• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Agustus What s Happening In Sudan?, United To End Genocide, < Diakses Pada Tanggal 20

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Agustus What s Happening In Sudan?, United To End Genocide, < Diakses Pada Tanggal 20"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

Tesis ini membahas tentang hambatan penyelesaian konflik Darfur yang menyebabkan konflik Darfur sulit untuk di selesaikan. Pada bab ini peneliti akan menjelaskan latar belakang dan pertanyaan penelitian. Pembahasan dilanjutkan dengan menguraikan kerangka teori dan argumentasi yang peneliti kembangkan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Setelah itu, peneliti akan menguraikan metode penelitian yang digunakan dan diakhiri dengan penjelasan tentang sistematika penulisan dalam tesis ini.

1.1. Latar Belakang Masalah

Darfur merupakan wilayah bagian Sudan Barat, Sudan yang telah mengalami konflik berkepanjangan. Konflik Darfur merupakan konflik etnis yang terjadi antara etnis Arab sebagai etnis pendatang dan Afrika sebagai etnis asli Darfur, yang dilatar belakangi oleh permasalahan etnis dan perebutan lahan pertanian yang subur. Darfur merupakan tempat tinggal dari sekitar 80 suku yang terbagi kepada dua kelompok etnis yang dominan yaitu Afrika dan Arab. Etnis Afrika dan etnis Arab memiliki budaya, agama maupun kepentingan yang berbeda-beda sehingga konflik etnis tidak dapat terhindarkan.1

Konflik semakin mengarah kepada kekerasan ketika di pengaruhi oleh faktor untuk bertahan hidup. Secara geografis, wilayah Darfur merupakan wilayah yang gersang dan mayoritas penduduk Darfur bekerja sebagai petani, sehingga lahan pertanian yang subur sangat di perebutkan dan menjadi pemicu konflik. Etnis Arab hidup secara nomaden yang menyinggahi daerah yang memiliki air

1 What’s Happening In Sudan?, United To End Genocide, <http://www.genocideindarfur.net/>, Diakses Pada Tanggal 20 Agustus 2016.

(2)

2 dan lahan pertanian yang subur sedangkan etnis Afrika hidup secara menetap. Kehidupan nomaden etnis Arab inilah yang memicu kemarahan dari etnis Afrika..2

Semakin hari, konflik Darfur terus berkembang menjadi konflik kekerasan. Konflik terjadi secara besar-besaran pada tahun 2003, PBB melaporkan sekitar 300.000 orang meninggal dunia dan sekitar 2,5 juta penduduk Darfur mengungsi ke wilayah Chad.3 Konflik yang terus berkembang dan semakin mengarah pada kekerasan hebat, hal ini menandakan lemahnya peranan pemerintah untuk menyelesaikan konflik Darfur. Pemerintah Sudan seolah membiarkan bahkan semakin memperluas konflik Darfur. Hal ini di buktikan pada tahun 1990 sampai dengan 2001 wilayah Darfur dilanda bencana kekeringan, sekitar 90.000 penduduk Darfur meninggal dunia akibat bencana kekeringan tersebut. Di saat Darfur dilanda bencana kekeringan, pemerintah Sudan justru mengembangkan pembangunan di wilayah Khortum yaitu ibu kota Sudan, sehingga wilayah Sudan Utara berkembang dengan pesat sebagai pusat industri, bisnis dan perbankkan. Sedangkan wilayah Sudan Barat menjadi wilayah yang mengalami keterbelakangan secara ekonomi.4

Terjadinya kekeringan parah ini menyebabkan ketidakseimbangan di Darfur yang mengakibatkan kegagalan panen dan matinya hewan ternak. Bencana kekeringan juga membuat kondisi tanah menjadi semakin buruk. Para petani etnis Afrika yang mengalami gagal panen akibat kekeringan membutuhkan lahan baru untuk penanaman kembali. Sedangkan peternak etnis Arab membutuhkan lahan untuk mendukung perkembangan populasi hewan gembalanya. Hal tersebut kemudian menimbulkan kompetisi di antara dua kelompok untuk mendapatkan sumber daya alam bagi kelangsungan hidup mereka.

2

Tribal composition, sudan embassy, 23 September 2014,

<http://www.sudanembassy.org/index.php?option=com_content&view=article&id=114&Itemid=217> , diakses pada 01 Agustus 2016.

3 PBB: Sepanjang 2015, 166.000 Orang Terlantar Akibat Konflik Di Darfur Sudan, 17 November 2015, Detik News, <http://news.detik.com/internasional/3072757/pbb-sepanjang-2015-166000-orang-terlantar-akibat-konflik-di-darfur-sudan>, Di Akses Pada Tanggal 23 Agustus 2016.

4 Richard Barltrop, 2011, “Darfur And The International Community (The Chalangges Of Conflict Resolution In Sudan)”, I.B.Tauris &Co Ltd, Halaman 10.

(3)

3 Konflik semakin mengarah kekerasan ketika Omar Al-Bashir membuat kebijakan terkait Arabisasi, penghapusan partai oposisi dan sistem pemerintahan yang tidak demokratis. Di mana hal ini telah berkontribusi besar terhadap ketegangan hubungan antara pemerintah dan masyarakat Sudan khususnya Darfur. Hasil dari kebijakan tersebut adalah dominasi etnis Arab di kursi pemerintahan Sudan membuat semakin tersisihnya etnis Afrika dalam bidang politik dan ekonomi. Tidak berpihaknya kebijakan kepada etnis Afrika, memberi dampak kemiskinan telah berada pada titik yang sangat memprihatinkan namun pemerintahan Sudan tidak merespon keadaan tersebut dengan baik.5

Jika diperhatikan dari realitas konflik, maka konflik Darfur terjadi berkepanjangan dan besar-besaran karena ketidakmampuan pemerintah mengatasi konflik. Pertama, permasalahan etnis sudah terjadi sejak tahun 1957 yang mengakomodir point perbedaan visi misi, budaya dan agama tidak dapat menghindarkan Darfur dari konflik etnis. Kedua, permasalahan goegrafis terkait dengan perebutan lahan pertanian yang subur, sejak tahun 1990 sampai dengan 2001 wilayah Darfur dilanda bencana kekeringan, sekitar 90.000 penduduk Darfur meninggal dunia akibat bencana kekeringan tersebut. Di saat Darfur dilanda bencana kekeringan, pemerintah Sudan justru mengembangkan pembangunan di wilayah Khortum yaitu ibu kota Sudan. Ketiga, kebijakan yang diskriminatif telah berkotribusi besar terhadap semakin membesarnya konflik Darfur.6

Permasalahan etnis, perebutan lahan pertanian yang subur, bencana kekeringan dan kebijakan yang diskriminatif, membuat etnis Afrika di Darfur mengalami kemiskinan selama berpuluh-puluh tahun. Atas dasar ini, etnis Afrika membuat gerakan pemberontak SLMA dan JEM. Gerakan ini menuntut keadilan dan kesejahteraan terhadap pemerintah Sudan, yang selama ini sangat sulit di dapatkan oleh etnis Afrika. Kelompok SLMA dan JEM adalah kelompok pemberontak dari etnis Afrika, dengan awal pembentukannya bernama Darfur

Liberation Front (DLF) yang kemudian gerakan tersebut berganti nama menjadi

5 Samuel Totten , 2006, “Genocide In Darfur (Investigating The Atrocities In The Sudan)”, Taylor &Francis Group, LLC, Halaman 25.

6 Douglas H Johnson, 2003, “The Root Causes Of Sudan’s Civil War”, Kampala: The International African Institute, Halaman 28.

(4)

4

Sudan Liberation Movement/Army (SLMA). Gerakan ini mengedepankan visi

yang pro persatuan, persamaan hak antara semua warga negara. Gerakan ini terbagi menjadi dua kelompok pemberontak yakni Sudan Liberation Movement /

Army (SLMA) dan Justice and Equality Movement (JEM).7

Pada tanggal 26 Februari 2003, sekitar 300 pemberontak yang menamakan diri Sudan Liberation Movement/Army (SLMA) yang dipimpin oleh Jhon Garang melakukan pemberontakan di ibu kota Jabal Marra Provinsi bagian Darfur Barat yang didominasi oleh etnis Arab. Kelompok pemberontak ini dilengkapi dengan senjata otomatis dan mortir dengan senapan mesin. Dalam pemberontakannya kelompok SLMA tegas menentang kebijakan pemerintah Sudan, karena kebijakan tersebut tidak berpihak kepada Etnis Afrika di Darfur. Akibatnya adalah etnis Afrika mengalami keterbelakangan baik dari aspek ekonomi maupun aspek politik.8

Kesalahan pemerintah Sudan dalam merespon pemberontakan tersebut adalah dengan menurunkan milisi janjaweed. Milisi janjaweed yang di turunkan bertujuan untuk menghentikan kekerasan, namun yang terjadi adalah kekerasan semakin meningkat. Pemerintah Sudan telah memberikan dukungan terhadap Janjaweed dengan alasan bahwa pemerintah telah memasukan Janjaweed menjadi penumpas pemberontakan karena kurangnya tentara yang dimiliki pemerintah Sudan. Milisi Janjaweed melakukan penyerangan di desa-desa dengan cara pembunuhan, pemerkosaan, penculikan anak-anak, pembakaran rumah, pencurian ternak dan perusakan klinik yang akibatnya mengarah pada pemberantasan etnis dengan jumlah pasukan sebanyak 5.000 milisi.9 Banyaknya korban jiwa disebabkan karena janjaweed merubah fokus kampanyenya memerangi para pemberontak menjadi penargetan para warga sipil. Dengan menyerang dan menggusur warga sipil, yang di daerah yang merupakan pusat para pemberontak. Penyerangan ini dilakukan dengan peluncuran bom-bom dari pesawat militer dan

7 What’s Happening In Sudan?, United To End Genocide, <http://www.genocideindarfur.net/>, Diakses Pada Tanggal 20 Agustus 2016.

8 Maklumat Politik Sudan, 14 Agustus 2008, Hizbut Tahrir, <http://hizbut-tahrir.or.id/2008/08/14/maklumat-politik-sudan/> Diakses Pada Tanggal 21 Agustus 2016.

9 Deng D Dan Akol Ruay, 1994, “The Politics Of The Two Sudans”, The Scandinavian Institute Of African Studies, Halaman 57.

(5)

5 diikuti dengan menghujani peluru lewat helikopter maupun memasuki desa dengan kuda dan mobil.10

Banyaknya korban jiwa membuat perhatian khusus dunia internasional untuk melakukan perdamaian di Sudan. Menurut laporan PBB pada tahun 2010 jumlah korban meninggal dunia akibat konflik Darfur sekitar 300.000 orang.11 PBB menyebut bahwa konflik ini telah mengarah pada pemberantasan etnis, sehingga upaya perdamaian harus segera di lakukan untuk Darfur. Dalam hal ini, PBB sebagai lembaga internasional melakukan upaya peacemaking dan

pacekeeping. Upaya peacemaking dengan memberi mandat Uni Afrika untuk

melakukan negosiasi demi menciptakan perdamaian di Darfur. Uni Afrika mulai melakukan negosiasi pada tahun 2005 secara berkelanjutan sampai dengan 2009. Hasil dari negosiasi tersebut adalah terbentuknya kesepakatan damai yaitu Doha

Document For Peace In Darfur (DDPD) pada tahun 2011.12 Sedangkan upaya

peacekeeping, PBB menurunkan pasukan AMIS dan UNAMID.

Upaya peacekeeping pertama kali terjadi pada tahun 2004 yang di lakukan oleh pasukan The African Union Mission in Sudan (AMIS). Pasukan The African

Union Mission in Sudan (AMIS) adalah pasukan penjaga perdamaian dari Uni

Afrika yang beroperasi di Sudan untuk menghentikan kekerasan di wilayah Darfur. Badan ini dibentuk pada tahun 2004 dengan pasukan sebanyak 150 tentara dan pada pertengahan tahun 2005 jumlahnya meningkat menjadi 7000 tentara. Sejak diturunkannya AMIS berhasil menurunkan tingkat kekerasan antara milisi janjaweed sebagai utusan militer pemerintah Sudan dan SLMA yang merupakan kelompok pemberontak representasi etnis Afrika.

Namun seiring berjalannya waktu, pasukan AMIS sering mendapatkan penyerangan dari kelompok pemberontak Darfur. PBB menganggap pasukan AMIS telah gagal menjalankan misinya di Sudan. Akhirnya pada tahun 2007 PBB mengirim pasukan UNAMID sebagai respon kegagalan AMIS. UNAMID (United

10 Aidan Hehir, 2008, “The Humanitarian Intervention After Kosovo-Irak, Darfur, And The Record Of Global Civil

Society”,Palgrave Macmillan, Halaman 68-69.

11 Ibid, Samuel Totten, 2006, “Genocide In Darfur (Investigating The Atrocities In The Sudan)”, Halaman 29. 12 Doha Document For Peace In Darfur, Halaman 8.

(6)

6

Nations African Mission In Darfur) juga berkerjasama dengan Uni Afrika yang

secara formal didukung oleh Dewan Keamanan PBB melalui Resolusi 1769.13 Keberadaan UNAMID di Darfur untuk mengupayakan resolusi konflik yang berkelanjutan dengan membuat program rekonsiliasi yaitu the Darfur Community

Peace and Stability Fund (DCPSF) dan the Darfur – Darfur Dialogue and Consultation (DDDC). Dua program ini diyakini dapat mempromosikan

perdamaian di tingkat masyarakat Darfur.14

Serangkaian upaya perdamaian telah menghasilkan kesepakatan damai antara pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak Darfur. Terjadinya perjanjian damai pada tahun 2011 antara pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak diyakini menjadi langkah awal untuk menciptakan perdamaian Darfur. Namun sampai saat ini belum terjadi perdamaian di Darfur, hal ini terlihat dari masyarakat Darfur masih mengalami rasa tidak aman yang disebabkan kekerasan antar etnis masih terjadi. Pada Februari 2015 Darfur kembali mengalami konflik, 18 orang meninggal dunia dalam bentrok antara kelompok-kelompok etnis Misseriya dan Salamat di daerah yang berbatasan dengan wilayah Chad.15 Kondisi yang demikian, membuat PBB belum menarik pasukan UNAMID di Darfur untuk berjaga di wilayah pengungsian. Rasa tidak aman telah mengakibatkan 50.000 orang mengungsi di wilayah Chad.

Setelah terciptanya perjanjian damai, Darfur belum menyongsong perdamaian. Wilayah Darfur masih di landa konflik etnis dan rasa tidak aman yang mengakibatkan masyarakat Darfur mengungsi ke perbatasan Chad. Dari fakta ini peneliti tertarik untuk meneliti mengapa konflik Darfur tidak selesai, yang menekankan pada analisis hambatan penyelesaian konflik.

13 Richard Barltrop, 2011, “Darfur And The International Community (The Chalangges Of Conflict Resolution In Sudan)”, I.B.Tauris &Co Ltd, Halaman 33-34.

14 The Report International Development Specialists In Developing Communities, 2012, Darfur Community Peace And

Stability Fund Impact Assessment, Halaman 14.

15 Sudan larang pasukan perdamaian masuk Darfur, antara news, 15 April 2015,

(7)

7

1.2. Rumusan Masalah

Konflik etnis di Darfur terjadi berkepanjangan dan semakin mengarah pada kekerasan. Banyaknya korban jiwa membuat serangkaian upaya untuk menghentikan konflik, yang berujung pada perjanjian damai antara pemerintah Sudan dengan kelompok pemberontak Darfur. Namun setelah terjadi perjanjian damai, konflik Darfur kembali memanas. Lalu, Mengapa Konflik Darfur Sulit

dihentikan?

1.3. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa literatur yang berkaitan dengan upaya perdamaian paska konflik guna memperkuat analisis serta menjelaskan posisi penelitian ini atas penelitian yang sudah dikaji sebelumnya. Pada tahun 2011 pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak Darfur menandatangani perjanjian damai di Doha, Qatar. Perjanjian damai ini menunjukan bahwa penyelesaian konflik telah berjalan dengan baik. Dalam tulisan Richad Balthop yang berjudul Darfur And The International Community mengatakan bahwa penyelesaian konflik Darfur terjadi karena banyaknya keterlibatan pihak internasional di antaranya adalah PBB, Uni Afrika, Mesir dan Libya. Konflik yang berkepanjangan di Darfur menjadi tantangan besar dalam melakukan penyelesaian konflik. Dengan kata lain, penyelesaian konflik Darfur sangat sulit di upayakan jika tidak kuatnya keterlibatan pihak internasional.

Mediasi internasional dan bantuan kemanusiaan adalah dua cara utama di mana pihak luar (pemerintah asing, organisasi atau individu) mencoba untuk menanggapi secara konstruktif konflik Darfur, yaitu dengan mengambil tindakan militer, dukungan politik dan bantuan kemanusiaan. Serangkaian upaya mediasi dilakukan sejak tahun 1983 sampai akhir 2009 namun gagal untuk menyelesaikan konflik. Kemudian, perundingan damai dilanjutkan di Kenya antara tahun 2002 dan 2004 di bawah naungan inisiatif regional dan internasional. Perundingan ini menghasilkan serangkaian perjanjian yang berpuncak pada kesepakatan damai di tahun 2011.

(8)

8 Menurut Richad Balthop pemenuhan kebutuhan penyelesaian konflik Darfur bersifat top-down, yaitu adanya pemenuhan kepentingan politik kelompok pemberontak Darfur yang di penuhi oleh pemerintah Sudan terhadap etnis Afrika. Dalam perjanjian DOHA, pemerintah Sudan harus melaksanakan referendum mengenai pembagian wilayah administratif Darfur dan memberi otonomi daerah yaitu Darfur Regional Authority. Dari tulisan ini, peneliti mengambil sebuah gap untuk menjelesakan posisi peneliti dalam penelitian ini. Pemenuhan kepentingan yang bersifat top-down yang dilakukan oleh pemerintah Sudan hanya berfokus pada level politik, sedangkan konflik Darfur terjadi sangat masif juga karena faktor politik, ekonomi dan sosial.

Pemenuhan kebutuhan politik tidak dapat menyelesaikan konflik Darfur, hal ini terbukti bahwa konflik Darfur kembali memanas pada tahun 2015. Maka dari itu, penulis berasumsi konflik Darfur yang kembali memanas di sebabkan karena terjadinya hambatan upaya penyelesaian konflik tersebut. Adanya hambatan tersebut, membuat penyelesaian konflik tidak dapat di lakukan secara tuntas dan menyeluruh pada setiap permasalahan konflik Darfur. Selain itu keberhasilan penyelesaian konflik sangat bergantung pada peranan masyarakat, maka penyelesaian konflik juga harus bersifat bottom-up. Hal ini dapat mengembalikan kepercayaan agar terjadi komunikasi positif antar masyarakat paska konflik.

Kesepakatan damai antara pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak SLMA dan JEM menjadi penanda berakhirnya konflik di Darfur. Namun konflik Darfur yang kembali memanas pada tahun 2015 disebabkan karena terjadinya hambatan dalam penyelesaian konflik. Salah satu hambatan penyelesaian konflik berada pada tingkat masyarakat. Hal ini terdapat dalam laporan resmi United States Institute of Peace oleh Theodore Murphy yang berjudul Civil Society in

Darfur The Missing Peace. Laporan ini menjadi dasar penulis untuk menentukan

permasalahan dalam penelitian ini. Laporan ini berasal dari keyakinan bahwa masyarakat sipil harus terlibat untuk menciptakan perdamaian di Darfur.

(9)

9 Laporan mengeksplorasi peran masyarakat sipil sebagai mediator, dimana masyarakat sipil bisa sangat berguna dalam proses mencapai perdamaian dengan cara negosiasi. Namun hal ini bukan persoalan mudah dan membutuhkan proses yang sangat panjang. Di Darfur, peran masyarakat sipil justru membuat kegagalan dalam upaya penyelsaian konflik. Disintegrasi etnis Arab dan Afrika telah menghambat penyelesaian konflik. Selain itu, masyarakat Darfur yang berasal dari etnis Afrika juga menjadi penghambat proses pembuatan perjanjian damai, di mana menolak ketua kelompok SLMA dan JEM untuk menandatangani perjanjian damai yang diupayakan oleh AMIS pada tahun 2006. Penolakan perjanjian damai tersebut disebabkan karena isi perjanjian tidak merepresentasikan kebutuhan dari masyarakat Darfur khususnya etnis Afrika.16

Paska konflik, perubahan ekonomi menjadi sangat vital untuk mengupayakan perdamaian yang berkelanjutan. Dalam tulisan Ryan yang berjudul The Transformation Of Violent Intercommunal Conflict, mengatakan kekerasan melahirkan ketidakpastian membuat perencanaan yang sulit terhadap investasi. Rata-rata selama perang sipil perekonomian negara secara keseluruhan menurun sekitar 2,2 persen per tahun, masyarakat akan memiliki penghasilan 20 persen lebih rendah. Dalam kondisi ketidakseimbangan ekonomi masyarakat paska konflik dituntut untuk bertahan hidup diatas otoritas kekuasaan dan minimnya modal dari pihak asing, maka yang paling penting pada negara paska konflik adalah penciptaan keamanan yang mampu menarik investasi asing kemudian dapat melakukan kerjasama ekonomi dengan berbagai negara.17

Perubahan ekonomi adalah perubahan yang paling penting pada masa paska konflik, namun untuk mencapai hal tersebut harus menciptakan stabilitas keamanan. Ketika konflik kekerasan terjadi maka permintaan perlindungan dari masyarakat sangat meningkat. Rasa takut yang muncul pada masyarakat adalah hal yang wajar ketika mereka tidak dapat mengandalkan negara untuk melindungi, hal ini membuat mereka beralih ke kelompok-kelompok yang dapat menawarkan

16

Report United States Institute of Peace, Theodore Murphy and Jérôme Tubiana, 2010, “Civil Society in Darfur The

Missing Peace”, washington DC, Halaman 16-17.

(10)

10 keamanan. Setidaknya 80 persen dari korban dalam konflik kekerasan adalah warga sipil.

Laswell (1997) menentang ide mengenai militerisasi yang diasumsikan oleh AS pada pertengahan abad lalu sebagai upaya menciptakan perlindungan terhadap warga sipil. Laswell mengklaim bahwa tidak ada oposisi yang efektif untuk pertahanan, sering kali permintaan perlindungan untuk militerisasi datang dari dalam masyarakat yang berada di bawah ancaman ,sehingga militeris baik individu atau kelompok adalah bukan orang yang tepat. Seperti yang terjadi pada Irlandia Utara ketika komunitas meminta pasukan senjata sebagai perlindungan keamanan justru membuat permusuhan kembali terjadi pada fase pasca konflik. Militerisasi juga dapat mengunci masyarakat ke dalam siklus meningkatnya sentimen ras yang dapat meningkatkan ketidakamanan. Akibatnya adalah kekerasan muncul lebih mudah dan lebih luas karena militerisasi tidak dapat menghindarkan masyarakat dalam kecurigaan dan ketakutan yang membuat konflik dapat kembali terjadi. Untuk menciptakan perdamaian pasca konflik harus menghilangkan militerisasi guna dapat terciptanya rasa aman dan saling percaya antar pihak yang berkonflik.18

Membahas tentang konflik, maka erat kaitannya dengan membahas perdamaian. Konflik akan menemui titik perdamaian ketika menganalisis tentang penyebab akar konflik yang mendasar. Membahas tentang penyebab akar konflik yang mendasar dapat merujuk kepada tulisan Wendy Lambourne, Post-Conflict

Peacebuilding: Meeting Human Needs for Justice and Reconciliation. Perdamaian

akan tercipta ketika fokus pada kebutuhan manusia. Proses perdamaian merupakan proses untuk mengubah sikap pihak yang terlibat konflik, dimana mampu membuat orang-orang menjadi fleksibel, konsultatif dan kolaboratif sehingga mampu memahami kontekstual dari akar penyebab konflik. Pemenuhan kebutuhan paska konflik adalah terkait ekonomi dan pembangunan paska konflik sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia.19 Konflik kekerasan yang

18

Ibid Stephen, Ryan, halaman 65.

19 Wendy Lambourne, 2004, “Post-Conflict Peacebuilding: Meeting Human Needs for Justice and Reconciliation”, halaman 4-5.

(11)

11 berkepanjangan telah membawa banyak perubahan negatif, salah satunya adalah keterbelakangan ekonomi. Kerusakan infrastruktur dan situasi yang tidak kondusif berkontribusi negatif dalam keseimbangan pertumbuhan ekonomi dan investasi modal yang akan beresiko pada kesejahteraan. Hal ini terjadi di Darfur, kerusakan infrastruktur membuat masyarakat Darfur tidak dapat keluar dari keterpurukan ekonomi.

1.4. Kerangka Teori

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori penyebab konflik etnis dan konsep perubahan antar budaya. Dalam melihat faktor hambatan penyelesaian konflik Darfur, peneliti menggunakan teori penyebab konflik etnis. Hal ini di dasari pemikiran bahwa keberhasilan penyelesaian konflik di dasarkan pada analisis akar penyebab konflik, maka teori penyebab konflik etnis di yakini peneliti mampu membuktikan hambatan dalam penyelesaian konflik Darfur. Dalam teorinya, Brown mengatakan bahwa kemunculan konflik etnis di sebabkan oleh tiga level utama, yaitu level sistemik, level domestik dan level persepsi. Hambatan utama dalam penyelesaian konflik Sudan di sebabkan oleh faktor sistemik, di mana lemahnya otoritas negara tidak mampu menghentikan konflik sehingga terus berkelanjutan.

Dalam beberapa permasalahan yang membuat konflik komunal sangat sulit menemui titik perdamaian karena kurun waktu konflik yang terjadi sangat lama. Misalnya dalam konflik Darfur ini terjadi dalam kurun waktu 1957-2003, kurun waktu konflik yang lama akan melunturkan nilai-nilai kepercayaan antar pihak yang berkonflik sehingga menjadi hambatan penyelesaian konflik. Selain pemasalahan waktu, permasalahan mengenai hidup berdampingan juga menjadi kendala terbesar. Konflik komunal yang terjadi dalam sebuah negara mengharuskan pihak-pihak yang bertikai untuk tetap hidup dalam satu wilayah. Dengan dilatarbelakangi oleh konflik di masa lalu membuat pihak-pihak tidak dapat hidup berdampingan bahkan interaksi yang terjadi hanya kekerasan. Sehingga konsep perubahan antar budaya adalah sebagai alat analisis untuk

(12)

12 memahami penyebab konflik komunal secara mendasar dan luas pada tingkat masyarakat yang mempengaruhi hambatan penyelesaian konflik.

1.4.1 Teori Penyebab Konflik Etnis

Konflik dan rasa tidak aman paska perjanjian damai, menunjukan kegagalan dalam upaya penyelesaian konflik yang di sebabkan oleh beberapa hambatan. Adapun hambatan penyelesaian konflik tersebut dapat di sebabkan oleh sulitnya menyelesaikan akar permasalahan konflik. Maka terdapat hubungan yang kuat antara hambatan konflik dengan akar-akar penyebab konflik, sebab akar penyebab konflik akan menjadi hambatan besar dalam upaya penyelesaian konflik. Level analisis yang ditawarkan oleh Brown sangat berguna untuk memahami akar-akar dari konflik etnis, dengan memahami akar dari suatu konflik maka akan dapat memahami hambatan dalam penyelesaian konflik. Jika menganalisis akar-akar penyebab konflik untuk menyelesaiakn konflik, maka sebenarnya upaya penyelesaian akan berjalan efektif tanpa adanya hambatan. Sehingga hasil dari upaya penyelesaian konflik tersebut dapat tercapai yakni untuk menciptakan kondisi damai yang berkelanjutan.

Perdamaian berkelanjutan adalah suatu kondisi dimana perdamaian tidak hanya tercipta, tetapi juga dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Kondisi ini dapat tercipta dengan menganalisis hal-hal yang menjadi akar penyebab konflik. Ada tiga level analisis yang ditawarkan Michael E. Brown guna memahami akar-akar penyebab konflik etnis, antara lain:20

1. Level sistemik, penyebab pertama terjadinya konflik etnis adalah lemahnya otoritas negara untuk mencegah kelompok-kelompok etnis yang ada untuk saling berkonflik. Lemahnya otoritas negara sebagai faktor utama penyebab konflik (Underlying Causes). Brown tidak membantah bahwa faktor-faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya dapat menyebabkan terjadinya konflik etnis, namun ini adalah faktor pemicu (Proximate Causes). Secara konkrit, lemahnya otoritas negara ini terlihat dalam masalah keamanan dalam sebuah wilayah yang dapat

(13)

13 menimbulkan pada permasalahan etnis. Ketidak mampuan pemerintah dalam menciptakan keamanan sangat memungkinkan munculnya konflik etnis dalam suatu wilayah. Rasa tidak aman membuat relasi antar etnis berubah menjadi sebuah kelompok untuk suatu pertahanan. Sehingga setiap gesekan di antara kelompok akan secara tidak langsung menyebabkan konflik etnis. Selain itu, Brown juga memberikan penekanan lemahnya otoritas negara pada pengaruh kebijakan atau perilaku pemimpin dapat menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya konflik etnis. 21

2. Level domestik, level ini terkait dengan ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi kehendak rakyatnya. Di mana rakyat selalu mengharapkan agar pemerintahnya menyediakan kesejahteraan dengan menciptakan stabilitas ekonomi dan politik. Jika kedua hal ini tidak terwujud, maka akan membentuk nasionalisme dan relasi antar kelompok etnis. Apa yang disebut nasionalisme, menurut Brown adalah konsep yang menggambarkan kebutuhan untuk mendirikan suatu negara yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan ini.

3. Level persepsi, penyebab terjadinya konflik etnis karena adanya pemahaman sejarah yang tidak tepat mengenai relasi antara kelompok etnis. Sejarah yang mereka yakini bukan hasil dari penelitian melainkan dari rumor, gosip, dan legenda yang biasanya diturunkan dari satu generasi ke generasi. Kelompok etnis lain sering memperoleh stereotipe buruk, sementara kelompok etnis sendiri memperoleh stereotipe baik. Akibatnya, problem konflik etnis menjadi semakin rumit ketika munculnya persepsi permusuhan antar etnis.22

1.4.2. Konsep Perubahan Antar Budaya

Peranan pemerintah dalam penyelesaian konflik sangat besar, yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan politik, sosial dan ekonomi. Jika peran pemerintah lemah maka kecenderungan konflik akan berkelanjutan. Beberapa ahli resolusi konflik mengatakan, bahwa peranan masyarakat dalam upaya penyelesaian konflik juga sangat besar. John Burton (1990) berpendapat dalam

21 Michael E. Brown, 1996, “The Causes and Regional Dimensions of Internal Conflict”, MIT Press, halaman 577. 22 Ibid Michael Brown, 1997, “Nationalism And Ethnic Conflict.”, Halaman, 175.

(14)

14 upaya penyelesaian konflik harus memanfaatkan kaspasitas lokal, dimana dapat membangun dialog yang baik antar tingkat masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa peranan masyarakat dalam keberhasilan penyelesaian konflik sangat besar. Namun yang terjadi di Darfur, masyarakat menjadi salah satu faktor yang menghambat penyelesaian konflik.

Konsep perubahan antar budaya merupakan konsep dari pendekatan transformasi konflik. Pendekatan transformasi konflik memulai asumsi optimis bahwa perdamaian berkelanjutan dapat diciptakan dari konflik kekerasan dengan fitur yang paling signifikan yaitu perubahan struktural, perubahan antar budaya dan perubahan individu. Peneliti mengambil konsep perubahan antar budaya untuk melihat faktor-faktor yang menghambat penyelesaian konflik Darfur, sehingga konflik Darfur kembali memanas pada tahun 2015. Konsep ini berbicara tentang persepsi musuh antar kelompok yang menyebabkan terjadinya konlik kekerasan dalam suatu negara.

Ryan telah mengidentifikasi bahwa persepsi musuh antar budaya telah mengurangi kapasitas untuk melakukan upaya penyelesaian konflik. Adanya penurunan kepercayaan dan peningkatan persepsi yang sangat tinggi bahwa kelompok satu lebih kuat dari kelompok lain maupun budaya satu lebih dominan dari budaya yang lain. Tentu saja ini menyebabkan penurunan kompetensi pemecahan masalah di antara kelompok yang berkonflik.23

Menurut Ryan (1995), ada hubungan yang jelas antara persepsi musuh dan cara kelompok lain memandang kelompok lainnya. Persepsi musuh menggambarkan bahwa individu dalam situasi konflik tidak mampu melihat musuh dalam cara yang positif, hal ini bisa membuat pandangan musuh sebagai agen kejahatan. Ryan mengklasifikasikan tiga persepsi musuh yang sangat menghambat upaya penyelesaian konflik, yaitu:

(15)

15 1. Scapegoating, yaitu sikap menyalahkan “musuh” untuk segala sesuatu buruk yang terjadi. Dalam manifestasi yang ekstrim dapat mencapai titik dimana pihak tertentu tidak bertanggung jawab sama sekali pada penderitaan yang dialami orang maupun kelompok lain.

2. Stereotype, yaitu sikap yang paling kuat menghasilkan efek negatif pada kelompok yang terlibat konflik. Konsekuensinya adalah anggota dari suatu kelompok tidak lagi dipandang sebagai tunggal melainkan satu kelompok dengan persepsi yang cenderung negatif.

3. Dehumanization, biasanya disertai dengan penggunaan “dunia hewan” untuk menggambarkan kelompok musuh seperti “penyakit” sehingga musuh dianggap paling kotor. Efek yang paling masif terjadinya pembunuhan massal yang dianggap sebagai pembersihan etnis.24

1.5. Hipotesis

Konflik Darfur sulit dihentikan karena penyebab level sistemik, yaitu kelemahan otoritas negara dalam penyelesaian konflik. Secara spesifik kelemahan otoritas tersebut adalah sebagai berikut:

1) Lemahnya otoritas Omar Al-Bashir untuk menciptakan stabilitas

keamanan.

2) Lemahnya otoritas Omar Al-Bashir untuk mengimplementasikan isi perjanjian damai wealth sharing.

3) Disintegrasi etnis Arab dan Afrika yang semakin meningkat.

24 Ibid Stephen Ryan, halaman 76-77.

(16)

16

1.6. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan kondisi konflik Darfur saat ini dan menganalisis lemahnya otoritas negara dan disintegrasi etnis yang sangat mempengaruhi hambatan penyelesaian konflik. Akibatnya konflik Darfur kembali memanas pada tahun 2015.

Sejarah mencatat bahwa konflik Darfur merupakan konflik yang panjang di mana terjadi sejak 1957-2015. Pada tahun 2011 pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak Darfur sepakat menandatangani perjanjian damai. Perjanjian damai ini menjadi penanda berakhirnya konflik kekerasan yang menjatuhkan ribuan korban jiwa. Namun kekerasan yang terjadi di Darfur pada tahun 2015 menunjukan adanya hambatan penyelesaian konflik, sehingga menurut peneliti hal ini sangat menarik untuk di teliti menggunakan sudut pandang penyebab konflik etnis.

1.7. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis yang menekankan pada akurasi kualitas data dengan menjelaskan dan menganalisis hubungan antara data, fakta, dan teori yang kemudian dapat ditarik menjadi kesimpulan.25 Metode ini dilakukan dengan menggambarkan data-data kebijakan Omar Al-Bashir seperti kondisi keamanan Darfur, rasa tidak aman di wilayah pengungsian, sikap Omar Al-Bashir terhadap pasukan penjaga perdamaian dan upaya penyelesaian konflik, kebijakan Arabisasi, penghapusan partai oposisi, sistem pemerintahan yang tidak demokratis, ketegangan hubungan etnis Arab dan Afrika, memanasnya konflik Darfur pada tahun 2003 dan 2015. Dari data-data tersebut kemudian akan di analisis berdasarkan teori, sehingga dapat mengetahui faktor apa saja yang menjadi hambatan dalam penyelesaian konflik Darfur.

(17)

17 Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah telaah pustaka (library research) yaitu dengan mengumpulkan berbagai data dari literatur-literatur seperti jurnal, buku, artikel, dan bahan tertulis lainnya, serta pemberitaan dari media elektronik dan cetak yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Data-data yang didapat dari berbagai literatur ini dikonstruksikan penulis sesuai judul yaitu hambatan penyelesaian konflik Darfur. Dalam penyusunannya, penulis memisahkan buku dan literatur tentang analisis hambatan penyelesaian konflik dan konflik Darfur beserta penyelesaiannya. Langkah ini diambil untuk memudahkan penulis dalam menyusun penelitian ini. Kegunaan bagi penulisan ini, ada yang bersifat sebagai sumber data, sebagai inspirasi menulis dan menjadi data pendukung yang memperkuat argumen dalam meneliti topik ini.

Setalah data terkumpul, penulis akan mengelolah data tersebut secara induksi yaitu mengumpulkan data-data yang bersifat khusus kemudian di tarik kesimpulan secara umum. Adapun data-data khusus yang akan di olah adalah terkait kondisi kemanan yang buruk, rasa tidak aman di wilayah pengungsian, keberadaan pasukan penjaga perdamaian, sikap Omar Al-Bashir terhadap pasukan penjaga perdamaian dan kegagalan implementasi wealth sharing. Dari data ini penulis menarik kesimpulan hambatan penyelesaian konflik di sebabkan oleh lemahnya otoritas Omar Al-Bashir dalam menciptakan stabilitas keamanan dan pelaksanaan perjanjian damai. Selain itu, peneliti mengumpulkan data tentang kebijakan Arabisasi, penghapusan partai oposisi, sistem pemerintahan yang tidak demokratis yang menyebabkan disintegrasi etnis sehingga konflik semakin sulit untuk di hentikan.

(18)

18

1.8. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari 5 Bab dan pembahasan dalam tiap bab akan dijabarkan lebih rinci kedalam sub-sub Bab. Pembahasan yang terkandung dalam Bab satu dengan yang lainnya saling berhubungan sehingga pada akhirnya nanti akan membentuk suatu karya tulis yang runtut dan sistematis.

Bab I merupakan pendahuluan dari penelitian ini, yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kemudian Bab II akan membahas tentang hipotesis pertama yaitu lemahnya otoritas Omar Al-Bashir untuk menciptakan stabilitas keamanan. Dalam hal ini peneliti akan menganalis data mengenai buruknya kondisi kemanan Darfur, keberadaan pasukan penjaga perdamaian, sikap Omar Al-Bashir pasukan penjaga perdamaian. Pada Bab III peneliti akan membahas hipotesa kedua yaitu, lemahnya otoritas Omar Al-Bashir dalam mengimplementasikan perjanjian damai. Di mana penulis memfokuskan pada upaya penyelesaian konflik dan kegagalan implementasi wealth sharing.

Bab IV akan membahas hipotesa ketiga yaitu disintegrasi etnis Arab-Afrika yang dipengaruhi oleh perebutan lahan pertanian dan krisis sumber daya alam. Namun disintegrasi etnis Arab-Afrika semakin meningkat ketika Omar Al-Bashir menerapkan kebijakan yang diskriminatif dan meningkatnya persepsi musuh paska konflik Darfur pada tahun 2003. Dan Bab V adalah penutupan yang berisi kesimpulan dengan rangkuman-rangkuman dari penjelasan yang telah dijabarkan pada Bab I hingga Bab IV.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat rahmat dan kasih karuniaNya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan penulisan skripsi ini

Mengingat banyaknya permasalahan yang terjadi seperti yang dikemukakan dalam identifikasi di atas, maka penulis ingin menfokuskan penelitian ini pada pengaruh

Dari Tabel 6, dapat dilihat bahwa perlakuan perbedaan waktu pengadukan dan kecepatan pada pembuatan nano partikel tinta spidol dari gambir dengan menggunakan alat

Alat ukur tinggi dan berat badan manusia secara digital berbasis mikrokontroller AT89S51 ultrasonik (sensor jarak) dan flexiforce (sensor tekanan) adalah suatu alat yang

In simulation using dynamic type, this data is the initial condition of water quality (when t=0) in the downstream (outlet) of each reach. Then, the Qual2e software will

Kemampuan berbicara sangat penting bagi para siswa, namun pengajaran keterampilan berbicara di sekolah kurang mendapat perhatian yang intensif dan optimal dari para guru. 80%

Pada kelompok yang diberikan kombinasi Gabapentin dan Methylcobalamin juga didapatkan hasil yang signifikan dalam menurunkan intensitas nyeri pada pasien Painful Diabetic