• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Pemasaran dan Prospek Kewirausahaan Budidaya Jamur Tiram Putih ( Pleurotus ostreatus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Studi Pemasaran dan Prospek Kewirausahaan Budidaya Jamur Tiram Putih ( Pleurotus ostreatus"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Studi Pemasaran dan Prospek Kewirausahaan Budidaya Jamur Tiram

Putih (Pleurotus ostreatus) di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara

Jawa Tengah Terhadap Perekonomian Masyarakat Setempat

R. Haryo Bimo Setiarto

Peneliti Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI

Jalan Raya Jakarta-Bogor Km 46, Kawasan CSC Cibinong 16911, Jawa Barat *email: haryobimo42@yahoo.com *hp: 081327025330

ABSTRACT

Agricultural is the one important sector in our country to reach food sufficient and increases income for our people. White oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) is the one of food commodity which has conducted for many people in Indonesia, especially in plateau. This research is focused to analyze marketing aspects and prospects entrepereneur of farming white oyster mushrooms in Dieng, Banjarnegara, Central Java about economics life for local society. Methodology to collecting data is done by using observation and interview about 8 respondent. Then, data can be analyzed by measured marketing cost, marketing efficiency point, and revenue cost ratio. This research shown that entrepreneurship activity of farming oyster mushroom is very advantage to be developed in Dieng, Banjarnegara. It can be indicated with revenue cost ratio (R/C ratio) is 8.48 (over than 1). In that area just exists one channel of marketing oyster mushrooms, it is zero channel zoom. Total marketing cost which must be invested with 8 respondent is Rp 2.092.000,00/harverst, and average marketing cost is Rp 261.500,00/harverst/respondent. Total income for 8 respondent is Rp 17.750.000,00/harverst, and average income is Rp 2.218.750,00/harverst/respondent. So, we can know that total profit is Rp 15.658.000,00/harverst, and average profit is Rp 1.957.250/harverst/respondent. Marketing efficiency point for this entrepereneurship activity is 11.79 %.

Key Words: marketing study, entrepreneurship, white oyster mushroom (Pleurotus

ostreatus), Dieng, Banjarnegara

ABSTRAK

Sektor pertanian merupakan sektor penting untuk mencapai swasembada pangan dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Salah satu komoditas pangan yang telah dibudidayakan secara luas di Indonesia, khususnya di daerah dataran tinggi adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis studi pemasaran dan prospek kewirausahaan budidaya jamur tiram putih di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah terhadap kehidupan perekonomian masyarakat setempat. Metodologi pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara terhadap objek studi yaitu 8 orang pengusaha jamur tiram putih. Analisis data dilakukan dengan menghitung biaya tata niaga, nilai efisiensi pemasaran, dan rasio nilai R/C. Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kegiatan kewirausahaan budidaya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) sangat menguntungkan untuk dikembangkan di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah karena memiliki nilai R/C rasio sebesar 8.48 (lebih besar dari 1). Di kawasan tersebut hanya terdapat satu saluran tataniaga/ pemasaran jamur tiram yaitu saluran nol tingkat. Jumlah biaya tataniaga yang dikeluarkan 8 orang pengusaha adalah Rp 2.092.000,00 per masa panen, dengan rata-rata Rp 261.500,00 per masa

(2)

panen per responden. Besarnya penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 17.750.000,00 per masa panen dengan rata-rata Rp 2.218.750,00 per masa panen per responden. Selanjutnya dapat diketahui keuntungan pengusaha jamur tiram putih yaitu sebesar Rp 15.658.000,00 per masa panen dengan rata-rata Rp 1.957.250 per masa panen per responden. Pada saluran nol tingkat pengusaha jamur tiram putih memperoleh nilai efisiensi pemasaran sebesar 11.79 %.

Kata Kunci: studi pemasaran, kewirausahaan, jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus),

Dieng, Banjarnegara

PENDAHULUAN Rumusan Masalah

Sektor pertanian merupakan sektor penting untuk ditangani secara optimal guna memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi yang cukup besar untuk mengembangkan produk-produk pertanian mencakup usahatani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan untuk mewujudkan swasembada ketahanan pangan. Peningkatan kebutuhan produk hortikultura menuntut adanya suatu cara yang dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi produksi holtikultura. Sistem pertanian konvensional dengan penggunaan input-input anorganik dan bahan bahan kimia dalam proses budidaya ternyata membawa dampak negatif, akibatnya terjadi masalah baru pada komoditas hortikultura seperti pencemaran lingkungan oleh penggunaan bahan kimia berlebih, ketergantungan terhadap bahan kimia, serta gangguan kesehatan yang diakibatkan adanya residu zat kimia berlebih yang terkandung pada komoditas sayuran (Mosher, 1966).

Penggunaan bahan-bahan kimia seperti pupuk dan pestisida terbukti dapat meningkatkan hasil produksi pangan dan hortikultura, tetapi dalam jangka panjang akan memberikan dampak negatif seperti menurunkan tingkat kesuburan tanah dan merusak kelestarian ekosistem. Salah satu komoditas pangan holtikultura yang sedikit mengandung bahan kimia adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) yang telah dibudidayakan secara

(3)

meluas di Indonesia, khususnya di daerah dataran tinggi. Hal ini dikarenakan jamur tiram putih tingkat pertumbuhannya lebih tinggi pada daerah beriklim dingin dan kelembaban yang tinggi (Muchrodi, 2001).

Jamur merupakan salah satu jenis produk hortikultura yang dapat dikembangkan dan diarahkan untuk dapat memperbaiki keadaan gizi masyarakat. Jamur tiram merupakan makanan yang aman untuk dikonsumsi karena penggunaan pestisida dan bahan-bahan kimia selama pertumbuhannya relatif sedikit. Jamur tiram putih merupakan salah satu jenis jamur yang memiliki keunggulan bila dibandingkan dengan tanaman lain karena dapat tumbuh pada media berupa limbah lignoselulosa. Selain itu penggunaannya dalam proses fermentasi tidak membutuhkan input yang mahal dan merupakan sumber protein nabati yang tidak mengandung kolesterol sehingga aman untuk dikonsumsi setiap orang (Suriawiria, 2006).

Dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk, produksi tanaman bahan pangan memegang peranan yang sangat penting bagi pembangunan di sektor pertanian. Penyediaan pangan yang mencukupi baik dalam kuantitas maupun mutu gizinya secara merata dan tingkat harga yang layak merupakan kondisi yang diperlukan guna tercapainya stabilitas ekonomi yang mantap. Sejalan dengan hal itu, keberadaan industri kecil bidang pertanian ini akan menciptakan mata rantai kegiatan pengolahan di dalam negeri yang semakin panjang. Selain itu akan memberikan dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan pendapatan petani dan usahawan kecil, perluasan berusaha serta menciptakan lapangan pekerjaan (Soeharjo dan Patong, 1973).

Dalam subsektor tanaman hortikultura masih dibutuhkan adanya perluasan produksi. Terutama dari jenis jamur tiram yang memiliki prospek semakin cerah, baik dilihat dari segi ekonomi maupun dari segi teknik budidayanya. Indonesia sebagai salah satu negara yang berada di daerah tropik memiliki potensi untuk budidaya jamur tiram putih (Pleurotus

(4)

ostreatus), karena banyak memiliki limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan

untuk medium produksi jamur tiram. Namun kenyataannya budidaya jamur tiram masih belum banyak dikenal masyarakat Indonesia (Muchrodi, 2001).

Dari segi teknik budidayanya, jamur tiram dapat dibudidayakan dengan mudah karena Indonesia memiliki potensi wilayah yang menunjang perkembangannya. Jamur tiram merupakan salah satu jamur pangan yang tersebar luas di daerah beriklim sedang. Walaupun demikian, daerah tropik juga dapat dapat memberikan kondisi lingkungan yang sesuai untuk keberhasilan pertumbuhan jamur tiram. Terlebih lagi jamur tiram menghendaki temperatur optimum mendekati 30 0C untuk pertumbuhan. Sedangkan dari segi ekonomi, prospek jamur

dalam negeri cukup cerah karena permintaan jamur semakin meningkat sehingga untuk memenuhinya Indonesia masih harus mengimpor (Muchrodi, 2001).

Pada dasarnya prospek pasar jamur cukup cerah. Kalau usaha ini ditangani secara serius dan dalam skala industri, tidak mustahil negara kita dapat menggeser posisi dan mengalahkan negara pengekspor utama. Ada beberapa macam jamur yang beredar di pasaran selama ini, seperti jamur merang, jamur tiram putih, jamur tiram abu, jamur shiitake, jamur kuping, jamur lingzhi, jamur morel, jamur campignon. Jenis jamur yang paling luas dipasarkan ke seluruh dunia adalah jamur merang dan jamur campignon, kemudian diikuti jamur shiitake dan jamur tiram. Jamur merang, jamur campignon, dan jamur tiram putih belum menjadi sayuran utama yang dijadikan menu sehari-hari bagi masyarakat. Maka sangat wajar jika belum semua orang mengenal dan mengkonsumsi jamur tersebut. Terlebih lagi jamur tiram belum begitu populer karena kurangnya sosialisasi, promosi dan masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa jenis jamur ini beracun, terutama masyarakat pedesaan (Suriawiria, 2006).

(5)

Walaupun jenis jamur yang dikonsumsi beragam, akan tetapi dalam kegiatan kewirausahaan ini hanya difokuskan pada jamur tiram putih. Hal ini dikarenakan jamur tiram putih memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena selain teknik budidayanya mudah, juga memiliki rasa khas dan nilai gizi yang tinggi. Selain itu juga jamur tiram putih paling laris dan banyak dicari dibandingkan dengan jenis jamur yang lain. Di Indonesia jamur tiram putih ini belum banyak masyarakat yang memanfaatkannya sebagai makanan tambahan. Karena selain harganya yang relatif mahal, juga karena belum banyak dikenal. Jika Indonesia dapat memanfaatkan peluang tersebut yaitu dengan perluasan usaha dan peningkatan mutu secara produktivitas, maka Indonesia dapat menjadi negara pengekspor yang dapat diandalkan. Disamping meningkatkan keuntungan bagi setiap pengusaha juga dapat menunjang devisa dan perluasan kesempatan kerja (Mubyarto, 1989).

Peluang pasar domestik jamur tiram putih masih potensial. Hal ini ditinjau dari populasi penduduk Indonesia yang demikian besar dan tersebar di beberapa provinsi disertai dengan berkembangnya industri pengolahan, pariwisata, terkait di dalamnya industri perhotelan, restoran dan rumah makan. Oleh karena itu peluang pemasaran produk jamur tiram putih di dalam negeri dan diekspor diharapkan dapat memberikan prospek yang cerah (Sudiyono, 2002). Berdasarkan uraian diatas, maka sangat perlu dikaji aspek pemasaran dan prospek budidaya jamur tiram putih bagi masyarakat Indonesia.

Tujuan

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah hasil penelitian di lapangan dengan judul “Studi Pemasaran dan Prospek Kewirausahaan Budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah Terhadap Perekonomian Masyarakat Setempat”. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis studi tata niaga dan prospek kewirausahaan budidaya jamur tiram putih

(6)

terhadap kehidupan perekonomian masyarakat setempat dengan mengambil contoh kasus di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah sebagai salah satu daerah sentra budidaya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Di samping itu penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi para pengusaha kecil maupun menengah yang bergerak dalam usaha budidaya jamur tiram putih untuk dapat melakukan kegiatan kewirausahaan secara efektif dan efisien sehingga dapat memberikan keuntungan maksimum.

TINJAUAN PUSTAKA

Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Jamur tiram dalam bahasa Yunani disebut Pleurotus, artinya bentuk samping atau posisi menyamping antara tangkai dengan tudung. Sedangkan sebutan nama tiram, karena bentuk atau tubuh buahnya menyerupai kulit tiram atau cangkang tiram (Suriawiria, 2006). Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan jenis jamur kayu karena jamur ini banyak tumbuh pada media kayu yang sudah lapuk. Jamur tiram tidak mempunyai klorofil, sehingga jamur tidak dapat menyediakan makanan sendiri dengan cara berfotosintesis seperti pada tanaman yang berklorofil. Oleh karena itu jamur tiram mengambil zat-zat makanan yang sudah jadi yang dibuat atau dihasilkan oleh organisme lain untuk kebutuhan hidupnya. Karena ketergantungannya terhadap organisme lainnya inilah maka jamur tiram digolongkan sebagai organisme heterotrofik (Cahyana, 1997).

Klasifikasi lengkap Pleurotus ostreatus menurut (Cahyana, 1997) adalah: Kingdom         : Mycetea

Divisio         : Amastigomycotae Phylum            : Basidiomycotae Kelas         : Hymenomycetes Ordo          : Agaricales

(7)

Familia        : Pleurotaceae Genus          : Pleurotus

Spesies            : Pleurotus ostreatus

Jamur tiram adalah salah satu jamur yang sangat enak dikonsumsi dalam bentuk masakan, jamur tiram putih juga dapat dikonsumsi dalam keadaan mentah atau segar, baik sebagai campuran salad maupun lalapan. Bahkan dapat diolah menjadi semacam keripik. Jamur tiram juga mempunyai kandungan gizi yang cukup tinggi dibandingkan dengan jamur lainnya. Jamur tiram putih terdiri atas beberapa jenis, dengan bentuk dan warna tubuh buah maupun nama setempat yang berbeda. Tetapi yang paling banyak dibudidayakan antara lain jenis jamur tiram putih, abu-abu, dan coklat. Karena jenis jamur tiram tersebut mempunyai sifat adaptasi dengan lingkungan yang baik dan tingkat produktifitasnya cukup tinggi (Cahyana, 1997).

(8)

Tanaman jamur tiram dapat tumbuh di daerah-daerah yang memiliki ketinggian tempat sekitar 600 meter dari permukaan laut. Namun tidak tertutup kemungkinan jamur tiram dapat tumbuh pada lokasi dataran rendah yang memiliki lingkungan beriklim dingin ataupun sejuk, jauh dari polusi, dengan suhu udara antara 150 C sampai 280 C, di lokasi yang

memiliki kadar air sekitar 60% dan derajat keasaman atau pH 6-7. Secara alami jamur tiram banyak ditemukan tumbuh di batang – batang kayu lunak yang telah lapuk seperti pohon karet, damar, kapuk, atau sengon yang tergeletak di lokasi yang sangat lembab dan terlindung, dengan kadar oksigen cukup dan cahaya matahari sekitar 10% (Djarijah et. al, 2001).

Jamur tiram putih adalah jenis jamur kayu yang memiliki kandungan nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Komposisi dan kandungan nutrisi jamur tiram putih setiap 100 gram yaitu kalori 367 kal; protein 30.4%, karbohidrat 56.6%, lemak 2.2%, thiamin 0.20 mg, riboflavin 4.9 mg, niacin 77.2 mg, kalsium 314 mg, kalium 3.793 mg, fosfor 717 mg, Natrium 837 mg, Besi (Ferrum) 18.2 mg, serta memiliki kandungan serat (selulosa) mulai 7.4% sampai 27.6% sangat baik bagi pencernaan (Suriawiria, 2006). Jamur tiram putih memiliki kadar protein yang tinggi dengan asam amino yang lengkap, termasuk asam amino esenssial yang dibutuhkan manusia. Dalam tubuh buah jamur tiram putih diketahui terkandung 18 asam amino yang dibutuhkan oleh tubuh manusia dan tidak mengandung kolesterol. Khasiat jamur tiram untuk kesehatan adalah untuk menghentikan pendarahan dan mempercepat pengeringan luka pada permukaan tubuh, mencegah penyakit diabetes mellitus, penyempitan pembuluh darah, menurunkan kolesterol darah, menambah vitalitas dan daya tahan tubuh, serta mencegah penyakit tumor atau kanker, kelenjar gondok, influenza, sekaligus memperlancar buang air besar (Djarijah et. al, 2001).

(9)

Seiring dengan popularitas serta memasyarakatnya jamur tiram sebagai obat dan bahan makanan yang lezat dan bergizi, maka permintaan konsumen dan pasar jamur tiram di berbagai daerah terus meningkat. Aspek pemasaran merupakan aspek yang sangat penting, bila mekanisme pemasaran berjalan dengan baik maka semua pihak yang terlibat akan diuntungkan. Oleh karena itu peranan lembaga pemasaran yang biasanya terdiri dari produsen, tengkulak, pedagang pengumpul, eksportir, importir, pedagang pengecer, dan lainnya menjadi sangat penting. Pada beberapa negara berkembang lemahnya pemasaran hasil pertanian atau lemahnya kompetisi pasar yang sempurna akan mempengaruhi mekanisme pasar (Soekartawi, 2003).

Pengusaha jamur tiram putih ataupun lembaga-lembaga tataniaga lainnya perlu memilih saluran pemasaran yang tepat agar pendapatannya meningkat. Dengan diketahuinya saluran pemasaran maka petani dapat memperkirakan seberapa besar biaya tataniaga yang akan dikeluarkan sehingga mempengaruhi keuntungan setiap lembaga pemasaran. Selain itu, besar kecilnya biaya pemasaran juga mempengaruhi tingkat efisiensi pemasaran jamur tiram. Tataniaga atau Pemasaran adalah suatu proses pertukaran yang mencakup serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan barang dan jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi dan menegaskan bahwa tataniaga merupakan salah satu cabang dari aspek jual beli yang menekankan akan jalannya hasil produksi sampai ke tangan konsumen (Soekartawi, 2002). Menurut Sudiyono (2002), tataniaga adalah proses aliran komoditi yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu melalui proses penyimpanan, guna bentuk melalui proses pengolahan, dan guna tempat melalui proses pengangkutan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemasaran dengan melaksanakan satu atau lebih fungsi pemasaran.

Menurut Kotler (2005), pemasaran adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan dengan

(10)

menciptakan, menawarkan, dan memperoleh produk yang bernilai dengan pihak lain. Menurut Soekartawi (2002), pemasaran adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar arus barang dan jasa dari produsen ke konsumen secara efisien. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga pemasaran. Tataniaga pada prinsipnya adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi karena adanya peranan lembaga tataniaga, peranan lembaga tata niaga ini sangat tergantung pada sistem pasar yang berlaku dan karakteristik aliran barang yang dipasarkan, oleh karena itu dikenal istilah saluran tataniaga.

Saluran tataniaga adalah sekumpulan organisasi independen yang terlibat dalam proses pembuatan sebuah produk atau jasa yang tersedia untuk digunakan atau dikonsumsi (Kottler, 2005). Saluran tataniaga juga didefinisikan sebagai perantara-perantara para pembeli atau penjual yang dilalui oleh perpindahan barang baik fisik maupun perpindahan sejak dari produsen hingga ke tangan konsumen (Kottler, 2005). Saluran tataniaga dapat berbentuk sederhana dan dapat pula berbentuk rumit. Hal ini tergantung dari bermacam komoditi, lembaga tataniaga dan sistem tataniaga (Soekartawi, 2002). Menurut Kottler (2005), saluran nol tingkat disebut juga pemasaran langsung, yaitu produsen menjual langsung kepada konsumen. Saluran satu tingkat terdiri dari satu perantara seperti pedagang pengecer. Saluran dua tingkat terdiri dari dua perantara yaitu pedagang pengumpul dan pengecer. Saluran tiga tingkat merupakan saluran terpanjang yang terdiri dari tiga perantara yaitu pedagang pengumpul menjual kepada pemborong atau tengkulak kemudian dijual kembali ke pedagang pengecer dan diteruskan ke konsumen akhir.

Fungsi saluran tataniaga/ pemasaran adalah a) untuk memberikan informasi tentang pelanggan, harga, pesaing, dan pelaku lain dari lingkungan pemasaran, b) fungsi komunikasi dan promosi membangun dan menyebarkan komunikasi persuasif untuk merangsang

(11)

pembelian, c) fungsi negoisasi untuk mencapai persetujuan harga dan syarat jual beli sehingga transfer kepemilikan dapat dipengaruhi, dan d) fungsi distribusi menyediakan penyimpanan dan perpindahan produk fisik melalui tahap yang berurutan (Soekartawi, 2003).

Menurut Soekartawi (2002), fungsi pemasaran/ tata niaga dapat digolongkan menjadi tiga bagian yaitu: a. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian dan fungsi penjualan; b. Fungsi penyediaan fisik terdiri dari fungsi transportasi dan perdagangan; c. Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi, pembelanjaan, penanggungan resiko, dan informasi pasar. Fungsi-fungsi di atas bertujuan untuk memperlancar arus barang dari produsen sampai ke konsumen.

Menurut Soekartawi (2002), biaya tataniaga adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Biaya tataniaga meliputi biaya pengangkutan, pengeringan, pungutan retribusi dan lain-lain. Kottler (2005), mendefinisikan biaya tata niaga adalah biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses pergerakan barang-barang dari tangan produsen ke tangan konsumen akhir. Besar kecilnya biaya tergantung dari besar kecilnya kegiatan lembaga-lembaga tataniaga dan jumlah fasilitas yang diperlukan dalam pergerakan barang tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya tataniaga adalah panjang pendeknya saluran tataniaga, biaya pengangkutan, penyusutan barang, dan peralatan produksi yang digunakan.

Menurut Sudiyono (2002), margin tataniaga dapat didefinisikan dengan dua cara yaitu, definisi pertama menyebutkan bahwa Margin Pemasaran merupakan perbedaan dari harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh petani atau produsen. Sementara itu definisi yang kedua menyatakan bahwa Margin Pemasaran merupakan perbedaan biaya dari jasa-jasa pemasaran yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasa-jasa pemasaran.

(12)

Menurut Soekartawi (2002), harga adalah nilai suatu barang atau jasa yang diukur oleh sejumlah uang, dimana berdasarkan nilai tersebut seseorang atau perusahaan bersedia melepaskan barang atau jasa yang dimilikinya kepada pihak lain. Harga suatu barang ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran di pasar. Suatu barang mempunyai harga karena dua sebab yaitu barang tersebut bermanfaat dan jumlah barang tersebut terbatas (Sudiyono, 2002). Apabila harga suatu barang berada di atas harga keseimbangan maka jumlah barang yang ditawarkan lebih besar daripada jumlah barang yang diminta. Sebaliknya apabila harga barang pada suatu ketika berada di bawah harga keseimbangan maka jumlah barang yang diminta melebihi jumlah barang yang ditawarkan (Sudiyono, 2002).

Pendapatan Usaha Budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Berhasil atau tidaknya usaha budidaya jamur tiram putih dapat dilihat dari besarnya pendapatan yang diperoleh petani dalam mengelola usahatani. Pendapatan dapat didefinisikan sebagai sisa dari pengurangan nilai penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan yang diharapkan adalah pendapatan yang bernilai positif. Penerimaan usaha adalah nilai produk total usaha dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Penerimaan ini mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga maupun yang digunakan kembali untuk bibit atau yang disimpan digudang (Soekartawi, 1986).

Pengeluaran atau biaya usaha budidaya jamur tiram putih merupakan nilai penggunaan sarana produksi dan lain-lain yang dibebankan pada produk yang bersangkutan. Selain biaya tunai yang harus dikeluarkan, ada juga biaya yang diperhitungkan yaitu nilai pemakaian barang dan jasa yang dihasilkan dan berasal dari usaha itu sendiri. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani jamur tiram putih apabila modal dan nilai kinerja diperhitungkan. Pendapatan usaha budidaya

(13)

jamur tiram putih yang diterima oleh seorang petani dalam satu tahun berbeda dengan pendapatan yang diterima petani lainnya. Perbedaan pendapatan petani ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya masih dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani, misalnya luas lahan usaha tani, efisiensi kerja dan efisiensi produksi. Tetapi ada pula faktor-faktor yang tak dapat diubah seperti iklim dan jenis lahan (Soeharjo dan Patong,1973).

Berkaitan dengan ukuran pendapatan dan keuntungan, Soekartawi (1986), mengemukakan beberapa defenisi yaitu :

a. Penerimaan tunai usaha tani (farm receipt): nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Penerimaan tunai usaha tani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usaha tani.

b. Pengeluaran tunai (farm payment): jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usaha tani, dan tidak mencakup bunga pinjaman dan jumlah pinjaman pokok. c. Pendapatan tunai usaha tani (farm net cash flow): selisih antara penerimaan tunai usaha tani dengan pengeluaran tunai usaha tani.

d. Penerimaan total usahatani (total farm revenue): penerimaan dari semua sumber usaha tani yang meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil dan nilai penggunaan untuk konsumsi keluarga.

e. Pengeluaran total usahatani (total farm expensive): semua biaya-biaya operasional dengan tanpa menghitung bunga dari modal usaha tani dan nilai kerja dari pengelolaan usaha tani. Pengeluaran ini meliputi pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan nilai inventaris dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar atau tenaga kerja keluarga.

(14)

f. Pendapatan total usahatani (total farm income): merupakan selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total.

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Dieng merupakan daerah yang paling banyak terdapat pengusaha pembudidaya jamur tiram putih. Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2011 sampai tanggal 15 Januari 2012. Waktu ini digunakan untuk memperoleh data dan keterangan dari para pengusaha dan semua pihak yang terkait dalam penelitian ini.

Metode Pengumpulan Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dapat diperoleh dengan cara sebagai berikut :

1. Pengamatan langsung (observasi) yaitu meneliti dengan mengadakan pengamatan terhadap obyek yang diteliti secara langsung.

2. Wawancara yaitu melalui komunikasi langsung dengan orang atau pengusaha yang membudidayakan jamur tiram di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara. Pengumpulan

(15)

data dan informasi menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun sesuai dengan tujuan penelitian.

Sementara itu data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan informasi dari instansi-instansi yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. seperti Badan Pusat Statistik (BPS) dan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara, buku, internet dan studi literatur yang terkait dengan penelitian. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu di tingkat petani dengan cara sensus. Karena petani atau orang yang melakukan usaha budidaya jamur tiram putih di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara hanya berjumlah 8 orang. Menurut Sugiono (1994), bila jumlah populasi kurang dari 30 orang maka pengambilan sampel dilakukan dengan cara sensus atau sampel penuh.

Sedangkan untuk pengambilan sampel di tingkat lembaga tataniaga digunakan metode bola salju (snowball sampling). Metode pencarian informasi secara berantai dengan mencari informasi petani atau produsen sebagai tahap pertama. Informasi dari petani produsen menunjukan lembaga-lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga. Kemudian dari pedagang pengumpul diperoleh lembaga - lembaga yang masih terlibat dalam kegiatan tataniaga seperti pedagang besar, kemudian seterusnya ke pedagang pengecer hingga ke konsumen akhir (Arikunto, 1996).

Metode Analisis Data

Metode Analisis Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Menurut Soekartawi (2002), biaya tata niaga adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk menyampaikan barang dari produsen ke konsumen. Biaya tataniaga meliputi biaya pengangkutan, pengepakan, pungutan retribusi, dan lain-lain. Biaya tataniaga dapat dihitung dengan menggunakan rumus : BT = Bp + Btr

(16)

Keterangan : BT = Biaya tataniaga (Rp/masa panen), Bp = Biaya pengepakan (Rp/masa panen), Btr = Biaya transportasi (Rp/masa panen).

2. Margin tataniaga menurut Sudiyono (2002) adalah selisih antara harga penjualan dan harga pembelian dihitung dengan rumus : M = Hp – Hb

Keterangan : M = Margin (Rp/kg), Hp = Harga penjualan (Rp/kg), Hb = Harga pembelian (Rp/kg).

3. Menurut Sudiyono (2002), untuk menghitung bagian harga yang diterima petani (Share) dapat dihitung dengan rumus : Lp =

He Hp

x 100 %.

Keterangan : Lp = Bagian harga yang diterima petani (%), Hp = Harga pada petani produsen (Rp/kg), He = Harga eceran (Rp/kg).

4. Menurut Kottler (2005), profit atau keuntungan yang diperoleh tiap lembaga yang terlibat dihitung dengan rumus : π = Mp – Bt

Keterangan : π = Profit atau keuntungan (Rp/kg), Mp = Margin pedagang (Rp/kg), Bt = Biaya total (Rp/kg).

5. Menurut Soekartawi (2002), efisiensi tataniaga adalah perbandingan antara biaya tataniaga dengan produk yang dijual dan dinyatakan dengan persen. Rumus efisiensi tataniaga adalah sebagai berikut : EPs =

TNP TB

x 100 %

Keterangan : EPs = Efisiensi biaya tataniaga (%), TB = Total biaya tataniaga (Rp), TNP = Total nilai produk (Rp).

(17)

6. Analisis Pendapatan Hasil Budidaya Jamur Tiram Putih: Analisis pendapatan mempunyai tujuan dan kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha tani dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi seorang petani analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Soeharjo dan Patong (1973) menyatakan bahwa pendapatan selain diukur dengan nilai mutlak juga dianalisa nilai efisiensinya. Salah satu ukuran efisien adalah penerimaan untuk setiap rupiah yang dikeluarkan R/C rasio (Revenue cost ratio). Dalam analisis R/C rasio akan diuji seberapa jauh nilai rupiah yang dipakai dalam kegiatan usaha tani bersangkutan dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya. Dengan kata lain analisis rasio penerimaan atas biaya produksi dapat digunakan untuk mengukur tingkat keuntungan relatif kegiatan usaha tani, artinya dari angka rasio penerimaan atas biaya tersebut dapat diketahui apakah suatu usaha tani menguntungkan atau tidak. Selanjutnya Soeharjo dan Patong (1973) menjelaskan bahwa usaha budidaya jamur tiram putih dikatakan menguntungkan apabila nilai R/C rasio lebih besar dari 1 dan sebaliknya suatu usaha dikatakan belum menguntungkan apabila nilai R/C rasio kurang dari 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) 1. Persiapan Sarana Produksi

a. Bangunan Kumbung: Bangunan atau rumah jamur dapat dibuat dari bahan bambu, kayu

atau besi. Bangunan yang sederhana dapat berupa bangunan dengan tiang dan dinding yang terbuat dari bambu, atap dari genteng dan lantai dari tanah yang diperkuat. Ukuran bangunan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu sesuai dengan jumlah bag log atau substrat

(18)

tanam yang akan dipelihara. Misalnya untuk memelihara 500-1000 bag log atau substrat tanam, dibutuhkan bangunan dengan ukuran 6m x 4m x 4m. Bentuk bangunan atau rumah jamur bias bervariasi, namun bentuk yang sering dijumpai yaitu seperti bangunan rumah. Pada umumnya bangunan atau rumah jamur terdiri dari beberapa ruangan diantaranya :

1. Ruang Persiapan: digunakan untuk persiapan pembuatan media tanam. Kegiatan yang dilakukan pada ruang persiapan antara lain kegiatan pengayakan, pencampuran media tanam, pewadahan dan sterilisasi. Ruang persiapan dapat digunakan pula sebagai tempat untuk menyimpan bahan-bahan seperti bekatul dan kapur apabila skala produksi usaha itu tidak terlalu besar. Namun apabila skala produksi dalam jumlah besar maka bahan-bahan itu sebaiknya ditempatkan dalam ruang terpisah atau gudang.

2. Ruang Inokulasi: adalah ruang untuk menanam bibit pada media tanam jamur. Ruang inokulasi harus mudah dibersihkan dan disterikan untuk menghindari terjadinya kontaminasi oleh mikroba lain. Pada ruang inokulasi diusahakan tidak banyak terdapat ventilasi yang terbuka lebar dan sebaiknya ventilasi udara dipasang filter atau saringan dari kawat kassa atau kassa plastik, hal ini untuk meminimalisasi tingkat kontaminan. Pada perusahaan dalam skala besar biasanya ruang inokulasi dilengkapi dengan alat pendingin udara (air conditioning).

3. Ruang Inkubasi adalah ruang yang digunakan untuk menumbuhkan miselium jamur tiram putih pada media tanam yang sudah diinokulasi. Ruang inkubasi biasanya disebut dengan ruang spawning. Kondisi ruangan diatur pada suhu 22-28 0C dengan kelembaban

60-80%. Ruang ini dilengkapi dengan rak-rak inkubasi untuk mendapatkan media tanam yang sudah diinokulasi.

(19)

4. Ruang Pemeliharaan atau sering disebut growing digunakan untuk menumbuhkan tubuh buah jamur. Ruang ini dilengkapi dengan rak-rak tempat baglog penumbuhan tubuh buah jamur dan alat penyemprot untuk menjaga kelembaban dan kadar air dalam pemeliharaan tubuh buah jamur. Alat ini berfungsi untuk menyemprotkan air sehingga ruangan bias diatur dalam kondisi yang optimal yaitu dengan suhu 16-22 0C dan

kelembaban 80-90%.

5. Ruang Pembibitan adalah ruang yang khusus digunakan dalam pembuatan media bibit jamur. Ruang ini diperlukan bila skala produksi sudah besar, dalam skala produsi kecil bibit dapat dibeli dari produsen bibit sehingga ruang pembibitan tidak diperlukan lagi.

b. Peralatan: Budidaya jamur tiram secara sederhana dapat dilakukan dengan alat-alat yang

mudah diperoleh seperti cangkul, sekop, botol, kayu, alat pensteril, lampu spritus. Untuk produksi dalam kapasitas besar diperlukan peralatan yang cukup besar seperti ayakan, mixer,

filler, boiler dan chamber sterilizer. Mixer digunakan sebagai alat pencampur media tanam

jamur. Filler digunakan sebagai alat pengisi media ke dalam kantong plastik dalam jumlah tertentu. Boiler digunakan sebagai sumber pemanas (uap). Chamber sterilizer digunakan sebagai alat untuk sterilisasi dalam jumlah yang besar.

c. Bahan – Bahan: Bahan-bahan untuk budidaya jamur tiram putih yang perlu dipersiapkan

terdiri dari bahan baku dan bahan pelengkap.

a. Bahan baku: Jamur tiram putih merupakan jenis fungi sapprofit dimana tumbuh dan berkembang pada kayu atau pohon dan mengambil sari makanan dari inangnya. Dalam kegiatan budidaya jamur tiram putih media tanam utama yang digunakan adalah serbuk kayu atau serbuk gergaji supaya media hidup jamur dalam kegiatan budidaya sama dengan di alam. Serbuk kayu yang umum digunakan dalam kegiatan budidaya jamur tiram putih adalah dari

(20)

pohon sengon (Parasientes falcataria) karena kandungan getah yang terdapat pada pohon ini relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan jenis pohon yang lain, karena kandungan getah pada pohon dapat menghambat pertumbuhan miselia jamur tiram putih. Serbuk gergaji dapat diperoleh dari pabrik pengrajin kayu. Pemilihan serbuk gergaji sebagai bahan baku media penanaman jamur perlu memperhatikan tingkat kebersihan dan kadar getah pada kayu untuk mengurangi kontaminan dalam pelaksanaan budidaya jamur tiram putih.

b. Bahan tambahan yang digunakan dalam budidaya jamur tiram putih pada media plastik terdiri dari beberapa macam yaitu bekatul (dedak padi), kapur (CaCO3), gips (CaSO4), tepung

tapioka atau tepung jagung, pupuk SP-36, karet, kapas, cincin pipa dan dapat pula ditambahkan mineral-mineral lain.

b.1. Bekatul ditambahkan untuk meningkatkan nutrisi media tanam sebagai sumber karbohidrat, sumber karbon (C), dan nitrogen (N2). Bekatul yang digunakan dapat berasal

dari berbagai jenis padi dari hasil penggilingan di pabrik. Bekatul sebaiknya dipilih yang masih baru, belum tengik dan tidak rusak.

b.2. Kapur (CaCO3) ditambahkan pada media tanam sebagai sumber kalsium (Ca) dan

untuk menstabilkan tingkat keasaman (pH) pada media tanam. Jenis kapur yang digunakan adalah kalsium karbonat (CaCO3). Unsur kalsium dan karbon digunakan untuk

meningkatkan mineral yang dibutuhkan jamur bagi pertumbuhannya.

b.3. Gips (CaSO4) digunakan sebagai sumber kalsium dan sebagai bahan untuk

memperkokoh media tanam, dimana dengan kondisi kokoh maka media tanam tidak akan cepat rusak.

b.4. Kantong Plastik: Penggunaan kantong plastik bertujuan untuk mempermudah pengaturan kondisi dan penanganan media selama pertumbuhan. Kantong plastik yang

(21)

digunakan adalah plastik yang kuat dan tahan panas sampai suhu 100 ºC, jenis plastik biasanya dipilih dari jenis polipropilen (PP). Ukuran dan ketebalan plastik terdiri dari berbagai macam ukuran. Dalam usaha budidaya jamur tiram biasanya yang digunakan adalah ukuran 20 x 30 cm, 17 x 35 cm, 14 x 25 cm dan ketebalan 0.3 – 0.7 mm.

d. Bibit Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus): Budidaya jamur yang berhasil dengan

baik dipengaruhi beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian secara seksama, diantaranya adalah bibit jamur. Meskipun semua faktor dalam budidaya jamur telah dipenuhi dengan baik tetapi bibit jamur yang digunakan berkualitas kurang baik maka produksi jamur yang diharapkan akan kurang memuaskan atau tidak akan menghasilkan sama sekali (Cahyana, 1997) Bibit yang dipakai sebaiknya berasal dari turunan pertama (F1) karena dengan menggunakan turunan F2, F3 dapat menyebabkan lemahnya pertumbuhan miselium dan dapat mengurangi produktifitas. Ada beberapa indikasi bibit yang baik adalah sebagai berikut : a. Bibit berasal dari varietas unggul; b. Bibit tidak terlalu tua atau sudah terlalu lama disimpan; c. Bibit tidak terkontaminasi.

2. Tahapan Budidaya Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Beberapa tahapan dalam budidaya jamur tiram putih yang perlu diperhatikan yaitu :

a. Persiapan bahan: Bahan yang harus dipersiapkan yaitu serbuk kayu (serbuk gergaji),

dedak, kapur, gipsum, tepung jagung dan pupuk SP-36 sesuai dengan kebutuhan.

b. Pengayakan: Serbuk kayu yang diperoleh dari penggergajian mempunyai tingkat

keseragaman yang kurang baik, sehingga hal ini mengakibatkan tingkat pertumbuhan miselia kurang merata dan kurang baik. Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut maka serbuk kayu terlebih dahulu perlu diayak. Ukuran ayakan yang digunakan sama dengan ukuran ayakan pasir.

(22)

c. Perendaman: Perendaman serbuk kayu perlu dilakukan untuk menghilangkan getah dan

minyak yang terdapat pada serbuk kayu. Di samping itu perendaman juga berfungsi untuk melunakan serbuk kayu agar mudah diuraikan oleh jamur.

d. Pengukusan: Pengukusan serbuk kayu yang telah direndam dilakuakan pada suhu 80-90 0C selama 4-6 jam. Proses pengukusan ini bertujuan untuk mengurangi mikroba yang dapat

menganggu pertumbuhan jamur tiram. Melalui tahap mengukusan ini juga diharapkan dapat melarutkan minyak dan getah yang terdapat pada kayu.

e. Pencampuran: Bahan-bahan yang telah ditimbang sesuai dengan kebutuhan selanjutnya

dicampur dengan serbuk kayu yang telah dikukus, lalu ditambahkan air secukupnya yaitu sekitar 50-65%. Pencampuran ini harus dilakukan secara merata sehingga tidak terjadi gumpalan-gumpalan antara sebuk kayu dengan kapur, karena bisa menghambat pertumbuhan bibit jamur tiram.

f. Pengomposan: Pengomposan media tumbuh bertujuan untuk menguraikan

senyawa-senyawa yang terdapat di dalamnya agar menjadi lebih sederhana sehingga mudah diserap dan dicerna oleh jamur. Pengomposan dilakukan dengan cara sederhana, yaitu menumpuk media tumbuh setinggi 50 cm lalu ditutup dengan lembaran plastik selama dua hari sampai suhu mencapai 50 0C dengan kadar air 50-65% dan pH 6-7.

g. Pembungkusan: Pembungkusan dilakukan dengan menggunakan plastik polipropilen (PP)

karena plastik jenis ini relatif tahan terhadap panas. Ukuran plastik bermacam-macam, namun yang biasa digunakan yaitu plastik berukuran 20x30 cm berkapasitas 1.000 g. jika pembungkusan dilakukan secara manual, maka media yang ada di dalam plastik dipadatkan menggunakan botol atau alat jenis lainnya. Pemadatan dilakukan sampai media mencapai ketinggian sekitar 20 cm, lalu tepat dipermukaan media dibuat lubang tanam sedalam 10 cm

(23)

dengan diameter 2.5 cm menggunakan kayu atau besi yang steril. Selanjutnya bagian ujung plastik yang terbuka, tepat diatas batas media tumbuh dipasang cincin dari plastik atau potongan pipa peralon, lalu disumpal dengan kapas. Media tumbuh yang dibungkus plastik inilah yang disebut bag log.

h. Sterilisasi bag log: Sterilisasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk menonaktifkan

mikroba, baik bakteri, kapang maupun khamir yang dapat menganggu pertumbuhan jamur tiram. Sterilisasi dilakukan pada suhu 80-90 0C selama 6-8 jam. Untuk melakukan sterilisasi

dapat digunakan alat yang sangat sederhana yaitu drum minyak yang terbuat dari besi dengan sedikit dimodifikasi dan menambahkan sarangan pembatas antara air dengan tempat bag log.

i. Pendinginan: Sebelum dilakukan inokulasi, bag log yang telah disterilisasi terlebih dahulu

didinginkan selama 1-2 hari hingga suhunya mencapai 35-40 0C. Apabila suhu bag log terlalu

tinggi maka bibit yang ditanam akan mati karena kepanasan. Untuk mempercepat proses pendinginan dapat digunakan kipas angin atau blower.

j. Inokulasi: Inokulasi atau penanaman bibit harus segera dilakukan setelah bag log suda

dingin dan dilakukan di ruangan yang telah disterilkan. Adapun cara melakukan inokulasi bibit jamur tiram ke bag log sebagai berikut: buka penutup bag log, tuangkan bibit jamur tiram sebanyak 3 sendok makan di tengah lubang tanam, kemudian tutup kembali bag log menggunakan penutupnya. Agar inokulasi dapat berhasil dengan baik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan kegiatan ini yaitu kebersihan, bibit dan teknik inokulasi.

k. Inkubasi: Inkubasi atau proses penumbuhan miselia jamur dilakukan dengan cara

menyimpan bag log di ruang inkubasi bersuhu 22-28 0C. Lama waktu inkubasi 40-60 hari

(24)

dilihat sekitar dua minggu, yaitu tumbuhnya miselia jamur berwarna putih yang merambat ke bawah. Sedangkan jika miselia tidak tumbuh atau tumbuh miselia berwarna selain putih maka proses inkubasi gagal dan harus diulang.

l. Penumbuhan: Media tumbuh jamur yang sudah putih oleh miselia jamur setelah berumur

40-60 hari sudah memasuki masa pertumbuhan tubuh buah jamur. Untuk mempercepat terjadinya pertumbuhan dilakukan dengan cara membuka plastik media tumbuh yang sudah penuh miselia. Pada prinsipnya pembukaan plastik media bertujuan memberikan O2 yang

cukup bagi pertumbuhan tubuh buah jamur tiram. Dengan O2 yang cukup maka dapat

memberikan kesempatan bagi jamur untuk membentuk tubuh buah (fruiting body) dengan baik. Satu sampai dua minggu setelah media dibuka biasanya akan tumbuh tubuh buah. Tubuh buah yang sudah tumbuh tersebut selanjutnya dibiarkan selam 2-3 hari atau sampai terjadi pertumbuhan yang optimal. Kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh buah pada jamur tiram adalah pada suhu 16-22 0C dengan kelembaban 80-90%. Apabila suhu

terlalu tinggi, sedangkan kelembaban terlalu rendah (biasanya pada musim panas) perlu dilakukan penyemprotan menggunakan air bersih.

m. Pengendalian gulma dan hama: Masalah besar dalam usaha budidaya jamur tiram putih

adalah terjadinya kontaminasi mikroorganisme yang tidak diharapkan. Kontaminasi tersebut menyebabkan media tumbuh ditumbuhi oleh jamur-jamur gulma yang menjadi pesaing jamur tiram dalam memperebutkan makanan. Keberadaan gulma dapat dilihat dengan munculnya bintik-bintik hitam, hijau atau warna mencolok lain dipermukaan media. Pencegahan munculnya gulma dilakukan dengan cara mengusahakan agar setiap tahapan budidaya jamur tiram selalu dilakukan dalam keadaan steril, baik pada saat pembibitan maupun penanaman. Jika gulma terlanjur tumbuh bisa ditanggulangi dengan cara mencabutnya tangan atau pinset. Di samping itu aroma media tumbuh yang khas, mengundang kehadiran beberapa jenis

(25)

serangga yang hidup di sekitar kumbung yaitu lalat, tungau rayap, laba-laba dan cacing. Keberadaan beberapa jenis hama ini mengakibatkan tubuh buah jamur rusak misalnya tubuh buah jamur terlihat keriput dan batangnya berlubang. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan menjaga agar lingkungan sekitar kumbung bersih.

n. Pemanenan: Kegiatan pemanenan ikut menentukan kualitas jamur tiram yang dipanen.

Untuk itu pemanenan jamur tiram harus memperhatikan beberapa hal berikut:

1. Penentuan saat panen: Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat

optimal, yaitu cukup besar, tetapi belum mekar sepenuhnya. Pemanenan biasanya dilakukan 4-5 hari setelah tumbuh calon jamur atau sejak pembentukan tubuh buah. Pada saat itu ukuran jamur sudah cukup besar dengan diameter rata-rata antara 5-10 cm. Masa panen jamur tiram mencapai kurang lebih 4 bulan dengan interval pemanenan 5 hari sekali. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mempertahankan kesegaran jamur dan mempermudah pemasarannya.

2. Teknik pemanenan: Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut seluruh rumpun

jamur yang ada hingga akar-akarnya untuk menghindari adanya akar atau batang jamur yang tertinggal. Apabila ada bagian jamur yang tertinggal dapat membusuk sehingga dapat mengakibatkan kerusakan media, bahkan dapat merusak pertumbuhan jamur yang lain.

3. Penanganan pascapanen: Jamur tiram yang sudah dipanen tidak perlu dipotong

hingga menjadi bagian per bagian tudung, tetapi hanya perlu dibersihkan dari kotoran yang menempel pada bagian akarnya. Dengan cara tersebut selain kebersihan lebih terjaga, daya tahan simpan jamur tiram pun akan lebih lama.

(26)

Studi pemasaran jamur tiram putih di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dapat dianalisis dengan melihat :

1. Biaya tataniaga (Pemasaran):

Di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah hanya terdapat satu saluran tataniaga/ pemasaran jamur tiram yaitu saluran nol tingkat. Pada saluran nol tingkat pengusaha jamur tiram putih mengeluarkan biaya tataniaga berupa biaya pengemasan dan biaya transportasi. Jumlah biaya tataniaga yang dikeluarkan 8 orang petani adalah Rp 2.092.000,00 tiap masa panen, dengan rata-rata Rp 261.500,00 per masa panen per responden.

Total penerimaan dan keuntungan produksi jamur tiram putih pada saluran nol tingkat berkisar antara 105-250 kg. Harga jual jamur tiram putih yang berlaku pada tingkat pengusaha jamur tiram putih rata-rata sebesar Rp. 12.500 per kg. Besarnya penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp 17.750.000,00 per masa panen dengan rata-rata Rp 2.218.750,00 per masa panen per responden. Selanjutnya dapat diketahui keuntungan pengusaha jamur tiram putih yaitu sebesar Rp 15.658.000,00 per masa panen dengan rata-rata Rp 1.957.250 per masa panen per responden.

Para pengusaha jamur tiram putih menggunakan sebagian dari keuntungan yang ia dapatkan untuk mengembangkan usahanya, seperti meningkatkan jumlah produksi (menambah jumlah bag log) dan menambah jumlah kumbung. Selain karena keuntungan yang diperoleh cukup besar, pengembangan usaha juga dilakukan karena budidaya jamur tiram merupakan salah satu usaha tani yang relatif mudah untuk dilakukan. Selanjutnya pengembangan usaha juga dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi permintaan jamur tiram dari konsumen.

(27)

2. Margin, Share, Efisiensi Tataniaga/ Pemasaran dan Nilai Rasio R/C

Margin tataniaga adalah selisih harga penjualan dengan harga pembelian. Pada saluran tataniaga nol tingkat tidak terdapat margin tataniaga. Hal ini dikarenakan pada saluran tataniaga nol tingkat tidak terdapat perbedaan share yang diterima pengusaha jamur tiram putih karena tidak adanya perbedaan harga jual yang berlaku. Pada saluran tataniaga nol tingkat nilai efisiensi dapat dilihat pada perbandingan antara biaya tataniaga yang dikeluarkan dengan jumlah produksi yang dijual, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

- Nilai Efisiensi Pemasaran Pengusaha Jamur Tiram:

00 , 000 . 750 . 17 00 , 000 . 092 . 2 x 100 % = 11.79 %

- Nilai Rasio R/C Usaha Budidaya Jamur Tiram:

00 , 000 . 092 . 2 00 , 000 . 750 . 17 = 8.48

Pada saluran nol tingkat pengusaha jamur tiram putih memperoleh nilai efisiensi pemasaran sebesar 11.79 % yang artinya untuk memperoleh penerimaan sebesar 100% dibutuhkan biaya sebesar 11.79%. Sementara itu berdasarkan nilai rasio R/C (Revenue cost

ratio) diketahui bahwa usaha budidaya jamur tiram putih di Kecamatan Dieng, Kabupaten

Banjarnegara dinilai sangat menguntungkan karena memiliki nilai R/C rasio sebesar 8.48 (lebih besar dari 1). Sehingga kewirausahaan ini dapat dikembangkan untuk meningkatkan kehidupan perekonomian masyarakat setempat.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan kewirausahaan budidaya jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) sangat berprospek untuk dikembangkan sebagai salah satu kegiatan usaha tani di Kecamatan Dieng, Kabupaten

(28)

Banjarnegara, Jawa Tengah karena memiliki nilai R/C rasio sebesar 8.48 (lebih besar dari 1). Diketahui bahwa di kawasan tersebut hanya terdapat satu saluran tataniaga/ pemasaran jamur tiram yaitu saluran nol tingkat. Volume produksi yang dihasilkan selama panen tubuh buah jamur tiram putih pada saluran nol tingkat berkisar antara 105-250 kg. Jumlah biaya tataniaga yang dikeluarkan 8 orang pengusaha jamur tiram adalah Rp 2.092.000,00 tiap masa panen, dengan rata-rata Rp 261.500,00 per masa panen per responden. Besarnya penerimaan yang diperoleh adalah sebesar Rp 17.750.000,00 per masa panen dengan rata-rata Rp 2.218.750,00 per masa panen per responden. Selanjutnya dapat diketahui keuntungan pengusaha jamur tiram putih yaitu sebesar Rp 15.658.000,00 per masa panen dengan rata-rata Rp 1.957.250 per masa panen per responden. Pada saluran nol tingkat pengusaha jamur tiram putih memperoleh nilai efisiensi pemasaran sebesar 11.79 %.

SARAN DAN REKOMENDASI PEMECAHAN MASALAH

Untuk meningkatkan keuntungan yang diperoleh dari kegiatan kewirausahaan budidaya jamur tiram putih di Kecamatan Dieng, Kabupaten Banjarnegara, maka disarankan agar para wirausahawan dapat bekerjasama dengan pihak-pihak terkait seperti Koperasi Unit Desa dan Asosiasi Petani Jamur Tiram di Kecamatan Dieng. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengembangan kegiatan usaha tani dan mempermudah para wirausahawan dalam memasarkan produk jamur tiram putih. Untuk kegiatan penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan riset di kecamatan lain seperti Kecamatan Wanadadi, Mandiraja, Bawang, Klampok, dan Purwonegoro di Kabupaten Banjarnegara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan oleh bapak Suhadi dan bapak Mishad, serta para penyuluh lapangan Dinas

(29)

Pertanian dan Peternakan Kabupaten Banjarnegara yang telah memfasilitasi dan mendampingi penulis selama melakukan pengambilan data di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto S. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka cipta. Cahyana YA. 1997. Pembibitan dan Budidaya Jamur Tiram Putih. Jakarta: Papas Sinar

Sinanti.

Djarijah, Nunung M, Abbas Siregar Djarijah. 2001. Budidaya JamurTiram. Yogyakarta: Kanisius.

Hernanto, F. 1989. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kottler P. 2005. Marketing manajemen. Edisi ke delapan. Terjemahan Herujati Purwanto. Jakarta: Erlangga.

Maharani Diah. 2007. Analisis Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus

ostretus) di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Jawa Barat [skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Mosher. 1966. Menggerakkan dan Membangun pertanian. Jakarta: CV Sasaguna. Mubyarto. 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.

Muchrodi. 2001. Jamur Tiram Putih. Jakarta: Penebar Swadaya. Soeharjo dan Patong. 1973. Ilmu Usahatani. Jakarta: Penebar Jaya.

Soekartawi. 1986. Ilmu usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia. Jakarta.

(30)

Soekartawi. 1989. Teori Ekonomi Produksi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Soekartawi. 2002. Manajemen Pemasaran Hasil - Hasil Pertanian. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soekartawi. 2003. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sudiyono A. 2002. Pemasaran Pertanian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Sugiono. 1994. Metode Penelitian Administrasi. Jakarta: Alpabeta.

Gambar

Gambar 1. Tubuh Buah Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)

Referensi

Dokumen terkait

SUPRIYANTO SMK

Yuni Apsari, M.Si., Psi, selaku dekan dan dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan saran dan nasihat yang terbaik untuk akademik saya.. Ibu Yustina

Adapun teknik yang digunakan adalah: (1) inhibisi yaitu suatu upaya untuk menghambat atau menurunkan, menghentikan tonus otot yang berlebihan dengan menggunakan sikap

Media gambar merupakan media pandang dua dimensi yang dirancang secara khusus untuk mengkomunikasikan pesan pembelajaran (Udin S. Penggunaan media ini diharapkan dapat membantu

Myös opettajien läsnäoloa kaivattiin ja koettiin hyväksi muun muassa se, jos toinen opettaja oli luokasta pois, niin oppilaat eivät jääneet silti keskenään.

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul ”PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN MELALUI WEBSITE MENURUT UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008

KINERJA PEGAWAI DALAM PELAYANAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN PADA KANTOR KECAMATAN SUNGAI PANDAN KABUPATEN HULUH.

 Dengan menggunakan modul dapat membantu menghindari pengulangan dalam menuliskan algoritma yang sama lebih dari satu kali..  Efficiency