STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA CHENG BENG BAGI MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI
印尼棉兰马达山华裔清明节的结构意义研究
(
Yìnní mianlan madashan
huáyì qīngmíng jié de jiégòu yìyì yánjiū)
Skripsi
Disusun Oleh :
SYEELWEM WILTON S
080710008
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA
CHENG BENG
BAGI
MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI
印尼棉达山裔清明的构意研究
(Yìnní mianlan
madashan huáyì qīngmíng jié de jiégòu yìyì yánjiū)
SKRIPSI Dikerjakan oleh:
Syeelwen Wilton S NIM. 080710008
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra Nur Cahaya Bangun, M.Si. Shen Mi , M.A. NIP.
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Cina
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Disetujui oleh:
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara
Medan
Program Studi Sastra Cina
Ketua,
PENGESAHAN
Diterima oleh:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk
melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sastra
China pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada :
Hari/Tanggal : Senin, 20 Januari 2014
Pukul : 09 wib s/d selesai
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,
Dr. H. Syahron Lubis, M.A NIP. 19511013 197603 1 001
Panitia Ujian
No Nama Tanda Tangan
1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A ()
2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. ( )
3. Dr. Matius C.A Sembiring, M.A ()
4. Shen Mi, M.A ()
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan
tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis
diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan
yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa
pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, 20 Januari 2014
Penulis,
ABSTRACT
The title of this Thesis is “Structure and Meaning of Cheng Beng Celebration for Chinese in Berastagi”. The celebration of Cheng Beng for the Chinese in Berastagi is a tradition by prayer ritual to the ancestor’s grave. This ceremony aims to honor the ancestors. This celebration is conducted on the third month of Chinese calendar or on 4th – 6th April of each year. The celebration of Cheng Beng only conducted in one day, but the time to visit the ancestor grave is ten days before and after the celebration of Cheng Beng. In this research, the writer will study the structure of Cheng Beng celebration since the early phase up to the end of celebration phase and the meaning of each phase. As well as the apparatus used in the celebration and its meaning. This research applies structuralism and semiotic theory in study structure and the meaning of cheng Beng celebration. The structure of Cheng Beng celebration for the Chinese in Berastagi is consist of any phases, i.e. : preliminary phase, prayer phyase and burning of libation and closing phase.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul ”Struktur dan
Makna UpacaraCheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa diBerastagi”, ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S–1 pada Departemen
Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis mengakui dengan sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini masih
jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan.
Namun berkat bimbingan dan arahan dari seluruh pihak, kesulitan yang ada dapat
diatasi dan skripsi inipun dapat diselesaikan.
Oleh karena itu dengan penuh keikhlasan hati penulis mengucapkan terima
kasih terutama kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan
Pembantu Dekan (PUDEK) I, II, III, Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku Ketua Program Studi Sastra China
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sastra
Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dansebagai Dosen
Pembimbing I, yang dengan tulus, ikhlas dan dengan penuh kesabaran
telah membimbing, memeriksa, dan memberikan pengarahan kepada saya.
Dimana beliau telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga dalam
4. Laoshi Shen Mi, M.A, selaku Pembimbing II yang telah banyak
memberikan masukan dan waktunya bagi pengerjaan skripsi ini.
5. Dosen-dosen dari Jinan University 南大yang mengajar di Sastra Cina ;Yang Run ZhengM.A, Shao Zhang Chao,M.A, Dr. Zhu Xiao Hong, Ph.D, Dr. Chen Yi Hua,Ph.D, Yu Xin, M.A, Liu Jin Feng, M.A,Yu Xueling, M.A, Chen Shushu MTCSOL.(您,老。我肯定不忘你 !!)
6. Bapak/Ibu Dosen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada
penulis selaku mahasiswi Satra Cina (S1) selama masa perkuliahan.
7. Teristimewa penulis ucapkan untuk kedua orang tua, Ayah Ir. Gelora
Sembiringdan Ibu Keriahen Br Tarigan yang telah mengorbankan segala-galanya. Saya persembahkan skripsi ini sebagai tanda terima kasih
kepada Ayah dan Ibu.
8. Kepada adikku Endof Pudan Sembiring yang telah memberikan semangat dan dorongan kepadaku untuk menyelesaikan studi Sastra Cina
ini.
9. Kepada Ima Marweni Tarigan Tambak yang telah memberikan semangat
dan dorongan serta selalu menemaniku dalam menyelesaikan studi Sastra
Cina ini.
10.Kak Yosie, Kak Kori, Kak Tri, Kak Endang selaku karyawan Sastra Cina
yang dengan sabar membantu dalam penyusunan dan pengurusan
11.Teman-teman S.China stambuk 2008, khususnya buat sahabat-sahabatku;
Mateus Sitepu, Joisefrii Ginting, Set Benzen Tarigan Silangit, Dedi A
Purba, Nelli Juita Sijabat, Reni Evaulina Sihaloho, dan teman-teman 08
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. SUKSES BUAT KITA
SEMUA, SASCHIN 2008 !!!
12.Adik-adik Sastra Cina 2009-2013 yang telah menjalin tali silaturahmi
yang baik selama masa perkuliahan.
Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
pengetahuan dalam bidang Kebudayaan.
Medan, 20 Januari 2014
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Batasan Masalah ... 8
1.3 Rumusan Masalah ... 8
1.4 Tujuan Penelitian ... 9
1.5 Manfaat Penelitian ... 9
1.5.1 Manfaat Teoritis ... 9
1.5.2 Manfaat Praktis ... 10
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ... 11
2.1 Konsep ... 11
2.1.1 Struktur Upacara ... 11
2.1.2 Makna ... 12
2.1.3 Masyarakat Tionghoa ... 13
2.2 Landasan Teori ... 14
2.2.1 Strukturalisme ... 15
2.2.2 Semiotik ... 16
BAB III METODE PENELITIAN ... 20
3.1 Metode Penelitian ... 20
3.2 Data dan Sumber Data ... 21
3.2.1 Data ... 21
3.2.2 Sumber Data ... 22
3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 23
3.4 Teknik Analisis Data ... 24
3.5 Lokasi Penelitian ... 24
BAB IV GAMBARAN UMUM, KECAMATAN BERASTAGI DAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO ... 25
4.1. Gambaran Umum Kecamatan Berastagi ... 22
4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi ... 22
4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi ... 27
4.2 MasyarakatTionghoa di Kecamatan Berastagi ... 29
4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi... 29
4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi ... 30
4.2.3 Mata Pencarian ... 31
BAB V STRUKTUR DAN MAKNA PERAYAAN CHENG BENG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DIKOTA BERASTAGI KABUPATEN KARO ... 32
5.1.1Tahap Persiapan ... 34
5.1.2 Tahap Sembahyang ... 35
5.1.3 Pembakaran Barang-Barang Persembahan ... 36
5.1.4 Tahap Penutup ... 36
5.2 Makna Upacara Perayaan Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Kota Berastagi ... 37
5.2.1 Makna Tahap Persiapan ... 37
5.2.2 Makna Tahap Sembahyang ... 38
5.2.3 Makna Pembakaran Barang-Barang Persembahan ... 38
5.2.4 Makna Tahap Penutup ... 38
5.3 Perlengkapan-Perlengkapan dalam Upacara Perayaan Cheng Beng ... 39
5.4 Makna Perlengkapan-Perlengkapan dalam Perayaan Cheng Beng ... 44
5.5 Tempat-Tempat Perayaan Cheng Beng ... 46
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 48
6.1 Simpulan ... 48
6.2 Saran ... 49
ABSTRACT
The title of this Thesis is “Structure and Meaning of Cheng Beng Celebration for Chinese in Berastagi”. The celebration of Cheng Beng for the Chinese in Berastagi is a tradition by prayer ritual to the ancestor’s grave. This ceremony aims to honor the ancestors. This celebration is conducted on the third month of Chinese calendar or on 4th – 6th April of each year. The celebration of Cheng Beng only conducted in one day, but the time to visit the ancestor grave is ten days before and after the celebration of Cheng Beng. In this research, the writer will study the structure of Cheng Beng celebration since the early phase up to the end of celebration phase and the meaning of each phase. As well as the apparatus used in the celebration and its meaning. This research applies structuralism and semiotic theory in study structure and the meaning of cheng Beng celebration. The structure of Cheng Beng celebration for the Chinese in Berastagi is consist of any phases, i.e. : preliminary phase, prayer phyase and burning of libation and closing phase.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, kebudayaan
meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.
Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetya dalam bukunya yang berjudulIlmu
Budaya Dasar (2004) bahwa arti kebudayaan sangat luas, yang meluputi kelakuan
dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang harus
didapatkan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan memiliki defenisi yang sangat banyak. Dua orang antropolog,
yaitu Kroeber dan Kluckhohn mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin
defenisi tentang kebudayaan. Pengertian kebudayaan juga didefenisikan oleh
Taylor (dalam Mintargo, 1993 : 83) sebagai, “keseluruhan yang kompleks yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (custom),
dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan (habit) yang didapat
manusia sebagai anggota masyarakat”.
Ditinjau dari asal kata, kebudayaan berasal dari bahasa latin colere yang
artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama
mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai
Dari kedua defenisi tersebut di atas dapatlah disimpukan bahwa, kebudayaan
memiliki arti yang sangat luas, yang meliputi kelakuan dan hasil kelakuan
manusia yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar. Dengan
kata lain, kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari; kebudayaan tidak
tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Antropologi
(2009:353) mengemukakan bahwa, Indonesia juga memiliki kebudayaan etnis
yang berasal dari luar negara Indonesia itu sendiri. Misalnya seperti etnis
Tionghoa, India, Arab dan lain-lain. Berdasarkan catatan sejarah, orang Tionghoa
yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal
dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku yang berasal dari
dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Para imigran Tionghoa yang terbesar
masuk ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19,
asal dari suku Hokkien. Mereka berasal dari propinsi Fukien bagian selatan.
Imigran Tionghoa lain yang datang ke Indonesia adalah suku Hakka (Khek).
Mereka pada umumnya berpropesi sebagai buruh ataupun “kuli” perkebunaan
dan pertambangan di Indonesia. Suku-bangsa Hakka ini berasal dari pedalaman
propinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang
tandus. Mereka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencarian hidup.
Etnis Tionghoa yang telah tinggal dan menetap di Indonesia tetap
menjunggung tinggi kebudayaan asal. Hal ini diturunkan dari generasi ke
generasi. Kebudayaan etnis Tionghoa tersebut meliputi perayaan tahun baru Cina
minum teh, dan masih banyak lagi. Masing-masing dari kebudayaan etnis
Tionghoa tersebut memiliki makna yang penting dan sangat menarik untuk
dipelajari. Dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk meneliti makna dari
perayaan Cheng Beng.
Cheng Beng adalah salah satu tradisi penting yang ada pada masyarakat etnis
Tionghoa karena Cheng Beng merupakan perayaan yang dilakukan untuk
mengenang jasa-jasa para leluhur dan karena adanya kewajiban untuk menjiarahi
makam leluhur. Biasanya etnis Tionghoa yang merantau jauh dari kampung
halamannya akan berusaha untuk dapat pulang kampung pada saat perayaan
Cheng Beng agar dapat melakukan sembahyang kepada para leluhur mereka.
Cheng Beng (Mandarin : Qing Ming/cerah terang) adalah sebuah upacara
perayaan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa untuk menghormati para leluhur.
Menurut tradisi, masyarakat pergi ke tempat pemakaman orang tua atau leluhur
mereka untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan
dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan, seperti membersihkan kuburan,
menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan
Gincua (Mandarin: yinzhi/kertas perak).
Tradisi Cheng Beng (Qing Ming Jie) adalah tradisi wajib masyarakat
Tionghoa. Ini adalah tradisi menghormat kepada leluhur yang dilakukan
setidaknya sekali dalam setahun. Cheng Beng selalu jatuh antara tanggal 4-6 April
(kalender masehi) setiap tahun. Sebelum dan sesudah peringatan Cheng Beng
leluhur yang telah meninggal. Semasa peringatan Cheng Beng inilah,
makam-makam dibersihkan dan diperbaiki. Bagi sebagian besar orang Tionghoa,
memperbaiki makam atau sekedar membersihkannya diluar masa Cheng Beng
sangat tidak dibenarkan.
Perayaan Cheng Beng adalah saat yang paling ideal untuk berziarah dan
membersihkan makam karena upacara ini diadakan bertepatan pada bulan april
dimana cuaca cerah dan terang. Apalagi pada zaman dahulu lokasi pemakaman
cukup jauh dari tempat pemukiman. Dan bahkan bila seseorang yang tinggal jauh
dari kampung halamannya, mereka akan berusaha pulang kekampung
halamannya, khusus untuk melakukan upacara Cheng Beng atau upacara
penghormatan para leluhur.
Makam leluhur sangat penting artinya bagi masyarakat Tionghoa. Penentuan
letak makam dan arah serta berbagai ukurannya selalu diperhatikan dari sisi
fengshui, termasuk juga masa untuk berkunjung ke makam, hal ini dipercaya
sangat berhubungan erat dengan keharmonisan dan kesejahteraan anggota
keluarga lain yang ditinggalkan.
Anggota keluarga yang meninggal dunia biasanya dimakamkan atau
diperabukan. Jika diperabukan, abunya dapat dititipkan ke rumah-rumah abu, di
tempatkan dirumah dengan altar khusus atau disebar kelaut. Sehingga bagi
keluarga yang ditinggalkan, peringatan Cheng Beng dapat dilakukan di rumah abu
jika abunya dititipkan di sana, di rumah jika abunya disimpan di rumah (sudah
Sejarah kapan awalnya perayaan Cheng Beng dilaksanakan sangat sulit untuk
dipastikan. Hal ini disebabkan oleh karena upacara perayaan Cheng Beng sudah
dilakukan oleh masyarakat Tionghoa sejak dahulu kala dan juga karena
banyaknya pendapat yang menyatakan tentang awalnya upacara perayaan Cheng
Beng tersebut dilakukan. sebagai contoh yang penulis baca dari situs internet
http/www.perayaan Cheng Beng.com yang disadur oleh Maitricettena, Ekayana
Buddhist Center, sejarah awal mulanya perayaan Cheng Beng dilakukan pada
zaman dinasti Ming, pada saat itu terdapat seorang anak bernama Cu Guan Ciong
(Zhu Yuan Zhang, pendiri dinasti Ming) yang berasal dari sebuah keluarga yang
sangat miskin. Dalam membesarkan dan mendidik Cu Guan Ciong, orang tuanya
meminta bantuan kepada sebuah kuil. Setelah dewasa Cu Guan Ciong menjadi
seorang kaisar dan kembali ke desanya untuk menjumpai orang tuanya.
Sesampainya di desa ternyata orang tuanya telah meninggal dunia dan tidak
diketahui keberadaan makamnya.
Untuk mengetahui keberadaan makam orangtuanya, sebagai kaisar, Cu Guan
Ciong memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan
membersihkan makam leluhur mereka masing-masing. Selain itu diperintahkan
juga untuk memberikan tanda kertas kuning di atas makam-makam tersebut.
Setelah semua rakyat selesai berziarah, kaisar memeriksa makam-makam yang
ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibersihkan serta tidak
diberi tanda. Kemudian kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan
tua, sanak keluarga dan leluhurnya. Hal ini kemudian dijadikan tradisi untuk
setiap tahunnya.
Dalam penelitian ini penulis akan meneliti struktur upacara dan makna
perayaan Cheng Beng pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi
kabupaten Karo. Kota Berastagi adalah sebuah kecamatan di kabupaten Karo,
Sumatera Utara. Kota Berastagi merupakan salah satu objek wisata di dataran
tinggi Karo. Penduduk di kota Berastagi terdiri dari berbagai etnis. Etnis yang
dominan adalah Etnis Batak Karo. Etnis Tionghoa juga terdapat di kota Berastagi.
Menurut data yang diperoleh dari Proyeksi Penduduk Berastagi Tahun 2011,
jumlah etnis Tionghoa yang tinggal di berastagi berjumlah 1273 jiwa yang terdiri
dari 225 rumah tangga.
Etnis Tionghoa di kota Berastagi sangat menjungjung tinggi tradisi dan
kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat Tionghoa
dalam mengikuti setiap upacara budaya, tak terkecuali tradisi perayaan Cheng
Beng. Setiap tahunnya etnis Tionghoa di kota Berastagi biasanya melakukan
upacara perayaan Cheng Beng di vihara Ksitigaraba, sebuah vihara bagi etnis
Tionghoa beragama Budha di kota Berastagi. Biasanya mereka akan melakukan
kegiatan seperti yang dilakukan etnis Tioanghoa di seluruh dunia, misalnya
membersihkan kuburan, sembahyang leluhur, memberikan persembahan
makanan, membakar uang kertas (ginpo) dan membakar replika kertas dari
berbagai kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa replika
Penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap upacara
perayaan ChengBeng ini karena penulis merasa bahwa tradisi perayaan Cheng
Beng ini adalah salah satu kebudayaan etnis Tionghoa yang sangat unik. Penulis
ingin mengkaji lebih dalam mengenai struktur dan makna upacara perayaan
Cheng Beng bagi masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi. Alasan pemilihan
tempat penelitian dilakukan di kota Berastagi kabupaten Karo karena etnis
Tionghoa di kota Berastagi masih sangat menjungjung tinggi nilai-nilai
kebudayaan mereka. Penulis melihat masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi
masih melakukan tradisi perayaan Cheng Beng setiap tahunnya.
Sesuai dengan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan penulis tersebut
diatas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai makna
upacara perayaan Cheng Beng dengan mengangkat judul “Struktur dan Makna
Upacara Cheng Bengbagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi”.
1.2 Batasan Masalah
Untuk menghindari batasan yang terlalu luas yang dapat mengaburkan
penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini hanya pada
struktur dan makna perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di kota Berastagi
kabupaten Karo. Struktur perayaan Cheng Beng meliputi tahap persiapan, upacara
dan penutupan (akhir upacara) serta akan menganalisis makna dari setiap
tahapan-tahapan perayaan Cheng Beng tersebut. Penelitian ini juga memfokuskan pada
1.3 Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan usaha untuk mengarahkan peneliti pada
permasalahan yang lebih fokus. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis
kemukakan di atas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu
:
1. Bagaimana struktur upacaraCheng Bengmasyarakat Tionghoa
diBerastagi?
2. Bagaimana makna upacaraCheng Beng bagi masyarakat Tionghoa
diBerastagi?
3. Apa saja perlengkapan yang digunakan pada upacara perayaan Cheng
Beng dan apa makna dari perlengkapan-perlengkapan tersebut ?
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka
penelitian ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan struktur upacara perayaan Cheng Beng masyarakat
Tionghoa diBerastagi.
2. Mendeskripsikan makna upacara perayaan Cheng Beng bagi masyarakat
Tionghoa di Berastagi.
3. Mendeskripsikan peralatan-peralatan yang digunakan pada upacaraCheng
1.5 Manfaat Penelitian
Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian yang
telah penulis uraikan sebelumnya maka manfaat penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1.5.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif dalam pengembangan keilmuan serta pemahaman tentang struktur dan
makna perayaan Cheng Beng bagi masyarakat luas. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi refrensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara
umum maupun mahasiswa yang ingin mengkaji lebih lanjut tentang makna
perayaan Cheng Beng. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber dan
pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan, dan memberi manfaat bagi
kelestarian budaya etnis Tionghoa.
1.5.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian struktur dan
makna perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah
mengetahui makna dan struktur perayaan Cheng Beng sehingga diharapkan
mereka dapat lebih memahami makna dan struktur perayaan Cheng Beng secara
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep merupakan rancangan ide pemikirian yang akan dituangkan secara
konkret melalui pemahaman dan pengertian dari para ahli. Konsep merupakan
rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dalam istilah kongkret,
gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan
oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 1990 : 456).
Konsep merupakan peta perencanaan untuk masa depan sehingga dapat
dijadikan pedoman dalam melangkah kedepan. Konsep biasanya dipakai untuk
mendekripsikan dunia empiris yang diamati oleh peneliti, baik merupakan gejala
sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam
penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep yaitu:
2.1.1 Struktur Upacara
Struktur merupakan cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun.
Dalam kehidupan bermasyarakat sering dijumpai istilah struktur sosial. Stuktur
kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu.
Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada
aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama.Upacara juga dapat diartikan sebagi
perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan
peristiwa penting. Upacara ritual atau ceremony adalah sistem aktifitas atau
rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam
masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya
terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
2002: 1386).
2.1.2 Makna
Menurut Boediono dalam KBBI (2009 : 348), “Makna adalah arti atau
maksud yang penting di dalamnya”. Lebih lanjut Nursyrid (2002 : 109)
mengemukakan :
2.1.3 Masyarakat Tionghoa
Kata masyarakat berasal dari akar kata bahasa Arab syaraka, yang
artinya”ikut serta, berperan serta”. Menurut Koentjaraningrat dalam Pengantar
Ilmu Antropologi ( 2005 : 122) , “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia
yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya
berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Cohen dalam
Sosiologi Suatu Pengantar (1992 : 49), “masyarakat ialah sekelompok manusia
yang hidup bersama dalam suatu priode waktu tertentu, mendiami suatu daerah
dan akhirnya mulai mengatur diri mereka sendiri menjadi suatu unit sosial yang
berbeda dari kelompok-kelompok lain.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnik di Indonesia.
Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang
(Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Dalam bahasa mandarin mereka disebut Tang
ren (orang Tang). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di
Indonesia mayaritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai
orang Tang, sementara yang berasal dari Cina utara menyebut diri mereka sebagai
Han ren (orang Han).
Masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai
kira-kira pertengahan abad ke-19 pada zaman penjajahan Belanda. Imigran dari
Cina ini mayoritas berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu berasal dari
Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat
membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan.
Ada beberapa suku bangsa Tionghoayang ada di Medan, diantaranya adalah suku
Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Ai lo hong, dan Tio chio.
Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi
kuli kontrak, dan buruh kebun bagi orang Belanda melalui penyalur yang berasal
di Cina dan disalurkan ke Indonesia khususnya kota Medan. Hingga akhir bangsa
Belanda mengakui kekalahannya dan meninggalkan Indonesia, maka masyarakat
Tionghoamengambil alih perkebunan Belanda dan menjadikan kebun menjadi
ladang untuk mereka mencari nafkah.
2.2 Landasan Teori
Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun
menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam
memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal
tersebut maka dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori yang
mendasarinya, karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian.
Untuk melihat tahapan-tahapan upacara Cheng Beng yang merupakan
salah satu kegiatan budaya masyarakat Tionghoa, penulis menggunakan
pendekatan strukturalisme. Dalam pendekatan ini akan didapat bagaimana
setiap tahapan tersebut memiliki maknanya tersendiri. Untuk menganalisis makna
dari setiap tahapan upacara Cheng Beng tersebut, penulis menggunakan
pendekatan semiotik seperti yang dikemukakan oleh Barthes.
2.2.1 Strukturalisme
Teori Strukturalisme (Saifuddin, 2005 : 64-65) adalah salah satu teori yang
dikemukakan dan dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss. Defenisi
strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur dari
proses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas
budaya. Strukturalisme berasumsi bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan
menurut oposisi binari, dan kaum strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi
tersebut tercermin dalam berbagai variasi fenomena kebudayaan, termasuk
bahasa, mitologi, kekerabatan dan makanan.
Bagi Strauss (dalam Kaplan dan Manners, 1999 : 239) budaya pada
hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau kanfigurasi sistem perlambangan.
Lebih lanjut untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu, orang
harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan sistem keseluruhan tempat
sistem perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika strauss berbicara
tentang fenomena kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak
memasalahkan relevan atau arti lambang secara empirik. Yang ia perhatikan
adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara
adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagi komponen
masyarakat, pola-pola yang relatif bertahan lama karena interaksi-interaksi
tersebut terjadi dalam cara yang kurang lebih terorganisasi.
2.2.2 Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion yang berarti tanda.
Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah
semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi, baik semiotik atau
semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular
(Endaswara, 2008 : 64). Menggunakan teori semiotik seseorang dapat
menganalisis makna yang tersirat di balik penggunaan lambang dan
simbol-simbol dalam kehidupan manusia karena melalui berbagai simbol-simbol, masyarakat
bisa berkomunikasi satu sama lain, menghimpun ilmu pengetahuan dan kemudian
mewariskannya kepada generasi berikutnya.
Menurut Craib dalam Teori-Teori Sosial Moderen (1994 : 169), “semiotik
adalah nama yang diberikan untuk “ilmu pengetahuan dalam tanda-tanda”
(makna-makna umum)—tidak hanya mengenai tanda linguistik”.
Semiotik lebih berkaitan dengan bidang yang lebih luas daripada hasil
budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Barthes, berbicara tentang bahasa dan
percakapan mengenai makanan. Unsur-unsur ataupun tanda-tandanya ialah jenis
mengatur makanan mana yang boleh atau yang tidak boleh disertai oleh makanan
lain. Sebagai contoh di masyarakat barat kita tidak boleh menggabungkan
makanan yang manis dengan makanan yang lezat, menuangkan puding diatas
ayam goreng, atau saus diatas es krim. Jika kita memakan makanan seperti itu
pada suatu perjamuan maka kesemuanya haruslah yang satu menyusul yang lain.
Pertama yang lezat, baru kemudian yang manis. Aturan-aturan pradigmatik
memberikan kita suatu kambinasi-kombinasi, makanan mana dengan jenis
sayuran yang mana. Makanan itu sendiri dengan pilihan-pilihan makanan
khususnya dan cara-cara persiapannya adalah percakapan, yang menerapkan
unsur-unsur dan aturan-aturan. Pada prinsipnya karya setiap manusia bisa
dianalisis dengan cara seperti itu.
Dengan pendekatan yang penulis gunakan yaitu teori semiotik yang
dikemukakan oleh Roland Barthes, maka penulis akan menganalisis struktur dan
makna perayaan upacara Cheng Beng masyarakat Tionghoa di Berastagi.
2.3 Tinjauan Pustaka
Sofiani (2011) dalam skripsinya yang berjudulFungsi dan Makna Makanan
Tradisional pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoamenjelaskan
bahwa, makanan mempunyai fungsi majemuk dalam masyarakat setiap bangsa.
Fungsi tersebut bukan hanya sebagai fungsi biologis, tetapi juga sebagai fungsi
masyarakat setempat. Oleh karenanya makanan memiliki fenomena lokal. Seluruh
aspek dari makanan tersebut merupakan bagian dari warisan tradisi suatu
golongan masyarakat. Makanan tradisional dapat menjadi aset atau modal bagi
suatu bangsa untuk mempertahankan nilai kebiasaan dari suatu masyarakat yang
dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri. Melalui skripsi Sofiani tersebut penulis
mengetahui dan memahami fungsi dan makna makanan pada perayaan budaya
masyarakat Tionghoa karena dalam penelitian ini penulis juga meneliti tentang
makanan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam melakukan sembahyang
pada perayaan Cheng Beng.
Syafrida, skripsi (2012) berjudul Kajian Fungsi dan Makna Tradisi JiSi
ZuXian YanJiu (Penghormatan Leluhur) dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat
Tionghoa : Penelitian Kualitatif di Medan, menjelaskan tentang religi tradisional
masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan leluhur yang dilakukan keluarga
dihadapan abu leluhur. Skripsi ini sangat membantu penulis dalam meneliti
struktur dan makna perayaan Cheng Beng pada masyarakat Tionghoa di Berastagi
karena melalui skripsi Syafrida tersebut peneliti dapat mengetahui makna dari
penghormatan leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Persamaan penelitian yang
penulis lakukan dengan skripsi tersebut adalah makna penghormatan masyarakat
Tionghoa bagi leluhur. Perbedaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan
skripsi tersebut terletak pada objek yang diteliti, dimana objek yang penulis teliti
dalam penulisan ini adalah perayaan Cheng Beng, sedangkan skripsi itu sendiri
membahas tentang religi tradisional masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan
Yohana, skripsi (2011) berjudul Bentuk, Makna, dan Fungsi Ornamen yang
Digunakan dalam Perayaan Tahun Baru Imlek oleh Masyarakat Tionghoa di
Kota Medan. Skripsi ini menjelaskan tentang ornament yang paling diminati
adalah lampion. Mereka memasang Chinese Lampion yang bertuliskan huruf
Cina. Tulisan-tulisan itu memiliki beragam makna dan doa meminta keberkahan
di tahun baru. Skripsi ini sangat membantu dalam menyelesaikan penelitian ini
karena didalam skripsinya Yohana menggunakan teori semiotik untuk
menganalisis makna dari ornamen-ornamen yang digunakan oleh masyarakat
Tionghoa dalam perayaan tahun baru Imlek. Oleh karena itu skripsi tersebut
dijadikan bahan referensi bagi penulis untuk menggunakan teori semiotik dalam
menganalisis makna perayaan Cheng Beng dan juga makna dari
perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam upacara tersebut.
Ningsih (2011) dalam artikel Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa
Semakin Sederhana, menjelaskan bahwa upacara kematian Sangat erat kaitannya
dengan ajaran Konfusius, yaitu tanda bakti seorang anak kepada orangtuanya, dan
tujuannya untuk menunjukkan rasa hormat kepada orangtua almarhum agar
mendapatkan kehidupan yang damai. Upacara kematian memiliki hubungan erat
dengan dengan perayaan Cheng Beng, karena melalui perayaa Cheng Bengtanda
bakti seorang anak kepada orang tua dan leluhurnya dapat terlihat. Artikel tersebut
sangat membantu penulis menyelesaikan penelitian ini karena melalui artikel
tersebut penulis dapat memahami makna penghormatan dan tanda bakti seorang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian Struktur Upacara
dan Makna Perayaan Cheng Beng pada Masyarakat Tionghoa di kota Berastagi
kabupaten Karo adalah metode penelitian deskriptif. Data dan informasi
dikumpulkan selain bahan sekunder dari literature-literatur tertulis, juga data-data
penelitian dilapangan mengenai ke obyek yang bersangkut paut dengan pokok
pembahasan.
Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskriptifkan apa-apa yang saat ini
berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi yang saat ini terjadi. Dengan kata lain
penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai
keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variable-variabel yang ada. Penelitian
ini tidak menguji hipotesa, melainkan variabel-variabel yang diteliti.
Metode deskriptif kualitatif adalah data-data yang dikumpulkan bukanlah
angka-angka, tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal tersebut sebagai
akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat menjadi
kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang sejalan
dengan penamaan kualitatif. Deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara
Data yang dikumpulkan berasal dari naskah, artikel, wawancara, catatan,
lapangan, foto, dokumen pribadi, dsb. Secara deskriptif peneliti dapat
memberikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui pemilihan data yang
dilakukan pada tahap pemilihan data setelah data terkumpul. Dengan demikian
penulis akan selalu mempertimbangkan data dari watak itu sendiri, dan
hubungannya dengan data lainnya secara keseluruhan, peneliti tidak
berpandangan bahwa sesuatu itu memang demikian adanya, akan tetapi harus
diberikan berdasarkan pertimbangan ilmiah yang digunakannya sebagai alat
kajiannya (Fatimah 1993 : 7).
3.2 Data dan Sumber Data
3.2.1 Data
Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran
tertentu, untuk digunakan sebagai landasan dalam menyusun argumentasi logis
menjadi fakta. Sedangkan fakta itu adalah kenyataan yang telah diuji
kebenarannya secara empiris, antara lain melalui analisis data (Abdurrahmat,
2005:104).
Data dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
yang menjadi data sekunder adalah informasi isi dari beberapa buku, jurnal
maupun skripsi yang berkaitan atau relevan dengan topik penelitian.
3.2.2 Sumber Data
Sumber data didalam penelitian ini juga terdiri dari sumber data primer
dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah informan, yaitu :
1. Nama : Ng Kim Huat
Umur : 65 tahun
Pekerjaan : Ketua Yayasan Sosial Go Sia Kong So
Alamat : jl. Sunggal Komp Pasar I Mas No. B27
2. Nama : Rusli
Umur : 55 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta/Masyarakat Tionghoa yang melakukan
perayaan Cheng Beng setiap tahun di Berastagi
3. Nama : Hendrik
Umur : 39 tahun
Alamat : Perumahan Graha Mandala No 7 Kabanjahe
Pekerjaan : Pedagang
4. Nama: Ng Ming Hua
Umur: 68 tahun
Alamat: Jl. Udara No5 A
Pekerjaan: Petani & Pengetua Adat
5. Nama: Hakim
Umur: 77 tahun
Alamat : Jl. Kenanga No 80 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I
Pekerjaan : Petani & Tokoh Masyarakat
6. Nama : Apo
Umur: 56 tahun
Alamat: Jl. Kenanga No 81 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I
Pekerjaan : Petani & Pengurus Pagoda Shwedagon Berastagi
Sumber data sekunder adalah beberapa buku, jurnal maupun skripsi yang
berkaitan atau relavan dengan topik penelitian, baik mengenai struktur upacara
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Secara metodologi dikenal beberapa macam teknik pengumpulan data,
diantaranya observasi, wawancara, dan studi dokumentasi (studi kepustakaan).
Untuk memperoleh data yang diperlukan maka dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumentasi (studi kepustakaan)
(Abdurrahmat 2005 : 104). Studi dokumentasi adalah langkah-langkah atau cara
pengumpulan data atau informan yang menyangkut masalah yang diteliti dengan
mempelajari buku, majalah atau surat kabar dan bentuk tulisan lainnya yang ada
relevannya dengan masalah yang diteliti.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah
sebagai berikut :
1. Mengamati upacara cheng Beng, melakukan dokumentasi seperti
memfoto dan membuat video.
2. Menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan terkait upacara
perayaan Cheng Beng
3. Melakukan wawancara berdasarkan pertanyaan yang telah disusun
terhadap beberapa tokoh masyarakat Tionghoa untuk mendapatkan
informasi tentang struktur dan makna perayaan Cheng Beng pada
masyarakat Tionghoa di kota Berastagi.
4. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang relavan dengan
5. Memilah-milah data yang dianggap paling penting.
6. Data yang telah dipilah-pilah disusun secara sistematis.
3.4 Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam
atau mengiterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab keseluruhan
pertanyaan penelitian. Adapun proses yang dilakukan adalah :
1. Memutar ulang video dan hasil wawancara, memilah-milahhasil
wawancara dan menulis ulang hasil wawancara.
2. Berdasarkan data-data yang diambil,lalu penulis dapat membuat
kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya penelitian ini.
3. Menuliskan laporan dalam bentuk Diskriptif.
3.5 Lokasi Penelitian
Penelitiandilakukan dengan fokus masyarakat Tionghoa yang bertempat
tinggal di kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan Tambak Lau Mulgap II,
Berastagi, Kabupaten Karo, karena di daerah ini mayoritas masyarakat Tionghoa
BAB IV
GAMBARAN UMUM
4.1 Gambaran Umum Kecamatan Berastagi
4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi
Berastagi merupakan sebuah kecamatan di kabupaten karo,yang terletak di
dataran tinggi dengan ketinggian 1375 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan
curah hujan berkisar antara 2000-2500 mm(mili meter)/tahun. Kota ini memiliki
suhu yang dingin, dimana suhu kesehariannya antara 17-19 derajat celcius. Jarak
Kecamatan ini dengan Ibukota kabupaten yakni kota kabanjahe adalah 10 Km,
jarak dengan Ibukota Provinsi Sumatera Utara yakni kota Medan adalah 65 Km.
Secara administratif kecamatan berastagi terdiri dari 6 desa yakni Desa Raya,
Desa Rumah Berastagi, Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Lau Gumba dan
Desa Guru Singa serta 4 daerah kelurahan yakni kelurahan Gundaling I, kelurahan
Gundaling II, kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan kelurahan Tambak Lau
Mulgap II.
Batas-batas wilayah berastagi adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat
Berastagi merupakan kota yang sangat subur karena diapit oleh dua gunung
berapi aktif, yaitu Gunung Sibayak (2100 meter dpl) dan Gunung Sinabung (2400
meter dpl). Masyarakat Berastagi pada umumnya bekerja sebagai petani. Hal ini
menjadikan kota Berastagi sebagai kota penghasil tanaman terbesar di tanah karo.
Kota ini juga menyimpan banyak kisah sejarah masa Kolonial Hindia Belanda di
awal abad ke-20. Kemunculan kota ini dipengaruhi oleh kebijakan Kolonialisme
Belanda. Ketika itu, yakni sekitar tahun 1920, Berastagi merupakan sentra
perkebunan di Sumatera Utara yang dikelola pihak Belanda. Dari kota inilah
suplai sayur-mayur dan buah-buahan di kota Medan ataupun kota-kota lainnya di
pulau Sumatera Utara dapat terpenuhi.
Selain tanaman buah dan sayur, Berastagi juga terkenal dengan berbagai
ragam tanaman hias dan beberapa festival rutin yang digelar setiap tahunnya
seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah. Festival tahunan ini juga
digunakan sebagai ajang berkumpulnya kembali orang-orang karo dari perantauan
untuk menjalin silaturahmi dengan para kerabat mereka. Selebihnya festival
tersebut berfungsi untuk meningkatkan potensi kepariwisataan di Berastagi.
Berastagi juga merupakan sebuah daerah yang memiliki potensi
kepariwisataan yang besar. Hal ini ditandai dengan banyaknya tempat-tempat
yang menjadi tujuan wisatawan lokal maupun manca negara, seperti Taman Hutan
Raya (Tahura) Gundaling, pemandian air panas lau Sidebuk-debuk, Bukit Kubu,
dan lain-lain. Hal ini tentunya turut menyumbangkan pendapatan yang besar bagi
daerah berastagi. Untuk itu, pemerintah setempat juga berusaha menyeimbangkan
kepariwisataan tersebut, yakni dengan membangun hotel, losmen, penginapan,
restoran/rumah makan, toko souvenir/cendera mata dan keamanan serta
kenyamanan di daerah tersebut khususnya di Daerah Tujuan Wisata (DTW).
Pengangkutan (sarana transportasi) juga merupakan hal yang diperhatikan
oleh pemerintah setempat karena sarana pengangkutan tersebut sangat
mempengruhi dan mendukung para penduduk dalam melaksanakan aktifitasnya
baik dalam aktifitas ekonomi maupun sosial. Selain itu, sarana transportasi juga
sangat mempengaruhi kehidupan kepariwisataan daerah tersebut sebagai alat
gerak menuju daerah tujuan wisata yang hendak dituju.
4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi
Penduduk Berastagi mayoritas adalah suku karo dan bahasa yang
digunakan dalam pergaulan seharihari adalah bahasa karo. Selain itu ada juga
suku Batak Toba, Jawa, Aceh, Nias, Tionghoa dan sebagainya sebagai etnis/suku
Tabel 4.1
Jumlah Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011
No Desa/Kelurahan Jumlah Rumah
Tangga
Jumlah
Penduduk
1 Gurusinga 989 5012
2 Raya 1272 5791
3 Rumah Berastagi 1949 8493
4 Sempajaya 1461 6566
5 Lau Gumba 349 1418
6 Doulu 500 1741
7 Tambak Lau Mulgap I 677 2895
8 Tambak Lau Mulgap II 798 2566
9 Gundaling I 1137 6461
10 Gundaling II 1828 4144
Tahun 2011 10960 90196
Tahun 2010 10730 40600
Perubahan 230 49596
Sumber : Proyeksi Penduduk Kecamatan Berastagi
Catatan : Proyeksi penduduk adalah penduduk November 2011
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dalam tiap
4.2 Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi
4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi
Masuknya etnis Tionghoa ke Berastagi diperkirakan mulai sejak tahun
1870-an. Etnis Tionghoa yang pertama masuk ke Berastagi adalah suku Tioqiu,
lalu disusul oleh suku-suku lainnya. Dalam proses masuknya sendiri telah melalui
proses yang sangat panjang.
Pada awalnya etnis Tionghoa yang datang ke Berastagi adalah buruh yang
bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau pemerintah Hindia-Belanda yang
terletak di Polonia (tanah ex Bandara Polonia Medan sekarang), Marindal, Bekala
dan kebun-kebun sayur di Amnepura (sekarang Pancur Batu). Masuknya sendiri
etnis Tionghoa ke Berastagi disebabkan oleh ketidaksanggupannya lagi menerima
perlakuan yang kurang baik dari Centeng (Mandor) perkebunan dan pemerintah
Hindia-Belanda yang memperlakukan secara kurang adil, sehingga pada saat
habis masa kontrak kerjanya dengan perkebunan mereka memutuskan untuk
berhenti (tidak memperpanjang masa ikatan kerjanya) dan memulai perkebunan
sendiri (Sinar, 2010).
Masuk dan berkembangnya etnis Tioanghoa ke Berastagi tidak terlepas dari
kecocokan iklim, cuaca dan kondisi alam yang hampir sama dengan daerah asal
mereka. Dimana pada umumnya etnis Tionghoa di Berastagi berasal dari Provinsi
Guandong yang memiliki keadaan alam yang kurang lebih sama dengan
Berastagi, sehingga memudahkan mereka untuk beradaptasi dan membuka
dan tradisi antara etnis Tionghoa dengan penduduk setempat (suku karo) juga
merupakan faktor penting lainnya yang mempengaruhi bertahannya etnis
Tionghoa di Berastagi hingga saat ini. Pada awal masuknya etnis Tionghoa ke
Berastagi umumnya mereka berdomisili di sekitar jurang lau galuh dan jurang
gundaling atau daerrah lainnya yang terdapat sumber air bersih.
[image:44.595.128.519.400.597.2]4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi
Tabel 4.2
Jumlah Rumah Tangga Masyarakat Tionghoa menurut 4 Kelurahan di Kecamatan
Berastagi Tahun 2011
No Kelurahan Jumlah Rumah
Tanga
Jumlah Penduduk
1 Gundaling I 25 134
2 Gundaling II 58 345
3 Tambak Lau Mulgap I 69 362
4 Tambak Lau Mulgap II 103 432
Jumlah 255 1273
4.2.3 Mata Pencarian
Mata pencarian masyarakat Tionghoa di kecamatan Berastagi pada
umumnya adalah bertani dan berdagang, sebagian ada juga yang bekerja sebagai
BAB V
STRUKTUR DAN MAKNA UPACARACHENG BENG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI
5.1 Struktur Upacara Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Berastagi
Cheng Beng (mandarin : Qing Ming/cerah terang) adalah sebuah upacara
perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di makam para leluhur
mereka yang tujuannya untuk menghormati para leluhur. Hal ini dilakukan karena
dalam kehidupan masyarakat Tionghoa mereka percaya bahwa roh-roh leluhur
tetap bersama dan selalu mengawasi mereka. Keberuntungan serta kemalangan
sebuah keluarga diawasi oleh roh-roh leluhur mereka. Ketika mereka mengingat
dan selalu menyembahyangi roh-roh leluhur, maka roh-roh leluhur akan merasa
senang dan keluarga pun akan menerima berkatnya, tetapi apabila roh-roh leluhur
diabaikan maka mereka akan mengalami kesulitan bahkan lamanya dapat
mencapai generasi berikutnya.
Roh-roh leluhur dianggap masih memiliki sifat-sifat duniawi. Mereka tetap
mempunyai kebutuhan seperti layaknya ketika mereka masih hidup.
Barang-barang miniatur yang terbuat dari kertas yang menyerupai pakaian, sepatu, uang
dan lain-lain dikirim ke dunia roh dengan cara dibakar dan disertai dengan
pemanjatan doa-doa. Kesejahtraan roh-roh leluhur tergantung dari penghormatan
sehingga adanya keturunan dianggap sangat penting guna meneruskan upacara
penghormatan terhadap leluhur. Persembahan yang diberikan berbeda-beda
menurut tingkat ekonami dalam masyarakat tergantung dari kemampuan
keluarganya. Persembahan yang diberikan dapat dikatakan sebagai bentuk tukar-
menukar dimana dengan mempersembahkan barang-barang persembahan kepada
para leluhur maka diharapkan keturunan-keturunannya akan menerima berkat,
kebahagiaan dan umur panjang.
Perayaan Cheng Beng dilakukan setiap bulan ketiga dalam kalender cina
atau pada tanggal 4-6 April (kalender masehi) setiap tahun. Perayaan Cheng Beng
hanya berlangsung selama satu hari tetapi lamanya masa berziarah ke makam para
leluhur ialah sepuluh hari sebelum dan sesudah perayaan Cheng Beng. Biasanya
masyarakat Tionghoa akan lebih memilih melakukan ziarah ke makam leluhur
sepuluh hari sebelum perayaan Cheng Beng karena mereka beranggapan bahwa
roh para leluhur mereka akan merasa lebih senang jika dikunjungi lebih awal.
Sedangkan dihari “H” perayaan Cheng Bengitu sendirimereka hanya akan
melakukan sembahyang di rumah masing-masing.
Bagi masyarakat Tionghoa mereka akan berusaha untuk melakukan ziarah
makam pada sepuluh hari sebelum perayaan Cheng Beng, karena menurut
kepercayaan mereka jika dilakukan lebih cepat maka leluhur akan merasa lebih
senang. Pada masa perayaan Cheng Beng tersebut, masyarakat tionghoa akan
membersihkan dan memperbaiki makam para leluhur, karena menurut
kepercayaan mereka ziarah makam hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun,
Beng (terkecuali jika untuk proses pemakaman) maka akan mendapat kesialan
ataupun anak-cucu mereka tidak akan sejahtera.
Upacara perayaan Cheng Beng memiliki struktur ataupun tahapan-tahapan
dalam melaksanakannya. Adapun struktur ataupun tahapan-tahapan dalam
melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng adalah sebagai berikut :
5.1.1 Tahap Persiapan
Persiapan adalah suatu kegiatan yang dipersiapkan sebelum melaksanakan
sebuah kegiatan. Dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng masyarakat
Tionghoa akan mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan untuk melakukan
upacara tersebut, seperti memasak makanan untuk dipersembahkan kepada para
leluhur sehari sebelum mengunjungi makam. Hal ini dilakukan karena tradisi
perayaan Cheng Beng yang diajarkan oleh leluhur mereka yang mengatakan
bahwa pada saat melakukan perayaan Cheng Beng semua makanan yang
dihidangkan harus tersaji dalam kondisi dingin. Kemudian mempersiapkan
barang-barang kebutuhan lainnya untuk pelaksanaan perayaan tersebut seperti
lilin, dupa, tempat dupa, kertas lima warna, uang akhirat Kimcua dan Gincua,
barang-barang yang akan dipersembahankan dan lain-lain. Selanjutnya dalam
mengunjungi makam leluhur masyarakat Tionghoa terlebih dahulu memenjatkan
doa kepada dewa bumi, yaitu dewa yang menjaga makam. Kemudian mereka
akan membersihkan makam, seperti mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di
sekitar makam, mengumpulkan sampah-sampah yang ada disekitar makam,
cek), tempat dupa (hiolo), dupa (hio), makanan dan minuman serta buah-buahan
untuk persembahan di depan makam leluhur. Selanjutnya menebarkan kertas lima
warna dimakam leluhur. Setelah semua selesai dilakukan maka selanjutnya masuk
ke tahap berikutnya, yaitu tahap sembahyang.
5.1.2 Tahap Sembahyang
Setelah tahap persiapan selesai dilakukan maka akan masuk kedalam tahap
sembahyang. Dalam tahap ini masing-masing anggota keluarga akan
memanjatkan doa di depan makam leluhur. Dalam memanjatkan doa mereka akan
menyalakan dupa (hio) kemudian menghormat tiga kali lalu berdoa dan kembali
menghormat tiga kali lalu menancapkan dupa di tempat dupa (hiolo).
Sembahyang dilakukan berdasarkan tingkatan umur dalam keluarga. Artinya
sembahyang dilakukan mulai dari anggota keluarga yang lebih tua kemudian
disusul oleh yang lebih muda dan seterusnya. Dalam tahap ini mereka berdoa
kepada para leluhur agar diberikan kemurahan rezeki, kesejahtraan, umur yang
panjang dan roh-roh leluhur tetap bersama mereka selamanya.
5.1.3 Pembakaran Barang-Barang Persembahan
Dalam tahap ini barang-barang persembahan yang terbuat dari kertas
seperti baju-bajuan, sepatu dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya akan
percaya bahwa barang-barang tersebut nantinya akan dipakai oleh para leluhur di
akhirat. Dalam tahap ini juga akan dibakar uang akhirat yang disebut Kimcua
(uang emas) dan Gincua (uang perak). Uang ini dipercaya akan digunakan oleh
roh leluhur untuk memenuhi kebutuhannya di akhirat selama setahun, artinya
sampai perayaan Cheng Beng berikutnya.
5.1.4 Tahap Penutup
Tahap terakhir dari upacara perayaan Cheng Beng adalah tahap penutup.
Tahap penutup dalam perayaan Cheng Beng dilakukan dengan cara berpamitan di
depan makam leluhur. Sama halnya dengan tahap sembahyang, masing-masing
anggota keluarga akan berpamitan secara bergantian di depan makam leluhur
dengan memanjatkan doa yang mengatakan bahwa mereka telah menunaikan
kewajibannya dan sekarang hendak pulang ke rumah masing-masing dan agar
sudikiranya roh leluhur untuk datang mengunjungi rumah mereka masing-masing
pada saat hari “H” dari perayaan Cheng Beng.
5.2 Makna Upacara Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Berastagi
Setiap upacara tentu saja makna bagi masyarakat pemiliknya. Begitu juga
dengan upacara perayaan Cheng Beng. Secara umum, perayaan Cheng Beng
merupakan perayaan penghormatan kepada leluhur. Dalam penelitian ini penulis
tetapi juga makna dari setiap rangkaian acara dan atribut yang digunakan karena
setiap tahap dan setiap atribut memiliki keterkaitan makna satu dan lainnya.
Berikut penulis akan mendeskripsikan makna dari setiap tahapan upacara
perayaan Cheng Beng.
5.2.1 Makna Tahap Persiapan
Makna dari tahap persiapan dalam melakukan upacara perayaan Cheng
Beng adalah mempersiapkan segala kebutuhan yang akan digunakan untuk
melaksanakan perayaan Cheng Beng tersebut. Bukan hanya mempersiapkan
barang-barang kebutuhan untuk perayaan tersebut tetapi juga mempersiapkan jiwa
dan raga untuk menghormati para leluhur. Karena tanpa jiwa dan raga yang ikhlas
untuk melaksanakan perayaan Cheng Beng, perayaan tersebut tidak akan
bermakna.
5.2.2 Makna Tahap Sembahyang
Makna tahap sembahyang dalam upacara perayaan Cheng Beng adalah
mengucap syukur dan terima kasih kepada para leluhur karena telah menjaga,
memberikan berkat serta kemurahan rezeki dan tetap bersama dalam keluarga
mereka. Ucapan syukur dan terima kasih tersebut dilakukan dengan cara
5.2.3 Makna Pembakaran Barang-Barang Persembahan
Pembakaran barang-barang persembahan ini mempunyai makna yang
sama dengan tahap sembahyang, yaitu mengucap syukur dan menyampaikan rasa
terima kasih kepada para leluhur. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya
bahwa masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan yang beranggapan bahwa
leluhur mereka yang telah meninggal dunia akan tetap hidup dan tetap menjaga
dan mengawasi mereka. Oleh sebab itu, roh para leluhur juga dianggap
membutuhkan kebutuhan seperti layaknya mereka masih hidup. Maka dari itu
mereka memberikan persembahan barang-barang miniatur yang terbuat dari kertas
yang dipersembahkan kepada roh para leluhur dengan cara dibakar.
5.2.4 Makna Tahap Penutup
Makna dari tahap penutup dalam upacara perayaan Cheng Beng adalah
berpamitan kepada roh para leluhur dan mengatakan bahwa mereka telah
menunaikan kewajiban mereka untuk menghormati dan tetap mengingat jasa-jasa
para leluhur. Oleh karena itu mereka berharap agar roh para leluhur tetap menjaga
5.3 Perlengkapan-Perlengkapan dalam Upacara Perayaan Cheng Beng
Didalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng masyarakat
Tionghoa memakai perlengkapan-perlengkapan,seperti :
1. Dupa (hio), tempat hio (hiolo) dan lilin (lak cek)
Dupa (hio), tempat hio (hiolo) dan lilin (lak cek) adalah media
penghubung antara dunia dan akhirat. Fungsinya adalah sebagai alat untuk
memanggil arwah leluhur pada saat-saat tertentu juga sebagai
persembahan kepada orang yang telah meninggal dunia. Lilin (lak cek)
berfungsi sebagai alat penerang guna menerangi jalan roh para leluhur
menuju dunia akhirat.
Gambar 5.1
Dupa (hio), lilin (lak cek) dan tepat hio (hiolo).
2. Kertas Lima Warna (go sek cua)
Kertas lima warna (go sek cua) adalah kertas berwarna-warni yang di
sebar di seluruh makam para leluhur masyarakat Tionghoa pada masa
Beng bermula dari kertas lima warna, dimana pada zaman dinasti Ming
yang dipimpin oleh kaisar Cu Guan Ciong memerintahkan seluruh
rakyatnya untuk melakukan ziarah ke makam para leluhur mereka
masing-masing seraya memberi tanda dengan menebarkan kertas lima warna
disetiap makam yang telah di kunjungi. Hal ini bertujuan untuk
menemukan makam sanak-keluarga serta para leluhur dari kaisar. Setelah
semua rakyatnya melakukan ziarah maka kaisar mengunjungi makam dan
ditemukan makam-makam yang tidak dikunjungi dan tidak terawat. Maka
kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan beranggapan bahwa
diantara makam-makam tersebut pastilah terdapat makam sanak-keluarga
serta para leluhurnya. Hal ini kemudian terus dilakukan setiap tahunnya
[image:54.595.225.440.500.674.2]hingga saat ini.
Gambar 5.2
3. Makanan, Minuman dan Buah-Buahan
Makanan, minuman dan buah-buahan digunakan sebagai persembahan
dalam sembahyang Cheng Beng. Makanan yang dipersembahkan adalah
makanan yang disukai oleh leluhur sewaktu mereka masih hidup. Biasanya
makanan yang dipersembahkan berupa nasi, mie, daging, dan kue apem.
Minuman yang dipersembahkan berupa teh dan arak (arak merah/arak
putih). Biasanya jika makanan yang dipersembahkan adalah daging maka
minumannya harus arak. Buah-buahan yang dipersembahkan biasanya
[image:55.595.219.444.389.544.2]berupa jeruk, anggur, pir, apel dan nenas.
4. Uang Akhirat
Uang akhirat ataupun yang lebih dikenal dengan nama Gincua (uang
perak) dan Kimcua (uang emas) adalah uang yang akan dipergunakan oleh
para leluhur di akhirat. Fungsi dari uang akhirat ini adalah dipergunakan
[image:56.595.160.502.277.470.2]untuk membiayai keperluan/kebutuhan para leluhur di akhirat.
Gambar 5.3
Gincua (kiri) dan Kimcua (kanan).
5. Barang-Barang Persembahan
Barang-barang persembahan adalah barang-barang berupa pakaian,
sepatu dan perlengkapan lainnya yang terbuat dari kertas dan biasanya
telah di taruh di dalam sebuah kotak layaknya seperti barang yang akan di
kirim yang terdapat alamat yang dituju beserta dengan nama pengirimnya,
dimana barang-barang ini nantinya akan dibakar. Masyarakat Tionghoa
percaya bahwa di akhirat barang-barang tersebut akan menjadi barang
diberikan kepada roh-roh leluhur berbeda-beda menurut tingkat ekonomi
[image:57.595.319.508.194.407.2]dalam masyarakat, tergantung dari kemampuan keluarganya.
Gambar 5.4
Barang persembahan (kiri) dan barang persembahan yang dibakar (kanan)
5.4 Makna Perlengkapan-Perlengkapan dalam Perayaan Cheng Beng
Perlengkapan-perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa
dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng memiliki makna tersendiri.
Adapun makna dari perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam
1. Dupa (hio), Tempat Dupa (hiolo) dan Lilin (lak cek)
Makna dari dupa (hio) adalah sebagai alat untuk sembahyang bagi
masyarakat Tionghoa. Dupa yang dibakar dalam sembahyang masyarakat
Tionghoa melambangkan keharuman dan keharuman tersebut diharapkan
tersebar ke seluruh penjuru alam. Sedangkan tempat dupa (hiolo)
berfungsi sebagai tempat penancapan dupa setelah selesai melakukan
sembahyang. Lilin (lak cek) memiliki makna sebagai lambang dari
penerangan. Lilin yang digunakan dalam perayaan Cheng Beng dipercaya
akan menerangi roh para leluhur di dunia akhirat.
2. Kertas Lima Warna (go sek cua)
Makna dari kertas lima warna (go sek cua) adalah sebagai tanda
bahwasanya makam para leluhur tersebut telah dikunjungi oleh
keturunannya. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwasanya
perayaan Cheng Beng bermula dari kertas lima warna. Tradisi ini terus
dilakukan oleh masyarakat Tionghoa hingga saat ini.
3. Makanan, Minuman dan Buah-Buahan
Makna dari makanan, minuman dan buah-buahan adalah sebagai
lambang penghormatan kepada roh leluhur. Masyarakat Tionghoa tetap
menghormati leluhur mereka walaupun telah meninggal dunia. Oleh sebab
sewaktu mereka masih hidup dipersembahkan sebagai bentuk tanda
hormat mereka kepada para leluhur.
4. Uang Akhirat
Makna dari uang akhirat adalah sebagai alat untuk memenuhi
kebutuhan hidup roh para leluhur di akhirat. Sama halnya dengan uang
yang kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita hanya saja uang
akhirat tersebut berbentuk emas dan perak yang dikenal dengan nama
Kimcua (uang emas) dan Gincua (uang perak).
5. Barang-Barang persembahan
Sama halnya dengan makanan persembahan, makna dari
barang-barang persembahan juga adalah sebagai lambang penghormatan terhadap
roh para leluhur. Masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa
kesejahteraan para leluhurnya di dunia akhirat ditentukan oleh
penghormatan dan persembahan para keturunannya yang masih hidup.
Oleh karena itu, jika keturunannya tidak menghormati dan memberikan
persembahan kepada roh leluhurnya maka roh leluhur akan hidup
menderita dan sengsara di dunia akhirat. Begitu juga yang terjadi
sebaliknya dengan kehidupan keturunannya di dunia, mereka juga akan
hidup menderita dan sengsara jika tidak menghormati roh para leluhur.
Bahkan dipercaya bahwa penderitaan dan kesengsaraan tersebut dapat
5.5 Tempat-Tempat Perayaan Cheng Beng
Bagi masyarakat Tionghoa, jika seorang anggota keluarga meninggal
dunia maka biasanya akan dimakamkan atau diperabukan. Jika diperabukan maka
abunya akan ditempatkan dirumah abu, disimpan di rumah dengan altar khusus,
atau disebar dilaut. Sekarang ini abu dari anggota keluarga yang telah diperabukan
sudah jarang disimpan di rumah dengan altar khusus ataupun disebar kelaut,
sekarang lebih banyak disimpan di rumah abu. Oleh karena itu masyarakat
tionghoa akan memperingati perayaan Cheng Beng dimakam bila anggota
keluarga yang telah meninggal dunia dimakamkan, di rumah abu jika anggota
keluarga yang telah meninggal dunia diperabukan dan abunya ditempatkan di
rumah abu, di rumah jika abunya ditempatkan di rumah dengan altar khusus dan
di laut jika abunya ditebar ke laut.
Masyarakat Tionghoa di kota Berastagi melaksanakan perayaan Cheng
Beng di makam yang terletak di Vihara Ksitigabara yang merupakan sebuah
vihara bagi etnis Tionghoa beragama Budha di kota Berastagi. Hal ini disebabkan
karena di kota Berastagi tidak terdapat tempat untuk memperabukan jenazah
sehingga pada umumnya masyarakat Tionghoa yang meninggal dunia akan
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Upacara perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di kota Berastagi
kabupaten Karo merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan dengan melakukan
ritual sembahyang ke makam para leluhur. Tujuannya adalah untuk menghormati
para leluhur.
Tradisi perayaan Cheng Beng diturunkan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi. Upacara perayaan Cheng Beng dilaksanakan pada bulan
ketiga kalender cina atau pada tanggal 4-6 april kalender masehi setiap tahunnya.
Masyarakat Tionghoa akan melakukan sembahyang ke makam para leluhur
mereka sepuluh hari sebelum dan sesudah perayaan Cheng Beng. Sedangkan pada
tanggal perayaan Cheng Beng sendiri (pada hari “H” perayaan Cheng Beng)
mereka akan melakukan sembahyang dirumah masing-masing.
Hasil penelitian yang penulis peroleh dari perayaan Cheng Beng pada
masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah sebagai berikut :
I. Struktur ataupun tahapan-tahapan dalam perayaan Cheng Beng pada
masyarakat Tionghoa di kota berastagi adalah sebagai berikut :
1. Tahap persiapan, dalam tahap ini akan dipersiapkan semua
Cheng Beng seperti, membersihkan makam, menyusun letak dupa
(hio), tempat hio, lilin serta makanan dan minuman persembahan.
2. Tahap sembahyang, pada tahap ini satu persatu anggota keluarga
akan melakukan sembahyang di depan makam leluhur dimulai dari
yang umurnya lebih tua kemudian disusul oleh orang yang lebih
muda dan seterusnya. Mereka akan berdoa kepada para leluhur
agar senantiasa diberikan kesejahteraan, kemurahan rezeki, serta
umur yang panjang.
3. Tahap pembakaran barang-b