• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN LONDE KE PUMPBOAT PERAHU MELINTAS BATAS DI PERBATASAN INDONESIA-FILIPINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN LONDE KE PUMPBOAT PERAHU MELINTAS BATAS DI PERBATASAN INDONESIA-FILIPINA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN LONDE KE PUMPBOAT

PERAHU MELINTAS BATAS DI PERBATASAN INDONESIA-FILIPINA

Pristiwanto

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Alamat ;

Jalan Katamso, Bumi Beringin Lingkungan V Manado

Telepon (0431) 855311/Faksimile. (0431) 864926. HP 08124484094

Pos-el: pristiwanto.bpnb@gmail.com

Abstrak

Perubahan londe ke pumpboat (perahu sampan tradisional ke perahu modern bermesin) berproses begitu cepat di Perbatasan Indonesia-Filipina. Pertimbangan utama bagi nelayan karena londe berat dibanding pumpboat, kurang cocok dipasang mesin motor perahu, hanya mengandalkan ornamen bernilai arstistik dengan kesakralan tetapi berat melawan arus, ombak dan angin. Sementara pumpboat saat ini tepat berdasarkan fungsi dan pemanfaatan, rancang-bangun sesuai dengan kondisi laut dan lincah bergerak di antara ombak laju dalam membelah arus laut. Pengetahuan pasang layar dan mendayang beralih ke memahami komponen utama pada pumpboat seperti as, crosjoin, propeler harus mampu diutak-atik tanpa bekal pelatihan khusus. Disatu sisi pengetahuan tradisi bahari tentang seni sastra khususnya messambo (kebiasaan melantunkan lagu-lagu daerah dan lagu rohani ketika berperahu, sebagai pengiring dan penyemangat para pendayung) makin ditinggalkan di tengah hiruk pikuk dan derum mesin perahu pumpboat. Studi ini menunjukkan pengetahuan lokal dan ketrampilan berlayar nelayan menjadi bertambah setelah kehadiran perahu bermesin motor dari negara Filipina dengan menggunakan metode deskriptif analisis.

Kata kunci: perubahan, londe, pumpboat, perbatasan

THE CHANGING OF LONDE TO PUMPBOAT :

CROSSING BOAT ON BORDER AREA INDONESIA-PHILIPPINE

Abstrack

Changing of Londe to Pumpboat (a traditional boat to modern motorized boat) proceeds on the border Indonesia-Philippine. On consideration, the fishermen compared between londe and pumpboat, rely on many arthistic ornaments with sanctity on waves and wind. On the other side, pumpboat is precisely based on function and utilization on the sea move between the speed of waves, dividing the ocean currents. Knowing switch screen to understanding the main of components on the pumpboat such as crosjoin, propeler should be able to be tampered with no special training of us. Beside knowledge of maritime traditions about literary arts especially messambo - the habit of singing regional songs and spiritual songs when boating, as accompanist and boosters of the rowers - had been abandoned by the roar of pumpboat boats. This study is bring out the local knowledge and skills of sail and fish to be increased after the presence of motorized boats from the Philippine by using descriptive method of analysis. Keywords: changing, londe, pumpboat, border.

(2)

I. PENDAHULUAN

Di masa lalu, kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di Nusantara, mengalami penyatuan secara

ekonomis, kultural, politis menjadi kekuataan yang besar. Komunikasi antar pulau di Indonesia

telah menciptakan jejaring melalui hubungan maritim. Kemajuan teknologi, navigasi, dan

pengetahuan menjadi faktor terbentuknya jejaring yang lebih besar dalam dunia maritim. Kegiatan

di laut yang dominan di masa lampau yang tercermin dalam sebutan “zaman bahari” (Lapian,

2008:1). Secara geografis, Nusantara faktor alam mendorong perkembangan teknologi perahu

tradisional di Kepulauan Sangihe-Talaud. Kemampuan masyarakat di Nusantara, (termasuk etnis

Sangihe-Talaud), dalam merancang dan membuat perahu sudah tidak diragukan lagi. Keahlian

ini sudah dimiliki sejak nenek

moyang mereka. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas rutin, terutama

perekonomian masyarakat Sangihe dan Talaud yang bergantung pada laut.

Penduduk Kepulauan Sangihe-Talaud, memiliki identitas sebagai masyarakat maritim. Steller

dan Aebersold (1959:383-384) dalam Sangirees-Nederlands Woordenboek, menyebutkan terdapat

19 nama transportasi laut di masyarakat Sangihe-Talaud―dorehe, sope, konteng, giope, pamo,

bolotu, senta, sikuti, lambute, dampala, pelang, tumbilung, londe, bininta, korakora, balasoa,

tonda, niune, pangku. Dari jenis perahu yang masih bertahan, sakaeng yang masih tersisa dan

masih digunakan sampai sekarang ini adalah pamo, pelang dan londe yakni sampan bercadik

dua belah, menyebelah dengan ukuran untuk seorang atau dua orang nelayan, lainnya kini sulit

ditemukan. Di antara nama-nama itu belum termasuk nama perahu dalam bahasa sasahara

1

,

seperti malimbatangeng, bangka, pato, dalukang (Lapian, 2011:84, Ulaen et al: 2012:64).

Masyarakat Sangihe dan Talaud yang bermukim di pulau-pulau tersebar di wilayah

kepulauan menggunakan alat transportasi berupa perahu. Kondisi alam, cuaca, dan daratan tidak

memungkinkan untuk membangun jalan darat yang bisa menghubungkan pusat daerah satu

dengan daerah lainnya. Kondisi tersebut membentuk karakteristik masyarakat Sangihe tumbuh

menjadi pelaut yang tangguh. Dalam usaha mengatasi kondisi alam yang keras, khususnya laut,

berkembang pula sarana perahu dari yang tradisional sampai modern. Perahu londe termasuk

dalam jenis moda transportasi yang masih tradisional dengan memanfaatkan tenaga alam, dan

manusia sebagai alat penggeraknya, sedangkan perahu mesin dijadikan sebagai moda transportasi

untuk keperluan lainnya yang sering disebut sebagai kapal pelayaran.

Laut Sulawesi sebagai kawasan perantara perbatasan Indonesia-Filipina terdiri dari susunan

pulau yang membentuk jembatan alami. Kondisi ini mendorong mereka berusaha untuk membuat

dan menciptakan perahu yang lebih kuat, bahkan ringan untuk dijadikan sebagai alat transportasi.

Alat transportasi yang tradisional semakin tergantikan dengan perkembangan teknologi pembuatan

perahu, pumpboat, yang terbuat dari bahan plywood. Hal semacam ini tidak lepas dari jejaring

plywood yang tercipta dalam tradisi bahari yang ditinggalkan oleh leluhur mereka.

Daerah Kepulauan Filipina Selatan terkenal dengan perahu yang dibuat dari papan

(plank-boat), perahu jenis ini tidak terbuat dari sebatang kayu yang dikeruk (istilah setempat adalah perahu

baroto). Di daerah Visaya perahu papan ini dikenal dengan nama balanghai atau barangai. Perahu

1 Sasahara adalah kata-kata khusus yang dipakai oleh orang Sangihe di laut pada waktu berlayar. Menurut kepercayaan tradisional, kekuatan jin yang menghuni laut bisa menghalang-halangi perjalanan dan mempersulit pelayaran. Oleh sebab itu, pelaut menggunakan bahasa rahasia agar rencana dan tujuan perjalanannya tidak diketahui oleh roh jahat tersebut. Bahasa Sasahara ini sering dipakai juga dalam puisi Sangihe.

(3)

semacam ini memungkinkan pembuatan perahu berukuran lebih besar daripada yang lunasnya

hanya terdiri dari satu batang kayu panjangnya batang bersangkutan (Lapian, 2011:83-84).

Berdasarkan data sejarah, perahu papan, plank-boat, diketahui berasal dari pengaruh para

pelaut dari Filipina. Data tersebut menjadi cikal bakal pumpboat yang digunakan untuk melintas.

Beralihnya fungsi perahu layar ke perahu-bermotor, khususnya motor tempel memberikan tambahan

pengetahuan, keterampilan, dan tantangan yang baru bagi nelayan. Proses perubahan tradisi bahari

tersebut, membawa pengaruh ke dalam kehidupan sosial-budaya. Pertama, mempengaruhi relasi

sosial yang saling tergantung antara pemilik perahu-layar dan para pengikutnya, yakni

awak-perahu layar. Kedua, ditinggalkannya salah satu bagian dari tradisi-lisan, yakni mesambo, yang

biasa dilantunkan ketika para awak-perahu mendayung perahunya. Ketiga, punahnya keterampilan

berlayar, dalam hal ini mulai dari pengetahuan tentang perbintangan, perputaran aliran arus laut,

membaca tanda-tanda alam terutama awan. (Ulaen, 2003:137).

Studi ini bersifat deskriptif analisis

yang menggunakan metode penelitian kualitatif, adapun maksudnya untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,

dan lain-lain., secara holistik, serta dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa,

pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah

(Moleong, 2013:6).

II.

PEMBAHASAN

a. Kawasan Perbatasan : Dari Catatan Sejarah Hingga Administrasi Pemerintahan

Kawasan perbatasan dipahami sebagaidaerah yang memisahkan negara modern,dan

pemerintahan suatu negara (Wadley, 2002:1-11; Tirtosudarmo,2002). Sementara, secara akademis

wilayah perbatasan menjadi penting untuk dilihat karena

merupakan titik strategis dan laboratorium

perubahan sosial dan kebudayaan (

Horstmann,

2002).

Pentingnya kajian di wilayah perbatasan

dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama daerah perbatasan adalah wilayah strategis yang

menjadi batas teritorial sebuah negara, dalam hal ini Republik Indonesia, karena wilayah-wilayah

tersebut menjadi pintu masuk bagi warga asing; kedua masyarakat di daerah perbatasan cenderung

dikategorikan sebagai masyarakat yang tertinggal; dan ketiga kajian mengenai masyarakat di

wilayah perbatasan, terutama Indonesia-Filipina, yang menjadi bordersea utama masih minim.

Ketiga faktor tersebut adalah realita lapangan yang sampai sekarang ini belum menjadi perhatian

serius bagi pemerintah.

Studi-studi perbatasan digunakan untuk mempelajari migrasi terutama isu-isu

transnasionalisme dan integrasi bangsa (Mata-Codesal, 2007:4). Sementara itu daerah perbatasan

laut mudah diselundupi senjata dan barang-barang eksplosif lainnya (Abuza, 2011:96). Lebih lanjut

dijelaskan, daerah perbatasan merupakan daerah pinggiran, jauh dari kontrol pemerintah pusat dan

berdampak menjadi area kejahatan lintas negara (transnational crime), seperti: penyelundupan

senjata, perdagangan obat-obat terlarang, dolar palsu, illegal fishing, trafficking hingga terorisme.

Di sisi lain, pertimbangan teoritis, kebijakan administratif, pembangunan, politik dan bahkan

pertahanan negara semacam ini bukanlah pertimbangan warga pelintas untuk dipahami dalam

melakukan mobilitas antar-negara, tentu jika ini didasarkan pada batas-batas teritorial yang terikat

(4)

secara hukum. Mobilitas

pelintas

dalam kegiatan lintas-batas berlangsung sejak lama, bahkan

sebelum Indonesia dan Filipina merdeka, sehingga warga kedua wilayah ini terikat secara historis

dan genealogis. Ikatan kekerabatan dan aktivitas mata pencaharian hidup yang menjadi tradisi,

diwarisi sejak dahulu melalui kegiatan kunjungan keluarga maupun perniagaan, pertukaran dan

barter barang bawaan antar warga Mindanao Selatan dan Nusa Utara. Ini kemudian berkembang

menjadi perdagangan tradisional lintas batas. Mobilitas tersebut justru menjadi polemik setelah

Indonesia dan Filipina menjadi negara berdaulat dan Sangihe-Talaud Provinsi Sulawesi Utara

beralih status menjadi daerah perbatasan dan aktivitas di area ini mulai terbatasi dengan hukum

positif yang berlaku di wilayah negara masing-masing.

Aktivitas kunjungan keluarga dan perniagaan yang berjalan alamiah mulai bergeser menjadi

aktivitas yang didasari Border Crossing Agreement (BCA), di dalamnya diatur soal perpajakan,

alat pembayaran, besaran barang bawaan dan jangka waktu melintas batas. Melintasi garis

perbatasan suatu negara berarti memasuki tempat berlaku undang-undang, peraturan perpajakan,

alat pembayaran, serta sistem pos dan telekomunikasi berbeda. Lebih lagi perbedaan ini dinyatakan

dalam simbol kenegaraan seperti bendera nasional, lagu kebangsaan, kepemimpinan negara serta

sistem pemerintahannya (Lapian, 2011:41-43).

Secara historis, dibukanya perbatasan Filipina-Indonesia dapat dilihat untuk mengantisipasi

besarnya permintaan tenaga kerja di sektor pertanian dan sektor perikanan di Kota General

Santos. imigran pekerja dari Nusa Utara memenuhi kebutuhan kedua sektor ekonomi tersebut.

Ini dimungkinkan karena Indonesia pada tahun 1950-an berada pada masa ketidakstabilan politik

dan ekonomi karena beberapa kasus pemberontakan dan kerusuhan (Velasco, 2010:95-118).

Posisi di perbatasan yang lebih dekat dengan Filipina yang lebih makmur dan secara politik lebih

stabil, memiliki arti bahwa kepentingan mereka sebagian terletak di wilayah sebelah perbatasan,

tempat mereka menemukan pekerjaan, kebutuhan sehari-hari, pelayanan kesehatan dan fasilitas

pendidikan sekaligus mitra berbisnis. Kondisi seperti ini meningkatkan arus pelintas batas ke

Balut-Saranggani-Filipina, sampai menjadi penduduk Negara Filipina.

Keberadaan WNI yang menjadi penduduk Filipina Selatan dianggap oleh otoritas sebagai

warga negara illegal in trans (tidak jelas status kewarganegaraannya), sehingga dipersoalkan

Pemerintah Filipina meskipun belum diekspos secara terbuka. Keadaan ini sering dikhawatirkan

dapat mempengaruhi hubungan baik kedua negara. Hingga kini persoalan ini terus berlangsung,

karena secara ekonomi warga WNI-PP sering dimanfaatkan tenaga kerja dan secara politik sering

dimanfaatkan suaranya dalam pemilihan umum baik lokal dan nasional di Filipina termasuk dalam

Pemilu legislatif dan Presiden dari Dapil luar negeri untuk Indonesia (Pristiwanto, 2016:46)

Setelah Perang Dunia II berkecamuk, disadari bahwa keberadaan puluhan ribu orang

Sangihe di Mindanao dan orang Mindanao di daerah Propinsi Sulawesi Utara menjadi masalah

yang berpotensi mengganjal hubungan diplomatik kedua negara. Atas dasar itu maka tahun 1956

pemerintah kedua negara mengadakan pertemuan yang membahas masalah pelintas-batas untuk

mengaturnya. Ini mendorong tercapainya kesepakatan Agreementon Immigration Between The

Republic of Philippines and Republic of Indonesia di Jakarta yang ditanda-tangani pada tanggal

4 Juli 1956. Pihak Pemerintah Philipina diwakili oleh Jose Fuentebella dan pihak Pemerintah

Indonesia diwakili oleh Duta Besar Soekardjo Wirjopranoto.

(5)

Selanjutnya, kesepakatan ini diratifikasi oleh kedua negara. Pemerinah Philipina

menjadikannya sebagai Senate Resolution nomor 94, 1957 (Resolution Expressing the Concurrence

To and Approval of The Senate of Philippines of The Agreement Between the Repubic of The

Philippines and the Republic of Indonesia on Immigration Signed at Jakarta on July 4, 1956).

Pemerintah Indonesia meratifikasinya menjadi Undang-undang Nomor 77 Tahun 1957 tentang

Undang-undang Persetujuan Mengenai Warga Negara yang Berada Secara Tidak Sah Di

Daerah Republik Indonesia dan Republik Philipina, disahkan di Jakarta tanggal 19 Desember

1957 ditandatangani Presiden Republik Indonesia Soekarno di Undangkan tanggal 23 Desember

1957 ditandatangani Menteri Kehakiman G.A. Maengkom dan menteri Luar Negeri Soebandrio,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 167. Dalam UU tersebut dijelaskan

mengenai permasalahan kedua negara di daerah perbatasan, yaitu:

1) Sejumlah orang-orang Indonesia yang berdiam tanpa izin di daerah Filipina;

2) Sejumlah orang-orang Filipina yang berdiam tanpa izin di daerah Indonesia;

3) Orang-orang Indonesia, penduduk daerah Indonesia di sebelah utara yang

mondar-mandir mengunjungi Filipina tanpa izin;

4) Orang-orang Filipina, penduduk daerah Filipina di sebelah selatan yang mondar-mandir

mengunjungi Filipina tanpa izin;

5) Mondar-mandirnya warga negara-warga negara dari kedua belah pihak di daerah

perbatasan itu telah berjalan sejak lama dan agaknya hal demikian itu telah menjadi adat

kebiasaan mereka.

Penjelasan di atas setidaknya memperlihatkan diskursus yang terbangun dalam perpektif

politik kebijakan dari sisi negara dan warga kawasan ini. Negara, sebagaimana juga secara

formal ditulis dalam UU ini memandang mobilitas warga di kawasan ini sebagai “permasalahan”

sementara warga melihatnya justru secara terbalik dan lebih alamiah sebagai “adat kebiasaan”.

Sembilan tahun setelah kesepakatan tersebut di atas berjalan, pemerintah kedua belah pihak

terutama pejabat yang diberi kewenangan untuk melaksanakan dan mengevaluasi kesepakatan

ini merevisi perjanjian pertama. Tanggal 16 September 1965, dokumen Joint Directives and

Guidelines on the Implementation of the Immigration Agreement on Repatriation and Border

Crossing Arrangement Between Republic of Indonesia and the Republic of the Philippines

disepakati di Manila. Pihak Indonesia yang menandatangani diwakili Konselor Kedutaan Besar

Indonesia Jusuf Ronodipurodan pihak Philipina, Konsul Jenderal Leon T. Garcia. Perjanjian kali

ini merupakan final dari tiga pertemuan pada tahun 1963 (Manado, Tarakan, Davao) dan

penanda-tanganan MoU (Memorandum of Understanding) yang ditandatangani di Jolo, Filipina, 30 Mei

1964. Dalam kesepakatan ini, masih mengatur dua hal yaitu tentang repatriasi dan tentang

lintas-batas (Ulaen, et al 2012:112-114)

Untuk mengontrol pergerakan barang bawaan pelintas batas sejak tahun 1957 antara

pemerintah Indonesia dan Philipina menyepakati perjanjian tentang pelintas batas dan barang

bawaannya. Barang bawaan para pelintas batas berkembang menjadi barang yang mempunyai

nilai jual dan bisa diperdagangkan. Hal tersebut dikuatkan dengan Keppres RI Nomoer 23

tahun 1972 tentang Pengesahan “Agreement on Border Trade between the Government of the

(6)

sekarang pengesahan perdagangan tradisional tersebut belum ada aturan, selain itu juknisnya

menimbulkan multitafsir dan membingungkan masyarakat terutama pelintas batas yang menjadi

pelaku perdagangan tradisional. Pelintas batas yang kebanyakan warga lokal memahami bahwa

ada aturan “Perdagangan Tradisional” yang melindungi mereka untuk menjadikan barang bawaan

dapat diperjualbelikan. Sementara di pihak yang sama, aturan untuk barang bawaan yang dapat

diperjualbelikan secara tradisional dibatasi dengan perjanjian lintas batas yang tidak boleh

nilainya melebihi 500 Peso. Kesenjangan ini terbentur dengan perilaku ekonomi warga, sehingga

mendorong sebagian mereka menggunakan jalur pelintas sebagai “penyelundup, sehingga,

dapat terlihat di sini, persoalan “ilegal” dalam kasus ini, tidak hanya terbatas pada barang yang

distribusinya jelas-jelas dilarang, tetapi pada kapasitas dan nilai barang yang melebihi ketentuan.

(Pristiwanto, 2015:235-236).

Kesepakatan perundingan tentang pelintas batas ditingkatkan pada pertemuan puncak antara

Presiden Soeharto dan Presiden Marcos di Manado, 29-30 Mei 1974. Disepakati sebuah dokumen:

Revised Agreement on Border Crossing Between Republic of Philippines and The Republic of

Indonesia. Naskah ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1975. Persetujuan revisi

ini isinya adalah merevisi aturan lintas batas sebelumnya. Revisi ini merinci pos pengurusan

kartu keluar-masuk border-area di Philipina: Mabila, pulau Balut, Tanjung San Agustin, Bongao

dan Tawi-Tawi. Sementara di Indonesia: Pulau Marore, Pulau Miangas, Tarakan. Dimana tujuan

melintas batas yang diatur haruslah sebagai berikut:

1) Kunjungan keluarga - disebabkan banyaknya orang Indonesia dan Philipina memiliki

kerabat yang tinggal di daerah perbatasan, sehingga kebiasaan saling kunjung

mengunjungi.

2) Ibadah - banyak orang Indonesia dan Philipina mengunjungi kuburan kerabat yang

terletak di daerah perbatasan dan merayakan hari libur keagamaan: seperti Natal dan

Ramadan.

3) Kesenangan–bertamasya adalah untuk tujuan melihat-lihat daerah baru.

Jumlah serta

nilai barang masih sama dan yang direvisi adalah wilayahnya.

b.

Perubahan Perahu Londe Menjadi Pumpboat

Sebelum terciptanya kawasan perbatasan negara, kawasan Indonesia-Filipina, khususnya

masyarakat Sangihe, sering melakukan aktivitas melintas batas. Mereka menggunakan alat

transportasi tradisional berupa londe dengan dayung dan layar. Tenaga angin dan gelombang arus

laut juga dimanfaatkan untuk menggerakkan perahu di Laut Sulawesi. Perahu londe termasuk

salah satu alat transportasi bagi masyarakat setempat, karena dianggap mampu beradaptasi

dengan alam. Perahu londe atau kano bercadik ganda yang disebut londi oleh masyarakat pribumi

dilengkapi dengan layar yang terikat pada sisi kanan tergambar pada saat perjalanan mengunjungi

pantai Talisse oleh Hickson, (1889:21).

On our way back to the ship we were participators in an exciting and interesting race. The lunch, provided forus by the agent of the company, had arrived from Talissein one of the Malay double-outrigged canoes called by thenatives ‘ londi.’ This canoe and the two whalers of the’ Elying Fish ‘ crossed the reefs and hoisted sails almost simultaneously. The Malay sail is oblong in shape, stretched by two yards and hoisted by means of a halyard attached towards the foremost end of the upper yard. Two ropes attached to the

(7)

port and starboard ends of the upper yard are made fast to branched wooden belaying pins fixed to the outriggers. In sailing, the rope on the windward side is used as a main sheet and hauled fast, so that the sail comes to stand nearly upright almost parallel with the mast, while the other rope is used as a tack to keep the sail steady.

Gambar 1. Model canoe cadik berganda atau ‘londi’(Sumber : Hickson, 1889: 22)

Perubahan dari perahu londe ke pumpboat berproses cukup cepat. Perubahan ini sering dengan

transformasi ilmu pelayaran yang terbentuk dari budaya maritim di masyarakat perbatasan. Budaya

maritim dan tradisi bahari di Kepulauan Sangihe dan Talaud kemudian menciptakan jenis perahu

yang bervariasi, terutama dalam bentuk cadiknya. Kepulauan Sangihe dan Talaud serta Kepulauan

Sulu dalam satu wilayah inti tempat asal penyebaran berbagai macam cadik. Perahu londe adalah

perahu persegi panjang yang hanya berisi 2-3 orang dengan sayap di sisi kiri dan kanan. Perahu

ini terbuat dari kayu berbentuk panjang dan digunakan oleh nelayan, seperti sema-sema (Steller

& Aebersold, 1959). Di beberapa etnis yang tersebar di kawasan Sulawesi Utara, Londe dikenal

dalam bahasa Sangihe dan Bolaang-mongondow; Londei dalam bahasa Tontemboan, Tombulu

dan Tondano; Dondei dalam bahasa Tonsea. Perahu londe mempunyai cadik (dalam bahasa

setempat sema-sema) yang ganda (Lapian, 2011:86). Sema sema’ terbuat dari bambu berukuran

besar dipasang pada kedua sisi badan perahu, yang dihubungkan oleh bahateng.

Pada tahun 1899, K. G. F. Stellar, seorang pekabar Injil, diutus ke Pulau Sangir Besar 8 tahun.

Dia tertarik untuk mengkaji bahasa dan budaya Nusa Utara yang bermula dari perkenalannya

dengan karya-karya A. Adriani. Stellar Bersama Aebersold, menyusun Kamus

Sangirees-Nederlands Woordenboek 1959 diterbitkan oleh Het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en

Volkenkunde (KITLV). Kamus dengan ketebalan 622 halaman berhubungan tradisi bahari, selain

19 jenis atau tipe sakaeng, juga ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan kegiatan di laut

dan beberapa penjelasan dari bagian-bagian perahu. Keterangan Steller tersebut digunakan untuk

melihat replika londe hingga saat ini.

(8)

Gambar 2,3. Konstruksi dan nama-nama bagian penampang perahu londe serta perahu londe koleksi Museum Sulawesi Utara

Sumber : Steller & Aebersold (1959:599) dan foto koleksi pristiwanto

Jenis perahu londe sesuai dengan replika pada gambar 2, 3 tidak ditemukan lagi di wilayah

Sangihe, baik dari daratan Sangihe Besar hingga Pulau Marore yang menjadi chek point

border area unit Marore. Transformasi perahu londe sekarang seperti pada gambar 3, dengan

membedakan tingkat kelengkungan 45 derajat pada ornamen laӗmbo berbentuk batangan bulat

berdiameter dua setengah sentimeter sampai satu setengah sentimenter melengkung menghadap

ke atas. Perbedaan yang kedua pada ornamen sesӗ o berbentuk runcing seperti mata tombak

penyebutannya dalam masyarakat yakni boton tӗdu dan singkuhӗ. Ditemukan data, seperti pada

gambar 1 ornamen yang mempunyai kesamaan sesӗ o adalah sasogho berbentuk runcing lurus

tidak ada singkuhӗ, lancipnya boton tӗdu tidak nampak, panjang dari sesӗ o sedikit panjang bila

dibandingkan londe masa lalu. Sketsa Steller di ornamen laӗmbo lurus melengkung 10 derajat

pada ujungnya berbentuk bulat bundar, fungsinya berubah, diperkirakan perahu londe abad XVI

sebagai pengantar dari perahu kora kora untuk berperang yaitu salah satu senjata untuk mendobrak

perahu lawan. Fungsi laӗmbo pada saat sekarang : a) sebagai pembelah arus di laut, b) digunakan

nelayan sebagai alat bergantung dan pegangan pada waktu bajubi (memanah ikan) melihat ikan

di dasar laut dari perahu, c) sebagai keindahan dari perahu ini sendiri. Kepercayaan para nelayan

tentang laӗmbo yaitu a) menghadap ke atas sebagai bentuk permohonan kepada sang penguasa

alam agar pekerjaannya sebagai nelayan memperoleh hasil yang memuaskan, b) sebagai penunjuk

jalan untuk mendapatkan ikan.

Gambar 4,5. Konstruksi dan nama-nama bagian penampang perahu londe dan Londe di Lepe Kecamatan Tabukan Utara

(9)

Konstruksi dan nama-nama penampang perahu londe dahulu ke sekarang tidak banyak

berubah seperti pada gambar 5 dan keterangan cadik berganda (sema sema). Jenis layar pada perahu

londe seperti yang ditemukan dalam karya Steller yaitu senggọ panggili berfungsi memanfaatkan

tenaga angin sebagai daya dorong laju perahu. Bahan untuk layar mulai dari kain koffo, tarpal,

bekas kantong terigu dan kain belacu, menurut informan, bahan-bahan tersebut itu dulu dipakai

sekarang ini beliau menggunakan spanduk atau baliho menurutnya lebih tahan lama dan awet.

Pada awalnya, perahu layar digerakkan oleh tenaga manusia sebagai pendayung dan layar. Pada

saat ini umumnya perahu layar dilengkapi dengan mesin tempel untuk menghadapi kemungkinan

tidak bertiupnya angin pada daerah tertentu agar tetap melanjutkan perjalanannya.

Gambar 6,7. Konstruksi nama bagian sema sema dan layar pada penampang perahu londe serta foto nelayan londe dengan layar di Petta Timur

Sumber : Steller & Aebersold (1959:598, 598)

Sebutan perahu londe juga terekam dalam Album Peringatan Kedatangan Sri Paduka Yang

Maha Mulia Tuan Besar Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Kepulauan Sangihe pada 24

September 1927. Album tersebut terisi penerangan yang ringkas dari keadaan dan tabiat, serta

Cita-Cita Kaum Bala Raja Bangsa Sangihe Kerajaan Tabukan. Pada waktu itu keadaan pesisir

pantai tahun 1927 di Pelabuhan Petta terpotret lewat foto londe dengan ciri khasnya memiliki

ornamen sasogho dan laӗmbo pada haluan perahu serta kegunaan maupun fungsi seperti dalam

kutipan dan gambar di bawah ini.

(10)

Perahoe atau sampan nelajan disebut dengan bahasa Sangihe pangkoe iaitoe goena kenaikan seorang dan goena kenaikan tiga atau doea orang dinamai londe, sedang kenaikan sampai lima orang diseboet toembiloeng: goena pemoekat dipakailah perahoe-perahoe londe atau toembiloeng dan pelang, sedang bakal pelajaran ke Talaoede atau Manado dan Ternate dipergoenakan perahoe kora kora; semoenja itoe pekerdjaan toekang perahoe. (Sarapil 1927:42)

Gambar 8. Pelaboehan Petta

Sumber: (Sarapil 1927: 23)

Perahu londe pada abad XVI di laut Sulawesi berfungsi mengiringi perahu Kora-Kora sebagai

armada perang atau merampok di Laut. Perahu jenis ini diperkirakan berasal dari Maluku Utara

dan berpengaruh pula hingga ke Filipina. Nama perahu ini menunjukkan adanya pengaruh dari

luar, seperti ‘Dorehe dan ‘Kora-Kora’ yang dikenal di Maluku Utara (bahasa Ternate: Rorehe,

Kora-Kora) (Lapian, 2011:84). Perahu korakora di sepanjang Kepulauan Indonesia dan Filipina,

digunakan oleh penguasa daerah sebagai kebiasaan yang sudah berakar Bangsa Australo-Melayu

yaitu merampok di Laut. Perahu londe sebagai pengiring korakora terekam melalui tulisan dari

Adrian Horridge sebagai berikut :

Setiap pemimpin lokal berperang menggunakan perahu dengan 100-300 orang pria di bantalan yang ditempatkan di atas panggung yang ditinggikan di mana para petarung terus bertahan, dipersenjatai dengan tombak, sumpit, busur panah dan pedang. Perahu kora kora mempunyai pelampung di kedua sisi dan beberapa derek bercadik. Panggung berstruktur hebat dinaikkan ke atas melampaui badan perahu untuk para petarung pria, dan panggung lainnya dibentangkan di sepanjang derek bercadik untuk para pendayung; yang paling besar terdapat empat bagian yang masing-masing terdiri dari lima puluh orang pada setiap sisinya. Sebuah tiang berkaki tiga menopang layar miring berbentuk empat persegi panjang; sepasang kemudi samping adalah pengaturnya; bagian belakang perahu berbelok liku ke atas ke linggi depan dan linggi buritan yang dihiasi dengan berbagai pita, dan di masa terdahulu malah dihiasi dengan bangkai kepala musuh yang dikalahkan. (Horridge, 2015:5-6)

Seperti pernyataan Horridge tersebut mengenai perahu londe pada abad XVI, tergambar

juga pada lambang Kabupaten Kepulauan Sangihe dengan mencirikan masyarakat bahari yang

memiliki kemakmuran dengan hasil bunga pala, kelapa dan cengkeh sebagai penghasil utamanya.

Dalam web (Sangihe Kab.go.id) perahu bininta

2

pada lambang Kabupaten Kepulauan Sangihe

ditafsirkan sebagai perahu generasi pertama sebagai alat transportasi antar pulau pada waktu itu.

2 Perahu bininta, adalah perahu jaman dahulu yang dipakai oleh masyarakat pribumi dalam segala kepentingannya. Sebagai alat transportasi antar pulau, sebagai perahu perang yang sangat ulet sebab antara haluan dan buritan sama. Perahu bininta mempunyai atribut yang mendasar seperti ular naga yang terpasang pada bagian depan, belakang dan tengah, naga mengandung latar belakang religius bagi leluhur. Bininta adalah lambang persatuan, bininta adalah lambang kemakmuran dan bininta adalah lambang pertahanan”.

(11)

Perahu bininta dengan ciri khasnya memiliki ornamen bagian depan dan belakang ular naga,

memiliki kesamaan dari ornamen perahu londe pada saat ini.

Awal pertama kali dalam pekerjaan membuat perahu londe adalah pembuatan lunas,

pekerjaan ini yang menjadi dasar dari badan perahu. Kayu lunas dibutuhkan kayu yang tidak

mudah pecah dan tahan binatang laut. Lunas biasanya terbuat dari kayu bulat, keras tahan air dan

tidak bersambung. Kayu yang dipilih adalah kayu kaluwatu, pilapihe atau panirang. Gelondongan

kayu utuh yang dijadikan lunas (bahasa daerah disebut dahiyango) di keruk dengan ketekunan dan

penuh ketelitian supaya tidak menimbulkan bocor nantinya. Hal terpenting untuk lunas perahu,

pemilihan batang kayu yang terbaik dalam proses pembuatan lunas perahu, batang tersebut

dilengkungkan dengan bantuan api dan air supaya dasar perahunya bisa dijadikan lebih datar

dan lebar. Batang yang telah dikeruk itu diisi air, sementara seluruh bagian bawahnya diletakkan

di atas api yang kecil. Dengan demikian, dinding lambungnya bisa menyusut dan pekerjaan

mengeruk dilanjutkan sampai lesungnya cukup lebar dan luas serta rata ketebalan kayunya. Untuk

menghindari agar jangan sampai lubang lesung menutup kembali, dipasang lagi kayu-kayu yang

melintang antar dinding perahu. Apabila luas dan bentuk yang dikehendaki telah tercapai, barulah

dimulai dengan pekerjaan halus untuk melicinkan kayunya dan memberi ornamen seperti laӗmbo

pada haluan perahu (Lapian, 2008:20).

Selanjutnya membuat haluan atau bahasa sangihe disebut mona, diteruskan dengan pembuatan

kemudi/peto, dan tengah perahu yang disebut ampa yang tinggal menyambung bagian papan

kemudi dan haluan. Pembuatan haluan biasanya rumit karena membentuk ornamen laӗmbo yang

menjadi andalan dalam perahu londe.Untuk merekatkan keempat bagian-bagian perahu, memakai

pasak. Kayu yang dijadikan pasak kayu khusus, agar supaya tahan dan tidak mudah patah,

pemilihan kayu biasanya dipilih kayu nantu merah. Bagian-bagian perahu yang direkatkan terlebih

dahulu di lem agar tidak merembes air laut dan antar bagian bisa menyatu. Jaman dahulu untuk

menyambung bagian-bagian perahu, lem perekat bahan dasarnya berasal dari bafu (getah kayu

heghtese + air saroro/gedi), atau menyambung kayu yang terbelah karena urat kayu, direkatkan

dengan gabus yang dicampur bensin. Lem atau perekat tersebut sekarang sudah berganti dengan

lem epoxy yang khusus dari Filipina. Setelah perahu siap sebagai kelengkapannya, seperti:

dayung, layar (sengo panggili, kayu yang diikatkan pada kain layar disebut sagilateng, tiang layar

(palalaheng), tali layar (wala-wala) dikerjakan berikutnya.

Pembuatan maupun kepemilikan perahu londe pada saat sekarang ini sudah mulai menurun

bagi masyarakat Sangihe dan Talaud. Ada beberapa kemungkinan alasan masyarakat tidak

menyukai perahu tersebut, londe lebih berat dibanding pumpboat karena setiap hari nelayan harus

batola perahu (melaut) dari darat ke laut dan bersandar (dari laut ke darat). Harganya lebih mahal

karena londe perlu kayu utuh, pembuatannyapun memerlukan keahlian khusus. Londe tidak cocok

apabila dipasang mesin dalam, masyarakat lebih memilih jenis pumpboat (mesin motor dalam)

karena mempunyai daya jelajah lebih jauh dan luas areal tangkapan ikan.

Asal usul kata pumpboat masih belum jelas, nama pumpboat diberikan untuk perahu karena

bermesin pompa yang dimodifikasi sedemikian rupa. Pumpboat atau selanjutnya lebih dikenal

dengan nama pambut istilah lokal di Kepulauan Sangihe dan Talaud, berasal dibuat dan digunakan

di Negara Filipina, penggunaannya sebagai alat transportasi dan juga sebagai alat penangkap ikan.

(12)

Dalam perkembangan selanjutnya pumpboat telah tersebar ke berbagai wilayah pulau pulau yang

menjadi perbatasan antara Indonesia dan Filipina di utara Provinsi Sulawesi Utara.

Perahu pumpboat atau perahu papan (triplek), teknik pembuatannya pun tidak kalah kompleks

dibanding dengan londe. Karena tidak tergantung pada satu batang kayu saja yang dikeruk bagian

dalamnya, maka jenis dan bentuknya lebih variatif. Dimungkinan ukuran perahu yang lebih besar

tidak begitu terbatas. Panjang lunas bisa berbeda-beda dan cara meletakkan tinggi muka dan

belakang serta gading-gading yang ikut membentuk kerangka kapal menentukan pelbagai macam

variasi menurut kebutuhan dan pengalaman setempat. Pena kayu digunakan untuk menyambung

satu papan dengan papan yang lain. Meskipun cara ini adalah suatu cara yang lebih tua daripada

menggunakan baut, sekrup, atau paku dari baja dan logam, ternyata cara ini lebih baik karena pena

kayu bisa tahan air asin dan tidak berkarat (Lapian, 2008:21).

Pekerjaan awal pembuatan pumpboat yakni kayu lunas (bahasa setempat kasku) dikeruk

sedikit, tidak sedalam seperti londe. Kayu dengan ketebalan kurang lebih 10 millimeter hanya

dibuat sebagai lunas/kasku selebihnya dirangkai dengan rangka (tulang duhi) seperti tulang ikan

untuk membentuk badan pumpboat. Dalam penyambungan maupun melekatkan antara rangka dan

dinding berupa triplek menggunakan paku tembaga dan lem foxy asal Filipina. Dinding perahu

digunakan triplek khusus berasal Filipina (merk Santa Clara)

3

.

Gambar 9, 10, 11. Lunas/kasku yang dipasangi tulang (kerangka pumpboat) dan perahu pumpboat serta triplek merk santa clara.

Sumber : Koleksi foto pribadi

Penggunaan sema sema yang diikatkan pada bahateng menjadi ciri khas dari perahu pumpboat

(perahu bercadik). Sema sema terbuat dari bambu Jawa yang dapat mengapung di dalam air

sebagai penyeimbang. Dipilihnya bambu Jawa karena tahannya terhadap rendaman air, kuat, lurus

dan besar. Pembuatan sema sema cukup mudah buat semua nelayan, bambu yang sudah dipilih di

kupas kulit luarnya, dan dicat agar tahan lama. Tetapi ada beberapa nelayan menggunakan pipa

PVC yang ditutup muka belakang. Ukurannya juga disesuaikan dengan panjang perahu. Fungsi

dari sema sema ini sangat penting sebagai daya imbang dari pumpboat itu sendiri. Sema-sema

diikatkan pada bahateng, pemilihan bambu kuning menjadi prioritas kegunaan bahateng. Bambu

3 Belum jelas informasi -- jenis triplek ini dibuat di daerah mana, beberapa informan ada yang mengatakan bahwa triplek tersebut dibuat Barito Pasifik di Halmahera kemudian di bawa ke Filipina dan diberi merk Santa Clara. Ciri khas dari tripleks ini lebih padat dan keras terkhusus tahan air harganya pun relatif lebih mahal lima kali lipat dengan triplek biasa. Harga triplek Santa Clara berukuran 5 millimeter mencapai Rp.275.000,- sampai Rp.300.000,- pada toko bangunan di Kota Tahuna.

(13)

kuning yang sudah tua dan sama besar serta panjangnya menjadi incaran para pengrajin pumpboat.

Untuk melengkungkan bahateng sesuai kebutuhan diperlukan keahlian khusus dan dipanasi secara

perlahan. Bambu yang baru ditebang langsung dilengkungkan dengan pertimbangan supaya tidak

pecah dan masih bisa dibentuk sesuai dengan keperluan.

Perahu pumpboat dikategorikan sebagai perahu mesin dalam, hal tersebut berdasarkan

penggunaan mesin untuk laju kecepatan. Mesin dalam dirangkai maupun modifikasi di haluan

perahu sehingga membentuk sirip ekor ikan yang memutar baling-baling. Ciri-ciri mesin dalam

yang terdiri atas: as, crosjoin, dan propeler sebagai komponen utama untuk mengatur kecepatan.

Mesin yang digunakan berbagai merk antara lain Bringstone, Motoyama, Yamakomo, Honda, Riu

dan Shark. Ukuran yang dipakai 5 ½ PK, 6 PK, 6 ½ PK, ukuran tersebut mampu mendorong

perahu pumpboat mengarungi lautan bebas.

Menurut nelayan pantai Likuang, Tabukan Utara, jenis perahu pumpboat ini mudah dalam

pengerjaannya. Di samping itu pemeliharaannya perahu yang sudah keropos bisa dikerjakan

sendiri oleh nelayan, dengan syarat lunas/kasku tidak boleh pecah ataupun terbelah. Rata-rata

para nelayan di Kabupaten Kepulauan Sangihe mampu memperbaiki perahunya masing-masing.

Pewarisan keahlian tersebut diperoleh dengan belajar sendiri maupun bertanya kepada sesama

nelayan. Keahlian tersebut dimungkinkan dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dan tersedia

di toko-toko dengan harga yang terjangkau untuk dimanfaatkan sebagai sarana mata pencaharian

mereka sehari-hari.

Keberadaan perahu londe saat sekarang ini masih digunakan sebagian olehnelayan di

Pulau Bukide ataupun di daratan Sangihe. Sementara pulau-pulau di border crossing area para

nelayanSangihe menggunakan pumpboat sebagai alat transportasi dan mata pencahariannya.

Gambar 12,13. Perahu londe dan Pumpboat di Pulau Nusa Tabukan

Sumber : Koleksi foto pristiwanto

Pulau-pulau yang membentang dari Nusa Utara hingga pesisir selatan Mindanao, layaknya

jembatan alami, dipahami oleh masyarakat pelaut Sangihe dan Filipina bagian Selatan sebagai

tempat mereka beraktivitas. Dunia bahari yang difahami orang Sangihe, bukanlah bentangan laut

semata, melainkan sebagai tempat mereka beraktivitas dan juga “bentangan pekerjaan” (John

Urry, 2012:809). Jika awalnya bergerak dari satu sisi ke sisi lain dalam kawasan itu memerlukan

perantara tempat dan memerlukan waktu, maka dengan adanya peralihan sarana transportasi –

londe ke pumpboat – lebih mempercepat dan mendekatkan sisi-sisi dalam kawasan bahari ini

(14)

Jenis perahu pumpboat ini juga mengispirasi para nelayan untuk membuat perahu pumpboat

dengan tenaga fuso, masyarakat biasa menyebut perahu Fuso. Fuso, salah satujenis mesin truk,

dimodifikasi untuk mendorong perahu dengan kapasitas bisa sampai dua ton. Fuso banyak

digunakan para nelayan untuk melintas batas Indonesia-Filipina dengan kondisi badan perahu

besar dan dapat menampung lebih dari 20 orang. Panjang perahu Fuso lebih dari 12 meter dengan

cadik sebelah menyebelah. Bahan-bahan untuk membuat perahu Fuso sama halnya dengan

pumpboat pada umumnya, ukurannya diperbesar, pemilihan kayu sebagai lunas lebih panjang

dan besar, ketebalan triplek yang digunakan lebih dari 10 millimeter. Bahan kayu dan triplek

yang dibutuhkan lebih banyak dan modal yang dikeluarkan juga relatif besar. Pemilik-pemilik

modal besar saja, biasanya para pebisnis komuditas barang-barang berasal dari Filipina, nelayan

ikan Tuna, dan pengumpul ikan, adalah pemilik yang bisa mengoperasionalkan perahu jenis Fuso.

Contoh bahan-bahan dan pengrajin perahu jenis fuso ada di Desa Nanedakele (Tinakareng) Pulau

Nusa, Kecamatan Nusa Tabukan.

Data yang bisa dikeluarkan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Sangihe

adalah SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan BPKP (Bukti Pencatatan Kapal Perikanan).

Keberadaan pumpboat di seluruh Kabupaten Kepulauan Sangihe bisa terlacak lewat SIPI dan

BPKP tersebut. Kedua surat tersebut dibedakan apabila SIPI pumpboat berukuran lebih dari 5

GT

4

sementara BPKP pumpboat berukuran di bawah 5 GT. Besar ukuran pumpboat dalam

menentukan GT ditentukan lewat perhitungan (Panjang. Lebar. Tinggi. 0,25 x 07 = GT). Data

tersebut disajikan hingga bulan Maret 2016 adalah SIPI = 114 kapal dan BPKP = 347 kapal. Data

lain yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah

panjang pumpboat kurang dari sepuluh meter sementara panjang Fuso (bertenaga mesin truk fuso)

lebih dari dua belas meter.

Penggunaan perahu tradisional seperti londe, pelang serta jenis lainnya mulai terdegradasi

dengan masuknya pengaruh modernisasi. Munculnya perahu mesin secara tidak langsung

memutus tradisi bahari masyarakat pulau yang masih menggunakan perahu tradisional. Badaseng

dan aktivitas melaudě sudah mulai tergerus bahkan masyarakat generasi sekarang ini sudah tidak

mengenal lagi istilah seperti itu. Peralihan dari perahu tradisional, londe ke pumpboat menghapus

juga konsep ‘buana’ dalam tradisi bahari.

Proses transformasi perahu londe ke pumpboat sejalan dengan tahap penyeberan inovasi oleh

Sztompka, (2014:300). Disesuaikan dengan fungsi, kegunaan dan kebutuhan melalui pertimbangan

kondisi cuaca yang ada di perairan laut Sulawesi maka londe perlahan dan pasti beralih ke

pumpboat sebagai alat transportasi nelayan. Tahap penyebaran inovasi pada awal perubahan ada

penyaringan perubahan dan terus menerus menyebar dari Filipina menuju ke Indonesia dan diakui

(legitimasi oleh masyarakat pendukung kebudayaan bahari). Penyebaran perubahan tersebut

ada yang menolak atau menerima bahkan ada yang mengimbangi atau menguatkan disesuaikan

dengan karakter masing-masing pulau-pulau di perbatasan Indonesia-Filipina.

Pengetahuan lokal yang dimiliki para nelayan Sangihe menjadi penuntun melakukan aktivitas

melaut. Pengetahuan mengetahui nama-nama bintang dalam bahasa daerahnya serta posisi

bintang di kala matahari terbenam yang menandai ufuk utara, timur, selatan, barat dan sebagainya;

(15)

melainkan juga pergeseran posisi-posisi bintang semenjak matahari terbenam hingga matahari

terbit, bahkan juga sepanjang tahun. Bahkan dalam khasanah pengetahuan perbintangan ini,

mereka menandai siklus waktu dengan nama-nama bintang sebagai pedoman dalam melaut. Dari

posisi bintang ini para nelayan/pelaut tidak mengalami kesulitan berlayar di malam hari, selama

mereka berada di Laut Sulawesi. Para nelayan juga menandai setiap mata angin dalam bahasa

daerahnya. Baik nelayan maupun para pelaut dapat menemukenali angin yang bertiup mulai dari

bentuk awan dari mana angin itu bertiup, ciri-ciri hembusan anginnya dan pengaruhnya terhadap

permukaan laut. Selain pengetahuan tentang nama-nama mata angin, mereka juga menguasai

karakteristik setiap mata angin dalam kaitannya dengan pasang-surut air laut.

Pengetahuan lokal dan keterampilan berlayar yang sudah dimiliki para nelayan menjadi

bertambah setelah kehadiran perahu pumpboat dari Filipina. Pengenalan dengan perahu yang

ringan, lincah di ombak, laju dalam membelah arus air laut yang digerakkan oleh mesin motor

bergantung pada minyak membuat nelayan/pelaut menambah wawasan pengetahuan baru tentang

permesinan. Nelayan/pelaut digiring harus mengetahui bagaimana menjalankan, merawat sampai

memasang mesin pada perahu. Pengetahuan tentang as, crosjoin, propeler dalam komponen utama

perahu pumpboat harus cepat dipahami, rancang bangun perahu disesuaikan dengan mesin pun

harus dimiliki para nelayan. Wawasan nelayan terus bertambah dengan kehadiran produksi mesin

yang diproduksi oleh pabrik, membuat mereka harus mampu menentukan mesin dan ukuran cocok

untuk pumpboat miliknya. Kehadiran alat transportasi bermesin seperti pampboat, mereka telah

menjadi pendukung pengetahuan baru, misalnya tentang mesin, mampu mengutak-atik mesin

tanpa bekal pelatihan serta ilmu selain menjalani praktik ‘mencoba-gagal-dan mencoba lagi’.

Tidak hanya keterampilan melaut yang dimiliki para nelayan di perbatasan Indonesia-Filipina,

mereka juga memiliki “pengetahuan lokal” yang mereka warisi turun-temurun. Para nelayan juga

percaya akan keberadaan makhluk supranatural yang dikenal dengan berbagai nama dan berkuasa

di laut. Umumnya, para nelayan mempercayainya sebagai kekuatan yang mampu memberikan

rasa aman dan juga sebab munculnya gangguan-gangguan yang dianggap berasal dari kekuatan

supranatural. Mantra atau doa-doa, sampai sasambo dilantunkan untuk memberikan kekuatan

bagi mereka ketika melaut.

Sasambo adalah pantun yang dilagukan selama berlayar, terdapat berbagai jenis syair mulai dari yang jenaka, kisa-kisa romantis, petuah, hingga syair yang dianggap bertuah. Irama lagunya terdiri pula atas beberapa jenis antara lain ditandai dengan nama alat dayung yang digunakan dalam pelayaran (Ulaen, 2003:155).

Peralihan atau proses transformasi unsur-unsur budaya-benda pertanda tradisi bahari seperti

penggunaan perahu sampan bercadik ke ‘kembaran’-nya yang disebut pumpbaat atau untuk

ukuran yang lebih besar disebut fuso, hilangnya perahu Kora-Kora, perahu sikuti, atau semua

jenis perahu yang digerakkan oleh layar dan dayung ke penggunaan perahu berbahan baku kayu

lapis dan kapal motor berkonstruksi serat fiber dan besi, diikuti oleh sejumlah unsur budaya tak

benda yang hilang dari ingatan. Berbagai pengetahuan yang mendukung tradisi bahari dan seni

sastra khususnya messambo makin ditinggalkan di tengah hiruk pikuk dan derum mesin pumpboat

dan Katinting. Begitu pula dengan kebiasaan melantunkan lagu-lagu daerah dan lagu rohani

ketika berperahu, sebagai pengiring dan penyemangat para pendayung tidak terdengar lagi. Yang

ada deru mesin motor tempel atau outboard yang mendorong beban perahu melaju. Jangankan

(16)

mendengar sasambo yang dilantunkan oleh nelayan maupun kebiasaan mereka menyanyi ketika

berlayar. Untuk bercakap-cakap dalam pelayaran pun agak sulit karena bisingnya bunyi mesin

(Ulaen et al, 2012:83-84).

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kondisi sekarang perahu londe sebagai alat transportasi antar pulau sudah tidak terlihat lagi.

Dari persentase kepemilikan perahu jenis londe nelayan di pulau-pulau yang masuk dalam border

crossing area bisa dihitung dengan jari. Perahu jenis londe tidak diminati oleh para nelayan

dengan berbagai alasan: londe berat dibanding pumpboat, londe kurang cocok dipasangi mesin

motor, londe tidak cocok di zaman yang sudah bermesin.

Transformasi dari londe ke pumpboat (perahu sampan tradisional ke perahu modern

bermesin) menjadikan pilihan inovasi baru bagi para nelayan/pelaut Perbatasan Indonesia-Filipina.

Kecenderungan pemilihan inovasi perahu pumpboat tersebut berdasarkan fungsi dan pemanfaatan

perahu (pemanfaatan fungsi), rancang-bangunnya cocok dengan kondisi laut di perairan Nusa

Utara dan lincah bergerak di antara ombak. Sementara perahu londe dengan nilai arstistiknya atau

kesakralannya dan berat untuk melawan arus dan angin.

Perahu londe mempunyai ornamen laӗmbo lurus melengkung 10 derajat pada ujungnya

berbentuk bulat bundar, fungsinya berubah, diperkirakan perahu londe abad XVI sebagai pengantar

dari perahu kora kora untuk berperang yaitu salah satu senjata untuk mendobrak perahu lawan.

Sementara fungsi laӗmbo pada saat sekarang melengkung 45 derajat menghadap ke atas tanda

permohonan doa agar aktivitas sebagai nelayan mendapatkan hasil yang diharapkan. Konstruksi

dan nama-nama penampang perahu londe dahulu ke sekarang tidak banyak berubah dan menjadi

dasar dalam pembuatan perahu londe maupun jenis pumpboat.

Pengetahuan lokal dan keterampilan berlayar yang sudah dimiliki para nelayan menjadi

bertambah setelah kehadiran perahu pumpboat berasal dari Filipina. Pengenalan dengan perahu

yang ringan, lincah di ombak, laju dalam membelah arus air laut yang digerakkan oleh mesin

motor bergantung pada bahan bakar minyak membuat nelayan/pelaut menambah wawasan

pengetahuan baru tentang permesinan. Nelayan/pelaut digiring harus mengetahui bagaimana

menjalankan, merawat sampai memasang mesin pada perahu. Pengetahuan tentang as, crosjoin,

propeler dalam komponen utama perahu pumpboat harus cepat dipahami, rancang bangun perahu

disesuaikan dengan mesin pun harus dimiliki para nelayan. Kehadiran alat transportasi bermesin

seperti pumpboat, mereka telah menjadi pendukung pengetahuan baru, misalnya tentang mesin,

mampu mengutak atik mesin tanpa bekal pelatihan serta ilmu selain menjalani praktek

‘mencoba-gagal-dan mencoba lagi’.

Pengetahuan pendukung tradisi bahari dan seni sastra khususnya messambo makin ditinggalkan

di tengah hiruk pikuk dan deru mesin pumpboat. Begitu pula dengan kebiasaan melantunkan

lagu-lagu daerah dan lagu-lagu rohani ketika berperahu, sebagai pengiring dan penyemangat para pendayung

tidak terdengar lagi. Yang ada deru mesin motor tempel atau outboard yang mendorong beban

perahu melaju. Jangankan mendengar sasambo yang dilantunkan oleh nelayan maupun kebiasaan

(17)

mereka menyanyi ketika berlayar, untuk bercakap-cakap dalam pelayaran pun agak sulit karena

bisingnya bunyi mesin.

B. Saran

Pewarisan tentang fungsi dan nilai yang memiliki nilai arstistik atau kesakralannya pada

perahu londe bagi generasi muda di wilayah Kabupaten Kepulauan Sangihe perlu mendapatkan

perhatian sebagai penerus budaya bahari di wilayah perbatasan Indonesia-Filipina. Pengetahuan

lokal dan keterampilan melaut yang diwarisi secara turun temurun dibudayakan menjadi muatan

lokal yang bisa dimanfaatkan sebagai acuan bahwa nenek moyang masyarakat Sangihe adalah

pelaut. Tradisi bahari khususnya messambo, sasahara perlu diwariskan dan dilestarikan ke

generasi muda sebagai penerus pendukung masyarakat bahari. Untuk menjaga kelestarian tradisi

bahari Sangihe, Sistem Pendidikan Nasional seharusnya berbasis daerah dengan menekankan

pengetahuan, ketreampilan, dan kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Abuza. Z., (2011). Borderlands, Terrorism, and Insurgency in Southeast Asia dalamJames

Clad, Sean M. McDonald, and Bruce Vaughn (Eds.). The Borderlands of Southeast Asia:

Geopolitics, Terrorism, and Globalization. Washington: National Defense University Press.

Hickson. S J., (1889). A NATURALIST IN NORTH CELEBES A Narrative of Travels in

Minahasa, The Sangir and Talaut Slands, With Notices of The Fauna, Flora And Ethnology

Of The Districts Visited.Cornell University Library.

http://www.archive.org/details/

cu3192490283775

Horridge. A., (2015). Perahu Layar Tradisional Nusantara. Penerbit Ombak. Jogyakarta.

Horstmann. A., (2002). Incorporation and Resistance: Border-Crossings and Social

Transformation in Southeast Asia. Jurnal Antropologi Indonesia Vol. XXVI, No. 67,

January-April 2002 ISSN 1693-167x

Lapian, A B., (

2008). Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17. Penerbit

Komunitas Bambu Jakarta.

______________., (2011). Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi

Abad XIX. Jakarta. Cetakan kedua : Komunitas Bambu.

Mata-Codesal. D., (2007). “Where we can meet: From borderlands to contact-zones”. Final

Paper. Brighton. United Kingdom.

Moleong. L J., (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Penerbit PT Remaja

Rosdakarya

Pristiwanto., (2015). Permasalahan Perdagangan Lintas Batas di Wilayah Perbatasan

Indonesia-Filipina, Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Patrawidya, Vol

16, No. 2, Juni 2015 Yogyakarta.

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbyogyakarta/wp-content/uploads/ sites/24/2016/03/Patrawidya-Vol-16-No-2-Juni-2015.pdf

(18)

__________., (2016). Dinamika Pisang (Filipina-Sangihe) di Perbatasan Indonesia-Filipina,

Jurnal Antropologi Indonesia, Vol. 37, No. 1,

e-ISSN 1693-6086

2016.

http://journal.ui.ac.id/

index.php/jai/issue/view/679

Sarapil, W.K, et al., (1972). Peringatan kedatangan jang maha moelia di kepoelaoean Sangihe

pada 24 hb September 1927. Keradjaan Taboekan. Disampaikan apalah kiranja kehadirat

Seri Padoeka Jang Maha Moelia Toean Besar Goebernoer Djenderal Hindia Belanda.

Steller K.G.F. dan Aebersold. W.E. (1959). Sangirees-Nerderlands Woordenboek met

Nederlands-Sangirees Register. ’S-Gravenhage-Martinus Nijhoff

Sztompka, P., (2014). Sosiologi perubahan Sosial. Penerbit Prenada, Jakarta.

Tirtosudarmo. Riwanto., (2002). Tentang Perbatasan dan Studi Perbatasan: Sebuah Pengantar.

Jurnal Antropologi Indonesia Vol. XXVI, No. 67, January-April 2002 ISSN 1693-167x

Ulaen, Alex J. (2003). Nusa Utara - dari lintasan niaga ke daerah perbatasan. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Ulaen, Alex J. at al., (2012). Studi Tentang Sosial Budaya Masyarakat Daerah Perbatasan : Studi

Kasus Masyarakat Pulau Marore. Penerbit Kepel Press Yogyakarta.

Urry. J., (2012). Sosiology Beyond Society: Mobilities for the Twenty-First Century. London:

Routledge.

Velasco. D., (2010). Navigating the Indonesian-Philippine Border: The Challenges of Life in the

BorderzonedalamKasarinlanPhilippine Journal of Third World Studies. 2010 25 (1-2). hlm.

95-118

Wadley. Reed L., (2002). Border Studies Beyond Indonesia: A Comparative Perspective.

Antropologi Indonesia Vol. XXVI, No. 67, January-April 2002 ISSN 1693-167x

Internet :

Gambar

Gambar 1. Model canoe cadik berganda atau ‘londi’(Sumber : Hickson, 1889: 22)
Gambar 8. Pelaboehan Petta

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini data yang dibutuhkan adalah data jumlah cabe merah keriting yang diminta dan harganya, serta harga beberapa komoditi lainnya yang berhubungan

Pembangunan infrastruktur listrik yang juga memiliki pengaruh yang negatif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat

Ketersediaan sumber daya air merupakan salah satu masalah yang sering dihadapi khususnya di daerah yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi seperti daerah perkotaan,

(1) Paling lama 10 (sepuluh ) hari kerja sejak diterima Keputusan Gubernur tentang pemberhentian sementara, anggota Dewan Pengawas yang bersangkutan dapat mengajukan keberatan

Sudah sejak awal diarnati bahwa carut-rnarut kehidupan berbangsa di negeri ini berakar dari ditelantarkannya visi pendidikan yang seharusnya rnernanusiakan rnanusia

Perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan Perempuan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya, yg dibutuhkan, yang. yang dibutuhkannya, yg

Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana proses pengembangan media pembelajaran audio visual (video) pada materi pengisian SPT tahunan

Dalam Injil Lukas kita telah mendengar dan mendalami tentang orang Samaria yang baik hati. Orang Samaria adalah tokoh orang yang peka melihat dan hati tergerak oleh belas kasih,