EFEKTIVITAS PROMOTER KERATIN, HEAT SHOCK,
DAN β
-AKTIN
PADA TRANSGENESIS IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
ADI SUCIPTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Promoter Keratin, Heat Shock,dan β-Aktin pada Transgenesis Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2009
ABSTRACT
ADI SUCIPTO. Effectiveness of Keratin, Heat Shock, and β-Actin Promoters on Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) Transgenesis. Under direction of ODANG CARMAN and ALIMUDDIN
One of important consideration in production of fish transgenic is the choice of promoter for regulating the expression of a foreign gene. In this study,
effectiveness of four promoters was examined in transgenic Nile tilapia.
Japanese Flounder Keratin (pjfKer), Heat shock (prtHsc), medaka β-actin (pmBA) and tilapia β-actin (ptiBA) promoters were linked to green fluorescent protein (GFP) as a reporter gene to compare activity of promoters. The aim of the research is to evaluate effectiveness of four promoters on Nile tilapia
transgenesis. Promoters used in this research are keratin, heat shock, and β- actin linked with GFP gene as marker. Gene transfer method used microinjection with concentration of gene construct 50 µg/ml and injected at one cell phase of embryo. Effectiveness of promoter was determined by percentage of embryos expressing GFP, pattern and level of GFP expression. Based on the expression pattern, keratin was fastest in expressing GFP gene compared to three other promoters. Keratin and heat shock promoters showed similarly high percentage of embryo expressing GFP (55%). Both of promoters also showed similarly high expression level (218 ng and 192 ng, respectively) compared to others (50 ng on ptiBA). Keratin and heat shock was similarly more effective compare to medaka β-actin and tilapia β-actin.
RINGKASAN
ADI SUCIPTO. Efektivitas Promoter Keratin, Heat Shock,dan β-Aktin pada Transgenesis Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Dibimbing oleh ODANG CARMAN dan ALIMUDDIN.
Salah satu pertimbangan penting dalam produksi ikan transgenik adalah pemilihan promoter; sekuen DNA yang terletak di bagian upstream suatu gen yang akan mengatur tempat, waktu dan tingkat ekspresi suatu gen yang berhubungan dengan suatu karakter. Begitu penting perannya, sehingga promoter dianalogikan sebagai switch suatu gen dan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan transgenesis.
Penelitian pendahuluan juga dilakukan untuk mengetahui aktivitas semua promoter. Penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan penelitian utama, untuk mengetahui efektivitas promoter yang digunakan. Perbanyakan konstruksi gen dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Sedangkan penelitian pengujian efektivitas promoter dilakukan di Laboratorium Genetika Ikan dan panti benih ikan nila, Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi.
Embrio ikan nila (Oreochromis niloticus) yang digunakan dalam penelitian merupakan hasil pembuahan buatan. Sedangkan promoter yang digunakan dalam penelitian ini adalah keratin, heat shock, dan β-aktin yang disambungkan dengan gen GFP sebagai marker. Metode transfer gen yang digunakan adalah mikroinjeksi dengan konsentrasi gen tiap konstruksi 50 µg/ml. Injeksi dilakukan terhadap embrio fase satu sel. Ekspresi sementara dapat diamati berupa pendaran berwarna hijau dengan bantuan mikroskop stereo zoom (Olympus SZX16) yang dilengkapi filter GFP (Olympus SZX2-FGFPHQ). Promoter yang efektif ditentukan berdasarkan persentase embrio yang
mengekspresikan GFP, tingkat ekspresi, pola ekspresi GFP dan kuantifikasi dari tingkat ekspresi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas embrio yang digunakan dalam penelitian memiliki kualitas yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan
tingginya nilai derajat kelangsungan hidup embrio dan derajat penetasan. Dalam penelitian ini, promoter keratin mengekspresikan gen GFP paling cepat
dibandingkan dengan tiga promoter lainnya. Berdasarkan persentase jumlah embrio yang mengekspresikan GFP, nilai paling tinggi dihasilkan oleh promoter keratin dan heat shock, masing-masing sebanyak 55%.
Kuantifikasi terhadap data tingkat ekspresi juga dilakukan dengan bantuan software UN-SCAN-IT gel versi 6.1 untuk menghitung konsentrasi cDNA tiap promoter. Berdasarkan software tersebut diperoleh data bahwa konsentrasi keratin sebanyak 218 ng, sedangkan promoter lainnya adalah 192 ng (heat shock), dan 50 ng (tiBA). Sedangkan untuk promoter mBA tidak dapat
dikuantifikasi oleh software UN-SCAN-IT gel versi 6.1 karena lemahnya ekspresi yang dihasilkan.
mengekspresikan gen target dibandingkan dengan promoter medaka β-aktin dan tilapia β-aktin dalam trasngenesis pada ikan nila.
Kata kunci: transgenesis, promoter, expression, GFP, Nile tilapia
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
EFEKTIVITAS PROMOTER KERATIN, HEAT SHOCK,DAN β-AKTIN PADA TRANSGENESIS IKAN NILA (Oreochromis niloticus)
ADI SUCIPTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Departemen Budidaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis
Nama NRP
Program Studi
: Efektivitas Promoter Keratin, Heat Shock,dan β-Aktin pada Transgenesis Ikan Nila (Oreochromis niloticus) : Adi Sucipto
: C151060191 : Ilmu Perairan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Ketua
Dr. Ir. Odang Carman, MSc.
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Prof. Dr.Ir. Enang Harris, MS
Tanggal Ujian : 26 Oktober 2009
Anggota Dr. Alimuddin, SPi, MSc
Diketahui
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
KATA PENGANTAR
Sungguh, segala puja dan puji hanyalah milik Allah; Tuhan Yang Maha Esa yang telah melancarkan jalannya penelitian hingga tersusun dalam bentuk tesis. Tesis ini berjudul ”Efektivitas Promoter Keratin, Heat Shock,dan β-
Aktin pada Transgenesis Ikan Nila (Oreochromis niloticus)”; sebuah pendekatan untuk menemukan promoter efektif pada transgenesis ikan nila.
Saya menyadari banyak pihak telah berperan selama studi dan penelitian ini. Saya sampaikan terimakasih kepada Menteri Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan pendidikan; Kepala BBPBAT Sukabumi
yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan studi dan ijin
penggunaan fasilitas untuk penelitian; Dr. Odang Carman dan Dr. Alimuddin yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama studi, penyusunan proposal, penelitian serta penyusunan tesis. Kepada rekan-rekan mahasiswa
Program Studi Ilmu Perairan angkatan 2006 saya sampaikan terima kasih atas kerja sama yang terjalin selama ini. Kepada Laboratorium Reproduksi dan
Genetika Organisme Akuatik, IPB (Anna Octavera, SPi, terima kasih atas bantuan memperbanyak konstruksi DNA). Dwi Hany Yanti, SPi dan Arief Eko Prasetiyo, SPi; terima kasih atas kerja sama yang telah kita jalin selama
penelitian. Kepada rekan-rekan di kantor, terima kasih atas dorongan dan
bantuannya. Juga kepada Ir. Asep Zainal Abidin di PT. Fajar Mas Murni atas bantuannya meminjamkan mikroskop.
Terima kasih yang setinggi-tingginya, saya sampaikan untuk Ibunda.
Walau takkan setimpal, namun saya tetap berjuang untuk menjadi yang terbaik bagi Ibu. Qomariyah istriku, terima kasih atas semua pengertian, peran dan
kesetiaan yang kau berikan. Kepada anak-anak kami Nadhira Salsabila Sucipto, Rafif Muhammad dan Hanifah Marwa Sucipto; boleh jadi kalian belum cukup
mengerti akan perjuanganku selama ini. Semua ini adalah demi kalian. Akhirnya, semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pamekasan pada tanggal 5 Desember 1972 dari pasangan Bapak Soeparto (Alm.) dan Ibu Abyani. Tahun 2000 penulis menikah dengan Qomariyah, A.Md dan dikaruniai tiga orang anak bernama Nadhira Salsabila Sucipto, Rafif Muhammad dan Hanifah Marwa Sucipto.
Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1997 dengan skripsi berjudul “Karyotipe ikan nila merah (Oreochromis sp.). Sejak 1998 penulis menjadi perekayasa di Balai Budidaya Air Tawar (saat ini, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar) Sukabumi. Penulis melanjutkan studi ke Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan bantuan dana Anggaran Pembangunan dan Belanja Nasional (APBN) dari Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia pada tahun 2006.
Sebagai bentuk pengabdian dan mendukung pengembangan perikanan budidaya, khususnya ikan nila di Indonesia, penulis menyempatkan untuk menulis buku tentang “Pembesaran ikan nila merah Bangkok” yang terbit tahun 2005 dan “Panen nila 2,5 bulan” yang terbit pada Oktober tahun 2009.Di sela- sela aktivitas di kantor, penulis juga aktif dalam mengelola situs pribadinya
DAFTAR ISI Tujuan dan Manfaat Penelitian ... Hipotesis ...
TINJAUAN PUSTAKA
Transfer Gen ... Promoter ... Gen Green Fluorescent Protein (GFP)... Ekspresi Gen GFP ...
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat ... Prosedur Kerja ... Pemeliharaan Induk, Pemijahan dan Pembuahan Telur ... Pelaksanaan Mikroinjeksi ... Penetasan Embrio dan Pemeliharaan Larva ... Pengamatan Ekspresi gen GFP
Isolasi RNA dan RT-PCR ... Parameter yang Diamati ... Analisis Data ... HASIL DAN PEMBAHASAN
Derajat Kelangsungan Hidup Embrio dan Derajat Penetasan Pola dan Tingkat Ekspresi serta Persentase Embrio yang Mengekspresikan Gen GFP ...
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Derajat kelangsungan hidup embrio dan derajat penetasan
masing-masing promoter dan kontrol ... 18 2. Awal, puncak dan akhir ekspresi yang dikendalikan oleh tiap
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. 2.
3.
Pola ekspresi gen GFP yang dihasilkan oleh keempat promoter Tingkat ekspresi gen heat shock-GFP (A), keratin-GFP (B), mba-GFP (C), dan tiba-GFP (D) pada awal (1), puncak (2) dan akhir (3) ekspresi ... Ekspresi RNA gen GFP dianalisa dengan menggunakan metode RT-PCR ……….
19
21
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. 2.
Gambar yang berhubungan dengan metodologi penelitian ... Persentase embrio yang mengekspresikan gen GFP, derajat kelangsungan hidup embrio dan derajat penetasan telur ikan nila
34
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Teknologi transgenesis berdampak besar bagi kemajuan ilmu biologi dan bioteknologi modern (Powers et al. 1998). Teknologi ini juga telah digunakan untuk membuat ikan transgenik dengan berbagai tujuan, antara lain 1) produksi
ikan laut tahan salinitas rendah; 2) manipulasi siklus reproduksi; 3) peningkatan toleransi spesies akuakultur terhadap rentang kondisi lingkungan yang lebih
lebar; 4) peningkatan kualitas kandungan nutrisi dan/atau rasa; 5) pengontrolan kematangan seksual untuk mencegah penurunan kualitas karkas karena faktor
umur ikan; 6) penggunaan ikan transgenik dalam memonitor polusi; 7) pengontrolan diferensiasi kelamin dan sterilitas; 8) menyediakan ikan yang
mampu menggunakan tanaman sebagai sumber protein; 9) penggunaan ikan untuk keperluan produksi obat-obatan; 10) mencetak ikan dengan marker sekuens DNA untuk keperluan penelitian populasi di lingkungan alami; dan 11)
peningkatan ketahanan terhadap serangan patogen, seperti Infectious
Haematopoietic Necrosis Virus (IHNV), Bacterial Kidney Disease (BKD) dan furunculosis (Kinoshita et al. 1995; Galli 2002).
Ikan transgenik yang telah dihasilkan oleh beberapa peneliti antara lain
ikan nila (Rahman et al. 1992; Martinez et al. 1996; Maclean et al. 2002), ikan rainbow trout Oncorhynchus mykiss (Guyomard et al. 1989), ikan salmon Atlantik
Salmo salar (Shears et al. 1991), ikan mas koki Carassius auratus (Zhu et al. 1985), ikan mas Cyprinus carpio (Hinits & Moav 1999), ikan zebra Danio rerio (Sheela et al. 1998; Morales et al. 2001; Jesuthasan & Subburaju 2002), ikan ayu
Plecoglossus altivelis (Cheng et al. 2002), ikan kakap perak Sparus sarba (Lu et
al. 2002) dan ikan medaka Oryzias latipes (Sarmasik 2003). Produksi ikan transgenik tersebut dilakukan di luar negeri. Bagi Indonesia, penelitian ini diharapkan sebagai salah satu langkah awal dalam menerapkan teknologi
transgenis pada ikan.
Sebagai langkah awal dalam penerapan teknologi transgenesis pada
ikan, penelitian ini dititikberatkan pada pemilihan dan penggunaan promoter yang akan dimanfaatkan untuk mengekspresikan gen green flourescent protein (GFP). Hal ini penting, karena salah satu pertimbangan dalam teknologi transgenesis
gen (Hackett 1993; Glick & Pasternak 2003) yang akan mengatur tempat, waktu dan tingkat ekspresi suatu gen.
Promoter yang pertama digunakan dalam teknologi transgenesis pada ikan berasal dari virus, yakni Rous Sarcoma Virus (RSV), Simian Virus (SV40)
atau Cytomegalovirus (CMV); mamalia (mouse metallothionein-1 (mMT-1)), burung (β-aktin dari ayam) atau katak Xenopus laevis(1α-enhanced) (Teufel et al., 2002).
Penelitian ini menggunakan promoter yang berasal dari ikan. Hal ini didasarkan pada laporan beberapa peneliti tentang pentingnya penggunaan
promoter dan gen target yang berasal dari ikan dalam penelitian ikan transgenik. Berdasarkan pernyataan Chourrout et al. (1990) dan Penman et al. (1991),
peluang keberhasilan transgenesis pada ikan yang menggunakan promoter dari ikan lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan promoter selain ikan.
Alam et al. (1996) menyatakan bahwa promoter yang berasal dari ikan lebih efisien dibandingkan dengan yang berasal dari mamalia dan virus dalam
transgenesis pada ikan. Pernyataan Alam et al. (1996) diperkuat oleh Devlin (1997) dalam menggambarkan aktivitas promoter. Devlin (1997) mengatakan bahwa aktivitas promoter dari mamalia atau virus sangat rendah atau bahkan
tidak ada sama sekali selama diaplikasikan pada ikan. Rahman & Maclean (1999) memberikan peryataan dari segi pemasaran, bahwa promoter dari ikan
diterima pasar lebih baik dibandingkan dengan penggunaan promoter dari virus atau rodensia. Bahkan Houdebine & Chourrot (1991) memberikan penekanan
bahwa karena tingkat ekspresi dari promoter tersebut rendah, maka pencarian promoter yang berasal dari ikan lebih intensif dilakukan.
Konsep konstruksi gen all fish (semua berasal dari ikan, baik promoter maupun gen target yang digunakan) nampaknya lebih baik untuk digunakan. Hal
ini karena para ahli menduga bahwa ikan transgenik yang dibuat menggunakan konstruksi gen all-fish kemungkinan lebih mudah diterima oleh konsumen bila ikan transgenik dipasarkan (Maclean & Laight 2000) dan atau karena
pertimbangan biosafety (keamanan pangan) dan biodiversity (keragaman hayati) ikan yang bersangkutan (Beardmore & Porter 2003).
Berbagai sumber dan jenis promoter sudah diisolasi dan dianalisis aktivitasnya pada beberapa spesies ikan oleh beberapa peneliti, antara lain
elongation factor-1α (EF-1α) dan β-aktin dari ikan medaka Oryzias latipes,
myosin light chain-2 (Mylz-2) dari ikan zebra Danio rerio, metallothionein (rtMT)
dari rainbow trout Oncorhynchus mykiss, metallothionein (OnMT) dari sockeye
salmon Oncorhynchus nerka, histon-3 (OnH3) dari sockeye salmon
Oncorhynchus nerka, gen antifreeze (opAFP) dari ocean pout Macrozoarces
americanusdan β-aktin dari ikan mas Cyprinus carpio (Devlin 1998, Hsiao et al. 2001).
Berdasarkan aktivitasnya pada ikan nila, beberapa promoter sangat
berpotensi untuk digunakan. Namun demikian, promoter yang digunakan dalam penelitian ini adalah promoter keratin (jfKrt) dari ikan flounder Jepang
Paralichthys olivaceus, promoter heat shock (rtHsc) dari ikan rainbow trout, promoter β-aktin dari ikan medaka (mBA) dan ikan nila (tiBA). Promoter jfKrt diisolasi oleh Yazawa at al. (2005). Promoter rtHsc diisolasi oleh Yamamoto &
Yoshizaki (tidak dipublikasikan) dan dikonstruksi oleh Yamamoto & Yoshizaki (tidak dipublikasikan). Introduksi kedua promoter ini ke Indonesia dilakukan oleh
Dr. Alimuddin pada tahun 2008. Promoter mBA diisolasi dan dikonstruksi oleh Yoshizaki, sedangkan tiBA diisolasi oleh Octavera (2008) dan dikonstruksi oleh
Dr. Alimuddin pada tahun yang sama.
Aktivitas promoter rtHsc, jfKrt, mBA dan tiBA merupakan promoter yang sudah dicobakan, masing-masing pada ikan rainbow trout, ikan zebra, ikan nila
dan zebra, dan pada ikan zebra (Hwang et al. 2003) dengan tingkat ekspresi yang tinggi. Penggunaan keempat promoter dalam penelitian ini didasarkan pada
hasil penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa semua promoter tersebut berasal dari ikan dan aktif pada nila.
Perumusan Masalah
Tingkat ekspresi gen target dalam transgenesis dipengaruhi oleh promoter yang digunakan. Dengan demikian, pemilihan dan penggunaan
promoter yang tepat akan memberikan kontribusi bagi keberhasilan transgenesis. Aktivitas promoter seringkali didasarkan pada kedekatan hubungan
kekerabatan antara ikan sumber promoter dengan ikan yang akan dibuat menjadi transgenik. Oleh karena itu maka kajian terhadap aktivitas dan efektivitas
promoter-promoter tersebut menjadi penting untuk dilakukan. Promoter yang paling efektif di antara jfKer, rtHsc, mBA dan tiBA dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam aplikasi transgenesis pada ikan nila
(Oreochromis niloticus).
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis promoter yang paling
efektif antara keratin, heat shock,dan β-aktin dalam mengekspresikan gen GFP pada ikan nila. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan informasi
tentang:
1. Jenis promoter yang paling efektif dalam mengekspresikan gen GFP pada ikan nila.
2. Pemanfaatan konstruksi gen terbaik dalam produksi ikan nila transgenik.
Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka hipotesis yang diajukan adalah bahwa promoter heat shock, keratin, dan β-aktin yang
disandingkan dengan gen GFP memiliki aktivitas yang berbeda dalam mengekspresikan gen target.
TINJAUAN PUSTAKA
Transfer Gen
Strategi yang dapat dilakukan untuk memperbaiki mutu genetik ikan nila
antara lain, (1) introduksi jenis unggul dari luar untuk memperbaiki keragaan ikan nila lokal dan menggunakan ikan-ikan tersebut sebagai material dasar genetik, (2) persilangan/hibridisasi untuk mendapatkan sifat unggul yang lebih baik dari
populasi asal, (3) memanfaatkan keunggulan jenis kelamin jantan melalui pembentukan galur jantan super (YY supermale) dan aplikasinya dalam produksi
massal ikan nila jantan, (4) melalui seleksi terhadap karakter penting untuk budidaya, baik seleksi famili maupun seleksi massa, dan (5) melalui penerapan
metode transfer gen (Gustiano 2007).
Proses transfer gen (transgenesis) pada intinya merupakan kegiatan
mengintroduksi gen-gen asing ke inang yang baru (Lutz 2001). Secara komersial, dukungan terhadap teknologi ini tinggi terutama karena potensinya
dalam mengefisienkan proses dan produksi perikanan budidaya. Hasil kajian pada karakter pertumbuhan misalnya (Maclean & Laight 2000; Galli 2002) mampu mempercepat proses pembesaran hingga ukuran pasar. Peningkatan
laju pertumbuhan dengan teknik transfer gen biasanya sebesar 200% hingga 600%; tergantung spesies, struktur konstruksi gen, dan/atau sifat alami dari
insersi. Sebagai pembanding, peningkatan pertumbuhan melalui teknik seleksi meningkatkan pertumbuhan hanya sebesar 5% hingga 10%.
Penelitian transgenik pada beberapa ikan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti pada ikan mas Cyprinus carpio, channel catfish Ictalurus
punctatus, salmon Atlantik Salmo salar, rainbow trout Oncorhynchus mykiss, ikan zebra Danio rerio dan medaka Oryzias latipes (Rahman & Maclean 1992).
Beberapa metode yang dapat dilakukan untuk pelaksanaan transfer gen
adalah mikroinjeksi, elektroporasi, transfer melalui sperma, biolistik, penggunaan vektor virus dan lipofeksi (Beaumont & Hoare 2003). Mikroinjeksi merupakan
teknik transfer gen yang umum digunakan pada kegiatan transgenesis (Takagi et
al., 1994; Volckaert et al., 1994; Kinoshita & Ozato 1995; Hamada et al., 1998; Galli 2002; Alimuddin et al., 2003; Kato et al., 2007). Konstruksi DNA ditransfer ke dalam sel embrio ikan dengan menggunakan jarum injeksi berukuran mikro,
posisi jarum suntik. Untuk memastikan material genetik masuk ke pronuklei, konsentrasi DNA yang tinggi (107-1010 copy) biasanya diinjeksikan ke telur yang
telah dibuahi (Yoshizaki, 2001; Hwang et al. 2003). Meskipun injeksi dengan jumlah copy DNA yang tinggi meningkatkan integrasi transgen (DNA yang
ditranfer), namun dapat meningkatkan resiko kematian pada embrio (Zbikwoska, 2003).
Prinsip dasar teknik mikroinjeksi adalah memasukkan gen ke dalam
sitoplasma embrio yang sudah dibuahi hingga terintegrasi dengan genom inang. Agar proses integrasi ini berjalan dengan baik, maka pelaksanan penyuntikan
dilakukan sebelum mitosis satu. Namun demikian, beberapa masalah yang sering dijumpai saat mikroinjeksi akan dilakukan pada embrio ikan adalah (1)
korion akan mengeras setelah pembuahan sehingga pelaksanaan injeksi relatif akan sulit dilakukan; (2) fase satu sel dari embrio berlangsung dalam waktu
singkat (antara 30 hingga 40 menit setelah pembuahan), sehingga dengan waktu yang relatif pendek itu maka pelaksanaan injeksi telur juga berlangsung relatif
cepat. Dengan demikian, jumlah telur yang memungkinkan untuk diinjeksi akan relatif sedikit (Rahman & Maclean 1992; Kinoshita & Ozato 1995). Menurut Zbikowska (2003), integrasi transgen pada DNA inang umumnya tidak terjadi
pada fase satu sel, oleh karenanya maka tidak semua sel ikan membawa transgen. Kondisi ini disebut mozaik.
Di samping masalah di atas, ada beberapa keuntungan jika menggunakan embrio ikan sebagai inang dibandingkan dengan mamalia, yakni
jumlah telur ikan yang relatif banyak sehingga memudahkan dalam penyediaan inang, dan fertilisasi terjadi secara eksternal sehingga memudahkan introduksi
gen asing pengkode protein target. Selain itu, embrio ikan dapat dipelihara dalam air tanpa suplemen, karena untuk perkembangan embrio cukup
mengandalkan nutrien dari kuning telur (Dunham, 2004).
Promoter
Promoter berperan penting dalam pembuatan ikan transgenik. Promoter
merupakan sekuen DNA yang terletak di bagian hulu (upstream, terminal 5) dari lokasi dimulainya transkripsi (Hackett 1993) yang berperan dalam mengatur letak, waktu dan tingkat ekspresi gen yang akan muncul (Beaumont & Hoare
2003). Daerah promoter adalah cis-acting; mereka mempengaruhi transkripsi dalam segmen DNA yang sama dimana mereka berada. Sekuen ini dikenali oleh
RNA polimerase yang kemudian menempel dan mengendalikan proses
transkripsi (Hackett 1993; Glick & Pasternak 2003) dan promoter inilah yang menjadi kekuatan gen untuk mengekspresikan ciri-cirinya dan juga potensial
dalam mempengaruhi gen lain dalam suatu organisme (Anderson 2004). Gen rekombinan (transgen atau gen fusi) perlu untuk dipadukan pada
sekuen promoter, yang mengatur atau mengekspresikan DNA rekombinan. Jika gen diintroduksi tanpa adanya suatu promoter, maka gen tersebut sangat kecil kemungkinannya dapat terekspresi di dalam genom inang. Hal ini karena tidak
ada yang mengontrol ekspresi gen tersebut. Mekanisme inilah yang sebenarnya diterjemahkan oleh beberapa peneliti untuk mendisain konstruksi gen dengan
melibatkan promoter tiruan. Penggunaan promoter tiruan pada kenyataanya sesuai dan mengikuti mekanisme regulasi alami, berupa penghambatan dan
aktivasi ekspresi (Dunham 2004).
Menurut Liu et al. (1990), Gong et al. (1991) dan Chan & Devlin (1993),
promoter yang umumnya dikaji pada awal pengembangan ikan transgenik berasal dari virus dan mamalia. Namun kedekatan secara biologis dan
keamanan pangan, menjadi alasan yang menyebabkan bahwa promoter yang dikembangkan untuk ikan juga berasal dari ikan. Gen dan promoter asal ikan yang terbukti aktif dan digunakan pada awal pengembangan ikan transgenik
antara lain antifreeze dari ikan flounder, β-aktin dari ikan mas, Methallothioneine- B and histone H3 dari ikan salmon.
Secara umum, promoter dari beberapa eukariotik dapat berfungsi dalam sel ikan. Namun jika berasal dari sumber yang non-homolog, ekspresi yang
dihasilkan diduga akan menurun, demikian juga dengan efisiensi penggunaanya. Saat ini, tidak memungkinkan untuk menggeneralisasi aktivitas dari beragam
promoter dan konstruksi gen pada spesies ikan yang berbeda, karena keterbatasan data hasil penelitian tentang hal ini (Dunham 2004).
Berdasarkan sifat aktivitasnya, promoter dikenal sebagai constitutive,
ubiquitous dan house keeping. Suatu promoter yang bersifat constitutive berarti promoter ini dapat aktif tanpa perlu rangsangan dari luar seperti suhu dan
hormon (Volckaert et al. 1994). Promoter yang bersifat ubiquitous artinya dapat aktif pada semua jaringan otot. Sedangkan yang bersifat house keeping berarti
bahwa promoter tersebut dapat aktif kapan saja bila diperlukan (Yazawa et al. 2005; Liu 1990). Lebih lanjut, Hackett (1993) juga mengatakan bahwa promoter
ada yang bersifat aktif di mana-mana (ubiquitous) dan ada yang bersifat spesifik jaringan. Promoter yang bersifat spesifik jaringan, aktivitasnya lebih lemah
dibandingkan yang bersifat ubiquitous. Aktivitas promoter yang bersifat
ubiquitous dapat aktif pada setiap jaringan, sedangkan yang bersifat spesifik jaringan hanya aktif pada jaringan tertentu. Salah satu promoter yang bersifat
constitutive, ubiquitous dan sekaligus house keepingadalah β-aktin (Yazawa et al. 2005; Liu 1990).
Promoter medaka β-aktin misalnya, telah terbukti aktif pada ikan rainbow trout (Yoshizaki, 2001; Boonanuntanasarn et al., 2002), ikan nila (Kobayashi, 2006), ikan zebra (Alimuddin et al., 2005). Hal ini didasarkan pada sifat promoter β-aktin yaitu constitutive promoter (Volckaert et al., 1994) yang berarti bahwa promoter ini bisa aktif tanpa diberikan rangsangan dari luar seperti suhu dan hormon. Promoter β-aktin ikan medaka berhasil diisolasi oleh Takagi et al. (1994) dan aktif setelah diujicobakan pada ikan medaka dengan gen penanda lacZ. Gen medaka β-aktin mempunyai regulatory element berupa CArG motif pada intron pertama. Selain itu, medaka β-aktin juga mempunyai sekuen CCATGG, yang terletak pada exon kedua dan termasuk kodon inisiasi translasi yaitu ATG. Konstruksi β-aktin ikan medaka pOBA-109 yang dibuat oleh Takagi et al. (1994) mengandung 3,8 kb sekuen upstream, exon 1, intron 1, kodon inisiasi ATG pada exon 2 dan polyadenilation signal.
Promoter β-aktin dari ikan nila telah berhasil diisolasi oleh Octavera (2008) dengan panjang 1,2 kbp. Pada sekuens yang diisolasi terdapat faktor transkripsi yang konserf pada promoter β-aktin, yaitu boks TATA, motif CCAAT dan motif CArG (CC(A/T)6GG). Elemen CCAAT yang terletak pada nt. 16 – 20
dihitung dari ujung terminal 5, CC(A/T)6GG atau disebut motif CArG pada nt. 46 - 55 dihitung dari ujung terminal 5 dan nt. 225 – 234 dihitung dari ujung terminal 3, dan boks TATA pada nt. 79 – 83. Berdasarkan kemiripan asam amino, gen β-
aktin ikan nila memiliki homologi dengan ikan mas sebesar 88,24% dan ikan medaka sebesar 94,11% (Octavera, 2008).
Aktivitas promoter dikendalikan oleh suatu sekuen faktor transkripsi, yaitu elemen yang menentukan aktivitas promoter. Sekuen faktor transkripsi yang berperan dalam aktivitas promoter β-aktin adalah boks TATA, boks CCAAT, dan CC(A/T)6GG atau motif CArG (Quitschke et al., 1988; Takagi et al., 1994). Motif CArG berada pada 2 tempat, yakni di antara boks TATA dengan boks CCAAT dan di posisi intron 1. Motif CArG yang terdapat pada intron 1 berfungsi sebagai pemacu (enhancer) aktivitas transkripsi (Liu et al., 1990; Noh et al., 2003). Boks
TATA merupakan elemen yang umum dijumpai pada sekuen promoter, sebagai
tempat melekatnya RNA polimerase pada saat transkripsi RNA akan
berlangsung (Glick & Pasternak, 2003). Secara in vitro penghapusan boks TATA
membuat promoter tidak aktif dan pada in vivo aktivitasnya menurun. Selanjutnya dikatakan bahwa aktivitas promoter β-aktin tergantung pada
keberadaan elemen CCAAT. Elemen ini penting untuk terjadinya transkripsi pada tingkat yang tinggi dari promoter β-aktin (Quitschket et al., 1989).
Beberapa promoter yang spesifik jaringan, telah dicobakan pada ikan zebra (Gong et al., 2003), yakni epidermis - keratin8 (krt8)-, otot - myosin light
polypeptide 2 (mylz2) dan eksokrin pankreas - elastase A (elaA)-. Ikan zebra – dua warna- telah dikembangkan dengan mengintroduksi promoter keratin 8–GFP dan myosin light polypeptide–pigmen merah berpendar (red fluorescent protein,
rfp) (Gong et al., 2003). Dalam aplikasi lainnya, penggunaan promoter juga diterapkan untuk mengatahui adanya ekspresi yang spesifik fase perkembangan
suatu jenis ikan. Heat shock protein (hsp70) yang mengkodekan enzim yang berperan penting dalam metabolisme protein, dicobakan pada ikan mujair
(Oreochromis mossambicus). Hasilnya menunjukkan adanya peningkatkan laju transkripsi mRNA secara dramatis (Molina et al., 2000).
Promoter keratin dalam penelitian ini diisolasi dari ikan flounder Jepang,
Paralichthys olivaceus dengan panjang fragmen 1288 pasang basa. Promoter ini diketahui memiliki aktivitas hampir di seluruh jaringan, walaupun aktivitasnya
pada ikan zebra terkuat pada jaringan epitel dan hati (Yazawa et al., 2005). Yazawa et al. (2005) menjelaskan bahwa beberapa faktor transkripsi pada
jaringan epitel embrio ikan zebra dapat berikatan dengan baik sehingga aktivitas promoter ini dapat meningkat.
Promoter heat shock diisolasi dari ikan rainbow trout (Kawamura dan Yoshizaki, belum dipublikasikan) dan diketahui termasuk ke dalam golongan heat
shock protein. Promoter heat shock memiliki panjang fragmen 2759 pasang basa. Jenis promoter lainnya yang termasuk ke dalam golongan heat shock
protein antara lain adalah promoter hsp27. Promoter hsp27 merupakan jenis promoter yang bersifat dapat diinduksi (inducible) yaitu memerlukan faktor pemicu. Promoter hsp27 memiliki aktivitas yang tinggi pada sel otot bahkan
dapat aktif di seluruh jaringan jika dipicu dengan tekanan suhu (Wu et al., 2008). Lebih lanjut dijelaskan oleh Wu et al. (2008) bahwa terdapat pengaruh waktu
pemberian suhu terhadap munculnya ekspresi gen Green Fluorescent Protein. Semakin akhir stadia perkembangan embrio yang diberi induksi suhu, semakin
lama waktu yang dibutuhkan (lag time) untuk menginisiasi ekspresi gen Green
Fluorescent Protein. Aktivitas seperti itu diduga juga dimiliki oleh promoter heat shock ikan rainbow trout.
Protein heat shock dapat ditemukan di seluruh makhluk hidup untuk
merespons adanya perubahan suhu dan menghindari kerusakan sel akibat panas.
rendah.
Pada kondisi normal, heat shock ditemukan dalam konsentrasi yang Konsentrasi tinggi diperoleh ketika terjadi perubahan suhu secara
signifikan (Fang, 2003). Toyohara et al. (2005) juga menyatakan bahwa heat
shock berperan sebagai respons terhadap perubahan kondisi suhu lingkungan. Mengingat bahwa promoter sangat berpengaruh terhadap ekspresi gen target, maka pemilihan dan penggunaan promoter yang tepat, perlu dilakukan.
Beberapa promoter yang potensial untuk digunakan dalam transgenesis pada ikan nila adalah heat shock (HSC), Japanese flounder keratin (JFK), medaka β- aktin (mBA) dan tilapia β-aktin (tiBA). HSC, JFK dan mBA merupakan promoter yang sudah dicobakan, masing-masing pada ikan rainbow trout, zebra, (nila dan
zebra) dan zebra (Hwang et al. 2003).
Gen Green Fluorescent Protein (GFP)
Suatu promoter dapat diketahui efektivitasnya dengan cara
menyambungkan promoter tersebut dengan gen penyandi. Level ekspresi inilah yang akan memberikan informasi efektivitas suatu promoter. Menurut Iyanger et
al. (1996), gen yang digunakan untuk tujuan ini adalah chloramphenicol acetyl
transferase (CAT), neomycin phosphotransferase(NEO), β-galatosidase (lacZ), luciferase, green fluorescent protein (GFP), tyrosinase, melanin concentrating
hormone dan red fluorescent protein (rfp).
GFP telah umum digunakan untuk kajian tentang promoter dan ekspresi gen target. Yoshizaki et al. (2000) telah mengklon dan mengkarakterisasi promoter vasa-like gene dari rainbow trout dan kemudian disambungkan dengan
gen GFP. Ekspresi gen GFP pertama kali diamati pada fase mid-blastula, namun tidak ditemukan ekspresi spesifik sel pada saat itu. Ekspresinya
ditemukan sebesar 30% saat fase bintik mata dan meningkat menjadi 70% saat menetas. Pada saat itu, ekspresi GFP sudah berada di genital ridge. Hal yang
sama juga ditemukan oleh Kinoshita & Tanaka (2002) pada medaka
menggunakan promoter vasa medaka dan GFP. Ekspresi GFP terdeteksi pada
daerah usus ventrolateral saat fase blood-circulation. Setelah menetas, ekspresinya pindah ke sekitar gonad.
GFP merupakan gen yang mengkodekan protein dan memiliki sifat berpendar hijau. Aktivitas gen ini dapat divisualisasikan dengan menggunakan
sinar ultra violet. Ekspresi gen ini tidak memerlukan substrat tambahan, memiliki kandungan protein yang berpendar dan ekspresinya dapat divisualisasikan
dengan menggunakan cahaya ultra violet (Chalfie, 1994 dalam Iyanger et al., 1996). Awalnya gen GFP diisolasi dari ubur-ubur (Aequorea victoria); dan
dengan terjadinya mutasi, maka saat ini telah banyak mutan GFP yang
digunakan. Enhanced GFP (EGFP) misalnya, digunakan oleh Arai et al. (2001). EGFP memiliki daya berpendar yang lebih kuat dibandingkan dengan GFP.
Ekspresi Gen GFP
DNA asing yang diinjeksikan ke dalam sitoplasma akan mengalami
replikasi dan dapat terekspresi seiring dengan perkembangan embrio. Namun kemudian, ekspresi tersebut perlahan menghilang pada fase larva. Pola seperti ini dikenal pula dengan istilah ekspresi sementara/transient expression
(Houdebine & Chourrout, 1991 dalam Dunham, 2004). Hal ini juga terjadi pada penelitian beberapa ikan transgenik, seperti ikan kakap Sparatus auratus
(Garcio-Pozo et al., 1998), ikan zebra (Higashijima et al., 1997; Meng et al., 1999), ikan medaka (Winkler et al., 1991; Hamada et al., 1998; Chou et al.,
2001), dan ikan lele (Volckaert et al., 1994).
Umumnya waktu awal ekspresi gen eksogenus terjadi pada fase mid
blastula transition (MBT) dimana terjadi proses transkripsi yang mengakibatkan akumulasi protein pada sitoplasma telur sehingga gen dapat terekspresi (Iyengar
et al., 1996). Waktu ekspresi juga berhubungan erat dengan keberadaan DNA eksogenus yang diinjeksikan. Peningkatan ekspresi gen yang terjadi merupakan akumulasi dari replikasi DNA yang diinjeksikan pada fase pembelahan awal, dan
dari enzim produk transkripsi pada fase MBT. Setelah itu, terjadi penurunan ekspresi gen yang diakibatkan oleh degradasi DNA. Hal ini juga diungkapkan
oleh Winkler et al. (1991) bahwa peningkatan ekspresi gen yang terjadi dikarenakan adanya replikasi DNA yang diinjeksikan di dalam embrio. Hal ini
bergantung pada jumlah plasmid DNA yang diinjeksikan dan umumnya terjadi pada fase gastrula.
Pada perkembangan embrio selanjutnya diduga sejumlah DNA asing mengalami degradasi sehingga terjadi penurunan jumlah DNA asing dan mengakibatkan penurunan tingkat ekspresinya. Ekspresi sementara ini dapat
ditemukan di seluruh jaringan (ubiquitous) atau hanya di jaringan tertentu dan
umumnya masih bersifat mozaik pada ikan transgenik keturunan nol (F0,
founder) (Volckaert et al., 1994; Iyengar et al., 1996; Dunham, 2004). Kejadian ini diduga karena adanya replikasi DNA asing yang tidak tersebar merata di dalam sel embrio (Iyengar et al., 1996).
Pengamatan ekspresi GFP dilakukan dengan bantuan mikroskop yang khusus mengamati pendaran yang dihasilkan, seperti mikroskop fluorescent yang digunakan oleh Wu et al. (2008). Seok et al. (2007) mengamati ekspresi
EGFP dengan mikroskop Olympus LX70 yang dilengkapi dengan filter NIBA2. Sedangkan Gong et al. (2002) mengamati ekspresi GFP dalam penelitiannya
menggunakan mikroskop fluorescent Zeiss Axiovert 25 yang dilengkapi dengan filter biru.
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2008 hingga Pebruari 2009.
Perbanyakan konstruksi gen dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian pengujian efektivitas promoter dilakukan di Laboratorium Genetika Ikan dan panti benih ikan nila, Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi.
Prosedur Kerja
Pemeliharaan Induk, Pemijahan dan Pembuahan Telur
Induk ikan nila yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain GIFT (genetic improvement of farmed tilapia) hasil perbanyakan BBPBAT. Induk ikan
nila tersebut berukuran 350 gram per ekor untuk betina dan 400 gram per ekor untuk jantan. Pakan untuk induk berupa pelet komersial dengan kandungan protein 30% yang diberikan tiga kali sehari secara satiasi. Pemijahan dilakukan
secara semi-alami. Induk jantan dan betina yang menunjukkan papilla lebih menonjol diambil dan kemudian distripping untuk mengeluarkan sperma dan
telur. Aktivasi sperma dilakukan dengan menambahkan 5-10 ml air ke dalam wadah penampungan telur dan sperma. Lima menit setelah aktivasi, air dan sisa
sperma dibuang dan diganti dengan air baru. Telur yang sudah dibuahi ini, siap untuk digunakan dalam proses transfer gen mengunakan teknik mikroinjeksi.
Pelaksanaan Mikroinjeksi
Telur ikan nila yang sudah dibuahi ditempatkan di atas gel agarosa 2% sebagai penahan embrio pada saat injeksi dilakukan. Posisi embrio diatur
sedemikian rupa sehingga bagian blastodisk sesuai dengan arah datangnya jarum injeksi (Lampiran 1a). Jumlah embrio yang diinjeksi untuk setiap konstruksi
gen (pjfKer-GFP, prtHsc-GFP, pmBA-GFP dan ptiBA-GFP) sebanyak 30 butir, dan masing-masing dua kali ulangan yang disertai dengan kontrol.
Konsentrasi DNA yang diinjeksikan sebesar 50 ng/µl dalam 0,1 M KCl. Larutan DNA sebanyak 5 µl dimasukkan ke jarum mikroinjeksi. Minyak mineral
mikroinjeksi yang telah berisi larutan DNA dan minyak mineral disambungkan ke
needle holder pada seperangkat alat mikroinjektor (Lampiran 1b).
Larutan DNA diinjeksikan ke blastodisk embrio ikan nila pada saat fase satu sel (Lampiran 1c) secara perlahan dengan bantuan mikromanipulator.
Mikroinjeksi dilakukan di bawah mikroskop. Volume larutan DNA yang diinjeksikan ke dalam blastodik sekitar seperlima volume blastodisk.
Penetasan Embrio dan Pemeliharaan Larva
Embrio yang telah diinjeksi dan yang tidak diinjeksi (kontrol) dipindahkan masing-masing ke dalam akuarium inkubasi berukuran 60x40x40 cm yang telah
diberi methylen blue dengan kepadatan 30 butir embrio tiap wadah. Suhu air akuarium inkubasi dipertahankan 28±0,5oC menggunakan heater otomatis, dan
diberi aerasi. Embrio yang mati dibuang selama masa pengamatan.
Larva yang dihasilkan dipelihara lebih lanjut dalam akuarium secara terpisah. Pakan yang diberikan berupa cacing Tubifex sp secara satiasi.
Pengamatan Ekspresi Gen GFP
Guna memudahkan pada saat pengamatan ekspresi GFP, dilakukan pembagian kelompok embrio. Embrio-embrio tersebut tetap dipelihara di dalam laboratorium hingga menetas. Pertama, merupakan kelompok perlakuan yang
terdiri-dari 30 butir tiap perlakuan. Pada kelompok ini, pengamatan embrio hanya dilakukan pada saat awal, puncak dan akhir ekspresi. Hal ini untuk menghindari
pengaruh sinar ultra violet pada telur. Kelompok embrio kedua (masing-masing perlakuan dan kontrol terdiri dari 10 butir embrio) digunakan untuk pengamatan (Lampiran 1d). Embrio-embrio dalam kelompok ini diamati setiap jam sejak
dilakukan injeksi hingga menetas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui awal, puncak dan akhir ekspresi gen.
Pengamatan ekspresi gen dilakukan dengan menggunakan mikroskop
stereo zoom (Olympus SZX16) yang dilengkapi filter GFP (Olympus SZX2- FGFPHQ), high speed compact color digital camera 2 MP (Olympus DP20, burner Olympus, remote controller Olympus DP-20, serta laptop yang sudah
terinstal software Olympus DH2-BW (Lampiran 1e).
Isolasi RNA dan RT-PCR
Ekstraksi RNA dan sintesis cDNA, sesuai metode yang dilakukan oleh
Boonanuntanasarn et al. (2002). Ekstraksi RNA diawali dengan memasukkan 5 embrio ke dalam tabung mikro volume 1,5 ml yang berisi 200 µl isogen
(Molecular Research Center, Inc), lalu digerus sampai hancur. Ke dalam tabung ditambahkan 200 µl isogen, penggerusan diulangi untuk memastikan bahwa
semua jaringan menjadi hancur dan selanjutnya ditambahkan kembali 400 µl isogen (volume akhir 800 µl). Hasil gerusan dibiarkan lisis selama 5 menit pada
suhu ruang, kemudian ditambahkan 200 µl kloroform (CHCl3) dan divorteks selama 15 detik pada kecepatan sedang (5-6 speeds). Setelah disimpan selama 2-3 menit pada suhu ruang, lakukan sentrifus pada kecepatan 12.000 rpm
selama 5 menit. Supernatan yang dihasilkan ditampung dalam tube lain yang telah berisi 400 µl isopropanol, kemudian divorteks hingga homogen pada
kecepatan rendah dan diinkubasi selama 5-10 menit pada suhu ruang. Lakukan sentrifus kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC. Supernatan
yang dihasilkan dibuang. Tambahkan 1 ml etanol 70% dingin dan lakukan sentrifus kecepatan 12.000 rpm selama 15 pada suhu 4oC. Supernatan dibuang, sedangkan pellet yang dihasilkan dikeringkan (udara). Setelah kering udara,
tambahkan 30 µl DEPC. Konsentrasi RNA total diukur menggunakan DNA/RNA gene quant. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 260 nm.
Sintesis cDNA dilakukan menggunakan kit Ready-To-Go You-Prime First-
Strand beads (GE Healthcare UK Ltd). Proses yang dilakukan adalah
menyiapkan RNA dengan konsentrasi 3 µg dalam 30 µl DEPC di dalam tabung mikro. Homogenasi dilakukan dengan bantuan vorteks dan kemudian tabung
dimasukkan ke dalam inkubator yang sudah diset pada suhu 65oC selama 10
menit. Tabung, kemudian dimasukkan ke dalam es selama 2 menit. RNA dimasukkan ke dalam tabung “First Strand Reaction Mix Beads” (white tube)
yang telah berisi 2 butir bola putih. Ditambahkan 3 µl primer dT3’RACE-VECT” (5’-GTAATACGACTCACTATAGGGCACGCGTGGTCGACGGCCCGGGCTGGT-
TTTTTTTTTTTTTTTTTT-3’) dengan konsentrasi 1 µg/3 µl dan dibiarkan selama 1 menit. Vorteks dilakukan kembali pada kecepatan rendah (2-3 speeds).
Tabung mikro dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 37oC dan dibiarkan selama 1 jam. Ke dalam tabung yang berisi hasil sintesis cDNA ditambahkan 50
µl SDW.
Hasil sintesis cDNA kemudian diamplifikasi. Proses yang dilakukan adalah menyiapkan 10 µl bahan reaksi yang terdiri dari 1 µl buffer Ex Taq, 1 µl
dNTPs, 0,05 µl Ex Taq polimerase (Takara Bio), 1 µl cDNA dan 1 pmol dari tiap primer (GFP-F 5’-GGTCGCTGGACGGCGACG-3’ dan GFP-R 5’-ACGAACTC-
CAGCAGGACCAT-3’). Amplifikasi PCR dilakukan dengan program: denaturasi
awal pada suhu 95oC selama 3 menit; 35 siklus pada suhu 95oC selama 30 detik, 62oC selama 30 detik dan 72oC selama 1 menit; serta ekstensi akhir pada suhu
72oC selama 3 menit.
Sebanyak 2 µl hasil PCR dielektroforesis menggunakan 0,7% gel agarosa
dan difoto dalam kondisi disinari dengan sinar ultraviolet. Intensitas pita cDNA ini kemudian dianalisis secara kuantitatif menggunakan software UN-SCAN-IT gel versi 6.1 sesuai dengan petunjuk operasionalisasinya untuk Windows.
Parameter yang Diamati
a. Derajat Kelangsungan Hidup Embrio (DKH-e)
Derajat kelangsungan hidup embrio adalah persentase jumlah embrio yang hidup dibandingkan jumlah embrio awal. Perhitungan dilakukan 20 jam
setelah fertilisasi.
100%
b. Derajat Penetasan (DP)
Derajat penetasan adalah persentase jumlah embrio yang menetas dibandingkan jumlah embrio awal. Perhitungan dilakukan ketika seluruh embrio
telah menetas.
100%
c. Pola dan Tingkat Ekspresi Gen GFP
Pola ekspresi dikelompokkan berdasarkan waktu awal, puncak dan akhir ekspresi gen GPF terjadi. Awal ekspresi ditentukan berdasarkan waktu
munculnya pendaran pertama kali, puncak ekspresi dikenali pada saat pendaran
maksimum terjadi, sedangkan akhir ekspresi ditentukan pada saat berakhir atau tidak terlihatnya pendaran. Tingkat ekspresi gen GFP diukur secara kualitatif
berdasarkan intensitas pendaran pada saat awal, puncak dan akhir ekspresi. Pengamatan pola dan tingkat ekspresi gen GFP dilakukan setiap jam sejak
diinjeksi hingga larva menetas. Pengukuran secara kuantitatif, dilakukan pada saat ekspresi puncak sedang terjadi. Kuantifikasi ini didasarkan pada hasil PCR sample RNA, yakni konsentrasi cDNA yang terkandung dalam embrio pada saat
ekspresi puncak.
d. Persentase Embrio Mengekspresikan Gen GFP (PEMG)
Persentase embrio mengekspresikan gen GFP diperoleh dari
perbandingan jumlah embrio yang mengekspresikan gen GFP dengan jumlah total embrio yang diinjeksi. Embrio yang mengekspresikan gen GFP dapat
diketahui dengan bantuan mikroskop yang dilengkapi dengan filter khusus GFP. Nilai ini menunjukkan ekspresi sementara yang dikendalikan oleh promoter dan persentase keberhasilan injeksi.
100%
Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik, serta gambar.
Promoter Jumlah Embrio
Derajat Kelangsungan Hidup Embrio dan Derajat Penetasan
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap derajat kelangsungan hidup (DKH-e) dan derajat penetasan (DP) tiap promoter (perlakuan) dan kontrol, diperoleh data sebagaimana tertera dalam Tabel 1. Data lengkap tertera pada
Lampiran 2.
Tabel 1. Derajat kelangsungan hidup embrio dan derajat penetasan masing- masing promoter dan kontrol.
Keterangan: r = Ulangan
DKH-e = Survival Rate Embryo (%, rataan ± standar deviasi) DP = Hatching Rate (%, rataan ± standar deviasi)
SD = Standar Deviasi
Kualitas gamet yang digunakan dalam penelitian ini relatif bagus. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya DKH-e dan DP pada kontrol. Namun demikian, perlakuan memberikan pengaruh terhadap kedua parameter tersebut. Beberapa
alasan untuk keadaan ini adalah bahwa perlakuan injeksi berpengaruh terhadap perkembangan embrio. Injeksi setidaknya dapat merusak dinding sel embrio dan
mempengaruhi perkembangan selanjutnya hingga menetas. Selain itu, volume larutan DNA yang diinjeksikan serta jenis promoter juga mempengaruhi
perkembangan embrio. Tak dapat dipungkiri bahwa dengan metode mikroinjeksi diperlukan larutan DNA dalam jumlah copy yang tinggi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan integrasi DNA ke dalam genom inang (Zbikowska, 2003). Akan
tetapi, tingginya copy DNA yang diinjeksikan dapat meningkatkan jumlah partikel asing yang masuk ke dalam embrio, dapat menggangu perkembangan embrio
dan dapat menyebabkan kematian (Hacket, 1993). Penggunaan konsentrasi ini telah berhasil dilakukan oleh Kobayashi et al., (2007) dalam penelitian ikan nila
Ju
penelitiannya. Penggunaan volume DNA yang diinjeksikan sebanyak seperlima volume blastodisk, didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan (data tidak
ditampilkan).
Di antara ke empat perlakuan, nilai DKH-e dan DP yang tertinggi adalah
pada promoter medaka. Dengan konsentrasi DNA sebanyak 50 ng/l pada tiap
konstruksi dan injeksi sebanyak sekitar seperlima volume blastodisk, promoter medaka memiliki resiko paling kecil yang mempengaruhi perkembangan embrio
hingga menetas.
Pola dan Tingkat Ekspresi serta Persentase Embrio yang Mengekspresikan Gen GFP
Ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh tiap promoter mengikuti pola seperti tertera dalam Tabel 2 dan Gambar 1. Awal ekspresi adalah awal
terjadinya ekspresi GFP yang dikendalikan oleh promoter. Ekspresi ini
divisualisasikan berupa pendaran berwarna hijau oleh mikroskop yang dilengkapi filter khusus GFP. Puncak ekspresi adalah waktu terjadinya ekspresi dalam jumlah terbanyak dan akhir ekspresi adalah waktu saat ekspresi mulai berakhir.
Ekspresi yang dikendalikan oleh promoter ini dikenal sebagai transient
expression, karena ekspresinya hanya bersifat sementara.
No.
Tabel 2. Awal, puncak dan akhir ekspresi yang dikendalikan oleh tiap promoter
1.
Gambar 1. Pola ekspresi yang dihasilkan oleh keempat promoter
Berdasarkan data pada Tabel 2, terlihat bahwa semua promoter mampu mengekspresikan gen GFP. Di antara empat promoter, keratin merupakan
promoter yang paling awal mengekspresikan gen GFP dibandingkan promoter lainnya. Berdasarkan kajian embriogenesis yang dilakukan oleh Fujimura &
Okada (2007), awal ekspresi yang dilakukan oleh semua promoter dalam penelitian ini berlangsung dalam fase early bastula, yakni antara jam ke 4-12 setelah pembuahan. Hal ini relatif berbeda dengan pernyataan Iyengar et al.
(1996) bahwa pada ikan nila, ekspresi gen GFP dapat teramati umumnya pada selang waktu antara jam ke 12-17 setelah pembuahan.
Perbedaan waktu ekspresi diduga karena adanya perbedaan suhu air saat inkubasi telur. Suhu air pada penelitian ini adalah 28±0,5 oC dan relatif sama
dengan yang dilakukan oleh Fujimura & Okada (2007), yakni 28 oC. Perbedaan suhu inilah yang dapat mempengaruhi tingkat metabolisme dan perkembangan
embriogenesis pada ikan.
Berdasarkan data dalam Tabel 2 dan Gambar 1 dapat diketahui bahwa
puncak ekspresi dari keempat promoter terjadi pada jam ke-36 setelah injeksi. Puncak ekspresi terjadi karena adanya akumulasi DNA yang diinjeksikan dan dimulainya proses transkripsi pada fase Mid Blastula Transition (MBT). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Iyengar et al.(1996) bahwa tingginya ekspresi pada fase gastrula adalah sebagai hasil dari akumulasi DNA yang diinjeksikan, proses
replikasi pada fase pembelahan (cleavage) dan sebagai akibat dari terjadinya akumulasi enzim (RNA polymerase II) yang menyebabkan dimulainya transkripsi
pada saat MBT (mid-blastula transition).
Pola dan tingkat ekspresi gen yang dikendalikan oleh tiap promoter,
dideskripsikan menggunakan gambar atau foto. Foto tersebut diambil sesuai dengan pola terjadinya ekspresi, yakni awal, puncak dan akhir ekspresi. Agar gambaran ekspresi sesuai dengan aslinya, maka tidak dilakukan proses editing
terhadap foto yang dihasilkan. Hasil lengkap dari foto-foto yang menggambarkan pola dan tingkat ekspresi tertera pada Gambar 2. Foto-foto pada Gambar 2, juga
memberikan gambaran tentang kekuatan ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh masing-masing promoter. Hal ini dapat diketahui oleh kuat-tidaknya
pendaran yang mampu ditangkap oleh mikroskop yang kemudian dideskripsikan melalui foto yang dihasilkan.
A1
A2
A3
B1
B2
B3
C1
C2
C3
D1
D2
D3
Gambar 2. Tingkat ekspresi gen keratin-GFFP (A), heat shoock-GFP (B), mbba-GFP (C), dan tiba-GFP (D) paada awal (1), puuncak (2), dan aakhir (3) ekspressi.
Akhir ekspresi gen GFP dalam penelitian ini berlangsung pada jam ke- 48 setelah injeksi untuk promoter medaka β-actindan tilapia β-actin. Sedangkan untuk promoter heatshock dan keratin terjadi pada jam ke-72 setelah injeksi. Perbedaan ini berkaitan dengan ketahanan DNA yang diinjeksikan ke dalam
embrio. Berakhirnya ekspresi gen ini menunjukkan bahwa ekspresi GFP yang dikendalikan oleh ke empat promoter bersifat sementara (transient). Akhir ekspresi diduga terjadi karena makin tersebarnya sel-sel yang membawa GFP
seiring dengan perkembangan pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Iyengar et al. (1996) bahwa perkembangan pembelahan sel dapat
menyebabkan penurunan jumlah DNA secara bertahap sehingga tingkat ekspresi gen GFP yang dihasilkannya pun akan semakin melemah (Iyengar et al., 1996).
Berdasarkan penelitian Fujimura & Okada (2007), perkembangan embrio saat jam ke 48-72 setelah injeksi dalam penelitian ini diduga berada pada fase
differensiasi otak hingga perkembangan organ kepala. Dan berdasarkan penelitian ini, menunjukkan bahwa pada saat itu, telah terjadi pembentukan
pigmen melanin. Pigmen ini diduga mempengaruhi ekspresi gen GFP pada ikan nila, sehingga tidak dapat divisualisasikan dalam bentuk pendaran oleh
mikroskop yang sudah dilengkapi dengan filter GFP. Pada jam ke-72,
perkembangan pembentukan mata nampak terlihat dengan jelas. Pada suhu 28±0,5 oC, embrio mulai menetas sejak jam ke-78 atau sekitar 20 menit lebih
awal dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fujimura & Okada (2007).
Pola ekspresi gen GFP yang dihasilkan mengikuti perkembangan embrio. Hal ini dikarenakan gen GFP yang diintroduksikan telah dikenali sebagai bagian
dari embrio dan ikut serta dalam proses transkripsi. Green fluorescence pertama kali diamati pada fase mid-blastula, namun tidak ditemukan ekspresi spesifik sel pada saat itu. Pada fase mid blastula transition (MBT) inilah terjadi proses
transkripsi yang mengakibatkan akumulasi protein pada sitoplasma telur sehingga gen dapat terekspresi (Iyengar et al., 1996). Pola ekspresi dan fase
perkembangan embrio dalam penelitian ini relatif berbeda dengan penelitian Iyengar et al. (1996). Dalam penelitiannya, ekspresinya ditemukan sebesar 30%
saat fase bintik mata dan meningkat menjadi 70% saat menetas. Pada saat itu, ekspresi GFP sudah berada di genital ridge. Hal yang sama juga ditemukan oleh
Kinoshita & Tanaka (2002) pada medaka menggunakan promoter vasa medaka dan GFP. Ekspresi GFP terdeteksi pada daerah usus ventrolateral saat fase
blood-circulation. Setelah menetas, ekspresinya pindah ke sekitar gonad. Perbedaan ini terjadi karena berbedanya waktu tiap tahapan perkembangan sel
selama embriogenesis. Peningkatan ekspresi diduga disebabkan oleh terjadinya replikasi DNA yang diinjeksikan di dalam embrio pada fase perkembangan awal
(Winkler et al., 1991). Ekspresi puncak yang dihasilkan hampir sama dari keempat promoter yaitu pada jam ke-36. Kemudian mulai melemah pada saat
fase munculnya bintik mata. Penurunan ekspresi gen GFP mulai terlihat pada jam ke-48 di konstruksi gen yang menggunakan promoter mba dan tiba, sedangkan pada jam ke-72 terjadi di konstruksi gen yang menggunakan
promoter hsc dan keratin. Pada saat ini sudah terbentuk pigmen dan mulai menyebar di sekitar organ kepala. Selain itu, keberadaan ekspresi DNA yang
diinjeksikan mulai sulit teramati akibat mulai terikatnya DNA yang diinjeksikan pada genom inang. Hal ini dibuktikan dengan ditemukan adanya DNA pada
jaringan tertentu setelah diamplifikasi melalui metode RT-PCR (Yazawa et al., 2005).
Ekspresi gen GFP yang dihasilkan dari keempat promoter memiliki perbedaan persentase individu transgen yang dihasilkan. Perbedaan tersebut diduga karena adanya perbedaan bentuk konstruksi dari keempat promoter. Hal
ini akan berpengaruh pada proses interaksi cis-acting pada promoter dan trans-
acting inang dimana juga akan mempengaruhi ekspresi yang akan dihasilkan. Menurut Dunham (2004), perbedaan tingkat ekspresi dapat disebabkan karena promoter yang diintroduksikan bukan berasal dari ikan yang homolog. Promoter
yang bukan berasal dari ikan yang homolog memiliki interaksi antara elemen cis- regulator pada promoter dan elemen trans-regulator inang yang berbeda,
ekspresi yang dihasilkan diduga akan menurun, demikian juga dengan efisiensi penggunaanya. Hackett (1993) juga menambahkan bahwa elemen cis-regulator
akan berikatan dengan trans-regulator protein lainnya yang kemudian akan
mengakibatkan peningkatan atau penurunan tingkat transkripsi. Daerah promoter adalah cis-acting; mereka mempengaruhi transkripsi dalam segmen
DNA yang sama dimana mereka berada. Sekuen ini dikenali oleh RNA polimerase yang kemudian menempel dan mengendalikan proses transkripsi
(Hackett 1993; Glick & Pasternak 2003) dan promoter inilah yang menjadi kekuatan gen untuk mengekspresikan ciri-cirinya dan juga potensial dalam
mempengaruhi gen lain dalam suatu organisme (Anderson 2004).
Gambar 1 telah menjelaskan bahwa keratin merupakan promoter yang mampu menghasilkan ekspresi GFP yang paling cepat dibandingkan dengan tiga
promoter lainnya. Namun demikian belum menjelaskan data persentase embrio yang mengekspresikan GFP. Data jumlah embrio yang mengekspresikan GFP
tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase embrio yang mengekspresikan GFP (PEMG)
Jenis Promoter
Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa tingkat ekspresi gen GFP yang dikendalikan oleh promoter keratin dan heat shock adalah lebih baik jika dibandingkan dengan dua promoter lainnya. Tabel 3 juga memberikan
penjelasan bahwa heat shock dan keratin merupakan dua promoter yang dapat menghasilkan persentase embrio yang mengekspresikan GFP dalam jumlah
yang paling tinggi dibandingkan dengan dua promoter lainnya, dengan nilai 55%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa promoter heat shock dan keratin
adalah yang paling efektif dalam mengekpresikan GFP pada ikan nila dibandingkan mBA dan tiBA.
Kajian dalam penelitian ini kemudian dilanjutkan dengan kuantifikasi konsentrasi gen pada saat puncak terjadinya ekspresi melalui tahapan isolasi RNA dan RT-PCR. Data yang dihasilkan ditampilkan pada Gambar 3. Data ini
memberikan gambaran tentang konsentrasi gen GFP yang terkandung di dalam embrio.
Kuantifikasi terhadap data hasil PCR, dilakukan dengan menggunakan
software UN-SCAN-IT gel versi 6.1 untuk menghitung konsentrasi cDNA tiap promoter. Berdasarkan software tersebut diperoleh data bahwa konsentrasi keratin sebanyak 218 ng, sedangkan promoter lainnya adalah 192 ng (heat
shock), dan 50 ng (tiBA). Sedangkan untuk promoter mBA tidak dapat
dikuantifikasi oleh software UN-SCAN-IT gel versi 6.1 karena lemahnya ekspresi berupa DNA yang dihasilkan.
M 1 2 3 4 K+ K-
0,6 kb
Gambar 3. Ekspresi RNA gen GFP dianalisa dengan menggunakan RT-PCR.
Keterangan : M adalah Penanda, (1) adalah keratin-GFP, (2) adalah hsc-GFP, (3) adalah mba- GFP, (4) adalah tiba-GFP, K+ adalah kontrol positif dan K- adalah kontrol negatif
Berdasarkan hasil kuantifikasi tersebut, menunjukkan bahwa tingkat ekspresi keratin dan heat shock adalah relatif sama dan keduanya lebih tinggi dibandingkan dengan dua promoter lainnya. Adanya korelasi antara data
kualitatif dan kuantitatif inilah yang mendasari bahwa keratin dan heat shock merupakan dua promoter yang sangat efektif dalam mengekspresikan gen GFP
dibandingkan dengan dua promoter lainnya pada transgenesis ikan nila.
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa promoter keratin ikan flounder Jepang dan heat shock memberikan efektivitas yang sama dan lebih baik dibandingkan dengan promoter medaka β-aktin dan tilapia β-aktin dalam mengendalikan ekspresi GFP pada ikan nila.
SARAN
Guna pengembangan teknologi transgenik pada ikan nila, maka promoter
PUSTAKA
Anderson L. 2004. Genetically engineered fish-new treaths to the environment. Book Article. Greenpeach International. Netherlands.
Alam MS, Lavender FL, Iyengar A, Rahman MA, Ayad HH, Lathe R, Morley SD, and Maclean N. 1996. Comparison of the activity of carp and rat β-actin gene regulatory sequences in tilapia and rainbow trout embryos. Molecular Reproduction and Development 45: 117-122.
Alimuddin. 2003. Introduction and Expression of foreign Δ6 desaturase-Like Gene in a Teleostean fish. Thesis. Graduate School of Fisheries Science. Tokyo University of Fisheries.
Alimuddin, Yoshizaki G, Kiron V, Satoh S and Takeuchi T. 2005. Enhancement of EPA and DHA Biosynthesis by Over-expression of Masu Salmon Δ6- Desaturase-Like Gene in Zebrafish. Transgenic Research, 14:159-165
Alimuddin, Yoshizaki G, Carman O, and Takeuchi T. 2007. Efektivitas promoter hCMV, mEF1α dan mAct dalam mengatur ekspresi gen asing pada transgenic ikan zebra. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6: 65-77.
Arai R, Makita Y, Oda Y and Nagamune T. 2001. Construction of green
fluorescent protein reporter gene for genotoxicity test (SOS/umu-test) and improvement of mutagen-sensitivity. Bioscience and Bioengineering, 92: 301-304.
Beardmore JA and Porter JS. 2003. Genetically modified organisms and aquaculture. FAO Fisheries Circular No. 989. Rome, FAO. 38p.
Beaumont AR and Hoare K. 2003. Biotechnology and genetics in fisheries and aquaculture. Blackwell Sci. Ltd. 158p
Boonanuntanasarn S, Yoshizaki G, Takeuchi Y, Morita T, and Tekeuchi T. 2002. Gene knock-down in rainbow trout embryos using antisense morpholino phosphorodiamidate oligonucleotides. Mar. Biotechnol. 4:56-266.
Chan WK and Devlin RH. 1993. Polymerase chain reaction amplification and functional characterization of sockeye salmon histone H3, metallothionein-B, and protamine promoters. Molecular Marine Biology and Biotechnology 2: 308–318.
Cheng CA, Lu KL, Lau EL, Yang TY, Lee CY, Wu JL and Chang CY. 2002. Growth promotion in Ayu (Plecoglossus altivelis) by gene transfer of the rainbow trout growth hormone gene. Zoological Studies 41:303-310.
Chourrout DR, Guyomard R, and Houdebine LM. 1990. Techniques for the development of transgenic fish: a review, in: Church RB (Ed.). Transgenic Model in Medicine and Agriculture. Wiley-Liss, New York. pp. 89-99.
Devlin, R.H., Yesaki, T.Y., Biagi, C.A., Donaldson, E.M., Swanson, P., and Chan, W.K. 1994. Extraordinary salmon growth. Nature, 371:209-210.
Devlin, R.H. 1998 Production and evaluation of transgenic fish for aquaculture. Australian Biotechnology, 8: 222-227.
Devlin, R.H., Biagi, C.A., Yesaki, T.Y., Smailus, D.E., and Byatt, J.C. Growth of domesticated transgenic fish. Nature, 409:781-782.
2001.
Dunham RA. 2004. Aquaculture and fisheries biotechnology: genetic approaches. CABI Publishing. Cambridge, MA, USA.
Fang F. 2003. Expression of heat shock genes HSP 16.6 and HTPG in the cyanobacterium Synechocystis sp. PCC 6803. Disertasion. Miami University.
Fjalestad, K.T., Moen, T., and Gomez-Raya, L. 2003. Prospect for technology in salmon breeding programmes. Aquac. Res., 34:397-406.
Fujimura K. and Okada N. 2007. Development of the embryo, larva and early juvenile of Nile tilapia Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae) developmental staging system. Develop. Growth Differ. 49: 301-324.
Galli L. 2002. Genetic modification in aquaculture – A review of potential benefits and risks. Bureau of Rural Sciences. Canberra. 54 p
Garcia-Pozo S, Bejar J, Shaw M and Alvarez MC. 1998. Effect of Exogenous DNA microinjection on Early Development Response of the Seabream Sparus aurata. Molecular Marine Biology and Biotechnology, 7: 248-257
Glick BR and Pasternak JJ. 2003. Molecular biotechnology: principles and application of recombinant DNA. Third edition. ASM Press. Washington DC.
Gong Z, Hew CL and Vielkind JR. 1991. Functional analysis and temporal expression of promoter regions from fish antifreeze protein genes in transgenic Japanese medaka embryos. Molecular Marine Biology and Biotechnology 1: 64–72.
Gong Z, Wan H, Ju B, He J, Wang X and Yan T. 2003. Generation of living color transgenic zebrafish, in: Shimizu N, Aoki T, Hirono I and Takashima F. (eds.) Aquatic Genomics: Steps Toward a Great Future. Springer- Verlag. New York. pp: 329-339.
Gustiano R. 2007. Perbaikan mutu genetik ikan nila. Makalah. 6 hal
Guyomard R, Chourrout D, Leroux C, Houdebine LM and Pourrain F. 1989. Integration and germ line transmission of foreign genes microinjected into fertilized trout eggs. Biochimie 71: 857–863.
Hacket PB. 1993. The molecular biology of transgenic fish. In : Hocachka and Mommesen (Eds.). Biochemistry and Molecular Biology of Fishes, 2:218 - 221.
Hamada K, Tamaki K, Sasado T, Watai Y, Kani S, Wakamatsu Y, Ozato K, Kinoshita M, Kohno R, Takagi S, and Kimura M. 1998. Usefulness of the medaka β-actin promoter investigated using a mutant GFP reporter gene in transgenic medaka Oryzias latipes. Molecular Marine Biology and Biotechnology, 7: 173-180.
Higashijima, S, Okamoto H, Ueno N, Hotta Y and Eguchi G. 1997. High- Frequency Generation of Transgenic Zebrafish Which Reliably Express GFP in Whole Muscles or the Whole Body by Using Promoter of Zebrafish Origin. Developmental Biology, 192: 289-299
Hinits Y and Moav B. 1999. Growth performance studies in transgenic Cyprinus carpio. Aquaculture 173: 285–296.
Hsiao C-D, Hsieh F-J and Tsai H-J. 2001. Enhanced expression and stable transmission of transgenes flanked by inverted terminal repeats from adeno-associated virus in zebrafish. Developmental Dynamics, 220: 323- 336.
Hwang GL, Rahman MA, Razak SA, Sohm F, Farahmand H, Smith A, Brooks C and Maclean N. 2003. Isolation and charactrisation of tilapia β-actin promoter and comparison of its activity with carp β-actin promoter. Biochimica et Biophsica Acta, 1625: 11-18
Iyengar A, Muller F and Maclean N. 1996. Regulation and expression of transgenes in fish—a review. Transgenic Research 5:147–166.
Jesuthasan S and Subburaju S. 2002. Gene transfer into zebrafish by sperm nuclear transplantation. Developmental Biology 242: 88–95
Kato K, Takagi M, Tamaru Y, Akiyama S, Konishi T, Murata O, and Kumai H. 2007. Construction of an expression vector containing a β-actin promoter region for gene transfer by microinjection in red sea bream Pagrus major. Fisheries Science, 73: 440-445.
Kinoshita M and Ozato K. 1995. Cytoplasmic microinjention of DNA into
fertilized medaka (Oryzias latipes) eggs. The Fish Biology Journal Medaka, 7: 59-64.
Kinoshita M and Tanaka M. 2003. Transgenic medaka as a model for fish biology and aquaculture. In: Shimizu N, Aoki T, Hirono I and Takashima F (eds) Aquatic Genomics: Steps Toward a Great Future. Springer-Verlag, New York, pp. 320–328.