• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI. Teori merupakan alat terpenting dalam sebuah penelitian. Menurut Neuman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI. Teori merupakan alat terpenting dalam sebuah penelitian. Menurut Neuman"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

8 KAJIAN TEORI

Teori merupakan alat terpenting dalam sebuah penelitian. Menurut Neuman (1997) Teori menyediakan konsep-konsep yang relevan, asumsi-asumsi dasar yang bisa digunakan, membantu dalam mengarahkan pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dan membimbing kita dalam memaknai data. Teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah teori pragmatik, konteks situasi tutur, maksim kerjasama, maksim kesantunan dan skala kesantunan menurut Leech. Berikut adalah penjelasan masing-masing teori tersebut.

2.1 Pragmatik

Berdasarkan urutan cabang-cabang linguistik tampak bahwa paragmatik merupakan cabang yang terakhir sekaligus terbaru. Berkenaan dengan usianya yang masih muda itulah ilmu pragmatik sering dikatakan sebagai young science.

Definisi pragmatik telah banyak disampaikan oleh para linguis yang menggeluti bidang pragmatik. Seperti yang disampaikan oleh Mey (1994:42) ”Pragmatics is the study of the conditions of human langguage uses as these are

(2)

mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu.

Selain definisi di atas ada pula Parker (1986:11) dalam bukunya Linguistics for Non-Linguists menyatakan bahwa pragamatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal. ”Pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used to communicate”

Sehingga penulis menyimpulkan bahwa pragmatik adalah suatu ilmu yang mempelajari mengenai maksud penutur dan yang ditafsirkan oleh lawan bicaranya. Dalam pragmatik dijabarkan mengenai aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh para penutur agar apa yang dituturkan dapat diterima secara efektif oleh lawan bicaranya. Aturan-aturan tersebut disebut dengan prinsip kerja sama atau maksim kerja sama, namun pelanggaran terhadap prinsip kerja sama justru dapat menimbulkan humor. Selain prinsip kerja sama, terdapat pula prinsip kesopanan yang harus dipatuhi oleh para penutur.

2.1.1 Konteks Situasi Tutur

Di atas sudah diuraikan bahwa pragmatik adalah studi bahasa yang mendasarkan pijakan analisisnya pada konteks. Konteks yang dimaksud adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Dengan mendasarkan pada gagasan

(3)

Leech (1983:13-14), Wijana (1996) menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur (speech situational contexts). Konteks situasi tutur mencakup aspek aspek penutur dan lawan tutur, konteks tuturan, tujuan tuturan, tuturan sebagai tindakan atau aktivitas, dan tuturan sebagai produk verbal.

Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle (1983), lazim dilambangkan dengan S (speaker) yang berarti pembicara atau penutur dan H (hearer) yang dapat diartikan pendengar atau mitra tutur. Leech (1983:13) digunakannya lambang pragmatik tidak hanya pada bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis.

Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Leech (1983) menyampaikan ”I shall consider context to be any background knowledge assumed to be shared by S and H and which contributes to H‟s interpretation of what S means by a given utterance” yang berarti konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama-sama dimiliki penutur dan mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur.

Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan

(4)

yang berbeda-beda. Disinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi formal atau struktural.

Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani prgamatik. Karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu, dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa penuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan.

Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya.

Seringkali, dalam suatu percakapan, tuturan-tuturan yang diujarkan merupakan tindak tutur tidak langsung karena memiliki makna yang tersembunyi. Makna yang demikian disebut dengan implikatur percakapan. Levinson (1983) menjelaskan bahwa implikatur merupakan bagian terpenting dalam pragmatik karena implikatur memberikan penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih banyak dari apa yang dituturkan.

Grice (1975) menjelaskan bahwa terdapat seperangkat asumsi yang melingkupi dan mengatur kegiatan percakapan sebagai suatu tindakan berbahasa. Tujuan dari seperangkat asumsi tersebut adalah memandu peserta percakapan agar suatu percakapan dapat berlangsung lancar dan baik, yakni setiap peserta percakapan

(5)

memahami makna dari tiap tuturan. Seperangkat asumsi tersebut disebut dengan prinsip kerjasama. Selain itu, ada aturan lain yang bersifat sosial, yaitu tiap peserta tuturan harus sopan dalam mengujarkan tuturannya. Aturan tersebut disebut dengan prinsip kesopanan.

2.2 Pengertian Maksim

Menurut Grice (1975) maksim merupakan prinsip kebahasaan di dalam interaksi lingual; prinsip-prinsip yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Selain itu maksim juga disebut sebagai bentuk pragmatik berdasarkan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan.

2.2.1 Maksim Kerjasama Grice

Grice (1975: 45) mengemukakan bahwa suatu percakapan biasanya membutuhkan kerja sama antara penutur dan mitra tutur untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkan. Prinsip yang mengatur kerja sama antara penutur dan mitra tutur dalam suatu percakapan dinamakan prinsip kerja sama (cooperative principle). Di dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama, setiap penutur harus menaati empat maksim percakapan (conversational maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim relevansi (maxim of relevance), dan maksim pelaksanaan (maxim of manner).

(6)

2.2.1.1 Maksim Kuantitas (Quantity Maxim)

Dalam maksim kuantitas terdapat dua aturan, yaitu: a. Make your contribution as informative as required, b. Do not make your contribution more informative than required (Grice, 1975: 45). Di dalam maksim kuantitas, seorang penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh- sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam Prinsip Kerja Sama Grice. Seperti contoh yang ditulis oleh Grundy (2000:70) “It‟s the taste”. Informasi dari penutur dalam ungkapan tersebut sangat singkat dan akan mempersulit mitra tutur untuk mencerna maksud dari ungkapan tersebut. Sebaliknya, jika penutur mengungkapkan secara panjang lebar maka akan membuat mitra tutur cenderung bosan.

2.2.1.2 Maksim Kualitas (Quality Maxim)

Seperti maksim kuantitas, maksim kualitas juga mempunyai dua aturan, yaitu: a. Do not say what you belive to be false, b. Do not say that for which you lack adequate evidence (Grice, 1975: 46). Dalam maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas.

Rahardi (2005: 55) mengemukakan bahwa dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak

(7)

senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa-basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan kata lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi.

Beberapa penutur pada sekian banyak percakapan ingin dianggap benar dan berkata sesuai kenyataan oleh lawan tuturnya, seperti contoh percakapan yang ditulis oleh Cutting (2003:35) berikut ini :

(1) A: I‟ll ring you tomorrow then

B: Erm, I shall be there as for as I know, and in meantime have a word with Mum and Dad if they‟re free. Right, bye-bye then sweetheart.

A: Bye

Menurut Cutting dalam percakapan tersebut, perkataan B “as for as I know” memiliki arti “saya tidak yakin itu benar”. Jika A menelpon B dan ternyata B tidak ada, B terhindar dari tuduhan berbohong karena ia sudah menyatakan keraguannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penataan maksim kualitas dalam sebuah percakapan berfungsi untuk menyampaikan sebuah kebenaran dan mempertahankan pendapat (kebenaran).

2.2.1.3 Maksim Relevansi (Relevance Maxim)

Berbeda dengan dua maksim sebelumnya yang terdiri dari dua aturan, maksim relevansi hanya terdiri dari satu aturan saja, yaitu : “Be relevant” yang artinya “ Perkataan Anda harus relevan” Grice (1975: 46). Dalam maksim relevansi,

(8)

dinyatakan bahwa agar terjadi kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang dipertuturkan. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama. Seperti contoh percakapan yang tidak relevan yang diungkapkan oleh Cutting (2003:35) berikut:

(2) A: There‟s somebody at the door B: I‟m in bath

Menurut Cutting, B mengharapkan A mengerti posisi dimana ia berada relevan dengan ujaran A bahwa B tidak bisa membukakan pintu karena sedang mandi.Secara umum, maksim relevan dalam sebuah percakapan berfungsi untuk membuat setiap pertuturan yang disampaikan member informasi yang relevane dengan tuturan yang direspon serta situasi ujarnya.

2.2.1.4 Maksim Pelaksanaan (Manner Maxim)

Dalam maksim pelaksanaan, hal yang ditekankan bukan mengenai apa yang dikatakan, tetapi bagaimana cara mengungkapkan. Sebagai aturan utama, Grice (1975: 46) menyebutkan “Be perspicacious” atau “Anda harus berbicara jelas”. Selanjutnya Grice menguraikan aturan utama di atas menjadi empat aturan khusus, yaitu :

a. Avoid obscurity of expression b. Avoid ambiguity

(9)

d. Be orderly

Dalam maksim pelaksanaan, peserta tutur harus bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Orang yang bertutur dengan tidak mempertimbangkan hal-hal di atas dapat dikatakan melanggar prinsip kerja sama Grice karena tidak mematuhi maksim pelaksanaan. Berikut adalah percakapan yang tidak mematuhi maksim pelaksanaan yang ditulis oleh Levinson (1983)

(3) A: I hear you went to the opera last night; how was the lead singer? B: The singer produced a series of sounds corresponding closely to the score of an aria from „Rigoletto‟.

B melanggar maksim pelaksanaan karena ia tidak menjawab pertanyaan A secara langsung dan bahkan tidak sesuai dengan apa yang dibicarakan oleh A. Secara umum, maksim pelaksanaan dalam sebuah percakapan berfungsi untuk menyampaikan tuturan secara jelas, tidak ambigu, singkat dan teratur.

2.2.2 Maksim Kesantunan (Maxims of Politeness)

Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa. Leech (1993:206-207) membagi maksim kesantunan menjadi enam yaitu maksim kearifan (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim

(10)

pujian (approbiation maxim), maksim kesepakatan (agreement maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim simpati (sympathy maxim).

2.2.2.1 Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

Gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan dapat dikatakan sebagai orang santun. Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Berikut adalah contoh tuturan yang mengikut maksim kebijaksanaan:

(4) You know, i really do think you ought to sell that car. Its costing more and more money in repairs and it uses up far too much fuel.

Penutur kalimat tersebut mengikuti maksim kebijakasanaan yang ditandai oleh kata yang menarik solidaritas lawan tutur yaitu “you know” serta predikat yang sopan yaitu “I really do think”. Di sisi lain penutur menguntungkan lawan tutur dengan memberikan masukan bahwa dengan menjual mobil akan menyimpan banyak uang dan waktu.

(11)

2.2.2.2 Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)

Menurut Leech (1993: 209) “The generosity maxim involves minimizing the benefit and maximizing the cost to self. Generosity maxim only applicable in impositives and commisives.” Maksud dari maksim kedermawanan ini adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Seperti pada contoh berikut yang ditulis oleh Leech (1983:133) :

(5) You can land me your car (impolite) (6) I can lend you my car

(7) You must come and have dinner with us

(8) We must come and have dinner with you (impolite)

Tuturan yang berupa tawaran (6) dan undangan (7) tersebut dianggap santun karena dua kalimat tersebut menguntungkan lawan tutur dan mengurangi keuntungan penutur. Sedangkan tuturan (5) dan (8) memperlihatkan hubungan penutur dan lawan tutur dengan skala untung-rugi yang terbalik.

2.2.2.3 Maksim Penghargaan (Approbiation Maxim)

Maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Contoh tuturan ekspresif yakni mengucapkan selamat, mengucapkan terima

(12)

kasih, memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

Seperti yang diungkapkan oleh Leech (1984:135) “Minimize dispraise of other, Maximize praise and approval of other” yang artinya minimalkan ketidakpujian terhadap orang lain dan maksimalkan pujian terhadap orang lain.

Rahardi (2005: 63) menambahkan, dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain seperti pada contoh berikut:

(9) dear aunt Mabel, I want to thank you so much for the Christmas present this year. It was so very thoughtfull of you

(10) I wonder if you could keep the noise from your Saturday parties down a bit. Im finding it very hard to get enough sleep over the weekends

(11) Your food is not delicious

Pada contoh kalimat (9) penutur menggunakan maksim penghargaan yaitu memaksimalkan rasa hormat kepada lawan tutur dengan menggunakan kalimat“It was very oughtfull of you”. Sedangkan pada kalimat (10) penutur menimalkan rasa tidak hormat walaupun dirinya merasa ternganggu. Sebaliknya pada contoh kalimat (11) penutur mengungkapkan tuturan yang merendahkan lawan tutur. Peserta tutur yang merendahkan atau mengejek lawan tuturya akan dianggap tidak santun.

(13)

Dikatakan demikian karena mengejek merupakan tindakan yang tidak menghargai perasaan orang lain.

2.2.2.4 Maksim Kesederhanaan (Modesty Maxim)

Di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tuturdiharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh Leech (1984:136) “Minimize the expression of praise of self; maximize the expression of dispraise of self”. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Seperti pada contoh berikut:

(12) A: they were so kind to us B: yes, they were, weren‟t they? (13) A: you were so kind to us ( impolite) B: yes, I was, wasn‟t I?

Contoh kalimat (12) menunjukan bahwa memang sopan apabila peserta tutur sependapat dengan pujian terhadap orang lain, kecuali pujian terhadap diri sendiri. Sedangkan pada contoh kalimat (13) mitra tutur memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri, melanggar maksim kerendahan hati sama dengan membual dan ini merupakan suatu pelanggaran sosial.

(14)

2.2.2.5 Maksim Pemufakatan (Agreement Maxim)

Dalam maksim ini ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka seperti yang ditulis oleh Leech (1984:138) “Minimize disagreement between self and other; maximize agreement between self and other”.

Namun peserta tutur cenderung melebih-lebihkan kesepakatannya dengan ungkapan-ungkapan penyesalan, kesepakatan sebagian dan lain sebagainya. Berikut adalah contoh kalimat maksim kesepakatan dan kalimat yang tidak mengindahkan maksim kesepakatan:

(14) A: a referendum will satisfy everybody

B: yes, definitely

(15) A: it was an interesting exhibition, wasn‟t it?

B: No, it was very uninteresting

(15)

B: True, but the grammar is quite easy

Contoh percakapan (14) menunjukan maksim kesepakatan karena ada persetujuan antara kedua belah pihak, sedangkan pada contoh percakapan (15) salah satu peserta tutur tidak sepakat sehingga melanggar maksim kesepakatan. Contoh percakapan (16) menunjukan bahwa B tidak seutuhnya sepakat dengan tuturan A dengan menyebutkan kata penghubung “but”.

2.2.2.6 Maksim Simpati (Sympathy Maxim)

Leech (1993: 207) mengatakan “Minimize anthipathy between self and other ; Maximaze sympathy between self and other” di dalam maksim ini diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat.

Jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian seperti pada contoh berikut:

(17) I was sorry to hear about your father

(16)

Pada contoh kalimat (17) penutur mengungkapkan perasaan belasungkawa dengan santun sedangkan pada contoh kalimat (18) penutur mengungkapkan bela sungkawanya secara langsung sehingga terkesan tidak santun.

2.3 Skala Kesantunan Leech

Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan 5 jenis skala kesantunan. Skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun. Dalam model kesantunan Leech, setiap maksimum interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Skala kesantunan Leech (1983) dibagi menjadi lima yaitu skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit scale), skala pilihan (optionality scale), skala ketidaklangsungan (indirectness scale), skala keotoritasan (authority scale), skala jarak sosial (social distance scale).

2.3.1 Skala Kerugian dan Keuntungan (Cost-benefit Scale)

Leech (1983:123) mengatakan “Representing the cost or benefit of on act to speaker and hearer.” Cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin

(17)

tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu seperti contoh berikut:

(19) would you like to use my electric drill?

Kalimat diatas menunjukan penutur menawarkan keuntungan bagi lawan tuturnya dan meminimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Bandingkan dengan contoh dibawah ini:

(20) I‟d use an electric drill if i were you

Penutur pada contoh kalimat (20) bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri dan tindakan tersebut dianggap tidak santun. Dalam skala kesantunan ini penutur dapat dianggap memenuhi prinsip kesantunan apabila memiliki kriteria sebagai berikut:

a. Penutur mau mengorbankan kepentingan dirinya untuk menguntungkan pihak lawan tutur.

b. Penutur bersedia dirinya dirugikan demi kepentingan lawan tutur.

2.3.2 Skala Pilihan (Optionality Scale)

Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur sperti yang dikatakan oleh Leech (1983:124) “Indicating the degree of choice permitted to speaker or hearer by a specific linguistic act”. Penutur dianggap santun apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:

(18)

b. tidak memaksa mitra tutur hanya dengan satu pilihan saja

Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggap tidak santun seperti pada contoh berikut:

(21) Buy me some food Smith!

(22) If you have time, please buy me some food Smith.

(23) If you have time and do not mind, please buy me some food Smith.

Pada contoh kalimat (21) penutur tidak memberikan pilihan lain kepada mitra tutur yakni Smith, mitra tutur tidak ada pilihan lagi selain membelikan makanan. Pada contoh kalimat (22) dan (23) terlihat bahwa penutur memberikan pilihan yang leluasa kepada mitra tutur, sehingga tuturan tersebut dianggap santun.

2.3.3 Skala Ketidaklangsungan (Indirectness Scale)

Leech (1983:124) mengatakan bahwa “Indirectness Scale is indicating the amount of inferencing required of the hearer in order to establish the intended speaker meaning.” Skala ini menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak

langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Salah

(19)

satu ciri bentuk tuturan tidak langsung adalah terdapat modal verba didalamnya. Menurut Palmer (2001:3) modal verba adalah kata kerja bantuan yang digunakan untuk menunjukkan modalitas yaitu menanyakan kesanggupan, meminta izin, meminta tolong kepada lawan tutur dan sebagainya. Kata-kata yang termasuk modal verba adalah can, could, may, might, will, would, must, shall, should, ought to. Perhatikan contoh kalimat berikut:

(24) Would you mind having another sandwich? (25) Close the door!

Contoh kalimat (22) disampaikan secara tidak langsung karena terdapat modal verba didalamya, sehingga penutur dapat dianggap santun. Pada contoh kalimat (23) penutur mengucapkan kalimatnya secara langsung makan penutur dianggaap tidak santun.

2.3.4 Skala Keotoritasan (Authority Scale)

Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan seperti yang dikatakan oleh Leech (1983:125) “Authority Scale is representing the status relationship between speaker and hearer.” Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di

(20)

antara keduanya, cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu. Perhatikan contoh kalimat berikut:

(26) The chief demanded that I lend him my phone.

Kalimat tersebut menunjukan bahwa penutur memiliki jarak peringkat sosial yang dekat dengan mitra tutur sehingga penutur dapat dianggap santun.

2.3.5 Skala Jarak Sosial (Social Distance Scale)

Leech (1983:126) mengatakan “Social distance scale indicating the degree of familiarity between speaker and hearer.” Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu. Jarak peringkat sosial dapat dipengaruhi oleh umur, status kekeluargaan dan faktor lainnya. Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Perhatikan contoh berikut:

(27) Get that essay by me next week.

Apabila contoh kalimat di atas di ucapkan kepada mitra tutur yang memiliki jarak peringkat sosial yang dekat atau akrab maka penutur dianggap santun. Sebaliknya,

(21)

apabila mitra tutur tidak memiliki hubungan keakraban yang dekat maka penutur dapat dianggap tidak santun.

2.4 Kaitan Antara Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesantunan

Penggunaan prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan di berbagai wilayah berbeda satu sama lain. Namun mayoritas wilayah lebih memilih penerapan prinsip kesantunan ketimbang prinsip kerjasama. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan antara peserta tutur

Menurut pandangan yang diucapkan Leech (1996:80), “…the PP can be seen not just as another principle to be added to CP, but as a necessary complement with serious trouble.” Prinsip Kesantunan (PP) dapat dilihat bukan hanya sekedar sebagai prinsip lainnya yang ditambahkan pada prinsip kerjasama (CP), tetapi sebagai pelengkap yang penting untuk menyelamatkan prinsip kerjasama (CP) dari masalah yang serius. Pada kenyataanya, penerapan prinsip kerjasama tanpa disetai prinsip kesantunan, membuat tuturan yang diucapkan menjadi terlalu “terbuka” dan kurang santun. Maka prinsip kesantunan diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan tuturan dengan hubungan yang baik di antara peserta tutur, sehingga isi pesan yang disampaikan oleh penutur dapat sampai dengan baik kepada lawan tutur dan di sisi lain tetap menjaga keharmonisan hubungan antara penutur dengan lawan tutur.

Berikut ini diberikan contoh mengenai penerapan prinsip kesantunan yang menyelamatkan prinsip kerjasama.

(22)

(28) A:We‟ll all miss Bill and Agatha, won‟t we? B: Well, we‟ll all miss Bill

A berharap B mengiakan pendapat A yang mengatakan bahwa mereka akan merindukan Bill dan Agatha, namun B hanya mengiakan sebagian saja dengan mengatakan bahwa mereka akan merindukan Bill tanpa menyebutkan Agatha karena pada kenyataannya B tidak akan merindukan Agatha. B bisa saja berkata jujur dengan apa yang ia pikirkan, maka ia telah bertindak tidak santun kepada pihak ketiga yaitu Agatha. Karena itu untuk menaati prinsip kesantunan, B menahan sebagian informasi yang diinginkan A yang merupakan pelanggaran terhadap prinsip kerjasama.

Pelanggaran terhadap prinsip kerjasama yang dilakukan B semata-mata hanya untuk menjaga kesantunan. Maka dapat dikatakan bahwa prinsip kesantunan menyelamatkan prinsip kerjasama.

Referensi

Dokumen terkait

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan tentang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum pertambangan Minyak Dan Gas Bumi

Hasil rekapitulasi di tingkat PPK Kecamatan Samarinda yang ditolak oleh para saksi dari partai-partai politik termasuk PDK, tidak pernah diperbaiki dan hal ini telah

Meskipun ada software-software khusus yang dimaksudkan untuk memudahkan pekerjaan, Anda boleh saja mengetikkan sebuah dokumen HTML dengan MS-Word, NotePad dan WordPad

Untuk menghasilkan telur dengan berat yang optimal diperlukan pakan dengan kandungan protein pakan yang tinggi, Menurut IP2TP Jakarta (2000) untuk itik periode bertelur,

Suplemen berenergi termasuk salah satu suplemen makanan atau minuman yang terdiri dari komponen multivitamin, makronutrien (karbohidrat, protein), efedrin, taurin,

Agar pengembangan potensi desa bisa terarah sesuai program tujuan yang telah disusun, efisien dari segi tenaga, biaya dan waktu serta efektif sesuai tujuan dalam arti

 Hindari kata-kata absolut seperti, selalu, tidak pernah, dan semua pada pilihan jawaban, dan hindari pula istilah yang tidak jelas (meragukan) seperti biasanya atau sering..