• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I Pendahuluan. A. Latar Belakang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang

Globalisasi menyebabkan negara saling terintegrasi yang dimana dapat dilihat banyak sekali terbentuknya Free Trade Agreement (FTA) yang merupakan hasil dari diplomasi antar negara untuk memenuhi unsur saling membutuhkan satu sama lainnya. Banyak negara berkembang melakukan diplomasi dengan negara maju untuk bagaimana memenuhi kebutuhan domestiknya. Pada saat ini adanya kerjasama perdagangan bilateral antara Indonesia dan Jepang dalam Indonesia

Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yang mulai di implementasikan

pada tahun 2008. Menurut kedua negara ini, IJEPA memang diperlukan diantara keduanya dan hal ini merupakan kebijakan perdagangan bebas bilateral yang diambil Indonesia dalam memenuhi kepentingan nasional bidang ekonomi khususnya perluasan akses pasar produk ekspor dipasar Jepang.1

IJEPA ini dapat menjadi alat Indonesia dalam membangun sektor perekonomiannya karena adanya penurunan tarif bagi kedua negara sehingga hal tersebut mampu membuat Indonesia lebih mudah untuk masuk dan menguasai pasar Jepang. Dalam pelaksanaan kerjasama IJEPA tidak menunjukkan dampak yang baik bagi barang ekspor Indonesia ke Jepang, seperti pertumbuhan ekspor Indonesia semakin tahun mengalami tren penurunan dan terjadinya defisit didalam neraca perdagangan non migas Indonesia.

Sektor pertanian dijadikan sektor prioritas dalam kerjasama ini selain di sektor otomotif karena melihat dari permintaan dan kemudahan yang diberikan oleh Jepang. Hal ini menjadi sebuah kesempatan bagi Indonesia untuk

1 T,Gayatri. 2008. “Analisa Kepentingan Ekonomi dan Politik Indonesia dan Jepang

dalam Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) Tahun 2007”. FISIP Universitas Indonesia.

(2)

2

membangun kembali arus perdagangan Indonesia ke Jepang dalam sektor pertanian, tetapi dalam perjalanan kerjasama tersebut juga terdapat hambatan-hambatan non tarif yang diberikan oleh Jepang untuk produk-produk dari Indonesia khususnya produk pertanian yang dimana sebelum disepakatinya IJEPA, Jepang sangat membuka pintu yang sebesar-besarnya untuk produk produk hortikultura Indonesia.

Penurunan volume ekspor, defisit pada neraca perdagangan di sektor non migas dan adanya hambatan bagi produk pertanian Indonesia yang masuk ke Jepang tersebut menandakan bahwa dengan disepakatinya IJEPA sendiri tidak menjadikan Indonesia menjadi mudah dan bebas dalam mengakses pasar Jepang. Ketidaktahuan Indonesia terkait hambatan non tarif yang diberikan oleh Jepang juga menjadi pukulan keras bagi Indonesia yang dimana Jepang tidak memberikan notifikasi terlebih dahulu terkait aturan-aturan yang berlaku di Jepang untuk kerangka IJEPA. Melalui beberapa Kementerian terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian merasakan bahwa IJEPA tidak memberikan banyak kemajuan bagi sektor perdagangan dan ekonomi Indonesia sehingga hal tersebut yang menjadi salah satu alasan Indonesia mengajukan permintaan kepada Jepang untuk segera diadakannya General Review IJEPA, agar apa yang menjadi kepentingan Indonesia khusunya sektor pertanian dapat diberikan kejelasan dan berjalan sesuai dengan kesepakatan untuk saling memberikan kemudahan dalam melakukan kerjasama IJEPA.

General Review yang di inginkan Indonesia untuk segera dilaksanakan tidak hanya berdasarkan dari kerugian yang didapatkan Indonesia tetapi hal tersebut juga berdasarkan dari isi perjanjian IJEPA itu sendiri yang dimana General Review dapat dilaksanakan setelah lima tahun implementasi perjanjian tersebut. Indonesia dan Jepang sedang melaksanakan proses General Review, sampai saat ini hal tersebut telah memakan waktu yang cukup panjang dan belum sampai pada kesepakatan terhadap kepentingan masing-masing negara, dengan kata lain bahwa terdapat kepentingan yang masih belum bisa diterima oleh negara mitra sehingga menyebabkan proses General Review tersebut mengalami deadlock.

(3)

3

B. Problematika

Melihat dari latar belakang yang sudah dijelaskan, penulis menarik dua problematika yaitu:

a) Bagaimana dinamika proses General Review Indonesia Japan

Economic Partnership Agreement (IJEPA)?

b) Mengapa proses General Review Indonesia Japan Economic

Partnership Agreement (IJEPA) mengalami deadlock? C. Tinjauan Literatur

Implementasi Free Trade Agreement (FTA) membuka peluang bagi masing-masing negara yang ikut dalam perjanjian tersebut untuk melakukan spesialisasi produk komoditas unggulan. FTA sendiri yaitu sebuah perjanjian antara dua negara atau lebih dengan menyepakati adanya penghapusan hambatan tarif maupun non tarif agar dapat meningkatkan arus perdagangan antar negara.2 Namun, dalam perjalanannya yang terjadi adalah dengan semakin terbukanya sistem perekonomian antar negara belum tentu menjanjikan keuntungan bagi semua negara yang terlibat dalam FTA. Melihat bahwa FTA tidak selalu menguntungkan antar pihak, maka negara yang melakukan kerjasama biasanya menyepakati akan diadakannya review ulang perjanjian yaitu membahas, mendiskusikan apa yang mereka dapatkan ketika perjanjian tersebut di implementasikan, apakah sesuai dengan kesepakatan dan memberikan keuntungan atau bahkan sebaliknya justru mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan utama dari kesepakatan tersebut. Setelah mendiskusikan apa yang menjadi dampak negatif yang dihadapi, kemudian dapat dilanjutkan untuk merenegosiasi perjanjian tersebut sesuai dengan apa yang menjadi kepentingan

2 Spring Singapore, “Free Trade Agreements (Trade in Goods) Guide for SMEs”,

(daring), 2005,

<http://www.spring.gov.sg/Resources/Documents/Guidebook_FTA_Guide_Goods.pdf,>, diakses 28 Juni 2016.

(4)

4

masing-masing negara yang tentunya harus menghasilkan sebuah kesepakatan baru untuk mendapatkan hasil yang sama-sama menguntungkan dalam implementasi kerjasama ini.

Review ulang atau renegosiasi perjanjian biasanya sudah dijadwalkan ketika kesepakatan kerjasama tersebut dibuat, seperti kerjasama yang dijalankan oleh Indonesia dan Jepang yang dimana review ulang akan diadakan setelah lima tahun setelah implementasi kerjasama tersebut dan dilaksanakan untuk menyesuaikkan kerjasama tersebut dengan isi perjanjian. Review ulang juga terkadang diusulkan oleh salah satu pihak yang paling merasakan dampak negatif yang didapatkan ketika kerjasama tersebut di implementasikan, dan harus di sepakati oleh negara lainnya terlebih dahulu sebelum dilaksanakan.

Untuk melakukan proses renegosiasi bukanlah sesuatu yang sangat mudah, cukup sulit untuk menyepakati apakah dapat dilakukan atau tidak, semuanya tergantung dari masing-masing negara. Setiap negara pasti memiliki respon tersendiri untuk menanggapi terkait renegosiasi FTA seperti terdapat pro dan kontra didalamnya apakah hal ini penting dan mampu membuat perubahan besar bagi negaranya. Dalam tulisan Elisabeth Kartikasari yang berjudul Respon Indonesia terhadap ACFTA: Pro Kontra Wacana Renegosiasi ini membahas mengenai perdebatan beberapa aktor kepentingan Indonesia dalam merespon wacana pelaksanaan renegosiasi ACFTA. Dalam tulisannya Elisabeth menggunakan pendekatan neoliberalisme dan keynesianisme dalam menganilisis perdebatan di sektor domestik.3 Hadirnya wacana renegosiasi ACFTA ini disebabkan dampak negatif yang dirasakan oleh Indonesia, seperti KADIN dan Komisi VI DPR RI yang turut mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang perjanjian tersebut khusunya terhadap 12 sektor industri Indonesia karena dalam ACFTA tersebut Indonesia hanya menjadi pasar bagi negara lain. Sehingga disini berdasarkan pandangan keynesian bahwa peran negara sangat dibutuhkan sebagai stabilitator. Hal ini pun memiliki pandangan yang berbeda bagi pemerintah, ACFTA menjadi ajang untuk membuka peluang dalam meningkatkan ekspor dan

3 K, Elisabeth. 2011.“Respon Indonesia terhadap ACFTA: Pro Kontra Wacana

(5)

5

investasi Indonesia, sehingga menurut pemerintah bahwa renegosiasi ACFTA tidak perlu dilakukan. Menurut Menteri Perdagangan yang mendukung implementasi ACFTA menjelaskan bahwa China menjadi salah satu pasar terbesar di wilayah Asia dan ekspor Indonesia ke China mengalami peningkatan seperti pada tahun 2009 sektor non migas Indonesia ke China mencapai 9,1 persen. Dalam tulisanya, Elisabeth melihat perdebatan ini kedalam beberapa sektor, yaitu dalam sektor ekonomi terdapat lima aspek yang memicu perdebatan tersebut yaitu aspek daya saing, aspek volume neraca perdagangan, dan aspek modifikasi tarif. Kemudian bidang politik yaitu aspek posisi strategis Indonesia, aspek keterwakilan pembuat kebijakan, dan aspek legalitas. Dan bidang Sosial terdiri dari aspek Sosialisasi ACFTA, Ketenagakerjaan dan Perlindungan Konsumen. Menurut Elisabeth, aktor yang pro maupun kontra renegosiasi sebenarnya setuju akan adanya perdagangan bebas. Namun perbedaannya terdiri dari tiga bagian yakni perbedaan pandangan dalam melihat peran negara, perbedaan kepentingan ekonomi politik dari masing-masing aktor dan perbedaan orientasi politik dalam menyikapi kesepakatan ACFTA.

Negosiasi pada dasarnya adalah proses dimana dua pihak yang saling tergantung membahas dan menetapkan sebuah kesepakatan berdasarkan kepentingan yang berbeda.4 Kesepakatan akan dengan cepat didapatkan ketika semua pihak merasa apa yang menjadi kepentingan mereka dapat tersalurkan, menjadi berbeda ketika terdapat salah satu pihak menganggap bahwa kepentingannya sama sekali tidak disentuh atau dibahas dalam negosiasi tersebut, sehingga hal ini menyebabkan proses negosiasi terhambat atau deadlock. Dalam sebuah tulisan A Study on the Causes of Deadlock of Korea-Japan FTA: Research

on the Overall Assessment (Economic & Political) of KJFTA yang ditulis oleh

Ahram Han tentang negosiasi antara Korea Selatan dan Jepang dalam KJFTA

4C,Jason A, J, Lepire. 2011. “Organizational Behaviour; Improving Performance and Commitment in The Workplace”. New York: McGraw Hill.

(6)

6

yang berlangsung sangat lama sejak 2003 belum mendapatkan titik temu.5 Han mengkaji lebih dalam apa yang menjadi penyebab negosiasi yang berjalan lambat bahkan mengalai kebuntuan. Kebuntuan dalam sebuah negosiasi dalam kerjasama internasional bisa disebabkan oleh faktor domestik dan faktor internasional. Dalam tulisannya Han lebih memfokuskan diri kepada sisi domestik yaitu kondisi lingkungan politik dalam negeri yang mampu menghambat proses negosiasi KJFTA. Tidak hanya KJFTA, sebagian besar FTA pada dasarnya dikendalikan oleh situasi ekonomi dan politik di lingkungan domestik dan internasional, tetapi menurut Han bahwa pencapaian sebuah FTA bukan dikendalikan oleh faktor ekonomi melainkan politik dalam negeri yang berasal dari reaksi keras terhadap liberalisasi pasar.

Sektor pertanian dan perikanan menjadi sektor yang paling sulit untuk dinegosiasikan dalam KJFTA, karena Jepang memiliki ketakutan sendiri dengan meliberalisasi sektor pertanian karena Korea Selatan merupakan negara yang memiliki keunggulan komparatif di sektor pertanian walaupun masih cukup rendah. Sektor pertanian menjadi isu yang sangat sensitif bagi kedua negara, sehingga pada putaran pertama Jepang menyatakan keinginan bahwa sektor pertanian tidak dimasukkan kedalam FTA. Volume ekspor pertanian Korea Selatan ke Jepang lebih tinggi daripada volume impor dari Jepang sehingga ini menjelaskan bahwa sektor pertanian Korea Selatan lebih kompetitif dibandingkan Jepang sehingga petani di Jepang terus menentang kerjasama KJFTA ini karena takut kehilangan pasar domestik.

Beberapa pihak menentang adanya liberalisasi sektor pertanian dalam KJFTA ini seperti petani, konsumen bahkan politisi, hal ini membuat Jepang memiliki kesulitan dalam mengatur lingkungan domestiknya sehingga menyebabkan terhambatnya pembahasan terkait kemajuan KJFTA. Menurut Han, kondisi politik domestik dan kepentingan politisi seharusnya dapat diredam, kemudian peran pemimpin kedua negara sangat dibutuhkan untuk turun langsung

5H, Ahram. 2015. “A Study on the Causes of Deadlock of Korea-Japan FTA: Research on the Overall Assessment (Economic & Political) of KJFTA”. Graduate School of Public Policy

(7)

7

dengan memberikan pemahaman mengenai kerjasama yang akan disepakati, karena dengan kerjasama ini dapat meningkatkan hubungan bilateral.

Dalam proses negosiasi sebuah kerjasama tidak luput dari adanya pengaruh atau tekanan yang diberikan dari negara lain. Sehingga demi mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya sebuah negara yang besar mampu memberikan tekanan kepada negara yang memiliki gaya negosiasi yang lemah. Seperti pada tulisan Lee Hae-young yang berjudul Renegotiating the KOREA-US

FTA. American Hegemony and the "Dismantling" of the Office of the Minister for Trade menjelaskan mengenai dinamika renegosiasi antara Korea Selatan dan

Amerika Serikat dalam KORUS FTA yang berakhir dengan kesepakatan antar kedua negara yang sebelumnya juga mengalami deadlock karena adanya hambatan di tataran legislatif kedua negara.6 Menurut Hae-young hal ini merupakan sesuatu hal yang terburu-buru dihasilkan karena adanya tuntutan Amerika Serikat untuk merenegosiasikan traktat 2007 yang disampaikan oleh Barack Obama saat kunjungannya ke Seoul untuk KTT G20. Terdapat kesulitan untuk memutuskan pada saat itu karena adanya masing-masing kepentingan negara. Dalam renegosiasi ini lebih memfokuskan diri kepada sektor otomotif dan daging sapi. Terdapat permintaan Amerika serikat mengenai ketentuan baru tentang emisi jarak tempuh dan gas rumah kaca yang melibatkan standar lingkungan dan keselamatan yang ada bagi mobil Amerika Serikat yang akan di impor ke Korea Selatan dan meminta agar diberikan kemudahan untuk melakukan sertifikasi secara mandiri di negara asal sehingga tidak perlu masuk ke proses pengujian di Korea Selatan terlebih dahulu. Selain itu Amerika Serikat juga menuntut adanya konsesi tarif yaitu adanya penundaan penghapusan tarif 2,5 persen bagi mobil Korea Selatan yang akan masuk ke Amerika Serikat, untuk hal ini Amerika Serikat meminta waktu penundaan 10 tahun.

6

L, Hae-young. 2010. “Renegotiating the KOREA-US FTA. American Hegemony and the

"Dismantling" of the Office of the Minister for Trade”. The Asia-Pacific Journal Vol 8 Issue 50 No

(8)

8

Amerika Serikat juga meminta adanya most favoured nations7 yang ada

pada kerjasama perdagangan antara Korea Selatan dan Uni Eropa, yaitu dengan mengusulkan perubahan aturan rules of origin yang dimana untuk meningkatkan persentase bagian dalam negeri yang ada dalam mobil buatan Amerika Serikat yang di ekspor sehingga mobil buatan Korea Selatan menjadi menurun karena rasio perbandingan spare parts luar negeri yang diturunkan, hal tersebut mampu melemahkan persaingan harga di pasar Amerika Serikat sehingga membuat produsen otomotif Korea Selatan mengalami kerugian. Jika tuntutan Amerika Serikat ini dipenuhi maka banyak poin-poin perjanjian yang harus dirubah.

Tidak hanya pada sektor otomotif, Amerika Serikat ternyata menuntut mengenai daging sapi, yang dimana membuat renegosiasi berlangsung alot karena menurut Amerika Serikat hal ini merupakan isu yang berbeda dan tidak masuk kedalam kerangka KORUS FTA sehingga harus dirundingkan, tetapi menurut Korea Selatan telah terjadi negosiasi daging sapi dari awal perjanjian kerjasama ini dibuat yang dimana Amerika Serikat menuntut adanya pemenuhan mengenai persyaratan lengkap yang sudah dibahas dalam diskusi bilateral daging sapi pada tahun 2008, pertemuan tersebut menghasilkan bahwa Korea Selatan mengizinkan impor daging sapi yang berusia 30 bulan atau lebih. Dapat dilihat pada saat perundingan tersebut Korea Selatan memiliki aturan untuk pembatasan impor daging sapi ternak dibawah 30 bulan karena terdapat protes keras bahwa perjanjian tersebut akan membuka pintu bagi impor sapi yang memiliki penyakit sapi gila. Adanya kebuntuan dari proses negosiasi tersebut, menyebabkan Barack Obama mengeluarkan instruksi kepada pemerintah dari kedua negara selama KTT Korea Selatan dan Amerika Serikat untuk segera menyelesaikan masalah tersebut dalam beberapa minggu kedepan. Menurut Hae-young terdapat tekanan dari Amerika Serikat yang dialami pemerintah Korea Selatan khusunya Kementerian Perdagangan dalam renegosiasi KORUS FTA yang dimana hal tersebut mampu merubah secara keseluruhan kesepakatan sebelumnya, yaitu pada awalnya untuk

7 Most favoured nation (MFN) adalah sebuah prinsip yang berdasarkan pada perjanjian

WTO yang dimana sebua negara tidak dapat melakukan diskriminasi tarif terhadap mitra dagang mereka didalam sebuah keanggotaab WTO. Lebih lanjut dapat dilihat di wto.org

(9)

9

tidak melakukan perubahan satu kata pun dalam perjanjian tersebut, tetapi akhirnya membuat Kementerian Perdagangan melakukan hal tersebut tanpa sepengetahuan pemerintah pusat. Hegemoni Amerika Serikat sangat kuat dirasakan oleh Korea Selatan dalam proses renegosiasi perjanjian tersebut sehingga membuat Korea Selatan tidak mampu untuk berdiri tegak pada pendirian awal yang sudah diucapkan untuk tidak melakukan renegosiasi perjanjian dan segera untuk menyepakati proses renegosiasi tersebut.

The Policy Making Process in FTA Negotiations: A Case Study of Japanese Bilateral EPAs oleh Shigeki Higashi dalam tulisannya menganalisis

mengenai beberapa proses negosiasi kerjasama bilateral Jepang (EPA), tulisan ini lebih memfokuskan diri pada sektor apa saja yang menurut negara anggap penting, melihat dari siapa aktor yang bermain dan memiliki peran penting dalam setiap rangkaian negosiasi.8 Gaya negosiasi dan strategi yang digunakan setiap negara memiliki perbedaan, seperti negosiasi antara Jepang dan Meksiko. Meksiko memiliki pengalaman bernegosiasi dengan North America Free Trade

Agreement (NAFTA) dan negara-negara Uni Eropa sehingga Meksiko memiliki

gaya negosiasi tersendiri yaitu para delegasi harus memiliki kedekatan tersendiri dengan pemerintah satu sama lain. Ketika Jepang melakukan negosiasi dengan Meksiko, Meksiko memiliki perspektif bahwa ekspor pertanian ke Jepang akan sangat memiliki manfaat bagi Meksiko, sehingga hal tersebut membuat Meksiko cukup keras menentang Jepang hanya ingin membuka sedikit pasar bagi sektor pertanian untuk Meksiko. Melihat dari proses negosiasi dengan Meksiko yang cukup alot di sektor pertanian, Kementerian Pertanian Jepang membuat strategi “Green Asia- EPA Promotion Strategy”9

yaitu strategi untuk menyeimbangkan

8

S,Higashi. 2008. “The Policy Making Process in FTA Negotiations: A Case Study of

Japanese Bilateral EPAs. IDE Discussion Paper No. 138

9The Green Asia-EPA Promotion Strategy focused on six points. These are: 1) the stabilization/ multipolarization of food imports 2) ensuring the importation of safe / secure food 3) the export promotion of Japanese brands of agricultural, forestry, and marine products and food 4) the development of the national food industry’s business environment 5) the resolution, through EPAs, of problems like poverty in rural areas 6) conservation, through EPAs, of the global environment and sustainable use of resources.

(10)

10

kerjasama dan liberalisasi pasar dalam setiap negosiasi EPA dengan negara-negara Asia. Sehingga membuat proses negosiasi dengan Thailand sangat mudah dan cepat dalam merumuskan kesepakatan dalam sektor pertanian yang ternyata pada saat itu flu burung menjadi masalah serius di Thailand, tetapi berbanding terbalik dengan sikap Thailand yang sangat kuat melindungi sektor industri motifnya sehingga membuat Jepang tidak bisa mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya dalam sektor industri yaitu meminta penghapusan tarif pada mobil dan produk baja seperti penghapusan tarif untuk mobil diatas 3000 cc, mengurangi tarif untu mobil dibawah 3000 cc, pemotongan tarif lansgung untuk suku cadang mobil dan meminta agar tarif untuk suku cadang sensitif di turunkan secara bertahap.

Respon Thailand terkait permintaan Jepang yaitu dengan mengusulkan renegosiasi tarif untuk mobil diatas 3000cc pada tiga tahun mendatang, melakukan pengecualian terhadap tarif mobil dibawah 3000cc dan akan melakukan penghapusan tarif untuk suku cadang dalam waktu 15 tahun. Karena terlalu banyaknya tuntutan Jepang kepada Thailand di sektor industri otomotif ini, Jepang memiliki strategi agar permintaan Jepang dapat dipenuhi maka Jepang menawarkan program untuk memberikan perlatihan di sektor otomotif sehingga hal tersebut dapat mendukung rencana industri otomotif Thailand sebagai “Detroit

of Asia”. Thailand tetap bersikeras untuk menjaga tarif yang saat ini ditetapkan

karena terdapat tekanan dari beberapa perusahaan otomotif Thailand yaitu meminta bahwa sektor otomotif tidak dimasukkan dalam negosiasi FTA karena hal tersbut mampu merusak industri otomotif di Thailand. Thailand menolak permintaan Jepang secara sepihak dan melanggar apa yang menjadi konsesi yang sudah dibuat diawal ketika Thailand membahas masalah sektor pertanian, yang diman jika Jepang membuka pasar bagi sektor pertanian Thailand, Thailand juga harus membuka pasar bagi sektor industri otomotif. Menurut Higashi, dalam beberapa proses negosiasi EPA yang dilakukan Jepang dapat diihat bahwa kesuksesan sebuah negosiasi tersebut tergantung kepada negosiasi di negara itu sendiri, apakah pemimpin seperti menteri atau birokrat memiliki kekuatan untuk

(11)

11

mengambil inisiatif dan memegang kendali dalam proses negosiasi, dan mampu mengendalikan tekanan-tekanan yang muncul dalam lingkup domestiknya.

Dari beberapa penelitian diatas yang mengkaji beberapa proses negosiasi antar negara, dari awal wacana renegosiasi yang mendapat hambatan hingga apa yang menjadi hambatan bagi negara untuk merumuskan suatu kesepakatan dengan waktu yang singkat. Kajian mengenai renegosiasi kerjasama perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia masih sangat sedikit, sehingga dalam penelitian ini penulis ingin mengkaji lebih dalam bagaimana proses renegosiasi IJEPA, apa saja isu yang diangkat dalam renegosiasi tersebut dan mengetahui lebih lanjut mengapa renegosiasi IJEPA mengalami deadlock.

D. Kerangka Konseptual

Konsep Two Level Game yang diperkenalkan oleh Robert D. Putnam dalam tulisannya yang berjudul Diplomacy and Domestic Politics: the Logic of

Two-Level Games menjelaskan bahwa didalam sebuah negosiasi internasional

terdapat keterkaitan antara politik domestik dan politik internasional yang dimana kedua hal tersebut memiliki pengaruh satu sama lain. Terdapat proses negosiasi yang dilakukan terlebih dahulu sebelum mencapai sebuah keputusan dalam tingkat negosiasi yang lebih tinggi. Dalam proses negosiasi internasional, kedua faktor tersebut yaitu level politik domestik dan level politik internasional sangat mempengaruhi hasil akhir negosiasi internasional antar negara. 10

Dalam level politik domestik yaitu level II, kelompok dalam negeri mengejar kepentingannya untuk menekan pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang mendukung. Kelompok dalam negeri yang dimaksud disini adalah para konstituen seperti Kementerian, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), partai politik dan beberapa kelompok kepentingan seperti kelompok bisnis atau kelompok petani dan yang menjadi negosiator atau pengambil kebijakan dalam level internasional merupakan perwakilan dari konstituen. Dalam level politik internasional yaitu level I, pemerintah nasional berusaha untuk memaksimalkan

10

R, Putnam. 1998. “Diplomacy and Domestic Politics:The Logic of Two Level Game”. International Organization.

(12)

12

kemampuannya untuk memuaskan tekanan dalam negeri dengan meminimalisir dampak perkembangan buruk yang akan terjadi kemudian.11 Dalam negosiasi IJEPA khusunya di sektor pertanian, negosiasi di level II konstituen dari Indonesia datang dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian dan kelompok pengusaha pertanian. Konstituen dari Jepang adalah Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri, Kementerian Pertanian, Liberal Democratic Party (LDP), Nokyo dan JA-Zenchu (kelompok kepentingan sektor pertanian), Norin Zoku (klan birokrat yang pro-pertanian), Keindaren (kelompok bisnis).12

Dalam tulisan Putnam tersebut juga menjelaskan betapa pentingnya win-sets dalam konsep ini, karena menurut putnam win-win-sets menjadi penghubung antara proses negosiasi level I dan II yang dimana win-sets merupakan gabungan dari beberapa opsi yang disetujui oleh konstituen dalam level domestik dan kemudian menjadi panduan negosiator di level internasional sehingga besar kecilnya jangkauan win-sets sangat berpengaruh bagi kedua level tersebut.13 Semakin besar dan kuatnya kesepakatan yang dicapai dalam level domestik maka akan semakin besar pula kesepakatan level internasional tersebut dapat tercapai dan jika semakin kecil dan rumitnya kesepakatan dalam level domestik tersebut mecapai sebuah kesepakatan maka akan membuat posisi tawar negara menjadi lemah di level internasional.14

Menurut Putnam terdapat tiga faktor penting yang mempengaruhi besar kecilnya sebuah win-sets, yaitu:15

a. Distribusi kekuasaan, preferensi dan koalisi dalam level II

11

Putnam pp. 434.

12 A,G, Mulgan. 2003. “The Politics of Agriculture in Japan”. Routledge. London. 13 Putnam ,p. 437

14M. Alex, K.D eRouen Jr. 2010. “Understanding Foreign Policy Decision Making”.New

York: Cambridge University Press.

15

(13)

13

Negara yang bersifat isolasionis cenderung akan mendapati kesulitan dalam proses negosiasi di level II karena negara mampu memenuhi kebutuhan negara tersebut tanpa mengandalkan negara lain, dan berbeda dengan negara yang bersifat internasionalis yang akan lebih mudah mencapai kesepakatan dalam proses negosiasi di level II karena negara sangat membutuhkan negara lain dengan melakukan berbagai kerjasama. Dalam proses negosiasi di level II tentu melakukan perhitungan untung rugi (cost of no agreement) terkait apa saja pilihan kebijakan alternatif yang akan ditetapkan, dan dalam penentuan kebijakan tersebut terdapat beberapa perbedaan terkait preferensi yang dimana preferensi tersebut dibuat berdasarkan tuntutan dalam negeri yang disampaikan konstituen. Adanya perbedaan preferensi sangat mempengaruhi ukuran win-sets, karena jika semakin rendah cost of no agreement dari preferensi maka semakin kecil pula win-sets yang akan dibawa ke level I.

Dalam sektor pertanian, Jepang menjadi negara yang sangat tertutup dan sangat ketat untuk melindungi sektor pertaniannya dari liberalisasi pertanian. Hal ini menandakan bahwa Jepang merupakan negara isolasionis khususnya dalam sektor pertanian sehingga win-sets Jepang dalam poin ini kecil. Terkait perhitungan untung dan rugi (cost of no agreement) Jepang dalam sektor pertanian adalah besar karena Jepang tidak menginginkan jika produk R dan Q disepakati dalam General Review, jika Jepang menyepakati request Indonesia terkait produk R dan Q maka akan membuka pintu yang besar bagi pertanian Indonesia ke Jepang sehingga membuat sektor pertanian Jepang akan mengalami kerugian. Sehingga dalam poin ini terkait cost of no agreement yang besar dalam sektor pertanian, maka Jepang memiliki win-sets yang besar pula karena Jepang memiliki kepentingan yang sangat besar dalam tertutupnya negara terhadap liberalisasi pertanian.16

Dalam General Review IJEPA, Jepang juga memiliki request terkait menurunkan 11 tarif otomotif karena jika Indonesia menyepakati request tersebut maka mampu menyumbang banyak devisa bagi Jepang karena industri otomotif

16

(14)

14

merupakan salah satu industri penting bagi Jepang.17 Sehingga dalam poin ini Jepang dapat memperbesar wi-setsnya jika request Jepang disepakati oleh Indonesia.

Indonesia menginginkan penurunan tarif dan syarat untuk produk R dan Q sehingga hal tersebut mampu mendongkrak volume ekspor pertanian Indonesia, Indonesia merupakan negara agraris tetapi tidak isolasionis dalam sektor pertanian, Indonesia membutuhkan negara lain untuk meningkatkan perekonomian, jadi Indonesia merupakan negara internasionalis sehingga dalam poin ini Indonesia memiliki win-sets yang besar. Request produk R dan Q yang diajukan oleh Indonesia sangat dibutuhkan karena jika permintaan tersebut tidak disepakati oleh Jepang dalam General Review maka akan menimbulkan kesulitan bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor pertaniannya dan bahkan menimbulkan kerugian bagi sektor pertanian Indonesia, sehingga cost of no

agreement Indonesia sangat besar dan menimbulkan win-sets yang besar pula.

b. Institusi atau lembaga dalam level II

Proses ratifikasi yang dilakuokan oleh institusi-institusi politik di level II sangat mempengaruhi ukuran keberhasilan sebuah win-sets yang hal tersebut sangat tergantung dari bentuk pemerintahan dan mekanisme pengambilan kebijakan di negara tersebut. Sehingga semakin rumitnya proses pengambilan kebijakan sebuah negara, maka semakin kecil win-sets yang dimiliki sehingga memperlemah posisi tawar di level internasional. Disini dapat dilihat dari sisi kekuatan sebuah negara dan otonomi sebuah negara, karena semakin besar otonomi dalam pengambilan sebuah keputusan pusat dari konstituen level II, maka semakin besar pula win-sets sehingga semakin besar kemungkinan untuk mencapai kesepakatan internasional.

Dalam pengambilan keputusan dalam level domestik Jepang sangatlah rumit karena terdapat pro dan kontra terkait kebijakan yang akan diambil,

17

Kahfi, “Tarif Bea Masuk Otomotif IJEPA Masih Menggantung” (daring), 2016, <

http://industri.bisnis.com/read/20160524/12/550631/ijepa-masih-menggantung>, diakses 03 September 2016.

(15)

15

kekuatan antar konstituen yang memiliki perbedaan juga memiliki pengaruh terkait pengambilan keputusan dalam level domestik. Rumitnya dalam proses pengambilan keputusan dalam level domestik membuat ukuran win-sets Jepang dalam poin ini kecil. Proses pengambilan keputusan di Indonesia terbilang cukup mudah, dalam rangka General Review IJEPA ini request tersebut muncul karena melihat dari perkembangan sektor pertanian Indonesia tidak mengalami kemajuan justru mendapatkan kerugian sehingga dari konstituen mendorong pemerintah untuk membawa request produk R dan Q ini ke General Review IJEPA.

c. Strategi negosiator dalam level I

Strategi negosiator dalam perundingan di level I juga mampu mempengaruhi win-sets. Negosiator dalam level I harus memiliki kepentingan yang kuat dalam memaksimalkan win-sets pihak lain, tetapi juga harus menghormati win-sets yang telah dibawa. Dengan membawa win-sets yang besar dapat mempermudah negosiator untuk menyimpulkan perjanjian, tetapi hal tersebut justru membuat posisi tawar menjadi lemah di level internasional. Walaupun negosiator memiliki win-sets yang besar tetap saja tidak berpengaruh besar terhadap keberhasilan dalam negosiasi di level I sehingga hal tersebut justru membuat negosiator harus memiliki strategi yang sangat baik untuk bagaimana membuat win-sets yang dimiliki mampu berhasil dalam negosiasi level I, seperti mengetahui win-sets lawan sehingga dapat memperkirakan posisi tawar lawan negosiasi di level I dan tentunya negosiator harus mengerti benar apa yang dimaksud dari win-sets lawan tersebut, kemudian setelah negosiator mengetahui bahwa win-sets lawan memiliki posisi tawar yang lebih besar maka negosiator dapat memanfaatkan lemahnya win-sets untuk mendorong lawan untuk segera berkonsesi, karena dalam proses negosiasi level I jika ukuran win-sets yang dimiliki kecil justru memiliki posisi tawar yang lebih besar.18

18 A, Moravcsik. 1993. “Introduction: Integrating International and Domestic Theories of International Bargaining,” dalam P.B. Evans, H.K. Jacobson, R.D. Putnam (ed.). Double-Edged

Diplomacy: International Bargaining and Domestic Politics. University of California Press. California.

(16)

16

Jepang memanfaatkan win-sets Indonesia yang sangat menginginkan jika

request produk R dan Q disepakati, Jepang memanfaatkan hal ini dengan

memberikan request kembali ke Indonesia terkait penurunan 11 tarif otomotif dan kemudian tidak merespon request Indonesia sebelum Indonesia menyepakati

request yang diberikan oleh Jepang. Hal ini membuat posisi tawar Jepang di level

I sangat besar. Indonesia pun mengetahui ukuran win-sets Jepang terkait request 11 tarif otomotifnya dan seberapa besar Jepang menginginkan hal tersebut untuk disepakati, sehingga negosiator Indonesia memiliki alternatif kebijakan yang didukung oleh konstituen untuk membuat posisi tawar Indonesia semakin besar dengan lebih meningkatkan win-sets Jepang.

Keberhasilan sebuah negosiasi di level I dalam konsep two level games adalah ketika win-sets kedua negara saling bertemu atau mengalami tumpang tindih (overlap) dan hal tersebut menandakan bahwa semakin besarnya kesempatan untuk terjadinya ratifikasi.19 Semakin besar tumpang tindih yang terjadi maka semakin besar win-sets akan mengalami keberhasilan, tetapi jika tumpang tindih yang terjadi kecil maka akan berdampak kepada konstituen di level II apakah tetap bersedia meratifikasi atau tidak karena terdapat win-sets yang kecil tetapi mengalami tumpang tindih dalam negosiasi level I.20

E. Argumen Utama

Konsep two level games dalam kasus ini lebih melihat kepada kebijakan dari level domestik mampu mempengaruhi negosiasi level internasional dan dari beberapa faktor untuk melihat ukuran win-sets masing-masing pihak. Indonesia dan Jepang memiliki win-sets yang masing-masing sama besar ditambah dengan strategi negosiator yang mampu membuat lawan terlihat kesulitan untuk

19

Putnam, p.438

20 F, Gabriel, “Analisa Pengaruh DCA terhadap Keputusan Indonesia untuk

Merenegosiasi Perjanjian Ekstradisi dengan Singapura Tahun 2007”, Universitas Brawijaya

,(daring), <

http://www.academia.edu/12265787/Analisa_Pengaruh_DCA_terhadap_Keputusan_Indonesia_unt uk_Merenegosiasi_Perjanjian_Ekstradisi_dengan_Singapura_Tahun_2007>, diakses 01 Oktober 2016

(17)

17

mengajukan alternatif kebijakan yang baru dan dapat disepakati. Terdapat perbedaan dari sisi strategi negosiator antar kedua negara, strategi negosiator Jepang mengabaikan request Indonesia terkait produk R dan Q, yang dimana harapannya Indonesia segera menyepakati apa yang menjadi request Jepang terkait 11 tarif otomotif. Berbeda dengan strategi negosiator Indonesia yang membawa General Review menjadi temporary deadlock dengan menawarkan opsi yaitu Indonesia bersedia menyepakati request Jepang tetapi setelah Jepang membahas dan menyetujui request dari Indonesia karena Indonesia meyakini bahwa apa yang menjadi strategi ini kemudian menjadi tekanan bagi pemerintah Jepang untuk segera menyepakati request Indonesia.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu suatu metode yang bersifat deskriptif dan menganalisa fenomena atau isu yang terjadi pada sebuah konteks sosial. Adapun data atau sumber penulisan penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini menggunakan data yang dikumpulkan melalui wawancara dengan beberapa pihak terkait yaitu Biro Kerjasama Luar Negeri, Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian, Direktorat Asia Timur dan Pasifik, Kementerian Luar Negeri, dan Direktorat Kerjasama Bilateral Subdit Asia Tengah dan Timur, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. Penelitian ini juga mengambil data yang diperoleh dari hasil tulisan atau penelitian yang telah dipublikasi seperti buku, jurnal, tesis maupun disertasi, dokumen resmi negara, media cetak dan berbagai sumber yang relevan dengan hasil penelitian yang akan disusun. Dengan data tersebut dapat menjelaskan dinamika General Review IJEPA dan menganalisis apa yang menyebabkan General Review yang dilakukan Indonesia dan Jepang tersebut mengalami deadlock.

(18)

18

Dalam penulisan penelitian ini menjadi sebuah karya tulis, penulis membagi dalam beberapa bab dimana diantara bab-bab tersebut saling berkaitan sehingga menjadi satu kesatuan utuh.

Pada Bab I dalam penelitian ini diawali dengan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah mengenai kerjasama Indonesia dengan Jepang dalam IJEPA yang membutuhkan General Review agar segera dilaksanakan dan dalam prosesnya mengalami deadlock, hal tersebut kemudian dilanjutkan dengan problematika yang dihasilkan, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka konseptual yang digunakan, argumen utama, metode yang digunakan dalam penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.

Bab II, pada bab ini penelitian akan menjelaskan secara umum dan rinci mengenai proses awal mula terbentuknya Indonesia Japan Economic Partnerhip

Agreement (IJEPA), ruang lingkup dan aturan yang ada didalam IJEPA serta

menjelaskan aturan khusus mengenai sektor pertanian.

Bab III, pada bab ini menjelaskan kondisi faktual sektor pertanian Indonesia didalam IJEPA dan menjelaskan mengenai hambatan-hambatan non tarif yang diberlakukan oleh Jepang kepada produk hortikultura asal Indonesia

Bab IV, pad bab ini akan menjelaskan mengenai latar belakang alasan mengapa Indonesia mengajukan General Review IJEPA, menjelaskan secara rinci mengenai dinamika proses General Review IJEPA, menjelaskan perkembangan proses terkini General Review IJEPA, dan menjelaskan mengenai hambatan atau faktor apa saja yang menyebabkan General Review ini mengalami proses yang panjang dan berakhir deadlock sampai saat ini.

Bab V, akan berisikan kesimpulan dari hasil analisisis yang telah dilakukan oleh penulis pada bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Lantai kandang yang keras seperti lantai yang terbuat dari kawat sebagaimana kandang yang biasa digunakan oleh penjual ayam jantan yang berada di Pasar Lambaro

Untuk dapat memenuhi kriteria penting diatas maka kita pun harus memiliki beberapa strategi yang baik seperti : a.kita harus dapat memenuhi proyek, sesuai dengan jadwal yang

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan solusi terhadap pemerintah Daerah jika terjadi dampak negatife dari perubahan keputusan Bupati batang mengenai

Menurut Swastha (2002:10), pemasaran adalah suatu system keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang dibuat untuk merencanakan, menetapkan harga, mempromosikan dan

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK &amp; MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

Studies need to include all important channels that significantly contribute to the total costs. (comprehensiveness), but one must keep in mind that there has to be a cut-off for

Rokan Hulu Guru Kelas SD SD N 024 RAMBAH HILIR Hotel Pharma City, Jl.. Rokan Hulu Guru Kelas SD SD N 007 TANDUN Hotel Pharma