• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Rumput Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Rumput Laut"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Rumput Laut

Profil Komoditas

Rumput laut adalah bentuk poliseluler dari ganggang (macro-algae) yang hidup di laut. Rumput laut atau alga laut adalah tanaman tingkat rendah dari Divisio Thallophyta (Deptan 1990). Berdasarkan pigmentasinya, rumput laut diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu alga merah (Rhodophyceae), alga hijau (Chlorophyceae), dan alga coklat (Phaeophyceae). Dari ketiga kelas tersebut, hanya Rhodophyceae dan Paeophyceae yang dikenal dalam dunia perdagangan. Jenis Eucheuma sp, Hypnea sp, Chondrus sp, dan Gigartina sp dari kelas Rhodophyceae merupakan rumput laut penghasil karaginan (karaginofit), sementara jenis lainnya yaitu Gracilaria sp dan Gelidium sp sebagai penghasil agar (agarofit). Dari kelas Phaeophyceae dikenal .jenis Ascophyllum, Laminaria sp, Macnocystis sp, dan

Sargassum sebagai penghasil algin (alginofit) (McHugh 2003).

Makroalga merupakan sumberdaya hayati laut Indonesia yang sangat potensial dan bernilai ekonomis tinggi, terutama dari golongan alga merah dan alga coklat. Masyarakat pada umumnya dan dunia perdagangan lebih mengenal makroalga sebagai rumput laut karena beberapa diantaranya menyerupai rumput. Di perairan laut Indonesia telah ditemukan paling tidak sebanyak 555 jenis rumput laut (DKP 2006a).

Rumput laut dapat tumbuh secara alamiah di laut (wild seaweed), namun saat ini rumput laut sudah banyak yang dibudidayakan (McHugh 2003). Teknologi budidaya rumput laut pada umumnya relatif mudah dikuasai oleh masyarakat (Anggadiredja et al. 2006). Rumput laut yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis rumput laut penghasil karaginan (karaginofit). Karaginofit yang telah dikenal dan banyak dibudidayakan di Indonesia berasal dari genus Eucheuma. Menurut Huda (2002), paling tidak terdapat 5 jenis Eucheuma yang ditemukan di Indonesia, meliputi E. cottonii, E. spinosum, E. edule, E. striatum, E. muricartum, dan E. gelatinae.

(2)

Eucheuma merupakan rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di perairan laut Indonesia karena tingkat permintaan pasar yang tinggi, serta didukung oleh kondisi perairan dan iklim tropik yang sangat cocok untuk pertumbuhannya (Anggadiredja et al. 2006; DKP 2006a). Kelebihan rumput laut jenis Eucheuma antara lain bentuk dan ukuran thallus lebih besar yang memungkinkan jenis ini mengandung karaginan yang tinggi, pertumbuhannya cepat (quick yield), serta mudah dibudidayakan dengan teknologi sederhana (BI 2008). Eucheuma memiliki thallus dan cabang-cabang yang berbentuk silinder atau pipih dengan bentuk yang tidak teratur dengan permukaan licin. Ketika masih hidup Eucheuma memiliki warna hijau hingga kemerahan, namun bila kering warnanya menjadi kuning kecoklatan (Doty 1973).

Gambar 1 Rumput laut (Eucheuma cottonii).

Karaginan

Beberapa jenis Eucheuma mempunyai peran penting dalam dunia perdagangan internasional, yaitu sebagai penghasil ekstrak karaginan. Eucheuma mempunyai komposisi yang sebagian besar terdiri dari komponen karaginan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma bervariasi tergantung pada jenis spesies dan tempat tumbuhnya (Anggadiredja et al. 2006). Komponen lainnya seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral didalam rumput laut, mempunyai kandungan yang relatif sedikit. Nilai nutrisi rumput laut kering jenis Eucheuma sp. dapat dilihat pada Tabel 1.

(3)

Tabel 1 Nilai nutrisi rumput laut (Eucheuma sp.) Komponen E. spinosum Bali E. spinosum Sulawesi Selatan E. cottonii Bali Kadar air (%) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Serat kasar (%) Abu (%) Mineral : Ca (ppm) Fe (ppm) Cu (ppm) Pb (ppm) Thiamin (mg/100g) Riboflavin (mg/100g) Vitamin C (mg/100g) Karaginan (%) 12.90 5.12 0.13 13.38 1.39 14.21 52.820 0.108 0.768 -- 0.21 2.26 43.00 65.75 11.80 9.20 0.16 10.64 1.73 4.79 69.250 0.326 1.869 0.015 0.10 8.45 41.00 67.51 13.90 2.69 0.37 5.70 0.95 17.09 22.390 0.121 2.736 0.040 0.14 2.70 12.00 61.52 Sumber: BBPPHP (2009); Istini et al. (1986)

Karaginan adalah senyawa kompleks polisakarida yang dibangun oleh sejumlah unit galaktosa dan 3,6-anhydro-galaktosa baik mengandung sulfat maupun tidak dengan ikatan α-1,3-D-galaktosa dan β-1,4-3,6-anhydro-galaktosa secara bergantian (Soegiarto 1978). Pada dasarnya ada tiga tipe karaginan komersial, yaitu tipe kappa, lambda, dan iota. Karaginan tipe lambda banyak dijumpai pada Chondrus crispus. Jenis Eucheuma cottonii merupakan sumber karaginan tipe kappa, sementara Eucheuma spinosum sumber karaginan iota (Salasa 2002). Ketiga jenis karaginan ini dibedakan atas sifat jelly yang terbentuk. Iota karaginan berupa jelly lembut dan fleksibel atau lunak. Kappa karaginan jelly bersifat kaku dan getas serta keras. Sementara, lambda karaginan tidak dapat membentuk jelly, tetapi berbentuk cair yang viscous.

Karaginan sangat penting peranannya sebagai pengatur keseimbangan (stabilisator), pengental (thickener), pembentukan gel (gelating), dan pengemulsi (emulsifier). Sifat-sifat ini dapat dimanfaatkan secara luas dalam industri makanan, farmasi, kosmetika, pasta gigi, dan industri penting lainnya (Basmal 2000).

Pada industri pangan, karaginan telah dimanfaatkan untuk perbaikan produk kopi, beer, sosis, salad, ice cream, susu kental manis, coklat, jelly, dll. Pada industri farmasi karaginan digunakan dalam pembuatan obat berupa sirup, tablet, dsb. Pada

(4)

industri kosmetika digunakan sebagai gelling agent atau binding agent dengan tujuan untuk mempertahankan suspensi padatan yang stabil seperti pada pembuatan shampo, pelembab, dsb. Karaginan digunakan pula pada industri non pangan seperti pada industri tekstil, kertas, cat air, transportasi minyak mentah, penyegar udara dan telah ditambahkan pula pada makanan hewan peliharaan (pet food) (Basmal 2000).

Dalam dunia perdagangan, karaginan bisa diperoleh dalam bentuk karaginan murni maupun semi murni. Produk karaginan semi murni merupakan bahan baku bagi karaginan murni yang berkualitas tinggi yang memiliki kekuatan gel serta rendeman yang tinggi. Karaginan semi murni memiliki beberapa istilah, antara lain semi refined carrageenan, alkali modified flour, alkali treated carrageenophyte, seaweed flour, alternatively refined carrageenan, dan processed seaweed flour. Ada pula istilah alkali treated cottonii (ATC) atau alkali treated cottonii chips (ATCC) yang merupakan produk karaginan semi murni yang masih dalam bentuk chips yang dihasilkan dari rumput laut Eucheuma cottonii (McHugh 2003).

Produk karaginan semi murni biasanya diproduksi oleh negara-negara penghasil rumput laut, seperti Filipina dan Indonesia. Produk ini lebih diminati oleh industri-industri pengolah seperti di Eropa dan USA, karena negara-negara tersebut dapat menekan biaya transportasi sehingga akan lebih efisien dibandingkan mengimpor produk dalam bentuk rumput laut kering (raw dried seaweed). Selain itu, industri pengolah juga tidak tertarik untuk mengolah rumput laut menjadi ATC dengan alasan untuk menghindari adanya limbah dalam proses pengolahannya, sehingga hal ini akan mengurangi biaya dalam penanganan limbah (McHugh 2003).

Agroindustri Rumput Laut

Austin (1992) dan Brown (1994) mendefinisikan agroindustri sebagai industri yang mengolah bahan baku menjadi produk-produk olahannya dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah. Proses pengolahannya mencakup transformasi kimia dan fisika, penyimpanan, pengemasan, dan distribusi. Merujuk pada definisi tersebut, agroindustri rumput laut adalah industri yang mengolah rumput laut menjadi produk olahannya, misalnya ATC.

(5)

Menurut Kustantiny et al. (2009), saat ini agroindustri ATC semakin berkembang seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah di Indonesia, terutama sejak dicanangkannya revitalisasi pembangunan kelautan di Indonesia. Proses pengolahan ATC tidak membutuhkan penerapan teknologi tinggi. Proses pengolahan rumput laut menjadi ATC pada prinsipnya sangat sederhana yaitu dengan merebusnya dalam larutan KOH pada suhu 85°C selama 2-3 jam. Rumput laut kemudian dicuci berulang-ulang, dipotong-potong, dan dikeringkan sehingga diperoleh ATC yang berbentuk chips (Salasa 2002). Diagram alir proses pembuatan ATC dapat dilihat Gambar 2.

Gambar 2 Proses pembuatan ATC (Salasa 2002).

Dengan mempertimbangkan teknologi pengolahan ATC yang relatif mudah dikuasai, bahan baku yang cukup tersedia, serta peluang pasar yang sangat potensial baik di dalam negeri maupun untuk pasar ekspor, maka pengembangan agroindustri ATC di Indonesia mempunyai prospek yang sangat cerah (DKP 2006a). Pengembangan agroindustri berbasis rumput laut dapat mengurangi ketergantungan impor dan sekaligus menjaga kestabilan harga rumput laut (Rahman 1999).

(6)

Sejauh ini sebagian besar rumput laut, baik hasil pembudidayaan maupun pengambilan di alam, masih diolah sebatas rumput laut kering (raw seaweed). Indonesia masih dikenal sebagai negara produsen raw seaweed dikarenakan sebagian besar rumput laut Indonesia masih diekspor dalam bentuk rumput laut kering (Kustantiny et al. 2009). Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh menjadi relatif rendah (DKP 2006a).

Pengembangan budidaya rumput laut perlu diikuti dengan pengembangan industri pengolahannya karena nilai tambah rumput laut sebagian besar terletak pada industri pengolahannya. Sebagian besar produksi rumput laut diekspor dalam bentuk bahan mentah yang nilai tambahnya belum dinikmati oleh pembudidaya, produsen, pemerintah daerah dan stakeholders lainnya. Pengembangan agroindustri rumput laut mempunyai nilai strategis dari hulu sampai hilir.

Dalam pengembangan agroindustri rumput laut, Ma’ruf (2002) menyarankan perlunya dibentuk suatu sistem penyerasian antara penyediaan bahan baku, sumberdaya manusia, permodalan, hukum, kelembagaan dan sistem pemasaran dan perlunya sosialisasi hasil riset yang melibatkan pemerintah daerah, institusi riset dan swasta.

Gambar 3 Skema pengembangan agroindustri rumput laut (Ma’ruf 2002).

Tata Niaga Rumput Laut

Rantai pemasaran rumput laut umumnya terdiri dari simpul-simpul pedagang lokal, pedagang antar pulau, dan eksportir yang hampir merupakan model yang sama di seluruh Indonesia. Pembudidaya rumput laut pada umumnya menjual hasil

(7)

produksinya kepada pedagang pengumpul lokal atau ke koperasi. Pengumpul lokal kemudian memproses ulang dengan melakukan pembersihan, sortasi, dan mengeringkan rumput laut sebelum dikemas dan dijual kepada pembeli baik eksportir maupun pabrikan pengolahan rumput laut (Anggadiredja et al. 2006). Saat ini pembudidaya sudah mulai membentuk organisasi di tingkat pembudidaya, yaitu kelompok-kelompok pembudidaya, dimana ketua kelompoknya umumnya bertindak sebagai pengepul yang mengumpulkan rumput laut yang dihasilkan oleh pembudidaya (BI 2008).

Simpul-simpul perdagangan ini sulit bisa diputus mengingat jarak yang jauh antara produsen rumput laut (pembudidaya) dengan pasar di hilirnya, yaitu pabrikan atau processor dan eksportir. Setiap simpul akan memproses lebih lanjut hasil panen pembudidaya dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas rumput laut agar bisa diterima oleh pabrikan pengolah rumput laut, baik didalam maupun di luar negeri (Anggadiredja et al. 2006). Model keterkaitan antar berbagai pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha dan tata niaga rumput laut dapat dilihat pada Gambar 4.

Pembudidaya / petani rumput laut

Pedagang pengumpul di pulau atau lokal

Koperasi Unit Desa

(KUD) Pedagang antar pulau

Pedagang pengumpul di kota

Pedagang besar di kota

Eksportir Pabrikan

(8)

Klaster Industri

Model Klaster Industri

Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan konsep klaster industri. Pertama, konsep klaster yang lebih menyoroti aspek aglomerasi, yaitu pendekatan yang menekankan pada aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai keserupaan aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan berdasarkan pemikiran Marshal (1920). Kedua, konsep yang lebih menyoroti aspek keterkaitan (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri. Konsep ini dikembangkan oleh Porter (1990), serta para peneliti lain seperti Bergman dan Feser (1999), Roelandt dan den Hertog (1998), dll.

Konsep klaster industri yang dikembangkan dalam penelitian ini lebih menekankan pada pendekatan yang kedua. Pada pendekatan ini, Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di bidang tertentu yang berdekatan secara geografis dan saling terkait karena kebersamaan (commonalities) dan melengkapi (complementarities). Senada dengan pemikiran Porter, Roelandt dan den Hertog (1998) berpendapat bahwa klaster adalah jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi) yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah. Dalam kasus tertentu, klaster juga mencakup aliansi strategis antara agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara, dan pelanggan.

Dalam klaster industri, pengelompokan industri membentuk kerjasama antar industri, yaitu antara industri inti yang menjadi basis dalam pengembangan klaster dengan industri pendukung serta industri terkait yang berhubungan secara intensif membentuk kemitraan (Bergman dan Feser 1999). Pengelompokan klaster industri

(9)

biasanya didasarkan pada sistematika produk, karakteristik produk atau pohon industrinya.

Pemikiran-pemikiran tentang klaster industri yang berkembang dewasa ini pada umumnya merujuk kepada model berlian (diamond model) yang dikembangkan Porter (1990). Porter mengembangkan model berlian yang memberikan kerangka determinan keunggulan daya saing suatu bangsa yang sering dirujuk dan dianggap sebagai pemicu atau menjadi kerangka dasar dalam model atau pendekatan klaster industri.

Dalam perspektif Porter, faktor penentu dari daya saing adalah interaksi dari empat faktor spesifik dan dua faktor eksternal yang disebut sebagai faktor berlian (diamond). Empat faktor tersebut mencakup: (i) kondisi faktor; (ii) kondisi permintaan; (iii) industri terkait dan pendukung; serta (iv) strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Porter selanjutnya menyempurnakan dua faktor tambahan pada modelnya, yaitu kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan (chance events) dan peran pemerintah.

Gambar 5 Model Berlian (Porter 1990).

Sejauh ini, dalam beberapa literatur untuk kasus di Indonesia, penggunaan istilah antara “klaster industri” dengan “sentra industri” sering digunakan secara dapat dipertukarkan. Menurut Taufik (2005b), hal ini perlu diklarifikasi. Jika rantai nilai dianggap hal yang penting, maka keduanya sebenarnya bukan hal yang identik,

(10)

walaupun bisa saling terkait. Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan antara klaster industri dengan sentra industri Kriteria Klaster Industri Sentra Industri Batasan Industri Himpunan para pelaku dalam konteks

tertentu baik pelaku industri tertentu yang berperan sebagai industri inti, pemasok kepada pelaku industri inti, industri pendukung bagi industri inti, pihak/lembaga yang memberikan jasa layanan kepada pelaku industri inti

Himpunan para pelaku (produsen) di bidang usaha industri tertentu yang serupa

Faktor penting yang menjadi pertimbangan

Nilai tambah dan daya saing serta hal positif lain yang terbentuk atas rangkaian rantai nilai keseluruhan industri

Hal positif yang diperoleh karena aglomerasi fisik para pelaku usaha Keterkaitan

antara keduanya

Dalam suatu klaster industri, suatu sentra bisa ditempatkan sebagai salah satu subsistem dalam rangkaian rantai nilai sistem industri tertentu

Sentra industri bisa menjadi salah satu himpunan simpul (subgroup) dari suatu klaster industri, baik sebagai industri inti, pemasok, atau pendukung. Suatu sentra mungkin saja tidak/belum menjadi bagian dari klaster industri tertentu Batasan lokasi/

wilayah

Dimungkinkan terbentuknya klaster industri yang bersifat lintas batas dalam konteks batasan kewilayahan tertentu

Sentra industri tertentu hanya ada di suatu lokasi (desa/kelurahan) tertentu

Sumber: Taufik (2005b)

Manfaat Pengembangan Klaster Industri

Pengembangan klaster industri diyakini merupakan alternatif pendekatan yang efektif untuk membangun keunggulan daya saing industri pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. Pengembangan ekonomi berbasis klaster merupakan kunci bagi pengembangan daya saing daerah. Menurut EDA (1997), kerangka klaster dapat menjadi sebuah alat yang sangat berguna bagi perubahan ekonomi secara efektif karena:

• Market-driven, berfokus pada upaya mempertemukan sisi permintaan dan penawaran ekonomi secara bersama untuk bekerja secara lebih efektif.

• Inclusive, mencakup perusahaan baik yang berskala besar, menengah, maupun kecil, serta para pemasok dan lembaga-lembaga ekonomi pendukung.

(11)

• Collaborative, sangat menekankan solusi kolaboratif pada isu-isu daerah oleh para partisipan yang termotivasi oleh keinginannya masing-masing.

• Strategic, membantu para stakeholder untuk menciptakan visi strategis daerahnya menyangkut ekonomi generasi berikutnya atas dasar kesepakatan bersama dari beragam pihak yang berbeda, dan mendorong motivasi serta komitmen untuk melakukan tindakan.

• Value-creating, memperbaiki kedalaman (dengan pemasok yang lebih banyak) dan cakupan (dengan menarik lebih banyak industri) untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Pengembangan klaster industri diyakini mampu menciptakan manfaat ekonomi dan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2004) menjelaskan bahwa peningkatan daya saing dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara, yaitu: (i) meningkatkan produktivitas perusahaan; (ii) mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai pondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan; dan (iii) menstimulasi tumbuhnya usaha-usaha baru yang dapat memperkuat dan memperluas klaster.

Beberapa manfaat pengembangan klaster industri disampaikan oleh Porter (1998a), Desrochers dan Sautet (2004), Waits (2000), Martin dan Sunley (2003), yaitu:

1 Memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi dan membantu pengembangan agenda bersama;

2 Meningkatkan kerjasama antar perusahaan untuk memperkuat industrinya. Kerjasama antar-perusahaan juga memberi kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif dimana terjadi pengembangan saling-tukar pendapat, pengetahuan dan informasi dalam suatu usaha kolektif untuk meningkatkan kualitas produk dan pindah ke segmen pasar yang lebih menguntungkan; 3 Meningkatkan efisiensi dan produktivitas, serta mengurangi biaya

(12)

4 Menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang mendorong peningkatan produktifitas dan diversifikasi produk;

5 Meningkatkan keahlian pelaku melalui proses pembelajaran bersama antar perusahaan potensial yang ada dalam klaster yang mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif;

6 Setiap perusahaan yang ada dalam klaster memperoleh potensi economic of scale dengan adanya spesialisasi produksi serta dengan adanya pasar bersama atau melalui pembelian bahan mentah bersama;

7 Perusahaan dapat meningkatkan hubungan bisnis dengan pelanggan dan pemasok secara lebih baik.

Keberadaan klaster tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster, namun juga menguntungkan pengambil kebijakan untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Manfaat utama yang diperoleh pemerintah adalah: (i) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat dalam suatu klaster; (ii) dapat menyusun program dan pembinaan pengembangan klaster industri dalam rangka mengarahkan sumberdaya secara efektif dan efisien dalam upaya pembangunan ekonomi wilayahnya secara berkelanjutan; (iii) penciptaan lapangan kerja dari wilayah geografis di mana klaster berada; dan (iv) peningkatan perekonomian daerah/nasional secara lebih luas (Martin dan Sunley 2003).

Tahapan Pengembangan

Klaster industri mempunyai sifat dinamis dan perkembangannya mempunyai siklus yang dapat dikenali. Rosenfeld (2002) mengklasifikasikan siklus perkembangan klaster menjadi empat tahapan, yaitu: (i) klaster embrio, yaitu klaster pada tahapan awal perkembangan; (ii) klaster tumbuh, yaitu klaster yang mempunyai ruang untuk perkembangan lebih lanjut; (iii) klaster dewasa, yaitu klaster yang stabil atau akan sulit untuk lebih berkembang, serta (iv) klaster menurun, yaitu klaster yang sudah mencapai puncak dan sedang mengalami penurunan.

(13)

Dalam klaster embrio, pemerintah dan perantara mempunyai peran penting dalam peningkatan kerjasama dan berfungsi sebagai broker informasi. Sedangkan pada klaster dewasa dan klaster menurun, peningkatan keterbukaan dan inovasi juga diperlukan untuk mencegah bahaya lock-in wilayah. Selain membantu menjaga daya saing klaster tradisional, peningkatan keterbukaan dan inovasi dapat menjadi titik awal kemajuan pengembangan industri baru. Beberapa bentuk intervensi diperlukan di setiap tahapan siklus, namun intensitas dan cara penyampaiannya yang perlu penyesuaian (Bappenas 2006).

Dalam konteks pengembangan ekonomi daerah, EDA (1997) menetapkan empat tahapan umum dalam pengembangan klaster industri, meliputi:

1 Mobilisasi, yaitu membangun minat dan partisipasi di antara konstituen, yang diperlukan untuk melaksanakan prakarsa;

2 Diagnosis, yaitu mengkaji klaster industri yang mencakup ekonomi (daerah) dan infrastruktur ekonomi yang mendukung kinerja klaster;

3 Strategi kolaboratif, yaitu menghimpun stakeholder dari sisi permintaan (seperti perusahaan dalam setiap klaster) dan stakeholder dari sisi sisi penawaran (termasuk lembaga pendukung ekonomi baik publik maupun swasta) dalam kelompok kerja untuk mengidentifikasi tantangan utama dan prakarsa aksi dalam mengatasi persoalan bersama; dan

4 Implementasi, yaitu membangun komitmen peserta kelompok kerja klaster dan stakeholder daerah atas tindakan dan mengembangkan lembaga/ organisasi untuk memelihara terlaksananya implementasi.

Faktor Kunci Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri

Setiap klaster mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan klaster lainnya. Namun pada umumnya ada beberapa faktor yang mendukung perkembangan klaster yang telah berhasil di dunia. Bappenas (2006) menyebutkan faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan suatu klaster, meliputi: (i) elemen yang “lunak” seperti jaringan dan pengembangan institusi; (ii) elemen “keras” seperti infrastruktur fisik; serta (iii) elemen yang tidak terlihat seperti kepemimpinan dan

(14)

budaya kewirausahaan. Faktor lainnya yang juga berkontribusi pada keberhasilan perkembangan klaster adalah akses pada pasar, finansial, dan jasa-jasa khusus.

Selain faktor-faktor diatas, Tambunan (2008) mengamati beberapa faktor penentu keberhasilan klaster lainnya, meliputi: (i) ketersediaan bahan baku terjamin dengan jangkauan harga yang telah diperhitungkan masih menguntungkan; (ii) ada tradisi budaya dan skill tenaga kerja dalam hand craft yang turun temurun dipelajari oleh masyarakat setempat, tenaga kerja terampil tersedia di sekitar lokasi dimana klaster industri tertentu tumbuh; dan (iii) didalam masyarakat ada sikap kewirausahaan (entepreneur) yang cukup berpengetahuan pasar sehingga mampu menyusun jaringan pasar (market network) didalam dan luar agen daerah.

Berdasarkan pengalaman BPPT dalam pengembangan klaster, Taufik (2007) melaporkan faktor-faktor keberhasilan klaster yang dianggap penting, yaitu: (i) potensi lokal yang khas; (ii) kehendak/motivasi kuat pelaku bisnis dan mitra kerja (terutama untuk berubah ke arah perbaikan); (iii) individu setempat dengan kepeloporan yang tinggi (local champions); dan (iv) faktor kolaborasi dalam pengembangan UKM semakin menentukan keberhasilan di arena persaingan global.

Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada umumnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Meskipun klaster industri diyakini dapat memberikan peluang dan manfaat bagi pelaku industri, termasuk bagi daerah dimana klaster tersebut berada, namun proses mengembangkan klaster bukanlah merupakan persoalan yang mudah.

Rosenfeld (2002) menyampaian beberapa hambatan pengembangan klaster, diantaranya adalah lemahnya akses terhadap sumber permodalan, penguasaan dan adopsi teknologi, akses terhadap informasi, sumberdaya manusia yang terampil, lemahnya penguasaan manajemen dan organisasi bisnis, serta keterbatasan infrastruktur. Disamping itu, Matopoulos et al. (2005) juga mencatat ada satu faktor penting yang menjadi penghambat dalam pengembangan klaster, yaitu lemahnya kerjasama usaha diantara pelaku-pelaku klaster.

(15)

Berdasarkan beberapa pengalaman BPPT, Taufik (2007) melaporkan tantangan terbesar dalam pengembangan klaster, meliputi: (i) perubahan paradigma (personil internal dan mitra kerja dan pola sektoral yang masih sangat terkotak-kotak). Perlu perbaikan paradigma (pola pikir, sikap dan tindakan) segenap aktor/pelaku (pelaku bisnis, pihak non-pemerintah, pemerintah) dalam menjalankan peran masing-masing; (ii) komitmen; (iii) konsistensi; serta (v) semakin siap dengan beragam paradoks dari perubahan.

ADB (2001) juga telah melaporkan hasil-hasil kajian yang menghambat keberhasilan perkembangan klaster di Indonesia, yang pada umumnya disebabkan oleh: (i) mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar; (ii) mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi; (iii) ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk; dan (iv) keterbatasan kemungkinan pemerintah deerah untuk mendorong perkembangan klaster industri.

Dalam pendekatan klaster industri, pergeseran paradigma peran pemerintah dianggap menjadi salah satu kunci keberhasilan. Peran pemerintah yang ideal menurut Roelandt dan den Hertog (1998) adalah: (i) sebagai fasilitator dalam pengembangan jaringan dalam klaster; (ii) katalis dalam mengembangkan keunggulan daya saing yang dinamis; (iii) pengembang/penguat kelembagaan; dan (iv) menciptakan struktur insentif untuk menghilangkan/mengurangi ketidakefisienan pasar dan sistemik yang terjadi dalam sistem inovasi.

Dalam pengembangan klaster industri, Roelandt dan den Hertog (1998) menyarankan beberapa hal berikut untuk dihindari:

1 Pengembangan klaster sebaiknya bukan semata karena keinginan pemerintah melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan.

2 Kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar. 3 Kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk

(16)

4 Pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster, melainkan berperan sebagai katalis dan broker yang membawa bersama seluruh para pelaku dalam klaster serta insentif untuk memfasilitasi proses inovasi dan klasterisasi.

5 Kebijakan klaster sebaiknya tidak mengabaikan klaster kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada klaster yang sudah ada dan klasik. 6 Kebijakan klaster tidak hanya cukup dengan analisis/studi, tetapi juga

tindakan nyata. Kebijakan klaster yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta menciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif.

7 Klaster sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang menurun.

Beberapa contoh klaster industri yang dianggap berhasil, baik di luar negeri maupun didalam negeri, adalah sebagai berikut:

1 Klaster industri alas kaki di Sinos Valley Brazil. Klaster ini beranggotakan 480 perusahaan produsen alas kaki yang didukung berbagai pemasok bahan baku utama dan penunjang, mesin, dan pemasok komponen manufaktur, lembaga pelatihan khusus bidang manajemen dan finansial, serta lembaga informasi. Faktor kunci sukses klaster ini meliputi adanya latar belakang dan tujuan ke depan yang kuat, adanya kemampuan untuk meningkatkan produk dengan kualitas tinggi secara konsisten, dan kepedulian dari lembaga, institusi, dan asosiasi pendukung alas kaki untuk membagi ide dan beradaptasi terhadap perubahan permintaan dari pasar dunia.

2 Klaster industri teknologi informasi dan komunikasi di Finlandia. Klaster ini pada tahun 1997 naik dari peringkat terendah menjadi nomor 2 tertinggi di dunia. Anggota klasternya terdiri dari industri kunci (media, hiburan, iklan, pemesanan, perbankan, kesehatan, layanan publik, pendidikan, dan elektronika konsumsi), industri pendukung (manufaktur komponen dan suku cadang, manufaktur kontrak, dan penelitian dan pengembangan), serta jaringan jasa terkait (konsultansi, modal ventura, dan jalur distribusi).

(17)

3 Klaster industri anggur di Victorian Australia. Salah satu kunci sukses klaster ini adalah peningkatan nilai tambah yang ditunjukkan oleh peningkatan harga buah anggur sebesar lima kali lipat dengan mutu ekspor. Klaster juga memiliki visi dan misi yang kuat yang menjadi bagian dari rencana nasional. Selain itu, klaster juga mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk perumusan strategi dan peraturan pemerintah yang sangat mendukung pertumbuhan industrinya. Ditambah lagi dengan transfer teknologi antar industri dan promosi internasional secara bersama-sama.

4 Klaster industri optik di Arizona Amerika Serikat. Klaster ini beranggotakan 150 perusahaan industri kunci dengan kegiatan yang sangat inovatif yang telah mematenkan 3400 produk. Selain industri kunci, stakeholders utamanya juga terdiri dari institusi dan lembaga pemberdayaan industri lokal, organisasi perdagangan, dan universitas. Faktor keberhasilannya meliputi pengembangan teknologi dan proses transformasi yang didukung oleh institusi penelitian dan pendidikan, inisiasi dan pengembangan hubungan timbal balik antar industri terkait, pengembangan keahlian pekerja, dan kolaborasi antar perusahaan dalam berbagai segi.

5 Klaster Mebel Ukir Kayu di Jepara Indonesia. Klaster ini merupakan klaster industri terbesar di Indonesia dengan ribuan perusahaan yang mempekerjakan 60.000 tenaga kerja. Stakeholder utamanya adalah industri kunci berupa sentra pengrajin mebel yang didukung pemasok bahan baku kayu Sukoharjo dan pemasok cor logam. Kemajuan klaster juga didukung oleh unit pelaksana teknis pengolahan kayu, lembaga pelatihan, bank, industri terkait (permesinan, finishing, melamine, dll), dan industri perkakas. Produk klaster ini sudah merambah pasar luar negeri. Faktor lain yang mendukung keberhasilan klaster ini adalah: (i) asosiasi lokal yang kuat; (ii) pengalaman yang luas dengan perubahan selera konsumen asing; (iii) investasi penting untuk skala menengah yang antara lain berasal dari pernikahan lintas bangsa antara orang asing dengan penduduk setempat; serta (iv) peranan penting trading house sebagai perantara dan organizer ekspor.

(18)

Pembangunan Berkelanjutan

Konsep dan Definisi

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dapat dianggap sebagai suatu proses atau evolusi dalam pembangunan (Glavic dan Lukman 2007). Pemikiran pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan respon atas kecenderungan sistem pembangunan ekonomi yang masih berorientasi pada ekspansi atau perluasan pasar, pengabaian biaya eksternalitas, dan berorientasi untuk sekedar mendapatkan keuntungan (economic growth) dengan kelemahan mendasar yang terletak pada tidak atau kurang dipertimbangkannya aspek daya dukung dan kelestarian alam (Dahuri 2003). Gowdy dan Howarth (2007) menegaskan bahwa suatu proses pembangunan tidak hanya terkonsentrasi pada pertumbuhan ekonomi semata, melainkan juga harus memperhatikan kualitas lingkungan hidup dan modal sosial.

Konsepsi pembangunan berkelanjutan sebagai suatu terminologi secara luas diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 melalui publikasinya yang berjudul Our Common Future pada saat Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan (UNCED). WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Howarth 2007; Glavic dan Lukman 2007).

Definisi tersebut mempunyai makna bahwa dalam pemanfaatan semua bentuk sumberdaya atau kapital sebagai upaya pembangunan untuk dapat menciptakan perbaikan kualitas hidup (quality of life) seluruh umat manusia, maka harus disertai dengan kesadaran baru bahwa tindakan pada saat ini membawa konsekuensi dan resiko yang harus dipertimbangkan bagi semua bentuk kehidupan dan generasi pada saat ini dan yang akan datang.

Terminologi pembangunan berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Variasi definisi pembangunan berkelanjutan digunakan oleh

(19)

para peneliti dan organisasi sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya seperti yang dilakukan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), the U.S. Environmental Protection Agency (EPA), the European Environmental Agency (EEA), the Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), the Journal of Cleaner Production, dan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa definisi pembangunan berkelanjutan secara operasional mempunyai berbagai dimensi yang luas khususnya terkait dengan dimensi-dimensi keberlanjutan yang digunakan (Glavic dan Lukman 2007).

Pilar Pokok Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pilar utama, yang meliputi pilar ekonomi, lingkungan, dan sosial. Agar pembangunan dapat berkelanjutan, maka secara ideal manfaatnya harus berkesinambungan dan dipertahankan secara kontinyu. Ini berarti bahwa pembangunan harus memenuhi berbagai tujuan secara seimbang, baik tujuan ekonomi, lingkungan, dan sosial (Harris 2000; Glavic dan Lukman 2007).

Pilar ekonomi. Suatu kawasan pembangunan secara ekonomi berkelanjutan jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sektor sekunder (manufaktur), atau sektor tersier (Harris 2000). Dimensi ekonomi ini juga merepresentasikan permintaan (demand side) manusia terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah dimaksud (Dahuri 2003).

Pilar lingkungan. Suatu kawasan dapat dikatakan secara lingkungan berkelanjutan jika basis sumberdaya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebihan, tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui batas asimilasi lingkungan yang menimbulkan pencemaran, serta pemanfaatan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, yang diiringi dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai. Dalam konteks ini, termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeo-kimia, dan kondisi iklim (Harris 2000; Doyen et al. 2007).

(20)

Pilar sosial. Suatu kawasan pembangunan yang secara sosial disebut berkelanjutan, apabila seluruh kebutuhan dasar (pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan) bagi semua penduduk terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha secara adil, kesetaraan gender, dan terdapat akuntabilitas serta partisipasi politik (Harris 2000).

Indikator Pembangunan Berkelanjutan

Operasionalisasi atau implementasi konsep pembangunan berkelanjutan memerlukan indikator-indikator untuk menilai efektifitasnya, dalam arti untuk mengetahui apakah suatu kegiatan, program ataupun kebijakan dapat dikatakan berkelanjutan (sustainable) atau tidak berkelanjutan (Kuik dan Verbruggen 1991). Walaupun secara prinsip indikator keberlanjutan terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan, namun indikator-indikator tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena bisa ditambah atau diganti dengan indikator lain sesuai dengan kebutuhan (Glavic dan Lukman 2007).

Indikator pembangunan berkelanjutan dapat dikembangkan sesuai dengan keperluannya pada setiap tingkatan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang ada. Kerangka pembangunan berkelanjutan yang mencakup dimensi dan indikator keberlanjutan menjadi pijakan bagi sejumlah kajian tentang keberlanjutan usaha pada berbagai industri walaupun dimensi serta indikator yang digunakan telah disesuaikan dengan tujuan kajian secara khusus.

McCool dan Stankey (2004) menjelaskan bahwa penentuan indikator harus selalu terkait dengan tujuan dari keberlanjutan itu sendiri (what is to be sustained). Beberapa kriteria yang digunakan dalam pemilihan indikator meliputi: (i) indikator merupakan bagian dari sistem atau seperangkat variabel kunci/khusus yang mampu menggambarkan kinerja sistem yang kompleks secara efektif; (ii) dapat digunakan untuk melakukan pengukuran sistem secara efektif; dan (iii) dapat menggambarkan keadaan masa mendatang (predictable) atau antisipasi, sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu pengambilan kebijakan.

Hemphill et al. (2004) menjelaskan bahwa indikator yang baik memiliki karakteristik sebagai berikut: (i) sesuai dengan maksud pengukuran (relevant); (ii)

(21)

pengukuran dapat dilakukan oleh semua orang, bahkan yang bukan pakar pun dapat melakukannya (understandable); (iii) akurat dan terpercaya (accurate and reliable); serta (iv) informasinya mudah diperoleh (accesible data). Selain karakteristik di atas, Opschoor dan Reijnders (1991) menambahkan kriteria ideal bagi indikator pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) dapat dikuantitatifkan; (ii) sensitif terhadap perubahan lokasi atau grup masyarakat; (iii) memiliki acuan atau nilai ambang; serta (iv) metodologi yang digunakan untuk membangun indikator harus jelas terdefinisikan dengan akurat, secara ilmiah dan sosial diterima.

Klaster Industri yang Berkelanjutan

Dalam konteks industri, konsep keberlanjutan dapat diterapkan sebagai bagian dari strategi bisnis untuk mencapai keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang (industrial sustainability). INA (2005) menerangkan bahwa industrial sustainability merupakan suatu pendekatan bisnis yang bertujuan untuk menciptakan nilai bagi shareholder dalam jangka panjang dengan mengambil peluang dan mengelola risiko yang diderivasi dari aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Industrial sustainability merupakan suatu konsep yang menggambarkan proses perencanaan dan manajemen stratejik suatu industri untuk mencapai keseimbangan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Secara umum, industrial sustainability mencakup strategi, model, aksi, dan praktik-praktik yang bertujuan tidak hanya pada kebutuhan ekonomi (misalnya untuk shareholders,), tetapi juga bertujuan untuk melindungi, mendukung, dan meningkatkan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang diperlukan untuk generasi yang akan datang. Model ini memungkinkan suatu industri memperoleh keuntungan yang berkesinambungan, dan secara stratejik dan proaktif menanggulangi dan menghindari dampak negatif yang mungkin akan terjadi pada lingkungan dan masyarakat sekitar (Wilson 2003).

Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks industri diantaranya dapat dilihat dari studi-studi yang telah dilakukan oleh Doukas et al. (2007), Ardebili dan Boussabaine (2007), Ometto et al. (2007), Halog dan Chan (2006), Defra (2006), Adams dan Ghaly (2007), Stoneham et al. (2003) dan lain-lain.

(22)

Studi-studi yang dilakukan tersebut lebih banyak membahas tentang penggunaan indikator-indikator keberlanjutan dalam rangka mengembangkan industrinya secara berkelanjutan. Secara umum, indikator-indikator yang digunakan meliputi indikator ekologi, ekonomi, sosial, lingkungan, dan kelembagaan, yang disesuaikan dengan konteks tujuan penelitian.

Keberlanjutan adalah sebuah konsep yang luas yang mencakup gagasan bahwa setiap jenis pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tidak boleh menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya sebagaimana tercantum dalam Laporan Brundtland tahun 1987 dari PBB. Dalam konteks ini, Martin dan Mayer (2008) mengeksplorasi hubungan antara berbagai dimensi keberlanjutan yang berkaitan dengan klaster industri dan daya saing daerah.

Martin dan Mayer (2008) mencermati adanya trade-off antara tujuan ekonomi klaster (economic development) dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Martin dan Mayer menyatakan bahwa berbagai kajian, tulisan-tulisan ilmiah tentang kluster industri, dan praktek-praktek pembangunan ekonomi berbasis klaster selama ini telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan. Allen dan Potiowski (2008) lebih tegas menyatakan bahwa praktek-praktek pengembangan klaster industri yang telah dilakukan selama ini cenderung bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata. Argumentasi yang melandasinya adalah bahwa daya saing klaster industri saat ini tidak hanya bertumpu pada faktor ekonomi, melainkan harus mempertimbangkan pula faktor-faktor keberlanjutan dalam pengembangannya. Menurut Campbell (1996), faktor ekonomi sesungguhnya hanya salah satu pilar dari tiga pilar yang mendukung pembangunan berkelanjutan.

Klaster industri yang berkelanjutan adalah klaster industri yang mengintegrasikan konsepsi pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing klaster (Martin dan Mayer 2008). Klaster industri yang berkelanjutan dicirikan dengan adanya penggunaan pilar-pilar pokok dalam pembangunan yang berkelanjutan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan, sebagai titik tolak dalam perumusan strategi pengembangannya.

(23)

Gagasan tentang klaster industri yang berkelanjutan disampaikan dan dibahas pada konferensi klaster yang diselenggarakan oleh Masyarakat Ekonomi Oregon dan Departemen Pengembangan dan Portland State University di Portland Oregon pada tahun 2007. Konferensi ini membahas tentang hubungan antara klaster industri dan keberlanjutan.

Klaster industri yang berkelanjutan merupakan suatu langkah inovatif klaster dalam rangka meningkatkan daya saing klaster secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan persaingan terjadi secara dinamis, perusahaan-perusahaan didalam klaster akan tumbuh dan berkembang, maka klaster akan terus bergerak dan bergeser dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kapasitas untuk meningkat dan bertumbuh. Peningkatan kualitas produk dalam rangka memenuhi keinginan konsumen yang dinamis akan mendorong klaster untuk inovatif, sehingga mampu berkompetisi, termasuk pula dalam hal ini peningkatan produktivitas dan efisiensi. Agar dapat berkelanjutan, maka klaster harus dinamis.

Pendekatan Sistem

Konsepsi Kesisteman

Definisi sistem menurut Manetsch dan Park (1977) adalah gugus dari elemen-elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan, atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Menurut Pritsker dan Reilly (1999), sistem adalah sekumpulan elemen-elemen dengan pembatas yang jelas, pada tingkat tertentu yang saling berinteraksi satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan dari suatu studi.

Berdasarkan konsepsi sistem tersebut, maka karakteristik sistem adalah: (i) terdiri dari elemen-elemen yang membentuk satu kesatuan sistem; (ii) adanya tujuan dan kesaling-tergantungan; (iii) adanya interaksi antar elemen; (iv) mengandung elemen yang sering juga disebut sebagai transformasi; serta (v) adanya lingkungan yang mengakibatan dinamika sistem.

Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Dengan demikian, manajemen sistem dapat diterapkan dengan mengerahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan

(24)

suatu sistem (Marimin 2005). Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, oleh karena itu diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (Eriyatno 1999).

Pendekatan sistem merupakan metoda pengkajian masalah yang dimulai dari analisis atau identifikasi kebutuhan yang menghasilkan suatu sistem operasional yang efektif. Pendekatan sistem ini dicirikan dengan adanya metodologi perencanaan atau pengelolaan yang bersifat multidisiplin dan terorganisir, penggunaan model matematika, mampu berfikir secara kualitatif, penggunaan teknik simulasi dan optimasi, serta dapat diaplikasikan dengan komputer (Manetsch dan Park 1977).

Pendekatan sistem diperlukan karena dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tapi memerlukan peralatan yang lebih komprehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh. Pendekatan sistem memberikan gambaran yang lebih luas mengenai variabel-variabel yang harus ditangani dalam menangani suatu sistem (Marimin 2005).

Menurut Eriyatno (1999), pendekatan sistem adalah metodologi yang bersifat rasional sampai bersifat intuitif yang memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Permasalahan yang sebaiknya menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya yaitu masalah yang memenuhi karakteristik: (i) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (ii) dinamis, dimana faktor-faktornya yang menyusun sistem berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa mendatang; dan (iii) probabilistik, memerlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan atau rekomendasi (Eriyatno 1999).

Filosofi dasar kesisteman yang menjadi landasan pokok dalam menyelesaikan masalah melalui pendekatan sistem, yaitu: (1) sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, (2) holistik, artinya memandang secara utuh terhadap keseluruhan sistem, (3) efektif, yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang lebih operasional

(25)

serta dapat dilaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno 1999).

Menurut Eriyatno (1999), penyelesaian suatu persoalan melalui pendekatan sistem umumnya terdiri dari beberapa tahapan, yang meliputi: (i) analisis kebutuhan, (ii) formulasi masalah, (iii) identifikasi sistem, (iv) formulasi model, (v) verifikasi dan validasi model, serta (vi) implementasi model. Metodologi pemecahan masalah menggunakan pendekatan sistem secara grafis dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Metodologi pendekatan sistem (Eriyatno 1999).

Pemodelan Sistem

Model didefinisikan sebagai suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Sushill 1993). Model merupakan simplifikasi atau abstraksi dari suatu sistem nyata, yang dalam hal tertentu berperilaku sebagaimana sistem nyata tersebut (Checkland 1995). Model merupakan suatu representasi atau formalisasi dalam bahasa tertentu (yang disepakati) dari suatu sistem nyata. Sistem nyata merupakan sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan, sistem yang dijadikan

(26)

titik perhatian atau dipermasalahkan (Simatupang 1994). Murthy et al. (1990) menyatakan bahwa model dianggap memadai apabila telah sesuai dengan tujuan dalam pikiran analis (pemodel). Berdasarkan konsepsi model, maka pemodelan sistem diartikan sebagai proses membangun atau membentuk suatu model dari suatu sistem nyata dalam bahasa formal tertentu.

Dengan adanya model akan diketahui struktur suatu obyek, elemen-elemen penyusunnya dan interaksinya secara logis atau menurut hubungan sebab akibat. Pemodelan merupakan alat uji sistem yang bertujuan untuk memudahkan mempelajari perilaku suatu gejala secara seksama agar dapat dilakukan generalisasi terhadap masalah tersebut. Oleh karena itu menurut Eriyatno (1999) tahapan formulasi model merupakan tahapan pokok dalam pendekatan sistem.

Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab-akibat. Salah satu dasar utama mengembangkan model adalah menemukan peubah-peubah yang penting dan tepat. Hal ini sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Formulasi model bertujuan untuk mendapatkan model logis yang dapat merepresentasikan sistem nyata (Eriyatno 1999).

Eriyatno (1999) menguraikan bahwa pada pendekatan sistem, tahap proses pemodelan cukup kompleks namun tidak banyak ragamnya baik ditinjau dari jenis sistem maupun tingkat kecanggihan model. Tahap-tahap dalam pemodelan sistem meliputi:

1 Tahap seleksi konsep. Pada tahap ini dilakukan seleksi alternatif-alternatif yang bermanfaat dan bernilai cukup baik untuk dilakukan pemodelan abstraknya. Hal ini akan mempengaruhi biaya dan kinerja sistem yang dihasilkan.

2 Tahap rekayasa model. Pada langkah ini ditetapkan jenis model abstrak yang akan diterapkan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Pada tahap ini dilakukan pembentukan model abstrak yang realistik. Terdapat dua cara pendekatan untuk membentuk model abstrak, yaitu: (i) pendekatan kotak gelap, yaitu dengan melakukan identifikasi model sistem informasi yang

(27)

menggambarkan perilaku terdahulu dari sistem yang sedang berjalan. Metode ini tidak banyak berguna pada sistem yang kenyataannya belum ada, dimana tujuan sistem masih berupa konsep; dan (ii) pendekatan struktur, yaitu dengan mempelajari secara struktur sistem dari teori-teori untuk menentukan komponen dasar dari sistem serta keterkaitannya. Pendekatan struktur ini banyak dipakai pada rancang bangun dan pengendalian sistem fisik dan non fisik.

3 Tahap implementasi komputer. Pada tahap ini, model abstrak diwujudkan pada berbagai bentuk persamaan, diagram alir dan diagram blok. Setelah program komputer dibuat untuk model abstrak dimana format input-output telah dirancang secara memadai, maka tahap selanjutnya adalah tahap verifikasi dan validasi.

4 Tahap verifikasi dan validasi. Pada proses verifikasi dilakukan evaluasi terhadap proses komputerisasi, kerja logika dan elemen-elemen substansi yang diakomodir oleh model. Proses validasi lebih ditujukan untuk memperbaiki tingkat keyakinan bahwa berdasarkan kondisi yang diasumsikan, model mampu mewakili sistem sebenarnya. Proses validasi dilakukan dengan mempelajari seluruh komponen sistem penunjang keputusan dan keluaran yang dihasilkan.

Menurut Simatupang (1994), melakukan eksperimen langsung pada sistem nyata untuk memahami bagaimana perilakunya, dalam beberapa keadaan merupakan suatu hal yang mungkin saja untuk dilakukan. Namun pada kenyataannya, keadaan sistem nyata itu terlalu kompleks atau masih dalam bentuk hipotesis sehingga terlalu mahal, tidak praktis, bahkan tidak mungkin dapat dilakukan jika harus bereksperimen langsung. Hal ini merupakan alasan untuk dilakukannya perancangan suatu model.

Model dapat dinyatakan baik apabila dapat menggambarkan dengan baik semua hal-hal yang penting dari keadaan dunia nyata dalam masalah tertentu (Manetsch dan Park 1977). Penggunaan model akan sangat bermanfaat bila menghadapi sistem yang kompleks. Menurut Walter (1974), keuntungan

(28)

penggunaan model dalam penelitian yang menggunakan pendekatan sistem meliputi: (i) memungkinan untuk melakukan penelitian yang lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas; (ii) dapat melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu atau memberi perlakuan tertentu terhadap sistem; (iii) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti; dan (iv) dapat dipakai untuk menduga atau meramal perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang.

Sistem Penunjang Keputusan

Sistem penunjang keputusan (SPK) pertama kali diperkenalkan oleh Morton pada awal tahun 1970-an. Sistem ini dicirikan dengan adanya aplikasi sistem interaktif berbasis komputer yang dapat membantu pengambilan keputusan dengan memanfaatkan data dan model untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak terstruktur (Spraque 1989). SPK merupakan suatu paket program yang mampu menggabungkan hardware dan software untuk membantu dalam membuat keputusan pada manajemen tingkat tinggi (Singh 1990).

Sistem penunjang keputusan (SPK) adalah sistem informasi berbasis komputer bertujuan untuk mendukung manajerial dalam pengambil keputusan terhadap suatu masalah yang bersifat semi terstruktur atau tidak terstruktur (Turban dan Aronson 2001). Millet dan Charles (1992) mendefinisikan SPK sebagai suatu sistem yang menggunakan model hubungan antara keputusan dan jalan keluar untuk menunjang pemecahan masalah yang dititikberatkan pada masalah keputusan spesifik ataupun kumpulan masalah-masalah yang berhubungan.

Eriyatno (1999) menjelaskan bahwa SPK merupakan pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan melalui aplikasi komputer sebagai alat bantu. Tujuan SPK adalah memaparkan secara detail elemen-elemen sistem sehingga dapat membantu pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusannya.

Marimin (2004) menjelaskan karakteristik SPK yang meliputi: (i) SPK menggabungkan data dan model menjadi satu bagian; (ii) SPK dirancang untuk membantu para pengambil keputusan pada proses pengambilan keputusan dari masalah yang bersifat semi struktural (atau tidak terstruktur); (iii) SPK lebih

(29)

cenderung dipandang sebagai penilaian manajer dan sama sekali bukan untuk menggantikannya; (iv) teknik SPK dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas dari pengambilan keputusan; (v) adanya interaksi antara komputer dengan pengambil keputusan; (vi) adanya dukungan menyeluruh dari keputusan bertahap; (vii) adanya kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat.

Konsepsi model SPK menggambarkan secara abstrak hubungan tiga komponen utama penunjang kuputusan, yaitu pengguna, model, dan data. Data yang tersedia dimasukkan ke dalam Sistem Manajemen Basis Data dan model-model yang digunakan dimasukkan ke dalam Sistem Manajemen Basis Model. Sistem Manajemen Basis Data dan Sistem Manajemen Basis Model dihubungkan dengan Sistem Pengolahan Terpusat. Pada Sistem Pengolahan Terpusat, kedua sistem manajemen, baik basis data maupun basis model, bersifat saling melengkapi. Untuk memudahkan pengguna berinteraksi dan berdialog dengan model, maka Sistem Pengolahan Terpusat dihubungkan dengan Sistem Manajemen Dialog (Minch dan Burns 1983).

(30)

Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang klaster industri banyak dilakukan oleh para peneliti. Penelitian-penelitian tersebut secara umum difokuskan pada 3 (tiga) kelompok, yaitu penelitian yang terkait dengan: (i) identifikasi potensi klaster; (ii) proses pengembangan klaster; dan (iii) pengukuran kinerja klaster. Fokus penelitian tentang rancang bangun model klaster industri rumput laut yang berkelanjutan adalah mengintegrasikan ketiga kelompok tersebut menjadi suatu model yang utuh. Dalam perancangannya, penelitian ini didasarkan pada penelitian-penelitian yang sudah ada.

Penelitian terkait dengan identifikasi potensi klaster diantaranya dilakukan oleh YCEDC (2001). YCEDC mengidentifikasi potensi klaster industri di York County Pennsylvania menggunakan data tahun 1995-2001. Penelitian yang dilakukan mencakup potensi klaster pertanian dan produk pangan, industri manufaktur, transportasi dan logistik, bisnis dan finansial, konstruksi dan bangunan, pendidikan, kesehatan, kertas dan kayu, serta teknologi dan informasi.

Metode yang digunakan untuk menganalisis potensi klaster-klaster tersebut adalah Location Quotient (LQ). Metode LQ mengukur rasio antara spesialisasi pada industri tertentu pada suatu daerah dibandingkan dengan daerah referensi yang lebih luas. Jika nilainya lebih dari satu, berarti ekonomi di daerah tersebut lebih terspesialisasi dari daerah referensi yang digunakan. Artinya, terdapat aglomerasi atau konsentrasi suatu industri di daerah tersebut. Sebaliknya, jika nilainya kurang dari satu, maka tidak terdapat aglomerasi (Bergman dan Feser 2000).

Penelitian YCEDC menghasilkan pengklasifikasian potensi klaster yang kompetitif berdasarkan nilai LQ. Klaster-klaster yang dianggap kompetitif meliputi klaster industri manufaktur, pertanian dan produk pangan, logistik dan transportasi, bangunan dan konstruksi. Sementara, klaster lainnya adalah klaster yang tidak kompetitif.

Hasil penelitian YCEDC (2004) menunjukkan bahwa pengembangan klaster industri harus dimulai dari tahapan identifikasi potensi klaster agar klaster yang akan dikembangkan adalah klaster yang kompetitif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pengembangan klaster industri rumput laut pada penelitian ini diawali dengan

(31)

mengidentifikasi potensi klaster. Jika metode penelitian yang digunakan YCEDC adalah metode LQ yang merupakan metode kuantitatif yang cenderung fokus pada sektor, maka potensi klaster industri rumput laut pada penelitian ini difokuskan pada metode kualitatif menggunakan pendapat pakar.

Penelitian tentang proses pengembangan klaster diantaranya telah dilakukan oleh Mahfud (2004). Mahfud melakukan penelitian tentang perancangan model pengembangan agroindustri minyak atsiri menggunakan pendekatan klaster. Model yang dikembangkan meliputi model kelembagaan, teknologi industri, kelayakan usaha, dan keseimbangan. Model matematik yang digunakan untuk pengembangan model meliputi metode ISM, AHP, heuristic, dan analisis finansial.

Model yang dihasilkan diberi nama Model Prima. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model telah terverifikasi dengan baik di Kabupaten Garut. Pada model kelembagaan, telah teridentifikasi elemen-elemen penting dalam pengembangan klaster minyak atsiri. Model teknologi industri menghasilkan komoditas dan daerah potensial untuk pengembangan agroindustri minyak atsiri. Model kelayakan usaha menghasilkan prediksi dalam perencanaan usaha minyak atsiri. Sementara, model keseimbangan pada penelitian ini menghasilkan 3 (tiga) sub model keseimbangan, yaitu sub model keseimbangan harga, keseimbangan bahan baku, serta keseimbangan lingkungan.

Intisari hasil penelitian Mahfud (2004) adalah menguraikan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam proses pengembangan klaster. Terkait dengan hasil penelitian ini, ada 2 (dua) hal penting yang menjadi bahan masukan utama dalam penelitian tentang model pengembangan klaster industri rumput laut, yaitu tentang kelembagaan klaster dan keseimbangan hubungan antar pelaku didalam klaster. Dua hal ini merupakan elemen yang dianggap penting dalam pengembangan klaster industri rumput laut untuk tujuan keberlanjutan suatu klaster.

Penelitian lainnya yang dianggap penting dalam memberikan masukan dalam pemodelan pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan pada penelitian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Partiwi (2007). Partiwi merancang suatu model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster

(32)

agroindustri hasil laut. Penelitian lebih difokuskan untuk mengidentifikasi indikator-indikator kunci dalam mengukur kinerja klaster agroindustri hasil laut.

Kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut ditentukan oleh (4) empat aspek, yaitu aspek sosial, aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek proses bisnis internal. Model matematik yang digunakan mencakup model penilaian kriteria dengan basis logika fuzzy, model penentuan prioritas dan indikator kinerja, model scoring board, dan model simulasi evaluasi kinerja prediktif. Verifikasi rancangan model sistem pengukuran kinerja komprehensif dilakukan pada klaster agroindustri hasil laut teri nasi dan rumput laut di Provinsi Jawa Timur.

Penelitian ini menghasilkan indikator-indikator kunci dalam mengukur kinerja klaster agroindustri hasil laut serta implementasinya pada klaster agroindustr teri nasi dan rumput laut. Hasil implementasi menunjukkan bahwa capaian kinerja komprehensif klaster agroindustri hasil laut secara numerik “cukup baik”, yang merupakan agregat dari kinerja sosial, kinerja lingkungan, kinerja ekonomi, dan kinerja proses bisnis internal. Hasil penelitian Partiwi (2007) mengindikasikan pentingnya proses pengukuran kinerja klaster dalam rangka mendorong pengembangan klaster. Hasil penelitian ini menjadi bahan masukan didalam model.

Penelitian tentang pengembangan klaster industri secara komprehensif dengan mengintegrasikan tahapan identifikasi potensi klaster, proses pengembangan klaster, dan pengukuran kinerja klaster, menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan belum pernah dilakukan. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan dimasukkan kedalam model penelitian karena selama ini model-model pengembangan klaster telah mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan dalam modelnya (Martin dan Mayer 2008). Penelitian ini merupakan implementasi dari integrasi konsep pengembangan klaster dan konsep pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana disampaikan oleh Martin dan Mayer.

Sementara, penelitian yang terkait dengan penerapan konsep pembangunan yang berkelanjutan lebih banyak membahas tentang indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan suatu industri, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Doukas et al. (2007), Ardebili dan Baussbaine (2007), Ometto

(33)

(2007), Halog dan Chan (2006), Adams dan Ghaly (2007), Defra (2006), Stoneham (2006), dll. Indikator-indikator yang digunakan untuk penilaian keberlanjutan industri tersebut dapat memberikan pedoman dalam penyusunan elemen-elemen sistem pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Metode analisis yang dikembangkan dalam penelitian ini mencakup kombinasi antara soft system metodhology dan hard system metodhology.

Gambar

Tabel 1  Nilai nutrisi rumput laut (Eucheuma sp.)  Komponen  E. spinosum  Bali  E. spinosum  Sulawesi Selatan  E
Gambar 2 Proses pembuatan ATC (Salasa 2002).
Gambar 4 Tata niaga rumput laut (Anggadiredja et al. 2006).
Gambar 5  Model Berlian (Porter 1990).
+4

Referensi

Dokumen terkait

Ketika liabilitas keuangan awal digantikan dengan liabilitas keuangan lain dari pemberi pinjaman yang sama dengan ketentuan yang berbeda secara substansial, atau

Kelebihan yang disukai adalah munculnya pengeta- huan lokal dan pembangunan dinamika lokal untuk menfasilitasi komunikasi antara orang dalam (penduduk setempat) dengan orang luar

Tekno park, merlukan (Perguruan Tinggi) yang bisa dijadikan/digunakan untuk pengembangannya. Untuk SDM litbang perlu di up grade melalui sekolah, training dan lainnya. Tekno park

Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa masih terdapat dokter hewan yang menjawab kurang tepat pertanyaan pengetahuan mengenai biosekuriti yang terdapat dalam

Pustakawan dan Guru Pustakawan Perpustakaan Sekolah harus dapat memahami secara baik apa yang menjadi tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan pada Sekolah Dasar, Sekolah

Sedangkan di bidang keamanan terdapat negara Tiongkok, India, Sri Lanka, Indonesia, dan Perancis melalui segala strateginya berusaha untuk menjaga jalur perekonomian

- batas_login adalah field pada tabel users yang menentukan banyaknya batasan login - blokir adalah field yang ada pada tabel user yang berfungsi sebagai aktif dan tidaknya user