• Tidak ada hasil yang ditemukan

Olahraga bermutu untuk semua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Olahraga bermutu untuk semua"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/327743584

Olahraga bermutu untuk semua

Conference Paper · September 2018

CITATIONS

0

READS

1,230 3 authors, including:

Some of the authors of this publication are also working on these related projects: construction of sports development indexView project

building character through sportsView project Ali Maksum

Universitas Negeri Surabaya 32PUBLICATIONS   172CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ali Maksum on 19 September 2018.

(2)

1

Olahraga Bermutu Untuk Semua

1

Ali Maksum2

Sport is also an important enabler of sustainable development. We recognize the growing contribution of sport to the realization of development and peace…

(Resolusi PBB No. A/RES/70/1, pa. 37)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah lama menjadikan olahraga sebagai driving force pembangunan global. Olahraga diyakini sebagai instrumen yang efektif untuk mendinamisasi dan mengakselerasi pembangunan diberbagai bidang, mulai dari kesehatan, mental, sosial, politik, ekonomi, lingkungan, dan budaya. Pada tahun 2003, PBB membentuk satuan tugas khusus yang disebut Inter-Agency Task Force on Sport for Development and Peace. Tim yang diisi oleh sejumlah ahli dari banyak negara tersebut telah menghasilkan dokumen penting, yang mengelaborasi bagaimana peran, kontribusi, dan strategi olahraga dalam rangka menyukseskan agenda internasional berupa Millenium Development Goals (MDGs). Kini, setelah era MDGs berakhir, PBB juga telah membentuk badan yang setingkat lebih tinggi dari sebelumnya, yakni Office on Sport Development and Peace, yang juga telah selesai menyusun dokumen yang berisi agenda dan strategi global terkait Sustainable Development Goals (SDGs). Banyak persoalan kehidupan kebangsaan dan dunia, di mana olahraga menjadi bagian penting dari solusi. Ketika dunia di landa konflik politik, misalnya Jerman Barat – Jerman Timur, Korea Selatan – Korea Utara, olahraga menjadi wahana gencatan senjata dan perdamaian bagi keduanya. Ketika kematian di dunia 60-70% disebabkan oleh penyakit nonmenular (noncommunicable diseases), World Health Organization (WHO) menggelorakan dan menjadikan olahraga sebagai cara murah menjaga kesehatan. Bahkan, olahraga merupakan instrumen guna meningkatkan kebugaran, kemampuan berpikir, dan kepercayaan diri anak. Dari sini kita sampai pada satu pemahaman bahwa olahraga bukan untuk olahraga, tetapi olahraga untuk kehidupan, olahraga untuk kita semua. Pertanyaannya, olahraga seperti apa yang dapat menjadi bagian dari solusi kehidupan. Jawabnya sederhana: olahraga yang bermutu, yakni aktivitas/praktik olahraga yang dilaksanakan sesuai standar kelayakan yang telah ditentukan.

Olahraga untuk Kehidupan

Pada awal 2015, kita dikejutkan oleh pernyataan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek terkait hasil evaluasi 1 tahun pelaksanaan jaminan kesehatan nasional bahwa jumlah penduduk Indonesia yang sakit mencapai 65%, jauh melebihi standar normal 10-15% dari total penduduk (Bisnis.com, 27 Februari 2015). Iuran peserta yang diterima BPJS kesehatan tidak bisa menutupi anggaran yang harus dikeluarkan untuk membiayai orang sakit sehingga cenderung terus merugi. Data tahun 2017 menunjukkan bahwa BPJS kesehatan mengalami defisit anggaran sebesar 9 triliun (Detikfinance, 27 Nopember 2017). Porsi penggunaan anggaran terbesar dikeluarkan untuk membiayai penyakit nonmenular, seperti jantung, ginjal, diabetes, dan stroke. Penyakit ini umumnya disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat, diantaranya karena kurang gerak. Ketidakseimbangan antara asupan makan dan energi yang dibakar atau dikeluarkan

1 Makalah disampaikan dalam Pekan Ilmiah Keolahragaan 2018 yang diselenggarakan oleh Pascasarjana Universitas

Negeri Surabaya, 17-20 September 2018 di Kampus Ketintang Surabaya

(3)

2 dapat menimbulkan kegemukan, yang indikator sederhananya berupa semakin besarnya ukuran lingkar perut. Orang yang mengalami obesitas berpotensi mengalami penyakit kardiovaskuler, suatu penyakit yang berhubungan dengan jantung dan pembuluh darah. Kondisi yang demikian tentu sangat merugikan negara dalam jangka panjang. Karena itu, perlu dipikirkan kembali apakah strategi penanganannya bersifat kuratif dengan menyediakan layanan kesehatan sebanyak-banyaknya atau bersifat preventif dengan menyediakan infrastruktur yang memadai agar masyarakat dapat melakukan aktivitas fisik secara optimal sehingga angka orang yang sakit menurun.

Penyakit nonmenular sejatinya merupakan fenomena global, tidak hanya bagi negara berkembang tetapi juga sejumlah negara maju. Pola hidup yang tidak sehat merupakan pemicu utama masalah ini, seperti kebiasaan merokok, minuman beralkohol, makanan instan minim serat, dan kurangnya aktivitas fisik. WHO melalui laporannya pada tahun 2018 menyebutkan bahwa penyakit nonmenular terus akan menjadi perhatian dunia melalui program SDGs seiring lemahnya komitmen global, baik dalam bentuk legislasi, anggaran, dan implementasi. Pada 2014, WHO melakukan survei global dan menurunkan laporan profil tiap negara terkait penyakit nonmenular. Untuk Indonesia, WHO mencatat bahwa penyakit nonmenular

─seperti jantung, stroke, pernafasan akut, dan diabetis mellitus ─menyebabkan kematian sebesar 71%3.

Tampaknya terjadi peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1995, angka kematian akibat penyakit nonmenular sebesar 41,7%, pada 2001 menjadi 49,9%, dan pada 2007 menjadi 59,5%.

Dilihat dari jenis kelamin, penyakit kardiovaskuler, pernafasan kronis, dan kanker lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan. Sementara untuk penyakit diabetis, perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Dalam laporan tersebut juga dinyatakan bahwa faktor risiko pada orang dewasa terjadi

3 Malaysia 73%, Thailand 71%, China sebesar 87% dan Amerika 88%

37% 13% 5% 6% 10% 22% 7% Kardiovaskuler Kanker Pernafasan kronis Diabetes Nonmenular lainnya Menular Kecelakaan 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 40%

(4)

3 karena kondisi tertentu, yakni (1) kebiasaan merokok, yang pada laki-laki sebesar 67% dan perempuan sebesar 3%; (2) tekanan darah yang melebihi standar di mana pada laki-laki sebanyak 29,1% dan pada perempuan sebanyak 26,6%; dan (3) obesitas di mana pada laki-laki sebanyak 2,6% dan pada perempuan sebanyak 6,9%.

Terkait dengan penyakit diabetes di Indonesia, saya ingin memberikan catatan khusus. Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyebab kematian ketiga setelah stroke dan jantung koroner. Angka prevalensi diabetes mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2007 prevalensi sebesar 5,7% dan menjadi 6,9% pada tahun 2013. Data terbaru dari International Diabetes Federation 2017 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-6 dunia dengan jumlah penderita sebanyak 10,3 juta orang. WHO memperkirakan, jika penyakit yang berbahaya dan mematikan ini tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, maka pada tahun 2030 angkanya akan melonjak drastis menjadi 21,3 juta orang. Ada kondisi yang kurang menguntungkan bagi Indonesia karena kebiasaan konsumsi beras yang berlebihan. Ini mengingat beras merupakan jenis karbohidrat yang paling jahat dibandingkan jagung, singkong, dan kentang. Konsumsi beras perkapita Indonesia sebesar 124 kg/tahun, tertinggi di dunia. Sementara Thailand dan Malaysia sebesar 80 kg/tahun, China 60 kg/tahun, Jepang 50 kg/tahun, dan Korea 40 kg/tahun.

Selain kesehatan fisik, persoalan mental juga tidak kalah krusialnya. Mengacu pada data WHO, terdapat sekitar 35 juta orang menderita depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terjangkit skizofrenia, dan 47,5 juta mengidap dimensia. Bagaimana dengan Indonesia? Data Kementerian Kesehatan hasil riset kesehatan dasar ─Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 14 juta (6%) orang Indonesia berusia 15 tahun ke atas mengalami gejala depresi dan gangguan kejiwaan. Sementara, gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400 ribu orang atau 1,7 per seribu penduduk (Kemenkes, 2013). Seiring dengan semakin kompleksnya masalah kehidupan, termasuk VUCA (volatility, uncertainty, complexity, and ambiguity) yang belakangan ini banyak diperbincangkan, belum lagi berbagai faktor biologis, psikologis, dan sosial yang ada, maka peningkatan jumlah penderita gangguan kejiwaan akan membebani keuangan negara dan berimplikasi pada penurunan produktivitas dalam jangka panjang.

Pertanyaan mendasarnya, bagaimana kontribusi olahraga dalam konteks memberikan solusi mengatasi sejumlah masalah tersebut? Hasil penelitian membuktikan bahwa peningkatan partisipasi dalam olahraga hingga 25% dapat mengurangi biaya kesehatan sekitar $ 778 juta dolar atau sekitar 10,8 triliun rupiah. Selain itu juga menstimulasi produktivitas 1 - 3%, dari setiap 2 - 5$ dolar yang diinvestasikan (Maksum, 2005). Ada hubungan yang positip antara keterlibatan dalam olahraga dengan kondisi kesehatan seseorang (Halvari, et al. 2016; Maksum, 2005). Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan olahraga menunjukkan tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi dibanding mereka yang tidak terlibat. Ketika para remaja terlibat dalam olahraga kompetitif, ternyata mereka menunjukkan konsep diri yang lebih positip dibanding mereka yang tidak terlibat dalam olahraga kompetitif. Konsep diri yang positip tampak tidak hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga sosial; dan yang lebih mengesankan adalah pengaruhnya pada perkembangan intelektual. Olahraga juga mampu meningkatkan ketahanan terhadap stress. Hasil studi membuktikan bahwa remaja yang terlibat dalam aktivitas fisik lebih memiliki ketahanan dan mampu mengatasi stressor dari lingkungannya. Sebagaimana dimaklumi bahwa kehidupan remaja sangat rentan terhadap persoalan-persoalan psiko-sosial, seperti godaan terhadap penggunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pergaulan bebas, dan penyakit sosial lainnya.

(5)

4 Olahraga untuk Mendidik Anak Bangsa

Sebegitu strategisnya kontribusi olahraga dalam meningkatkan kehidupan bangsa yang berkualitas. Pertanyaannya, dari mana kita akan mulai melakukan perbaikan? Jawabnya adalah melalui pendidikan olahraga yang bermutu. Mengacu pada Permendikbud No. 54 tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan beberapa aturan turunannya, tujuan akhir dari olahraga pendidikan di sekolah adalah membangun karakter dan budaya hidup aktif dan sehat pada siswa. Pertanyaannya, bagaimana memastikan bahwa tujuan tersebut dapat tercapai. Saya pikir tidak mudah untuk dapat mengukur ketercapaian tujuan tersebut. Sepertinya para perumus kebijakan mudah merumuskan kalimat, bahkan panjang dan mendayu-ndayu, tetapi tidak pernah dipikirkan bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagai ilustrasi, saya ingin menyuplik bunyi SKL untuk SMA sederajat pada aspek sikap, yakni: “Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab…”. Bagaimana mengukur itu semua? Tidak mudah atau bahkan tidak bisa diukur karena indikatornya tidak jelas. Risikonya, if you can’t measure it, you can’t improve it.

Pernyataan tentang olahraga membentuk karakter sejatinya bukan hal yang baru, sudah terlalu banyak ungkapan tersebut disampaikan oleh para tokoh, politikus, dan guru. Sayangnya, hal tersebut hanya sebatas pernyataan yang miskin implementasi. Mengapa hal tersebut terjadi? Pelaksanaan pembelajaran olahraga di sekolah masih jauh dari standar mutu. Kita semua tahu dan percaya bahwa di dalam aktivitas olahraga terkandung nilai-nilai karakter yang mencerminkan keadaban publik seperti kejujuran, kesatria, kerja keras, dan disiplin. Masalah terbesarnya justru ada pada kompetensi guru, yakni bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam pembelajaran. Saya pernah melakukan penelitian yang bertujuan mengungkap kompetensi pedagogik guru dalam membelajarkan karakter (Maksum, 2012). Sampel penelitian sebanyak 52 guru pendidikan jasmani yang diambil secara proporsional-random sampling dari 937 sekolah yang ada di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keseluruhan SAP guru yang dianalisis, hanya 48% yang bermuatan karakter. Muatan karakter bisa ada dalam tujuan, proses, dan evaluasi. Setelah dilakukan pendalaman lebih jauh, ternyata hanya 4% yang bermuatan karakter mulai dari tujuan, proses, dan evaluasi secara runtut. Selain itu, pemahaman guru tentang pendidikan karakter relatif sempit, karakter dipahami lebih sebagai sopan santun. Hal lain yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah praktek pengajaran guru bersifat internalisasi-pasif, belum mengarah pada konstruktif-aktif. Mereka tidak sadar bahwa karakter tidak otomatis terbentuk pada peserta didik yang melakukan aktivitas olahraga, tetapi ia harus dikonstruksikan dalam nalar kognitif peserta didik (Maksum, 2005) dan diciptakan ekosistem yang memungkinkan karakter dapat terbentuk (Kemdikbud, 2017), termasuk keteladanan dari para guru.

Bagaimana dengan tingkat kebugaran siswa? Ini persoalan berikutnya. Padahal olahraga telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum di sekolah, bahkan program memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat sudah diluncurkan sejak tahun 1982, termasuk pada institusi pemerintah dan swasta. Dari data yang ada menunjukkan bahwa seiring perjalanan waktu, tingkat kebugaran siswa terus menurun. Pada tahun 1995, tingkat kebugaran siswa yang berkategori baik sebesar 16,9%, tahun 2005 menjadi 5,6%, dan pada tahun 2011 turun lagi menjadi 4%. Sementara untuk kebugaran jasmani berkategori kurang sekali, pada tahun 1995 sebesar 5,9%, pada tahun 2005 menjadi 10,71%, dan pada tahun 2011 naik secara signifikan menjadi 60%. Kondisi yang demikian tentu sangat memprihatinkan. Karena itu, diperlukan langkah-langkah strategis termasuk terobosan yang inovatif.

(6)

5 Tabel 3: Modifikasi waktu belajar dan pengaruhnya terhadap kebugaran,

konsep diri, dan prestasi akademik

Waktu belajar Kebugaran Konsep diri Prestasi akademik

3x/mg, @ 47’ sedang tinggi tinggi

2x/mg, @ 70’ sedang sedang sedang

1x/mg, 140’ + DPA 30’ tinggi sedang sedang

1x/mg, 140’ rendah rendah rendah

Pada tataran ini, saya ingin memberikan contoh menarik bagaimana program pendidikan jasmani yang diselenggarakan dengan sungguh-sungguh dapat memberikan dampak yang konstruktif bagi perkembangan peserta didik. Adi (2014) telah melakukan riset bertalian dengan disertasinya tentang pengaruh modifikasi belajar terhadap peningkatan kebugaran, konsep diri, dan prestasi akademik. Penelitian eksperimen yang dilakukan terhadap 144 siswa SD kelas V di Malang itu menunjukkan pengaruh yang signifikan, dengan nilai f sebesar 6.66 pada taraf signifikansi 0.05. Penelitian tersebut memberikan bukti empirik terhadap apa yang selama ini menjadi keluhan banyak pihak dari kalangan kita bahwa jam pelajaran pendidikan jasmani

1 16,9 44,1 32,1 5,9 0 5,6 37,75 46,08 10,51 0 5,6 37,6 45,9 10,71 0 4 13 23 60 0 10 20 30 40 50 60 70 baik sekali baik sedang kurang kurang sekali

Tabel 2: Perbandingan Tingkat Kebugaran Jasmani Pelajar dalam % (diolah dari berbagai sumber)

(7)

6 di kurangi, sarana prasarana yang terbatas, termasuk komitmen yang rendah dari pengambil kebijakan. Sebagaimana diketahui bahwa alokasi waktu pendidikan jasmani di sekolah dasar satu kali pertemuan per minggu dengan waktu 140’. Jika kebijakan tersebut dilaksanakan linier, maka hasilnya sudah dapat dibuktikan, tidak berdampak pada kebugaran siswa, konsep diri, dan prestasi akademiknya. Namun apabila kita kreatif memodifikasi waktu yang tersedia tersebut, misalnya menjadi 3x pertemuan per minggu @ 47’, 2x pertemuan per minggu @ 70’, atau sekali pertemuan per minggu + daily physical activity selama 30’, maka luaran pembelajarannya menjadi lebih baik. WHO merekomendasikan standar minimal waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas fisik, yakni 150 menit per minggu dengan intensitas moderat dan setiap latihan sekitar 30 menit. Dengan demikian, aktivitas fisik dapat dilakukan lima kali dalam seminggu @ 30 menit.

Apabila olahraga pendidikan di sekolah dapat diperbaiki, maka kita bisa berharap pembentukan karakter dan kebugaran siswa di masa yang akan datang. Implikasi berikutnya, kita mempunyai “bahan baku” yang cukup untuk pengembangan bakat dan pembinaan olahraga yang dimiliki oleh anak-anak bangsa melalui pelatihan olahraga performa tinggi. Sejatinya rakyat memimpikan para atlet Indonesia dapat menjuarai kompetisi olahraga di forum internasional, seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Hal ini penting sebagai upaya membangun kebanggaan─nasionalisme sekaligus harkat dan martabat bangsa di forum internasional.

Olahraga untuk Martabat Bangsa

Kita dapat melakukan telaah kritis dan refleksi atas Asian Games 2018 yang baru saja kita laksanakan di Jakarta dan Palembang, yang diikuti oleh 45 negara Asia. Keindonesiaan kita tumbuh dan nasionalisme kita sebagai suatu bangsa terungkit setelah kita berhasil meraih prestasi yang membanggakan, memperoleh 31 medali emas dan ada diperingkat 4 Asia. Capaian tersebut tentu luar biasa jika dibandingkan perolehan Indonesia pada Asian Games 2014 di Incheon Korea Selatan, yang hanya memperoleh 4 medali emas dan ada diperingkat 17. Meski yang bertanding hanya 938 atlet, tetapi gempita Asian Games dirasakan oleh 265 juta rakyat Indonesia. Secara ekonomi, pagelaran olahraga dapat mendatangkan wisatawan baik domestik maupun mancanegera dan menggerakkan investasi. Bappenas mencatat total biaya konstruksi untuk Asian Games 2018 sebesar 34,5 triliun (Kompas, 30 Agustus 2018). Pada penyelenggaraan Asian Games 1962, Presiden Soekarno kala itu membangun infrastruktur yang hingga kini menjadi ikon Indonesia, seperti Stadion Utama Senayan, Masjid Istiqlal, Bundaran Hotel Indonesia, Jembatan Semanggi, dan Monumen Nasional. Olahraga juga bisa menyatukan negara atau pihak-pihak yang berseberangan secara politik. Dalam upacara pembukaan Asian Games kemarin, kontingen Korea Utara dan Korea Selatan menyatu di bawah bendera unifikasi. Demikian juga event pencaksilat dapat mempertemukan Joko Widodo dan Prabowo Subiyanto, dua pihak yang selama ini berbeda pandangan dalam politik. Bahkan dari hasil Asian Games tersebut semakin meneguhkan tesis bahwa kemajuan suatu bangsa berbanding lurus dengan prestasi olahraga. Tiga besar peraih medali terbanyak adalah China, Jepang, dan Korea Selatan, yang merupakan raksasa ekonomi Asia.

Setelah pagelaran Asian Games 1962, rasanya baru kali ini kita menemukan spirit dan menikmati kembali kejayaan Indonesia di gelanggang Asia. Jika dipelajari rekam jejak dalam Asian Games 1962-2018, prestasi Indonesia mengalami pasang surut. Setelah kita berhasil menempatkan diri di peringkat 2, Asian games berikutnya tahun 1966 prestasi kita melorot ke urutan 7. Bahkan Asian Games pada 1986 di Korea Selatan, Indonesia hanya mendapatkan 1 medali emas. Puncak kemerosotan terjadi pada Asian Games 2006 di Qatar, prestasi Indonesia seakan terjun bebas ke peringkat 22. Tentu menjadi pertanyaan,

(8)

7 bagaimana sejatinya mutu olahraga prestasi di Indonesia? Mengapa ketika Indonesia menjadi penyelenggara, prestasinya meningkat tajam. Sebaliknya jika kita bertanding di negara lain, prestasi Indonesia turun sangat tajam.

Ciri utama suatu prestasi yang bermutu adalah konsistensi dan kontinuitas dari prestasi itu sendiri. Jika kita hanya sukses saat menjadi tuan rumah dan gagal saat di kandang lawan, tentu hal ini menimbulkan pertanyaan. Kesimpulan sederhana yang dapat dikemukakan, pembinaan olahraga prestasi Indonesia belum tersistem dengan baik. Di antara cabang olahraga yang ada, tampaknya hanya bulutangkis yang prestasinya relatif berkesinambungan. Lalu, bagaimana kita menjelaskan keberhasilan Indonesia pada Asian Games kali ini? Setidaknya ada tiga faktor yang dapat dijelaskan. Pertama, faktor tuan rumah yang terbukti membangkitkan antusiasme dan kebanggaan mulai dari para atlet, pelatih, dan supporter. Selain itu, sebagai penyelenggara, Indonesia memiliki hak mengajukan cabang olahraga tambahan untuk dipertandingkan, yang bisa jadi menguntungkan dalam perolehan medali. Faktanya, dari 31 medali emas yang diperoleh Indonesia, 20 di antaranya didapat dari cabang olahraga ajuan baru, yakni Pencaksilat, Panjat Tebing, Paralayang, dan Jetski. Argumentasi kedua, pengelolaan yang melibatkan seluruh kekuatan mulai dari Presiden dan wakil presiden hingga sejumlah besar Kementerian. Sejumlah besar sumberdaya dikerahkan dan dikendalian langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden, bahkan yang fantastik bonus peraih medali bagi atlet dan pelatih total sebesar 210 milyar diberikan langsung oleh Presiden sebelum mereka kembali ke daerahnya masing-masing. Alasan ketiga, terjadinya efisiensi birokrasi yang memangkas rantai pengelolaan dengan keluarnya Perpres 95 tahun 2017. Dengan adanya aturan tersebut, Dewan Nasional Program Indonesia Emas dan Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlakprima) yang selama ini mengelola pembinaan olahraga performa tinggi dibubarkan dan tangung jawabnya langsung diserahkan pada induk cabang olahraga.

11 5 2 3 8 4 1 3 3 6 4 2 4 4 31 2 7 9 9 7 6 9 7 11 11 14 22 15 17 4 0 5 10 15 20 25 30 35 1 9 6 2 1 9 6 6 1 9 7 0 1 9 7 4 1 9 7 8 1 9 8 2 1 9 8 6 1 9 9 0 1 9 9 4 1 9 9 8 2 0 0 2 2 0 0 6 2 0 1 0 2 0 1 4 2 0 1 8

Ta b e l 4 : P r e s t a s i In d o n e s i a d a l a m A s i a n G a m e s , 1 9 6 2 - 2 0 1 8

emas rank

(9)

8 Tentu, kita tidak ingin keberhasilan Indonesia semata karena menjadi tuan rumah. Setelah itu business as usual. Kinerja kita kembali kepada pola yang rutin, tidak tersistem dengan baik, mutu terabaikan, dan keberlanjutan menjadi masalah yang serius. Jangan sampai pengalaman SEA Games juga terjadi di Asian Games. Sebagaimana yang kita ketahui, pada SEA Games 2011 Indonesia menjadi tuan rumah dan terbukti berhasil menjadi juara umum. Namun setelah itu, posisi Indonesia kembali terpuruk dan pada SEA Games 2017 Malaysia, prestasi kita seolah terjun bebas berada di posisi kelima.

Terakhir, saya ingin memberikan catatan terkait dengan euphoria kemenangan dan selebrasi yang berlebihan. Pemberian hadiah dan penyambutan yang berlebihan dapat membuai atlet terlena dan pada akhirnya bersifat kontraproduktif. Kita bisa berkaca dari kasus Icuk Sugiarto ketika menjadi juara dunia bulutangkis 8 Mei 1983. Kala itu, Icuk masih berusia 20 tahun, berhasil mengalahkan Liem Swie King dalam final kejuaraan dunia di Kopenhagen Denmark. Keberhasilan Icuk menjadi juara dunia memunculkan kegembiraan yang luar biasa, ditengah persaingan dan dominasi China. Setiba di bandara Halim Perdanakusuma, ia diarak keliling kota sebelum menuju istana wakil presiden. Hadiah pun mengalir mulai dari uang, tanah, dan rumah. Berhari-hari Icuk disibukkan oleh seremonial penyambutan dan euphoria kemenangan. Akhirnya, setelah ia harus kembali berlatih, kondisi stamina dan teknik sudah tampak menurun. Hasilnya, ia dikalahkan pebulu tangkis Singapura Wong Shoon Keat pada laga beregu putra SEA Games Singapura, 30 Mei 1983. Laga berikutnya, Icuk juga dikalahkan oleh Razif Sidek, pebulu tangkis Malaysia. Icuk tampak kedodoran secara fisik dan bermain seadanya, sehingga Sidek dapat mengalahkan dua set langsung, 10-15 dan 7-15. Hal yang sama terjadi pada Jonatan Christie, pemain yang baru saja mendapatkan medali emas dalam Asian Games di Jakarta, begitu mengikuti kejuaraan Jepang Terbuka pada 11 September 2018, langsung kalah pada babak pertama dua set langsung dari pemain India, Prannoy Haseena Sunil.

Sebagai catatan akhir, saya ingin mengingatkan kembali bahwa olahraga merupakan instrumen yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa, dan itu sudah diyakini oleh PBB melalui komitmen internasional dan implementasinya. Karena itu saya berani mengatakan bahwa membangun olahraga pada hakikatnya adalah membangun bangsa. Namun harus segera diberikan catatan bahwa itu semua akan terjadi jika olahraga dikelola secara tersistem, profesional, dan menjadi komitmen kolektif. Dengan demikian, olahraga bermutu untuk semua akan menjadi suatu kenyataan. Semoga, ini menjadi pembelajaran baik bagi kita semua.

(10)

9 Referensi

Adi, S. (2014). Pengaruh modifikasi belajar terhadap peningkatan kebugaran, konsep diri, dan prestasi akademik. Disertasi, tidak dipublikasikan. Surabaya: PPs Unesa Surabaya.

Bisnis.com (2015, 27 Februari). Menkes: 65% penduduk sakit, klaim BPJS membengkak.

Detikfinance.com (2017, 27 Nopember). Atasi defisit Rp 9 T, BPJS kesehatan ajukan skema cost sharing 8 penyakit.

Halvari, H. et.al. (2016). Physical activity and motivational predictors of changes in health behaviour and health among DM2 and CAD patients. Scandinavian Journal of Medicine and Science in Sports, Vol. 27, Isuee 11.

Kemenkes (2013). Riset kesehatan dasar. Jakarta: Balitbang Kesehatan

Kemdikbud (2017). Konsep dan pedoman penguatan pendidikan karakter tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Jakarta: Pusat Analisis dan Sinkronisasi Kebijakan.

Kemenkumham (2017). Peraturan Presiden No. 95 tahun 2017 tentang peningkatan prestasi olahraga nasional. Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Kompas (2018, 30 Agustus). Momen kebangkitan prestasi. Jakarta: Kompas Gramedia

Maksum, A. (2017). Riset karakter dalam pendidikan jasmani. Makalah disampaikan dalam seminar nasional tentang implementasi nilai-nilai luhur olahraga dalam pembentukan karakter melalui Pendidikan jasmani, pada Rabu, 29 Nopember 2017 di Universitas Singaperbangsa Karawang. Maksum, A. (2012). Pembelajaran karakter melalui pendidikan jasmani: Masihkah kita bisa berharap?

Jurnal Pendidikan Jasmani dan Olahraga, vol 7, no. 1. Bandung: FPOK UPI.

Maksum, A., dkk. (2005). Dampak olahraga terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat ditinjau dari aspek kesehatan, psikologis, dan sosial. Laporan Penelitian. Jakarta: Kemenpora

WHO (2018). Time to deliver: Report of the WHO independent high-level commission on noncommunicable diseases. Geneva: WHO Press.

WHO (2017). Noncommunicable diseases: Progress monitor 2017. Geneva: WHO Press. WHO (2014). Noncommunicable diseases: Country profiles 2014. Geneva: WHO Press.

UN Inter-Agency (2003). Sport as a tool for development and peace: Towards achieving the United Nations Millenium Development Goals. Genewa: Tas Force on Sport for Development and Prace.

UN – OSDP (2015). Sport and the sustainable development goals: An overview outlining the contribution of sport to the SDGs. Genewa: Office on Sport for Development and Peace.

View publication stats View publication stats

Gambar

Tabel 1: Persentase Kematian di Indonesia (WHO, 2014)
Tabel 2: Perbandingan Tingkat Kebugaran Jasmani Pelajar dalam % (diolah dari berbagai sumber)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam program Pendidikan Kelas Khusus Bakat Istimewa Olahraga peserta didik tidak semata-mata memperoleh percepatan waktu penyelesaian studi di sekolah, tetapi

Peserta olahraga rekreasi di Tsot Outbond dalam mengikuti aktivitas karena banyak menggunakan macam - macam media untuk melakukan kegiatan dengan jawaban yang

Kegiatan penyuluhan kesehatan olahraga pada Kader posyandu Lansia bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan kepada peserta terkait aktivitas fisik yang harus

Setiap peserta didik telah memiliki struktur kognitif yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Sebelum peserta didik mempelajari

Setiap peserta didik telah memiliki struktur kognitif yang terbentuk berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Sebelum peserta didik mempelajari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) membentuk dan memberikan pembelajaran mengenai karakter tanggung jawab dan disiplin; (2) memberikan reward kepada peserta didik; (3)

Materi mata pelajaran Pendidikan jasmani pasa peserta didik yang meliputi: pengalaman mempraktikkan keterampilan dasar permainan dan olahraga; aktivitas pengembangan;

Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran diharapkan peserta didik mampu : Kognitif 3.5.1 Menjelaskan konsep bentuk aktivitas kebugaran jasmani melalui Latihan