• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN BUDAYA PATRIARKI DI KOREA SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN BUDAYA PATRIARKI DI KOREA SELATAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL

POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN

BUDAYA PATRIARKI DI KOREA SELATAN

(Analisis Semiotika Roland Barthes Pola Komunikasi Keluarga dalam Pembentukan Budaya Patriarki di Korea Selatan pada Film “Kim Ji-young, Born

1982”)

Diajukan Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Oleh:

Igor Pallas Savero D0216044

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM PEMBENTUKAN

BUDAYA PATRIARKI DI KOREA SELATAN

(Analisis Semiotika Roland Barthes Pola Komunikasi Keluarga dalam Pembentukan Budaya Patriarki di Korea Selatan pada Film “Kim Ji-young, Born

1982”)

Igor Pallas Savero

Prahastiwi Utari

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

“Kim Ji-young, Born 1982” is a South Korean film that depicts the daily life of a woman and describes how her life living in patriarchal environment both in her family and workplace. The existence of this patriarchal influence arises from traditional cultural that has developed for a long time in South Korea originally from Confusianism and traditional beliefs held by families in South Korea. However, this movie also describes how patriarchy grows in South Korea, especially in the family and workplace. This type of research is qualitative research with Roland Barthes’ semiothic theory to analyze messages and meanings about family communications pattern and patriarchy in “Kim Ji-young, Born 1982” movie.

The results of this study are how family communication patterns reflect patriarchy in the household and the workplace in South Korea where communication orientation is low but the conformity orientation is high, so the communication patterns is protective type. As well as how conformity orientation related to patriarchy is depicted in “Kim Ji-young, Born 192” movie which is shows the obligation to respect the elders because of the traditional values of Confusianism and the sense of superiority of men over women in the family and workplace. Keywords: Film, Family Communication, Patriarchy, Roland Barthes’ Semiotic, South Korea.

(3)

Pendahuluan

Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya bentuk patriarki yang tergambarkan dalam film “Kim Ji-young, Born 1982” berupa represi yang terjadi pada perempuan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan di keluarganya, bermasyarakat, maupun dalam kehidupan pekerjaannya, yang tanpa disadari sudah banyak terjadi di lingkungan kita namun dianggap lumrah di masyarakat. Di Korea Selatan, memiliki pemahaman ajaran patriarki sendiri merupakan pemahaman dari aliran Kong Hu Chu yang berkembang di Asia dimana kuasa laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan. Legitimasi dan dominasi laki-laki atas perempuan sudah menjadi anggapan wajar dan terhegomoni dimasyarakat Asia Timur termasuk Korea Selatan, dan ajaran tersebut juga terbawa ke Indonesia salah satunya melalui media film.

Dalam media perfilman, sudah ada beberapa yang mengangkat isu budaya patriarki yang ada di kehidupan sehari-sehari untuk dijadikan penggambaran dan pembelajaran di film. Sistem sosial budaya patriarki sendiri merupakan sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama untuk mendominasi peran serta keputusan dalam hal politik, moral, ekonomi, sosial, dan penguasaan properti. Hal ini menyebabkan laki-laki merasa lebih dominan daripada perempuan dan bersifat independensehingga menimbulkan kelas-kelas dalam struktur sosial dan ekonomi yang ditentukan berdasarkan peran jenis kelamin (Walby, 1990: 4). Film “Kim Ji-young, born 1982” merupakan film yang menggambarkan bagaimana sebuah budaya patriarki dianggap wajar, sudah secara turun temurun di masyarakat Korea Selatan dan menunjukkan legitimasi laki-laki atas peran jenis kelamin perempuan dalam kehidupan, sehingga timbulah masalah ketika perempuan berusaha menunjukkan perlawanan terhadap patriarki tersebut. patriarki telah menjadi sistem budaya yang turun menurun dalam keluarga Asia Timur yang mengarah pada dominasi laki-laki pada masyarakat sehingga perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki.

Menurut penelitian Park (2001:43) yang dilakukan di Korea Selatan menunjukkan bahwa perempuan di Korea Selatan dalam struktural keluarga merupakan bagian

(4)

yang tersubordinasi dan hanya bertugas untuk melahirkan anak untuk melanjutkan keturunan. Dalam urusan keluarga laki-laki memegang kuasa dan kontrol terhadap perempuannya dan hanya mengharapkan adanya kepatuhan dari pihak perempuan karena segala kontrol mulai dari pengambilan keputusan dan finansial keluarga sudah dipegang oleh pihak laki-laki (Delphy, 1984). Bentuk patriarki dalam keluarga ini menunjukkan kekuasaan absolut dan otoritas dipegang oleh suami dan keluarga dari pihak suami. Status dari perempuan yang menikahi laki-laki di Korea Selatan maka oleh keluarga suami masih dianggap bagian eksternal dari keluarga dan hubungannya dengan keluarga suami masih tergolong rendah. Kebiasaan ini pun diangkat juga dalam lingkungan pekerjaan

Patriarki yang terjadi dalam film “Kim Ji-young, Born 1982” adalah patriarki dalam bidang keluarga. Hal ini dapat dilihat dari pola komunikasi keluarga yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga maupun tempat kerja di Korea Selatan. Pola komunikasi yang terbentuk dalam keluarga Kim Ji-young merupakan pola komunikasi keluarga yang memiliki konformitas yang tinggi, yang berarti dalam keluarga masih memegang kuat nilai tradisional, kepercayaan, dan sopan santun yang tinggi dalam keluarga sehingga terbentuknya hirearki dalam pola komunikasi keluarganya (Segrin & Flora, 2011: 50).

Patriarki yang terjadi di Korea dan di Indonesia sebenarnya memiliki kemiripan. Korea Selatan sendiri menganggap patriarki sudah tersusun sebagai sitem yang kokoh dan bersifat turun menurun yang mana masing-masing jenis kelamin memiliki tugas dan kewajibannya masing-masing dan perempuan sebagai pengurus urusan domestik rumah tangga dan “pengikut” dalam keputusan yang diberikan laki-laki sebagai kepala keluarga (Park, 2001: 52). Sedangkan patriarki yang ada di Indonesia, ditinjau sejak zaman kerajaan dahulu hingga sekarang banyak diperngaruhi budaya jawa dimana perempuan dipandang untuk melayani suami, mengurus anak, dan mengatur hasil yang diberikan oleh kepala keluarga dalam hal ini suami (Ida, 2001: 24).

(5)

Rumusan Masalah

1.

Bagaimana pola komunikasi dalam keluarga yang mencerminkan patriarki dalam film “Kim Ji-young, Born 1982?”

2.

Bagaimana orientasi konformitas terkait patriarki tergambarkan dalam film “Kim Ji-young, Born 1982”?

Kajian Teori

1. Teori Semiotika Roland Barthes

Semiotik merupakan pemaknaan sebuah tanda atau proses komunikasi yang terlihat dari tanda dan simbol yang biasanya terbagi menjadi tiga bagian: Semantik, sintatik, dan pragmatis. Secara garis besar, semiotika mempelajari tanda-tanda yang ada sebagai objek penelitiannya dalam komunikasi (Hamel, 2011). Tanda tersebut mewakili sebuah objek representative sehingga perlu dimaknai lebih lanjut lagi. Roland Barthes merupakan ahli semiotika yang lahir tahun 1915 dan meninggal pada 1980. Roland Barthes dikenal dengan pemikir yang structural dan mempraktikan model linguistik dan semiology. Hal terpenting dalam semiotika Barthes adalah peran dan kepekaan pembaca atau pengguna media dalam memaknai tanda. Beliau mengembangkan analisis semiotika berangkat dari analisis signifikansi tanda yang dinyatakan oleh Ferdinand de Saussure.

Menurut Roland Barthes (2013) dalam bukunya Elements of Semiology, ada tiga konsep inti semiotika, yaitu signification atau system signifikasi untuk melihat proses yang berupa tindakan yang mengikat signifier dan signified, dan menghasilkan sebuah tanda. Lalu yang kedua, Denotasi (arti penunjukan) dan Konotasi (makna tambahan). Denotasi merupakan apa yang kita artikan sebagai sebuah arti yang sebenarnya, literal, bersifat tetao dan memiliki makna kamus sebuah kata yang secara ideal telah disepakati secara universal. Sedangkan Konotasi bermaksud perubahan makna kata secara asosiatif. Selain itu, dalam semiotika Roland Barthes juga mengenal level mitos atau ideologi yang muncul antara penanda dan pertanda yang ada.

(6)

Gambar merupakan level denotasi karena memiliki arti yang sebenarnya seperti gambar iklan mobil. Namun, pada level konotasi dapat diartikan sebuah objek atau gambar memiliki makna tertentu misalkan rumah mewah, makanan mahal, pakaian mahal dikonotasikan memiliki kuaitas yang bagus, harga yang mahal, dan status yang tinggi dibading dengan yang lain (Smith, 2005: 231). Hal inilah banyak yang menyebabkan banyak peneliti menggunakan semiotika model Barthes untuk mengkaji sebuah objek iklan atau film.

Dalam model semiotika Barthes, denotasi dan konotasi merupakan komunikasi visual, sedangkan mitos muncul dari pola tridimensional antara penanda, pertanda, dan tanda yang ada. Mitos merupakan suatu sistem dalam konstruk yang terdapat dalam rantai semiology sebagai urutan kedua dari sistem semiologi. Dalam hal ini tanda yang ada sebagai sistem pertama dalam semiologi dilihat dari konsep dan gambar yang menjadi penanda sedangkan mitos merupakan bagian dari semiology yang masih diturunkan lagi menjadi bahasa berdasarkan budaya dan pemahaman yang ada telah tumbuh di masyarakat (Barthes, 1972: 113). Mitos menjadi manifestasi untuk menelaah lebih lanjut tentang apa yang terjadi atau untuk menginterpretasikan tanda yang muncul karena keberadaannya yang cukup lama telah menjadi ideologi sendiri dalam suatu ruang lingkup masyarakat. Levi-Strauss (1967, dalam Smith, 2005: 235) mengatakan bahwa mitos termasuk dalam satu set tanda-tanda dalam pesan yang tumbuh dari budaya tempat individu berasal, mayoritas berasal dari kepercayaan agama atau kepercayaan etnis yang telah dianut sejak lama di lingkungan tempat individu tumbuh.

2. Komunikasi Keluarga

Pada dasarnya keluarga merupakan sebuah grup yang terkoneksi dengan kuat antara individu karena adanya ikatan darah atau ikatan resmi secara hukum (Berko, dkk., hal. 274). Pola komunikasi keluarga merupakan sebuah lingkungan yang terbentuk dari seperangkat norma berhubungan dengan informasi dan relasi dari objek komunikasi (Ritchie & Fitzpatrick, 1990: 524). Pola komunikasi

(7)

keluarga melihat bagaimana anggota keluarga satu dengan yang lain saling berkomunikasi termasuk mempengaruhi sifat, sikap, dan pembentukan self-concept dari individu dalam masing-masing keluarga. Fitzpatrick juga menggambarkan sebuah hubungan keluarga menjadi skema yang menghubungkan antara diri sendiri, orang lain, dan hubungan juga bagaimana kita berinteraksi dalam sebuah hubungan keluarga (Littlejohn, 2017: 232).

Dalam pola komunikasi keluarga terdapat dua dimensi yang paling penting yakni orientasi komunikasi dan orientasi konformitas. Vangelisti (2004: 184) menyatakan orientasi komunikasi dalam komunikasi keluarga menggambarkan bahwa setiap anggota keluarga saling memberi dukungan dan berpartisipasi dalam interaksi satu sama lain. Selain itu orientasi komunikasi merupakan bagaimana frekuensi dan intensitas keluarga dalam berdiskusi dalam sebuah topik pembicaraan. Dengan orientasi komunikasi yang tinggi setiap anggota memiliki kesempatan, kebebasan, dan secara spontan berinteraksi satu sama lain tanpa adanya limitasi dalam menentukan topik yang dibicarakan. Pada dimensi orientasi komunikasi setiap anggota keluarga memiliki rencana untuk saling merekatkan hubungan keluarga melalui aktivitas, gagasan, dan perasaan satu sama lain dan sebaliknya

Vangelisti juga melanjutkan dimensi kedua adalah orientasi konformitas yaitu menekankan pada anggota keluarga untuk memegang nilai, perilaku, dan kepercayaan. Orientasi konformitas merupakan komunikasi keluarga yang menekan dan memaksakan homogenitas dari sikap, nilai, dan kepercayaan. Keluarga dengan orientasi konformitas yang tinggi dapat dilihat dari pemaksaan untuk menyamakan kepercayaan dan sikap dalam keluarga. Sehingga, interaksi yang terjadi dalam keluarga biasanya terfokus dalam harmonis, menghindari konflik, dan ketergantungan antar anggota keluarga. Orientasi konformitas masih percaya terhadap nilai tradisional keluarga yang dilakukan secara turun menurun dalam struktur keluarga. Sehingga, hubungan keluarga masih bersifat kohesif dan hirearki.

(8)

Fitzpatrick sendiri mengidentifikasikan pola komunikasi keluarga menjadi empat tipe yaitu konsensual, pluralistik, protektif, dan Laissez-faire (Littlejohn, 2017: 232). Konsensual yaitu memiliki tingkat percakapan dan konformitas yang tinggi dalam keluarganya. Tipe keluarga konsensual setuju dengan adanya hirearki dalam keluarga tetapi keluarga ini masih setuju dengan adanya diskusi keluarga, saling tukar menukar pikiran dan menemukan ide-ide baru lainnya untuk menjaga nilai moral yang dianut keluarga mereka (Vangelisti, 2004: 185). Keluarga pluralistik memiliki ciri frekuensi percakapan atau komunikasi tinggi antar anggota keluarga namun konformitasnya rendah karena setiap anggota keluarga memiliki kebebasan berbicara, namun masing-masing individu akan mengambil tindakan bagi dirinya masing-masing berdasarkan pembicaraan mereka sebelumnya (ibid. hal. 234). Keluarga protektif memiliki orientasi konversasi atau komunikasi yang tinggi namun tingkat konformitas yang sangat tinggi sehingga Komunikasi dalam keluarga yang protektif ini dapat dilihat dari keharusan anak patuh pada keputusan otoritas orang tua,istri pada suami dengan sedikit perhatian pada masalah konseptual dan tidak adanya komunikasi terbuka di dalam keluarga (Vangelisti, 2004: 186). keluarga Laissez-Faire merupakan tipe keluarga yang memiliki orientasi komunikasi rendah juga orientasi konformitas yang rendah. Seluruh anggota keluarga saling tidak terlibat dalam urusan keluarga dan merasa membuang-buang waktu untuk berdiskusi tentang keberlanjutan keluarga mereka.

3. Patriarki

Sistem sosial budaya patriarki merupakan sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama untuk mendominasi peran serta keputusan dalam hal politik, moral, ekonomi, sosial, dan penguasaan properti. Hal ini menyebabkan laki-laki merasa lebih dominan daripada perempuan dan bersifat independent sehingga menimbulkan kelas-kelas dalam struktur sosial dan ekonomi yang ditentukan berdasarkan peran jenis kelamin (Walby, 1990: 4). Baik dalam lingkungan kecil seperti rumah tangga maupun di cangkupan besar seperti politik dan pekerjaan, budaya patriarki telah terpatri dalam kehidupan sehari-hari. Adanya ketidak samaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan perannya

(9)

karena laki-laki dinilai lebih berkuasa daripada perempuan. Walby (1990) membagi patriarki menjadi bagian privat dan bagian publik. Pada bagian privat pemisahan peran terlihat dimana peran laki-laki sebagai pemegang hak tertinggi dikeluarga dan dalam mengambil keputusan sedangkan perempuan dalam rumah tangga hanya sebagai kelompok yang tersubordinasi harus tunduk kepada suami dsebagai kelompok dominan. Tak hanya itu di lingkup publik patriarki ini terlihat saat masalah pekerjaan dimana dalam posisi pekerjaan yang sama, perempuan mendapatkan gaji yang lebih rendah daripada laki-laki dan kepemimpinan perusahaan biasanya mayoritas dipegang oleh laki-laki. Lebih lanjut juka hal ini dibiarkan menurut Dworkin dan Carol Brown hal ini dapat menggiring kepada dominasi kontrol laki-laki terhadap perempuan secara berlebihan sehingga dapat terjadi pelecehan seksual terhadap perempuan (ibid, hal. 176).

Di negara-negara Asia Di Jepang, Korea, bahkan Indonesia ideologi patriarki diterapkan untuk menjadi perempuan karir. Karena itu, patriarki menjadi salah satu alasan adanya ketimpangan peran jenis kelamin. Walby (1990) membagi patriarki menjadi beberapa struktur yang mencerminkan kecenderungan adanya ketimpangan peran jenis kelamin seperti: a) patriarki dalam rumah tangga mengatur sistem kemasyarakatan dan dianut dengan sangat kuat oleh semua kalangan masyarakat. Akibatnya, perempuan harus tunduk patuh pada laki-laki. Perempuan akan dinilai sempurna jika melayani suami dan anak, serta mengurus rumah tangga setelah menikah dibandingkazn berupa peran perempuan untuk mengasuh anak, suami dan pekerjaan rumah tangga; b) patriarki dalam pekerjaan upah yang berbeda juga pemisahan posisi kerja perempuan dan laki-laki; c) patriarki dalam negara berupa pembatasan perempuan dalam posisi penting di bidang pemerintahan, hukum, dan politik; d) patriarki dalam seksual dimana perempuan dipandang sebagai pemberi layanan seksual atau emosional; e) patriarki yang berkaitan dengan kekerasan laki-laki berupa kekerasan fisik, psikis, dan verbal; f) patriarki dalam budaya dimana tuntutan untuk menjadi “perempuan feminine ideal” bagi perempuan yang telah berkeluarga, pendidikan, agama, maupun yang tergambarkan dalam media massa.

(10)

Metodologi

Jenis penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika Roland Barthes dengan memaknai pesan yang diambil dari potongan gambar atau shot dari film “Kim Ji-young, Born 1982”. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah potongan adegan berupa shot dari film “Kim Ji-young, Born 1982” yang mengandung pesan pola komunikasi keluarga dalam pembentukan budaya patriarki dan data sekunder berupa kajian pustaka, artikel, atau sumber internet lain.

Teknik pengumpulan data analisis teks yang merupakan cara khusus untuk mengkaji teks sebagai sebuah produk bahasa berupa kumpulan atau komdinasi simbol yang terdapat dalam film. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara menganalisis potongan shot dari film yang mengandung pola komunikasi keluarga dan keterkaitannya dengan patriarki serta menganalisisnya dengan analisis semiotika Roland Barthes yaitu dengan melihat melalui tiga level, level denotasi, level konotasi, dan level mitos. Setelah itu akan ditarik kesimpulan berdasarkan data dan analisis yang dikumpulkan menjadi satu.

Analisis Data

A. Orientasi Komunikasi

1. Orang tua, suami dan atasan berperan sebagai pemegang utama dalam pengambilan keputusan.

Pada poin ini menunjukkan bagaimana orang tua atau mertua, suami dan atasan berperan sebagai pengambil keputusan utama dalam keluarga. Seperti Ayah Kim Ji-young yang khawatir Kim Ji-young pergi les jauh dan pulang malam memutuskan secara sepihak melarang Kim Ji-young untuk pergi les lagi. Ayah Kim Ji-young memberikan aturan seperti berhenti untuk pergi ke tempat les, memakai rok yang lebih panjang, dan jangan tersenyum pada siapapun ketika dalam perjalanan merupakan bentuk komunikasi keluarga dengan konformitas tinggi namun orientasi komunikasi rendah sehingga perbuatan ayahnya adalah termasuk ke dalam jenis keluarga protektif (Vangelisti, 2004: 186). Dalam hal ini

(11)

anak harus patuh atas omongan orang tua dan tidak ada diskusi terbuka mengenai hal yang dibahas tersebut sehingga Kim Ji-young masih remaja harus tetap menurutinya.

Selain itu, mertua Kim Ji-young melarang Kim Ji-young untuk bekerja lagi karena mau anaknya tetap bekerja. Tipe keluarga seperti ini adalah tipe keluarga protektif dimana keluarga memiliki orientasi komunikasi yang rendah namun konformitasnya tinggi. Orang tua pemegang utama keputusan dalam rumah tangga walau adanya percakapan dengan anggota rumah tangga. Terlebih lagi keluarga jenis ini masih mengikuti nilai-nilai tradisional yang mereka anut yaitu suami yang bekerja sedangkan istri memiliki tugas untuk melayani anak dan suami dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam komunikasi menjadi pemegang pengambilan keputusan utama dalam keluarga (Littlejohn, 2017: 232-233). Jung Dae-hyun sebagai suami Kim Ji-young melarang keras Kim Ji-young untuk bekerja lagi. Hal ini karena Kim Ji-young menjadi ter-subordinasi dalam bertindak untuk tergabung dalam sebuah kegiatan sosial atau ekonomi (dalam hal ini mendapat pekerjaan) karena tidak mendapatkan izin dari suaminya. Suami berhak menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan oleh istrinya merupakan salah satu bentuk pondasi dari patriarki itu sendiri (Ember & Ember, 2003: 367)

Sedangkan dalam hal atasan sebagai pemegang utama dalam pengambilan keputusan terjadi pada kepala Kim yang tidak memilih Kim Ji-young dalam tim perencanaan memutuskan secara sepihak. Keputusan dari ketua Kim ini bersifat protektif karena tanpa adanya diskusi teruka dan pengambilan keputusan secara sepihak yaitu menggunakan haknya sebagai atasan, sehingga dia menjadi pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah pola komunikasi keluarga yang diterapkan di perusahaannya tersebut lebih menekankan kepatuhan dan konformitas (Segrin dan Flora, 2011: 50).

2. Orang tua, Suami, dan Atasan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam percakapan.

(12)

Pada poin ini menunjukkan bagaimana orang tua suami dan atasan memegang kekuasaan tertinggi dalam percakapan. Pada saat ayah Kim Ji-young memberikan nasihat kepada Kim Ji-young, hal ini ia memegang kekuasaan tertinggi dalam percakapan. Nasihat atau obrolan yang dilakukan ayah beserta Kim-Jiyoung merupakan sebuah sarana untuk memberikan pengajaran tentang edukasi seksual lebih tepatnya kekerasan seksual di tempat umum. Keluarga sebagai unit terkecil dalam kehidupan sosialisasi sangat berpengaruh dalam membicarakan mengenai edukasi seksual yang membuat mereka lebih terbuka dan percaya diri dibandingkan harus bercerita ke teman lainnya. Selain itu komunikasi dengan keluarga dapat mencapai penerimaan dan kehangatan dari keluarga tersebut. Karena sebagai keluarga otomatis akan ada keterbukaan lebih yang dipercayai untuk diceritakan oleh ayah maupun ibu (Runcan dkk, 2012: 905). Mertua Kim Ji-young yang kerap kali menyuruh Kim Ji-young pada saat kumpul tahun baru keluarga menunjukkan bahwa di Korea Selatan status perempuan yang menikah dalam keluarga laki-laki derajatnya dipandang lebih rendah dibandingkan anak laki-lakinya atau anak kandung perempuannya sendiri, sehingga Kim Ji-young dalam hal ini yang menjadi menantu, harus ikut terlibat dalam sistem patrilineal dalam keluarga Jung Dae-hyun dan dia menjadi lebih rendah derajatnya dibanding anggota lain sehingga ia harus menuruti perkataan mertuanya dan suaminya Park (2001:43).

Kim Ji-young harus mengikuti perkataan suaminya. Dalam budaya Korea, representasi dari keluarga pihak laki-laki sangat bersifat patrilineal sehingga memiliki kekuasaan yang absolut, sehingga sang istri harus mengikuti kekuasaan absolut pada keluarga suaminya dan mengikuti kebiasaan yang diikuti oleh mertuanya dan sang suami. Perempuan yang telah menikah maka harus mengikuti budaya serta tata cara adat keluarga yang biasa dilakukan oleh keluarga suaminya. Tak hanya itu, biasanya kesejahteraan keluarga suaminya juga perlu didahulukan terlebih dahulu (Park, 2001: 48).

3. Isu deskriminasi jenis kelamin dalam pekerjaan menjadi topik pembicaraan yang muncul dalam film

(13)

Pada poin ini menggambarkan bagaimana isu deskriminasi jenis kelamin dalam pekerjaan sebagai bentuk patriarki muncul dalam film. Dalam hal ini terlihat dari bagaimana semua tim perencanaan yang dipilih oleh ketua Kim laki-laki karena ia takut bila karyawati yang terpilih fokusnya akan terbagi dua dengan pekerjaan. Dalla Costa (dalam Mies 1986: 31) mengatakan sebuah posisi pekerjaan didasarkan dari adanya peran dalam rumah tangga dimana perempuan sebagai pekerja rumah tangga dan laki-laki sebagai pekerja buruh. Dari dasar ini dilihat pekerja laki-laki akan mendapatkan kesempatan kerja lebih tinggi dengan gaji tertentu dibandingkan perempuan, karena perempuan dianggap tidak seproduktif laki-laki dalam bekerja. Hal ini menjadikan adanya ketidaksetaraan gaji dan posisi antara laki-laki dan perempuan sehingga masih banyak sistem patriarki terjadi di banyak perusahaan. Laki-laki dianggap lebih superior, produktif, dan dapat menghasilkan output yang lebih baik dibandingkan perempuan dalam pekerjaan sehingga banyak perusahaan yang masih lebih menghargai karyawan laki-laki dibandingkan karyawati perempuan dalam perusahaannya. Serta adanya pembagian seakan akan perempuan hanya boleh melayani anak dan suaminya serta bekerja hanya kewajiban laki-laki saja yang sering dibicarakan teman-teman Jung Dae-hyun. Perempuan kehilangan suaranya di depan suaminya karena ia harus tunduk terhadap laki-laki dan menuruti apapun yang menjadi kehendak dari suaminya tersebut (Ko, dkk, 2003: 279).

4. Jenjang karir yang terbatas bagi perempuan, tidak seluas dan semudah laki-laki untuk mendapatkan jabatan.

Pada poin ini terlihat dari keputusan ketua Kim yang hanya memilih karyawan laki-laki dalam timnya karena takut bila perempuan akan terbagi fokus antara keluarga dan pekerjaan. Ada beberapa pertimbangan dalam dilaksanakannya promosi jabatan dalam perusahaan seperti bias jenis kelamin yang otomasi muncul dalam evaluasi dan promosi kerja lainnya, karena kinerja perempuan secara sistematis dianggap lebih kecil pada suatu jabatan hal ini menyebabkan semakin kecil pula perempuan mendapatkan masa jabatan atau promosi dibandingkan

(14)

karyawan dengan karyawan laki-laki yang memiliki output pekerjaan yang serupa (Kossek & Lee, 2020:6).

B. Orientasi Konformitas

1. Orang tua menjadi orang yang paling dihormati dan dihargai dalam keluarga sehingga harus selalu dijunjung tinggi dan dituruti perkataannya.

Poin ini menunjukkan bagaimana orang tua harus senantiasa dituruti perkataannya. Terlihat dari nenek Kim Ji-young yang menyuruh ibu Kim Ji-young untuk memiliki lebih banyak anak laki-laki karena keluarganya masih mengikuti patrilinealitas dan patrilokal. Patrilinealitas termasuk menyerahkan asset produktif utama melalui keturunan laki-laki, sedangkan perempuan dapat diberikan beberapa barang bergerak dalam bentuk mas kawin atau warisan saja. Hal ini membatasi kemampuan perempuan untuk menopang tingkat ekonomi mereka tanpa terikat pada laki-laki namun tetap saja hal ini berpandangan pada akhirnya perempuan tidak bisa berdiri sendiri. Sedangkan patrilokalitas melibatkan pasangan yang tinggal di rumah laki-laki, sebagai pewaris utama dalam keluarga yang sejalan dengan warisan sebagai contoh dalam masyarakat, rumah, tanah, dan perusahaan merupajan asset produktif utama yang diwarikan kepada laki-laki. Namun, hal ini hanya terjadi di negara Asia timur, karena dibagian negara lain seperti Eropa karena adanya luas fleksibilitas dalam logika kekerabatan patrilineal dalam negara Eropa. Oleh karena itu, di Eropa perempuan boleh mewarisi tanah jika tidak memiliki anak laki-laki meski bukan garis keturunan ayahnya. Oleh karena itu, negara Asia timur mengharapkan anak laki-laki daripada perempuan dengan harapan dapat meneruskan garis keturunan ayahnya dan mewarisi asset produktif dari keluarganya (Gupta, dkk, 2003: 160).

2. Seorang istri harus menuruti perkataan suami dan menghormati ibu mertuanya (bersumber dari ajaran Kong Hu Chu)

Pada poin ini setelah menjadi bagian dari keluarga laki-laki yang baru seorang menantu perempuan memiliki kewajiban untuk menuruti perkataan keluarga suaminya terutama ibu mertuanya. Seperti pada saat perayaan tahun baru

(15)

Kim Ji-young terus mengikuti perintah dari ibu mertuanya tanpa ada sanggahan. Selain itu Kim Ji-young harus menuruti perkataan ibu mertuanya saat melarangnya untuk bekerja lagi. Hal ini tak lepas dari pengaruh Kong Hu Chu yang dianut di Korea, dimana menurut kepercayaan yang dianut di Korea, seorang istri harus menurut perkataan suami dan mertuanya, namun mereka tidak pernah dianggap menjadi bagian dari keluarga suaminya karena keturunan darag mereka berbeda. Mereka hanya dianggap orang asing dan hal tersebut hanya dapat ditoleransi jika sang istri dapat melahirkan anak laki-laki dan melayani keluarga suaminya terutama ibu mertuanya secara patuh tanpa menolak sedikitpun (Mente, 2012). Oleh karena itu, setiap permintaan dan perintah ibu mertua Kim Ji-young, dia tidak dapat menolaknya dan harus mengikutinya. Keluarga Jung Dae-hyun termasuk ke dalam jenis keluarga protektif dimana keluarga ini menjunjung tinggi konformitas sehingga keluarga menjadi penurut terhadap pemegang kekuasaan tertinggi dalam komunikasi seperti suami atau orang tua namun orientasi komunikasinya rendah tidak terjadi dua arah sehingga segala keputusan hanya tergantung oleh salah satu pihak saja (Segrin dan Flora, 2011: 50).

3. Perempuan harus bersikap lembut dan tenang dalam berperilaku

Pada poin ini terlihat dari pesan nenek Kim Ji-young kepada Kim Ji-young dan kakaknya yang mana ditegur oleh neneknya karena mereka terlalu berisik. Menurutnya perempuan harus selalu lemah lembut dan tenang. Perkataan nenek Kim Ji-young menunjukkan perempuan harus bersikap pasif bukan aktif seperti laki-laki, seperti perempuan harus berbicara dengan nada yang halus dan lembut (Ember & Ember, 2003: 844). Laki-laki diidentikkan dengan sifatnya yang keras dan aktif juga ekspresif dalam berbicara dalam publik, sedangkan perempuan harus berbeda dari laki-laki sehingga perempuan harus menjadi yang submisif, pasif, lemah lembut, dan tenang dalam berbicara. Pendapatnya pun akan kurang didengar dalam masyarakat karena mereka bersifat submisif dalam publik tidak seperti laki-laki (ibid). Selain itu, perlakuan neneknya ini juga mengarah pada pembentukan karakteristik dari perempuan bahwa pekerjaan domestik rumah tangga di lakukan oleh perempuan bukan, sedangkan laki-laki bertugas mencari nafkah (Sarwono, B. K., 2012: 41). Dalam komunikasi keluarga fenomena ini termasuk jenis keluarga

(16)

protektif karena konformitasnya yang tinggi namun orientasi komunikasi yang terbentuk rendah. (Vangelisti, 2004: 186) Hal ini terlihat dari Kim Ji-young dan kakaknya langsung pergi membantu ibunya saat neneknya menyuruh mereka. 4. Perempuan harus mendahulukan berkumpul bersama keluarga suaminya pada

saat perayaan tahun baru lunar atau saat perayaan Seollal.

Pada saat perayaan tahun baru lunar, perempuan harus mengutamakan berkumpul dengan keluarga suaminya dibandingkan dengan keluarganya sendiri. Karena seorang istri harus menghormati dan melayani keluarga suaminya, menuruti mereka terutama ibu mertuanya. Jika mereka tidak berkumpul bersama keluarga pihak laki pada saat perayaan seollal atau terjadi sesuatu terhadap anak laki-laki mereka dalam keluarga tersebut, maka pihak keluarga laki-laki-laki-laki akan menyalahkan menantu perempuan mereka karena dianggap tidak becus dalam mengurus suami dan rumah tangga mereka yang mana dianggap sebagai kewajiban dari perempuan untuk melayani segala keperluan rumah tangga di keluarga kecilnya dan penghormatan kepada keluarga besar suaminya (De Mente, 2012). Perempuan yang telah menikah maka harus mengikuti budaya serta tata cara adat keluarga yang biasa dilakukan oleh keluarga suaminya. Tak hanya itu, biasanya kesejahteraan keluarga suaminya juga perlu didahulukan terlebih dahulu (Park, 2001: 48).

5. Adanya kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan karena adanya rasa superioritas pada laki-laki.

Kekerasan seksual ini terjadi karena adanya rasa superioritas dari laki-laki yang biasanya terjadi di tempat kerja atau tempat umum berupa perekaman menggunakan kamera tersembunyi. Kekerasan seksual yang terjadi dengan merekam bagian tubuh perempuan sebagai objek pemenuhan Hasrat seksual dapat menjadi dasar tumbuhnya kekesaran seksual secara verbal dan non-verbal seperti menyentuh perempuan sembarangan, berkomentar merendahkan, bahkan hingga percobaan pemerkosaan (Walby, 1990: 38)

Sedangkan di tempat umum biasanya terjadi di tempat sepi berupa penguntit yang terus mengikuti. Hal ini terjadi pada saat Kim Ji-young pulang dari tempat

(17)

les. Kegiatan stalker atau mengikuti korbannya ini kemudian akan dicari saat-saat yang sepi dan tepat untuk melakukan kekerasan seksual terhadap korbannya untuk memenuhi hasrat seksualnya. Kekerasan seksual ini biasanya terjadi di tempat yang sepi dari orang bisa di dalam ruangan maupun luar ruangan. (Roces & Edwards, 2010: 44). Menurut Seoul Gender Sensitivity Statistics karena tingginya kekerasan seksual di trasnportasi umum di Seoul, menyebabkan semakin tingginya ketakutan perempuan dalam menggunakan transportasi umum yang melonjak hingga 71,9%. Ketakutan ini berdasarkan setiap tahunnya kekerasan seksual di tempat umum atau transportasi publik kerap kali terjadi dan meningkat setiap tahunnya di kota besar di Korea Selatan walaupun pemerintah sudah berusaha meingkatkan keamanan di setiap tempat dengan pemasangan CCTV dan sebagainya (Kim, dkk, 2020: 1).

Kesimpulan

Penelitian ini membuktikan bahwa:

1. Pola komunikasi dalam keluarga yang mencerminkan patriarki dalam rumah tangga maupun dalam dunia perkantoran bersifat protektif yang berarti orientasi komunikasinya rendah namun orientasi konformitas sangat tinggi yang menyebabkan perempuan selalu harus tunduk atas perintah suami atau atasan dan keluarga mertua. Dalam hal ini, perempuan tidak memiliki hak suara untuk menjalankan apa yang dia inginkan namun mengikuti perintah dari suami, mertua, ataupun atasannya. Adanya pola komunikasi keluarga yang terjadi ini juga dipengaruhi oleh budaya Kong Hu Chu dimana nilai-nilainya masih dipegang teguh oleh masyarakat Korea Selatan.

2. Orientasi konformitas terkait patriarki yang tergambarkan dalam film ada beberapa hal yaitu orang tua menjadi orang yang paling dihormati dan dihargai dalam keluarga sehingga harus dijunjung tinggi, istri yang harus menuruti apapun perkataan suami dan tidak bisa membantah, menghormati ibu mertuanya seperti,perempuan yang harus bersikap lembut dan adanya perilaku semena-mena antara laki-laki dengan perempuan di tempat kerja maupun dalam

(18)

kendaraan umum yang memicu pada adanya kekerasan seksual pada perempuan. Dengan demikian, perempuan baru akan dinilai baik dalam keluarga dan masyarakat karena dinilai sudah berperilaku sesuai ekspektasi, nilai, dan norma kebudayaan yang telah tertanam dalam keluarganya. Nilai konformitas yang terkandung dalam film yang terjadi dalam masyarakat baik keluarga maupun di kantor juga dipengaruhi oleh nilai kebudayaan agama Kong Hu Chu yang masih melekat di kebudayaan Korea Selatan.

Saran

Penelitian semiotika Roland Barthes ini memungkinkan berbagai macam interpretasi tergantung dari ketajaman analisis peneliti. Hasil dari penelitian ini bukanlah kebenaran yang mutlak. Diharapkan kedepannya adanya penelitian lebih lanjut yang mengkaji topik serupa dengan objek penelitian yang sama sehingga hasil penelitian kedepannya dapat saling melengkapi dan tidak terikat bias dari satu peneliti.

Berangkat dari film “Kim Ji-young, Born 1982” kita bisa melihat realitas bagaimana adanya budaya patriarki sehari-hari dalam budaya Korea Selatan yang mana tidak beda jauh dengan Indonesia. Diharapkan kedepannya dunia perfilman Indonesia dapat memproduksi film dengan tema patriarki serupa sehingga bisa diteliti lebih lanjut dan dibandingkan dengan penelitian film “Kim Ji-young, Born 1982”

Daftar Pustaka

Barthes, R. (1972). Mythologies. USA: Twenty-fifth printing.

Barthes, R. (2013). Elements of Semiology. New York: Hill and Wang.

Berko, R., Aitken, E. J., & Wolvin, A. (2010). ICOMM: Interpersonal Concept and Competencies Foundations of Interpersonal Communications. UK: Roland and Littlefield Publisher.

De Mente, B. L. (2012). The Korean Mind: Understanding Contemporary Korean Culture. Rutland, Vermont: Tuttle Publishing.

(19)

Delphy, C. (1984). Materialist Analysis of Women's Oppression. London: Hutchinson.

Ember, C. R., & Ember, M. (2003). Encyclopedia of Sex and Gender: Men and Women in the World's Cultures. New York: Plenum Publisher.

Gupta, M. D., Zhenghua, J., Bohua, L., Zhenming, X., Chung, W., & Bae, H. O. (2003). Why is Son preference so persistent in East and South Asia? a cross-country study of China, India and the Republic of Korea. The Journal of Development Studies, 40(2), 153-187.

Hamel, S. C. (2011). Semiotics: Theory and Applications. New York: Nova Science Publishers.

Ida, R. (2001). The Construction of Gender Identity in Indonesia: Between Cultural Norms, Economic Implications and State Formation. Masyarakat Kebudayaan dan Politik, 14(1), 21-34.

Kim, T., Paek, S. Y., & Lee, J. (2020). An Examination of Subway Sex Offense Modus Operandi: A Case of Seoul, South Korea. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17, 1-14. doi:10.3390/ijerph17238979

Ko, D., Haboush, J. K., & Pigott, J. R. (2003). Women and Confucian Cultures in Posmodern China, Koream and Japan. London: University of California Press, Ltd.

Kossek, E. E., & Lee, K. H. (2021). Work-life Inclusion for Women's Career Equality: Why it Matters and What to Do About It. Organizational Dynamics, 1-11. doi:10.1016/j.orgdyn.2020.100818

Littlejohn, S. W., Foss, K. A., & Oetzel, J. G. (2017). Theories of Human Communication (11th ed.). USA: Waveland Press, Inc.

Mies, M. (1986). Patriarchy and Accumulation on a World Scale. New Jersey: Zed Books Ltd.

Park, B. J. (2001). Patriarchy in Korean Society: Substance and Appearance of Power. Korea Journal, 41(4), 43-55.

Ritchie, D. L., & Fitzpatrick, M. A. (1990). Family Communication Patterns: Measuring Intrapersonal Perceptions of Interpersonal Relationships. Communication Research, 17(4), 523-544.

(20)

Roces, M., & Edward, L. (2010). Women's Movements in Asia: Feminism and Transnational Activism. New York: Routledge.

Runcan, P., Constantineau, C., Lelics, B., & Popa, D. (2012). The Role of Communication in the Parent-Child Interaction. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 46, 904-908. doi:10.1016/j.sbspro.2012.05.221 Sarwono, B. K. (2012). Gender Bias in Patriarchal Society: A Media Analysis on

Virginity and Reproductive Health. Wacana, 14(1), 37-60.

Segrin, C., & Flora, J. (2011). Family Communication (2nd ed.). New York: Routledge.

Smith, N. D., & Rudolph, K. (2018). The Association Between Uneven Sex Ratios and Violence: Evidence from 6 Asian Countries. PLoS ONE, 13(6), 1-10. doi:10.1371/journal.pone.0197516.

Vangelisti, A. L. (2004). Handbook of Family Communication. New Jersey: Lawrence Elbraum Associates.

Referensi

Dokumen terkait

Pendekatan yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh Sentra Industri Jamu Tradisional adalah dengan memberikan pelatihan produksi Jamu yang enak,

Teridentifikasinya diagnosa keperawatan dari masing-masing pasien dengan penyakit HIV/AIDS di Ruang Perawatan Umum Lantai 5 RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan 1) Aktifitas guru dalam memanfaatkan penggunaan aplikasi Class Dojo , 2) Respon orang tua siswa terhadap penggunaan

Dari Gambar 11 di atas menunjukan bahwa dengan melakukan penambahan sekat dimana dapat dilihat pada kapal dengan ruang muat 1 sekat nilai GM semakin menjauhi syarat

Dengan adanya wasiat wajibah secara aplikatif memberikan nilai manusiawi dan berimplikasi sosial dalam memperhatikan bagian (penerimaan) harta peninggalan bagi

Penelitian ini menegaskan bahwa baik faktor diri khususnya strategi pengaturan diri dalam belajar dan juga faktor keluarga dalam bentuk gaya pengasuhan yang

Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan guru matematika dalam pembelajaran matematika melalui penerapan metode

Pembinaan Pos Kamling di Lingkungan Kecamatan Samarinda Ulu P P P P Pembangun an Lingkungan Sosial & Kemasyarak atan Kecamatan Samarinda Ulu ( Seksi Pemerintaha n umum,