• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Dan Makna Upacara Cheng Beng Bagi Masyarakat Tionghoa Di Berastagi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Struktur Dan Makna Upacara Cheng Beng Bagi Masyarakat Tionghoa Di Berastagi"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA CHENG BENG BAGI MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI

印尼棉兰马达山华裔清明节的结构意义研究

(

Yìnní mianlan madashan

huáyì qīngmíng jié de jiégòu yìyì yánjiū)

Skripsi

Disusun Oleh :

SYEELWEM WILTON S

080710008

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARA

CHENG BENG

BAGI

MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI

印尼棉฀฀达山฀裔清明฀的฀构意฀研究

(Yìnní mianlan

madashan huáyì qīngmíng jié de jiégòu yìyì yánjiū)

SKRIPSI Dikerjakan oleh:

Syeelwen Wilton S NIM. 080710008

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra Nur Cahaya Bangun, M.Si. Shen Mi , M.A. NIP.

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Cina

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Disetujui oleh:

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi Sastra Cina

Ketua,

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh:

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk

melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Ilmu Budaya dalam bidang Ilmu Sastra

China pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada :

Hari/Tanggal : Senin, 20 Januari 2014

Pukul : 09 wib s/d selesai

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. H. Syahron Lubis, M.A NIP. 19511013 197603 1 001

Panitia Ujian

No Nama Tanda Tangan

1. Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A ()

2. Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si. ( )

3. Dr. Matius C.A Sembiring, M.A ()

4. Shen Mi, M.A ()

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan

tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis

diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan

yang saya buat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa

pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.

Medan, 20 Januari 2014

Penulis,

(6)

ABSTRACT

The title of this Thesis is “Structure and Meaning of Cheng Beng Celebration for Chinese in Berastagi”. The celebration of Cheng Beng for the Chinese in Berastagi is a tradition by prayer ritual to the ancestor’s grave. This ceremony aims to honor the ancestors. This celebration is conducted on the third month of Chinese calendar or on 4th – 6th April of each year. The celebration of Cheng Beng only conducted in one day, but the time to visit the ancestor grave is ten days before and after the celebration of Cheng Beng. In this research, the writer will study the structure of Cheng Beng celebration since the early phase up to the end of celebration phase and the meaning of each phase. As well as the apparatus used in the celebration and its meaning. This research applies structuralism and semiotic theory in study structure and the meaning of cheng Beng celebration. The structure of Cheng Beng celebration for the Chinese in Berastagi is consist of any phases, i.e. : preliminary phase, prayer phyase and burning of libation and closing phase.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah dan karunia-Nya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul ”Struktur dan

Makna UpacaraCheng Beng bagi Masyarakat Tionghoa diBerastagi”, ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S–1 pada Departemen

Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mengakui dengan sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini masih

jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak memiliki kekurangan dan kelemahan.

Namun berkat bimbingan dan arahan dari seluruh pihak, kesulitan yang ada dapat

diatasi dan skripsi inipun dapat diselesaikan.

Oleh karena itu dengan penuh keikhlasan hati penulis mengucapkan terima

kasih terutama kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya dan

Pembantu Dekan (PUDEK) I, II, III, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A selaku Ketua Program Studi Sastra China

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sastra

Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dansebagai Dosen

Pembimbing I, yang dengan tulus, ikhlas dan dengan penuh kesabaran

telah membimbing, memeriksa, dan memberikan pengarahan kepada saya.

Dimana beliau telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga dalam

(8)

4. Laoshi Shen Mi, M.A, selaku Pembimbing II yang telah banyak

memberikan masukan dan waktunya bagi pengerjaan skripsi ini.

5. Dosen-dosen dari Jinan University ฀南大yang mengajar di Sastra Cina ;Yang Run ZhengM.A, Shao Zhang Chao,M.A, Dr. Zhu Xiao Hong, Ph.D, Dr. Chen Yi Hua,Ph.D, Yu Xin, M.A, Liu Jin Feng, M.A,Yu Xueling, M.A, Chen Shushu MTCSOL.(฀฀您,老฀。我肯定不忘你 ฀!!)

6. Bapak/Ibu Dosen Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera

Utara yang telah bersusah payah memberikan ilmu yang dimiliki kepada

penulis selaku mahasiswi Satra Cina (S1) selama masa perkuliahan.

7. Teristimewa penulis ucapkan untuk kedua orang tua, Ayah Ir. Gelora

Sembiringdan Ibu Keriahen Br Tarigan yang telah mengorbankan segala-galanya. Saya persembahkan skripsi ini sebagai tanda terima kasih

kepada Ayah dan Ibu.

8. Kepada adikku Endof Pudan Sembiring yang telah memberikan semangat dan dorongan kepadaku untuk menyelesaikan studi Sastra Cina

ini.

9. Kepada Ima Marweni Tarigan Tambak yang telah memberikan semangat

dan dorongan serta selalu menemaniku dalam menyelesaikan studi Sastra

Cina ini.

10.Kak Yosie, Kak Kori, Kak Tri, Kak Endang selaku karyawan Sastra Cina

yang dengan sabar membantu dalam penyusunan dan pengurusan

(9)

11.Teman-teman S.China stambuk 2008, khususnya buat sahabat-sahabatku;

Mateus Sitepu, Joisefrii Ginting, Set Benzen Tarigan Silangit, Dedi A

Purba, Nelli Juita Sijabat, Reni Evaulina Sihaloho, dan teman-teman 08

lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. SUKSES BUAT KITA

SEMUA, SASCHIN 2008 !!!

12.Adik-adik Sastra Cina 2009-2013 yang telah menjalin tali silaturahmi

yang baik selama masa perkuliahan.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna,

oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan

manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu

pengetahuan dalam bidang Kebudayaan.

Medan, 20 Januari 2014

Penulis

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Batasan Masalah ... 8

1.3 Rumusan Masalah ... 8

1.4 Tujuan Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 9

1.5.2 Manfaat Praktis ... 10

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ... 11

2.1 Konsep ... 11

2.1.1 Struktur Upacara ... 11

2.1.2 Makna ... 12

2.1.3 Masyarakat Tionghoa ... 13

2.2 Landasan Teori ... 14

2.2.1 Strukturalisme ... 15

2.2.2 Semiotik ... 16

(11)

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Metode Penelitian ... 20

3.2 Data dan Sumber Data ... 21

3.2.1 Data ... 21

3.2.2 Sumber Data ... 22

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 23

3.4 Teknik Analisis Data ... 24

3.5 Lokasi Penelitian ... 24

BAB IV GAMBARAN UMUM, KECAMATAN BERASTAGI DAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO ... 25

4.1. Gambaran Umum Kecamatan Berastagi ... 22

4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi ... 22

4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi ... 27

4.2 MasyarakatTionghoa di Kecamatan Berastagi ... 29

4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi... 29

4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi ... 30

4.2.3 Mata Pencarian ... 31

BAB V STRUKTUR DAN MAKNA PERAYAAN CHENG BENG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DIKOTA BERASTAGI KABUPATEN KARO ... 32

(12)

5.1.1Tahap Persiapan ... 34

5.1.2 Tahap Sembahyang ... 35

5.1.3 Pembakaran Barang-Barang Persembahan ... 36

5.1.4 Tahap Penutup ... 36

5.2 Makna Upacara Perayaan Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Kota Berastagi ... 37

5.2.1 Makna Tahap Persiapan ... 37

5.2.2 Makna Tahap Sembahyang ... 38

5.2.3 Makna Pembakaran Barang-Barang Persembahan ... 38

5.2.4 Makna Tahap Penutup ... 38

5.3 Perlengkapan-Perlengkapan dalam Upacara Perayaan Cheng Beng ... 39

5.4 Makna Perlengkapan-Perlengkapan dalam Perayaan Cheng Beng ... 44

5.5 Tempat-Tempat Perayaan Cheng Beng ... 46

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1 Simpulan ... 48

6.2 Saran ... 49

(13)

ABSTRACT

The title of this Thesis is “Structure and Meaning of Cheng Beng Celebration for Chinese in Berastagi”. The celebration of Cheng Beng for the Chinese in Berastagi is a tradition by prayer ritual to the ancestor’s grave. This ceremony aims to honor the ancestors. This celebration is conducted on the third month of Chinese calendar or on 4th – 6th April of each year. The celebration of Cheng Beng only conducted in one day, but the time to visit the ancestor grave is ten days before and after the celebration of Cheng Beng. In this research, the writer will study the structure of Cheng Beng celebration since the early phase up to the end of celebration phase and the meaning of each phase. As well as the apparatus used in the celebration and its meaning. This research applies structuralism and semiotic theory in study structure and the meaning of cheng Beng celebration. The structure of Cheng Beng celebration for the Chinese in Berastagi is consist of any phases, i.e. : preliminary phase, prayer phyase and burning of libation and closing phase.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, kebudayaan

meliputi segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Prasetya dalam bukunya yang berjudulIlmu

Budaya Dasar (2004) bahwa arti kebudayaan sangat luas, yang meluputi kelakuan

dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tata kelakuan yang harus

didapatkan dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.

Kebudayaan memiliki defenisi yang sangat banyak. Dua orang antropolog,

yaitu Kroeber dan Kluckhohn mencoba mengumpulkan sebanyak mungkin

defenisi tentang kebudayaan. Pengertian kebudayaan juga didefenisikan oleh

Taylor (dalam Mintargo, 1993 : 83) sebagai, “keseluruhan yang kompleks yang

meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat (custom),

dan kemampuan-kemampuan lainnya serta kebiasaan (habit) yang didapat

manusia sebagai anggota masyarakat”.

Ditinjau dari asal kata, kebudayaan berasal dari bahasa latin colere yang

artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama

mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai

(15)

Dari kedua defenisi tersebut di atas dapatlah disimpukan bahwa, kebudayaan

memiliki arti yang sangat luas, yang meliputi kelakuan dan hasil kelakuan

manusia yang diatur oleh tata kelakuan yang diperoleh dengan belajar. Dengan

kata lain, kebudayaan merupakan cara berlaku yang dipelajari; kebudayaan tidak

tergantung dari transmisi biologis atau pewarisan melalui unsur genetis.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ilmu Antropologi

(2009:353) mengemukakan bahwa, Indonesia juga memiliki kebudayaan etnis

yang berasal dari luar negara Indonesia itu sendiri. Misalnya seperti etnis

Tionghoa, India, Arab dan lain-lain. Berdasarkan catatan sejarah, orang Tionghoa

yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal

dari satu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku yang berasal dari

dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Para imigran Tionghoa yang terbesar

masuk ke Indonesia mulai abad ke-16 sampai kira-kira pertengahan abad ke-19,

asal dari suku Hokkien. Mereka berasal dari propinsi Fukien bagian selatan.

Imigran Tionghoa lain yang datang ke Indonesia adalah suku Hakka (Khek).

Mereka pada umumnya berpropesi sebagai buruh ataupun “kuli” perkebunaan

dan pertambangan di Indonesia. Suku-bangsa Hakka ini berasal dari pedalaman

propinsi Kwangtung yang terutama terdiri dari daerah gunung-gunung kapur yang

tandus. Mereka merantau karena terpaksa atas kebutuhan mata pencarian hidup.

Etnis Tionghoa yang telah tinggal dan menetap di Indonesia tetap

menjunggung tinggi kebudayaan asal. Hal ini diturunkan dari generasi ke

generasi. Kebudayaan etnis Tionghoa tersebut meliputi perayaan tahun baru Cina

(16)

minum teh, dan masih banyak lagi. Masing-masing dari kebudayaan etnis

Tionghoa tersebut memiliki makna yang penting dan sangat menarik untuk

dipelajari. Dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk meneliti makna dari

perayaan Cheng Beng.

Cheng Beng adalah salah satu tradisi penting yang ada pada masyarakat etnis

Tionghoa karena Cheng Beng merupakan perayaan yang dilakukan untuk

mengenang jasa-jasa para leluhur dan karena adanya kewajiban untuk menjiarahi

makam leluhur. Biasanya etnis Tionghoa yang merantau jauh dari kampung

halamannya akan berusaha untuk dapat pulang kampung pada saat perayaan

Cheng Beng agar dapat melakukan sembahyang kepada para leluhur mereka.

Cheng Beng (Mandarin : Qing Ming/cerah terang) adalah sebuah upacara

perayaan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa untuk menghormati para leluhur.

Menurut tradisi, masyarakat pergi ke tempat pemakaman orang tua atau leluhur

mereka untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara penghormatan

dilakukan dengan berbagai rangkaian kegiatan, seperti membersihkan kuburan,

menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas yang sering dikenal dengan

Gincua (Mandarin: yinzhi/kertas perak).

Tradisi Cheng Beng (Qing Ming Jie) adalah tradisi wajib masyarakat

Tionghoa. Ini adalah tradisi menghormat kepada leluhur yang dilakukan

setidaknya sekali dalam setahun. Cheng Beng selalu jatuh antara tanggal 4-6 April

(kalender masehi) setiap tahun. Sebelum dan sesudah peringatan Cheng Beng

(17)

leluhur yang telah meninggal. Semasa peringatan Cheng Beng inilah,

makam-makam dibersihkan dan diperbaiki. Bagi sebagian besar orang Tionghoa,

memperbaiki makam atau sekedar membersihkannya diluar masa Cheng Beng

sangat tidak dibenarkan.

Perayaan Cheng Beng adalah saat yang paling ideal untuk berziarah dan

membersihkan makam karena upacara ini diadakan bertepatan pada bulan april

dimana cuaca cerah dan terang. Apalagi pada zaman dahulu lokasi pemakaman

cukup jauh dari tempat pemukiman. Dan bahkan bila seseorang yang tinggal jauh

dari kampung halamannya, mereka akan berusaha pulang kekampung

halamannya, khusus untuk melakukan upacara Cheng Beng atau upacara

penghormatan para leluhur.

Makam leluhur sangat penting artinya bagi masyarakat Tionghoa. Penentuan

letak makam dan arah serta berbagai ukurannya selalu diperhatikan dari sisi

fengshui, termasuk juga masa untuk berkunjung ke makam, hal ini dipercaya

sangat berhubungan erat dengan keharmonisan dan kesejahteraan anggota

keluarga lain yang ditinggalkan.

Anggota keluarga yang meninggal dunia biasanya dimakamkan atau

diperabukan. Jika diperabukan, abunya dapat dititipkan ke rumah-rumah abu, di

tempatkan dirumah dengan altar khusus atau disebar kelaut. Sehingga bagi

keluarga yang ditinggalkan, peringatan Cheng Beng dapat dilakukan di rumah abu

jika abunya dititipkan di sana, di rumah jika abunya disimpan di rumah (sudah

(18)

Sejarah kapan awalnya perayaan Cheng Beng dilaksanakan sangat sulit untuk

dipastikan. Hal ini disebabkan oleh karena upacara perayaan Cheng Beng sudah

dilakukan oleh masyarakat Tionghoa sejak dahulu kala dan juga karena

banyaknya pendapat yang menyatakan tentang awalnya upacara perayaan Cheng

Beng tersebut dilakukan. sebagai contoh yang penulis baca dari situs internet

http/www.perayaan Cheng Beng.com yang disadur oleh Maitricettena, Ekayana

Buddhist Center, sejarah awal mulanya perayaan Cheng Beng dilakukan pada

zaman dinasti Ming, pada saat itu terdapat seorang anak bernama Cu Guan Ciong

(Zhu Yuan Zhang, pendiri dinasti Ming) yang berasal dari sebuah keluarga yang

sangat miskin. Dalam membesarkan dan mendidik Cu Guan Ciong, orang tuanya

meminta bantuan kepada sebuah kuil. Setelah dewasa Cu Guan Ciong menjadi

seorang kaisar dan kembali ke desanya untuk menjumpai orang tuanya.

Sesampainya di desa ternyata orang tuanya telah meninggal dunia dan tidak

diketahui keberadaan makamnya.

Untuk mengetahui keberadaan makam orangtuanya, sebagai kaisar, Cu Guan

Ciong memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk melakukan ziarah dan

membersihkan makam leluhur mereka masing-masing. Selain itu diperintahkan

juga untuk memberikan tanda kertas kuning di atas makam-makam tersebut.

Setelah semua rakyat selesai berziarah, kaisar memeriksa makam-makam yang

ada di desa dan menemukan makam-makam yang belum dibersihkan serta tidak

diberi tanda. Kemudian kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan

(19)

tua, sanak keluarga dan leluhurnya. Hal ini kemudian dijadikan tradisi untuk

setiap tahunnya.

Dalam penelitian ini penulis akan meneliti struktur upacara dan makna

perayaan Cheng Beng pada masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo. Kota Berastagi adalah sebuah kecamatan di kabupaten Karo,

Sumatera Utara. Kota Berastagi merupakan salah satu objek wisata di dataran

tinggi Karo. Penduduk di kota Berastagi terdiri dari berbagai etnis. Etnis yang

dominan adalah Etnis Batak Karo. Etnis Tionghoa juga terdapat di kota Berastagi.

Menurut data yang diperoleh dari Proyeksi Penduduk Berastagi Tahun 2011,

jumlah etnis Tionghoa yang tinggal di berastagi berjumlah 1273 jiwa yang terdiri

dari 225 rumah tangga.

Etnis Tionghoa di kota Berastagi sangat menjungjung tinggi tradisi dan

kebudayaan mereka. Hal ini dapat dilihat dari antusiasme masyarakat Tionghoa

dalam mengikuti setiap upacara budaya, tak terkecuali tradisi perayaan Cheng

Beng. Setiap tahunnya etnis Tionghoa di kota Berastagi biasanya melakukan

upacara perayaan Cheng Beng di vihara Ksitigaraba, sebuah vihara bagi etnis

Tionghoa beragama Budha di kota Berastagi. Biasanya mereka akan melakukan

kegiatan seperti yang dilakukan etnis Tioanghoa di seluruh dunia, misalnya

membersihkan kuburan, sembahyang leluhur, memberikan persembahan

makanan, membakar uang kertas (ginpo) dan membakar replika kertas dari

berbagai kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa replika

(20)

Penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian terhadap upacara

perayaan ChengBeng ini karena penulis merasa bahwa tradisi perayaan Cheng

Beng ini adalah salah satu kebudayaan etnis Tionghoa yang sangat unik. Penulis

ingin mengkaji lebih dalam mengenai struktur dan makna upacara perayaan

Cheng Beng bagi masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi. Alasan pemilihan

tempat penelitian dilakukan di kota Berastagi kabupaten Karo karena etnis

Tionghoa di kota Berastagi masih sangat menjungjung tinggi nilai-nilai

kebudayaan mereka. Penulis melihat masyarakat etnis Tionghoa di kota Berastagi

masih melakukan tradisi perayaan Cheng Beng setiap tahunnya.

Sesuai dengan fenomena-fenomena yang telah dipaparkan penulis tersebut

diatas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai makna

upacara perayaan Cheng Beng dengan mengangkat judul “Struktur dan Makna

Upacara Cheng Bengbagi Masyarakat Tionghoa di Berastagi”.

1.2 Batasan Masalah

Untuk menghindari batasan yang terlalu luas yang dapat mengaburkan

penelitian, maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini hanya pada

struktur dan makna perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo. Struktur perayaan Cheng Beng meliputi tahap persiapan, upacara

dan penutupan (akhir upacara) serta akan menganalisis makna dari setiap

tahapan-tahapan perayaan Cheng Beng tersebut. Penelitian ini juga memfokuskan pada

(21)

1.3 Rumusan Masalah

Rumusan masalah merupakan usaha untuk mengarahkan peneliti pada

permasalahan yang lebih fokus. Berdasarkan latar belakang yang telah penulis

kemukakan di atas, beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu

:

1. Bagaimana struktur upacaraCheng Bengmasyarakat Tionghoa

diBerastagi?

2. Bagaimana makna upacaraCheng Beng bagi masyarakat Tionghoa

diBerastagi?

3. Apa saja perlengkapan yang digunakan pada upacara perayaan Cheng

Beng dan apa makna dari perlengkapan-perlengkapan tersebut ?

1.4 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah diuraikan terlebih dahulu, maka

penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan struktur upacara perayaan Cheng Beng masyarakat

Tionghoa diBerastagi.

2. Mendeskripsikan makna upacara perayaan Cheng Beng bagi masyarakat

Tionghoa di Berastagi.

3. Mendeskripsikan peralatan-peralatan yang digunakan pada upacaraCheng

(22)

1.5 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian yang

telah penulis uraikan sebelumnya maka manfaat penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

positif dalam pengembangan keilmuan serta pemahaman tentang struktur dan

makna perayaan Cheng Beng bagi masyarakat luas. Penelitian ini juga diharapkan

dapat menjadi refrensi ataupun memberikan informasi bagi masyarakat secara

umum maupun mahasiswa yang ingin mengkaji lebih lanjut tentang makna

perayaan Cheng Beng. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber dan

pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan, dan memberi manfaat bagi

kelestarian budaya etnis Tionghoa.

1.5.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian struktur dan

makna perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah

(23)

mengetahui makna dan struktur perayaan Cheng Beng sehingga diharapkan

mereka dapat lebih memahami makna dan struktur perayaan Cheng Beng secara

(24)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide pemikirian yang akan dituangkan secara

konkret melalui pemahaman dan pengertian dari para ahli. Konsep merupakan

rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dalam istilah kongkret,

gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan

oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI, 1990 : 456).

Konsep merupakan peta perencanaan untuk masa depan sehingga dapat

dijadikan pedoman dalam melangkah kedepan. Konsep biasanya dipakai untuk

mendekripsikan dunia empiris yang diamati oleh peneliti, baik merupakan gejala

sosial tertentu yang sifatnya abstrak. Untuk memahami hal-hal yang ada dalam

penelitian ini perlu dipaparkan beberapa konsep yaitu:

2.1.1 Struktur Upacara

Struktur merupakan cara bagaimana sesuatu disusun atau dibangun.

Dalam kehidupan bermasyarakat sering dijumpai istilah struktur sosial. Stuktur

(25)

kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu.

Upacara adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada

aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama.Upacara juga dapat diartikan sebagi

perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan

peristiwa penting. Upacara ritual atau ceremony adalah sistem aktifitas atau

rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam

masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya

terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan(Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,

2002: 1386).

2.1.2 Makna

Menurut Boediono dalam KBBI (2009 : 348), “Makna adalah arti atau

maksud yang penting di dalamnya”. Lebih lanjut Nursyrid (2002 : 109)

mengemukakan :

(26)

2.1.3 Masyarakat Tionghoa

Kata masyarakat berasal dari akar kata bahasa Arab syaraka, yang

artinya”ikut serta, berperan serta”. Menurut Koentjaraningrat dalam Pengantar

Ilmu Antropologi ( 2005 : 122) , “Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia

yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya

berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama”. Cohen dalam

Sosiologi Suatu Pengantar (1992 : 49), “masyarakat ialah sekelompok manusia

yang hidup bersama dalam suatu priode waktu tertentu, mendiami suatu daerah

dan akhirnya mulai mengatur diri mereka sendiri menjadi suatu unit sosial yang

berbeda dari kelompok-kelompok lain.

Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnik di Indonesia.

Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang

(Tiochiu), atau Thongyin (Hakka). Dalam bahasa mandarin mereka disebut Tang

ren (orang Tang). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa di

Indonesia mayaritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai

orang Tang, sementara yang berasal dari Cina utara menyebut diri mereka sebagai

Han ren (orang Han).

Masyarakat Tionghoa datang ke Sumatera Utara sekitar abad ke-16 sampai

kira-kira pertengahan abad ke-19 pada zaman penjajahan Belanda. Imigran dari

Cina ini mayoritas berasal dari dua daerah yang berbeda yaitu berasal dari

(27)

Medan terdiri atas berbagai kelompok suku bangsa dan satu hal yang dapat

membedakan kesukuan mereka adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan.

Ada beberapa suku bangsa Tionghoayang ada di Medan, diantaranya adalah suku

Hokkian, Hakka, Khek, Kwong Fu, Ai lo hong, dan Tio chio.

Awal kedatangan masyarakat Tionghoa ke Sumatera Utara adalah menjadi

kuli kontrak, dan buruh kebun bagi orang Belanda melalui penyalur yang berasal

di Cina dan disalurkan ke Indonesia khususnya kota Medan. Hingga akhir bangsa

Belanda mengakui kekalahannya dan meninggalkan Indonesia, maka masyarakat

Tionghoamengambil alih perkebunan Belanda dan menjadikan kebun menjadi

ladang untuk mereka mencari nafkah.

2.2 Landasan Teori

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun

menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam

memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan. Sejalan dengan hal

tersebut maka dalam sebuah penelitian membutuhkan landasan teori yang

mendasarinya, karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian.

Untuk melihat tahapan-tahapan upacara Cheng Beng yang merupakan

salah satu kegiatan budaya masyarakat Tionghoa, penulis menggunakan

pendekatan strukturalisme. Dalam pendekatan ini akan didapat bagaimana

(28)

setiap tahapan tersebut memiliki maknanya tersendiri. Untuk menganalisis makna

dari setiap tahapan upacara Cheng Beng tersebut, penulis menggunakan

pendekatan semiotik seperti yang dikemukakan oleh Barthes.

2.2.1 Strukturalisme

Teori Strukturalisme (Saifuddin, 2005 : 64-65) adalah salah satu teori yang

dikemukakan dan dikembangkan oleh Claude Levi-Strauss. Defenisi

strukturalisme adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur dari

proses pikiran manusia yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas

budaya. Strukturalisme berasumsi bahwa pikiran manusia senantiasa distrukturkan

menurut oposisi binari, dan kaum strukturalis mengklaim bahwa oposisi-oposisi

tersebut tercermin dalam berbagai variasi fenomena kebudayaan, termasuk

bahasa, mitologi, kekerabatan dan makanan.

Bagi Strauss (dalam Kaplan dan Manners, 1999 : 239) budaya pada

hakikatnya adalah suatu sistem simbolik atau kanfigurasi sistem perlambangan.

Lebih lanjut untuk memahami sesuatu perangkat lambang budaya tertentu, orang

harus lebih dulu melihatnya dalam kaitan dengan sistem keseluruhan tempat

sistem perlambangan itu menjadi bagian. Akan tetapi ketika strauss berbicara

tentang fenomena kultural sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, dia tidak

memasalahkan relevan atau arti lambang secara empirik. Yang ia perhatikan

adalah pola-pola formal, bagaimana unsur-unsur simbol saling berkaitan secara

(29)

adalah pola-pola nyata hubungan atau interaksi antara berbagi komponen

masyarakat, pola-pola yang relatif bertahan lama karena interaksi-interaksi

tersebut terjadi dalam cara yang kurang lebih terorganisasi.

2.2.2 Semiotik

Semiotik berasal dari bahasa Yunani yaitu Semeion yang berarti tanda.

Tanda tersebut dianggap mewakili sesuatu objek secara representative. Istilah

semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi, baik semiotik atau

semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana istilah itu popular

(Endaswara, 2008 : 64). Menggunakan teori semiotik seseorang dapat

menganalisis makna yang tersirat di balik penggunaan lambang dan

simbol-simbol dalam kehidupan manusia karena melalui berbagai simbol-simbol, masyarakat

bisa berkomunikasi satu sama lain, menghimpun ilmu pengetahuan dan kemudian

mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Menurut Craib dalam Teori-Teori Sosial Moderen (1994 : 169), “semiotik

adalah nama yang diberikan untuk “ilmu pengetahuan dalam tanda-tanda”

(makna-makna umum)—tidak hanya mengenai tanda linguistik”.

Semiotik lebih berkaitan dengan bidang yang lebih luas daripada hasil

budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Barthes, berbicara tentang bahasa dan

percakapan mengenai makanan. Unsur-unsur ataupun tanda-tandanya ialah jenis

(30)

mengatur makanan mana yang boleh atau yang tidak boleh disertai oleh makanan

lain. Sebagai contoh di masyarakat barat kita tidak boleh menggabungkan

makanan yang manis dengan makanan yang lezat, menuangkan puding diatas

ayam goreng, atau saus diatas es krim. Jika kita memakan makanan seperti itu

pada suatu perjamuan maka kesemuanya haruslah yang satu menyusul yang lain.

Pertama yang lezat, baru kemudian yang manis. Aturan-aturan pradigmatik

memberikan kita suatu kambinasi-kombinasi, makanan mana dengan jenis

sayuran yang mana. Makanan itu sendiri dengan pilihan-pilihan makanan

khususnya dan cara-cara persiapannya adalah percakapan, yang menerapkan

unsur-unsur dan aturan-aturan. Pada prinsipnya karya setiap manusia bisa

dianalisis dengan cara seperti itu.

Dengan pendekatan yang penulis gunakan yaitu teori semiotik yang

dikemukakan oleh Roland Barthes, maka penulis akan menganalisis struktur dan

makna perayaan upacara Cheng Beng masyarakat Tionghoa di Berastagi.

2.3 Tinjauan Pustaka

Sofiani (2011) dalam skripsinya yang berjudulFungsi dan Makna Makanan

Tradisional pada Perayaan Upacara Budaya Masyarakat Tionghoamenjelaskan

bahwa, makanan mempunyai fungsi majemuk dalam masyarakat setiap bangsa.

Fungsi tersebut bukan hanya sebagai fungsi biologis, tetapi juga sebagai fungsi

(31)

masyarakat setempat. Oleh karenanya makanan memiliki fenomena lokal. Seluruh

aspek dari makanan tersebut merupakan bagian dari warisan tradisi suatu

golongan masyarakat. Makanan tradisional dapat menjadi aset atau modal bagi

suatu bangsa untuk mempertahankan nilai kebiasaan dari suatu masyarakat yang

dihasilkan oleh masyarakat itu sendiri. Melalui skripsi Sofiani tersebut penulis

mengetahui dan memahami fungsi dan makna makanan pada perayaan budaya

masyarakat Tionghoa karena dalam penelitian ini penulis juga meneliti tentang

makanan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam melakukan sembahyang

pada perayaan Cheng Beng.

Syafrida, skripsi (2012) berjudul Kajian Fungsi dan Makna Tradisi JiSi

ZuXian YanJiu (Penghormatan Leluhur) dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat

Tionghoa : Penelitian Kualitatif di Medan, menjelaskan tentang religi tradisional

masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan leluhur yang dilakukan keluarga

dihadapan abu leluhur. Skripsi ini sangat membantu penulis dalam meneliti

struktur dan makna perayaan Cheng Beng pada masyarakat Tionghoa di Berastagi

karena melalui skripsi Syafrida tersebut peneliti dapat mengetahui makna dari

penghormatan leluhur bagi masyarakat Tionghoa. Persamaan penelitian yang

penulis lakukan dengan skripsi tersebut adalah makna penghormatan masyarakat

Tionghoa bagi leluhur. Perbedaan antara penelitian yang penulis lakukan dengan

skripsi tersebut terletak pada objek yang diteliti, dimana objek yang penulis teliti

dalam penulisan ini adalah perayaan Cheng Beng, sedangkan skripsi itu sendiri

membahas tentang religi tradisional masyarakat Tionghoa yaitu penghormatan

(32)

Yohana, skripsi (2011) berjudul Bentuk, Makna, dan Fungsi Ornamen yang

Digunakan dalam Perayaan Tahun Baru Imlek oleh Masyarakat Tionghoa di

Kota Medan. Skripsi ini menjelaskan tentang ornament yang paling diminati

adalah lampion. Mereka memasang Chinese Lampion yang bertuliskan huruf

Cina. Tulisan-tulisan itu memiliki beragam makna dan doa meminta keberkahan

di tahun baru. Skripsi ini sangat membantu dalam menyelesaikan penelitian ini

karena didalam skripsinya Yohana menggunakan teori semiotik untuk

menganalisis makna dari ornamen-ornamen yang digunakan oleh masyarakat

Tionghoa dalam perayaan tahun baru Imlek. Oleh karena itu skripsi tersebut

dijadikan bahan referensi bagi penulis untuk menggunakan teori semiotik dalam

menganalisis makna perayaan Cheng Beng dan juga makna dari

perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam upacara tersebut.

Ningsih (2011) dalam artikel Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa

Semakin Sederhana, menjelaskan bahwa upacara kematian Sangat erat kaitannya

dengan ajaran Konfusius, yaitu tanda bakti seorang anak kepada orangtuanya, dan

tujuannya untuk menunjukkan rasa hormat kepada orangtua almarhum agar

mendapatkan kehidupan yang damai. Upacara kematian memiliki hubungan erat

dengan dengan perayaan Cheng Beng, karena melalui perayaa Cheng Bengtanda

bakti seorang anak kepada orang tua dan leluhurnya dapat terlihat. Artikel tersebut

sangat membantu penulis menyelesaikan penelitian ini karena melalui artikel

tersebut penulis dapat memahami makna penghormatan dan tanda bakti seorang

(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian Struktur Upacara

dan Makna Perayaan Cheng Beng pada Masyarakat Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo adalah metode penelitian deskriptif. Data dan informasi

dikumpulkan selain bahan sekunder dari literature-literatur tertulis, juga data-data

penelitian dilapangan mengenai ke obyek yang bersangkut paut dengan pokok

pembahasan.

Penelitian deskriptif bertujuan untuk mendeskriptifkan apa-apa yang saat ini

berlaku. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan

menginterpretasikan kondisi-kondisi yang saat ini terjadi. Dengan kata lain

penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai

keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variable-variabel yang ada. Penelitian

ini tidak menguji hipotesa, melainkan variabel-variabel yang diteliti.

Metode deskriptif kualitatif adalah data-data yang dikumpulkan bukanlah

angka-angka, tetapi berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Hal tersebut sebagai

akibat dari metode kualitatif. Semua yang dikumpulkan mungkin dapat menjadi

kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Ciri ini merupakan ciri yang sejalan

dengan penamaan kualitatif. Deskriptif merupakan gambaran ciri-ciri data secara

(34)

Data yang dikumpulkan berasal dari naskah, artikel, wawancara, catatan,

lapangan, foto, dokumen pribadi, dsb. Secara deskriptif peneliti dapat

memberikan ciri-ciri, sifat-sifat, serta gambaran data melalui pemilihan data yang

dilakukan pada tahap pemilihan data setelah data terkumpul. Dengan demikian

penulis akan selalu mempertimbangkan data dari watak itu sendiri, dan

hubungannya dengan data lainnya secara keseluruhan, peneliti tidak

berpandangan bahwa sesuatu itu memang demikian adanya, akan tetapi harus

diberikan berdasarkan pertimbangan ilmiah yang digunakannya sebagai alat

kajiannya (Fatimah 1993 : 7).

3.2 Data dan Sumber Data

3.2.1 Data

Data artinya informasi yang didapat melalui pengukuran-pengukuran

tertentu, untuk digunakan sebagai landasan dalam menyusun argumentasi logis

menjadi fakta. Sedangkan fakta itu adalah kenyataan yang telah diuji

kebenarannya secara empiris, antara lain melalui analisis data (Abdurrahmat,

2005:104).

Data dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

(35)

yang menjadi data sekunder adalah informasi isi dari beberapa buku, jurnal

maupun skripsi yang berkaitan atau relevan dengan topik penelitian.

3.2.2 Sumber Data

Sumber data didalam penelitian ini juga terdiri dari sumber data primer

dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah informan, yaitu :

1. Nama : Ng Kim Huat

Umur : 65 tahun

Pekerjaan : Ketua Yayasan Sosial Go Sia Kong So

Alamat : jl. Sunggal Komp Pasar I Mas No. B27

2. Nama : Rusli

Umur : 55 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta/Masyarakat Tionghoa yang melakukan

perayaan Cheng Beng setiap tahun di Berastagi

(36)

3. Nama : Hendrik

Umur : 39 tahun

Alamat : Perumahan Graha Mandala No 7 Kabanjahe

Pekerjaan : Pedagang

4. Nama: Ng Ming Hua

Umur: 68 tahun

Alamat: Jl. Udara No5 A

Pekerjaan: Petani & Pengetua Adat

5. Nama: Hakim

Umur: 77 tahun

Alamat : Jl. Kenanga No 80 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I

Pekerjaan : Petani & Tokoh Masyarakat

6. Nama : Apo

Umur: 56 tahun

Alamat: Jl. Kenanga No 81 Kelurahan Tambak Lau Mulgap I

Pekerjaan : Petani & Pengurus Pagoda Shwedagon Berastagi

Sumber data sekunder adalah beberapa buku, jurnal maupun skripsi yang

berkaitan atau relavan dengan topik penelitian, baik mengenai struktur upacara

(37)

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Secara metodologi dikenal beberapa macam teknik pengumpulan data,

diantaranya observasi, wawancara, dan studi dokumentasi (studi kepustakaan).

Untuk memperoleh data yang diperlukan maka dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan teknik pengumpulan data studi dokumentasi (studi kepustakaan)

(Abdurrahmat 2005 : 104). Studi dokumentasi adalah langkah-langkah atau cara

pengumpulan data atau informan yang menyangkut masalah yang diteliti dengan

mempelajari buku, majalah atau surat kabar dan bentuk tulisan lainnya yang ada

relevannya dengan masalah yang diteliti.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah

sebagai berikut :

1. Mengamati upacara cheng Beng, melakukan dokumentasi seperti

memfoto dan membuat video.

2. Menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan terkait upacara

perayaan Cheng Beng

3. Melakukan wawancara berdasarkan pertanyaan yang telah disusun

terhadap beberapa tokoh masyarakat Tionghoa untuk mendapatkan

informasi tentang struktur dan makna perayaan Cheng Beng pada

masyarakat Tionghoa di kota Berastagi.

4. Mengumpulkan buku-buku atau jurnal-jurnal yang relavan dengan

(38)

5. Memilah-milah data yang dianggap paling penting.

6. Data yang telah dipilah-pilah disusun secara sistematis.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini akan diupayakan untuk memperdalam

atau mengiterpretasikan secara spesifik dalam rangka menjawab keseluruhan

pertanyaan penelitian. Adapun proses yang dilakukan adalah :

1. Memutar ulang video dan hasil wawancara, memilah-milahhasil

wawancara dan menulis ulang hasil wawancara.

2. Berdasarkan data-data yang diambil,lalu penulis dapat membuat

kesimpulan dari hasil yang diteliti dalam proses jalannya penelitian ini.

3. Menuliskan laporan dalam bentuk Diskriptif.

3.5 Lokasi Penelitian

Penelitiandilakukan dengan fokus masyarakat Tionghoa yang bertempat

tinggal di kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan Tambak Lau Mulgap II,

Berastagi, Kabupaten Karo, karena di daerah ini mayoritas masyarakat Tionghoa

(39)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1 Gambaran Umum Kecamatan Berastagi

4.1.1 Letak Geografis Kecamatan Berastagi

Berastagi merupakan sebuah kecamatan di kabupaten karo,yang terletak di

dataran tinggi dengan ketinggian 1375 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan

curah hujan berkisar antara 2000-2500 mm(mili meter)/tahun. Kota ini memiliki

suhu yang dingin, dimana suhu kesehariannya antara 17-19 derajat celcius. Jarak

Kecamatan ini dengan Ibukota kabupaten yakni kota kabanjahe adalah 10 Km,

jarak dengan Ibukota Provinsi Sumatera Utara yakni kota Medan adalah 65 Km.

Secara administratif kecamatan berastagi terdiri dari 6 desa yakni Desa Raya,

Desa Rumah Berastagi, Desa Doulu, Desa Sempa Jaya, Desa Lau Gumba dan

Desa Guru Singa serta 4 daerah kelurahan yakni kelurahan Gundaling I, kelurahan

Gundaling II, kelurahan Tambak Lau Mulgap I dan kelurahan Tambak Lau

Mulgap II.

Batas-batas wilayah berastagi adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kabanjahe

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat

(40)

Berastagi merupakan kota yang sangat subur karena diapit oleh dua gunung

berapi aktif, yaitu Gunung Sibayak (2100 meter dpl) dan Gunung Sinabung (2400

meter dpl). Masyarakat Berastagi pada umumnya bekerja sebagai petani. Hal ini

menjadikan kota Berastagi sebagai kota penghasil tanaman terbesar di tanah karo.

Kota ini juga menyimpan banyak kisah sejarah masa Kolonial Hindia Belanda di

awal abad ke-20. Kemunculan kota ini dipengaruhi oleh kebijakan Kolonialisme

Belanda. Ketika itu, yakni sekitar tahun 1920, Berastagi merupakan sentra

perkebunan di Sumatera Utara yang dikelola pihak Belanda. Dari kota inilah

suplai sayur-mayur dan buah-buahan di kota Medan ataupun kota-kota lainnya di

pulau Sumatera Utara dapat terpenuhi.

Selain tanaman buah dan sayur, Berastagi juga terkenal dengan berbagai

ragam tanaman hias dan beberapa festival rutin yang digelar setiap tahunnya

seperti pesta bunga dan buah serta pesta mejuah-juah. Festival tahunan ini juga

digunakan sebagai ajang berkumpulnya kembali orang-orang karo dari perantauan

untuk menjalin silaturahmi dengan para kerabat mereka. Selebihnya festival

tersebut berfungsi untuk meningkatkan potensi kepariwisataan di Berastagi.

Berastagi juga merupakan sebuah daerah yang memiliki potensi

kepariwisataan yang besar. Hal ini ditandai dengan banyaknya tempat-tempat

yang menjadi tujuan wisatawan lokal maupun manca negara, seperti Taman Hutan

Raya (Tahura) Gundaling, pemandian air panas lau Sidebuk-debuk, Bukit Kubu,

dan lain-lain. Hal ini tentunya turut menyumbangkan pendapatan yang besar bagi

daerah berastagi. Untuk itu, pemerintah setempat juga berusaha menyeimbangkan

(41)

kepariwisataan tersebut, yakni dengan membangun hotel, losmen, penginapan,

restoran/rumah makan, toko souvenir/cendera mata dan keamanan serta

kenyamanan di daerah tersebut khususnya di Daerah Tujuan Wisata (DTW).

Pengangkutan (sarana transportasi) juga merupakan hal yang diperhatikan

oleh pemerintah setempat karena sarana pengangkutan tersebut sangat

mempengruhi dan mendukung para penduduk dalam melaksanakan aktifitasnya

baik dalam aktifitas ekonomi maupun sosial. Selain itu, sarana transportasi juga

sangat mempengaruhi kehidupan kepariwisataan daerah tersebut sebagai alat

gerak menuju daerah tujuan wisata yang hendak dituju.

4.1.2 Keadaan Demografi Kecamatan Berastagi

Penduduk Berastagi mayoritas adalah suku karo dan bahasa yang

digunakan dalam pergaulan seharihari adalah bahasa karo. Selain itu ada juga

suku Batak Toba, Jawa, Aceh, Nias, Tionghoa dan sebagainya sebagai etnis/suku

(42)
[image:42.595.133.516.166.590.2]

Tabel 4.1

Jumlah Penduduk dan Jumlah Rumah Tangga menurut Desa/Kelurahan di Kecamatan Berastagi Tahun 2011

No Desa/Kelurahan Jumlah Rumah

Tangga

Jumlah

Penduduk

1 Gurusinga 989 5012

2 Raya 1272 5791

3 Rumah Berastagi 1949 8493

4 Sempajaya 1461 6566

5 Lau Gumba 349 1418

6 Doulu 500 1741

7 Tambak Lau Mulgap I 677 2895

8 Tambak Lau Mulgap II 798 2566

9 Gundaling I 1137 6461

10 Gundaling II 1828 4144

Tahun 2011 10960 90196

Tahun 2010 10730 40600

Perubahan 230 49596

Sumber : Proyeksi Penduduk Kecamatan Berastagi

Catatan : Proyeksi penduduk adalah penduduk November 2011

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk dalam tiap

(43)

4.2 Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi

4.2.1 Masuknya Etnis Tionghoa ke Kecamatan Berastagi

Masuknya etnis Tionghoa ke Berastagi diperkirakan mulai sejak tahun

1870-an. Etnis Tionghoa yang pertama masuk ke Berastagi adalah suku Tioqiu,

lalu disusul oleh suku-suku lainnya. Dalam proses masuknya sendiri telah melalui

proses yang sangat panjang.

Pada awalnya etnis Tionghoa yang datang ke Berastagi adalah buruh yang

bekerja di perkebunan-perkebunan tembakau pemerintah Hindia-Belanda yang

terletak di Polonia (tanah ex Bandara Polonia Medan sekarang), Marindal, Bekala

dan kebun-kebun sayur di Amnepura (sekarang Pancur Batu). Masuknya sendiri

etnis Tionghoa ke Berastagi disebabkan oleh ketidaksanggupannya lagi menerima

perlakuan yang kurang baik dari Centeng (Mandor) perkebunan dan pemerintah

Hindia-Belanda yang memperlakukan secara kurang adil, sehingga pada saat

habis masa kontrak kerjanya dengan perkebunan mereka memutuskan untuk

berhenti (tidak memperpanjang masa ikatan kerjanya) dan memulai perkebunan

sendiri (Sinar, 2010).

Masuk dan berkembangnya etnis Tioanghoa ke Berastagi tidak terlepas dari

kecocokan iklim, cuaca dan kondisi alam yang hampir sama dengan daerah asal

mereka. Dimana pada umumnya etnis Tionghoa di Berastagi berasal dari Provinsi

Guandong yang memiliki keadaan alam yang kurang lebih sama dengan

Berastagi, sehingga memudahkan mereka untuk beradaptasi dan membuka

(44)

dan tradisi antara etnis Tionghoa dengan penduduk setempat (suku karo) juga

merupakan faktor penting lainnya yang mempengaruhi bertahannya etnis

Tionghoa di Berastagi hingga saat ini. Pada awal masuknya etnis Tionghoa ke

Berastagi umumnya mereka berdomisili di sekitar jurang lau galuh dan jurang

gundaling atau daerrah lainnya yang terdapat sumber air bersih.

[image:44.595.128.519.400.597.2]

4.2.2 Populasi Masyarakat Tionghoa di Kecamatan Berastagi

Tabel 4.2

Jumlah Rumah Tangga Masyarakat Tionghoa menurut 4 Kelurahan di Kecamatan

Berastagi Tahun 2011

No Kelurahan Jumlah Rumah

Tanga

Jumlah Penduduk

1 Gundaling I 25 134

2 Gundaling II 58 345

3 Tambak Lau Mulgap I 69 362

4 Tambak Lau Mulgap II 103 432

Jumlah 255 1273

(45)

4.2.3 Mata Pencarian

Mata pencarian masyarakat Tionghoa di kecamatan Berastagi pada

umumnya adalah bertani dan berdagang, sebagian ada juga yang bekerja sebagai

(46)

BAB V

STRUKTUR DAN MAKNA UPACARACHENG BENG PADA MASYARAKAT TIONGHOA DI BERASTAGI

5.1 Struktur Upacara Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Berastagi

Cheng Beng (mandarin : Qing Ming/cerah terang) adalah sebuah upacara

perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di makam para leluhur

mereka yang tujuannya untuk menghormati para leluhur. Hal ini dilakukan karena

dalam kehidupan masyarakat Tionghoa mereka percaya bahwa roh-roh leluhur

tetap bersama dan selalu mengawasi mereka. Keberuntungan serta kemalangan

sebuah keluarga diawasi oleh roh-roh leluhur mereka. Ketika mereka mengingat

dan selalu menyembahyangi roh-roh leluhur, maka roh-roh leluhur akan merasa

senang dan keluarga pun akan menerima berkatnya, tetapi apabila roh-roh leluhur

diabaikan maka mereka akan mengalami kesulitan bahkan lamanya dapat

mencapai generasi berikutnya.

Roh-roh leluhur dianggap masih memiliki sifat-sifat duniawi. Mereka tetap

mempunyai kebutuhan seperti layaknya ketika mereka masih hidup.

Barang-barang miniatur yang terbuat dari kertas yang menyerupai pakaian, sepatu, uang

dan lain-lain dikirim ke dunia roh dengan cara dibakar dan disertai dengan

pemanjatan doa-doa. Kesejahtraan roh-roh leluhur tergantung dari penghormatan

(47)

sehingga adanya keturunan dianggap sangat penting guna meneruskan upacara

penghormatan terhadap leluhur. Persembahan yang diberikan berbeda-beda

menurut tingkat ekonami dalam masyarakat tergantung dari kemampuan

keluarganya. Persembahan yang diberikan dapat dikatakan sebagai bentuk tukar-

menukar dimana dengan mempersembahkan barang-barang persembahan kepada

para leluhur maka diharapkan keturunan-keturunannya akan menerima berkat,

kebahagiaan dan umur panjang.

Perayaan Cheng Beng dilakukan setiap bulan ketiga dalam kalender cina

atau pada tanggal 4-6 April (kalender masehi) setiap tahun. Perayaan Cheng Beng

hanya berlangsung selama satu hari tetapi lamanya masa berziarah ke makam para

leluhur ialah sepuluh hari sebelum dan sesudah perayaan Cheng Beng. Biasanya

masyarakat Tionghoa akan lebih memilih melakukan ziarah ke makam leluhur

sepuluh hari sebelum perayaan Cheng Beng karena mereka beranggapan bahwa

roh para leluhur mereka akan merasa lebih senang jika dikunjungi lebih awal.

Sedangkan dihari “H” perayaan Cheng Bengitu sendirimereka hanya akan

melakukan sembahyang di rumah masing-masing.

Bagi masyarakat Tionghoa mereka akan berusaha untuk melakukan ziarah

makam pada sepuluh hari sebelum perayaan Cheng Beng, karena menurut

kepercayaan mereka jika dilakukan lebih cepat maka leluhur akan merasa lebih

senang. Pada masa perayaan Cheng Beng tersebut, masyarakat tionghoa akan

membersihkan dan memperbaiki makam para leluhur, karena menurut

kepercayaan mereka ziarah makam hanya dapat dilakukan sekali dalam setahun,

(48)

Beng (terkecuali jika untuk proses pemakaman) maka akan mendapat kesialan

ataupun anak-cucu mereka tidak akan sejahtera.

Upacara perayaan Cheng Beng memiliki struktur ataupun tahapan-tahapan

dalam melaksanakannya. Adapun struktur ataupun tahapan-tahapan dalam

melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng adalah sebagai berikut :

5.1.1 Tahap Persiapan

Persiapan adalah suatu kegiatan yang dipersiapkan sebelum melaksanakan

sebuah kegiatan. Dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng masyarakat

Tionghoa akan mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan untuk melakukan

upacara tersebut, seperti memasak makanan untuk dipersembahkan kepada para

leluhur sehari sebelum mengunjungi makam. Hal ini dilakukan karena tradisi

perayaan Cheng Beng yang diajarkan oleh leluhur mereka yang mengatakan

bahwa pada saat melakukan perayaan Cheng Beng semua makanan yang

dihidangkan harus tersaji dalam kondisi dingin. Kemudian mempersiapkan

barang-barang kebutuhan lainnya untuk pelaksanaan perayaan tersebut seperti

lilin, dupa, tempat dupa, kertas lima warna, uang akhirat Kimcua dan Gincua,

barang-barang yang akan dipersembahankan dan lain-lain. Selanjutnya dalam

mengunjungi makam leluhur masyarakat Tionghoa terlebih dahulu memenjatkan

doa kepada dewa bumi, yaitu dewa yang menjaga makam. Kemudian mereka

akan membersihkan makam, seperti mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di

sekitar makam, mengumpulkan sampah-sampah yang ada disekitar makam,

(49)

cek), tempat dupa (hiolo), dupa (hio), makanan dan minuman serta buah-buahan

untuk persembahan di depan makam leluhur. Selanjutnya menebarkan kertas lima

warna dimakam leluhur. Setelah semua selesai dilakukan maka selanjutnya masuk

ke tahap berikutnya, yaitu tahap sembahyang.

5.1.2 Tahap Sembahyang

Setelah tahap persiapan selesai dilakukan maka akan masuk kedalam tahap

sembahyang. Dalam tahap ini masing-masing anggota keluarga akan

memanjatkan doa di depan makam leluhur. Dalam memanjatkan doa mereka akan

menyalakan dupa (hio) kemudian menghormat tiga kali lalu berdoa dan kembali

menghormat tiga kali lalu menancapkan dupa di tempat dupa (hiolo).

Sembahyang dilakukan berdasarkan tingkatan umur dalam keluarga. Artinya

sembahyang dilakukan mulai dari anggota keluarga yang lebih tua kemudian

disusul oleh yang lebih muda dan seterusnya. Dalam tahap ini mereka berdoa

kepada para leluhur agar diberikan kemurahan rezeki, kesejahtraan, umur yang

panjang dan roh-roh leluhur tetap bersama mereka selamanya.

5.1.3 Pembakaran Barang-Barang Persembahan

Dalam tahap ini barang-barang persembahan yang terbuat dari kertas

seperti baju-bajuan, sepatu dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya akan

(50)

percaya bahwa barang-barang tersebut nantinya akan dipakai oleh para leluhur di

akhirat. Dalam tahap ini juga akan dibakar uang akhirat yang disebut Kimcua

(uang emas) dan Gincua (uang perak). Uang ini dipercaya akan digunakan oleh

roh leluhur untuk memenuhi kebutuhannya di akhirat selama setahun, artinya

sampai perayaan Cheng Beng berikutnya.

5.1.4 Tahap Penutup

Tahap terakhir dari upacara perayaan Cheng Beng adalah tahap penutup.

Tahap penutup dalam perayaan Cheng Beng dilakukan dengan cara berpamitan di

depan makam leluhur. Sama halnya dengan tahap sembahyang, masing-masing

anggota keluarga akan berpamitan secara bergantian di depan makam leluhur

dengan memanjatkan doa yang mengatakan bahwa mereka telah menunaikan

kewajibannya dan sekarang hendak pulang ke rumah masing-masing dan agar

sudikiranya roh leluhur untuk datang mengunjungi rumah mereka masing-masing

pada saat hari “H” dari perayaan Cheng Beng.

5.2 Makna Upacara Cheng Bengpada Masyarakat Tionnghoa di Berastagi

Setiap upacara tentu saja makna bagi masyarakat pemiliknya. Begitu juga

dengan upacara perayaan Cheng Beng. Secara umum, perayaan Cheng Beng

merupakan perayaan penghormatan kepada leluhur. Dalam penelitian ini penulis

(51)

tetapi juga makna dari setiap rangkaian acara dan atribut yang digunakan karena

setiap tahap dan setiap atribut memiliki keterkaitan makna satu dan lainnya.

Berikut penulis akan mendeskripsikan makna dari setiap tahapan upacara

perayaan Cheng Beng.

5.2.1 Makna Tahap Persiapan

Makna dari tahap persiapan dalam melakukan upacara perayaan Cheng

Beng adalah mempersiapkan segala kebutuhan yang akan digunakan untuk

melaksanakan perayaan Cheng Beng tersebut. Bukan hanya mempersiapkan

barang-barang kebutuhan untuk perayaan tersebut tetapi juga mempersiapkan jiwa

dan raga untuk menghormati para leluhur. Karena tanpa jiwa dan raga yang ikhlas

untuk melaksanakan perayaan Cheng Beng, perayaan tersebut tidak akan

bermakna.

5.2.2 Makna Tahap Sembahyang

Makna tahap sembahyang dalam upacara perayaan Cheng Beng adalah

mengucap syukur dan terima kasih kepada para leluhur karena telah menjaga,

memberikan berkat serta kemurahan rezeki dan tetap bersama dalam keluarga

mereka. Ucapan syukur dan terima kasih tersebut dilakukan dengan cara

(52)

5.2.3 Makna Pembakaran Barang-Barang Persembahan

Pembakaran barang-barang persembahan ini mempunyai makna yang

sama dengan tahap sembahyang, yaitu mengucap syukur dan menyampaikan rasa

terima kasih kepada para leluhur. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya

bahwa masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan yang beranggapan bahwa

leluhur mereka yang telah meninggal dunia akan tetap hidup dan tetap menjaga

dan mengawasi mereka. Oleh sebab itu, roh para leluhur juga dianggap

membutuhkan kebutuhan seperti layaknya mereka masih hidup. Maka dari itu

mereka memberikan persembahan barang-barang miniatur yang terbuat dari kertas

yang dipersembahkan kepada roh para leluhur dengan cara dibakar.

5.2.4 Makna Tahap Penutup

Makna dari tahap penutup dalam upacara perayaan Cheng Beng adalah

berpamitan kepada roh para leluhur dan mengatakan bahwa mereka telah

menunaikan kewajiban mereka untuk menghormati dan tetap mengingat jasa-jasa

para leluhur. Oleh karena itu mereka berharap agar roh para leluhur tetap menjaga

(53)

5.3 Perlengkapan-Perlengkapan dalam Upacara Perayaan Cheng Beng

Didalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng masyarakat

Tionghoa memakai perlengkapan-perlengkapan,seperti :

1. Dupa (hio), tempat hio (hiolo) dan lilin (lak cek)

Dupa (hio), tempat hio (hiolo) dan lilin (lak cek) adalah media

penghubung antara dunia dan akhirat. Fungsinya adalah sebagai alat untuk

memanggil arwah leluhur pada saat-saat tertentu juga sebagai

persembahan kepada orang yang telah meninggal dunia. Lilin (lak cek)

berfungsi sebagai alat penerang guna menerangi jalan roh para leluhur

menuju dunia akhirat.

Gambar 5.1

Dupa (hio), lilin (lak cek) dan tepat hio (hiolo).

2. Kertas Lima Warna (go sek cua)

Kertas lima warna (go sek cua) adalah kertas berwarna-warni yang di

sebar di seluruh makam para leluhur masyarakat Tionghoa pada masa

(54)

Beng bermula dari kertas lima warna, dimana pada zaman dinasti Ming

yang dipimpin oleh kaisar Cu Guan Ciong memerintahkan seluruh

rakyatnya untuk melakukan ziarah ke makam para leluhur mereka

masing-masing seraya memberi tanda dengan menebarkan kertas lima warna

disetiap makam yang telah di kunjungi. Hal ini bertujuan untuk

menemukan makam sanak-keluarga serta para leluhur dari kaisar. Setelah

semua rakyatnya melakukan ziarah maka kaisar mengunjungi makam dan

ditemukan makam-makam yang tidak dikunjungi dan tidak terawat. Maka

kaisar menziarahi makam-makam tersebut dengan beranggapan bahwa

diantara makam-makam tersebut pastilah terdapat makam sanak-keluarga

serta para leluhurnya. Hal ini kemudian terus dilakukan setiap tahunnya

[image:54.595.225.440.500.674.2]

hingga saat ini.

Gambar 5.2

(55)

3. Makanan, Minuman dan Buah-Buahan

Makanan, minuman dan buah-buahan digunakan sebagai persembahan

dalam sembahyang Cheng Beng. Makanan yang dipersembahkan adalah

makanan yang disukai oleh leluhur sewaktu mereka masih hidup. Biasanya

makanan yang dipersembahkan berupa nasi, mie, daging, dan kue apem.

Minuman yang dipersembahkan berupa teh dan arak (arak merah/arak

putih). Biasanya jika makanan yang dipersembahkan adalah daging maka

minumannya harus arak. Buah-buahan yang dipersembahkan biasanya

[image:55.595.219.444.389.544.2]

berupa jeruk, anggur, pir, apel dan nenas.

(56)

4. Uang Akhirat

Uang akhirat ataupun yang lebih dikenal dengan nama Gincua (uang

perak) dan Kimcua (uang emas) adalah uang yang akan dipergunakan oleh

para leluhur di akhirat. Fungsi dari uang akhirat ini adalah dipergunakan

[image:56.595.160.502.277.470.2]

untuk membiayai keperluan/kebutuhan para leluhur di akhirat.

Gambar 5.3

Gincua (kiri) dan Kimcua (kanan).

5. Barang-Barang Persembahan

Barang-barang persembahan adalah barang-barang berupa pakaian,

sepatu dan perlengkapan lainnya yang terbuat dari kertas dan biasanya

telah di taruh di dalam sebuah kotak layaknya seperti barang yang akan di

kirim yang terdapat alamat yang dituju beserta dengan nama pengirimnya,

dimana barang-barang ini nantinya akan dibakar. Masyarakat Tionghoa

percaya bahwa di akhirat barang-barang tersebut akan menjadi barang

(57)

diberikan kepada roh-roh leluhur berbeda-beda menurut tingkat ekonomi

[image:57.595.319.508.194.407.2]

dalam masyarakat, tergantung dari kemampuan keluarganya.

Gambar 5.4

Barang persembahan (kiri) dan barang persembahan yang dibakar (kanan)

5.4 Makna Perlengkapan-Perlengkapan dalam Perayaan Cheng Beng

Perlengkapan-perlengkapan yang digunakan oleh masyarakat Tionghoa

dalam melaksanakan upacara perayaan Cheng Beng memiliki makna tersendiri.

Adapun makna dari perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam

(58)

1. Dupa (hio), Tempat Dupa (hiolo) dan Lilin (lak cek)

Makna dari dupa (hio) adalah sebagai alat untuk sembahyang bagi

masyarakat Tionghoa. Dupa yang dibakar dalam sembahyang masyarakat

Tionghoa melambangkan keharuman dan keharuman tersebut diharapkan

tersebar ke seluruh penjuru alam. Sedangkan tempat dupa (hiolo)

berfungsi sebagai tempat penancapan dupa setelah selesai melakukan

sembahyang. Lilin (lak cek) memiliki makna sebagai lambang dari

penerangan. Lilin yang digunakan dalam perayaan Cheng Beng dipercaya

akan menerangi roh para leluhur di dunia akhirat.

2. Kertas Lima Warna (go sek cua)

Makna dari kertas lima warna (go sek cua) adalah sebagai tanda

bahwasanya makam para leluhur tersebut telah dikunjungi oleh

keturunannya. Seperti yang telah penulis uraikan sebelumnya bahwasanya

perayaan Cheng Beng bermula dari kertas lima warna. Tradisi ini terus

dilakukan oleh masyarakat Tionghoa hingga saat ini.

3. Makanan, Minuman dan Buah-Buahan

Makna dari makanan, minuman dan buah-buahan adalah sebagai

lambang penghormatan kepada roh leluhur. Masyarakat Tionghoa tetap

menghormati leluhur mereka walaupun telah meninggal dunia. Oleh sebab

(59)

sewaktu mereka masih hidup dipersembahkan sebagai bentuk tanda

hormat mereka kepada para leluhur.

4. Uang Akhirat

Makna dari uang akhirat adalah sebagai alat untuk memenuhi

kebutuhan hidup roh para leluhur di akhirat. Sama halnya dengan uang

yang kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita hanya saja uang

akhirat tersebut berbentuk emas dan perak yang dikenal dengan nama

Kimcua (uang emas) dan Gincua (uang perak).

5. Barang-Barang persembahan

Sama halnya dengan makanan persembahan, makna dari

barang-barang persembahan juga adalah sebagai lambang penghormatan terhadap

roh para leluhur. Masyarakat Tionghoa memiliki kepercayaan bahwa

kesejahteraan para leluhurnya di dunia akhirat ditentukan oleh

penghormatan dan persembahan para keturunannya yang masih hidup.

Oleh karena itu, jika keturunannya tidak menghormati dan memberikan

persembahan kepada roh leluhurnya maka roh leluhur akan hidup

menderita dan sengsara di dunia akhirat. Begitu juga yang terjadi

sebaliknya dengan kehidupan keturunannya di dunia, mereka juga akan

hidup menderita dan sengsara jika tidak menghormati roh para leluhur.

Bahkan dipercaya bahwa penderitaan dan kesengsaraan tersebut dapat

(60)

5.5 Tempat-Tempat Perayaan Cheng Beng

Bagi masyarakat Tionghoa, jika seorang anggota keluarga meninggal

dunia maka biasanya akan dimakamkan atau diperabukan. Jika diperabukan maka

abunya akan ditempatkan dirumah abu, disimpan di rumah dengan altar khusus,

atau disebar dilaut. Sekarang ini abu dari anggota keluarga yang telah diperabukan

sudah jarang disimpan di rumah dengan altar khusus ataupun disebar kelaut,

sekarang lebih banyak disimpan di rumah abu. Oleh karena itu masyarakat

tionghoa akan memperingati perayaan Cheng Beng dimakam bila anggota

keluarga yang telah meninggal dunia dimakamkan, di rumah abu jika anggota

keluarga yang telah meninggal dunia diperabukan dan abunya ditempatkan di

rumah abu, di rumah jika abunya ditempatkan di rumah dengan altar khusus dan

di laut jika abunya ditebar ke laut.

Masyarakat Tionghoa di kota Berastagi melaksanakan perayaan Cheng

Beng di makam yang terletak di Vihara Ksitigabara yang merupakan sebuah

vihara bagi etnis Tionghoa beragama Budha di kota Berastagi. Hal ini disebabkan

karena di kota Berastagi tidak terdapat tempat untuk memperabukan jenazah

sehingga pada umumnya masyarakat Tionghoa yang meninggal dunia akan

(61)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Upacara perayaan Cheng Beng masyarakat Tionghoa di kota Berastagi

kabupaten Karo merupakan sebuah tradisi yang dilaksanakan dengan melakukan

ritual sembahyang ke makam para leluhur. Tujuannya adalah untuk menghormati

para leluhur.

Tradisi perayaan Cheng Beng diturunkan secara turun-temurun dari

generasi ke generasi. Upacara perayaan Cheng Beng dilaksanakan pada bulan

ketiga kalender cina atau pada tanggal 4-6 april kalender masehi setiap tahunnya.

Masyarakat Tionghoa akan melakukan sembahyang ke makam para leluhur

mereka sepuluh hari sebelum dan sesudah perayaan Cheng Beng. Sedangkan pada

tanggal perayaan Cheng Beng sendiri (pada hari “H” perayaan Cheng Beng)

mereka akan melakukan sembahyang dirumah masing-masing.

Hasil penelitian yang penulis peroleh dari perayaan Cheng Beng pada

masyarakat Tionghoa di Berastagi adalah sebagai berikut :

I. Struktur ataupun tahapan-tahapan dalam perayaan Cheng Beng pada

masyarakat Tionghoa di kota berastagi adalah sebagai berikut :

1. Tahap persiapan, dalam tahap ini akan dipersiapkan semua

(62)

Cheng Beng seperti, membersihkan makam, menyusun letak dupa

(hio), tempat hio, lilin serta makanan dan minuman persembahan.

2. Tahap sembahyang, pada tahap ini satu persatu anggota keluarga

akan melakukan sembahyang di depan makam leluhur dimulai dari

yang umurnya lebih tua kemudian disusul oleh orang yang lebih

muda dan seterusnya. Mereka akan berdoa kepada para leluhur

agar senantiasa diberikan kesejahteraan, kemurahan rezeki, serta

umur yang panjang.

3. Tahap pembakaran barang-b

Gambar

Tabel 4.1
Tabel 4.2
Gambar 5.2 Seorang masyarakat Tionghoa sedang menebar kertas lima warna(go sek cua) di makam
Gambar 5.3 Makanan persembahan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyusunan skripsi ini, teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis deskriptif, yaitu menjelaskan secara rinci dan jelas mengenai segala sesuatu

Kajian Fungsi dan Makna Tradisi Penghormatan Leluhur dalam Sistem Kepercayaan Masyarakat Tionghoa di Medan. Medan: Universitas

Deskripsi dan Fungsi Upacara Sacapme dalam Rangkaian Tahun Baru Imlek pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di

Deskripsi dan Fungsi Upacara Sacapme dalam Rangkaian Tahun Baru Imlek pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Medan (skripsi). Medan: Universitas

Tri Dewi Septiani (2012) dalam skripsinya yang berjudul Deskripsi dan Fungsi Upacara Sacapme dalam Rangkaian Tahun Baru Imlek pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Medan,

Penelitian ini menggunakan dua teori untuk mengkaji rumusan masalahnya, yaitu teori upacara Koentjaraningrat untuk mengkaji proses upacara dan teori semiotik Barthes untuk

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dengan judul “ Struktur Upacara Menempati Rumah Baru Masyarakat Tionghoa di Medan”. Dalam penyelesaian skripsi ini,

Judul skripsi ini adalah ―Struktur Upacara Perkawinan Masyarakat Tionghoa Suku Hakka di Kota Medan‖.. Skripsi ini menganalisis struktur upacara perkawinan masyarakat