diberikan mempunyai nilai kandungan energi kasar dan nilai kecernaan kandungan gizi.yang tinggi. Dengan demikian sulit diharapkan hal ini dapat dicapai apabila pakan hijauan yang diberikan mempunyai kandungan serat yang tinggi seperti jerami-jerami (limbah tanaman).

PENGURANGAN EMISI GAS METAN PADA TERNAK RUMINANSIA Pembentukan gas metan melalui proses metanogenesis dalam sistem pencernaan rumen, merupakan hasil akhir dari jalur fermentasi makromolekul kimia pakan (FONTY

dan MORVAN, 1995). Pada prinsipnya

pembentukan gas metan yang utama dalam rumen adalah melalui reduksi CO2 oleh H2

yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan oleh bakteri metanogen. Metanogenesis dapat menyebabkan kehilangan energi hingga 15% dari total energi kimia yang tercerna

(BOCCAZZI dan PATTERSON, 1995).

Pembentukan gas metan melalui jalur metanogenesis rumen berpengaruh besar terhadap pembentukan produk-produk akhir feRmentasi dirumen, yakni terutama berpengaruh terhadap jumlah mol ATP yang terbentuk, yang selanjutnya berpengaruh terhadap efisiensi produksi mikrobial rumen. (PINARES-PATINO et al., 2001).

Pengurangan emisi gas metan enteric fermentation (atau inhibisi metanogenesis) pada prinsipnya dapat dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu dengan meningkatkan kualitas pakan hijauan atau sebagian hijauan disubstitusi dengan leguminosa dan meningkat-kan komposisi suplemen konsentrat. Bila hal ini sulit dilakukan atau hanya dapat dilakukan dengan signifikansi yang rendah, maka

(4)

pengurangan dapat juga dilakukan dengan pendekatan pemberian feed additive.

Pengurangan emisi gas metan enteric fermentation dengan feed additive dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai macam zat kimia dengan beberapa tipe mekanisme, antara lain: berdasarkan sifat toksik terhadap bakteri metanogen seperti senyawa-senyawa metan terhalogenasi

(BOCCAZZI dan PATTERSON, 1995);

berdasarkan pada reaksi hidrogenasi seperti senyawa asam-asam lemak berantai panjang tidak jenuh(THALIB, 2004a); berdasarkan pada

senyawa-senyawa kimia yang afinitasnya terhadap hidrogen lebih tinggi dari pada CO2

seperti ion ferri dan ion sulfat (BAKER, 1995;

OBASHI et al., 1995 dan THALIB, 2004a); dan

berdasarkan defaunasi/penekanan populasi protozoa seperti senyawa saponin (JOUANY,

1991 dan THALIB, 2004a).

Penghambatan metanogenesis terutama yang meknismenya berdasarkan pada sifat toksik terhadap bakteri metanogen, memiliki kelemahan yaitu menimbulkan sifat resisten pada bakteri metanogen dan juga menyebabkan terjadi akumulasi residu senyawa inhibitor tersebut dalam produk hewan ternak, sehingga pendekatan ini tidak berkesinambungan. Untuk itu pendekatan dengan intervensi bakteri asetogenik menjadi alternatif yang sudah mulai dikembangkan akhir-akhir ini. (LE VAN et al.,

1998). Bakteri asetogenik atau lebih tepat dinamakan bakteri homoasetogenik, adalah eubakteri yang dapat mengkatalisis reduksi karbondioksida menjadi asam asetat. Hampir semua bakteri homoasetogenik adalah peng-guna hidrogen–karbondioksida, dan beberapa spesies diketahui sebagai pengguna karbon monoksida. Bakteri asetogenik pengguna H2–

CO2 terdapat dalam rumen, dan yang sudah

terindentifikasi adalah: Acetitomaculum

ruminis, Eubacterium limosum dan

Clostridium pfennigi (MACKIE dan BRYANT,

1994). LEEDLE dan GREENING (1988)

menemukan bakteri asetogenik spp dalam jumlah yang tinggi pada rumen rusa. Laporan tentang pengujian jenis-jenis bakteri asetogenik dalam sediaan kultur murni sebagai inhibitor metanogenesis dalam rumen masih sangat kurang, terutama sebagai kultur bakteri yang ditambahkan langsung sebagai aditif.

Penggunaan bakteri homoasetogenik sebagai salah satu komponen rumen modifier

yang secara lengkap dinamakan rumen modifier komplit (RMK) telah diteliti sejak tahun 2005 pada ternak domba. RMK memberikan dampak yang positif terhadap produktivitas ternak domba.

Foto 1. Buah Lerak (salah satu komponen utama RMK)

PROSPEK MANFAAT RMK PADA TERNAK SAPI PERAH

Telah diperlihatkan pada ternak domba bahwa pada prinsipnya RMK dapat meningkatkan produktivitas hewan dan menurunkan produksi gas metan (THALIB et al., 2007). Formulasi RMK merupakan campuran dari beberapa komponen dengan masing-masing peran/khasiatnya bekerja secara sinergistik, dan diberikan sebagai feed additive (imbuhan pakan) pada ransum ternak ruminansia. Pada prinsipnya, terdapat 3 kelompok komponen didalam RMK yaitu saponin (sebagai defaunator dan inhibitor metanogenesis), FPM (untuk meningkatkan protein mikroba, kecernaan serat dan memperbaiki metabolisme), bakteri homoasetogenik (sebagai H2 sink, VFA

enhancer, dan inhibitor metanogenesis). Sebagai komponen saponin digunakan buah lerak (Sapindus rarak) yang diekstrak dengan metanol dan dinamakan Aksapon SR. dan dari daun leguminosa (sesbania dan albizia). Buah Sapindus rarak seperti diperlihatkan pada Foto 1. Efektivitas Aksapon SR dan leguminosa (sesbania dan albizia) sebagai defaunator dan inhibitor metanogenesis telah diuji dalam penelitian sebelumnya (THALIB et al., 1994;

1996; 2004a; 2007). Faktor pertumbuhan mineral (FPM) terdiri dari mikromineral,

(5)

vitamin, molases dan urea. FPM telah dilaporkan (THALIB et al., 1998) dapat meningkatkan protein mikroba, kecernaan serat pakan dan VFA. Dua spesies bakteri homoasetogenik (Acetoanaerobium noterae dan Acetobacterium woodii) yang diisolasi dari

feses rusa dilaporkan (THALIB et al., 2007)

dapat menurunkan produksi gas metan rumen pada domba.

Hasil studi pemanfaatan RMK pada ternak domba sebagaimana yang diperlihat pada Tabel 2 (THALIB et al., 2007).

Tabel 2. Respon ternak domba terhadap penambahan RMK dalam ransum dengan pakan dasar jerami padi dan konsentrat GT-03

Parameter Kontrol (+) RMK Keterangan

Performans rumen domba: % CH4/gas tot (in vitro)

Total VFA (mM) Protozoa (x 10 5 sel/ml) Bakteri (x 10 10 cpu) In vitro KCBK (%) Performans domba: PBB (g)

Rasio Konversi Pakan

In vivo KCBK Karkas (%) 28 109 9,5 1,2 45 44 15 51 44 21 130 2,9 1,6 50 63 12 56 44 (–) 25% (+) 19% (–) 69% (+) 33% (+) 10% (+) 43% (–) 20% (+) 10%

Pengaruh positif RMK terhadap produk-tivitas dan emisi gas metan pada ternak domba diasumsikan juga akan berlaku pada ternak ruminansia lainnya. Pengaruh RMK diasumsi-kan juga positif terhadap kualitas susu yang dihasilkan ternak perah bila disuplementasi dengan RMK. Bakteri homoasetogenik. Meng-gunakan H2 yang dihasilkan oleh bakteri

fermentatif untuk mereduksi CO2 membentuk

asam asetat mengikuti jalur Wood – Ljungdahl, seperti reaksi berikut:

2CO2 + 4H2 ===> CH3COOH + 2H2O;

∆G = - 25 kJ/mol. (LJUNGDAHL, 1986)

Bakteri A. noterae dan A. woodii dapat membentuk asam asetat melalui reaksi diatas ini, dimana oleh A. noterae disamping menghasilkan asam asetat juga menghasilkan asam propionat dan butirat.

Asam asetat dan butirat sebagai hasil fermentatif dalam rumen bersifat lipogenik, sehingga hasil reaksi yang dilakukan oleh aktivitas bakteri asetogenik ini (A. noterae dan A. woodii) akan meningkatkan jumlah asam asetat yang tentu akan meningkatkan kadar lemak susu yang dihasilkan. Dengan demikian penggunaan RMK dalam ransum sapi perah diharapkan dapat menghasilkan kadar lemak susu mencapai 4%.

DAFTAR PUSTAKA

ANGGRAENI, A., K. DIWYANTO, L.PRAHARANI, A.

SALEH, dan C. TALIB. 2001. Evaluasi mutu

genetik sapi perah induk Fries Holland di daerah sentra produksi susu. Prosiding Hasil Penelitian Bagian Proyek “Rekayasa Teknologi Pertanian/ARMP-II”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

BAKER,S.K. 1995. Competition for hydrogen in the

rumen. Satelite symposium of IVth

International Symposium on the Nutrition of Herbivores. Clermont-Fd., France : 41. BOCCAZI, P. and J.A. PATTERSON. 1995. Potential

for functional replacement of methanogenic bacteria by acetogenic bacteria in the rumen environment. IVth Intertnational Symposium

on the Nutrition of Herbivores., Sept. 16-17, Clermont - Ferrand, France.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2005. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta.

FONTY, G. and B. MORVAN. 1995. Ruminal

methanogenesis and its alternatives IVth

International Symposium on the Nutrition of Herbivores., Sept. 16 - 17, Clermont - Ferrand, France.

(6)

GEERLINGS,G.H.C.,H.C.ALDRICH,W.HARDEN,and

G. DIEKERT. 1987. Isolation and characteri-zation of a carbonmonoxide utilizing strain of the acetogen Peptostreptococcus productus. Arch. Microbiol., vol.148, pp. 305 – 313. HANDOKO,I.,I.LAS,J.S.BAHARSYAH,A.M.FAGI,

A. BEY, M.Y. ISHADAMY, P.R. HANDAYANI,

N.A.ULFA,I.RISDIYANTO,S.Z.TAWAKAL dan

Y. SUGIARTO. 1996. Greenhouse gasses Inventory from Agriculture Sector in Indonesia, ALGAS. Ministry of Environment, Jakarta.

IPCC. 1995. Greenhouse Gas Inventory Workbook, UNEP-OECD-IEA-IPCC. Brackwell-UK. IPCC. 2000. Greenhouse Gas Inventory Workbook,

UNEP-OECD-IEA-IPCC. Brackwell-UK. LE VAN, T. D., J.A. ROBINSON, J. RALPH, R.C.

GREENING, W.J. SMOLENSKI, J.A.Z. LEEDLE,

andD.M.D.M.SCHAEFER. 1998. Assessment of reductive acetogenesis with indigenous ruminal bacterium population and Acetitomaculum ruminis. Appl. Environ. Microbiol, 64: 3429-3436.

LEEDLE, J.A.Z. and R.C. GREENING. 1988.

Postpandial Changes in methanogenic and acetogenic bacteria in the rumen of steers fed high or low-forage diets once daily. Appl. Environ. Microbiol. 54 : 502 - 506.

LJUNGDAHL,L.G. 1986. The autotropic pathway of

acetat synthesis in acetogenic bacteria. Ann. Rev. Microbiol. 40 : 415 - 450.

MACKIE,R.I.andM.P.BRYANT. 1994. Acetogenesis and the rumen: syntropic relationships. In: Acetogenesis H.L.DRAKE (Ed.). Chapman and Hall. New York, pp. 331 - 364.

OBASHI, Y., K. USHIDA, K. MIYASAKI, and K. KOJIMA. 1995. Effect of initial sulfate level on

electron partition between methanogenesis and sulfate reduction in the rumen. Sattelite symposium of IVth International Symposium

on the Nutrition of Herbivores. Clermont-Fd., France : 42.

PINARES-PATINO, C., M.J. ULYAT, C.W. HOLMES,

T.N. BARRY and K.R. LASSEY. 2001. Some rumen digestion characteristics and methan emission in sheep. In: Energy Metabolism in Animals. (Eds: A. CHWALIBOG and K.

JACOBSON). Proc. of The 15th Symposium on

Energy Metabolism in Animals. EAAAP Publ.,no. 103, Denmark. P.117-120.

SCHMIDT, G.H., L.D. VAN VLECK, and M.F.

HUTJUENS, 1988. Principles of Dairy

Sciences., 2nd ed. Prentice-Hall, Engglewood

Cliffs, New Jersey.

SIREGAR, S.B. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah Yang Ekonomis. Penerbit Pribadi, Bogor.

SIREGAR, S.B. 2001. Peningkatan kemampuan

berproduksi susu sapi perah laktasi melalui perbaikan pakan dan frekuensi pemberiannya.

JITV, 6 (2): 76-82.

TALIB,C.,A.ANGGRAENI danK.DIWYANTO. 2000.

Evaluasi genetik sapi perah FH sebagai ternak penghasil bibit. 1. Evaluasi pejantan. Gakuryoku, Jurnal Ilmiah Pertanian, vol.VI (2):149-155.

TALIB, C., A. ANGGRAENI, K. DIWYANTO, dan E. KURNIATIN. 2001. Faktor-faktor yang

mempengaruhi produktivitas sapi perah FH dibawah manajemen perusahaan komersial. Gakuryoku, Jurnal Ilmiah Pertanian, Vol VII (1): 81-87. Persatuan Alumni dari Jepang, Bogor.

TALIB, C., KUSWANDI, T. SUGIARTI, BASUKI, dan A.R.SIREGAR. 2004. Performance production

of lactating cows of Indonesian Holstein based on the month of lactating periods (unpublished).

THALIB, A., M. WINUGROHO, M. SABRANI, Y.

WIDIAWATI, dan D. SUHERMAN. 1994.

Penggunaan ekstrak methanol buah lerak (Sapindus rarak DC.) untuk menekan pertumbuhan protozoa dalam rumen. Ilmu dan Peternakan, 7 (2) : 17-21.

THALIB,A.,Y.WIDIAWATI,H.HAMID,D.SUHERMAN

danM.SABRANI. 1996. The effects of saponin

from Sapindus rarak fruit on rumen microbes and performance of sheep. JITV, 2 (1) : 17-21. THALIB, A., D. DEVI, Y. WIDIAWATI dan Z.A.

MAS’UD. 1998. Efek kombinasi defaunator dengan faktor pertumbuhan mikroba terhadap kecernaan ruminal jerami padi. JITV, 3 (3): 171-175.

THALIB, A. 2004a. Uji efektivitas saponin buah

Sapindus rarak sebagai inhibitor

metano-genesis Secara in vitro pada system pencernaan rumen. JITV, 9 (3): 164- 171. THALIB, A. 2004b. Uji efektivitas isolate bakteri

hasil mikroba rumen dengan media asetogen sebagai inhibitor metanogenesis.

THALIB,A.,Y.WIDIAWATI,B.HARYANTO,H.HAMID,

GUNAWAN, MULYANI dan W. WIDANINGSIH.

2007. Penggunaan rumen modifier komplit (”RMK”) pada ternak ruminansia yang diberi hijauan pakan berserat tinggi. Laporan hasil Penelitian, Balai Penelitian Ternak.

Gambar

Tabel 1. Emisi metan pada sapi perah dengan 3 level produksi susu*
Foto 1. Buah Lerak (salah satu komponen utama  RMK)
Tabel 2. Respon ternak domba terhadap penambahan RMK dalam ransum dengan pakan dasar jerami padi  dan konsentrat GT-03

Referensi

Dokumen terkait

Universiti Teknologi Malaysia, Universitas PGRI Semarang, Universitas Negeri Makassar, Indonesia, Regional Association for Vocational Teacher Education (RAVTE), Persatuan

Dengan hormat, disampaikan kepada saudara agar dapat menghadiri acara Pembuktian Kualifikasi dan Klarifikasi Harga Penawaran untuk paket pekerjaan tersebur diatas dengan membawa

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “UPAYA

dengan baik, udara yang masuk pada rumah atau bangunan tersebut dapat menjadikan ruangan. menjadi nyaman agar sirkulasi udara dari luar bangunan juga dapat masuk

[r]

Sistem ini dibangun dengan menerapkan metode Simple Additive Weighting (SAW) sebagai metode penjumlahan terbobot yang digunakan dalam memecahkan masalah multi

CaCO3(s) → CaO(s) + CO2(g) …(1) Setelah proses kalsinasi, batu kapur didinginkan dalam furnance sampai suhu menunjukkan suhu ruang karena penurunan panas yang

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi Think-Talk-Write (TTW) dapat memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan