• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS)

Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsure utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. (Chay Asdak, 1995)

Pengelolaan sumber daya air daerah aliran sungai (DAS) dan perencanaan tata guna lahan secara teknis (rekayasa) membutuhkan banyak hal yang sangat kompleks. Konsekuensinya dibutuhkan stimulasi model-model pengembangan DAS dan sistem sungai untuk prediksi response sistem fluvial terhadap alam dan manusia. Factor yang berpengaruh terhadap karakteristik hidrolik suatu DAS yang merupakan bagian dari keseluruhan suatu sistem fluvial, meliputi : (Kodoatie J.Robert, 2013)

 Bentuk geometric DAS : bentuk, lokasi, panjang sungai, kemiringan dasar, kerapatan system drainase.

 Karakteristik tanah : jenis tanah, ukuran butiran, tekstur, erosivitas tanah.  Vegetasi : bentuk penutupan lahan, jenis vegetasi, distribusi vegetasi,

intersepsi, transpiration.

 Hidrologi dan klimatologi : temperature, curah hujan (tipe, durasi, waktu, frekuensi, distribusi), laju filtrasi, perkolasi, kejadian musiman.

 Hidrolika dan sedimentasi : debit puncak sungai, jenis aliran, kondisi tanah dasar dan tebing, ukuran butiran sedimen, aliran dasar, aliran permukaan, aliran air tanah, kondisi tanah permukaan, sedimentasi lahan (sediment yield) dari hasil erosi DAS, transport sedimen, pengaruh pasang laut.

(2)

 Geologi : struktur, fraktur, batuan dasar, jenis material tanah atau lapukan batuan.

 Tata guna lahan : pengembangan, aktifitas, penggundulan hutan, perubahan tata guna lahan.

2.2 Banjir

Banjir memiliki 2 peristiwa yaitu : pertama peristiwa banjir/genangan yang terjadi pada daerah yang biasanya tidak terjadi banjir dan kedua peristiwa banjir terjadi akibat limpasan air banjir dari sungai karena debit banjir tidak mampu dialirkan oleh alur sungai yang ada. Peristiwa banjir sendiri tidak menjadi permasalahan, apabila tidak menganggu aktivitas atau kepentingan manusia dan permasalahan ini timbul setelah manusia melakukan kegiatan pada daerah dataran banjir. Maka perlu adanya pengaturan daerah dataran banjir, untuk mengurangi kerugian akibat banjir (flood plain management). (Kodoatie J.Robert, 2013)

Pengendalian banjir adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan pekerjaan pengendalian banjir, eksploitasi dan pemeliharaan, yang pada dasarnya untuk mengendalikan banjir, pengaturan penggunaan daerah dataran banjir dan mengurangi atau mencegah adanya bahaya/kerugian akibat banjir. (Kodoatie J.Robert, 2013)  Sebab terjadinya banjir

Secara umum penyebab terjadinya banjir dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu banjir yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan banjir yang diakibatkan oleh tindakan manusia. Yang termasuk sebab-sebab banjir diantaranya adalah : (Kodoatie J.Robert, 2013)

a. Perubahan tata guna lahan

Debit puncak naik dari 5 sampai 35 kali karena di DAS tidak ada yang menahan maka aliran air permukaan (run off) menjadi besar, sehingga berakibat debit di sungai menjadi besar dan terjadi erosi lahan yang berakibat sedimentasi di sungai sehingga kapasitas sungai menjadi turun.

(3)

b. Sampah

Sungai atau drainase tersumbat dan jika air melimpah keluar daya tampung saluran berkurang.

c. Erosi dan Sedimentasi

Akibat perubahan tata guna lahan, terjadi erosi yang berakibat sedimentasi masuk sungai sehingga daya tampung sungai berkurang. Penutup lahan vegetatif yang rapat (misal semak-semak, rumput) merupakan penahan laju erosi yang paling tinggi.

d. Kawasan kumuh sepanjang sungai

Dapat merupakan penghambat aliran, maupun daya tampung sungai. Masalah kawasan kumuh dikenal sebagai faktor penting terhadap masalah banjir daerah perkotaan.

e. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat

Sistem pengendalian banjir memang dapat mengurangi kerusakan akibat banjir kecil sampai sedang, tapi mungkin dapat menambah kerusakan selama banjir. Misal : bangunan tanggul sungai yang tinggi. Limpasan pada tanggul waktu banjir melebihi banjir rencana menyebabkan keruntuhan tanggul, kecepatan air sangat besar yang melalui bobolnya tanggul sehingga menimbulkan banjir yang besar.

f. Curah hujan

Pada musim penghujan , curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan banjir di sungai bilamana melebihi tebing sungai maka akan timbul banjir atau genangan termasuk bobolnya tanggul. Data curah hujan menunjukkan maksimum kenaikan debit puncak antara 2 sampai 3 kali.

g. Pengaruh fisiografi

Fisiografi atau geografi fisik sungai seperti bentuk, fungsi, dan kemiringan Daerah Aliran Sungai (DAS), kemiringan sungai, geometrik hidraulik (bentuk penampang seperti lebar, kedalaman, potongan memanjang, material dasar sungai), lokasi sungai, dll.

(4)

h. Kapasitas sungai

Pengurangan kapasitas aliran banjir pada sungai dapat disebabkan oleh pengendapan berasal dari erosi DAS dan erosi tanggul sungai yang berlebihan dan sedimentasi di sungai itu karena tidak adanya vegetasi penutup dan adanya penggunaan lahan yang tidak tepat.

i. Kapasitas drainase yang tak memadai

Karena perubahan tata guna lahan maupun berkurangnya tanaman/vegetasi serta tindakan manusia mengakibatkan pengurangan kapasitas saluran/sungai sesuai perencanaan yang dibuat.

j. Pengaruh air pasang

Air pasang memperlambat aliran sungai ke laut. Waktu banjir bersamaan dengan air pasang tinggi maka tinggi genangan atau banjir menjadi besar karena terjadi aliran balik (backwater).

k. Penurunan tanah dan rob

Penurunan tanah terjadi akibat antara lain : konsolidasi tanah, pengurukan tanah, pembebanan bangunan berat, pengambilan air tanah berlebihan dan pengerukan di sekitar pantai.

l. Drainasi lahan

Drainasi perkotaan dan pengembangan pertanian daerah bantaran banjir mengurangi kemampuan bantaran dalam menampung debit air tinggi.

m. Bendung dan bangunan air

Bending dan bangunan air seperti pilar jembatan dapat meningkatkan elevasi muka iar banjir karena efek aliran balik (backwater).

n. Kerusakan bangunan pengendali banjir

Pemeliharaan yang kurang memadai dari bangunan pengendali banjir sehingga menimbulkan kerusakan dan akhirnya tidak berfungsi dapat meningkatkan kuantitas banjir.

(5)

2.3 Morfologi sungai

Morfologi sungai adalah hal-hal yang berkaitan dengan bentuk dan struktur sungai. Definisi lain suatu area pengetahuan (field of science) yang berkaitan dengan perubahan bentuk sungai (river planform). (Kodoatie J.Robert, 2013). Karakteristik alur sungai dan debit aliran sungai, antara lain:

a. Karakteristik alur sungai

Dari tempat asal sampai berakhirnya di laut dari letak geografisnya sungai dapat di kelompokkan menjadi tiga daerah yaitu : daerah hulu (pegunungan), daerah transisi dan daerah hilir (pantai). Ketiga daerah ini juga menunjukkan sifat dan karakteristik dari sistem sungai yang berbeda.

Di daerah hulu terutama di daerah pegunungan sungai-sungai biasanya mempunyai kemiringan yang terjal (steep slope). Kemiringan dasar sungainya antara 2-3% atau lebih. Kemiringan terjal ini dan curah hujan yang tinggi akan menimbulkan stream power (kuat arus) besar sehingga debit aliran sungai-sungai di daerah ini menjadi cukup besar. Periode waktu debit aliran umumnya berlangsung cepat. Pada bagian hulu ditandai dengan adanya erosi baik di DAS maupun erosi akibat penggerusan dasar sungai dan longsoran tebing. Proses sedimentasinya disebut degradasi. Material dasar sungai dapat berbentuk boulder/batu besar, kerakal, kerikil, dan pasir. Bentuk sungai di daerah ini adalah biasanya braider (selampit/kepang). Penampang melintang sungai umumnya berbentuk huruf V.

Di daerah transisi batas pegunungan bagian sampai ke daerah pantai, kemiringan dasar sungai berkurang umumnya kurang dari 2% dan lebih besar dari 0,01% karena kemiringan memanjang dasar sungai di daerah ini berangsur-angsur menjadi landai (mild). Di daerah ini seiring dengan berkurangnya debit aliran walaupun erosi masih terjadi namun proses sedimentasi meningkat yang menyebabkan endapan sedimen mulai timbul, akibat pengendapan ini berpengaruh terhadap mengecilnya kapasitas sungai (pengurangan tampang lintang sungai). Proses degradasi (penggerusan) dan agradasi (penumpukan) sedimen terjadi. Akibatnya banjir dapat terjadi dengan waktu yang relatif lebih halus dibandingkan dengan daerah pegunungan.

(6)

Penampang melintang sungai umumnya berangsur-angsur berubah dari huruf V ke huruf U.

Di daerah hilir yaitu sungai mulai dari batas transisi, daerah pantai dan berakhir di laut (mulut sungai/estuary). Kemiringan di daerah ini dari landai menjadi sangat landai (± 0,01%), bahkan ada bagian-bagian sungai terutama yang mendekati laut kemiringan dasar sungai hampir mendekati 0. Umumnya bentuk sungai menunjukkan pola yang berbentuk meandering, sehingga akan menghambat aliran banjir. Proses agradasi (penumpukan) sedimen lebih dominan terjadi. Material dasar sungainya lebih halus dibandingkan di daerah transisi atau daerah hulu. Bilamana banjir terjadi, periodenya lebih lama dibandingkan di daerah transisi maupun daerah hulu. Untuk sungai alluvial sifat alirannya beregim(regime flow) dimana karakter morfologinya dominan pencapaian keseimbangan sedimen sungai. Dengan kata lain apabila ada degradasi (gerusan) sedimen di suatu lokasi sungai maka akan terjadi secara alami sampai sungai mencapai keseimbangan antara suplai dan transport sedimen. Kontribusi air tanah (groundwater) dominan terhadap aliran rendah (low flow) terutama di musim kemarau dan nampak di sungai berupa aliran dasar (base flow). (Kodoatie J.Robert, 2013)

b. Karakteristik debit aliran sungai

Untuk debit aliran sungai yang perlu diperhatikan adalah meliputi debit banjir yang pernah terjadi, debit dominan dan pola hidrograf banjirnya. Debit aliran sungai termasuk hidrografnya sangat ditentukan oleh : (Kodoatie J.Robert, 2013)

 Kondisi daerah aliran sungai, topografi (kemiringan DAS), tataguna lahan, vegetasi penutup DAS, jenis penggunaan lahan, struktur tanah permukaan dan struktur geologinya dan cara pengelolaan DAS.

 Bentuk DAS berupa : bulu burung, radiao parallel. Pada prinsipnya dibagi tiga yaitu : bentuk melebar, kipas, bentuk memanjang.

 Curah hujan dengan sifat-sifatnya; intensitas hujan dan distribusi dalam ruang, arah gerak hujan, pola distribusi hujan tahunan dll.

(7)

 Curah hujan di musim penghujan dalam tahunan.

 Karakteristik jaringan alur sungai, tingkat order sungai, kondisi alur sungai dan kemiringan dasar sungai atau morfologi sungainya.

 Daerah Cekungan Air Tanah (CAT) dan daerah non-CAT. 2.4 Hidrologi

Hidrologi adalah suatu ilmu yang menjelaskan tentang kehadiran dan gerakan air di alam kita ini. Ini meliputi berbagai bentuk air, yang menyangkut perubahan-perubahannya antara keadaan cair, padat, dan gas dalam atmosfir, di atas dan di bawah permukaan tanah. Di dalamnya tercakup pula air laut yang merupakan sumber dan penyimpanan air yang mengaktipkan penghidupan di planet bumi ini. (Soemarto, 1987)

Siklus hidrologi terdiri dari enam sub sistem yaitu : (Soewarno, 1991)  Air di atmosfer;

 Aliran permukaan;

 Aliran bawah permukaan;  Aliran air tanah;

 Aliran sungai/saluran terbuka;  Air di lautan dan air di genangan. 2.4.1 Curah hujan rerata daerah

Untuk mendapatkan besarnya intensitas hujan rencana, perlu dilakukan perhitungan data curah hujan rata-rata DAS. Beberapa cara yang digunakan untuk menghitung curah hujan rata-rata adalah sebagai berikut :

a. Metode Rerata Aritmatik (Aljabar)

Metode ini adalah yang paling sederhana untuk menghitung hujan rerata pada suatu daerah. Pengukuran yang dilakukan di beberapa stasiun dalam waktu yang bersamaan dijumlahkan dan kemudian dibagi dengan jumlah stasiun. Stasiun hujan yang digunakan dalam hitungan biasanya adalah yang berada di dalam DAS; tetapi

(8)

stasiun di luar DAS yang masih berdekatan juga bisa diperhitungkan.Metode rerata aljabar ini memberikan hasil yang baik apabila:

 Stasiun hujan tersebar secara merata di DAS,  Distribusi hujan relatif merata pada seluruh DAS.

Nilai curah hujan daerah / wilayah ditentukan menggunakan rumus berikut : p=p1+p2+p3+…..……+pn

n ... (2-1) dengan :

p =besar curah hujan rerata daerah (mm) p1…pn=besar hujan di tiap titik pengamatan (mm) n =jumlah titik pengamatan (stasiun hujan)

b. Metode Poligon Thiessen

Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rerata kawasan. Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di dalam DAS dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut, Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata. Hitungan curah hujan rerata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun. Pembentukan poligon Thiessen adalah sebagai berikut ini :

 Stasiun pencatat hujan digambarkan pada peta DAS yang ditinjau, termasuk stasiun hujan di luar DAS yang berdekatan.

 Stasiun-stasiun tersebut dihubungkan dengan garis lurus (garis terputus) sehingga membentuk segitiga-segitiga, yang sebaiknya mempunyai sisi dengan panjang yang kira-kira sama.

 Dibuat garis berat pada sisi-sisi segitiga seperti ditunjukkan dengan garis penuh seperti pada Gambar 2.1.

(9)

 Garis-garis berat tersebut membentuk poligon yang mengelilingi tiap stasiun, yang mewakili luasan yang dibentuk oleh poligon. Untuk stasiun yang berada di dekat batas DAS, garis batas DAS membentuk batas tertutup dari poligon.

 Luas tiap poligon diukur dan kemudian dikalikan dengan kedalaman hujan di stasiun yang berada di dalam poligon.

 Jumlah dari hitungan pada butir e untuk semua stasiun dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan hujan rerata daerah tersebut, yang dalam bentuk matematik mempunyai bentuk berikut ini.

p=A1p1+A2p2+A3p3+…..……+Anpn

A1+A2+A3+…..……+An ... (2-2) dengan :

p =besar curah hujan rerata daerah (mm) p1…pn=besar hujan di tiap titik pengamatan (mm)

A1…An=luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengukuran (km2)

(10)

c. Metode Isohyet

Isohiet adalah garis yang menghubungkan titik-titik dengan kedalaman hujan yang sama. Pada metode isohyet, dianggap bahwa hujan pada suatu daerah di antara dua garis isohyet adalah merata dan sama dengan nilai rerata dari kedua garis isohyet tersebut. Pembuatan garis isohyet dilakukan dengan prosedur berikut ini :

 Lokasi stasiun hujan dan kedalaman hujan digambarkan pada peta daerah yang ditinjau.

 Dari nilai kedalaman hujan di stasiun yang berdampingan dibuat interpolasi dengan pertambahan nilai yang ditetapkan.

 Dibuat kurva yang menghubungkan titik-titik interpolasi yang mempunyai kedalaman hujan yang sarna. Ketelitian tergantung pada pembuatan garis isohyet dan intervalnya.

 Diukur luas daerah antara dua isohyet yang berurutan dan kemudian dikalikan dengan nilai rerata dari nilai kedua garis isohyet.

 Jumlah dari hitungan pada butir d untuk seluruh garis isohyet dibagi dengan luas daerah yang ditinjau menghasilkan kedalaman hujan rerata daerah tersebut. Secara matematis hujan rerata tersebut dapat ditulis:

p=A1I1+I22 +AA 2I2+I32 +…..……+AnIn+In+12

1+A2+…..……+An ... (2-3) atau p=∑ni=1AiIi+Ii+1A2 i n i=1 ... (2-4) dengan :

p =besar curah hujan rerata daerah(mm)

A1,A2,…,An=luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet (km2) I1…In =besar curah hujan rata – rata pada bagianA1,A2,…,An

(11)

Gambar 2.2 Metode Isohyet 2.4.2 Uji Kesesuaian Distribusi

Data hidrologi yang digunakan untuk mengestimasi debit andalan mengguakan analisa frekuensi belum tentu sesuai dengan distribusi-distribusi yang dipilih. Untuk itu perlu dilakukan uji kesesuaian distribusi ( Limantara, 2009 ).

Uji kesesuaian distribusi bertujuan untuk mengetahui kebenaran hipotesa suatu analisa freskuensi. Dengan pengujian ini akan diketahui kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan atau diperoleh secara otomatis.

Menurut Harto (1993) penentuan jenis distribusi akan digunakan untuk menganalisis frekuensi yang dilakukan dengan beberapa asumsi sebagai berikut:

(12)

Tabel 2.1 Penentuan distribusi

2.4.2.1 Hujan Rancangan Log Pearson Type III

Dalam studi ini dipakai metode Log Person III dengan pertimbangan cara ini lebih fleksibel dan umum digunakan dalam perhitungan maupun analisi curah hujan di Indonesia, serta dapat dipakai untuk semua data. Menurut Soemarto ( 1987 ), parameter statistik yang diperlukan oleh distribusi Log Person III adalah harga rata-rata, standard deviasi, dan koefisien kepencengan.

Parameter untuk menentukan kurva distribusi Log Person Tipe III adalah : 1. Mengubah data debit banjir tahunan sebanyak n buah X1, X2, X3, ...., Xn

menjadi Log X1, Log X2, Log X3,..., Log Xn 2. Menghitung nilai rata-rata dari persamaan :

Log x = ∑ Log x...( 2-5 ) n

3. Menghitung nilai standar deviasi dari nilai Log X menggunakan persamaan : S. Log x = √∑(Log x – Log x)2...( 2-6 )

( n – 1 )

4. Menghitung nilai koefisien kepencengan menggunakan persamaan :

Cs = n∑(Log x Log x)2...( 2-7 ) ( n-1 ) ( n-2 ) ( S)2

5. Menghitung logaritma debit dengan waktu balik yang dikehendaki :

(13)

dengan :

Log x = Logaritma curah hujan rancangan Log x = Logaritma rerata curah hujan

K = Variabel standar X yang besarnya tergantung koefisien kepencengan s = simpangan baku

Harga rata-rata K dapat dilihat dengan tingkat peluang atau periode tertentu sesuai dengan nilai Cs nya.

6. Mencari anti LogX untuk mencari debit banjir dengan waktu balik yang dikehendaki.

2.4.2.2 Uji Smirnov- Kolmogorov

Uji Smirnov- Kolmogorov adalah uji distribusi terhadap penyimpangan data ke arah horisontal untuk mengetahui data sesuai atau tidak dengan jenis sebaran teoritis. Uji Smirnv-Kolmogorov sering disebut uji kecocokan non-parametric, karena pengujiannya tiak menggunakan fungsi distribusi tertentu ( Limantara,2009 ).

Pengujian data dari uji Smirnov- Kolmogorov ini dilakukan dengan membandingkan probabilitas tiap data antara sebaran teoritis dan sebaran empiris yang dinyatakan dalam Δ. Sebelum melakukan uji kesesuain, terlebih dahulu dilakukan plotting data dengan tahapan sebagai berikut :

2.4.2.1 Data hujan harian maksimum tahunan disusun dari besar kecil. 2.4.2.2 Hitung probabilitasnya dengan rumus Weibull ( Harto, 1993 )

P = ( m ) / (n-1 ) x 100 %...( 2-9 ) 3. Plotting data debit ( X ) dengan probabilitas P.

4. Menghitung selisih nilai D yang dinyatakan dengan persamaan :

D = max((pl – pw ) / (100 ))...( 2-10 ) Apabila besar nilai D yang diperoleh lebih kecil dari D0( dari tabel ) maka hipotesa yang dilakukan diterima ( memenuhi syarat yang diuji ), jika nilai D yang diperoleh lebih besar dari D0 maka hipotesa yang dilakukan tidak diterima ( tidak memenuhi syarat distribusi yang diuji ).

(14)

2.4.2.3 Uji Chi-Square

Uji Chi-kuadrat dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang di analisis dengan rumus :

F2 =( Oi-Ei)2/ Ei ... (2-11) Dimana :

F2 = Parameter Chi-kuadrat terhitung

Oi = Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i. Ei = Jumlah nilai teoritis sub kelompok i.

Nilai F2 harus lebih kecil dari nilai F2 sebenarnya yang dapat dilihat pada tabel. Tabel 2.2 Nilai kritis untuk Chi-Square

DK α Derajat Kepercayaan 0.995 0.990 0.975 0.950 0.050 0.025 0.01 0.005 1 0.0000393 0.000157 0.000982 0.00393 3.841 5.024 6.635 7.878 2 0.010 0.020 0.051 0.103 5.991 7.378 9.210 10.597 3 0.072 0.115 0.216 0.352 7.815 9.348 11.345 12.838 4 0.207 0.554 0.484 0.711 9.488 11.143 13.277 14.860 5 0.412 0.872 0.831 1.145 11.070 12.832 15.086 16.750 6 0.676 1.239 1.237 1.635 12.592 14.449 16.812 18.548 7 0.989 1.646 1.690 2.167 14.067 16.013 18.475 20.278 8 1.344 2.088 2.180 2.733 15.507 17.535 20.090 21.955 9 1.735 2.558 2.700 3.325 16.919 19.023 21.666 23.589 10 2.156 3.053 3.247 3.940 18.307 20.483 23.209 25.188

(15)

Perhitungan uji Chi Square adalah :

1. Pengurutan data pengamatan dari besar ke kecil.

2. Perhitungan jumlah kelas yang ada ( K ) = 1 + 3,332 log n. Dalam pembagian kelas disarankan agar setiap kelas terdapat inimal lima buah pengamatan.

3. Perhitungan nilai Ef = (n/K)

4. Perhitungan banyaknya Of untuk masing-masing kelas.

5. Perhitungan untuk nilai X2Cr untuk setiap kelas kemudian hitung nilai total X2Cr dari tabel untuk derajat nyata tertentu yang sering diambil sebesar 5% dengan parameter derajat kebebasan. Rumus derajat kebebasan adalah :

DK = K – ( R + 1 )...( 2-12 ) dengan :

DK = derajat kebebasan K = kelas

R = banyaknya keterikatan ( biasanya diambil R =2 untuk dstribusi normal dan binomial dan R = 1 untuk distribusi Poisson dan Gumbel).

Nilai Xh2yang terhitung ini harus terhitung lebih kecil dari harga Xh2tabel, yang didapat. Tahapan dalam uji ini adalah sebagai berikut :

a. Urutkan data pengamatan dari besar ke kecil / sealiknya, lalu kelompokkan data menjadi G sub grup ( tiap- tiap sub grup minimal 4 data pengamatan )

b. Menjumlahkan data pengamatan sebesar Oi tiap- tiap sub grup. c. Menjumlahkan data dari setiap distribusi yang digunakan sebsar Ei. d. Untuk tiap-tiap grup hitung nilai : ( Oi Ei )2 dan ( Oi Ei )2

Ei

e. Menjumlah nilai ( Oi Ei )2pada seluruh G sub grup untuk memenuhi nilai Chi –

Ei

Kuadrat hitung (Xh2).

f. Harga Xh2dibandingkan dengan harga X2dari tabel Chi- Kuadrat dengan dk dan jumlah data ( n ) tertentu. Apabila Xh2‹ X2 maka hipotesa distribusi dapat diterima.

(16)

Parameter Xh2merupakan variabel acak. Pelang untuk mencapai nilai Xh2sama atau lebih besar dari nilai Chi-Kuadrat sbenarnya ( X2) dapat dilihat pada tabel. Interpretasi hasil uji adalah sebagai berikut :

1. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi yang digunakan dapat diterima.

2. Apabila peluang kurang dari 1%, maka persamaan distribusi yang digunakan tidak dapat diterima.

3. Apabila peluang berada diantara 1%- 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, misal perlu data tambahan.

2.4.3 Intensitas Hujan

Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu. Sifat umum hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cendenrung semakin tinggi dan semakin besar periode ulangnya maka semakin tinggi pula intensitasnya. Apabila data hujan jangka pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian maka intensitas hujan dapat dihitung dengan persamaan Mononobe. I = [ ] / ... (2-13)

Keterangan :

I = Intensitas hujan (mm/jam)

R24 = Curah hujan maksimum dalam sehari (mm) t = lamanya hujan (jam)

Perhitungan curah hujan berdasarkan data hidrologi minimal 10 tahun terakhir (mengacu pada tata cara analisis curah hujan drainase perkotaan).

(17)

Tabel 2.3 Kala Ulang Berdasarkan Tipologi Kota

Sumber: Permen Pu PRT M 2014

2.4.4 Koefisien Aliran

Koefisien aliran permukaan atau yang sering disebut koefisien pengaliran didenifisikan sebagai nisbah antara puncak aliran permukaan terhadap intensitas hujan (Suripin, 2004). Besarnya nilai koefisien pengaliran didapatkan dari pengamatan medan, misalnya permeabilitas tanah. Semakin besar permeabilitas tanah maka semakin besar pula daerah resapan air sehingga limpasan menjadi sedikit. Adapun rumus untuk mendapatkan nilai C jika diketahui dari jenis penggunaan lahan adalah sebagai berikut (Kustamar, 2008).

Sehingga koefisien aliran ini mempresentasikan efek DAS terhadap kehilangan air hujan menjadi aliran permukaan, dimana angka koefisien aliran itu sendiri tergantung pada kondisi alam permukaan tanah meliputi kemiringan lereng, kelembaban tanah, infiltrasi dan intensitas hujan. Besarnya nilai koefisien aliran (C) yang sering digunakan sebagai pendekatan dapat dilihat pada tabel 2.2.

(18)

Tabel 2.4 Angka Koefisien Pengaliran

Sumber : Hadisusanto, 2011;155

2.4.5 Hidrograf Satuan Sintetik

Hidrograf satuan sintetik dapat dibuat apabila pada DAS yang diobservasi sama sekali tidak ada pencatatan tinggi muka air otomatis (AWLR). Sehingga untuk membuat hidrograf satuan sintetik tersebut diperlukan peninjauan kondisi karakteristik DAS terlebih dahulu, untuk menetapkan parameter-parameter DAS yang diperlukan untuk membuat hidrograf sintetik itu sendiri. Adapun parameter DAS meliputi (Nugroho, 2011:185):

a. Waktu konsentrasi untuk mengetahui waktu mulai hujan dari pusat hujan pada hidrograf hingga mulai kenaikan banjir.

b. Waktu untuk mencapai puncak hidrograf.

c. Waktu dasar (time base) hidrograf yaitu yang diperlukan dari mulai banjir hingga waktu akhir banjir

d. Panjang sungai utama e. Kemiringan DAS f. Luas DAS

g. Koefisien aliran dan sebagainya.

Perlu diingatkan metode hidrograf satuan sintetik ini asal usulnya dihasilkan beberapa hubungan rumus empiris, sehingga penerapan masing-masing hidrograf

(19)

satuan sintetik tersebut mempunyai batasan-batasan yang harus disesuaikan dengan karakteristik DAS yang diobservasi. ada beberapa hidrograf satuan sintentik, salah satunya yaitu:

 Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Debit rencana dihitung dengan menggunakan pendekatan hidrograf satuan sintetis Nakayasu dengan langkah-langkah sebagai berikut. Nakayasu menurunkan rumus hidrograf satuan sintetik berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian pada beberapa sungai di Jepang. Besarnya nilai debit puncak hidrograf dihitung dengan rumus :

Qp =

, ( , , ) ... (2-14)

dengan :

Q p = debit puncak banjir (m3 /detik) C = koefisien pengaliran

Ro = hujan satuan (mm)

A = luas daerah aliran sungai (km2)

Tp = tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir (jam) T0,3 = waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak

sampai menjadi 30% dari debit puncak (jam)

Penjelasan gambar kurva hidrograf satuan sintetik Nakayasu adalah sebagai berikut :

Bagian lengung naik hidrograf satuan mempunyai persamaan :

Qa= Qp ( ) , ... (2-15) dengan :

Qa = limpasan sebelum mencapai debit puncak (m3 /detik) t = waktu (jam)

Bagian lengkung turun terdiri dari tiga bagian dan mempunyai persamaan : a. Qd > 0,3 x Q → Qd = Qp x 0,3

(20)

b. 0,3 Qp > Qd > 0,32 x Qp → Qd = Qp x 0,3 , ,

, , ... (2-17)

c. 0,32Qp > Qd → Qd = Qp x 0,3 , ,

, ... (2-18)

Waktu naik hidrograf tergantung dari waktu konsentrasi, dan dihitung dengan persamaan : Tp = tg + 0,8 tr ... (2-19) Untuk : a. L < 15 km → tg = 0,21 x L0,7 ... (2-20) b. L > 15 km → tg = 0,4 + 0,058 x L ... (2-21) dengan :

L = panjang alur sungai (km) tg = waktu konsentrasi (jam) tr = 0,5 x tg (jam)

T0,3 = α dikalikan dengan tg (jam) Nilai α

a. Untuk daerah pengaliran biasa, α = 2

b. Untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang cepat, α = 1,5

c. Untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang lambat, α = 3

(21)

Gambar 2.3 Grafik Hidrograf Nakayasu 2.5 Analisis Hidrolika

2.5.1 Perhitungan Muka Air Tanah

Menurut Chow, (1988) dalam kutipan Nanlohy dkk. (2009), penelusuran aliran adalah prosedur untuk menentukan waktu dan besaran aliran pada suatu titik pengaliran dengan menggunakan hidrograf yang diketahui atau diasumsikan dari satu atau lebih titik di hulunya. Jika aliran tersebut adalah aliran banjir, maka prosedurnya disebut penelusuran banjir. Penelusuran banjir secara hidraulik adalah salah satu cara penelusuran aliran yang memperhitungkan perubahan parameter kecepatan aliran dan debit sebagai fungsi dari tempat dan waktu. Hitungan penelusuran Banjir secara hidraulik dilakukan dengan menggunakan software HEC-RAS. HEC-RAS adalah pemodelan sistem sungai yang disusun untuk menangani perhitungan hidraulik satu dimensi untuk sistem saluran alam maupun saluran buatan (HEC, 2002). Terkait penanggulangan banjir, model HEC- RAS digunakan untuk menentukan elevasi profil muka air dan kecepatan banjir sebagai dasar perencanaan bangunan pengendali banjir. HEC-RAS merupakan program aplikasi untuk memodelkan aliran di sungai, River Analysis System (RAS), yang dibuat oleh Hydrologic Engineering Center (HEC) yang merupakan satu divisi di dalam Institute of Water Resources (IWR), di bawah US

(22)

Army Corps of Engineers (USACE). HEC-RAS merupakan model satu dimensi aliran langgeng maupun tidak langgeng (steady and unsteady one-dimensional flow model). 2.5.2 Kapasitas Saluran

Menurut (Heri, 2014) debit pada suatu penampang untuk saluran sembarang aliran dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian kecepatan rata-rata dan luas penampang melintang tegak lurus arah aliran (luas basah). Oleh karena itu, menghitung kapasitas saluran digunakan persamaan kontinuitas:

Q = v.A ... (2-22) Dimana :

Q = Debit saluran (m3/det)

v = Kecepatan aliran dari Manning (m/det) A = Luas penampang (m2)

Sedangkan untuk menghitung kecepatan aliran digunakan rumus Manning, persamaannya :

v = 𝑅 𝑆 ... (2-23) Dimana : v = Kecepatan aliran (m/det)

n = Kekasaran Manning R = Jari-jari hidrolis (m) S = Kemiringan Saluran (m/m)

(23)

Tabel 2.5 Angka Kekasaran Manning untuk Saluran Alam

2.6 Pengendalian Banjir

Pengendalian banjir jangka panjang mempunyai target waktu penyelesaian sistem pengendalian banjir dimaksudkan untuk mengendalikan debit banjir dengan periode ulang dan debit tertentu, setelah semua kegiatan dan bangunan banjir selesai.

(24)

Urutan/prioritas tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan maupun kondisi setempat, namun secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut : (Kodoatie J. Robert : 2013)

Dalam hal ini ada dua cara penanggulangan banjir yaitu struktural dan nonstruktural. Dalam studi kali ini akan menggunakan dua metode dan cara yaitu : a. Metode nonstruktural yaitu dengan cara mengangkat sedimen yang ada pada

sungai agar sungai dapat berfungsi secara optimum kembali. Hal ini disebut normalisasi yaitu pengembalian penampang sungai sebelum terjadi pengendapan sedimen.

b. Metode struktural yaitu dengan cara pembangunan tanggul di sekitar sungai agar tidak terjadi luapan. Pembuatan tanggul hanya dilakukan apabila metode nonstruktural telh dilakukan namun masih terjadi banjir limpasan.

Bila tahap demi tahap pekerjaan pengendalian banjir selesai, maka tingkat debit banjir yang dapat diatasi akan naik. Sehingga pada pekerjaan tahap akhir selesai, sistem pengendalian banjir dapat berfungsi seperti yang direncanakan.

2.6.1 Perencanaan Tanggul

Tanggul adalah bangunan pengendali sungai yang dibangun dengan persyaratanteknis tertentu untuk melindungi daerah sekitar sungai terhadap limpasan air sungai. Yang perlu diperhatikan dalamperencanaan tanggul adalah lebar tanggul dan elevasitanggul. Ketentuan seperti tercantum dalam tabel.

Tabel 2.6 Syarat Tinggi Jagaan Tanggul

No Debit Banjir Rencana (m3/dt) Jagaan (m)

1 Kurang dari 200 0.6 2 200-500 0.8 3 500-2000 1.0 4 2000-5000 1.2 5 5000-10000 1.5 6 10000 atau lebih 2.0

(25)

Tabel 2.7 Syarat Lebar Jagaan Tanggul Debit Rencana (m3/det) Lebar Tanggul (m) Q < 200 3,0 200<Q<500 4,0 2000<Q<5000 5,0 5000<Q<10000 6,0 2.6.2 Stabilitas Tanggul

a. Stabilitas terhadap rembesan

Stabilitas rembesan dengan garis depresi saat terjadi banjir, saat air naik maka akan ada rembesan yang terjadi pada tanggul. Untuk itu perlu dilakukan analisa stabilitas terhadap rembesan, dalam hal ini menggunakan metode A. Casagrande. Metode ini menghitung rembesan lewat tubuh tanggul di dasarkan pada pengujian model. Parabola AB (Gambar) berawal dari titik A’ seperti pada gambar, dengan A’A = 0,3 (AD).

Gambar 2.4 Garis Depresi Rembesan Prosedur untuk mencari debit rembesan, sebagai berikut :

 Tentukan nilai perbandingan antara d/H

 Tentukan nilai kemiringan tanggul yang direncanakan  Debit rembesan q = ka sin2 α

(26)

b. Stabilitas terhadap longsor

Longsoran atau land slide adalah pergerakan tanah secara perlahan – lahan melalui bidang longsoran karena tidak stabil terhadap gaya yang bekerja. Untuk itu perlu dilakukan analisa terhadap kelongsoran yaitu dengan membagi bidang longsor dalam beberapa segment/ bagian, semakin kecil segment maka akan semakin teliti. Metode ini menggunakan metode irisan yang di asumsikan berbentuk lingkaran dengan pusat O dan jari-jari R.

Gambar 2.5 Gaya-gaya yang bekerja pada irisan Keterangan :

O = Titik pusat longsor R = Jari – jari bidang longsor W = Berat segmen / irisan τ = Gaya geser

U = Gaya akibat tekanan pori

N atau Cos α dan U = Gaya tegak lurus bidang longsor Sin α dan τ = Gaya searah bidang longsor

(27)

 Faktor keamanan

Adapun persamaan untuk angka keamanan dari metode irisan bidang luncur adalah sebagai berikut :

a. Kondisi Gempa Fs = ( ) ( ) > 1,2 ... (2-24) b. Kondisi Normal Fs = ( ) ( ) > 1,5 ... (2-25) Dimana : Fs = faktor keamanan

N = Beban komponen vertikal yang timbul dari berat tiap irisan bidang luncur = γ . A . Cos α

T = Beban komponen horizontal yang timbul dari berat tiap irisan bidang luncur = γ . A . Sin α

U = Tekanan air pori yang terjadi pada irisan

Ne = Komponen vertikal beban seismis yang timbul dari berat tiap irisan Te = Komponen horizontal beban seismis yang timbul dari berat tiap irisan Ø = Sudut geser dalam

I = Panjang dasar irisan C = Kohesi

A = Luasan tiap irisan γ = Berat jenis tanah

Gambar

Gambar 2.1 Poligon Thiessen
Gambar 2.2 Metode Isohyet
Tabel 2.2 Nilai kritis untuk Chi-Square
Tabel 2.3 Kala Ulang Berdasarkan Tipologi Kota
+6

Referensi

Dokumen terkait

Metode interpolasi membutuhkan perhitungan iterasi yang lebih singkat dari metode setengah interval.. Metode ini biasa juga disebut metode

Tujuan penelitian ini merupakan tolak ukur untuk menjawab semua permasalahan yang telah dirumuskan.Pada dasarnya, ada dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu tujuan

Turner &amp; Helms (1995) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, antara lain jumlah interaksi yang efektif antara pasangan, kepribadian pasangan

Perancangan media pembelajaran berupa papan permainan ini memiliki tujuan untuk memberikan sebuah alternatif media pembelajaran yang dapat menumbuhkan rasa cinta

Kepatuhan. 5) Dalam hal terdapat perubahan informasi yang cenderung bersifat cepat ( prone to rapid change ) antara lain terkait perubahan kondisi ekonomi,

Sedangkan hasil pengukuran kelelahan berdasarkan pemberian larutan gula garam dengan kebanyakan pekerja berada dalam tingkat kategori kelelahan ringan sebanyak 76 % dan

yang digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi CIPP ( context, input, process dan product ), namun demikian kegiatan evaluasi yang dilaksanakan terhadap

Dalam hal ini , seseorang yang memiliki kinerja adalah seseorang yang mencapai tujuan dari pekerjaan yang dilakukannya. Pengertian kinerja ini sejalan