• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI

Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN

ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia nilotica di Taman Nasiona Baluran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

Rosalina Alvionita Dwi Pratiwi

(4)

ABSTRAK

ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI. Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI.

Taman Nasional Baluran memiliki permasalahan invasi spesies eksotik yang mengancam kelestarian ekosistem yaitu Acacia nilotica. Berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan, tetapi hingga saat jenis tersebut belum bisa dikendalikan secara optimal. Kondisi saat ini A. nilotica telah menyebar di sebagian besar wilayah taman nasional dan menjadi tegakan homogen di beberapa lokasi. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi peranan mamalia besar sebagai pemencar biji A. nilotica yang mencakup jumlah biji yang tekandung dalam feses dan persen tumbuh benih yang terbawa oleh mamalia besar serta kajian seberapa jauh jarak terbawanya biji A. nilotica oleh mamalia besar. Mamalia besar yang terbukti memiliki peran yang besar yaitu kerbau air dan banteng. Jumlah kandungan biji dalam 1000 gram feses banteng sebesar 7.24±6.59 dan feses kerbau air 1.46±0.95. Biji A. nilotica yang termakan kerbau liar memiliki viabilitas 54% dan banteng 34 %. Mamalia besar juga memiliki peran besar dalam menyebarkan biji A. nilotica jarak jauh. Terutama jenis kerbau air terbukti mampu menyebarkan biji hingga ke luar tegakan A. nilotica.

Kata kunci: Acacia nilotica, mamalia besar, pemencar biji

ABSTRACT

ROSALINA ALVIONITA DWI PRATIWI. The Role of Large Mammals as the

Acacia nilotica Seed Disseminator in Baluran National Park. Supervised by

ABDUL HARIS MUSTARI.

Baluran National Park has a species invasion problem caused by Acacia

nilotica that threaten its ecosystem sustainability. Several prevention has been

done, but still can’t completely control the invasion. At this moment, A. nilotica has disseminated in most of Baluran area and becomes a homogenous stands in some places. The objective of this research is to identify the role of large mammals as A. nilotica seed disseminators which found in their feces and the seed growth rate, and also to study how far the seed can be disseminated by those large mammals. Water buffalo and javan banteng are proven has the big role in this. Number of seeds found in 1000 gram javan banteng feces is about 7.24±6.59 and water buffalo feces is about 1.46±0.95. A. nilotica seed eaten by the water buffalo has 54% viability while javan banteng has 34% viability. Large mammals also has a big role in disseminating A. nilotica seed for a long wide range, especially buffalo. Buffalo able to spread the seed up to outside A. nilotica stands.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

PERAN MAMALIA BESAR SEBAGAI PEMENCAR BIJI

Acacia nilotica DI TAMAN NASIONAL BALURAN

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

(6)
(7)

Judul Skripsi : Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia nilotica di Taman Nasiona Baluran

Nama : Rosalina Alvionita Dwi Pratiwi NIM : E4100035

Disetujui oleh

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Sambas Basuni, MS Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

Dr Ir Abdul Haris Mustari, MScF Pembimbing I

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah mamalia besar, dengan judul Peran Mamalia Besar sebagai Pemencar Biji Acacia

nilotica di Taman Nasional Baluran.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari,M.ScF sebagai pembimbing skripsi telah memberikan bimbingan, saran, dan masukan selama penulisan skripsi ini, serta Bapak Dr. Ir. Endes N Dachlan,MS atas kesediaanya sebagai moderator dalam seminar hasil penelitian ini. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si atas kesediaanya sebagai ketua sidang dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina,M.Sc sebagai penguji sidang komprehensif. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada pihak-pihak yang membantu kelancaran penelitian di Taman Nasional Baluran yaitu Ibu Ir. Emy Endah Suwarni,M.Sc selaku Kepala Balai Taman Nasional Baluran dan Bapak Supriyanto selaku Kepala SPTN I Bekol, Bapak M. Yusuf Sabarno, S.Hut, M.Si selaku pembimbing di lapangan, Tim PEH Baluran (Pak Siswanto, Pak Nanang, Pak Andy, Pak Toha, Pak Tedi dan Pak Lamijan) telah memberikan banyak saran dan arahan dalam pengambilan data, seluruh pegawai Taman Nasional Baluran, serta rekan PKLP saya (Aldi, Dendi, Yoga, dan Tiwi) yang telah membantu dan memberikan semangat selama pengambilan data.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, dan almamater tercinta Institut Pertanian Bogor serta kepada seluruh dosen, staff tata usaha, laboran, mamang dan bibi yang telah membantu penulis selama menuntut ilmu di IPB. Ungkapan terima kasih dan rasa hormat penulis ucapakan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga yang selalu mendoakan, memberikan semangat, dan kasih sayang yang tak terhingga, serta sahabat Nepenthes rafflesiana 47, Mila, Azti, Ventie, Caca, Tazkiya, Fitha, Ita, Aris, Andini, Ganies, dan teman-teman semua yang telah memberikan semangat dan dukungan dari awal sampai akhir.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat penelitian 2 METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Alat dan Bahan 3

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Kondisi Persebaran Feses Mamalia Besar 9

Jumlah Biji Acacia nilotica yang Ada pada Feses Mamalia Besar 12 Persen Tumbuh Biji Acacia nilotica dari Feses Mamalia Besar 15 Persebaran Acacia nilotica yang Terbawa oleh Mamalia Besar 18

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perbedaan feses banteng dan kerbau air 4

2 Perbedaan feses lama dan baru antara banteng dan kerbau air 5 3 Biji A. nilotica yang terkandung dalam feses mamalia besar 13 4 Perbandingan rata-rata kandungan biji A. nilotica dalam satu feses 14 5 Perbandingan rata-rata jumlah biji A. nilotica dalam 1000 gram feses 14 6 Viabilitas benih yang berasal dari kerbau air, banteng, dan kontrol 16 7 Tingkat dan jumlah perkecambahan biji A. nilotica yang berasal dari feses

kerbau air, feses banteng, dan kontrol 17

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi pengambilan data 3

2 Peta sebaran feses mamalia besar di SPTN I Bekol 9

3 Diagram kepadatan feses mamalia besar 10

4 Kerbau air di Savana Bekol 11

5 Rusa timor di Savana Bekol 11

6 Bateng di Savana Bekol 12

7 Peta sebaran A. nilotica yang terbawa oleh kerbau air dan banteng 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gangguan yang mengancam mamalia besar di SPTN I Karangtekok berupa (a) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Labuhan Merak, (b) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Watunumpuk, (c) pemukiman masyarakat eks-HGU di Resort Labuhan Merak, (d)

perencekan kayu di hutan jati Resort Bitakol 23

2 A. nilotica (a) pohon, (b) polong, (c) biji, (d) perkecambahan, (e) semai 24 3 Peta sebaran feses mamalia besar di Taman Nasional Baluran 25 4 Perhitungan dugaan populasi kerbau air dan rusa timor 26 5 Perhitungan chi square hubungan antara sumber biji dengan viabilitas

benih Acacia nilotica 26

6 Perhitungan uji Duncan perbedaan viabilitas antara kontrol, banteng, dan

kerbau air 27

7 Tabel perhitungan kepadatan feses lama mamalia besar 28 8 Tabel perhitungan kepadatan feses baru mamalia besar 29

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Indonesia. Salah satu permasalahan taman nasional yang sampai saat ini belum terselesaikan yaitu serangan yang bersifat invasif oleh tanaman Acacia

nilotica. Tanaman A. nilotica yang berasal dari Afrika Selatan diintroduksi pada

tahun 1969 di sekitar area savana Bekol sebagai sekat bakar karena Taman Nasional Baluran sering sekali terjadi kebakaran hutan. Akan tetapi, kondisi habitat justru mendukung A. nilotica ini tumbuh berkembang dan menginvasi hingga seluruh savana. Kenyataanya hingga saat ini Taman Nasional Baluran belum mampu secara optimal mengatasi invasi A. nilotica yang telah mengubah sebagian besar savana yang ada menjadi tegakan homogen A. nilotica. Hal tersebut berdampak pada hilangnya beberapa key species penyusun ekosistem alami, berkurangnya daya dukung habitat terkait dengan ketersediaan pakan, dan berkurangnya ruang yang biasa digunakan untuk aktivitas sosial satwaliar (BTNB 2013 ).

Upaya pengendalian invasi A. nilotica telah dilakukan untuk mengurangi jumlah dan serangan yang lebih besar, namun hasilnya kurang begitu optimal. Secara mekanis pemberantasan berupa penebangan/pemotongan bahkan dengan pencabutan dan ditindas buldozer. Pemotongan justru memberi dampak tumbuhnya cabang baru yang lebih banyak dan pematahan dormansi biji yang lebih cepat, serta menyebabkan rusaknya lapisan tanah yang berakibat mengurangi produktivitas tumbuhan bawah pakan satwaliar (Djufri 2006). Pemberantasan secara kimiawi juga kurang efektif dan efisien karena membutuhkan biaya yang besar untuk jumlah A. nilotica yang banyak dan sebaran yang luas (Djufri 2004).

Kurang optimalnya pengendalian A. nilotica dapat disebabkan oleh aktifitas satwaliar terutama herbivora. Satwa tersebut dapat menyebarkan biji denga cara memakan dan mengeluarkan kembali dalam kondisi biji utuh, terbawa melalui kuku atau kulit tubuh satwa. Menurut Harvey (1981), biji A. nilotica yang termakan oleh herbivora seperti domba dan sapi dapat keluar kembali dalam kondisi yang masih utuh setelah melalui proses pencernaan. Selain itu, feses satwa juga mempengaruhi kondisi lingkungan biji sehingga mempercepat biji untuk tumbuh. Jenis satwaliar yang diduga menyebarkan biji A. nilotica adalah beberapa mamalia besar yang biasanya memakan biji A. nilotica. Mamalia besar tersebut diantaranya seperti kerbau air (Bubalus bubalis), banteng (Bos javanicus), dan rusa timor (Rusa timorensis).

Kajian mengenai peran mamalia besar sebagai penyebar biji A. nilotica di Taman Nasional Baluran perlu dipelajari. Hal ini dikarenakan upaya pengendalian yang telah dilaksanakan kurang optimal dalam mengurangi invasi A. nilotica di Taman Nasional Baluran. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi peran mamalia besar dalam penyebaran biji A. nilotica di Taman Nasional Baluran. Peran mamalia besar dalam menyebarkan biji A. nilotica mencakup jumlah biji dalam feses, persen tumbuh bibit A. nilotica, dan jarak terbawanya biji oleh mamalia besar. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam

(12)

2

pengelolaan ekosistem hutan untuk memberantas spesies invasif ini dari sisi peranan satwa.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Jenis mamalia besar manakah yang berperan menyebarkan biji A. nilotica? 2. Berapa jumlah biji A. nilotica yang terkandung dalam feses mamalia besar? 3. Berapa persen tumbuh bibit A. nilotica yang dihasilkan dari sisa pencernaan

mamalia besar?

4. Berapa jarak terbawanya biji A. nilotica yang terbawa oleh mamalia besar? 5. Berapa besar peran mamalia besar menyebarkan biji A. nilotica dibandingkan

dengan faktor penyebar lainnya?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi peranan mamalia besar sebagai pemencar biji A. nilotica yang mencakup jumlah biji, persen tumbuh benih A. nilotica, dan jarak terbawanya biji A. nilotica oleh mamalia besar.

Manfaat penelitian

Hasil dari penelitian ini mampu memberikan data mengenai peranan mamalia besar dalam penyebaran biji A. nilotica sehingga dapat menjadi masukan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan bahan pertimbangan dalam upaya penanggulangan invasi A. nilotica.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Baluran, Kabupaten Situbondo Jawa Timur dengan fokus pada daerah wilayah jelajah banteng, kerbau air dan rusa timor yang berada pada SPTN I Bekol yaitu savana bekol dan tegakan

A. nilotica yang berada di sekelilingnya, Talpat, Evergreen, HM 53-80 jalan

utama Batangan ke Bekol, Ketoan Kendal Timur, Semiang, Manting, Kajang, dan Balanan. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari-April 2014. Pengambilan data feses dilaukan pada bulan Februari-Maret 2014, sedangkan bulan April digunakan untuk pengujian viabilitas benih. Lokasi pengambilan data dapat terlihat pada Gambar 1.

(13)

3

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital, GPS, ayakan, plastik spesimen, timbangan, penggaris, polybag, meteran, golok, thermometer,

tallysheet, komputer dan perangkat GIS, program microsoft excel 2007 dan alat

tulis. Bahan yang digunakan berupa feses mamalia besar dan biji A. nilotica sebagai objek penelitian.

Metode Pengumpulan Data Observasi lapang

Observasi lapang bertujuan untuk pengenalan kondisi lokasi pengambilan data. Pengenalan lapang dilakukan selama satu minggu sebelum pengambilan data dilakukan. Observasi lapang yang dilakukan berupa melihat kondisi mamalia di lapangan, merencakan pengambilan data dengan mencocokan kondisi dilapangan.

(14)

4

Analisis Feses

Metode analisis feses merupakan metode pengamatan untuk menganalisis

sample koleksi feses lebih lanjut (Tiuria et al. 2008). Analisis feses merupakan

salah satu teknik mikrografik untuk mengkaji makanan herbivora dari makanan yang telah tercerna dalam perut dan biasanya diterapkan untuk ruminansia (Gonzalez 1992). Penerapannya yaitu dengan mengambil sample feses jenis kerbau air, banteng, dan rusa timor kemudian mengamati setiap bagian yang termakan dengan fokus utama biji A. nilotica.

Feses kerbau air, banteng, dan rusa timor dianalisis kandungan biji A.

nilotica yang terkandung didalamnya. Cara identifikasi biji A. nilotica dalam feses

kerbau air dan banteng yaitu dengan menggunakan bantuan golok untuk membuka bagian feses dan menggunakan tangan langsung agar biji A.nilotica yang terkandung dalam feses tidak hilang ketika pengecekan. Pengecekan feses rusa timor dilakukan dengan cara mengambil feses kemudian dicairkan dengan air dan disaring dengan ayakan untuk memastikan kandungan biji A. nilotica. Sebelum mengidentifikasi kandungan biji dalam feses dilakukan penimbangan berat feses terlebih dahulu.

Kondisi biji yang berasal dari feses mamalia besar diidentifikasi menjadi empat kategori, yaitu biji kualitas buruk, biji rusak, dan biji yang telah berkecambah. Biji kualitas baik merupakan biji utuh yang berpotensi untuk tumbuh. Biji kualitas buruk merupakan biji utuh yang kosong atau tidak berpotensi untuk tumbuh. Biji rusak merupakan biji yang kondisinya tidak utuh, sedangkan biji yang telah berkecambah merupakan biji yang mulai tumbuh menjadi kecambah.

Feses rusa timor, banteng, dan kerbau air memiliki perbedaan bentuk dan ukuran. Feses rusa timor berbentuk butiran seperti kacang tanah dengan ukuran panjang feses 1.5 cm dan diameter 1 cm. Feses kerbau air dan banteng memiliki bentuk yang hampir sama. Perbedaan feses banteng dengan feses kerbau air disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Perbedaan feses banteng dan kerbau air

Keterangan a Presentasi kandungan air dalam feses didapatkan dari perhitungan berat kering feses

melalui proses pengovenan.

Selama pengambilan feses ditemukan feses kerbau air dan banteng dalam kondisi yang masih baru dan lama. Perbedaan feses lama dan baru dari jenis

Pembeda

Kategori Feses Jenis Banteng Jenis Kerbau air

Warna Hijau lebih gelap Hijau kuning lebih terang Serat Serat daun lebih

kasar

Serat daun lebih halus

Bau Tingkat bau

menyengat sedang

Tingkat bau menyengat lebih tinggi Berat Berat 2.5-3 kg Berat 3-5 kg

Kandungan aira

Kandungan air lebih sedikit sehingga serat lebih banyak (69%)

Kandungan air lebih banyak sehingga lebih lembek (73%)

(15)

5 kerbau air dan banteng dapat dilihat dari kondisi fisiknya. Penggolongan feses baru yaitu feses yang berumur 1 minggu. Sedangkan, feses lama yaitu feses yang berumur 1 minggu lebih hingga 6 bulan. Perbedaan feses lama dan baru antara banteng dan kerbau air disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2 Perbedaan feses lama dan baru antara banteng dan kerbau air

Pembeda

Feses Baru Feses Lama

Jenis Banteng Jenis Kerbau air Jenis Banteng Jenis Kerbau air Warna Hijau gelap Kuning terang Gelap seperti

warna tanah disekitarnya Kuning pucat kecoklatan Bentuk Berlipat-lipat menggunung (tinggi feses 18-25 cm) Menggunung bulat biasa (tinggi feses 9-15 cm) Tinggi gunungan berkurang dan hampir menyatu dengan tanah(sekitar 5 cm dari tanah tingginya), lipatan feses tidak begitu terlihat. Tinggi gunungan feses hampir menyatu dengan tanah (sekitar 1-3 cm)

Struktur Lembek padat Lembek padat Keras seperti tanah yang menggumpal Serat serat terurai seperti abu bila dipegang Suhu Bila umur feses 1

hari maka akan terasa hangat (suhu 37 ° C). Umur feses di atas 1 hari suhunya mengikuti lingkungan (28-29° C) Sama seperti feses banteng

Suhu lingkungan Suhu lingkungan

(16)

6

Feses banteng dan kerbau yang masih baru memiliki suhu yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan feses lama. Pengukuran suhu feses menggunakan alat termometer. Suhu feses dihitung selama tiga kali pengulangan. Hasil suhu pasti merupakan rata-rata dari tiga kali pengukuran suhu feses.

Penentuan Jalur Lokasi Penelitian

Penentuan jalur lokasi penelitian di Taman Nasional Baluran menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2008) purposive

sampling merupakan teknik pengambilan sample sumber data dengan

petimbangan tertentu. Dasar pertimbangan dalam pengambilan lokasi sample yaitu pada wilayah jelajah mamalia besar yang diduga memiliki peran menyebarkan A. nilotica. Pertimbangan lain yaitu kawasan-kawasan yang telah terinvasi spesies A. nilotica.

Jalur pengambilan data menggunakan metoda line transect yaitu pengamatan bergerak sepanjang jalur. Penemuan feses jenis mamalia besar dihitung dan diukur posisi (jarak dan sudut pandang) feses tersebut terhadap pengamat. Batasan jarak kanan dan kiri jalur saat pengambilan objek yang diamati sejauh mata memandang.

Jalur pengamatan terdiri 14 jalur dengan panjang jalur yang berbeda-beda. Penentuan panjang jalur yang bervariasi dipengaruhi oleh batas kawasan, topografi yang tidak bisa dilalui, dan lokasi yang sering dilewati satwa. Lokasi hutan evergreen terdiri dari lima jalur dengan panjang setiap jalurnya 2000 m dan jarak antar jalur 500 m. Lokasi hutan evergreen memiliki tutupan vegetasi yang rapat dan berbatasan dengan zona inti sehingga panjang jalur hanya 2000 m. Lokasi Talpat, Ketoan Kendal, Balanan, dan Kajang berada pada satu jalur dengan panjang jalur 5000 m untuk Talpat, Ketoan Kendal, dan Kajang, serta 7000 m untuk Balanan. Lokasi Talpat, Balanan dan Kajang hanya bisa dibuat satu jalur karena kondisi topografinya berbatasan langsung dengan jurang dan tebing yang sangat tinggi. Lokasi Ketoan Kendal hanya terdapat satu jalur karena ujung kawasan ini berbatasan dengan lokasi savana Bekol dan Manting. Lokasi savana Bekol terdiri dari lima jalur dengan panjang jalur 3000 m dan jarak antar jalur 1000 m. Jarak pandang di savanna Bekol lebih panjang jika dibangkan dengan lokasi yang berada pada hutan evergreen.

Populasi Mamalia Besar

Data populasi mamalia besar Taman Nasional Baluran diperlukan untuk mengetahui jumlah mamalia besar yang memiliki peran sebagai penyebar A.

nilotica. Metode yang digunakan dalam pendugaan populasi mamalia besar yaitu concentration count. Metode concentration count merupakan metode

penghitungan populasi secara menyeluruh (sensus) pada luasan areal tertentu. Metode ini cocok untuk penghitungan populasi satwa yang hidup berkelompok. Kerbau air dan rusa timor merupakan satwaliar yang hidup berkelompok. Savana Bekol merupakan lokasi utama tempat berkumpulnya kerbau air dan rusa timor.

Teknik pengambilan data populasi di Savana Bekol yaitu dengan pengamat diam pada titik dimana satwa biasa berkumpul dan melakukan aktivitas. Lokasi pengamatan berada di menara pandang yang berada di savana karena dari lokasi tersebut bisa menjangkau seluruh areal Savana Bekol. Pengamatan satwa

(17)

7 dilakukan selama tiga kali ulangan. Waktu pengamatan pada pagi hingga sore hari (pukul 05.00-17.00 WIB) dan malam hari (18.30-21.00 WIB).

Data populasi banteng di Taman Nasional Baluran diperoleh dengan data sekunder. Hal ini karena pada saat pengamatan dilapangan sulit untuk menemukan banteng. Data sekunder populasi banteng yang dijadikan acuan yaitu data populasi tahun 2013 berdasarkan hasil inventarisasi pengelola dengan menggunakan metode penjelajahan.

Uji Viabilitas Benih

Penghitungan tingkat keberhasilan tumbuh biji bertujuan untuk mengetahui kemampuan benih atau daya hidup benih yang terkandung dalam feses mamalia besar dan dibandingkan dengan benih yang berasal dari proses alami (biji kontrol). Uji viabilitas benih dilakukan dengan menanam biji yang terkandung dalam feses mamalia besar. Biji yang ditanamkan yaitu biji yang memiliki kualitas baik.

Cara menentukan biji yang memiliki kualitas baik yaitu dengan merendam biji didalam air. Biji yang tenggelam di dasar air merupakan biji yang memiliki kualitas bagus. Jumlah sample biji yang ditanam sebanyak 35 buah untuk masing-masing kategori sumber biji. Jumlah tersebut didasarkan pada jumlah minimal biji yang memiliki kualitas baik. Biji berasal dari feses banteng yang memiliki kualitas baik lebih rendah dibandingkan kerbau air. Biji yang memiliki kualitas baik ditanam dalam media polybag yang berisi tanah.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan penguraian dan penjelasan mengenai parameter-parameter yang diukur dan diamati. Data mengenai kondisi persebaran feses mamalia besar, kepadatan feses mamalia besar, jumlah biji yang ada pada feses mamalia besar, presentasi viabilitas benih, dan jarak terbawanya biji dijelaskan secara deskriptif yang ditunjang penjelasan tabel, gambar, dan grafik. Analisis kuantitatif merupakan pengolahan data menggunakan teknik matematik dan statistik. Data mengenai kepadatan feses, populasi mamalia besar, presentase viabilitas benih, dan hubungan suatu jenis sumber biji terhadap perkecambahan A.

nilotica dianalisis secara kuantitatif.

Pendekatan Chi-Square (X2)

Penentuan ada atau tidaknya hubungan yang berpengaruh antara suatu jenis sumber biji terhadap perkecambahan A. nilotica diuji dengan uji Chi-square (X2) yang dinotasikan sebagai berikut:

Keterangan:

X2 : Nilai chi-kuadrat

fe : Frekuensi yang diharapkan

(18)

8

Kriteria uji = ( (0,05); Db =(b-1)(c-1)) yang digunakan sebagai berikut: Hipotesis yang diuji dirumuskan sebagai berikut:

Ho : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara suatu jenis sumber biji terhadap kemampuan perkecambahan bibit A. nilotica

H1 : Terdapat hubungan yang siginifikan antara suatu jenis sumber biji terhadap kemampuan perkecambahan bibit A. nilotica

Kriteria uji pemeriksaan atau peroleha hipotesis ditentukan dengan ketentuan :

Jika , maka terima H0

Jika , maka tolak H0

Jika kesimpulan hipotesis menunjukan terdapat hubungan yang signifikan (terima H1) maka analisis dilanjutkan ke Uji Duncan untuk mengetahui variabel mana yang saling berpengaruh. Menurit Walpole (2005), uji Duncan dinotasikan sebagai berikut:

Keterangan:

S2 : Kuadrat tengah galat

rp : wilayah terstudenkan nyata (∝ (0.05), v = k (n-1)) n : jumlah perlakuan

Rp : wilayah nyata terkecil Kriteria uji:

Jika < Rp maka hasilnya tidak berbeda nyata (sama) Jika > Rp maka hasilnya berbeda nyata

Kepadatan Feses

Kepadatan feses mamalia besar yang dijumpai selama penelitian berguna untuk mengetahui kondisi persebaran mamalia besar. Data kepadatan feses dianalisis secara kuantitatif dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:

D = kepadatan feses (feses/km2) xi = jumlah feses pada kontak ke-i Lj = panjang transek jalur ke-j (m)

dj = rata-rata lebar kiri kanan jalur ke j (m) nj = jumlah kontak pada jalur ke-j

Sin θi = besar sudut antara pengamat dengan kontak atau feses (Krebs 1978)

Concentration Count

Concentration count merupakan metode penghitungan populasi karbau air

dan rusa timor di lokasi penelitian. Persamaan penduga ukuran populasi yang digunakan adalah sebagai berikut:

(19)

9

Keterangan:

Pj = dugaan ukuran populasi

xi = jumlah individu yang dijumpai pada pengamatan ke-i (individu) n = jumlah ulangan pengamatan (Bismark 2011)

Uji Viabilitas Benih

Uji viabilitas benih dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan tumbuh biji yang berasal dari sisa pencernaan mamalia besar maupun langsung dari alam. Analisis data viabilitas benih dilakukan secara kuantitatif. Perhitungan presentasi kecambah biji sebagai berikut:

% kecambah = (biji yang berkecambah/total biji) x 100%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Persebaran Feses Mamalia Besar

Feses mamalia besar di Taman Nasional Baluran secara tidak langsung memiliki peranan terhadap penyebaran A. nilotica. Penyebaran A. nilotica yang disebabkan oleh mamalia besar dapat dilihat dari jumlah biji yang terkandung dalam feses, kemampuan viabilitas benih yang berasal dari feses mamalia besar, dan persebaran feses mamalia besar yang mengandung biji A. nilotica. Kerbau air, banteng, dan rusa timor merupakan herbivora jenis browser (pemakan pucuk daun) ataupun grasser (pemakan rumput) yang diindikasi memiliki potensi menyebarkan A. nilotica melalui biji yang dimakan atau terbawa melalui injakan. Peta sebaran feses mamalia besar disajikan pada Gambar 2.

(20)

10

Berdasarkan hasil pengamatan di SPTN I Bekol didapatkan sebaran feses mamalia besar jenis kerbau air, banteng, dan rusa timor seperti yang disajikan pada Gambar 2. Feses banteng tersebar di lima lokasi, yaitu hutan evergreen,hutan sekunder Talpat, tegakan A. nilotica Talpat, tegakan A. nilotica Simacan, dan Savana Semiang. Feses kerbau air tersebar mengelompok di enam loksi yaitu areal savana Bekol, tegakan A. nilotica Bama, Talpat, Ketoan Kendal, dan Balanan. Berbeda dengan feses rusa yang tersebar mengelompok hanya di sekitar savana Bekol dan tegakan A. nilotica Bama.

Persebaran feses kerbau air, banteng dan rusa timor terkonsentrasi di wilayah SPTN I Bekol. Jelajah kerbau air, banteng, dan rusa timor jarang ditemukan di SPTN II Karangtekok karena adanya gangguan di wilayah tersebut. Gangguan berupa penggembalaan sapi liar di Resort Labuhan Merak dan Resort Watunumpuk, pemukiman masyarakat eks-HGU yang berada di zona rimba Resort Labuhan Merak, dan gangguan masyarakat perencek kayu di wilayah Bitakol. Besarnya gangguan tersebut menyebabkan satwaliar terutama mamalia besar menghindari daerah SPTN II Karangtekok.

Sebaran mamalia besar cenderung berada disekitar Savana Bekol dan tegakan homogen A. nilotica disekitar savana. Keberadaan savana dan hutan primer disekitar Bekol mampu memenuhi kebutuhan satwa terutama mamalia besar. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang ada di Savana Bekol. Pakan mamalia besar berupa alang-alang (Imperata cylindrica), rayapan (Brachiria reptans), lamuran putih (Dichantium caricosum), dan letak (Sclerachne punctata) (Sabarno 2002). Tim Balai Taman Nasional Baluran (2011) menyatakan savana merupakan bentang alam yang sesuai untuk kehidupan mamalia besar seperti banteng, kerbau air, dan rusa timor. Savana mempunyai peranan penting bagi kelestarian satwaliar karena berfungsi sebagai sumber pakan, tempat makan, tempat istirahat sambil melakukan kegiatan ruminansia, serta sebagai tempat perkawinan dan membesarkan anak (Sabarno 2002). Grafik kepadatan feses mamalia besar disajikan dalam Gambar 3.

(21)

11 Gambar 3 menunjukan bahwa kepadatan feses mamalia besar di SPTN I Bekol bervariasi. Kepadatan feses mamalia besar dipengaruhi oleh jumlah satwa, pergerakan satwa, dan ukuran feses. Kepadatan feses lama cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan feses baru. Lamanya waktu dalam penguraian feses menyebabkan feses lama masih utuh dan mengumpul semakin banyak.

Feses kerbau air memiliki kepadatan paling tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya. Tingginya kepadatan feses kerbau air dipengaruhi oleh jumlah populasi kerbau air. Selama pengamatan jumlah kerbau air di lokasi penelitian sebesar 128 individu. Jejak kaki dan feses kerbau air paling banyak ditemukan pada hampir seluruh lokasi pengamatan kecuali di daerah hutan evergreen dan wilayah SPTN II Karangtekok. Kerbau air merupakan satwaliar yang hidup berkelompok dan cenderung menyukai daerah savana. Selain itu, ukuran feses kerbau air yang besar dengan diameter ±30 cm, lebih mudah teramati dan terhitung. Gambar kerbau air yang berada di savanna Bekol disajikan dalam Gambar 4.

Kepadatan feses rusa timor juga menunjukan hasil yang cukup tinggi. Jumlah feses rusa timor dipengaruhi populasi rusa timor. Jumlah rusa timor di lokasi pengamatan sebanyak 566 individu. Feses rusa timor menyebar secara berkelompok dan terkonsentrasi di Savana Bekol dan tegakan A. nilotica di sekitarnya. Hal ini karena rusa timor lebih banyak melakukan aktivitas harian di Savana Bekol dan tegakan A. nilotica tersebut. Populasi rusa timor lebih banyak dibandingkan kerbau air, namun kepadatan feses rusa timor lebih rendah dibandingkan dengan kerbau air. Ukuran feses rusa timor yang kecil seperti butiran kacang juga mempengaruhi penghitungan feses. Gambar rusa timor yang berada di savana Bekol disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Rusa timor di Savana Bekol Gambar 4 Kerbau air di Savana Bekol

(22)

12

Kepadatan feses banteng di Taman Nasional Baluran sangat rendah karena jumlah feses baru maupun lama yang ditemukan sangat sedikit. Hal tersebut disebabkan oleh populasi banteng yang sedikit. Hasil inventarisasi terakhir yang dilakukam pengelola tahun 2013 menggunakan metode penjelajahan menunjukan bahwa populasi banteng sebesar 34 individu. Perjumpaan langsung dengan banteng selama penelitian juga sangat jarang. Banteng yang ditemukan secara langsung berjumlah 2 individu di HM 70 dan Savana Bekol. Kedua banteng tersebut merupakan individu yang berbeda karena banteng yang di jumpai di HM 70 merupakan banteng jantan remaja, sedangkan banteng yang berada di Savana Bekol merupakan jantan dewasa. Gambar bamteng yang berada di savana Bekol disajikan dalam Gambar 6.

Perjumpaan tidak langsung berupa jejak kaki banteng juga jarang ditemukan. Jejak kaki banteng hanya ditemukan di daerah evergreen HM 56-80, Talpat, dan Bukit Si Macan. Lokasi perjumpaan jejak kaki banteng merupakan hutan sekunder yang jarang dilewati manusia. Hoogerwerf (1970) menyatakan banteng merupakan satwaliar yang sangat sensitif terhadap gangguan, sehingga pergerakan banteng cenderung menghindari daerah terbuka untuk menghindari gangguan perjumpaan manusia.

Jumlah Biji Acacia nilotica yang Ada pada Feses Mamalia Besar Herbivora memiliki peranan dalam penyebaran biji A. nilotica. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah biji A. nilotica yang terbawa dalam feses mamalia besar. Jenis mamalia besar yang memungkinkan memakan bagian A. nilotica yaitu kerbau air, banteng, dan rusa timor. Menurut Schuurman (1993), jenis herbivora besar lebih efektif dalam menyebarkan biji dibandingkan jenis herbivora kecil. Ketiga jenis satwaliar tersebut mengkonsumsi bagian dari A. nilotica, namun tidak semua jenis memakan bagian polong dengan porsi yang sama.

Mamalia besar jenis kerbau air dan banteng terbukti memakan polong A.

nilotica. Jumlah biji A. nilotica yang ditemukan dalam feses kerbau air paling

tinggi karena penemuan feses kerbau air lebih banyak dibandingkan dengan feses satwa lainnya. Jumlah feses banteng yang ditemukan lebih rendah, namun biji A.

nilotica yang terkandung dalam feses jumlahnya cukup banyak. Biji A. nilotica

yang terkandung dalam feses mamalia besar disajikan dalam Tabel 3. Gambar 6 Banteng di Savana Bekol

(23)

13 Tabel 3 Biji A. nilotica yang terkandung dalam feses mamalia besar Sumber biji Jumlah feses Jumlah biji Kondisi biji Biji utuh kualitas baik Biji utuh kualitas buruk Biji yang rusak Biji yang telah berkecambah Feses kerbau air 214 117 73 16 19 9 Feses banteng 8 58 35 10 12 1 Feses rusa timor 129 0 0 0 0 0 Total 351 165 108 26 31 0

Kondisi biji A. nilotica yang masih utuh dalam feses kerbau air dan banteng menunjukkan hasil yang hampir sama yaitu 84% dan 79%. Biji utuh memiliki kondisi biji yang bulat utuh. Biji yang rusak yaitu biji yang bentuknya sudah tidak utuh bulat akibat pengaruh proses pencernaan. Menurut Harvey (1981), polong A. nilotica yang termakan oleh jenis sapi memiliki proporsi yang sangat tinggi, yaitu hingga 81% biji dalam kondisi utuh setelah perjalanan pencernaan makanan dalam usus. Sapi memiliki karakter pencernaan yang hampir sama dengan banteng dan kerbau air.

Biji utuh yang berasal dari feses kerbau air sebanyak 62% dalam kondisi baik. Biji tersebut memiliki potensi untuk dapat tumbuh menjadi pohon. Biji yang berkualitas buruk dalam feses kerbau air sebanyak 14%, 16% dalam kondisi biji yang sudah rusak, dan 8% merupakan biji yang sudah berkecambah. Biji yang berkecambah dalam feses ditemukan pada feses lama.

Penentuan kualitas biji dilakukan dengan cara merendam dalam air. Biji kualitas baik posisinya akan tenggelam dalam dasar air. Biji dengan kualitas buruk akan terapung karena masa biji sudah berkurang. Jumlah serpihan biji rusak yang terkandung dalam feses kerbau air juga menunjukan hasil yang paling tinggi dibandingkan dengan mamalia besar lainnya.

Feses banteng yang mengandung biji A. nilotica dalam kondisi utuh menunjukan bahwa banteng juga terbukti memiliki peran dalam penyebaran A.

nilotica. Sebanyak 60% biji yang terkandung dalam feses banteng memiliki

kualitas biji yang baik atau berpotensi untuk dapat tumbuh. Keseluruhan biji total yang terkandung dalam feses banteng sebanyak 17 % memiliki kualitas biji yang buruk, 21% biji kondisinya rusak atau sudah tidak bulat utuh dan 2 % biji sudah berkecambah dalam feses.

Dugaan bahwa mamalia besar jenis rusa timor memiliki peran dalam penyebaran biji A. nilotica belum dapat dibuktikan karena tidak ditemukan biji tersebut pada feses rusa timor. Tim Pengendali Ekosistem Hutan Taman Nasional Baluran menjelaskan bahwa selama penelitian dan patroli di lapang tidak pernah menemukan biji A. nilotica dalam feses rusa timor. Satwaliar yang memiliki jenis pencernaan seperti domba proporsi kemampuan biji untuk keluar dalam kondisi utuh setelah proses pencernaan kurang dari 1% (Harvey 1981). Satwaliar sejenis cattle seperti banteng dan kerbau air dalam memamah makanannya kurang efektif

(24)

14

dibandingkan sejenis domba dan rusa sehingga proporsi jumlah biji utuh lebih banyak (Tiver et al. 2001).

Perbandingan jumlah biji per feses mamalia besar digunakan untuk melihat perbedaan kandungan biji dalam feses setiap jenisnya. Feses banteng dan feses kerbau air memiliki perbedaan kandungan biji. Perbandingan rata-rata kandungan biji A. nilotica dalam satu feses disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Perbandingan rata-rata kandungan biji A. nilotica dalam satu feses

Jenis feses Biji per feses ( ±SD) Kondisi biji Biji kualitas baik ( ±SD) Biji kualitas buruk ( ±SD) Biji rusak ( ±SD) Biji yang telah berkecam bah ( ±SD) Feses banteng 28.50±28.99 17.50±23.33 5.00±2.83 6.00±2.83 1 Feses kerbau air 5.68±4.12 4.29±4.62 1.78±1.09 2.38±1.3 1.29±0.76 Data dari Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah biji yang terkandung dalam feses banteng lebih tinggi dibandingkan dengan feses kerbau air. Jumlah biji yang terkandung dalam satu feses banteng sebesar 28.50±28.99 dan sebesar 5.68±4.12 dalam feses kerbau air. Hal ini menunjukkan bahwa banteng memiliki peran yang besar dalam penyebaran biji A. nilotica di Taman Nasional Baluran.

Kondisi biji yang berasal dari feses mamalia besar dibedakan menjadi empat yaitu biji kualitas baik, biji kualitas buruk, biji rusak, dan biji yang telah berkecambah. Biji berkualitas baik memiliki nilai rata-rata paling tinggi di antara keempat kondisi biji lainnya. Hal ini berbeda pada kondisi biji yang telah berkecambah yang hanya ditemukan satu biji sehingga tidak dapat dirata-rata. Biji yang telah berkecambah menunjukkan bahwa biji yang terbawa oleh satwa dapat berkembang (viable) di dalam feses. Perbandingan rata-rata jumlah biji A. nilotica dalam 1000 gram feses disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perbandingan rata-rata jumlah biji A. nilotica dalam 1000 gram feses

Jenis feses Biji per 1000 gram feses ( ±SD) Kondisi biji Biji kualitas baik ( ±SD) Biji kualitas buruk ( ±SD) Biji rusak ( ±SD) Biji yang telah berkecamba h ( ±SD) Feses Banteng 7.24±6.59 4.29±5.61 1.33±0.52 1.62±0.46 0.24 Feses Kerbau Air 1.46±0.95 1.09±1.06 0.47±0.26 0.62±0.34 0.35±0.24

Hasil penghitungan biji A. nilotica dalam 1000 gram feses menunjukkan jumlah biji dalam feses banteng lebih tinggi dibandingkan kerbau air. Dalam

(25)

15 setiap 1000 gram feses, rata-rata jumlah biji adalah 7.24±6.59 untuk banteng dan 1.46±0.95 untuk kerbau air. Selain itu, rata-rata jumlah biji berkualitas baik dalam 1000 gram feses banteng lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah biji yang berasal dari feses kerbau air. Hal ini menunjukkan bahwa banteng memiliki potensi yang lebih besar dalam menyebarkan biji yang berkualitas baik dan berpotensi untuk tumbuh.

Karakteristik pencernaan herbivora mempengaruhi hasil temuan biji yang terdapat dalam feses. Kemampuan herbivora dalam mencerna makanan berbeda-beda antara jenis browser, intermediet feeder atau grazer (Darlis et al. 2012). Klasifikasi herbivora berdasarkan tipe rumen ada dua yaitu “cattle-type” dan “moose-type” (Darlis et al. 2012). Jenis kerbau air dan banteng termasuk dalam “cattle-type”, sedangkan rusa timor merupakan jenis ”moose-type”. Ruminansia yang tergolong “cattle-type” menunjukan perbedaan nyata retensi rata-rata dalam mengolah partikel kecil dan zat terlarut dalam ticolorumen dan hasil pencernaan masih heterogen (Clauss et al. 2011). Biji A. nilotica yang terkandung dalam feses kerbau air dan banteng lebih tinggi. Sedangkan rusa timor yang tergolong

“moose-type” memiliki stratifikasi yang kurang dalam mengolah partikel kecil dan zat

terlarut sehingga hasil pencernaan lebih homogen (Clauss et al. 2011). Rusa kurang membedakan partikel makanan yang masuk kedalam pencernaan sehingga pengolahan sama dan hasilnya menjadi lebih homogen.

Banteng, kerbau air, dan rusa timor merupakan mamalia besar yang termasuk ke dalam satwa berkuku atau ungulata. Shorrock (2007) menjelaskan ungulata diklasifikasikan menjadi dua ordo yaitu Artiodactyl (kuku genap) dan Perissodactyl (kuku ganjil). Berdasarkan ukuran tubuh ungulata dibagi menjadi dua yaitu ungulata besar dan ungulata kecil. Banteng dan kerbau air merupakan satwa berkuku genap yang tergolong kedalam ungulata besar, sementara rusa timor merupakan ungulata berkuku genap yang tergolong kedalam ungulata kecil (Parker et al. 2009).

Ukuran tubuh herbivora berbanding lurus dengan tingkat konsumsi makanannya. Ungulata besar memiliki ukuran tubuh yang besar sehingga membutuhkan jumlah pakan yang banyak, sebaliknya ungulata kecil mengkonsumsi makanan dengan kuantitas rendah dari makanan yang kualitas tinggi (Bailey et al. 1996). Banteng dan kerbau air termasuk kedalam ungulata besar yang membutuhkan jumlah makanan yang banyak. Kebutuhan makanan yang besar mengakibatkan waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah makanan menjadi lebih cepat sehingga makanan tidak hancur secara menyeluruh dalam rongga mulut (Lane 2013). Sedangkan rusa timor merupakan ungulata kecil yang membutuhkan jumlah makanan tidak banyak tetapi kualitasnya tingggi seperti hijauan pakan rumput. Waktu yang dibutuhkan untuk memecah partikel makanan dalam rongga mulut akan lebih lama karena jumlah makananya sedikit (Lane 2013). Hal ini menyebabkan partikel makanan akan lebih halus dibandingkan dengan hasil pengunyahan banteng dan kerbau air.

Persen Tumbuh Biji Acacia nilotica dari Feses Mamalia Besar

Persen tumbuh biji merupakan salah satu indikator yang dapat dijadikan parameter peran suatu jenis mamalia besar dalam menyebarkan A. nilotica di

(26)

16

Taman Nasional Baluran. Kemampuan biji untuk tumbuh atau viable menunjukan potensi berkembangnya suatu jenis tanaman. Pengujian mengenai kemampuan viabilitas benih yang berasal dari sisa pencernaan suatu jenis mamalia besar dapat menjadi dasar pertimbangan adanya peran mamalia besar dalam penyebaran biji

A. nilotica. Perbandingan viabilitas benih yang berasal dari feses kerbau air,

banteng, dan kontrol disajikan dalam Tabel 6.

Tabel 6 Viabilitas benih yang berasal dari kerbau air, banteng, dan kontrol Sumber biji n Jumlah biji yang viable Persen kecambah

Kontrol 35 4 11%

Feses kerbau air 35 19 54%

Feses banteng 35 12 34%

Tabel 6 menunjukan bahwa jenis kerbau air memiliki kemampuan viabilitas yang paling tinggi dibandingkan banteng dan kontrol. Sumber biji yang berasal langsung dari alam memiliki kemampuan yang sangat rendah untuk berkecambah. Kemampuan viabilitas benih yang berasal dari sisa pencernaan banteng memiliki persentase yang cukup besar. Hal tersebut menunjukan bahwa adanya potensi peran yang besar dari kerbau air dan banteng dalam penyebaran biji A. nilotica dibandingkan dengan proses pertumbuhan secara alami. Persebaran biji A. nilotica akan lebih efektif melalui satwaliar dibandingkan secara alami karena pengaruh proses pencernaan yang dapat membunuh atau menghancurkan telur larva atau sejenis serangga yang akan memakan biji (Schuurman 1993).

Viabilitas benih yang berasal dari feses kerbau liar lebih tinggi dibandingkan dari feses banteng. Biji yang berasal dari feses kerbau air 54% memiliki kemampuan tumbuh setelah melalui proses pencernaan. Sedangkan biji yang berasal dari feses banteng hanya 34% biji yang viable. Kemampuan viabilitas benih A. nilotica yang berasal dari sisa pencernaan herbivora sejenis

cattle menunjukan 40% biji dapat tumbuh kembali (Jeffrey dan Marker 1996).

Menurut Harvey (1981), feses juga berpengaruh terhadap lingkungan sehingga dapat mempercepat viabilitas benih A. nilotica. Viabilitas benih A. nilotica yang telah melalui pencernaan kerbau air dan banteng lebih tinggi dibandingkan viabilitas benih yang berasal dari proses alami.

Jumlah biji berkecambah dan waktu yang dibutuhkan untuk berkecambah berbeda-beda berdasarkan sumber bijinya. Sumber biji kontrol membutuhkan waktu yang paling lama untuk mengecambahkan biji A. nilotica dibandingkan sumber biji yang berasal dari feses banteng dan kerbau air. Selama 40 hari pengujian viabilitas benih, waktu paling lama yang dibutuhkan biji kontrol untuk mengecambahkan A. nilotica yaitu 25 hari. Sedangkan waktu kecambah paling cepat yaitu 9 hari. Biji A. nilotica yang berasal dari feses banteng membutuhkan waktu paling lama 15 hari untuk berkecambah, waktu tercepat biji dari feses banteng berkecambah yaitu selama 2 hari. Sedangkan biji yang bersumber dari kerbau air membutuhkan waktu paling lama berkecambah 11 hari dan waktu paling singkat berkecambah 3 hari. Hasil tingkat dan jumlah perkecambahan biji

A. nilotica yang berasal dari feses mamalia besar dan kontrol disajikan pada Tabel

(27)

17 Tabel 7 Tingkat dan jumlah perkecambahan biji A. nilotica yang berasal dari feses

kerbau air, feses banteng, dan kontrol Sumber Biji Perkecambahan X2 hitung X 2 tabel Rata-rata (days±SD) Jumlah Kecambah Kontrol 16.99±7.63 4 7.37 14.00 Feses Banteng 8.67±6.69 9 Feses Kerbau air 7.05±4.19 12

Pengujian chi-square dengan menggunakan taraf nyata 0.05 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sumber biji terhadap perkecambahan biji A.

nilotica. Pengujian Duncan menunjukan bahwa hasil perkecambahan yang berasal

dari feses kerbau dan feses banteng tidak berbeda nyata. Sedangkan sumber biji kontrol berbeda nyata hasilnya dengan feses banteng dan kerbau. Hal ini menunjukan bahwa biji yang berasal dari feses kerbau dan banteng memiliki peran yang sama dalam menyebabkan invasi di TamanNasional Baluran.

Perkecambahan biji A. nilotica melalui proses alami akan membutuhkan waktu yang lebih lama karena tidak mengalami proses pengunyahan herbivora. Proses pengunyahan herbivora memudahkan polong terbuka dengan cepat sehingga waktu paling lama biji yang berasal dari feses dapat berkecambah hanya 25 hari. Menurut Kriticos et al. (1999), waktu yang dibutuhkan polong A. nilotica terbuka secara alami setelah jatuh ke tanah yaitu sekitar 2-3 bulan. Sementara biji yang termakan oleh mamalia besar akan dikeluarkan dari dalam perutnya maksimal 6 hari setelah makan (Codron et al. 2005).

Biji A. nilotica di alam juga rentan terhadap pemangsaan predator serangga pemakan buah, yaitu sejenis serangga dari famili Bruchid seperti Bruchidius

grandmaculatus, Acizzia sp., dan Risbecoma capensis yang memakan polong A. nilotica dan merusak polong (Miller 1994). Bruchid akan memakan kotiledon biji

yang menyebabkan biji menjadi kopong (Or dan Ward 2003). Kerusakan polong akibat pemangsaan serangga famili Bruchid ini membuat kemampuan viabilitas benih Acaccia nilotica tumbuh secara alami menjadi rendah.

Proses pencernaan makanan menyebabkan biji dalam feses kerbau air dan banteng memiliki viabilitas yang tinggi. Tiver et al. (2001) menjelaskan bahwa proses pencernaan (digestion) polong A. nilotica di dalam lambung kerbau air dan banteng meningkatkan kematangan biji. Menurut Lamprey (1974), herbivora yang memakan biji, biji tersebut akan mengalami penggosokan dan kondisi asam di lambung kurang lebih 12-48 jam dengan pH 5.8-6.8. Kondisi tersebut akan mematikan larva serangga pemakan biji, sehingga biji yang keluar dari lambung banteng dan kerbau air akan lebih cepat tumbuh dibandingkan biji yang langsung jatuh dari pohonnya. Feses juga dapat membantu mempertahankan kelembaban sehingga memungkinkan biji berkecambah setelah datang hujan (Clode 2010).

Perkecambahan benih A. nilotica secara optimal berasal dari biji yang telah melalui pencernaan mamalia besar. Kecepatan perkecambahan lebih optimal dari benih yang berasal dari pencernaan jenis ”cattle” dibandingkan biji yang telah melalui perlakuan perendaman air panas, larutan acid, dan secara alami (Shayo dan Uden 1998). Miller (1995) menyatakan bahwa viabilitas benih yang telah

(28)

18

melalui saluran pencernaan ungulata akan meningkat berbanding lurus dengan ukuran tubuh. Semakin besar ukuran tubuh ungulata maka akan semakin besar proporsi biji utuh yang dikeluarkan bersama fesesnya. Biji ini memiliki kemampuan viabilitas yang besar. Senzota (1984) juga menyatakan bahwa proporsi biji A. nilotica yang dihasilkan dari ungulata kecil lebih rendah daripada ungulata besar.

Waktu yang dibutuhkan biji untuk tumbuh kembali sekitar 7.05±4.19 hari untuk jenis kerbau liar dan 8.67±6.69 hari untuk banteng (Tabel 7). Waktu tersebut lebih cepat dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk mengecambahkan biji yan berasal dari pohon langsung yaitu sekitar 16.99±7.63 hari. Harvey (1981) menyatakan biji yang berasal dari sisa pencernaan herbivora dapat tumbuh kembali setelah enam hari. Hal tersebut sesuai dengan waktu yang dibutuhkan biji yang berasal dari banteng dan kerbau air untuk berkecambah. Jumlah biji dengan tingkat viabilitas yang tinggi dan waktu yang singkat untuk berkecambah mengindikasikan bahwa persebaran A. nilotica di Taman Nasional Baluran dilakukan secara efektif melalui feses kerbau air dan banteng.

Persebaran Acacia nilotica yang Terbawa oleh Mamalia Besar

Pada awalnya, introduksi tanaman A. nilotica hanya terkonsentrasi di sekitar Savana Bekol sebagai sekat bakar. Saat ini A. nilotica telah menyebar di sebagian besar areal taman nasional dan menjadi tegakan homogen di beberapa lokasi. Penemuan biji A. nilotica yang terkandung dalam feses kerbau air dan banteng mengindikasikan adanya peran satwa tersebut dalam penyebaran biji A. nilotica. Jarak terbawanya biji A. nilotica yang terkandung dalam feses merupakan salah satu indikator peran mamalia besar dalam menyebarkan biji tersebut.

Berdasarkan Gambar 7, biji A. nilotica yang terbawa oleh banteng dan kerbau air tersebar secara mengelompok pada tegakan homogen A. nilotica yang di daerah Talpat, Ketoan Kendal, Simacan, dan Bama. Adapun A. nilotica yang terbawa di luar lokasi tersebut diduga bersumber dari mamalia besar yang memakan polong di tegakan A. nilotica.

Biji yang ada pada feses banteng berada di dalam tegakan homogen A.

nilotica di wilayah savana Kramat Talpat dan Simacan Balanan. Posisi feses

cenderung berada di pinggir areal tegakan menuju perbatasan dengan tipe tutupan lahan lain dan cenderung tersebar acak dan jarak yang jauh antar fesesnya (hingga 12 km). Populasi banteng di Taman Nasional Baluran yang sedikit mempengaruhi jumlah perjumpaan fesesnya. Kecenderungan banteng membawa biji tidak jauh dari tegakan A. nilotica dan jumlah banteng yang sedikit mengimplikasikan peran banteng dalam menyebarkan biji ke areal-areal yang jauh masih kurang.Namun, banteng tetap memiliki peran besar dalam proses percepatan perkecambahan biji melalui proses pencernaannya.

Sebaran biji A. nilotica yang ada pada feses kerbau air sebagian besar mengelompok di bawah tegakan A. nilotica yang berada di Talpat, Ketoan Kendal, dan Bama. Selama pengamatan kerbau air yang dijumpai langsung selalu mengelompok. Selain biji ditemukan di dalam tegakan A. nilotica, biji juga terbawa diluar tegakan A. nilotica.Jarak terbawanya biji di luar tegakan A. nilotica

(29)

19 sejauh 500 m dari tegakan terdekat. Peta sebaran feses mamalia besar yang mengandung biji A. nilotica disajikan pada Gambar 7.

Biji A. nilotica yang berada di luar tegakan A. nilotica merupakan sebuah potensi persebaran dengan jarak yang jauh. Satwaliar yang memakan biji tidak hanya beraktifitas di sumber tempat makannya, namun juga beraktifitas di tempat lain. Biji yang keluar dalam kondisi utuh dan memiliki viabilitas yang tinggi. Hal ini yang menjadi potensi sebagai penyebab penyebaran biji.

Kerbau air memiliki potensi yang lebih tinggi dalam menyebarkan biji A.

nilotica karena persebaran biji yang tekandung dalam feses tidak hanya berada di

dalam tegakan tanaman ini (Gambar 7). Sesuai dengan pendapat Djufri (2004) yang menyatakan pemencaran biji A. nilotica hingga jarak yang jauh dilakukan oleh hewan dengan memakan biji, kemudian membawanya ke tempat yang berjarak mencapai 1000 m atau lebih. Invasi A. nilotica yang luas dapat menjadi dasar yang kuat bahwa sebaran A. nilotica di Taman Nasional Baluran tidak hanya disebabkan oleh persebaran secara alami.

Distribusi sebaran A. nilotica dapat melalui angin dan satwaliar (Walters et

al. 2005). Pemencaran polong A. nilotica yang terjatuh dari pohonnya hanya

berjarak sekitar 15-20 m dari pohon. Menurut Djufri (2004), pemencaran jarak pendek A. nilotica secara alami melalui angin adalah sejauh 25 m dengan menerbangkan biji yang jatuh di tanah.

Proses tersebarnya biji A. nilotica oleh mamalia besar tidak hanya melalui feses. Menurut Djufri (2004), pemencaran biji jarak pendek bisa melalui tumpukan lumpur yang menempel pada kuku hewan. Selama penelitian, terdapat beberapa semaian biji yang berada pada bekas jejak kaki rusa timor dan kerbau air. Namun, kondisi jejak-jejak tersebut berada dibawah tegakan A. nilotica

(30)

20

sehingga sulit untuk menentukan apakah biji berasal dari biji yang jatuh atau

terbawa oleh kaki.

Perbandingan besarnya peran diantara kerbau air, banteng, dan rusa timor dalam membawa biji melalui kakinya dapat dilihat dari perbandingan besarnya ukuran jejak kaki. Ukuran jejak yang lebih besar akan memberikan pengaruh yang lebih besar dalam membawa biji karena ruang penempelan biji lebih besar. Ukuran panjang jejak kaki kerbau air rata-rata 15-19 cm dan lebar 15-20 cm. Ukuran panjang jejak kaki banteng rata-rata 14-17 cm dan lebar 13-14 cm. Jejak kaki kerbau air dan banteng hampir sama berdasarkan bentuknya. Perbedaan jejak kaki banteng dan kerbau air terletak pada bentuknya. Jejak kaki banteng lebih ramping dibandingkan kerbau air yang lebih melebar. Sementara itu, ukuran panjang jejak rusa timor rata-rata 5-8 cm dan lebar 3-5 cm. Berdasarkan ukuran jejak kaki, kerbau air dan banteng memiliki potensi yang besar untuk berperan sebagai pembawa biji A. nilotica.

Mamalia besar tetap memiliki peran yang paling besar dalam penyebaran A.

nilotica. Kerbau air berperan paling besar karena dapat menyebarkan biji hingga

jarak yang jauh. Meskipun persebaran biji bisa secara alami melalui angin dan air serta melalui kaki satwa, tetapi persebaran biji melalui feses mamalia besar memiliki viabilitas yang lebih tinggi. Peran besar mamalia besar dalam penyebaran A. nilotica di Taman Nasional Baluran perlu menjadi perhatian pengelola dalam merumuskan kembali upaya pemberantasan jenis eksotik ini shingga upaya pemberantasan selanjutnya bisa lebih tepat dan efektif karena mempertimbangkan sumber utama penyebab penyebaran A. nilotica.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kerbau air dan banteng memiliki peran yang besar dalam penyebaran biji

A. nilotica. Rata-rata jumlah biji dalam 1000 gram feses kerbau air dan banteng

adalah 1.46±0.95 dan 7.24±6.59. Kemampuan tumbuh biji A. nilotica yang terkandung dalam feses kerbau air dan banteng masing-masing sebesar 54% dan 34%. Hasil tersebut memiliki presentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan biji kontrol sebesar 11%. Kedua mamalia besar tersebut memiliki peran besar dalam menyebarkan biji A. nilotica pada jarak yang jauh, terutama kerbau air yang mampu menyebarkan biji hingga 500 m ke luar tegakan A. nilotica.

Saran

1. Pengelolaan habitat di Taman Nasional Baluran dalam upaya penanggulangan invasi A. nilotica hendaknya perlu memperhatikan sisi pergerakan satwa yang mempengaruhinya.

2. Perlu kajian lebih lanjut mengenai proses fermentasi biji dalam pencernaan herbivora untuk membuktikan viabilitas benih yang dimakan oleh herbivora

(31)

21 3. Perlu kajian lebih lanjut mengenai biji A. nilotica yang terbawa oleh mamalia

besar lainnya seperti babi hutan dan kijang di Taman Nasional Baluran.

DAFTAR PUSTAKA

Bailey DW, Gross JE, Laca EA, Rittenhouse LR, Coughenour MB, Swift DM, Sims PL. 1996. Mechanisms that result in large herbivore grazing distribution patterns. Journal of Range Management. 49: 386-400.

[BTNB] Balai Taman Nasional Baluran. 2013. Laporan Kegiatan Pemataan Sebaran Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Situbondo (ID): BTNB.

Bismark M. 2011. Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Survei Keragaman

Jenis pada Kawasan Konservasi. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Clauss M, Lunt N, Ortmann S, Plowman A, Codron D, Hummel J. 2011. Fluid and particle passage in three duiker species. Eur. J. Wild Res. 57: 143-148. Clode D. 2010. The Animal Improved Dung (AID) Plus Seeds Treatment.

Queensland (AU): Permaculture.

Codron D, Codron J, Sponheimer M, Thorp JAL, T Robinson, Grant CC, Ruiter D. 2005. Assessing diet in savanna herbivores using stable carbon isotopes ratios of faeces. Koedoe. 48: 115-124.

Darlis, Norhani A, Juan BL, Yin WH. 2012. Effects of diets of differing fiber contents on digestibility, passage rate of digesta and heat production in lesser mouse deer (Tragulus javanicus). Jurnal Mammalian Biology . 77: 385-390.

Djufri. 2004. Acacia nilotica (L.) Wild. Ex Del. dan permasalahannya di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Biodiversitas. 5 (2): 96-104.

_____. 2006. Studi autekologi dan pengaruh invasi akasia (Acacia nilotica) (L.) Wild. Ex. Del terhadap eksistensi savana dan strategi penangannya di Taman Nasional Baluran Banyuwangi Jawa Timur [ disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Gonzalez RG. 1992. On the micrographic technique to study herbivorous diets. Di dalam: Gonzalez RG, editor. Plant-Animal Interactions Workshop. 1992 Okt 8-10; Jaca, Spanyol. Jaca (ES): CAMAR EU, hlm 1-9.

Harvey GJ. 1981. Recovery and viability of prickly acacia (Acacia nilotica subsp.

indica seed ingested by sheep and cattle. Di dalam: Wilson BJ dan

Swarbrick JT, editor. Proceedings 6th Australian Weeds Conference (1981 Sept 13-18); Queensland, Australia. Queensland (AU): Queensland Weed Societ, hlm 197-201.

Hoorgerwerf A. 1970. Udjungkulon The Land of The Javan Rhinocheros. Leiden (NL): E. J. Brill.

Jeffrey P, Marker M. 1996. Prickly acacia (Acacia nilotica) in Quessland. Quessland (AU): Departement of Natural Resources and Mines Qld. Krebs, CJ.1978. Ecologi The Experimental Analysis of Distribution and

(32)

22

Kritickos, Darren, Brown J, Ian R, Mike N. 1999. Plant population ecology and biological control: Acacia nilotica as a case study. Biological Control. 16: 230-239.

Lamprey HF, Halevy G, Makacha S. 1974. Interactions between Acacia, bruchid beetles dan large herbivores. East Afr.Wild.J. 12: 81-85

Lane HW. 2013. Would additional nitrogen, phosphorus, and water to a savanna in the Kruger National Park result in a change in the feeding behavior and diet of the local ungulates [thesis]. Cape Town (tZA): Program Magister Universitas Cape Town.

Miller MF. 1994. The costs and benefits of Acacia seed consumtion by ungulates.

Oikos.71: 181-181.

Miller M. 1995. Acacaia seed survival, seed germination and seedling growth following pod consumtion by large herbivores and seed chewing by rodents. African Journal of Ecology. 33: 194-210.

Or K, Ward D. 2003. Three way interactions between Acacia, large mammalian herbivores and bruchid beetles. African Journal of Ecology. 41: 257-265. Parker KL, Barboza PS, Gilinghan MP. 2009. Nutrition integrates

environtmmental responses of ungulates. Functional Ecology. 23: 57-69. Sabarno MY. 2002. Savana Taman Nasional Baluran. Biodiversitas. 3(1):

207-212.

Schuurmans. 1993. Acacia nilotica: ecology and management. Jerman (DE): Agricultural University Wegeningen.

Senzota RBM. 1984. Dry season food refuge of thimson’s gazelles in the Serengeti. Oikos. 42: 411-412.

Shayo CM, Uden P. 1998. Recovery of seed of four African browse shrubs ingested by cattle, sheep and goats and effect of ingestion, hot water and acid treatment on the viability of the seeds. Tropical Grasslands. 32: 195-200.

Shorrock B. 2007. The Biology of African Savannah. New York (US): Oxford University Press Inc.

Sugiyono. 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung (ID): Alfabeta.

Tim Balai Taman Nasional Baluran. 2011. Pengelolaan banteng di Taman Nasional Baluran. Di dalam: Balai Taman Nasional Baluran, editor.

Prosiding Workshop Pengelolaan Banteng di Taman Nasional Baluran

(2011 Oktober 11); Yogyakarta, Indonesia. Yogyakarta (ID): Fakultas Kehutanan UGM. hlm 8-20.

Tiuria R, Jimmy P, Ripta MH, Bambang PP, Adhi RH. 2008. Kecacingan trematoda pada badak jawa dan banteng jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. J Vetenier. 9 (2): 94-98.

Tiver F, Mike N, Darren K, Joel RB. 2001. Low density of prickly acacia under sheep grazing in Queensland. J Range Manage. 54: 382-389.

Walpole RE. 2005. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Walters M, Suzanne JM, Somers MJ, Jeremy JM. 2005. Post dispersal fate of Acacia seeds in an African savanna. South African Journal of Wildlife

(33)

23 Lampiran 1 Gangguan yang mengancam mamalia besar di SPTN I Karangtekok

berupa (a) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Labuhan Merak, (b) penggembalaan sapi di zona rimba Resort Watunumpuk, (c) pemukiman masyarakat eks-HGU di Resort Labuhan Merak, (d) perencekan kayu di hutan jati Resort Bitakol

(a) (b)

(34)

24

Lampiran 2 A. nilotica (a) pohon, (b) polong, (c) biji, (d) perkecambahan, (e) semai

(b) (a)

(c) (d)

(35)

25 L ampi ra n 3 P eta se b ara n f ese s mam ali a b esa r d T aman N asional B alur an

(36)

26

Lampiran 4 Perhitungan dugaan populasi kerbau air dan rusa timor  Kerbau air

= 128  Rusa Timor

= 566

Lampiran 5 Perhitungan chi square hubungan antara sumber biji dengan viabilitas benih Acacia nilotica

Sumber Biji

Hari tumbuh Jumlah tumbuh Total

fo fe [(f0-fe)^2/ fe] fo fe [(f0-fe)^2/f e] fo fe Control 16.99 10.14 4.63 4.00 10.85 4.32 20.99 20.99 Feses kerbau liar 7.05 12.58 2.43 19.00 13.47 2.27 26.05 26.05 Feses banteng 8.67 9.99 0.17 12.00 10.68 0.16 20.67 20.67 Total 32.71 32.71 7.23 35.00 35.00 6.76 67.71 67.71 X2 Hitung 14.00 taraf nyata 0.05 Df 1=(2-1)*(2-1) X2 tabel 3.84

(37)

27 Lampiran 6 Perhitungan uji Duncan perbedaan viabilitas antara kontrol, banteng,

dan kerbau air

No Contr ol Bante ng Kerb au Juml ah JKT JKK JKG Gal at Kua drat teng ah galat 1 16.99 8.67 7.05 7.05 404.32 383.29 21.03 6 3.50 2 0.11 0.34 0.54 0.54 Tota l 17.10 9.01 7.60 7.60 Mea n 8.55 4.50 3.80 = 1.18 rp 2 3 3.461 3.587 Rp 4.076 4.224 k b c 3.80 4.50 8.18 Keterangan: k = Kerbau air b = Banteng c = Kontrol Pengujian Rp3= 4.224

Yk-Yc = 8.55-3.8 = 4.75berbeda nyata Rp2= 4.076

Yb-Yc = 8.55-4.50=4.05 berbeda nyata Yb-Yk =4.50-3.80= 0.71tidak berbeda nyata

(38)

L ampi ra n 7 Ta b el per hit ung an k epa d atan f es es la ma ma malia be sa r N o Tipe Huta n Ja lur L (km) d (km) L ua s (km 2) x x *( 2*(x + 1) ) De nsit y ( F es es/Km 2) B ant eng Ke r ba u R usa B an teng Ke r ba u R usa B anten g Ke rba u R usa 1 Huta n S ekunde r HM 66 B atan ga n ke ba ra t 2.1 0.05 0.11 0 0 0 0 0 0 3 808 187 2 HM 53 B atan ga n ke ti mur 2.0 0.05 0.10 0 0 0 0 0 0 3 HM 53 B atan ga n ke ba ra t 2.0 0.05 0.10 0 0 0 0 0 0 4 HM 71 B atan ga n ke ba ra t 2.0 0.05 0.10 0 0 0 0 0 0 5 Manting 3.0 0.1 0.30 0 0 2 0 0 12 6 Ke tokan K end al 4.6 0.05 0.23 0 27 2 0 151 2 12 7 Ka jan g 4.8 0.1 0.48 0 0 0 0 0 0 8 Huta n Ta na man Aka sia B ekol -b alana n 7.3 0.05 0.37 0 3 10 0 24 220 9 B ekol -b ama se tapa k 4.3 0.05 0.22 0 16 12 0 544 312 10 Ekoton 3.0 0.1 0.30 0 24 15 0 120 0 480 11 Ta lpat 4.7 0.05 0.24 3 12 1 24 312 4 12 HM14 ba ma uta ra 2.0 0.05 0.10 0 9 3 0 180 24 13 Eve rg re en Eve rg re en ke b ara t 3.5 0.05 0.17 0 1 1 0 4 4 28

(39)

L ampi ra n 7 Ta b el per hit ung an k epa d atan f es es la ma ma malia be sa r ( lanjut an) N o Tipe Huta n Ja lur L (km) d (km) L ua s (km2) x x *( 2*(x + 1) ) De nsit y ( F es es/Km 2) B anten g Ke rb au R usa B ant eng Ke rba u R usa B anten g Ke rba u R usa 14 S ava na B ekol -b ama 3.0 0.1 0.30 0 21 11 0 924 264 15 S ava na be kol 2.0 0.1 0.20 0 27 6 0 1512 84 16 S ava na se mi ang 5.4 0.1 0.54 0 0 3 0 0 24 TOT A L 55.7 1.1 3.8 3 140 66 24 6212 1440 L ampi ra n 8 Ta b el per hit ung an k epa d atan f es es ba ru ma malia be sa r N o Tipe Huta n Ja lur L (km) d (km) L ua s (km2) x x *( 2*(x + 1) ) De nsit y ( F es es/Km 2) B an teng Ke rb au R usa B ant eng Ke rb au R usa B an teng Ke rba u R usa 1 Huta n Ta na man Aka sia B ekol -b alana n 7.3 0.05 0.37 1 1 12 4 4 312 3 294 179 2 B ekol -b ama se tapa k 4.3 0.05 0.22 0 8 14 0 144 420 3 Ekoton 3.0 0.1 0.30 0 17 13 0 612 364 4 Ta lpat 4.7 0.05 0.24 0 3 1 0 24 4 5 HM14 ba ma uta ra 2.0 0.05 0.10 0 0 3 0 0 24 29

(40)

L ampi ra n 8 Ta b el per hit ung an k epa d atan f es es ba ru ma malia be sa r (la njut an) N o Tipe Huta n Ja lur L (km ) d (km) L ua s (km 2) x x *( 2*(x + 1) ) De nsit y ( F es es/Km 2) B an teng Ke rba u R usa B an teng K erba u R usa B ant eng Ke rb au R usa 7 Huta n S ekunde r HM 66 B atan ga n ke ba ra t 2.1 0.05 0.11 1 0 0 4 0 0 8 HM 53 B atan ga n ke ti mur 2.0 0.05 0.10 0 0 0 0 0 0 9 HM 53 B atan ga n ke ba ra t 2.0 0.05 0.10 0 0 0 0 0 0 10 HM 71 B atan ga n ke ba ra t 2.0 0.05 0.10 0 0 0 0 0 0 11 Manting 3.0 0.1 0.30 0 0 2 0 0 12 12 Ke tokan K end al 4.6 0.05 0.23 0 18 2 0 684 12 13 Ka jan g 4.8 0.1 0.48 0 0 0 0 0 0 14 S ava na B ekol -b ama 3.0 0.1 0.30 0 12 8 0 312 144 15 S ava na be kol 2.0 0.1 0.20 1 15 5 4 480 6 0 16 S ava na semian g 5.4 0.1 0.54 1 0 3 4 0 24 17 Eve rg re e n Eve rg re en ke b ara t 3.5 0.05 0.17 1 0 0 4 0 0 TOT A L 55. 7 1.1 3.8 5 74 63 20 2260 1376 30

Gambar

Gambar 1  Peta lokasi pengambilan data
Tabel 2  Perbedaan feses lama dan baru antara banteng dan kerbau air  Pembeda
Gambar 2  Peta sebaran feses mamalia besar di SPTN I Bekol
Gambar 3  Diagram kepadatan feses mamalia besar
+5

Referensi

Dokumen terkait

(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang atas jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud

Pada suatu area atau stok yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan pengelolaan, dalam hal ini kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang

Menguasai pengetahuan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang meliputi prosedur dan pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di laboratorium medis serta

Berdasarkan data yang telah diperoleh dalam penelitian ini “Transformasi Novel ke Film 99 Cahaya di Langit Eropa karya Hanum salsabila dan Rangga Almahendra” dapat

Penelitian ini bertujuan untuk menguji self-efficacy dan pola asuh otoriter terhadap prokrastinasi akademik pada mahasiswa. Sunjek dalam penelitian ini adalah

Penelitian tentang pengaruh bimbingan keagamaan terhadap kesehatan jiwa bagi penderita kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta, maka akan dapat menambah

Sedangkan pelebaran puncak difraksi dapat dikaitkan dengan ukuran partikel, dimana puncak yang melebar menunjukkan kehalusan butir atau sebaliknya setelah

It can be seen from the percentage tables above that the process of compounding takes 33.1% of total English word formation processes found in advertisement