• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan pemenuhan air minum dan sanitasi masih dihadapi masyarakat marginal di Indonesia. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menunjukkan meskipun akses terhadap sumber air minum meningkat dari 37,73 % pada tahun 1993 menjadi 42,76 % pada tahun 2011, namun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2009, yaitu 47,71 %. Akses terhadap sumber air minum di perkotaan menurun dari 49,82 % pada tahun 2009 menjadi 40,52 % pada tahun 2011, sedangkan di pedesaan menurun dari 45,72 % pada tahun 2009 menjadi 44,96 % pada tahun 2011.

Pemenuhan air minum dan sanitasi dasar ini memerlukan adanya pemberdayaan peran masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan wujud nyata dari paradigma New Public Service. Seiring bergesernya paradigma New Public

Management ke paradigma New Public Service, maka bergeser pula kedudukan

masyarakat sebagai pengguna layanan publik yang semula dari customer menjadi

citizen. Menurut Keban (2008:247), dalam pergeseran paradigma ini tidak ada lagi

pihak yang menjadi penonton, karena semua pihak dilibatkan menjadi pemain dan ikut bermain. Paradigma ini mensyaratkan birokrasi harus dibangun dengan mengikutsertakan masyarakat. Prinsip-prinsip dalam New Public Service dapat diterapkan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penyediaan air minum dan sanitasi dasar.

Pemberdayaan masyarakat juga merupakan cerminan dari paradigma Human

Governance. Menurut Thoha (2008:155-156), Human Governance merupakan suatu

model kultural yang menata hubungan antara negara dan individu sebagai warga negara yang mempunyai kebebasan memilih, kemerdekaan berpendapat, pengakuan hak dan harga diri oleh pemerintah. Human Governance cenderung lebih memberdayakan, serta memperbaharui budaya administrasi yang dijalankan oleh pemerintahan dan budaya kewarganegaraan individu dalam suatu negara, dimana titik perhatiannya mengubah posisi manusia dari objek ke subjek. Pemberdayaan

(2)

commit to user

masyarakat dalam kerangka Human Governance ini dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah dalam pemenuhan hak publik atas air dan sanitasi dasar.

Pemberdayaan masyarakat ini juga memiliki relevansi dengan Good

Governance. Sulistiyani (2004:90) menuliskan bahwa pemaknaan pemberdayaan

masyarakat ini sejalan dengan konsep Good Governance, dimana mengetengahkan pada 3 (tiga) pilar yang harus dipertemukan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Ketiga pilar tersebut ialah pemerintah, swasta, dan masyarakat yang hendaknya menjalin hubungan kemitraan yang selaras. Penyediaan air minum dan sanitasi dasar ini memerlukan hubungan kemitraan yang baik dari ketiga pilar tersebut sebagai perwujudan paradigma Good Governance.

Meskipun pemberdayaan masyarakat merupakan manifestasi dari New Public

Service, Human Governance, dan Good Governance, namun kajian-kajian terdahulu

menunjukkan masih diabaikannya masyarakat dalam program pembangunan (Smith, 2008; Mirumachi and Wykt, 2010; Adamson, 2010; Singh, et.all, 2012; Nerkar, et.all, 2013; dan Masrukin, et.all 2016). Oleh karena itu, kajian tentang pemberdayaan masyarakat menjadi penting untuk dilakukan. Smith (2008) menuliskan pemberdayaan masyarakat yang seringkali dilakukan menggunakan pendekatan bottom up menunjukkan keterbatasan pendekatan partisipatif terhadap pembangunan. Mirumachi and Wykt (2010), melalui risetnya terkait pemberdayaan masyarakat sebatas mengkaji resources, knowledge, skills, confidence dan capacity.

Adamson (2010), melalui risetnya mengidentifikasi hambatan utama dalam pemberdayaan masyarakat meliputi community capacity, institutional capacity,

organisational cultures, dan regulatory frameworks. Riset yang dilakukan oleh

Singh, et.all (2012) menunjukkan pemberdayaan masyarakat dilakukan sebatas akuntabilitas pemerintah atas pemenuhan hak dasar masyarakat. Nerkar, et.all (2013) sebatas mengkaji pemberdayaan dari aspek physical, mental, social, dan education. Riset yang dilakukan Masrukin (2016) juga sebatas mengkaji pemberdayaan masyarakat dari segi penguatan institusi lokal dalam bidang ekonomi.

Hasil kajian para ahli memfokuskan pemberdayaan masyarakat pada 8 (delapan) aspek, meliputi : Acces to information, Inclusion/Participation,

Accountability, Local Organizational Capacity, Community Knowledge, Politics, Legality, dan Local Culture (Masrukin, dkk, 2016; Mardikanto dan Soebianto, 2015;

(3)

commit to user

Nerkar, dkk, 2013; Singh, dkk, 2012; Adamson, 2010; Mirumachi dan Wykt, 2010; Soetomo, 2009; Smith, 2008; Wulfhrost, dkk, 2008; Wrihatnolo dan Dwijowidjoto, 2007; Alsop, dkk, 2006; Wandersman, dkk, 2005; Sulistiyani; 2004; PREM– The World Bank, 2002). Kajian terdahulu menunjukkan fokus perhatian pada beberapa atau salah satu aspek tertentu dalam pemberdayaan masyarakat. Namun, belum banyak penelitian yang secara khusus memfokuskan kajian pada aspek-aspek yang sering digunakan para ahli untuk mengkaji pemberdayaan masyarakat ini. Penelitian ini menganalisis aspek-aspek pemberdayaan masyarakat tersebut.

Penelitian ini mengkaji pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan air minum dan sanitasi di Kabupaten Sragen di Indonesia. Penyediaan air minum dan sanitasi berbasis pemberdayaan masyarakat ini sangat menarik untuk diteliti melihat karakteristik budaya dan kearifan lokal di Indonesia yang berbeda dengan negara lain. Hal ini juga menarik mengingat Indonesia termasuk dalam under developed

country. Penelitian terkait penyediaan air minum dan sanitasi telah diteliti di negara

lain, seperti Tanzania, Ethiopia, India, Afrika Selatan, dan Guatemala (Mirumachi and Wykt, 2010; Mandara, et.all, 2013; Mishra and Nandeshwar, 2013; Tigabu, et.all, 2013; Nerkar, et.all, 2013; Vasques, 2013; dan Yu, et.all, 2015). Namun, penelitian terdahulu ini sebatas mengkaji penyediaan air minum dan kurang mengkaitkannya dengan pemberdayaan masyarakat. Hal yang menarik dari riset-riset terdahulu ini ialah fakta yang menunjukkan bahwa penyediaan air minum di level lokal masih menemui kendala terkait kapasitas masyarakat.

Mandara et.all (2013) melalui penelitiannya mengkaji mengenai community

management dalam pengelolaan air pedesaan di Tanzania. Hasil penelitiannya

menunjukkan pengelolaan air oleh masyarakat sangat buruk, dikarenakan tidak ada masyarakat lokal yang dilatih dalam operasional dasar dan pemeliharaan sistem air. Tigabu, et.all (2013), melalui risetnya mengkaji community participation dalam penyediaan air bersih di Ethiopia. Hasil penelitiannya menunjukkan seharusnya masyarakat dilibatkan dalam tahapan perencanaan proyek air minum. Mirumachi and Wykt (2010) melalui risetnya yang mengkaji kebijakan air di Afrika Selatan menemukan fakta bahwa pemerintahan yang memberdayaan stakeholders sangat penting dalam pelaksanaan kebijakan air di negara tersebut.

(4)

commit to user

Mishra and Nandeshwar (2013) meneliti aksesbilitas sumber air dan sanitasi di pedesaan Madhyapradesh, India. Hasil risetnya menunjukkan permasalahan kualitas dan kuantitas air masih menjadi titik perhatian di pedesaan, sehingga perlu mencari sumber air, memobilisasi, dan mengedukasi masyarakat. Nerkar, et.all (2013) melalui risetnya mengkaji penyediaan air minum di India, menunjukkan penyediaan air perlu dilakukan dengan meningkatkan level pendapatan, peluang pendidikan, dan membangun kepercayaan diri. Vasques (2013) melalui risetnya meneliti preferensi masyarakat dalam penyediaan air minum di Guatemala menunjukkan perlunya kolaborasi antara government, municipalities,

non-governmental organizations, dan communities. Yu, et.all (2015), melalui risetnya

menemukan permasalahan penyediaan air di China berkaitan reformasi kelembagaan, revisi regulasi, instrumen ekonomi, inovasi teknologi dan peningkatan kapasitas.

Penelitian ini mengkaji Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS). Program ini merupakan kebijakan pemerintah terkait pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan air minum dan sanitasi dasar. Program ini merupakan usaha pemerintah dalam memenuhi hak publik untuk mendapatkan pelayanan air minum dan sanitasi yang berkualitas, sehingga diharapkan kesejahteraan masyarakat desa dan daerah peri urban dapat tercapai. Program PAMSIMAS merupakan komitmen pemerintah dalam mencapai Millenium

Development Goals (MDGs), yaitu menurunnya jumlah penduduk yang belum

memiliki akses air minum dan sanitasi dasar sebesar 80 % di perkotaan dan 60 % di pedesaaan pada tahun 2015.

Program PAMSIMAS ini merupakan program berbasis masyarakat, sehingga dalam pelaksanaannya menekankan pada prinsip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat mengarah pada sebuah upaya dalam meningkatkan kemampuan masyarakat (miskin, marginal, terpingirkan) untuk menyampaikan pendapat dan atau memenuhi kebutuhannya, pilihan-pilihannya, berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengelola kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung jawab (accountable) demi perbaikan kehidupannya (Mardikanto, 2010:41).

Lebih lanjut, Dharmawan (Mardikanto, 2010:33) menuliskan pemberdayaan merupakan sebuah proses memiliki energi yang cukup memungkinkan orang untuk

(5)

commit to user

mengembangkan kemampuan mereka, memiliki daya tawar yang lebih besar, membuat keputusan mereka sendiri, dan lebih mudah mengakses ke sumber kehidupan yang lebih baik. Bernard Crick (Azizy, 2003:9) menuliskan pemberdayaan masyarakat dilakukan sebagai usaha untuk menjadikan masyarakat semakin berdaya untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan/kebijakan publik. Partisipasi ini pada dasarnya merupakan prasyarat terwujudnya demokrasi.

Beranjak dari berbagai pernyataan tersebut, maka pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya merupakan peningkatan kemampuan seseorang untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Terkait dengan pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS ini, maka keputusan yang dimaksud adalah keputusan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam program tersebut. Keputusan ini mencakup keputusan masyarakat sasaran untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan program, misalnya penanaman pipa atau pengecoran sumur, keterlibatan dalam berbagai acara sosialisasi program, atau bahkan keputusan untuk turut andil menjadi pengurus organisasi lokal yang membawahi program.

Program PAMSIMAS dilaksanakan dalam rangka penerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang “Pengairan”. Program ini diperkuat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang “Pemerintah Daerah”. Berlandaskan regulasi ini, pemerintah daerah bertanggung jawab penuh untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat di daerah masing-masing, termasuk air minum dan sanitasi. Regulasi pendukung lainnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang “Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum”. Regulasi ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2004 tentang “RPJMN Renstra 2004 – 2009” tentang pembangunan prasarana dan sarana air minum dan sanitasi berkelanjutan yang membutuhkan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat guna perbaikan kualitas hidup, tidak hanya berfokus infrastruktur tetapi juga berbasis masyarakat.

Kabupaten Sragen merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang melaksanakan Program PAMSIMAS. Sampai dengan tahun 2015, Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen telah melayani 116 Desa dari total 208 Desa yang ada, terdiri dari 101 Desa Regular dan 15 Desa Replikasi. Desa Regular adalah desa yang mendapatkan Program PAMSIMAS dari pemerintah pusat, sedangkan

(6)

commit to user

Desa Replikasi adalah desa yang mendapat pendanaan dari pemerintah daerah. Kabupaten Sragen bahkan menjadi salah satu daerah dengan Program PAMSIMAS terbanyak di Indonesia, dimana cakupan pelayanannya sudah mencapai 58 % (Sragen News Online, 2015). Namun demikian, secara kualitas program ini belum optimal dalam pelaksanaannya. Manajemen pengelolaan lebih dari 60 % Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen belum optimal. Tidak maksimalnya manajemen dan administrasi program ini akibat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola yang rendah (Solopos, 2013).

Penelitian terkait pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen ini mengambil lokasi di 2 (dua) Desa yang memiliki spesifikasi geografis dan sumber dana yang berbeda, yaitu Desa Katelan dan Desa Plosorejo. Desa Katelan yang berada di bagian utara kondisinya gersang dan tandus, dikenal dengan wilayah “lor bengawan” (Utara Sungai Bengawan Solo). Secara geografis, Desa Katelan ini termasuk dalam wilayah rawan air bersih. Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan air minum dan sanitasi Desa Katelan mendapatkan Program PAMSIMAS Reguler pada tahun 2011. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2014 Desa Katelan mendapatkan Program Hibah Khusus PAMSIMAS (HKP). Program HKP ini bertujuan untuk meningkatkan keberfungsian sumur Program PAMSIMAS Reguler sebelumnya.

Desa Katelan masih menemui berbagai permasalahan terkait kependudukan, meliputi rendahnya usia produktif, tingkat pendidikan yang rendah, sampai dengan rendahnya perekonomian. Kuantitas penduduk usia produktif sekitar 50,8 %, tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan yang baik. Hal ini terlihat dari banyaknya penduduk yang ada dalam kategori Tidak Tamat SD sekitar 17,7 %. Rendahnya tingkat pendidikan ini menyebabkan penduduk kebanyakan bekerja di sektor non formal. Kategori kelompok penduduk yang bekerja sebagai petani sekitar 52,3 % dan buruh tani sekitar 30,2 %. Beranjak dari data kependudukan ini, maka penduduk di Desa Katelan perlu diberdayakan dalam Program PAMSIMAS, sehingga memiliki keberdayaan dalam pemenuhan air minum dan sanitasi dasar.

Lokasi penelitian berikutnya ialah Desa Plosorejo yang secara geografis terletak di wilayah selatan. Daerah ini dikenal dengan wilayah “kidul bengawan” (Selatan Sungai Bengawan Solo), dengan kondisi lebih banyak sumber mata air,

(7)

commit to user

meskipun sangat dalam kedalaman sumber airnya. Kedalaman sumber air yang sangat dalam ini merupakan latar belakang Desa Plosorejo mendapatkan Program PAMSIMAS Reguler pada tahun 2009. Perkembangan selanjutnya, untuk menjaga keberlangsungan program mengacu keberhasilan pengelolaan Program PAMSIMAS Reguler sebelumnya, pada tahun 2012 Desa Plosorejo mendapatkan Program Hibah Insentif Desa (HID).

Desa Plosorejo juga masih menemui berbagai permasalahan terkait kependudukan, meliputi tingkat pendidikan yang rendah sampai dengan rendahnya perekonomian. Kuantitas penduduk usia produktif sekitar 64 % tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan yang baik, dimana sekitar 0,9 % penduduk di Desa Plosorejo yang belum pernah mengeyam pendidikan. Rendahnya tingkat pendidikan ini berkonsekuensi pada mata pencaharian penduduk di Desa Plosorejo yang cenderung mayoritas bekerja pada sektor non formal. Kategori kelompok penduduk yang bekerja sebagai petani sekitar 55,2 %. Ironisnya, terdapat sebanyak 1,7 % penduduk dalam kategori pengangguran. Beranjak dari data kependudukan ini, maka penduduk di Desa Plosorejo perlu diberdayakan dalam Program PAMSIMAS, sehingga memiliki keberdayaan dalam pemenuhan air minum dan sanitasi dasar.

Beranjak dari gambaran lokasi penelitian, maka terlihat Desa Katelan dan Desa Plosorejo memiliki spesifikasi geografis, kependudukan, dan sumber dana yang berbeda. Untuk lebih jelasnya memahami karakteristik sumber dana, berikut ini dapat dilihat dalam Tabel I.1 :

Tabel I.1. Program PAMSIMAS

di Desa Katelan dan Desa Plosorejo di Kabupaten Sragen

No Tahun Desa Kecamatan Lokasi

Sumur Jumlah Pelanggan Sumber Dana (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1. 2009 Plosorejo Gondang Dawung 183 Reguler

2. 2011 Katelan Tangen Brakbunder 100 Reguler

3. 2012 Plosorejo Gondang Balerejo 214 HID

4. 2014 Katelan Tangen Grabagan - HKP

Sumber: Data Sekunder.

Beranjak dari Tabel 1.1 tersebut, maka dapat dikaji bahwa perkembangan Program PAMSIMAS Reguler di Desa Plosorejo dan Desa Katelan ini menunjukkan

(8)

commit to user

kondisi yang berbeda. Desa Plosorejo berhasil menunjukkan kinerja yang baik dalam pengelolaannya, sehingga mendapatkan Program HID. Di sisi lain, pengelolaan yang kurang lancar ditunjukkan di Desa Katelan, sehingga mendapatkan Program HKP. Program HKP ditujukan untuk meningkatkan keberfungsian Sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (SPAMS) yang sudah tidak berfungsi atau berfungsi sebagian melalui optimalisasi. Meskipun Program PAMSIMAS di Desa Katelan telah dipacu dengan Program HKP ini, namun pengelolaannya masih menunjukkan ketidakoptimalan.

Permasalahan pengelolaan Program PAMSIMAS di Desa Katelan ini berawal dari pengurus di tingkat lokal, yaitu Badan Pengelola - Sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi (BP-SPAMS) Desa Katelan, yang tidak aktif dalam asosiasi BP-SPAMS Se-Kabupaten Sragen. Hal ini mengakibatkan pengurus kurang terinformasi secara baik terkait berbagai dana bantuan keberlangsungan program. Aksesbilitas yang kurang memadai ini tentu dapat menghambat pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS. Keterlibatan masyarakat sasaran juga rendah, ditunjukkan dengan memborongkan pekerjaan hanya pada 3 (tiga) orang pengurus untuk memenuhi syarat minimal 16 % in kind dari Rencana Kerja Masyarakat (RKM).

Pengelola BP-SPAMS Desa Katelan juga tidak akuntabel dalam melaporkan pertanggung jawaban kepada masyarakat dan pihak Desa. BP-SPAMS Desa Katelan sebagai organisasi lokal yang mengelola program juga minus dalam kapasitas dukungan dana. Hal ini terlihat dari kondisi kas yang menunjukkan neraca defisit, sehingga tidak mampu memberikan honor kepada pengurus maupun pendanaan operasional. Pengetahuan masyarakat masih minim terkait operasional teknis. Namun demikian, untuk tingkat masyarakat lokal pengetahuan ini dipandang sudah memenuhi prinsip pemberdayaan masyarakat. Selama ini pengurus mengatasi permasalahan kerusakan teknis dengan mengundang teknisi dari luar. Selain itu, pengurus ikut serta dalam berbagai pendidikan dan pelatihan (diklat) untuk meningkatkan kapasitasnya dalam operasional teknik.

Permasalahan pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Desa Katelan ini tereksploitasi dalam pemberitaan berbagai media massa. Berbagai media massa pada intinya memberitakan bahwa Desa Katelan masih menemui

(9)

commit to user

permasalahan dalam ketersediaan air bersih meskipun Program PAMSIMAS telah diselenggarakan sejak tahun 2011 lalu. Berbagai pemberitaan media massa ini dapat dilihat dalam Tabel I.2 sebagai berikut :

Tabel I.2.

Pemberitaan Media Massa Terkait Program PAMSIMAS di Desa Katelan Kabupaten Sragen

No Judul Berita Media Massa Tanggal

(1) (2) (3) (4)

1. Droping Terlambat, Warga Antri

Jeriken Berhari-hari

Kedaulatan Rakyat Online

20 Agustus 2015

2. Sumur Kering, Warga Katelan

Terpaksa Beli Air

Timlo.net 29 Juli 2015

3. Krisis Air Bersih Mulai Landa

Sragen Utara

Solopos.com 16 Juli 2015

4. Kekeringan, Warga Katelan

Terpaksa Mandi Sekali

Timlo. net 16 Oktober 2014

5. Krisis Air Bersih Kian Parah, Warga

Katelan Hanya Mandi Sekali Sehari

Solopos.com 14 Oktober 2014

Sumber: Data Sekunder.

Kondisi ini dapat dibandingkan dengan pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Desa Plosorejo. Berbeda dengan Desa Katelan yang mendapatkan sokongan dana dari Program HKP karena ketidakoptimalan pengelolaan SPAMS, Desa Plosorejo justru mendapatkan Program HID karena berhasil menunjukkan kinerja yang baik dalam pengelolaannya. Hal ini menjadi kajian yang menarik, karena selain dapat diketahui perbedaan kondisi di kedua wilayah tersebut, riset ini juga diharapkan dapat melihat pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen secara holistik baik di wilayah utara maupun selatan.

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat dilihat berbagai indikasi permasalahan terkait pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS di Kabupaten Sragen. Masyarakat menghadapi problem dalam meningkatkan kapasitas, antara lain : akses informasi pengelola yang kurang memadai terkait berbagai bantuan dana program, akuntabilitas pengelola yang rendah dalam informasi pengelolaan dana program, rendahnya kapasitas organisasi lokal dalam dukungan dana, minimnya keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam program,

(10)

commit to user

sampai dengan pengetahuan masyarakat yang kurang memadai terkait operasional teknis. Berangkat dari berbagai indikasi ini, maka topik ini dirasa menarik diangkat dalam sebuah penelitian dengan judul : Pemberdayaan Masyarakat dalam Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di Kabupaten Sragen.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di Kabupaten Sragen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemberdayaan masyarakat dalam Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat PAMSIMAS di Kabupaten Sragen.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, terutama untuk :

1. Memecahkan berbagai masalah terkait pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS, khususnya di Kabupaten Sragen.

2. Memberikan masukan bagi penyusunan strategi peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam Program PAMSIMAS, khususnya di Kabupaten Sragen.

Referensi

Dokumen terkait

pada individu normal, walaupun pengenalan antigen sendiri oleh klon limfosit tidak terjadi, suatu respon autoimun yang merugikan tetap diawasi oleh mekanisme kontrol yang aktif

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

 Biaya produksi menjadi lebih efisien jika hanya ada satu produsen tunggal yang membuat produk itu dari pada banyak perusahaan.. Barrier

Berdasarkan pengamatan kemampuan berbahasa siswa pada siklus 1 telah mengalami peningkatan dari pratindakan walaupun belum mencapai persentase KKM yang telah ditentukan.

Sistem informasi e-learning berbasis cloud computing untuk SMK di Kabupaten Kudus ini merupakan sistem informasi yang digunakan untuk mengelola data

Hasil penelitian yang diperoleh adalah kasus spondilitis tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014 sebanyak 44 pasien.. Penyakit ini dapat menyerang segala jenis kelamin dan

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut