• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI 2.1 Singkong 2.2 Sianida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DASAR TEORI 2.1 Singkong 2.2 Sianida"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

4

sehingga membutuhkan energi yang cukup untuk menjalani kegiatan sehari-hari. Salah satu sumber energi yang dapat diperoleh manusia berasal dari bahan pangan. Umumnya bahan pangan yang dibutuhkan mengandung gizi yang tinggi seperti protein, karbohidrat, lemak, air, dan mineral. Namun tidak hanya mengandung gizi, bahan pangan juga dapat mengandung racun yaitu asam sianida yang terdapat pada umbi-umbian seperti singkong. Sianida merupakan senyawa yang sangat beracun dan bersifat volatil dan dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian dalam waktu singkat. Menurut peraturan dari Standar Nasional Indonesia (SNI) kadar sianida yang masih dapat dikonsumsi untuk olahan makanan dan minuman adalah sebesar 1 ppm, sedangkan batas aman produk olahan kacang dan umbi-umbian yaitu 50 ppm (Nagaraja, 2002).

2.1 Singkong

Ketela pohon atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman perdu yang berasal dari Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar, India, dan Tiongkok. Kandungan gizi yang terdapat dalam singkong sudah kita kenal sejak dulu. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun miskin akan protein.

Kadar sianida yang terdapat pada singkong dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu keadaan tanah, lingkungan, iklim, dan pemakaian pupuk (Winarno, 2004). Singkong tidak hanya mengandung gizi yang dapat memenuhi kebutuhan tubuh manusia tetapi juga terdapat zat berbahaya yaitu asam sianida dengan kadar rata-rata pada singkong pahit mengandung racun lebih dari 50 mg/kg, sedangkan pada singkong manis kadar sianida yaitu kurang dari 50 mg/kg (Sosrosoedirjo, 1993).

2.2 Sianida

Sianida adalah zat yang bersifat volatil dan bersifat racun sehingga dapat menyebabkan kematian pada tubuh makhluk hidup apabila dikonsumsi atau

(2)

dihirup dalam bentuk gas. Sianida tidak hanya berbentuk gas namun juga terkandung didalam makanan yang dikonsumsi manusia berupa pangan yang mengandung karbohidrat, yaitu umbi-umbian. Kandungan sianida tertinggi terdapat pada biji yang dapat dipengaruhi oleh struktur biji, musim, dan kondisi tanah.

Sebagian besar dari tanaman mengandung sianogen dapat dikonsumsi oleh manusia. Sianogen awalnya bersifat nontoksik, hal yang mengubah senyawa ini menjadi beracun adalah terjadi proses hidrolisis oleh enzim yang terdapat pada tanaman itu sendiri. Pada tanaman ubi kayu sianogen dihidrolisis oleh enzim linamarase kemudian membentuk sianida yang bersifat toksik. Pengolahan umbi kayu yang bertujuan untuk menurunkan kadar sianida yaitu dengan cara perendaman, pengupasan, fermentasi, pengeringan, perebusan, pencacahan, dan penyimpanan (Kwok, 2008).

Sianida biasanya dapat ditemukan dalam bentuk gas yang disebut asam sianida (HCN) dan dalam bentuk garam alkali seperti potasium sianida. Asam sianida memiliki sifat autohidrolisis pada suhu 28°C sehingga mudah menguap pada suhu kamar, tidak berwarna, memiliki bau yang khas, sulit terionisasi, memiliki berat molekul yang ringan, dan mudah terserap oleh paru-paru, kulit, dan saluran pencernaan (Departemen Kesehatan RI, 1987).

Sianida adalah kelompok senyawa yang mengandung gugus siano (−C≡N) yang terdapat di alam dalam bentuk-bentuk berbeda. Sianida dapat ditemukan dalam keadaan bebas, kompleks sianida, turunan senyawa sianida, dan sianida sederhana. Bentuk molekul dari sianida dapat menentukan ketoksikan dari sianida bebas yaitu pada asam sianida (HCN) dan ion sianida (CNˉ) yang terjadi pada proses disosiasi dan pelarutan senyawa sianida. Kesetimbangan molekul ini juga dipengaruhi oleh pH. Pada pH di bawah 7 sianida berbentuk HCN, sedangkan pada pH di atas 10,5 sianida berbentuk ion CNˉ. Reaksi antara ion sianida dan air ditunjukkan oleh dalam reaksi di bawah ini (Smith and Mudder, 1991):

CNˉ + HOH → HCN + OHˉ

Asam sianida (HCN) berasal dari glikosida sianogenetik, yaitu senyawa yang terdapat dalam bahan makanan nabati dan secara potensial sangat beracun

(3)

karena dapat terurai dan mengeluarkan HCN. Glikosida sianogenetik dapat ditemukan pada berbagai jenis tanaman, pada ubi-ubian disebut linamarin, amigladin pada apel, dan durin pada shorgum sp. (Robinson, 1995). Struktur umum glikosida sianogenik ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Struktur Umum Glikosida Sianogenik

Asam sianida bersifat sangat beracun dan tidak dapat terdeteksi oleh mata karena memiliki ciri-ciri yaitu tidak berwarna, memiliki bau yang khas, pahit, dapat larut dalam air, larut dalam alkohol, dan jika sudah masuk ke dalam tubuh akan terserap ke dalam aliran darah. Sianida dengan sifat-sifatnya dapat menyerang langsung serta menghambat sistem ruang sel (Cellular procesheus inhibity) yaitu menghambat sistem Chytochrome oxydase dalam sel-sel. Hal ini menyebabkan zat pembakaran oksigen tidak dapat bersenyawa dengan hemoglobin untuk membentuk oksi hemoglobin (O2 + Hb → OHb) sehingga

oksigen tidak dapat menyebar ke seluruh jaringan sel dalam tubuh, hal inilah yang dapat mengakibatkan gangguan bernapas (Winarno, 2004). Terjadinya reaksi hidrolisis glikosida sianogenik menjadi komponen-komponen terlihat pada Gambar 2.2.

Glikosida sianogenik Sianohidrin Keton + Asam sianida Gambar 2.2. Mekanisme Pelepasan HCN (Harborne, 1987)

Sianida dalam bentuk gas atau cairan sangat beracun dan dikenal sebagai racun yang sangat mematikan. Asam bebas yang terbentuk sangat mudah menguap dan ion sianida yang terbentuk mudah larut dalam air dan relatif stabil

(4)

terhadap pemanasan, oleh karena itu pemanasan yang kurang sempurna dapat mengakibatkan terbentuknya residu HCN dalam umbi yang dapat menyebabkan keracunan.

Dalam hal meminimalkan atau menghilangkan residu HCN dilakukan pengolahan antara lain merebus, mengupas, mengiris-iris, merendam dalam air, dan menjemur kemudian dimasak. Pengolahan yang efektif, murah, dan aman mengonsumsi singkong adalah umbi dibersihkan tanpa dikupas terlebih dahulu dan direbus dalam air mendidih selama 30 menit. Umbi siap diolah menjadi berbagai jenis makanan atau langsung dimasak.

2.3 Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang mengamati interaksi atom atau molekul dari suatu zat kimia dengan radiasi elektromagnetik ultraviolet dekat (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm) dengan menggunakan spektrofotometer (Mulja dan Suharman, 1995).

Komponen dari spektrofotometer UV-Vis terdiri atas sumber radiasi, monokromator, tempat cuplikan, detektor, penguat, dan layar visual (recorder) yang ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Komponen spektrofotometer UV-Vis (Kok, 1997)

Dimana: RS: Sumber Radiasi D: Detektor

M: Monokromator A: Penguat

SC: Tempat Cuplikan R: Pencatat 1. Sumber Radiasi (Radiation source)

Untuk memberikan radiasi dengan rentang panjang gelombang tertentu untuk daerah ultraviolet digunakan lampu hidrogen atau lampu deuterium untuk daerah sinar tampak dengan lampu tungsten. Dari lampu tungsten menghasilkan radiasi kontinyu pada daerah 350-900 nm.

2. Monokromator (Monochromator)

(5)

Monokromator berfungsi sebagai penyeleksi panjang gelombang yaitu mengubah cahaya yang berasal dari sumber sinar polikromatis menjadi cahaya monokromatis.

3. Tempat cuplikan (Sample compartment)

Tempat cuplikan berfungsi untuk meletakkan wadah cuplikan (kuvet) yang akan diukur absorbansinya.

4. Detektor (Detector)

Fungsi dari detektor adalah untuk mengubah sinyal radiasi yang diterima menjadi sinyal elektronik yang merupakan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang.

5. Penguat (Amplifier)

Fungsi dari amplifier adalah untuk menguatkan sinyal elektronik yang ditransfer oleh detektor.

6. Pencatat (Recorder)

Recorder berfungsi untuk menampilkan hasil pengamatan terhadap sampel (Khopkar, 2008).

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah spektrofotometer UV-Vis Double Beam (berkas ganda) yang dibuat untuk digunakan pada panjang gelombang 200-800 nm. Double-beam instrument mempunyai dua sinar yang dibentuk oleh potongan cermin yang berbentuk V yang disebut pemecah sinar. Sinar pertama melewati larutan blanko dan sinar kedua secara serentak melewati sampel, menghasilkan foto detektor yang keluar, dan menjelaskan perbandingan yang ditetapkan secara elektronik dan ditunjukkan oleh detector (Skoog, 1996). Mekanisme kerja Double-beam instrument ditunjukkan pada Gambar 2.4.

(6)

Prinsip kerja spektrofotometer UV-Vis adalah interaksi yang terjadi antara energi yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang berupa molekul. Besar energi yang diserap tertentu dan menyebabkan elektron tereksitasi dari keadaan dasar ke keadaan tereksitasi yang memiliki energi lebih tinggi. Serapan tidak terjadi seketika pada daerah ultraviolet-visible untuk semua struktur elektronik, tetapi hanya pada sistem terkonjugasi, struktur elektronik dengan adanya ikatan π dan non bonding elektron. Prinsip kerja spektrofotometer berdasarkan hukum Lambert Beer, yaitu bila cahaya monokromatik jatuh pada medium homogen (Io) melalui suatu media (larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (Ia), sebagian dipantulkan (Ir), dan sebagian lagi dipancarkan (It), sehingga dalam hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

Io= Ia+ It

Dimana:

Io = intensitas cahaya yang datang

Ia = intensitas cahaya yang diserap

It = intensitas cahaya yang diteruskan

Gabungan dari hukum Lambert-Beer menurunkan secara empiris hubungan antara intensitas cahaya yang ditransmisikan dengan tebalnya wadah larutan dan hubungan antara intensitas dengan konsentrasi zat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut :

A = log (Io / It) = ɛ . b . c = a b c

Dimana:

A = Serapan

ɛ = Absortivitas molekuler (L.mol-1.cm-1) = a × BM a = Daya serap (L.g-1.cm-1)

b = Tebal wadah larutan /kuvet (cm)

c = Konsentrasi zat (g/L, mg/mL) (Harmita, 2006). 2.4 Reaksi Sianida Dengan Ninhidrin

Reaksi yang terjadi antara sianida dengan pereaksi ninhidrin didalam larutan natrium karbonat ditunjukkan pada Gambar 2.5.

(7)

Gambar 2.5. Reaksi Sianida dengan Ninhidrin (Nagaraja et al, 2002)

Ninhidrin merupakan senyawa yang digunakan sebagai mendeteksi kuantitas asam amino, selain itu ninhidrin juga dikenal sebagai triketohydrindene, reagen rumen atau 2,2-dihidroksi-1,3-indanedione yang jika direaksikan dengan sianida dalam larutan netral akan membentuk senyawa hidrindantin yang tidak berwarna. Senyawa hidridantin stabil jika berubah warna menjadi merah dalam larutan natrium karbonat dengan panjang gelombang 485 nm pada pH 8-12 yang merupakan pH optimum untuk dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis (Surleva dkk., 2103). Jika natrium hidroksida ditambahkan ke dalam larutan tersebut maka akan berubah menjadi warna biru pekat dengan pH 12-13. Larutan yang telah berubah menjadi warna biru dengan rentang panjang gelombang 560-620 nm yang cenderung tidak stabil dibandingkan dengan warna merah. Hal ini dikarenakan penambahan natrium karbonat dalam suasana basa kemudian dilakukan penambahan natrium hidroksida yang bersifat basa kuat sehingga menyebabkan laurtan biru tidak stabil dan mudah berubah warna menjadi bening. 2.5 Parameter Validasi Metode Uji

Validasi metode uji adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap parameter tertentu yang bertujuan untuk membuktikan bahwa parameter dari metode pengujian tersebut telah memenuhi persyaratan atau mengakui metode tersebut telah sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan untuk penggunaannya. Parameter-parameter yang digunakan pada validasi metode uji adalah sebagai berikut:

(8)

2.5.1 Linearitas

Linearitas adalah kemampuan suatu metode memperoleh nilai yang proporsional dengan konsentrasi analit. Linearitas juga merupakan bentuk dari kurva antara konsentrasi (x) dan absorbansi (y). Suatu metode uji dapat diperoleh dari persamaan regresi linear kurva kalibrasi dari larutan standar dengan rumus yaitu: y = ax + b, dimana a adalah slope, b adalah intercept, dan x merupakan konsentrasi analit. Parameter hubungan kelinearan yang digunakan yaitu koefisien determinasi (R2). Linearitas dari suatu kurva kalibrasi dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu sebesar > 0,997 (Chan, 2004).

2.5.2 Presisi

Presisi adalah nilai keterulangan pengukuran sampel yang dinyatakan sebagai simpangan baku relatif (RSD) atau standar deviasi dari hasil uji yang diperoleh dari campuran yang homogen. Presisi pengukuran sampel secara kuantitatif dilakukan dengan melakukan pengukuran analisis minimial 6 kali pengulangan. Untuk menghitung RSD dapat dirumuskan dengan:

= ∑ ( − )− 1

% = × 100%

% = 2 ,

Dari rumus di atas terlihat bahwa untuk menentukan persen simpangan baku relatif diperoleh dari hasil simpangan baku yang dibandingkan dengan nilai rata-rata sampel dalam persen. Nilai perbandingan konsentrasi analit dengan nilai persen perolehan kembali ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbandingan Konsentrasi Analit dengan Presisi

Konsentrasi Analit RSD 10% 2,8% 1% 4,0% 0,1% 5,7% 0,01% 8,0% 1 ppm 16% 1 ppb 45% 0,1 ppb 64%

(9)

Berdasarkan Tabel 2.1 data untuk menguji nilai presisi biasanya memberikan kriteria yang dapat diterima yaitu % RSD ≤ 16%. Kriteria ini bersifat fleksibel tergantung dari konsentrasi larutan sampel dan jumlah sampel yang akan dianalis. Sedangkan untuk senyawa dengan kadar tertentu memiliki % RSD yang berbeda dari senyawa lainnya.

2.5.3 Akurasi

Akurasi adalah kedekatan nilai hasil metode analisis antara nilai yang terukur dengan nilai yang sebenarnya. Akurasi dapat ditentukan dengan dua cara yaitu dengan cara membandingkan antara konsentrasi hasil analisis dengan bahan acuan standar (Standar Reference Material) dan cara metode spike atau dengan konsentrasi analit yang ditambahkan. Akurasi dapat dinyatakan dengan persen perolehan kembali (Recovery) analit dalam sampel yang telah diketahui konsentrasinya secara pasti. Perhitungan persen perolehan kembali dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% = [ ] [ ] − [ ] × 100%

Berdasarkan metode spike dapat diketahui nilai persen perolehan kembali dari selisih konsentrasi dari analit murni yang ditambahkan ke dalam sampel tanpa mengubah jumlah larutan secara signifikan dengan konsentrasi sampel, kemudian dibandingkan dengan konsentrasi dari analit yang ditambahkan ke dalam sampel tersebut (Riyanto, 2014). Nilai perbandingan konsentrasi analit dengan nilai persen perolehan kembali ditunjukkan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Perbandingan Konsentrasi Analit dengan Akurasi

Analit (%) Unit Recovery (%)

100 100 % 98 ˗ 102 ≤ 10 10 % 98 ˗ 102 ≤ 1 1 % 97 ˗ 103 ≤ 0,1 0,1 % 95 ˗ 105 0,01 100 ppm 90 ˗ 107 0,001 10 ppm 80 ˗ 110 0,0001 1 ppm 80 ˗ 110 0,00001 100 ppb 80 ˗ 110 0,000001 10 ppb 60 ˗ 115 0,0000001 1 ppb 40 ˗ 120 Sumber: (Husber L, 2003)

(10)

Akurasi dari suatu metode uji memiliki nilai yaitu 100%, berarti metode uji tersebut baik jika digunakan untuk analisis. Namun jika nilai akurasi dari metode tersebut memiliki kesalahan, maka menyebabkan nilai akurasi menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang telah ditetapkan. Syarat keberterimaan metode uji tersebut masih memiliki akurasi yang baik yaitu dengan rentang nilai sebesar 80 ˗ 110%.

2.5.4 LOD (Limit of Detection) dan LOQ (Limit of Quantitation)

Batas deteksi (LOD) adalah konsentrasi dari analit yang terendah didalam sampel yang masih dapat terdeteksi meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi. LOD juga merupakan batas uji yang dapat digunakan untuk mengetahui nilai dari suatu analit berada di atas atau di bawah nilai tertentu. Sedangkan batas kuantitas (LOQ) merupakan konsentrasi dari analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dari nilai presisi dan akurasi yang dapat diterima (Harmita, 2004). Nilai LOD dan LOQ dapat ditentukan dari persamaan regresi linear dari kurva kalibrasi larutan standar dimana nilai LOD dan LOQ diperoleh dari perbandingan antara nilai simpangan baku S(y/x) dengan slope, dengan persamaan rumus sebagai berikut:

Gambar

Gambar 2.4. Double-beam instrument (Harvey, 2000)
Gambar 2.5. Reaksi Sianida dengan Ninhidrin (Nagaraja et al, 2002)
Tabel 2.1. Perbandingan Konsentrasi Analit dengan Presisi
Tabel 2.2. Perbandingan Konsentrasi Analit dengan Akurasi

Referensi

Dokumen terkait

Untuk memahami model akuntabilitas, secara khusus Carino (1993) memperkenalkan model akuntabilitas administratif yang meliputi tradisional, managerial, program,

Menurut Theodurus (2000), pendapatan pada dasarnya adalah kenaikan laba. Laba pendapatan adalah proses arus penciptaan barang atau jasa oleh suatu perusahaan selama suatu

Analisis ini digunakan untuk mengetahui kesulitan yang dialami siswa dalam pembelajaran, untuk mengungkapkan kekurangan dan kelebihan dari aspek perilaku siswa dalam

Pemerintah mempunyai hak dan kewajiban, khususnya pada situasi krisis, untuk memberitahu warganegaranya akan suatu keadaan yang sulit, atau suatu keadaan yang berbahaya

bangsa dan negara, serta perjuangan mencapai tujuan nasional. Ketahanan Nasional sebagai Perwujudan Geostrategi Indonesia a. Perkembangan Konsep Pengertian Tannas. 1) Gagasan Tannas

stakeholders yang berwenang dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut juga menjadi salah satu prioritas data yang dibutuhkan. Pengumpulan data sekunder juga dilakukan melalui

MENETAPKAN : KEPUTUSAN REKTOR UNIVERSITAS DIPONEGORO TENTANG PENETAPAN BIAYA SERTA PENGANGKATAN PERSONALIA KEGIATAN PENDIDIKAN BIMBINGAN KETERAMPILAN PADA PROGRAM

penggunaan mulsa sampai 35 hst meng- hasilkan hasil yang lebih tinggi diban- dingkan dengan perlakuan tanpa mulsa pada pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, luas