• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan)"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada:

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh :

SUHANIK TRI ASTUTI NIM. 243 022 077

Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) PONOROGO

(2)

Nama : SUHANIK TRI ASTUTI

NIM : 243022077

Judul Skripsi : Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali (Tinjauan Filsafat Pendidikan)

Pada dasarnya tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi kholifah Allah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, maka untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut perlu adanya proses pendidikan. Pendidikan adalah sebagai alat untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal yaitu mencapai kemajuan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu pendidikan sebagai penggalian dan pengembangan fitrah manusia. Sehingga anak didik memperoleh kemahiran dan keahlian yang sesuai dengan bakat dan tujuan pendidikan yang diharapkan.

Masalah tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan perbuatan mendidik bisa sesat. Karena itu perumusan tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan filosofi. Sebab di dalam tujuan setiap bentuk pendidikan secara implisit dan eksplisit terkandung pandangan hidup serta filsafat hidup pendidiknya dan lembaga yang mendidik. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh filosof muslim yang mempunyai kontribusi besar terhadap dunia pendidikan.

Berpijak dari latar belakang diatas maka permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) Bagaimana pendidikan Islam menurut Al-Ghazali, (2) Bagaimana tinjauan filsafat pendidikan terhadap tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali.

Skripsi ini merupakan jenis penelitian pustaka (Library Research) dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode dokumentasi dengan teknik analisis datanya menggunakan proses penyimpulan induktif dan deduktif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa “Taqarrub pada Allah” adalah tujuan pendidikan yang utama. Hal tersebut dapat dicapai dengan ilmu, karena menguasai ilmu adalah sebagai medium untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Pendekatan filosofis adalah salah satu cara untuk menelaah dan memecahkan

(3)
(4)

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN NOTA DINAS ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

ABSTRAKSI ... ix

DAFTAR ISI... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ... 1

B. Definisi Istilah... 5 C. Rumusan Masalah... 6 D. Tujuan Penelitian ... 6 E. Manfaat Penelitian ... 7 F. Metode Penelitian ... 7 G. Sistematika Pembahasan... 11

BAB II : FILSAFAT PENDIDIKAN A. Pengertian Filsafat Pendidikan ... 13

(5)

BAB III : TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI

A. Biografi Al-Ghazali ... 40 B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali ... 46 C. Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali... 56 BAB IV : ANALISA TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT

AL-GHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan)

A. Analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ... 67 B. Analisa Tinjauan Filsafat Pendidikan terhadap Tujuan

Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ... 69 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 76 B. Saran-saran... 77 DAFTAR PUSTAKA

(6)

A. Latar Belakang

Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat.

Pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah sebagai “sunnatullah”.

Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia, aspek rohaniah dan jasmaniah juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhan.1

Pekerjaan mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju kearah tujuannya. Karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan dalam prosesnya. Lebih-lebih

1

Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 12.

(7)

pekerjaan mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis manusia didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu.2

Tidak ada satupun makhluk ciptaan Tuhan di atas bumi yang dapat mencapai kesempurnaan atau kematangan hidup tanpa melalui suatu proses. Akan tetapi suatu proses yang diinginkan dalam usaha kependidikan adalah proses yang terarah dan bertujuan.

Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam.

Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensif. Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah dalam hidup dan kehidupan dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia.

2

(8)

Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan.3

Masalah-masalah tersebut diatas antara lain adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta. Namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh sains melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.

Tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup dan pandangan hidup individu maupun masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan. Pendidikan tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami tujuan akhirnya. Sehingga hanya tujuanlah yang dapat ditentukan terlebih dahulu dalam pendidikan. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai manusia individual dan sosial serta hamba Tuhan yang mengabdikan diri kepada-Nya.

3

(9)

Firman Allah di bawah ini merupakan bukti bahwa melalui observasi studi ilmiah manusia akan menemukan Tuhannya:

!"!#!$ !%&'()(*&+!, -!./$ /0/1/2$ !3&4!5 &6!7/8(9

:;<

-!./$!' /=>!?@A.$ !3&4!5

&6!B/#(C

:;<

-!./$!' /;>!D/E&.$ !3&4!5 &6!D/F(G

:;<

-!./$!' /H&C!I$ !3&4!5

&6!J/K(L

:;<

&)M5!N!#

:;<

>!?@G/$ !6&G!$ &)M5!N(O.

Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit bagaimana Ia tinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana Ia tegakkan? Dan bumi bagaimana Ia hamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.4 (QS. Ghasyiah:17-20) Imam Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia muslim. beliau terkenal sebagai ahli pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim yang lain (pada masanya). Sehingga dia juga termasuk tokoh besar filosof muslim yang hakekatnya tak dilepaskan dari kemajuan yang dicapai di zamannya.

Merujuk dari uraian diatas dalam hal ini tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali. Apakah masih bisa dijadikan pedoman kooperatif praktis untuk senantiasa memberi hasil guna baik bagi keperluan menciptakan lapangan kerja baru maupun membina sikap hidup kritis dan pola tingkah laku baru serta kecenderungan-kecenderungan baru.

Berangkat dari permasalahan tersebut. karena Al-Ghazali adalah seorang filosof muslim apakah sama tujuan pendidikannya jika dipandang dari filsafat pendidikan secara umum. Mengingat pendidikan asalah proses

4

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Gema Risalah, 1993), 1055.

(10)

hidup dan kehidupan umat manusia. Maka tujuannya pun mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan zaman.5 Sehingga dalam filsafat timbulah berbagai aliran yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap tujuan pendidikan.

Dari permasalahan diatas maka penulis memproyeksikan ke dalam karya ilmiah ini dengan judul “Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali (Tinjauan Filsafat Pendidikan)”.

B. Definisi Istilah

Definisi istilah diperlukan apabila diperkirakan akan timbul perbedaan pengertian atau kekurang jelasan makna seandainya penegasan istilah tidak diberikan. Definisi istilah lebih dititik beratkan pada pengertian secara komprehensif terhadap istilah dalam judul skripsi,6 yaitu:

1. Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau kelompok orang yang melakukan suatu kegiatan.7

2. Pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial untuk mengarahkan potensi dasar (fitrah) maupun ajar

5

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 162.

6

(11)

sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berdasarkan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat.8

3. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan.9

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan judul skripsi di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali?

2. Bagaimana tinjauan filsafat pendidikan terhadap tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai, adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui, pemikiran Al-Ghazali tentang tujuan pendidikan

Islam.

2. Untuk mengetahui tinjauan filsafat pendidikan terhadap tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali.

7

Djamaluddin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 14.

8

(12)

E. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Pembahasan skripsi ini diharapkan bisa menambah wawasan penulis dalam memahami kajian keislaman serta dapat digunakan menambah literatur bagi khazanah ilmiah dunia pendidikan.

2. Secara Praktis

Hasil kajian ini diharapkan mampu meningkatkan profesionalitas pendidik dan peserta didik pada khususnya serta masyarakat pada umumnya dalam memahami dan menerapkan tujuan pendidikan Islam secara tepat yang nantinya dapat meningkatkan kualitas pendidikan Islam.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Merujuk pada judul yang telah dikemukakan di atas, maka karya ilmiah ini termasuk dalam kategori kajian kepustakaan (library research) yaitu bentuk tampilan argumentasi penalaran keilmuan yang menjelaskan hasil studi pustakawan dan alam fikir peneliti tentang suatu

9

Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi, 1997), 14.

(13)

persoalan. Noeng Muhajir mengidentikkan istilah ini dengan studi teks.10

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini terdiri dari:

a. Sumber data primer

1) Imam Al-Ghazali, Terjemahan Ihya’ Ulumiddin jilid V. Alih bahasa Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1994. 2) Imam Al-Ghazali, Terjemahan Ihya’ Ulumiddin jilid I. Alih

bahasa Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, tt.

3) Imam Al-Ghazali, Munqidh Min Ad-Dhalal, Surabaya: Pustaka Progresif, 2001.

b. Sumber data sekunder

1) Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

2) Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

3) Abuddin Nata, Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

10

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rekesarian, 1996), 159.

(14)

4) Umar Tri Rahardja, La Sula, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

5) Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.

6) Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

7) Prasetya, Filsafat Pendidikan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.

8) Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003.

9) Ali Saifulloh, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, tt.

10) Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986.

11) Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.

12) Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

13) Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi, Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.

(15)

3. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu metode pengumpulan data yang tepat untuk digunakan adalah metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan atau tulisan, surat kabar, majalah atau jurnal dan sebagainya.11

4. Analisa Data

Data-data tersebut dianalisa menggunakan beberapa metode, yaitu:

a. Metode Induksi

Suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau masalah yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum.12

b. Metode Deduksi

Suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus.13

11

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 234.

12

Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 57.

13

(16)

Adapun teknik pengolahan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah model analisis isi (content analysis). Content analysis menurut krippendorf dipakai untuk membuat inferensi yang dapat diteliti ulang dan valid dari data berdasarkan konteksnya.14 Pada analisis data, peneliti melewati tiga fase yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan dengan cara memilih dan memilah data yang diperoleh sehingga mendapatkan data yang diperlukan atau sesuai dengan fokus penelitian. Sehingga data terpilah sesuai dengan fokus penelitian, kemudian data dipaparkan sesuai dengan tema-tema pengelompokan. Data-data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif kualitatif.

G. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini disusun dalam sistematika yang terdiri dari 5 bab dan masing-masing bab saling berkaitan erat yang merupakan kesatuan yang utuh, yaitu:

Bab satu, pendahluan. Bab ini berfungsi untuk memaparkan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Definisi Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

14

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rekesarian, 1996), 49.

(17)

Bab dua, membahas Filsafat Pendidikan yang berfungsi sebagai landasan teori untuk mengetengahkan kerangka acuan teori yang dipergunakan sebagai landasan melakukan penelitian terdiri dari: Pengertian Filsafat Pendidikan, Ontologi Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan, Aliran-aliran Filsafat Pendidikan, Peranan Filsafat Pendidikan.

Bab tiga, memaparkan tentang tujuan Pendidikan Islam menurut Ghazali yang terdiri dari: Biografi Ghazali, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali.

Bab empat, tentang analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali (Tinjauan Filsafat Pendidikan) yang terdiri dari: Analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali, Analisa Tinjauan Filsafat Pendidikan Terhadap Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali.

Bab lima, penutup. Bab ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi pembaca yang mengambil intisari dari skripsi yang berisi kesimpulan dan saran.

(18)

RANCANGAN DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN NOTA DINAS ... HALAMAN MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN ... KATA PENGANTAR ... ABSTRAKSI ... DAFTAR ISI ... BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah ... B. Definisi Istilah... C. Rumusan Masalah... D. Tujuan Penelitian... E. Manfaat Penelitian ... F. Metode Penelitian ... G. Sistematika Pembahasan ... BAB II : FILSAFAT PENDIDIKAN

A. Pengertian Filsafat Pendidikan ... B. Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan ..

(19)

C. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan ... D. Peranan Filsafat Pendidikan ... BAB III : TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI

A. Biografi Al-Ghazali ... B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali ... C. Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ... BAB IV : ANALISA TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT

AL-GHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan)

A. Analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ... B. Analisa Tinjauan Filsafat Pendidikan terhadap Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ... BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran-saran... DAFTAR PUSTAKA

(20)

A. Pengertian Filsafat Pendidikan 1. Filsafat

Filsafat sacara etimologis berasal dari bahasa Yunani “Philosophia”. Philos artinya suka, cinta atau kecenderungan pada sesuatu. Sedangkan shopia artinya kebijaksanaan. Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan.1

Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Maka tidak mustahil kalau banyak diantara para ahli filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. a. Plato (472 SM-347 SM) seorang filsuf Yunani, yang termasyhur

murid Socrates dan guru Aritoteles mengatakan Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.

b. Aristoteles (382 SM-322 SM) mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung

1

Rizal Mustansyar dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 2.

(21)

ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asal segala benda)

c. Al-Farabi (wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibnu Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.2

d. Ibnu Rusyd (1126-1198 M) Berpendapat bahwa filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan “Otonom”, yang perlu di kaji oleh manusia karena ia dikaruniai akal.3

e. Harold Titus mengemukakan makna filsafat yaitu:

1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta.

2) Filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif dan penelitian penalaran.

3) Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah.

4) Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berfikir.4

Berfilsafat berarti berfikir, tetapi tidak semua berfikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berfikir yang dikategorikan berfilsafat adalah apabila berfikir tersebut mengandung tiga ciri, yaitu radikal, sistematif dan universal. Seperti yang dijelaskan oleh Sidi Gazala yaitu:

a. Adanya unsur berfikir dalam hal ini menggunakan akal.

2

A. Mustpfa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka setia, 1997), 10.

3

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 6.

4

(22)

b. Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berfikir tersebut. c. Adanya unsur ciri yang terdapat dalam pikiran tersebut yaitu

mendalam.5

Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia memiliki peran yang penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai, kearifan dan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan dan menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kehidupan.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berfikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan peristiwa yang pelik dari pengalaman umat manusia. Dengan kata lain filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang pokok yang ditelaahnya.

5

(23)

2. Pendidikan

Dalam Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan “pen” dan akhiran “an”. Kata tersebut mempunyai arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya).6

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Kenyataannya, pengertian pendidikan ini selalu mengalami perkembangan, meskipun secara esensial tidak jauh berbeda. berikut ini akan dikemukakan sejumlah pengertian pendidikan yang diberikan oleh para ahli yaitu:

a. John Dewey

Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia.7

b. Langeveld

Pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.

6

(24)

Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa.

c. J. J. Rousseau

Pendidikan adalah memberi kata perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.8

d. Ahmad D. Marimba

Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pendidikan dalam hal ini adalah: 1) Usaha (kegiatan) usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau

pertolongan) dan dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik atau pembimbing.

3) Ada yang dididik atau si terdidik.

4) Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan. e. Ki Hajar Dewantara

7

Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, tt), 134.

8

Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 2.

(25)

Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.9

Dari beberapa pengertian atau batasan pendidikan tersebut meskipun berbeda secara redaksional namun secara essensial terdapat kesatuan unsur-unsur atau faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik tujuan dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat pendidikan secara sederhana adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan.

Menurut Al-Syaibany filsafat pendidikan adalah “pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan, filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan menitikberatkan kepada pelaksanaan prinsip-prinsip dan

9

(26)

kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar. Dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah, pendidikan secara praktis.10

Filsafat pendidikan berdasarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat.

B. Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan

Dalam uraian tentang definisi filsafat dijelaskan bahwa objek filsafat ialah segala sesuatu, meliputi kesemestaan. Scope filsafat yang amat luas dan tak terbatas obyeknya itu pelu adanya pembidangan untuk intensifikasi penyelidikan.

Salah satu cara untuk mempelajari filsafat pendidikan ialah melakukan penyelidikan filosofis tentang pendidikan. Dalam garis besarnya ada 3 cabang yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut:

1. Ontologi

Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “on” atau “ontos”: ada dan “logos”: ilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah ontologi ialah ilmu yang membahas tentang

10

(27)

hakikat yang ada merupakan “Ultimate Reality baik yang berbentuk jasmani atau kongkret maupun rohani atau abstrak”.11

Ontologi juga bisa disebut dengan metafisika. Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakikat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia ada 2 pandangan yaitu: (Callahan, 1983)

Manusia pada hakikatnya adalah spiritual yang ada jiwa atau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri.12

Metafisika disebut juga sebagai prote filosofia atau filsafat pertama. Sebelum manusia menyelidiki yang lain manusia berusaha mengerti hakekat sesuatu. Manusia dalam interaksinya dengan semesta raya melahirkan pertanyaan filosofis. Apakah realita itu terbentuk atas satu unsur (monoisme) atau dua unsur (dualisme) ataukah lebih dari dua unsur yakni serba banyak.13

Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan metafisika atau ontologis. Pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah utama di dalam pendidikan. Sebab anak bergaul dengan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti

11

Bakhtiar, Filsafat…, 131.

12

Made Pidarta, Landasah Kependidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 77.

13

Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan

(28)

sesuatu. Baik di masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita baik berupa benda mati, benda hidup dan asas-asas pandangan religius.

2. Epistimologi

Sedemikian jauh dunia pendidikan dianggap sebagai proses penyerahan kebudayaan umumnya khususnya ilmu pengetahuan. apakah sesungguhnya ilmu itu darimana sumber ilmu itu, bagaimana proses terjadinya dan sebagainya. Inilah urusan Epistimologi.

Epistimologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut:

a. Ada lima sumber pengetahuan yaitu:

1) Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus dan tabel.

2) Cammon sense yang ada pada adat dan tradisi. 3) Intuisi yang berkaitan dengan perasaan.

4) Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman.

5) Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.

b. Ada 4 teori kebenaran yaitu:

1) Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan kebenaran umum.

(29)

2) Koresponden, sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan.

3) Pragmatisme, sesuatu akan dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.

4) Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.14

3. Aksiologi

Aksiologi adalah studi tentang nilai.nilai adalah sesuatu yang berharga.15 Brameld membedakan tiga bagian di dalam aksiologi ini sebagai berikut:

a. Moral Conduct tindak moral bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika.

b. Esthetic Expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. c. Socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan

ilmu filsafat sosio politik.

Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak.16

14

Pidarta, Landasan…., 77.

15

Prasetya, Filsafat Pendidikan (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 135.

16

(30)

C. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan

Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun masa depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan IPTEK. Pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan pendidikan disebut “Aliran-aliran Filsafat Pendidikan”.17 Agar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah

1. Filsafat Pendidikan Idealisme

Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi bukan fisik. Parminides, filosof dari Elea (Yunani) berkata “Apa yang tidak dapat dipikirkan adalah tidak nyata”. Plato seorang filosof idealisme klasik (yunani) menyatakan bahwa realitas terakhir adalah dunia cita. Dunia cita merupakan dunia mutlak, tidak berubah dan asli serta abadi. Realitas akhir tersebut sebetulnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia.18

Termasuk dalam paham idealisme adalah spiritualisme, rasionalisme dan supernaturalisme. Bagi penganut aliran idealisme

17

Umar Tri Rahar dja La Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 2000), 191.

18

(31)

fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Oleh karena itu, jasmani atau badan sebagai materi merupakan alat jiwa, alat roh. Untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa manusia.

Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya yakni apa yang disebut “Mind”. Mind merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Jiwa (mind) merupakan faktor utama yang mengerakkan semua aktifitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak memiliki apa-apa.19

Filsafat idealisme diturunkan dari filsafat idealisme metafisik yang menekankan pertumbuhan rohani. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitesnya. Oleh karena itu pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuaian batin antara anak dan alam semesta (Kneller). Menurut Horne pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dan perkembangan mental maupun fisik, bebas dan sadar terhadap tuhan, dimanefestasikan dalam lingkungan intelektual, emosional dan berkemauan. Pendidikan merupakan pertumbuhan kearah tujuan yaitu pribadi manusia yang ideal.

19

(32)

Socrates, Plato dan Kant yakin bahwa pengetahuan yang terbaik adalah pengetahuan yang dikeluarkan dari dalam diri siswa, bukan dimasukkan atau dijejalkan kedalam diri siswa. pendidikan dipusatkan pada usaha merealisasi potensi-Hereditas.20

Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, dimana tujuan itu berada di luar kehidupan sekarang ini. Tujuan pendidikan idealisme akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan.

Di dalam pendidikan Islam, pendidikan yang benar adalah yang memberikan kesempatan kepada keterbukaan terhadap pengaruh dari dunia luar dan perkembangan dari dalam diri anak didik.21 Sesuai dengan firman Allah:

!"!#!$!% &'()*!+ !,)-./!0)#!1!2 )3.451&!678.9 5,)-.:.; )<58 )3.4!$!=)>!9 .?9!%

!,)%.=.4)@!1 )3.470!#!A 5B!C5()D!E9!% !F&!G);!E9!% !H)/7IA9 .3.4!A

.

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl: 78).22

20

Syam, Filsafat…, 43.

21

Muzzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 18.

22

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Gema Risalah press,1993), 413.

(33)

Dengan demikian fitrah itu diberi hak untuk membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan faktor dari luar akan mendidik dan mengarahkan kemampuan dasar (fitrah) anak.

2. Filsafat Pendidikan Materialisme

Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual atau supernatural. Demokritos (460-360 SM) merupakan pelopor pandangan materialisme klasik yang disebut “atomisme”. Demokritos beserta para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak sehingga dengan demikian membentuk realitas pada panca indera kita.

Karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang (Randall, 1942). Asumsi tersebut menunjukkan bahwa:

a. Semua sains seperti Biologi, Kimia, Psikologi, Fisika, Sosiologi, Ekonomi dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat).

(34)

b. Apa yang dikatakan “jiwa” (Mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat syaraf, atau organ-organ jasmani yang lainnya. c. Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup,

keindahan dan kesenangan, serta kebebasan hanyalah sekedar nama-nama atau semboyan, simbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi semua fenomena baik fenomena sosial maupun fenomena psikologi adalah merupakan bentuk-bentuk tersembunyi dari realitas fisik. Hubungan-hubungannya dapat berubah secara kausal.23

Lud Wig Feverbach (1804-1872) mencanangkan suatu metafisika materialistis, suatu etika yang humanistis dan suatu epistimologi yang menjunjung tinggi pengenalan indrawi. Oleh karena itu, ia ingin mengganti idealisme Heggel (guru Feverbach) dengan materialisme. Jadi menurut Feverbach yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan kepada Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidak puasan manusia untuk mencapai cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud di luar dirinya yang dikhayalkan memiliki kesempurnaan, yang merupakan sumber kebahagiaan manusia,

23

(35)

suatu wujud bahagia secara absolut. Oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri, secara maya padahal wujudnya tidak ada.24

Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai landasan berpikir “positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya. Jumlah itu dapat diukur. Oleh karena itu, segala yang tidak dapat diamati dan diukur secara ilmiah berarti tidak dapat dipelajari secara positif.

Sebagai aliran yang dilandasi positivisme materialisme mengabaikan faktor intrapsikhis. Hal ini berarti dalam proses belajar tidak berorientasi pada apa yang terdapat dalam diri siswa (misalnya, harapan siswa, potensialitas siswa, kemampuan siswa dan sebagainya). Tujuan pendidikan bersifat eksternal dalam arti ditentukan dan dirumuskan oleh lingkungan, tanpa memperhitungkan faktor internal siswa yang belajar.25

Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidikan (proses belajar) menekankan pentingnya ketrampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar.

24

(36)

3. Filsafat Pendidikan Pragmatisme

Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda baik dalam metodologi maupun kesimpulannya. Pragmatisme Peirce dilandasi oleh Sains Fisika dan Matematika, sedang filsafat Dewey dilandasi oleh Sains-Sains Sosial dan Biologi. Sedangkan James adalah personal dan psikologis.

Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.

Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah instrumentalisme dan eksperimentalisme. Disebut instrumentalisme karena menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk

25

(37)

mencapai tujuan berikutnya. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya.26

John Dewey mengemukakan kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan, yaitu:

a. Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan intrinsik anak didik.

b. Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung. c. Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung. Pendidikan harus

tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir.27

Tujuan pendidikan menurut pragmatisme bersifat temporer karena tujuan itu merupakan alat bertindak. Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikannya.

4. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Filsafat eksistensialisme itu unit yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia

26

(38)

dan nilai. Di sisi lain eksistensialisme memberi individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan apa maknanya bagi saya. Apa yang benar untuk saya. Secara umum eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan konkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas.

Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika. Mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri dan mengembangkan komitmen diri.28

Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkeguard (Denmark, 1813-1855). Inti masalah yang menjadi pemikiran eksistensialisme adalah sekitar apa kehidupan manusia? Apa pemecahan yang kongkret terhadap makna “eksis” (berada) dari manusia.29

Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya manusia benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri dan juga tidak terdapat komunikadi antar satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan

27 Ibid., 129. 28 Pidarta, Landasan…, 93. 29 Sadullah, Pengantar…, 135.

(39)

beradanya manusia. Manusia berada bersama manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia.

5. Filsafat Pendidikan Progressivisme

Menurut progresivisme proses pendidikan mempunyai dua segi yaitu pasikologis dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga atau daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga itu harus dibimbingnya.

Dewey mengatakan bahwa tenaga itu harus diabdikan pada kehidupan sosial. Jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah sebuah lembaga sosial. Pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik.

Tujuan umum pendidikan adalah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang studi IPA, Sejarah, Ketrampilan serta hal-hal yang langsung dirasakan oleh masyarakat.30

30

Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan

(40)

6. Filsafat Pendidikan Perenialis

Perenialis merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke duapuluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis menentang pandangan progreeivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.

Aliran perenialisme beranggapan bahwa pendidikan harus didasari nilai-nilai kultural masa lampau “regressive road to cultural” (menapaki kembali jalan kebudayaan lama). Oleh karena kehidupan modern saat sekarang banyak menimbulkan krisis dalam banyak bidang kehidupan.31

Pengaruh Plato dan pikiran Aristoteles besar sekali terhadap perkembangan aliran ini. seperti orientasi pendidikan ditujukan kepada potensi dan masyarakat agar kebutuhan setiap masyarakat dapat dipenuhi.

Aristoteles orientasi pendidikan ditujukan kepada “kebahagiaan melalui pengembangan kemampuan-kemampuan rohaniah seperti emosi dan kognisi serta jasmaniah manusia”. Dengan rumusan berbeda, Thomas Aquinas memberikan rumusan tujuan pendidikan sebagai usaha

31

(41)

untuk merealisasikan kapasitas dalam tiap individu manusia sehingga menjadi aktualitas.32

Dari uraian di atas tujuan dari pendidikan menurut pemikiran perenialis adalah memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan besar yang tidak berubah. Dunia alamiah dan hakekat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selama berabad-abad.

7. Filsafat Esensialisme

Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan beberapa orang pelopornya seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell, pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “the esensialist sommite for the advan coment of American education”. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda.33

Tekanan pendidikannya adalah pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang.34

32 Ibid., 167. 33 Sadullah, Pengantar…, 158. 34 Pidarta, Landasan…, 90.

(42)

Selain merupakan warisan budaya tujuan pendidikan esensialisme adalah “mempersiapkan manusia untuk hidup”. Namun hidup tersebut sangat kompleks dan luas. Sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut berada di luar wewenang sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi untuk mempersiapkan hidup tersebut. kontribusi sekolah terutama bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, terutama tujuan pelajaran yang dapat bertanggung jawab yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan manusia hidup.

8. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme

Sebagaimana dinyatakan oleh Caroline Pratt (1987), seorang rekonstruksionis sosial yang berpengaruh periode itu. nilai terbesar suatu sekolah harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat berpikir secara efektif dan bekerja secara konstruktif yang saat bersamaan dapat membuat dunia yang lebih baik dibandingkan sekarang ini.

Aliran rekonstruksi beranggapan bahwa usaha melakukan restorasi kehidupan manusia perlu didukung oleh kesepakatan semua orang tentang tujuan utamanya yaitu untuk mengatur tata kehidupan umat manusia dalam pola tatanan yang baru.35

35

(43)

D. Peranan Filsafat Pendidikan

Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan ini secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh menuju ke tingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan misalnya, iklim, makanan.

Masalah tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan perbuatan mendidik bisa sesat. Karena itu perumusan tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan teoritis pedagogis dan perenungan filosofi. Sebab did alam tujuan setiap bentuk pendidikan secara implisit dan eksplisit terkandung pandangan hidup serta filsafat hidup pendidiknya dan lembaga yang mendidik atau negara.36

Selain orientasi filosofis yang digambarkan pada bagian sebelumnya beberapa aliran pemikirna psikologis telah membentuk basis untuk filsafat pendidikan khususnya dalam pengajaran. Teori-teori psikologis merupakan pandangan-pandnagan dunia yang komprehensif yang berfungsi sebagai basis bagi guru dalam pendekatan prkatek pengajaran. Orientasi-orientasi pengajaran pada pokoknya berhubungan dengan pemahaman

(44)

kondisi-kondisi yang di asosiasikan dengan pengajaran efektif. dengan kata lain apa yang memotivasi siswa untuk belajar? yang utama diantara orientasi-orientasi psikologis yang telah mempengaruhi filsafat pengajaran antara lain tersimpul di dalam pandangan.

1. Teori (Hukum) Empirisme

Ajaran filsafat empirisme yang dipelopori John Locke (1632-1704) mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, terutama pendidikan. John Locke berkesimpulan bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang “menulisi” kertas putih itu. teori ini dikenal sebagai teori tabularasa atau teori empirisme. Bagi John Locke faktor pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Karena lingkungan itu relatif dapat diatur dan dikuasai manusia. Maka teori ini bersifat optimis dengan tiap-tiap perkembangan pribadi.37

36

Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1977), 17.

37

(45)

2. Teori (Hukum) Nativisme

Aliran nativisme bertolak dari Leibnitzion Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak. sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak lahir. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. hasil pendidikan tergantung pada pembawaan. Schopen Haver (filsuf Jerman, 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.38

3. Teori (Hukum) Konvergensi

Perintis teori ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama,

38

(46)

mempunyai peranan yang sangat penting.39 Suatu kenyataan bahwa potensi hereditas yang baik saja, tanpa pengaruh lingkungan (pendidikan) yang positif tidak akan menghasilkan kepribadian ideal. Sebaliknya, meskipun lingkungan (pendidikan) yang positif dan maksimal, tidak akan menghasilkan kepribadian ideal tanpa potensi hereditas yang baik. Oleh karena itu perkembangan pribadi sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor baik internal (potensi hereditas) maupun faktor eksternal (lingkungan pendidikan).40

Hukum konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu.

39

Ibid., 198.

40

(47)

A. Biografi Al-Ghazali

Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama, dia termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Al-Ghazali orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat karena beliau dianggap sebagai orang muslim yang paling dekat dengan orang Kristen. Sebelumnya, kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan, karena kaum muslimin terbagi menjadi beberapa kelompok.

Adapun karya terpentingnya Al-Ghazali adalah “Ihya’ Ulumuddin”. Yang mana para fuqaha menilai bahwa buku ini hampir mendekati kedudukan Al-Qur’an. Buku lainnya yaitu “Al- Munqidz Min Ad-Dhalal”, dalam buku ini beliau merekam perjalanan hidupnya sendiri, mengenai pengembaraan ruhaninya. Beliau memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan penyingkapan berbagai hakikat.1

Selain itu beliau tergolong ulama yang taat berpegang kepada Al-Qur’an dan sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari pengetahuan umum seperti ilmu kalam,

(48)

filsafat, fiqih dan tasawuf. Dan juga beliau adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan sehingga tidak mengherankan jika ia memiliki konsep pendidikan.2

1. Latar Belakang Keluarga

Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Muhammad, kemudian mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H atau 1050 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan Persia. Ia keturunan Persia dan mempunyai darah Khurasab, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahiraz.3 Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z) artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah tukang pintal benang wol, sedangkan yang biasa ialah Ghazali (satu z) diambil dari kota Ghazalah nama kampung kelahirannya.4

Ayahnya adalah seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama. Menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Ia (ayah Al-Ghazali) sering berdo’a kepada Allah SWT. agar diberikan anak yang

1

Husayn Ahmad Ainin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), 177-179.

2

Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat

Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarta, 2000), 85.

3

Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 7.

4

Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 9.

(49)

pandai dan berilmu. Akan tetapi belum sempat menyaksikan (menikmati) jawaban Allah SWT (karunia) atas do’anya ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih anak-anak.5

Ayah Al-Ghazali bernama Muhammad dan ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ayahnya tidak ingin kedua anaknya Ahmad dan Al-Ghazali miskin dari ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu menjelang akhir hayatnya, ia menitipkan kedua anaknya kepada sahabat dekatnya untuk dididik sampai habis harta warisannya.6

2. Latar Belakang Pendidikan

Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali dididik oleh sahabat karib ayahnya sampai harta warisan dari ayah Al-Ghazali habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya karena tidak ada biaya akhirnya beliau dimasukkan ke asrama. Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan dilamun sengsara.7

Dalam menuntut ilmu beliau selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dimasa kanak-kanak beliau belajar pertama di

5

Zainuddin, Seluk Beluk……, 7.

6

(50)

wilayah kelahirannya di Thus, beliau belajar tentang dasar-dasar pengetahuan dan fiqih kepada Ahmad Bin Muhammad Ar-Radzikani.8 Kemudian beliau belajar kepada Abi Nashr Al-Ismaili di Jurjani, tentang tasawuf. Dan akhirnya ia kembali ke Thusia lagi. Hal ini dapat diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya. Beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang sekawanan pembegal dan merampas harta dan bekal yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas Al-Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikannya, akhirnya kawanan perampok merasa iba dan kasihan kepadanya dan mereka mengembalikan kitab-kitab kepadanya.

Setelah peristiwa itu beliau menjadi rajin sekali mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmunya dan berusaha mengamalkannya dan juga menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat yang khusus. Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini Iman Al-Haramain (W.478 H atau 1085 M). dari beliau ini dia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya.

7

Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan

Versi Al-Ghazaly (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), 13.

8

Imam Ghazali, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), 109.

(51)

Imam Ghazali memang orang yang sangat cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi predikat sebagai orang yang memiliki ilmu yang sangat luas bagaikan “Laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun Mughriq)”.9

Setelah gurunya meninggal beliau pergi ke Istana Nidzam Al-Mulk, Menteri Nidzam Al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan, kekayaan ilmu pengetahuan, kefasihan lidah dan kejituan argumentasinya. Akhirnya menteri itu berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas di Bagdad (Perguruan Al-Nidzomiyah). Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Bagdad dan meninggalkan Bagdad untuk menjalani kehidupan sebagai seorang sufi pada tahun 488 H. sambil menunaikan ibadah haji.10 Ketika itu beliau mengalami keraguan yang timbul dalam dirinya setelah beliau mempelajari ilmu kalam yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Beliau ingin mencari kebenaran sejati dan mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra seringkali salah atau berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata tidak memuaskan.

9

(52)

Tasawuflah kemudian yang menghilangkan rasa ragu-ragu dalam dirinya.11 Setelah itu beliau pergi ke Syam dan tinggal di sana sebagai seorang zahid hidup serba ibadah dan mengembara ke berbagai padang pasir melatih diri mendalami masalah kerohanian dan penghayatan agama.

Di Syam beliau menulis karyanya Ihya’ Ulumuddin, setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis. Kemudian beliau kembali ke Bagdad menuju ke daerah asalnya yaitu Khurosan. Di Khurosan beliau mengajar di Madrasah Al-Nidzamiyah di Narsabur dan juga mengajar di Madrasah Al-Fuqoha. Selain itu beliau juga menjadi Imam ahli agama dan membimbing jama’ah kajian tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama.

Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Bagdad yaitu kitab “Al-Munqidh Minal Ad-Dhalal” (penyelamat dari kesesatan) yang merubah pandangannya tentang sejarah hidupnya di waktu transisi tentang nilai-nilai kehidupan.12 Sekembalinya Imam Ghazali ke Bagdad sekitar sepuluh tahun beliau pindah ke Narsabur dan di sana beliau sibuk mengajar dalam waktu yang tidak lama. Setelah tidak lama beliau

10

Imam Ghazali, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2001), 20.

11

Ghazali, Munqidh….., 177.

12

(53)

meninggal dunia di kota Thusia. Kota kelahirannya pada tahun 505 H atau 1111 M.

Dari uraian diatas dapat kita amati sejarah kehidupannya. Setelah beliau mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan berpuluh-puluh tahun dan telah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, beliau dilahirkan di Thusia dan kembali lagi ke Thusia tempat kelahirannya. Kehidupannya dimulai dengan kehidupan ilmiah sebagai pengajar dan penasehat diakhirinya sebagai guru dan penasehat pula.

B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali

Al-Ghazali adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan. Sehingga tidak mengherankan jika ia memiliki konsep pendidikan. Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan yaitu di dalam buku “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam” karya Abudin Nata tentang tujuan pendidikan kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini:

(54)

1. Tujuan Pendidikan

Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan. Jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akherat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. tujuan ini tampak bernuansa religius.13

2. Kurikulum

Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi kepada tiga bagian sebagai berikut:

Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di

13

(55)

akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik bagi yang memilikinya maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan, menimbulkan kejahatan dan sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong ilmu yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua yaitu ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang.14 Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara’. Sebab dengan ilmu itu dapat menyebabkan manusia menjadi ragu pada Allah lalu menjadi kafir.

Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama diatas. Al-Ghazali mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan baik.

Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak.15 Yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat

14

(56)

dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridloi-Nya serta dapat membekali hidupnya di akhirat.

Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian. Pertama wajib ‘ain dan wajib kifayah, wajib ‘ain bagi setiap muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya mulai dari kitab Allah, ibadah yang pokok seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Bagi Al-Ghazali ilmu yang wajib ‘ain itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Jadi siapa yang mengetahui ilmu yang wajib itu, maka ia akan mengetahui kapan waktu wajibnya.

Sedangkan ilmu yang termasuk fardlu kifayah yaitu semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran ilmu hitung dan sebagainya.

Ketiga, ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan serta dapat pula membawa kepada kekafiran seperti ilmu filsafat.

15

(57)

Mengenai ilmu filsafat dibagi oleh Al-Ghazali menjadi ilmu matematika, ilmu logika, ilmu Ilahiyah, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.16

Sampai disini tampaklah oleh kita bagaimana Al-Ghazali membagi ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu serta menetapkan nilainya masing-masing sesuai dengan manfaat dan mudharatnya. Ia yakin bahwa ilmu dengan segala macamnya itu, baik ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah, tidak sama nilainya dan karena itu pula keutamaannya berbeda.

3. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali

Metodik khusus pendidikan menurut Al-Ghazali menekankan kepada pendidikan agama dan akhlak.

a. Metodik khusus pendidikan agama

Metodik pendidikan agama menurut Al-Ghazali, pada prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran. Setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah.17

b. Metodik khusus pendidikan akhlak

Metodik pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali menggunakan metodik praktis dan metodik khusus membentuk akhlak mulia yang

16

(58)

menunjukkan bahwa untuk mengadakan perubahan akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti karena penyakit jiwa yang merupakan akhlak tercela itu sebagaimana penyakit badan atau raga.18

4. Kriteria Guru Yang Baik

Menurut Al-Ghazali seorang guru harus memiliki etika dan persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang menuntut ilmu tersebut. dalam kaitan dengan etika yang wajib dilakukan oleh seorang guru adalah sebagai berikut:

Pertama, bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar. Dalam kaitan ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut. menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini. sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat.19

Kedua, seorang guru tidak meminta imbalan atas tugas mengajarnya. Hal demikian karena mengikuti apa yang dilakukan Allah

17 Rusn, Pemikiran………, 97. 18 Ibid., 101. 19

Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi

(59)

dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih, tetapi semata-mata karena karunia Allah.

Ketiga, tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika pelajar itu membutuhkannya.

Keempat, menjauhi akhlak yang buruk dengan cara menghindarinya sedapat mungkin.

Kelima, tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya. Dalam hal ini, Al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru fiqih yang menjelekkan guru ilmu bahasa dan sebaliknya.20

Keenam, memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya. Hal ini termasuk aspek pengajaran lainnya yang dikemukakan oleh Al-Ghazali sehingga para pelajar tidak berpaling dari guru dan akal pikirannya tidak buntu.

Ketujuh, kerjasama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan.

20

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Pemberian Tepung Daun Pepaya ( Carica papaya ) terhadap Kadar Protein dan Lemak pada Telur Puyuh.. Effect of Papaya ( Carica papaya ) Leave Meal Supplementation on

• Bentuk penilaian yang menghendaki peserta didik menampilkan sikap, menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari pembelajaran dalam melakukan tugas pada situasi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 18 ayat (1) huruf b terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti

Puji syukur alhamdulilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,hidayah dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Kuliah Kerja

Data lalu lintas memegang peranan terpenting pada perencanaan tebal perkerasan karena data lalu lintas ini dibutuhkan untuk menghitung beban lalu lintas rencana yang akan dipikul

Kegiatan FGD dilakukan dengan melibatkan seluruh kompenen pengurus dan pengelola masjid di Kelurahan Taman Sari Ampenan Kota Mataram yang terkait dengan fokus pengabdian yaitu

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus dan Bunda Mari karena atas segala berkat, kekuatan, kesabaran, perlindungan, dan penyertaanNya yang berlimpah penulis

dapat dira*at dini.' Dia bahlGn nenyebut- kan usia sedini 4-5 tahun dengan kelaina. skeletal dan frmgsional perlu segera mendapatkan pera\4,atan orodonti. Namun cianelly