• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA LEKSIKAL DAN KONTEKSTUAL DALAM BENTUK MAKIAN BAHASA JAWA NGOKO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA LEKSIKAL DAN KONTEKSTUAL DALAM BENTUK MAKIAN BAHASA JAWA NGOKO"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2089-3884

MAKNA LEKSIKAL DAN KONTEKSTUAL DALAM

BENTUK MAKIAN BAHASA JAWA NGOKO

Mu’ammar Hasan e-mail: 7alter@gmail.com ABSTRACT

Lexical meaning is the meaning that is possessed or there in lexeme without any context, such the word pencil has a lexical meaning that a writing instrument made of wood and charcoal. While the contextual meaning is the lexeme or the word in a context, such as the word kepala (head) has many meanings depending on context; kepala sekolah (headmasters), kepala nenek (head of grandmother), and so forth. This paper aims to describe the lexical and contextual meaning that contained in insult words in Java language, especially Ngoko language between Surabaya and Yogyakarta. The method used in this study is equivalent referential method for the analysis is focused on the study of the semantics of lexical and contextual meaning. The analysis showed that the form of insults in Java language mostly use specific references such as: animals, spirits, thing, body parts, kinship and activities. Examples of animal references, the word 'asu' is the name of the animal (dog) and is often used as a insult, especially in Central Java.

ABSTRAK

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun, seperti kata pensil mempunyai makna leksikal sebuah alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang. Sedangkan makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks, seperti kata kepala mempunyai banyak makna tergantung konteksnya; kepala sekolah, kepala nenek, dan sebagainya. Paper inii bertujuan untuk mendeskripsikan makna leksikal dan kontekstual yang terdapat dalam kata-kata makian dalam bahasa Jawa, khususnya ngoko kasar Surabaya dan Yogyakarta. Metode yag digunakan dalam penelitian ini adalah metode padanan refrensial karena analisisnya difokuskan pada kajian semantik yakni berupa makna leksikal dan kontekstual. Hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk makian dalam bahasa jawa kebanyakan menggunakan refrensi tertentu seperti: binatang, makhluk halus, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan dan aktifitas. Contoh refrensi binatang, kata ‘asu’ merupakan nama binatang (anjing) dan seringkali digunakan sebagai makian, khususnya di daerah jawa tengah.

(2)

A.

PENDAHULUAN

Ngoko merupakan tingkatan bahasa yang paling kasar dalam bahasa jawa. Dalam bahasa ngoko, logat sangat berpengaruh bagi pendengar. Seperti logat jawa timur, khususnya Surabaya. Bagi orang jawa timur khususnya bahasa suroboyoan yang identik dengan ngoko kasar hal tersebut sudah dianggap lumrah atau biasa. Tapi bagaimana bila pendengarnya orang jawa tengah khususnya Yogyakarta yang bahasanya hampir mirip tapi identik dengan bahasa halus atau kromo, hal tersebut tentunya tidak biasa bagi mereka. Bahkan bila pertama kali orang jawa tengah mendengarkan bahasa suroboyoan bisa tersinggung dan menganggap bahasa tersebut kasar dan menyakitkan.

Kata ‘asu’ bagi orang jawa tengah identik dengan makian yang paling kasar, hal tersebut sangat berbeda sekali dengan orang jawa timur. Kata tersebut bisa jadi kasar tidaknya tergantung dengan konteksnya. Kata ‘asu’ yang bermakna anjing dan bisa jadi ‘makian’ bila di sesuaikan dengan konteksnya. Walaupun jadi umpatan kata ‘asu’ bagi orang jawa timur sudah dianggap biasa dan jarang digunakan oleh mereka karena kata ‘asu’ biasanya digunakan sebagai nama lain dari anjing dan tidak dianggap sebagai umpatan. Begitu pula sebaliknya dengan kata ‘ dancuk/cok’ bagi orang jawa tengah tidak ada efeknya bila kata tersebut menjadi makian karena cenderung tidak tahu maknanya. Tapi bagi orang jawa timur kata ‘diancuk/cok’ dianggap menjadi makian yang paling kasar karena sudah menjadi budaya.

Penelitian ini difokuskan pada satu permasalahan, yakni kata yang mengandung makna leksikal berubah menjadi kata makian karena dipengaruhi oleh konteksnya. Karena penelitian ini berkaitan dengan penggunaan refrensi makna, sehingga metode yang digunakan adalah metode padanan refrensial yakni digunakan untuk menentukan referen bahasa. Alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk bahasa (Sudaryanto, 1993:13).

B. SEKILAS TENTANG MAKNA LEKSIKAL DAN MAKNA KONTEKSTUAL

Sebelum membahas makna leksikal dan kontekstual, alangkah baiknya mengetahui dulu landasan teori yang digunakan, yakni teori makna yang di kemukakan oleh Firth (guru besar General Linguistics

(3)

pada universitas London dari tahun 1944 sampai dengan tahun 1956). Menurut Alwasilah (1993: 68), Firth menyatakan bahwa makna adalah the total network of relations or functions into which any linguistic item enters (= jaringan keseluruhan dari relasi-relasi dan fungsi-fungsi kedalam mana setiap butir linguistik masuk). Firth berbicara tentang makna sebagai berikut.

Saya mengusulkan pemisahan makna atau fungsi kedalam satu urutan fungsi-fungsi unsur. Setiap fungsi akan dibatasi pemakaian bentuk bahasa atau unsur bahasa dalam hubungannya dengan konteks. Dengan perkataan lain makna haruslah dianggap satu keseluruhan hubungan-hubungan kontekstual, dan fonetik, grammar, leksikografi, dan semantik

masing-masing mengatur unsur-unsurnya sendiri dari

keseluruhan itu dalam konteksnya yang cocok (Firth dalam Hill,

ed. 1962:252).

Makna leksikal menurut Chaer (2007: 289), adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‘sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai’; pinsil bermakna leksikal ‘sejenis alat tulis yang terbuat dari kayu dan arang’; dan air bermakna leksikal ‘sejenis barang cair yang bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari’. Dengan contoh itu dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai sengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya. Pendapat lain dari sudaryat (2004: 21), makna leksikal adalah makna unsure-unsur bahasa (leksem) sebagai lambang benda, peristiwa, obyek, dan lain-lain.

Sedangkan makna kontekstual menurut Chaer (2007: 290), adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam suatu konteks. Contoh lain perhatikan makna konteks kata kepala pada kalimat-kalimat (7) berikut!

(7a) Rambut di kepala nenek belum ada yang putih. (7b) Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu. (7c) Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.

(7d) Beras kepala harganya lebih mahal dari beras biasa. (7e) Kepala paku dan kepala jarum tidak sama bentuknya.

(4)

Pendapat lain dari Sarwiji (2008:71), memaparkan bahwa makna kontekstual (contextual meaning; situational meaning) muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan situasi pada waktu ujaran dipakai. Beliau juga berpendapat bahwa makna kontekstual adalah makna kata yang sesuai dengan konteksnya (2008:72).

C. PEMBAHASAN 1. Bentuk Makian

Makian merupakan hal sering digunakan seseorang apabila dia kesal atau jengkel terhadap orang lain atau merasa jengkel terhadap keadaan dirinya “nasibnya” apabila dia gagal, rugi (apes) dan putus asa, kemudian kata-kata kotor atau makian biasanya akan dia ucapkan untuk melampiaskannya kekesalannya. Banyak jenis makian yang digunakan. Dalam hal ini adalah bahasa Jawa seperti, diancuk, asu, asem, jangkrik dll. Dalam bahasa Indonesia, bentuk-bentuk kebahasaan ini secara formal dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni makian berbentuk kata dan makian berbentuk frase (kelompok kata), dan klausa (Wijana dan Rohmadi, 2010: 115). Begitu pula makian dalam bentuk bahasa Jawa yang menyesuaikan bentuk tersebut.

a. Makian Berbentuk Kata

Bentuk-bentuk makian yang berbentuk kata dapat dibedakan menjadi dua, yakni makian bentuk dasar dan makian bentuk kata jadian. Makian bentuk dasar adalah makian yang berwujud kata monomorfemik, seperti babi,bangsat, setan (Wijana dan Rohmadi, 2010: 115-116). Sementara itu makian bentuk jadian adalah makian yang berupa kata-kata polimorfemik. Seperti kata sialan, bajingan, kampungan, diancuk dan diamput (Wijana dan Rohmadi, 2010: 116). Dan makian bahasa Jawa yang berbentuk kata yaitu; asu, celeng, wedos, diancuk, asem jangkrik dll.

b. Makian Berbentuk Frase

Ada dua cara yang dapat digunakan untuk membentuk frase makian dalam bahasa Indonesia, yakni dasar plus makian, seperti dasar sial, dasar kampungan dan makian plus mu, seperti matamu,

(5)

kakekmu (Wijana dan Rohmadi, 2010: 117). Dan dalam bahasa Jawa bisa disesuaikan kata dasar menjadi ancene (Surabaya) atau pancen (Yogyakarta) plus makian, seperti ancene diancuk atau pancen asu. Begitu juga makian plus mu seperti motomu, mbahmu, dll.

c. Makian Berbentuk Klausa

Makian berbentuk klausa dalam bahasa Indonesia dibentuk dengan menambakan pronominal (pada umumnya) di belakang makian dari berbagai refrensi itu, seperti gila kamu, setan alas kamu, sundal kamu, gila benar dia, dan sebagainya (Wijana dan Rohmadi, 2010: 118). Bahasa Jawa juga menyesuaikan hal tersebut seperti, gila kamu menjadi gendeng/setres/kentir/edan koe/koen dan sundal kamu menjadi lonte/perek koe/koen.

2. Refrensi Makian

Dilihat dari refrensinya system makian dalam bahasa Indonesia dapat digolong-golongkan menjadi bermacam-macam, yakni keadaan, binatang, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan, makhluk halus, aktifitas, profesi dan seruan (Wijana dan Rohmadi, 2010: 119). Dan dalam analisis bahasa Jawa ini, refrensi dikelompokkan berdasarkan data analisis. Yakni mengambil refrensi binatang, makhluk halus, benda-benda, bagian tubuh, kekerabatan dan aktifitas.

a. Binatang

Binatang merupakan refrensi makian yang sering digunakan dalam bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena pelaku atau pengucap sedang kesal kepada seseorang dan ingin menyamakan sifat orang itu dengan hewan tertentu seperti anjing yang menjijikkan dan babi yang haram. Berdasarkan data analisis kata; asu, jangkrik, celeng dan wedos termasuk makian yang menggunakan refrensi binatang. Analisisnya sebagai berikut:

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

Asu Anjing (binatang)

Contoh: Neng kono ono asu. ( Yogyakarta)

Makian/umpatan Contoh: Asu!Minggatto koe soko kene! (Yogyakarta)

(6)

Kata ‘asu’ mempunyai makna leksikal /makna sebenarnya yang berarti ‘anjing’ binatang menyusui yang digunakan menjaga rumah,berburu, dan sebagainya (Wijana dan Rohmadi, 2010: 128). Seperti contoh kalimat: Neng kono ono asu dan dalam bahasa indonesianya berarti Di situ ada anjing. Hal tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘asu’ bermakna ‘kata umpatan sepadan dengan kata bajingan’. Seperti contoh: Asu! Minggatto koe soko kene! Dan dalam bahasa indonesianya berarti Anjing(bajingan)!Pergi kamu dari sini! Ini berarti kata anjing/asu ditujukan terhadap seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata bajingan dan menyamakan seseorang tersebut dengan sifat hewan (anjing) yang menjijikkan.

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

Celeng Babi hutan (Binatang) Contoh: Neng gunong kui akeh celenge.

(Yogyakarta)

Makian/umpatan Contoh: Celeng! Cah kui mau neng ndi!

(Yogyakarta)

Kata ‘celeng’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘babi hutan’ babi yang liar (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 272). Seperti contoh kalimat: Neng gunong kui akeh celenge dan dalam bahasa Indonesianya berarti Di gunung itu banyak celengnya. Hal tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘celeng’ bermakna ‘kata umpatan’. Seperti contoh : Celeng! Cah kui mau neng ndi! Dan dalam bahasa Indonesianya berarti Babi hutan! Anak itu tadi kemana! Ini berarti kata celeng ditujukan terhadap seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata bajingan dan menyatakan sebuah bentuk kekesalan terhadap seseorang.

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

wedos Kambing (binatang) Contoh: Bandote ndang di lebokno rek!

(Surabaya)

Makian/umpatan Contoh : Wedos! Ojo’ mbok entekno lawuhe. (Surabaya)

(7)

Kata ‘wedos’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘Kambing’ binatang pemamah biah dan berkuku genap, tanduknya bergeronggang, bisa dipelihara sebagai hewan ternak untuk diambil daging, susu, dan kadang bulunya (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 626). Seperti contoh kalimat: Wedose ndang di lebokno rek! dan dalam bahasa Indonesianya berarti Kambingnya tolong dimasukkin rek! Hal tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘wedos’ bermakna ‘kata umpatan’. Seperti contoh: Wedos! Ojo’ mbok entekno lawuhe dan dalam bahasa Indonesianya berarti Kambing! Jangan dihabisin lauknya ini berarti kata wedos ditujukan terhadap seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata bajingan dan menyatakan sebuah bentuk kekesalan terhadap seseorang.

b. Makhluk Halus

Makhluk halus juga sering digunakan sebagai refrensi makian dalam bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena pelaku atau pengucap sedang kesal kepada seseorang dan ingin menyamakan kejelekkan orang itu dengan makhluk halus tertentu seperti setan yang selalu menggoda manusia dalam hal keburukan, tuyul yang suka mencuri uang, dll. Berdasarkan data analisis kata; demet termasuk makian yang menggunakan refrensi makhluk halus. Analisisnya sebagai berikut:

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

demet Setan

Contoh: Wingi jarene koe ketemu demet? neng ndi? (Yogyakarta)

Makian/umpatan Contoh: Demet tenan, Tak gele’i neng omahmu ra ono, eh malah jebule neng kene!

(Yogyakarta)

Kata ‘demet’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘setan’’ roh jahat yang selalu menggoda manusia supaya berlaku jahat (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 1338). Seperti contoh kalimat: Wingi jarene koe ketemu demet? neng ndi? dan dalam bahasa Indonesianya berarti Katanya kemarin kamu ketemu setan? dimana! Hal tersebut sangat

(8)

berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘demet’ bermakna ‘kata umpatan’. Seperti contoh : Demet tenan, Tak gele’i neng omahmu ra ono, eh malah jebule neng kene! dan dalam bahasa Indonesianya berarti Dasar setan! Tak cari dirumahmu gak ada, eh ternyata disini! Ini berarti kata demet ditujukan terhadap seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata bajingan dan menyatakan sebuah bentuk kekesalan terhadap seseorang.

c. Benda-Benda

Benda-benda juga sering digunakan sebagai refrensi makian dalam bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena pelaku atau pengucap sedang kesal kepada seseorang atau jeng kel terhadap dirinya ‘nasibnya’ sendiri yang selalu apes, sial, gagal, dll. Refrensi benda-benda juga sering digunakan dalam hal tersebut, seperti kata asam (nama buah), tai (kotoran hewan/manusia) dsb. Berdasarkan data analisis, kata asem dan taek termasuk makian yang menggunakan refrensi benda-benda. Analisisnya sebagai berikut:

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

Asem Asam(buah/rasa)

Contoh: Kecute rek! Asem iki. (Surabaya)

Makian/umpatan Contoh: Asem! Duek ku ilang! (Surabaya)

Kata ‘asem’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘asam’’ masam seperti rasa cuka (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008: 95). Seperti contoh kalimat: Kecute rek! Asem iki dan dalam bahasa Indonesianya berarti Masamnya rasa buah asam ini hal tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘asem’ bermakna ‘kata umpatan’. Seperti contoh : Asem! Duek ku ilang! dan dalam bahasa Indonesianya berarti Asem! Uangku hilang! Ini berarti kata asem ditunjukkan seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata sialan dan menyatakan sebuah bentuk kekesalan terhadap keadaan atau nasib yang menimpa dirinya.

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

Taek Tai

Contoh: Wah, sikelku kenek

Makian/umpatan Contoh: Taek, uripku kok

(9)

taek pitek. (Surabaya)

koyok ngene yo. (Surabaya)

Kata ‘taek’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘tai’ ampas makanan dari perut yang keluar melalui dubur (Wijana dan Rohmadi, 2010: 128). Seperti contoh kalimat: Wah, sikelku kenek taek pitek dan dalam bahasa Indonesianya berarti Wah, kakiku terekna tai ayam hal tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘taek’ bermakna ‘kata umpatan/makian’. Seperti contoh : Taek, uripku kok koyok ngene yo dan dalam bahasa Indonesianya berarti Tai, hidupku kok kayak begini Ini berarti kata taek ditunjukkan seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata sialan dan menyatakan sebuah bentuk kekesalan terhadap keadaan atau nasib yang menimpa dirinya.

d. Bagian Tubuh

Bagian tubuh sering digunakan sebagai refrensi makian dalam bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena pelaku atau pengucap sedang kesal kepada seseorang yang mengganggunya. Refrensi bagian tubuh juga sering digunakan dalam hal tersebut, seperti kata matamu digunakan seseorang bila temannya tidak sengaja melakukan kesalahan karena tidak melihat seperti menginjak kacamata, tangannya dsb. Berdasarkan data analisis, kata motomu termasuk makian yang menggunakan refrensi benda-benda. Analisisnya sebagai berikut:

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

Motomu Matamu

Contoh: motomu kene’ opo? (Surabaya)

Makian/umpatan Contoh: Motomu! Gak ngerti ta nek iki tanganku, kok malah mo’ ija’i! (Surabaya)

Kata ‘motomu’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘matamu’ indra (bagian tubuh) untuk melihat (Wijana dan Rohmadi, 2010: 129). Seperti contoh kalimat: motomu kene’ opo? dan dalam bahasa Indonesianya berarti Keapa matamu? hal

(10)

tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘motomu’ bermakna ‘kata umpatan’. Seperti contoh : Motomu! Gak ngerti ta nek iki tanganku, kok malah mo’ ija’i! dan dalam bahasa Indonesianya berarti Matamu! Gak tahu ta kalau ini tanganku, malah kamu injak! Ini berarti kata motomu ditujukan kepada seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata sialan dan menyatakan sebuah bentuk kekesalan terhadap seseorang yang tidak sengaja/sengaja menyakitinya.

e. Kekerabatan

Kekerabatan juga sering digunakan sebagai refrensi makian dalam bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena pelaku atau pengucap sedang kesal kepada seseorang. Refrensi kekerabatan juga sering digunakan dalam hal tersebut, seperti kata nama-nama keluarga seperti kakek, nenek, ibu, bapak dsb. Dan biasanya belakangnya ditambah mu seperti kakekmu, nenekmu dsb. Berdasarkan data analisis, kata mbahmu termasuk makian yang menggunakan refrensi kekerabatan. Analisisnya sebagai berikut.

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

Mbahmu Kakek/nenekmu

Contoh: Mbahmu no’ ndi le? (Surabaya)

Makian/umpatan Contoh: Mbahmu a! ojo’kemeroh koen! (Surabaya)

Kata ‘mbahmu’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘kakek/nenekmu’ orangtua laki-laki/perempuan dari ayah dan ibu (Wijana dan Rohmadi, 2010: 129). Seperti contoh kalimat: Mbahmu no’ ndi le? dan dalam bahasa Indonesianya berarti Kakek/nenekmu dimana nak? hal tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘mbahmu’ bermakna ‘kata umpatan’. Seperti contoh : Mbahmu a! ojo’kemeroh koen! dan dalam bahasa Indonesianya berarti Kakek/nenekmu a! iangan sok tahu kamu! Ini berarti kata mbahmu ditujukan kepada seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan kata sialan dan menyatakan sebuah bentuk kekesalan terhadap seseorang yang sok tahu.

(11)

f. Aktivitas

Aktifitas juga sering digunakan sebagai refrensi makian dalam bahasa Jawa. Hal ini disebabkan karena pelaku atau pengucap sedang kesal kepada seseorang. Refrensi aktifitas juga sering digunakan dalam hal tersebut, seperti kata diancuk, diamput dsb. Berdasarkan data analisis, kata diancuk termasuk makian yang menggunakan refrensiaktifitas. Analisisnya sebagai berikut:

Kata Makna leksikal Makna kontekstual

Diancuk Bersetubuh

Nek kate diancuk ojo’ nok kene, elengngo gok, iki omahku!

(Surabaya)

Makian/umpatan Diancuk! Maksodmu opo? Nantang gelot ta? (Surabaya)

Kata ‘diancuk’ mempunyai makna leksikal/makna sebenarnya yang berarti ‘bersetubuh’ (Wijana dan Rohmadi, 2010: 129). Seperti contoh kalimat: Nek kate diancuk ojo’ nok kene, elengngo gok, iki omahku! dan dalam bahasa Indonesianya berarti Kalau mau bersetubuh jangan di sini, ingat Mas! Ini rumahku! hal tersebut sangat berbeda dengan makna kontekstualnya, yakni kata ‘diancuk’ bermakna ‘kata umpatan’. Seperti contoh : Diancuk! Maksodmu opo? Nantang gelot ta? dan dalam bahasa Indonesianya berarti Diancuk! Maksud kamu apa? Nantang berkelahi kamu? Ini berarti kata diancuk ditujukan kepada seseorang sebagai suatu umpatan/makian yang sepadan dengan katasialan dan menyatakan

sebuah bentuk kekesalan terhadap seseorang yang

mengganggunya. D. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa makna leksikal dan kontekstuall dalam bentuk makian bahasa jawa banyak di gunakan dalam tataran semantik dan kebanyakan makian menggunakan refrensial tertentu, seperti refrensi binatang seperti kata asu yang berarti anjing (makna leksikal) dan menjadi makian apabila sesuai konteksnya (makna kontekstual). Refrensi benda seperti kata taek yang berarti tai/kotoran (makna leksikal) dan menjadi makian sesuai dengan konteksnya (makna kontekstual). Selain itu makian banyak

(12)

digunakan seseorang apabila ia merasa kesal terhadap orang lain atau jengkel terhadap nasib yang menimpa dirinya. Oleh sebab itu, makian tidak hanya terjadi dalam bahasa jawa saja tetapi pada bahasa lainnya misalnya bahasa Indonesia, Inggris, dll.

E. DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A.Chaedar. 1993. Beberapa Madhab Dan Dikotomi Teori Linguistik. Bandung: Angkasa.

Alwasilah, A.Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Suwandi, Sarwiji. 2008. Semantik Pengantar Kajian Makna. Bantul: Media Perkasa.

Sudaryat, Yayat. 2004. Struktur Makna Prinsip-Prinsip Studi Semantic. Bandung: Raksa Cipta.

Wijana, I Dewa Putu dan Rahmadi, Muhammad. 2010. Sosiolinguistik Kajian Teori Dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pendapat tersebut, yang dimaksud kualitas tes buatan guru (quality ofteacher tes making) dalam penelitian ini adalah kualitas tes yang dibuat sendiri

yang menggunakan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman minimarket, usaha ini berkembang dengan baik dan mengalami peningkatan volume penjualan yang dapat dilihat dari omset

Seingnya terjadi sengketa dalam pelaksanaan suatu kontrak konstruksi terjadi karena adanya perubahan lingkup pekerjaan pada waktu pelaksanaan konstruksi, yang bagi penyedia jasa

merasa enggan untuk mencoba. waktu yang diperlukan dalam pembelajaran lebih banyak. tidak dapat diterapkan pada setiap materi pelajaran matematika. membutuhkan persiapan yang

tampilan seperti berikut, yaitu satu pertanyaan terdapat dua soal short answer, semakin banyak soal yang ada di kategori yang kita pilih, maka tampilan soal

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) strategi pembelajaran berpengaruh terhadap keterampilan berpikri krtisi mahasiswa, sehingga strategi integrasi

Tujuan penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 ini adalah untuk melihat dampak dan kebakaran hutan terhadap kejadian ISPA dan pneumonia di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi

Tes dalam penelitian ini menggunakan tes tertulis dalam lembar kerja siswa yang digunakan untuk mengukur sejauh mana keterampilan siswa dalam menulis dialog sederhana