• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pertanian Subsektor Tanaman Pangan 1. Peranan dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pertanian Subsektor Tanaman Pangan 1. Peranan dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Pertanian Subsektor Tanaman Pangan

Keberhasilan suatu pembangunan pertanian diperlukan beberapa syarat atau pra kondisi yang berbeda-beda untuk setiap daerah atau negara. Pra kondisi tersebut meliputi bidang-bidang teknis, ekonomis, sosial-budaya dan lain-lain. Menurut AT. Mosher, 1991, ada lima syarat yang harus ada untuk adanya pembangunan pertanian. Kalau satu syarat saja dari syarat-syarat tersebut tidak ada maka akan terhentilah pembangunan pertanian, pertanian dapat berjalan terus tetapi statis. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Adanya pasar untuk hasil-hasil usahatani 2. teknologi yang senantiasa berkembang

3. tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal 4. adanya perangsang produksi bagi petani

5. tersedianya pengangkutan yang lancar dan berkelanjutan.

Disamping syarat-syarat mutlak yang lima ini menurut Mosher ada lima syarat lagi yang adanya tidak mutlak tetapi kalau ada maka akan sangat memperlancar pembangunan pertanian. Syarat-syarat pelancar tersebut adalah:

1. Pendidikan pembangunan 2. kredit produksi

3. kegiatan gotong royong petani

4. perbaikan dan perluasan tanah pertanian 5. perencanaan nasional pembangunan pertanian.

Masih banyaknya masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan semakin mempertegas Pemerintah Indonesia untuk menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak perekonomian nasional. Peranan sektor pertanian dalam pembangunan nasional ada 4 macam, yaitu:

1. Peranan dalam pembentukan produk domestik bruto (PDB). Pada

tahun 1996, PDB sektor pertanian, termasuk pula kehutanan dan perikanan, adalah sebesar Rp 63,8 triliun. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 66,4 triliun pada tahun 2000. Besarnya PDB pertanian tersebut memberikan kontribusi sekitar 17 persen terhadap PDB nasional. Bila dibandingkan dengan sektor lain, maka kontribusi PDB pertanian menduduki urutan kedua setelah sektor industri manufaktur. Di samping kontribusi langsung terhadap PDB yang cukup

(2)

signifikan, sektor pertanian juga telah menunjukkan ketangguhan dalam menjaga stabilitas ekonomi pada masa krisis perekonomian nasional. Ketangguhan sektor ini ditunjukkan oleh kemampuannya untuk tetap tumbuh secara positif pada masa (1998) sementara perekonomian nasional secara agregat mengalami kontraksi yang sangat hebat, yaitu sebesar 13,7 persen (Gie, 2002).

2. Peranan dalam penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian berikut

sistem agribisnisnya sangat dominan perannya dalam penyerapan tenaga kerja, yang mampu menyerap 45,0 persen dari total penyerapan tenaga kerja nasional, atau menempati urutan pertama dalam penyerapan tenaga kerja.

Hal ini dapat dilihat selama masa kontraksi ekonomi nasional akibat krisis pada tahun 1998, yang secara penyerapan tenaga kerja nasional menurun sebesar 2,13 persen, atau sebesar 6,4 juta orang di semua sektor ekonomi (kecuali listrik), maka sektor agribisnis justru mampu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sebanyak 0,4 juta orang. Fakta empiris ini menunjukkan bahwa sektor agribisnis masih merupakan sektor yang paling tangguh dalam menghadapi krisis dan paling berjasa dalam menampung pengangguran sebagai akibat krisis ekonomi.

3. Peranan sebagai penghasil devisa. Peran sektor pertanian yang sangat

penting adalah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah. Sesuai tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, adalah untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis seperti sumber daya alam (lahan, air, keragaman hayati, agroklimat), sumber daya manusia di bidang agribisnis, dan teknologi di bidang agribisnis. Selain itu, sektor agribisnis adalah penyumbang terbesar dalam produk domestik regional bruto (PDRB) dan ekspor daerah. Dalam penyerapan tenaga kerja, kesempatan berusaha di setiap daerah, sebagian besar juga disumbang oleh sektor agribisnis. Oleh karena itu, pembangunan agribisnis

(3)

untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerah merupakan pilihan yang paling rasional. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis perlu dijadikan sebagai pilar pembangunan ekonomi wilayah.

4. Peranan dalam pelestarian lingkungan hidup. Keprihatinan akan

kemerosotan mutu lingkungan hidup bukan lagi sebatas isu lokal suatu negara melainkan sudah menjadi keprihatinan masyarakat internasional. Kemerosotan mutu lingkungan hidup saat ini telah sampai pada tingkat yang dapat mengancam kelangsungan hidup manusia tidak hanya di sekitarnya namun juga seluruh manusia di muka bumi. Pembangunan agribisnis mempunyai potensi untuk dapat mencegah dan memperbaiki kemerosotan mutu lingkungan hidup melalui beberapa cara. Pertama, pembangunan agribisnis akan membuka kesempatan-kesempatan ekonomi yang luas di setiap daerah (ruang). Kesempatan ekonomi tersebut akan menarik penyebaran penduduk beserta aktivitasnya, sehingga tekanan penduduk pada suatu ruang tertentu dapat dikurangi; Kedua, pembangunan agribisnis yang pada dasarnya mendayagunakan keragaman hayati, dapat mempertahankan keberadaan keanekaragaman hayati; Ketiga, pembangunan agribisnis yang antara lain mendayagunakan pertumbuhan keragaman tumbuhan, pada dasarnya merupakan “perkebunan karbon” yang efektif dalam mengurangi emisi gas karbon atmosfir yang menjadi salah satu penyebab pemanasan global;

Keempat, pembangunan agribisnis akan menghasilkan produk-produk yang

bersfiat biodegradable yang dapat terurai secara alamiah. Produk agribisnis yang

biodegradable ini akan dapat mengurangi penggunaan produk-produk petrokimia

yang non-biodegradable; dan Kelima, pembangunan agribisnis yang bergerak dari

factor-driven ke capital driven dan kemudian kepada innovation-driven dalam

menghasilkan nilai tambah dapat mengurangi tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup (Gie, 2002).

2.2. Faktor Yang Menentukan Peningkatan Pendapatan Petani

Rumah tangga pertanian adalah satu kesatuan aktivitas ekonomi keluarga dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan memanfaatkan sektor pertanian dan di luar sektor pertanian sebagai sumber pendapatannya. Berbagai rumah tangga petani memiliki sumber pendapatan berbeda yang ditentukan dari

(4)

kemampuan produksinya. Rumahtangga petani kecil misalnya, kekuatan produksi terbatas pada pemilikan dan atau penguasaan lahan yang sempit. Dan untuk itu rumahtangga petani melakukan berbagai strategi termasuk penggunaan tenaga kerja anggota rumahtangga untuk bekerja di sektor pertanian maupun non pertanian.

Terkait dengan pengelolaan ekonomi pertanian atau usahatani yang dilakukan oleh rumahtangga, Soekartawi (1991) mendefinisikan usahatani sebagai pengorganisasian alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Usahatani terdiri atas manusia petani (bersama keluarganya) sebagai tenaga kerja, tanah (alam), modal (termasuk tanaman) dan unsur pengelolaan atau manajemen yang dijalankan oleh petani itu sendiri.

Secara umum, sumber pendapatan rumahtangga petani yang berasal dari sektor pertanian ditentukan oleh faktor-faktor: 1] kekuatan produksi, 2] permintaan atas produk usahatani/pasar, 3] sistem bagi hasil yang diterapkan, dan 4] Regulasi. Kekuatan produksi dipengaruhi oleh: a] luas lahan yang dimiliki atau dikuasai, b] jumlah tenaga kerja yang digunakan, c] teknologi yang digunakan, d] variable cost (pupuk dan bibit), e] pengalaman berusahatani. Soekartawi (1986) menjelaskan bahwa dalam berproduksi pertimbangan atas prinsip kenaikan hasil yang berkurang (diminishing returns) penting untuk dilakukan. Prinsip ini berguna untuk menentukan jumlah produksi yang dihasilkan dari sumberdaya yang terbatas. Kepada sumberdaya yang terbatas ini ditambahkan faktor-faktor (variable) yang ada dalam jangkauan petani, misalnya dalam bentuk kerja, benih, pupuk, dan insektisida. Kenaikan hasil yang berkurang berasal dari hubungan fisik antara faktor-faktor variabel ini terhadap faktor-faktor tetap (fixed cost). Yang mendasari prinsip ini adalah: tambahan faktor variabel kepada sumberdaya tetap selama tambahan hasil yang diharapkan dari pemakaian unit terakhir faktor variabel itu hampir-hampir cukup untuk menutupi tambahan biaya tersebut.

Terkait dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan dan teknologi, Jenahar (dalam Chuzaimah, 2006) menjelaskan bahwa kebutuhan terbesar tenaga kerja produktif dalam suatu proses produksi usahatani adalah kegiatan pengolahan tanah, penanaman dan panen. Semakin luas penguasaan lahan dan semakin tinggi

(5)

tingkat penerapan teknologi dalam proses produksi maka semakin efisien pemanfaatan tenaga kerja produktif rumahtangga. Pendapatan yang diperoleh petani meningkat lebih besar melalui usaha perluasan lahan dibanding usaha penerapan teknologi. Potensi tenaga kerja merupakan jumlah orang yang bekerja dalam kemampuannya bekerja. Perbandingan kemampuan tenaga kerja laki-laki dan perempuan adalah 1:0,8.

Permintaan atas produk usahatani (pasar) dipengaruhi oleh tingkat

kebutuhan konsumen, semakin tinggi kebutuhan konsumen (permintaan meningkat) maka harga akan cenderung meningkat dan akhirnya mempengaruhi pendapatan petani (produsen). Kebutuhan dipisahkan dari konsep selera. Selera lebih dekat dengan produk pertanian yang bersifat susbstitusi, sehingga konsumen memilik alternative untuk memilih produk yang disukainya. Asumsi yang mendasari mekanisme permintaan ini adalah, bahwa produk usahatani merupakan produk kebutuhan pokok dan pada saat tertentu permintaan akan mengalami titik maksimal karena kebutuhan pokok konsumen sudah terpenuhi.

Mengingat sistem pertanian di Indonesia yang memiliki lahan terbatas, maka rumahtangga petani juga melakukan pengelolaan dan penyewaan atas tanah milik orang lain dengan mekanisme sistem bagi hasil yang diterapkan. Kebanyakan petani di Indonesia memiliki lahan sempit bahkan ada yang tidak memiliki lahan sama sekali sehingga pilihan sistem bagi hasil menjadi alternatif sumber pendapatan rumahtangga petani. Pembayaran pada sistem bagi hasil ini tidak terbatas pada bentuk uang tetapi juga bisa dalam bentuk barang atau produk pertanian. Penguasaan atas tanah pertanian dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas. White (dalam Chuzaimah, 2006) menjelaskan bahwa semakin luas tanah yang dikuasai, pendapatan yang diterima dari usaha pada tanah (dalam arti usahatani) semakin tinggi, yang memungkinkan untuk diinvestasikan pada usaha di luar usahatani.

Regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi

pelaksanaan usahatani. Soekartawi (1986) mengartikan regulasi sebagai kebijaksanaan pertanian yaitu perincian oleh pemerintah mengenai ketentuan dan peraturan yang harus ditaati dalam penyelenggaraan pertanian. Soekartawi menambahkan bahwa tidak semua aspek lingkungan pertanian dapat diawasi oleh

(6)

pemerintah. Contoh berbagai kebijakan pertanian adalah kebijakan bagi hasil, hak atas tanah dan air, harga, pengaturan pasar, pengawasan terhadap hama dan penyakit, ekspor, pemberian kredit dan tingkat bunga. Banyak aspek dalam kebijaksanaan nasional, seperti pembangunan jalan raya, pembiayaan pendidikan dan penelitian mempunyai pengaruh nyata terhadap pertanian. Hubungan regulasi pemerintah dengan tenaga kerja yang akhirnya mempengaruhi pendapatan petani, misalnya dengan adanya bantuan pemerintah kepada petani kecil berupa obat pemberantas hama maka akan meniadakan kesempatan kerja bagi petani yang bendapatannya bersumber dari pekerjaan menyiang.

2.3. Analisis Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani dibedakan menjadi pendapatan atas biaya tunai dan biaya total. Pendapatan atas biaya tunai adalah biaya yang benar-benar dikeluarkan oleh petani, sedangkan pendapatan atas biaya total adalah semua input milik keluarga yang juga diperhitungkan sebagai biaya. Secara matematik penerimaan total, biaya dan pendapatan dalam kegiatan usahatani dapat dirumuskan sebagai berikut:

TR = Y . Hy

TC = TFC + TVC

Пtunai = TRtotal - TCtunai

П

total

= TR

total

– (TC

tunai +

TC

diperhitungkan

)

Dimana:

TR = Total Penerimaan usahatani (Rp) TC = Total biaya usahatani (Rp) П = Pendapatan usahatani (Rp)

Y = Jumlah produksi yang dihasilkan (unit) Hy = Harga produk yang dihasilkan (Rp/unit) TFC = Total biaya tetap

TVC = Total biaya variable (Soekartawi, 1991)

Dalam ekonomi rumahtangga ada kesalingterkaitan antara produksi dan konsumsi, bahkan kedual hal tersebut terkadang tidak dapat dipisahkan oleh rumahtangga petani. Kondisi ini berimplikasi pada analisa pendapatan

(7)

rumahtangga petani, dimana penerapan model ekonomi tidak dapat mengikuti model konvensional yang biasa diterapkan pada ekonomi perusahaan. Untuk menganalisis model khusus ini maka digunakan model ekonomi khusus rumahtangga pertanian atau biasa disebut agricultural household model. Terkait dengan model ekonomi khusus rumahtangga ini, Bagi dan Singh (1974) menyatakan bahawa keputusan usahatani adalah saling tergantung, dinamik dan kompleks, saling mempengaruhi secara simultan. Enam kategori dari persamaan simultan perilaku usahatani rumahtangga yaitu keputusan produksi, keputusan konsumsi, surplus pasar, keputusan penggunaan tenaga kerja, keputusan investasi dan keputusan finansial.

2.4. RPC Penggilingan Padi dan Peningkatan Pendapatan Petani

RPC Penggilingan Padi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan pendapatan petani. RPC dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan nilai tambah dari produksi padi dan peningkatan pendapatan petani. Sehingga apabila RPC penggilingan padi meningkat maka akan diikuti oleh peningkatan pendapatan petani.

2.4.1 RPC sebagai sarana Peningkatan nilai Tambah Produksi Padi

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Nurtama et al. (1996) yang dimantapkan oleh Suismono dan Damardjati (2000) dalam Widowati (2001) menyatakan bahwa sistem penggilingan padi, baik ditinjau dari kapasitas giling maupun teknik penggilingan akan berpengaruh terhadap mutu beras. Sistem penggilingan padi secara tidak langsung juga menentukan jumlah dan mutu hasil sampingnya, terutama bekatul dan menir. Semua ini pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan pendapatan petani.

Penggilingan dengan kapasitas besar dan kontinu, umumnya menghasilkan beras dengan mutu bagus dan rendemen beras keseluruhan tinggi (63-67%). Penggilingan kapasitas besar biasanya dilengkapi dengan grader, sehingga menir langsung dipisahkan dari beras kepala. Ditinjau dari menir yang terpisahkan, maka dari sistem penggilingan ini diperoleh menir bermutu baik dengan jumlah yang banyak (3-5%). Bekatul yang dihasilkan dari sistem penggilingan ini

(8)

mutunya kurang baik, karena masih tercampur dengan dedak dan serpihan sekam. Penggilingan padi skala sedang, dengan sistem semi kontinu maupun diskontinu akan menghasilkan bekatul dengan jumlah cukup banyak dan mutu baik. Hal ini karena bekatul, yang dihasilkan dari mesin sosoh kedua, terpisah dengan dedak, yang dihasilkan dari mesin sosoh pertama. Apabila bekatul akan digunakan sebagai bahan pangan, maka sebaiknya hanya diambil dari hasil mesin sosoh kedua, karena tidak lagi tercampur dengan dedak (bekatul kasar) dan serpihan sekam. Penggilingan padi skala kecil, yang hanya menggunakan satu unit mesin pemecah kulit dan satu unit mesin sosoh umumnya menghasilkan bekatul dengan mutu kurang baik dan jumlah sedikit.

Kapasitas Giling. Berdasarkan kapasitas giling, penggilingan padi

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penggilingan padi skala besar (PPB), penggilingan padi skala sedang/menengah (PPS), dan penggilingan padi skala kecil (PPK).

Penggilingan padi skala besar, yaitu penggilingan padi yang menggunakan tenaga penggerak lebih dari 60 HP (Horse Power) dan kapasitas produksi lebih dari 1000 kg/j, baik menggunakan sistem kontinu maupun diskontinu. PPB sistem kontinu terdiri dari satu unit penggiling padi lengkap, semua mesin pecah kulit, ayakan, dan penyosoh berjalan secara kontinu, dengan kata lain masuk gabah keluar beras giling. PBB diskontinu minimal terdiri dari empat unit mesin pemecah kulit dan empat unit mesin penyosoh yang dioperasikan tidak sinambung atau masih menggunakan tenaga manusia untuk memindahkan dari satu tahapan proses ke tahapan lain.

Penggilingan padi skala sedang menggunakan tenaga penggerak 40-60 HP, dengan kapasitas produksi 7001000 kg/j. Umumnya PPS terdiri dari dua unit mesin pemecah kulit dan dua unit mesin penyosoh. PPS ini menggunakan sistem semi kontinu, yaitu mesin pecah kulitnya kontinu, sedangkan mesin sosohnya masih manual.

Penggilingan padi skala kecil ialah penggilingan padi yang menggunakan tenaga penggerak 20-40 HP, dengan kapasitas produksi 300-700 kg/j. Penggilingan padi manual yang terdiri dari dua unit mesin pemecah kulit dan dua unit mesin penyosoh ini sering disebut Rice Milling Unit (RMU). Di pedesaan

(9)

masih terdapat Huller, yaitu penggilingan padi yang menggunakan tenaga penggerak kurang dari 20 HP dan kapasitasnya kurang dari 300 kg/j. Huller terdiri dari satu unit mesin pemecah kulit dan satu unit penyosoh. Beras yang dihasilkan mutu gilingnya kurang baik, umumnya untuk dikonsumsi sendiri di pedesaan.

Teknik Penggilingan. Berdasarkan teknik penggilingannya, penggilingan

padi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu penggilingan kontinu, semi kontinu, dan diskontinu. Sistem penggilingan kontinu ialah sistem penggilingan di mana seluruh tahapan proses berjalan langsung/ban berjalan. Mesin ini sangat lengkap, terdiri dari mesin pembersih gabah, pemecah kulit, pengayak beras pecah kulit

(paddy separation), penyosoh (polisher), dan ayakan beras (grader).

Sistem semi kontinu, yaitu sistem penggilingan padi di mana mesin pemecah kulitnya dioperasikan secara kontinu, namun mesin penyosohannya masih manual. Umumnya sistem ini terdapat pada PPS. Pada sistem diskontinu seluruh proses dilakukan secara manual, umumnya digunakan pada PPK.

Mutu Beras dan Rendemen Hasil Samping Penggilingan. Sistem

penggilingan padi berpengaruh terhadap mutu beras maupun hasil sampingnya. Mesin pemecah kulit menggunakan rubber roll yang berputar berlawanan arah, masing-masing ke arah dalam. Jarak antar rol dan kecepatan putar akan berpengaruh terhadap tingkat kesempurnaan pengupasan sekam dan keretakan beras pecah kulit. Tipe mesin penyosoh berpengaruh terhadap mutu fisik beras. Tipe friksi menghasilkan mutu giling yang baik, yaitu menir rendah (±2%), mengkilap tetapi derajat putihnya relatif rendah (41%). Tipe abrasive memberikan kenampakan beras yang lebih putih (derajat putih 55%) namun menirnya lebih tinggi (±5%). Tipe friksi bekerja dengan cara gesekan antar butiran beras, sedangkan tipe abrasive bekerja dengan cara pengikisan kulit ari/ aleuron beras dengan batu gerinda.

Derajat sosoh merupakan salah satu kriteria mutu beras BULOG. Derajat sosoh minimal persyaratan BULOG ialah 90% karena tujuannya untuk menyimpan. Semakin tinggi derajat sosoh, beras semakin awet disimpan, karena kandungan bekatul yang tersisa semakin sedikit. Pengembangan metode penetapan derajat telah dilakukan oleh Damardjati (1989), baik secara fisik (membandingkan dengan contoh) maupun secara kimia (dengan methylen blue).

(10)

Derajat sosoh menunjukkan persentase penghilangan bekatul. Derajat sosoh 90%, berarti 90% lapisan bekatul disosoh atau dibuang. Jadi dalam sistem penggilingan padi, semakin tinggi derajat sosoh beras, semakin banyak bekatul yang dibuang. Dengan kata lain rendemen bekatul makin tinggi. Ditinjau dari nilai gizinya, semakin tinggi derajat sosoh semakin rendah nilai gizi, terutama proteinnya (Widowati et al., 1988).

Komposisi gizi hasil samping penggilingan padi bervariasi. Menurut Hermanianto et al. (1997), yang telah melakukan survei mutu hasil samping penggilingan padi di beberapa daerah di Jawa Barat, variasi tersebut diduga dipengaruhi oleh varietas dan teknik penggilingan.

Pemanfaatan Hasil Samping. Dalam mutu giling beras, dikenal tiga

tingkatan ukuran beras, yaitu (1) beras kepala, mempunyai ukuran lebih besar atau sama dengan 2/3 panjang beras, (2) beras patah 1/3-2/3 panjang beras, dan (3) menir, yaitu patahan beras berukuran kurang dari 1/3 bagian. Di Karawang dan Bekasi dikenal dua macam menir, yaitu menir kasar (bagian dari beras giling) dan menir halus atau disebut jitai, yaitu bagian beras dengan ukuran sangat kecil, yang ikut tersosoh dan keluar bersama-sama bekatul. Jitai dipisahkan dari bekatul dengan cara diayak dan dimanfaatkan sebagai pakan bebek/ayam (Nurtama et al., 1996 dalam Widowati, 2001).

Menir kasar juga dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan bahan baku makanan tradisional. Agar nilai sosial ekonomi dan gunanya meningkat maka menir harus diproses lebih lanjut sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku produk pangan. Masyarakat mempunyai anggapan bahwa menir merupakan beras bermutu rendah, sehingga hanya dikonsumsi oleh masyarakat strata sosial rendah. Namun, jika diproses, misalnya menjadi tepung dan diolah lebih lanjut menjadi produk makanan, maka status sosialnya meningkat karena produk tersebut dikonsumsi oleh segala lapisan masyarakat. Pengolahan menir menjadi produk lanjutan akan meningkatkan nilai guna dan ekonominya.

Bentuk antara (intermediate) yang paling cocok untuk menir ialah tepung. Mutu tepung beras asal menir tidak kalah nilai gizinya dibandingkan dengan tepung beras dari bahan beras kepala. Harga menir relatif lebih murah dibandingkan dengan beras kepala (setengah dari harga beras), sehingga

(11)

pembuatan tepung beras dari bahan baku menir akan mengurangi biaya produksi, tanpa mengurangi mutunya. Dalam bentuk tepung, pemanfaatannya lebih luas.

Untuk meningkatkan jumlah dan mutu protein tepung dapat dilakukan dengan membuat komposit dengan kacang-kacangan. Protein dalam menu makanan yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh disajikan pada Tabel 2. Dari serealia yang diuji, beras mempunyai kandungan protein yang tidak tinggi (6,9%) tetapi protein yang dapat dimanfaatkan relatif tinggi (4,01%). Kacang-kacangan merupakan sumber protein nabati, oleh sebab itu pembuatan tepung komposit dengan kacangkacangan dapat meningkatkan mutu gizinya (Winarno, 2000 dalam Widowati, 2001)..

Peningkatan gizi tepung beras selain dengan penambahan tepung kacang-kacangan juga dapat dilakukan dengan cara enzimatis, yaitu memanfaatkan amilase. Prinsip proses pembuatan tepung beras kaya protein (BKP) ialah suspensi tepung beras yang telah tergelatinasi dihidrolisis dengan amilase, disaring, residunya dikeringkan dengan menggunakan drum dryer. Dengan cara ini tepung BKP mengandung protein ±15%, meningkat dari tepung beras awal (6-8%). Tepung BKP ini dapat dimanfaatkan sebagai makanan bayi. Tepung BKP komposit dapat meningkatkan sumbangan protein 6070% (Damardjati dan Purwani, 1995 dalam Widowati, 2001).

Di daerah tertentu misalnya di Jawa Barat, dedak dan bekatul disamakan pengertiannya, yaitu bagian kulit ari beras yang terpisah selama penyosohan. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur keduanya dibedakan, yaitu dedak merupakan hasil penyosohan pertama (ukuran relatif kasar dan kadang-kadang masih tercampur dengan potongan sekam) umumnya digunakan sebagai pakan. Bekatul merupakan hasil penyosohan kedua (ukuran halus) sering digunakan sebagai bahan pangan. Pemanfaatan dedak/bekatul masih terbatas, karena hambatan sifat komoditas ini yang mudah rusak/tengik. Oleh sebab itu, pemanfaatan bekatul sebagai bahan pangan harus segar (tidak lebih 24 jam setelah digiling). Beberapa usaha pengawetan dan pemanfaatan bekatul, selain untuk pakan.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah user menginputkan jumlah ahli waris yang ada dan mengklik button “Hitung Waris”, maka sistem akan menampilkan hasil pembagian waris pada halaman

Menurut Zethaml dan Bitner (Lupiyoadi, 2014:7) jasa adalah semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam bentuk fisik atau kontruksi, yang umumnya

Tujuan penelitian ini untuk menilai manfaat infrared dan chest physical therapy pada pasien PPOK dengan melihat adanya perbedaan skor pada kuisioner CAT sebelum dan sesudah

Kunjungan neonatal adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh tenaga kesehatan yang kompeten kepada neonates sedikitnya 2 kali, selama periode 0 - 28 hari

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Non Applicable UD Latarau Dg. Manassa tidak melakukan kegiatan impor kayu atau produk turunannya. Bukti pembayaran bea masuk bila terkena bea masuk. Non Applicable UD

Perusahaan mempunyai kewajiban untuk melindungi tenaga kerjanya salah satunya dalam bentuk hak atas jaminan kesehatan, namun dalam kenyataan masih terjadi pelanggaran

Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup (life skill) merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praktis dapat membekali peserta didik