• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Belajar Lapangan. Syok Anafilaksis. Oleh : Oleh : I Gusti Bagus Oka Wijaya ( ) PEMBIMBING : dr. Ketut Suardamana, Sp.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengalaman Belajar Lapangan. Syok Anafilaksis. Oleh : Oleh : I Gusti Bagus Oka Wijaya ( ) PEMBIMBING : dr. Ketut Suardamana, Sp."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Pengalaman Belajar Lapangan

Syok Anafilaksis

Oleh :

Oleh :

I Gusti Bagus Oka Wijaya (0902005027)

PEMBIMBING : dr. Ketut Suardamana, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH 2017

(2)

BAB 1

PENDAHULUAN

Makanan, obat-obatan, gigitan serangga, maupun kondisi ekstrem dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Hipersensitifitas merupakan respon imun yang berlebihan sehingga dapat merusak jaringan tubuh. Reaksi ini berdasarkan Gell dan Coombs dibagi menjadi reaksi tipe 1 atau tipe cepat yaitu reaksi yang muncul segera setelah terpajan alergen, reaksi tipe 2 atau reaski sitotoksik yang terjadi karena pembentukan IgG dan IgM sehingga dapat mengaktifkan komplemen dan mengakibatkan lisis, reaksi tipe 3 atau reaksi kompleks imun yang terjadi akibat pembentukan kompleks antigen antibodi, dan reaksi tipe 4 atau reaksi hipersensitivitas lambat yang timbul > 24 jam setelah terpajan antigen.1

Anafilaksis secara jelas diperkenalkan pada tahun 1901 oleh Charles Richet dan Paul Portier. Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas tipe cepat yang melibatkan lebih dari satu sistem organ. Anafilaksis adalah reaksi alergi yang dapat menyebabkan kematian. Di amerika serikat, setiap tahunnya diperkirakan terdapat 150 kematian akibat reaksi alergi terhadap makanan. Sedangkan 400-800 kematian setiap tahunnya karena alergi terhadap antbiotik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eka Imbawan,dkk. di RSUP Sanglah pada tahun 2007-2010, baik laki-laki maupun perempuan memiliki risiko yang sama untuk mengalami reaksi anafilaksis, dan reaksi terbanyak disebabkan oleh obat sebesar 63,9%.2,3

Pada pelayanan kesahatan, anafilaksis tidak dipertimbangkan sebagai penyebab kematian. Kematian akibat anafilaksis sering tidak terdiagnosis karena tidak adanya riwayat yang mendetail dari saksi mata, pemeriksaan laboratorium yang sedikit, dan pemeriksaan post mortem yang tidak spesifik. Reaksi anafilaktik dapat terjadi dimana saja, di tempat praktek, di meja operasi, bahkan di rumah pasien sendiri sehingga edukasi kepada pasien dan keluarga merupakan salah satu upaya preventif dalam kasus ini. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui kunjungan ke rumah pasien.4

(3)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal).3,5

Reaksi hipersensitivitas sistemik yang serius, mengancam nyawa dan merupakan reaksi alergi dengan onset cepat.4

Anafilaksis merupakan reaksi hipersensitifitas sistemik, akut yang dimediasi oleh IgE akibat pelepasan mediator sel mast, basofil.5

2.2 Epidemiologi

Beberapa sumber menyebutkan, prevalensi reaksi anafilaksis terhadap gigitan serangga sebesar 1-3%. Sedangkan terhadap penggunaan obat-obatan berbeda-beda tergantung dari jenis obatnya, seperti penisilin dengan prevalensi sebesar 2%. Di RSUP Sanglah pada penelitian tahun 2007-2010, pencetus reaksi hipersensitifitas terbanyak adalah obat sebesar 6,9% yang sebagian besar terjadi melalui jalur oral, diikuti oleh makanan sebanyak 27,8%.3,6

Berdasarkan World Allergy Organization (WAO) 2013, kelompok infantile, remaja, wanita hamil dan lanjut usia memiliki peningkatan kerentanan terhadap anafilaksis. Penyakit concomitant seperti asma berat yang tidak terkontrol, mastositosis, penyakit kardiovaskuler, dan penggunaan medikasi seperti beta blocker terbukti meningkatkan risiko anafilaksis fatal.6

2.3 Etiologi

Faktor pemicu timbulnya anafilaktik pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Sebagian besar pemicu spesifik terhadap reaksi anafilaksis bersifat universal, seperti di Amerika Utara, dan beberapa negara di Eropa dan Asia, susu sapi telur, kacang, ikan, kerang merupakan penyebab tersering. Di beberapa negara Eropa lainnya, buah peach adalah faktor pemicu tersering. Obat-obatan, seperti antivirus, antimikroba, anti jamur adalah penyebab paling sering reaksi anafilaksis di dunia.

(4)

Reaksi anafilaksis juga dapat dipicu oleh agen kemoterapi, seperti carboplatin, doxorubicin, cetuximab, infliximab. Agen lain yang dapat menyebabkan reaksi ini adalah radiocontrast media, latex yang biasa ditemukan di sungkup, endotrakeal tube, cuff tensimeter, kateter, torniket, udara yang terlalu dingin atau air yang dingin. Sensitivitas host, dosis, kecepatan, cara, dan waktu paparan dapat mempengaruhi reaksi anafilaksis, dimana paparan oral lebih jarang menimbulkan reaksi.4,6,8

2.4 Patofisiologi

Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitvitas tipe I atau reaksi cepat dimana reaksi segera muncul setelah terkena alergen. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor.

Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel imun non spesifik kemudian di fagosit dan dipersentasikan ke sel Th2. Sel ini akan merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut dengan fase aktivasi.

Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada permukaan sel mast dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul yang penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah eksositosis dan isi granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel mast dan basofil.

Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan mediator inflamasi, seperti histamin, trptase, kimase, sitokin. Bahan-bahan ini dapat meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor.5,8

(5)

Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis (Elseviere.com, 2009)

2.5 Tanda dan Gejala4,6

Tanda dan gejala dari anafilaksis dapat berupa: 1. Kulit, subkutan, mukosa (80-90% kasus)

Kemerahan, gatal, urtikaria, angioedema, pilor erection

Gatal di periorbital, eritema dan edema, eritema konjunctiva, mata berair Gatal pada bibir, lidah, palatum, kanalis auditori eksternus, bengkak di bibir, lidah, dan uvula.

Gatal di genital, telapak tangan dan kaki. 2. Respirasi (70%)

Gatal di hidung, bersin-bersin, kongesti, rinorea, pilek

Gatal pada tenggorokan, disfonia, suara serak, stridor, batuk kering.dry

staccato cough

Peningkatan laju nafas, susah bernafas, dada terasa terikat, wheezing, sianosis, gagal nafas.

3. Gastrointestinal (45%)

Nyeri abdomen, mual, muntah, diare, disfagia. 4. Sistem kardiovaskuler (45%)

Nyeri dada, takikardia, bradikardia (jarang), palpitasi, hipotensi, merasa ingin jatuh, henti jantung.

(6)

Manifestasi primer pada jantung tampak dari perubahan EKG yaitu T-mendatar, aritmia supraventrikular, AV block.

5. Sistem saraf pusat (15%)

Perubahan mood mendadak seperti iritabilitas, sakit kepala, perubahan status mental, kebingungan.

6. Lain-lain

Metallic taste di mulut, kram dan pendarahan karena kontraksi uterus.

2.6 Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis, sangat penting untuk mengetahui riwayat pajanan sebelum reaksi muncul. Kunci diagnosis adalah adanya gejala yang muncul dalam menit atau jam setelah terpapar dari pemicu dan diikuti oleh gejala yang progresif dalam beberapa jam. Adapun kriteria klinis untuk menegakkan diagnosis anafilaksis dapat dilihat pada tabel berikut.4

Tabel 1. Kriteria Klinis Diagnosis Anafilaksis

2.7 Klasifikasi

Dalam tabel dibawah ini ditunjukkan derajat reaksi anafilaksis berdasarkan keparahan dari gajala klinis.

(7)

Disamping tabel diatas, terdapat juga klasifikasi derajat klinis reaksi hipersensitifitas/anafilaksis oleh Brown (2004) yaitu.

1. Ringan (hanya melibatkan kulit dan jaringan dibawah kulit) seperti: eritema generalisata, urtikaria, angioedema/edema periorbita.

2. Sedang (melibatkan sistem respirasi, kardiovaskuler, gastrointestinal) seperti : sesak nafas, stridor, mengi, mual, muntah, pusing (pre syncope), rasa tidak enak di tenggorokan dan dada serta nyeri perut.

3. Berat (hipoksia, hipotensi, syok dan manifestasi neurologis), seperti: sianosis (SpO2 ≤ 90%), hipotensi (SBP < 90 mmHg pada dewasa), kolaps, penurunan kesadaran dan inkontinensia.

Reaksi dengan derajat ringan dikenal sebagai reaksi hipersensitifitas akut, sedangkan untuk derajat sedang dan berat merupakan gambaran klinis anafilaksis.

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk memperkuat dugaan adanya reaksi alergi, bukan untuk menetapkan diagnosis.

Jumlah leukosit

Pada alergi, jumlah leukosit normal kecuali bila disertai dengan infeksi. Eosinofilia sering dijumpai tetapi tidak spesifik.

(8)

Serum IgE total

Dapat memperkuat adanya alergi, tetapi hanya didapatkan pada 60-80% pasien. IgE spesifik

Pengukuran IgE spesifik dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (Radio Alergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzim Linked Imunnosorbent Assay). Tes ini dapat dipertimbangkan apabila tes kulit tidak dapat dilakukan.

Serum tryptase

Pemeriksaan serum triptase dapat digunakan untuk mengidentifikasi reaksi anafilaksis yang baru terjadi atau reaksi lain karena aktivasi sel mast. Triptase merupakan protease yang berasal dari sel mast.

Tes kulit

Tes kulit bertujuan untuk menentukan antibodi spesifik IgE spesifik dalam kulit pasien yang secara tidak langsung menunjukkan antibodi yang serupa pada organ yang sakit. Tes kulit dapat dilakukan dengan tes tusuk (prick test), scratch test,

friction test, tes tempel (patch test), intradermal test. Tes tusuk dilakukan dengan

meneteskan alergen dan kontrol pada tempat yang disediakan kemudian dengan jarum 26 G dilakukan tusukan dangkal melalui ekstrak yang telah diteteskan. Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter urtika dan eritema yang muncul. Tes tempel dilakukan dengan cara menempelkan pada kulit bahan yang dicurigai sebagai alergen. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan 96 jam.1

Tes provokasi

Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen langsung kepada pasien sehingga timbul gejala.1

2.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding reaksi anafilaksis adalah asma episode berat, sinkop, panic

attacks, hipoglikemia. Asma episode berat saat serangan dapat menunjukkan

gejala batuk, sulit bernafas, terdengar wheezing sehingga menyerupai reaksi anafilaksis pada sistem respirasi. Namun, gatal, urtikaria, angioedema, nyeri abdomen jarang ditemukan pada asma. Panic attacks menimbulkan gejala seperti kesulitan bernafas, kemerahan, takikardia, dan gangguan gastrointestinal. Namun, adanya urtikaria, angioedema, hipotensi jarang pada panic attacks. Hipotensi

(9)

dapat terjadi pada sinkop dan anafilaksis, tetapi pucat dan berkeringat tampak pada sinkop.2,4

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan reaksi anafilaksis sebagai berikut.4,5,7

1. Evaluasi ABC

2. Posisikan pasien dengan posisi elevasi ekstremitas atas 3. Beri 02 100% 6-8 L/menit (distress nafas)

4. Adrenalin 1:1000 larutan (1mg/ml) disuntikkan 0,3-0,5 ml IM atau 0,01 mg/kgBB Akses infus (14atau 16 gauge) intravena dengan normal salin 5. Bila tidak ada perbaikan, pemnerian adrenalin dapat diulang 10-15 menit

kemudian dengan dosis maksimum 0,5 mg untuk dewasa dan 0,3 mg untuk anak-anak

6. Medikasi lini kedua yang dapat digunakan adalah H1 antihistamin seperti

intravena chlorpheniramine (10 mg) atau dipenhidramin (25-50 mg), cetirizine intra oral; β2 adrenergic agonists, seperti salbutamol inhaler (2,5

mg/3 mL); glukokortikoid seperti hydrocortison 100-500 mg IM atau IV, metylprednisolon 125-250 mg IV, oral prednisone.

7. Observasi 2-3 kali dalam 24 jam dan hindari agen penyebab.

Adrenalin

Adrenalin atau epinephrine merupakan hormon kerja cepat yang disekresi oleh kelenjar suprarenal. Adrenalin bersifat simpatomimetik (agonist α adrenergik dan β adrenergik). Efek samping adrenalin dapat berupa tremor, pucat, palpitasi, pusing, dan sakit kepala. Tetapi terdapat juga beberapa efek yang menunjukkan overdosis adrenalin, yaitu ventrikular aritmia, krisis hipertensi, edema pulmonal. Terapi jangka panjang setelah pemberian terapi terhadap anafilaksis di pelayanan kesahatan.4

1. Edukasi terhadap reaksi anafilaksis

Anafilaksis merupakan kondisi gawat darurat sehingga harus dibawa ke pelayanan kesehatan terdekat.

(10)

Waktu yang optimal untuk melakukan tes terhadap pemicu alergi adalah 3-4 minggu setelah episode akut anafilaksis. Pasien dengan hasil negatif perlu dites lagi beberapa minggu/bulan kemudian. Faktor yang diketahui melalui anamnesis dapat menyebabkan reaksi anafilaksis perlu dikonfirmasi lagi dengan alergen skin test dan/atau mengukur level

allergen-spesific IgE pada serum.

3. Pencegahan berulangnya reaksi anafilaksis

- Terapi terhadap penyakit yang mendasari seperti asma, penyakit kardiovaskuler, mastocytosis dan penyakit lainnya yang dapat memeperberat reaksi anafilaksis.

- Menghindari pemicu dan imunomodulasi

Pasien yang alergi terhadap makanan tertentu harus menghindari makanan yang dapat memicu reaksi. WAO belum merekomendasikan penggunaan oral immunotherapy food allergen atau imunomodulator lainnya. Sedangkan, pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis terhadap gigitan serangga dapat menggunakan imunoterapi subkutan untuk 3-5 tahun. Perlindungan yang diberikan yaitu sebesar 80-90%. Pasien dengan riwayat pemakaian obat-obatan tertentu kemudian menjadi alergi tidak boleh diberikan obat tersebut sehingga dapat mencegah timbulnya reaksi anafilaksis. Pasien dengan anafilaksis idiopatik yang sering muncul yaitu > 6 kali dalam 1 tahun atau >2 kali dalam 2 bulan dipertimbangkan untuk diberikan terapi profilaksis yaitu glukokortikoid sistemik dan H1 antihistamin atau injeksi omalizumab

untuk 2-3 bulan.

2.11 Prognosis

Kematian pada reaksi anafilaksis seringkali terjadi sebelum penderitanya mendapat pertolongan kesehatan yang adekuat di rumah sakit, atau bila telah mendapat pengobatan biasanya kematian terjadi pada 30 menit pertama. Prognosis pada penderita reaksi anafilaksis biasanya baik bila telah mendapat pengobatan yang adekuat, kecuali pada penderita usia lanjut, penderita dengan penyakit

(11)

kardiovaskuler atau infark miokard akut, penderita dengan penyakit pernapasan dan penderita dengan kerusakan sistem saraf pusat.8

(12)

BAB II

KASUS PENGALAMAN BELAJAR LAPANGAN

1. Identitas Pasien

Nama : MST

Umur : 49 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Tegal Wangi Gang Pandan no. 1 Dps Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Hindu

Pendidikan : Tamat Akademi / Universitas

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

MRS : 14 Juni 2014

Tanggal kunjungan : 20 Juni 2014

2. Anamnesis

Keluhan utama: Bengkak pada wajah Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh bengkak pada wajah sejak beberapa jam SMRS (subuh:14 Juni 2014). Bengkak disadari oleh keluarga pasien pada pagi hari setelah bangun tidur (14 Juni 2014). Kedua kelopak mata pasien dikatakan membengkak sehingga pandangan pasien menyempit. Disamping itu, pasien juga mengatakan bibirnya terasa seperti tebal dan ada rasa seperti panas.

Awalnya pasien mengatakan sempat minum 3 macam obat sekitar pukul 23.00 wita yang diberikan oleh dokter paraktek swasta karena keluhan sakit pada persendian. Setelah minum obat tersebut pasien tidur dan gelisah karena merasa gatal dan matanya seperti membengkak. Saat bangun tidur sekitar pukul 07.00 wita, keluarga pasien melihat wajah pasien sangat bengkak kemudian segera melarikan pasien ke UGD rumah sakit Sanglah. Sebelumnya, pada tanggal 13 Juni 2014 pagi, pasien juga sempat minum obat decolgen. Obat ini biasa diminum oleh pasien apabila pasien merasa pegal, nyeri kaki, dan sakit kepala.

(13)

Pasien juga mengeluh gatal dan kemerahan pada seluruh tubuhnya sejak beberapa jam SMRS terutama pada tangan dan kakinya. Gatal tidak dirasakan pada sekitar mata atau hidung. Gatal tidak membaik dengan garukan. Pasien mengatakan gatal dan merah-merah muncul bersamaan. Disamping itu, pasien juga mengeluh berdebar-debar sejak subuh dan tidak membaik dengan tidur maupun perubahan posisi.

Riwayat sesak nafas atau kesulitan bernafas disangkal oleh pasien begitu juga dengan keluhan sakit kepala . Pasien juga mengatakan ada keluhan nyeri ulu hati, sedangkan mual, muntah, maupun diare disangkal. Keluhan gatal pada tenggrorokan, bersin-bersin disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien menyangkal memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap obat-obatan, makanan, maupun debu. Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit asma, batuk kronis, diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, penyakit hati dan penyakit ginjal.

Riwayat pengobatan

Pada tanggal 13 Juni 2014, pasien berobat ke dokter praktek swasta dan mendapatkan 2 macam suntikan berwarna putih dan merah. Selain itu, pasien juga mendapatkan obat ciprofloxacin, asam mefenamat, sumagesik, diplopyrum (efionand, fentibutazin).

Riwayat keluarga

Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga dengan keluhan wajah membengkak dan sesak. Pasien menambahkan anak dan cucunya pernah mengalami kemerahan dan gatal-gatal pada seluruh tubuh, tetapi pasien tidak mengetahui penyebabnya. Riwayat penyakit kronis dalam keluarga disangkal oleh pasien.

Riwayat sosial

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Sehari-hari pasien diam di rumah mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas agama. Pasien mengatakan tidak pernah merokok dan mengonsumsi minuman beralkohol.

(14)

Status present

Kesan sakit : sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis (GCS: E4V5M6) Tinggi badan : 155 cm

Berat badan : 75 kg

BMI : 31,2 kg/m2

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 110 kali/menit, reguler, isi cukup

Respirasi : 26 kali/menit, teratur, tipe : torakoabdominal Temperatur aksila : 36,5 °C

Status general

Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra (+/+)

THT

Telinga : sekret tidak ada, pendengaran ↓ tidak ada Hidung : sekret (-) kemerahan (-)

Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)

Mulut : bibir edema (+)

Leher

JVP : PR + 0 cmH2O, pembesaran KGB (-)

Thoraks

Cor: Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra, batas kanan jantung parasternal line dekstra, batas kiri jantung midclavicular line sinistra ICS V

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-) Pulmo: Inspeksi : simetris, retraksi (-)

Palpasi : vokal fremitus (N/N) Perkusi : sonor +/+

+/+ +/+

(15)

Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi , wheezing

-/-+/+ -/-

-/-+/+ -/-

-/-Abdomen

Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba

Perkusi : Timpani

Ekstremitas : hangat +/+ edema −/− kemerahan

-/-+/+ −/−

-/-4. Pemeriksaan Penunjang Darah Lengkap (14-06-2014)

Parameter Remark Unit Reference Range

WBC 2,9 103/μL 4,1 – 11,0 - Ne 1,76 4,5% 103/μL 2,5 – 7,5 - Ly 1,48 38% 103/μL 1,0 – 4,0 - Mo 0,38 9,8% 103/μL 0,1 – 1,2 - Eo 0,04 1% 103/μL 0,0 – 0,5 - Ba 0,00 0,1% 103/μL 0,0 – 0,1 - Luc 0,24 103/μL RBC 4,58 106/μL 4,50 – 5,90 HGB 12 g/dL 13,50 – 17,50 HCT 36,50 % 36,0 – 46,0 MCV 79,70 fL 80,0 – 100,0 MCH 26,10 Pg 26,0 – 34,0

(16)

MCHC 32,70 g/dL 31,0 – 36,0

PLT 171 103/μL 150 – 440

MPV 7 Fl 6,80 – 10

Kimia Darah (14-06-2014)

Parameter Remark Unit Reference Range

SGOT 42 U/L 11,00 – 33,00 SGPT 28 U/L 11,00 – 50,00 Albumin 3,2 g/dL 3,40 – 4,80 BUN 15 mg/dL 10,00 – 23,00 Creatinine 1,4 mg/dL 0,50 – 1,20 Uric Acid 4 mg/dL 2,00 – 5,70 Na 139 Mmol /L 136 – 145 K 4 Mmol /L 3,50 – 5,01 Elektrokardiogram (14 Juni 2014)

(17)

 Irama : Irama Sinus  Heart Rate : 86 x/menit reguler

 Axis : Axis normal

 Gelombang P : Normal  PR Interval : Normal  Komplek QRS : Normal  Segmen ST : ST Change (-)  Gelombang T : Normal Kesimpulan : EKG Normal

5. Diagnosis

Reaksi Anafilaktik ec suspek drugs (ciprofloxacin, asam mefenamat, sumagesik, diplopyrum).

6. Penatalaksanaan

 Masuk Rumah Sakit (MRS)  Injeksi adrenalin 0,3 cc IM (1x)  IVFD RL 20 tpm

 Metil Prednisolon 125 mg  2 x 62,5 mg IV  Diphenhidramin 2 x 10 mg

 Hindari obat pencetus

Planning Diagnostik: IgE total Monitoring:  Keluhan  Tanda vital 7. Prognosis Dubius ad bonam

(18)

BAB IV

DISKUSI HASIL KUNJUNGAN RUMAH

4.1 Alur Kunjungan Lapangan

Kunjungan yang dilakukan pada tanggal 20 Juni 2014 bertempat di rumah pasien Jalan Tegal Wangi gang Pandan Harum no. 1 Denpasar. Kami mendapat sambutan yang baik dari pasien dan keluarga pasien. Adapun tujuan diadakannya kunjungan lapangan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien serta mengidentifikasi masalah yang ada pada pasien. Selain itu, kunjungan lapangan ini juga bertujuan memberikan edukasi tentang penyakit yang dialami pasien kepada pasien dan keluarga pasien. Pasien dalam kasus ini telah mengalami syok anafilaktik.

4.2 Daftar Permasalahan Pasien

Adapun sejumlah permasalahan yang kami temukan antara lain:

1. Pasien dan keluarga sudah mengetahui bahwa pasien mengalami alergi, namun pasien dan keluarga masih kurang paham dengan bahaya alergi yang dialami pasien, gejala alergi lainnya, penyebab dari alergi, dan pencegahan berulangnya reaksi alergi yang dialami pasien.

2. Pasien tidak mengetahui adanya tes alergi untuk mengetahui faktor pemicu reaksi alergi yang dialami pasien.

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien Kebutuhan fisik biomedis

Kecukupan gizi

Pada saat pasien sakit, pasien sering ditemani oleh anak dan cucu laki-lakinya. Anak lai-laki pasien jarang membelikan pasien makanan di luar karena telah mendapat makanan dari rumah sakit. Pasien juga tidak pernah dibuatkan makanan dari rumah karena anak perempuan pasien sibuk bekerja dan menantu pasien mengurus anaknya yang masih bayi. Jadi kebutuhan gizi pasien sepenuhnya didapatkan dari rumah sakit. Di rumah, pasien memasak sendiri untuk makanan sehari-hari, kadang-kadang dibantu oleh anak perempuan dan menantunya. Pasien mengatakan makanan yang dimasak biasanya sayur, tempe, dan daging ayam. Kadang-kadang memasak telur dan daging babi. Pasien jarang memasak ikan

(19)

ataupun makanan laut lainnya karena cucu laki-laki pasien tidak gemar makan ikan. Kebutuhan gizi pasien saat dirumah diatur sendiri oleh pasien yang makanannya disesuaikan dengan kesukaan cucu pasien. Pasien tidak minum susu dan jarang memakan buah-buahan. Buah-buahan biasanya tersedia saat hari raya saja. Pasien dan keluarga pasien mengaku tidak ada riwayat gatal-gatal setelah makan-makanan yang dibuat oleh pasien ataupun oleh anak perempuan dan menantu pasien.

Akses terhadap pelayanan kesehatan

Pasien tinggal di jalan Tegal Wangi, Sesetan. Daerah tempat tinggal pasien sangat dekat dengan akses pelayanan kesehatan. Disekitar rumah pasien terdapat praktek, baik dokter umum maupun dokter spesialis yang memudahkan pasien untuk berobat jika sedang sakit. Pasien mengatakan jika dirinya sakit atau anggota keluarganya sakit akan langsung diperiksakan ke tempat pelayanan kesehatan terdekat. Tempat tinggal pasien pun tidak jauh dari rumah sakit swasta maupun pemerintah. Pasien juga mengatakan tidak sulit untuk mendapatkan obat-obatan apabila keluarganya ada yang sakit karena apotek tidak jauh dari rumah pasien. Hal ini diakui oleh pasien membuat pasien kadang-kadang membeli obat-obatan sendiri di apotek tanpa resep dokter.

Lingkungan (tempat tinggal)

Pasien tinggal dalam rumah yang beranggotakan 2 kepala keluarga. Pasien bersama suami, dan anak laki-laki pasien bersama keluarganya yaitu istri dan anaknya. Jadi, pasien tinggal bersama suaminya, seorang anak laki-laki, seorang menantu, dan seorang cucu laki-laki yang masih berumur 8 bulan. Anak perempuan pasien kadang-kadang menginap dirumah pasien dengan anak laki-lakinya.

Pasien tinggal di tanah seluas seluas 2 are yang dibangun rumah permanen dan terdiri dari 2 gedung yang terpisah. Satu gedung merupakan tempat tinggal keluarga terdiri atas ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, dan ruang keluarga. Sedangkan gedung yang lain terdiri atas dapur, kamar mandi, bale bengong, dan dua kamar yang disewakan. Semua ruangan berlantai keramik dan sudah di cat. Halaman rumah pasien sudah di semen. Terdapat 2 tempat suci. tidak terdapat tanaman di sekitar rumah pasien.

(20)

Sumber air minum untuk keluarga pasien adalah dari air mineral isi ulang tetapi kadang-kdang pasien memasak air. Sumber air MCK pasien berasal dari PDAM. Pada rumah pasien terdapat dua kamar mandi, air bak biasa dibersihkan seminggu sekali. Pasien mengatakan tempat tidur jarang dibersihkan. Menurut pengakuan pasien, rumah disapu setiap hari dan halaman disiram setiap sore. Secara umum, lingkungan rumah pasien tergolong cukup bersih.

Komunikasi dengan tetangga diakui sangat baik, dimana pasien sering mengobrol dengan tetangga dan mendapat bantuan moral. Hubungan pasien dengan keluarga besar baik, dimana pasien sering berkumpul. Adik ipar pasien juga kerap kali berkunjung kerumah untuk membantu pasien mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas persembahyangan. Keluarga pasien juga cepat tanggap jika ada hal buruk yang menimpa pasien.

4.4 Kebutuhan Biopsikososial Lingkungan Biologis

Pasien tidak mengetahui betul riwayat penyakit yang ada pada keluarganya terutama riwayat penyakit alergi. Kurangnya pengetahun tentang riwayat penyakit keluarga khususnya riwayat penyakit alergi membuat pasien tidak waspada akan adanya kemungkinan alergi terhadap obat, makanan, gigitan serangga, ataupun alergen lainnya. Kebutuhan akan makanan dirasakan cukup oleh pasien. Pasien makan 3x sehari, biasanya dengan porsi 1 piring nasi dengan lauk tempe, sayur, dan daging. Diakui oleh pasien tidak ada gatal-gatal atau kemerahan setelah makan makanan yang ia buat. Pasien juga mengatakan tidak pernah ada riwayat kemerahan atau gatal-gatal setelah menggunakan pakaian tertentu atau mengoles bahan-bahan tertentu pada kulitnya.

Pada saat baru keluar dari rumah sakit, pasien dirawat oleh anak laki-laki dan menantunya, tapi saat ini, pasien sudah mampu mengerjakan aktivitas sehari-hari yang biasa dilakukannya di rumah, seperti memasak, membuat upakara, dan membersihkan rumah.

Faktor Psikososial

Pasien dan keluarga pasien saling menjaga kesehatan satu sama lainnya. Apabila pasien sakit, keluarga pasien akan segera memeriksakan pasien dan mencegah agar anggota keluarga lain tidak ikut sakit. Antar anggota keluarga juga saling

(21)

mengingatkan untuk menjaga kesehatan. Hubungan pasien dengan suami, anak, menantu dan saudaranya tampak cukup harmonis. Hubungan pasien dengan tetangga lingkungan sekitar tempat tinggalnya pun tampak baik. Lingkungan sekitar rumah banyak yang mengenal pasien dan mereka sering membantu pasien apabila ada kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh keluarga pasien. Keluarga pasien termasuk golongan ekonomi menengah. Pasien tidak memiliki penghasilan, sehari-hari kebutuhan pasien masih ditanggung oleh suami dan anak laki-lakinya. 4.4 Saran-Saran terhadap Daftar Permasalahan Pasien, Kebutuhan Fisik

Biomedis dan Biopsikososial

1. Pasien harus segera mengatakan kepada keluarga apabila mengalami gejala-gejala seperti yang pernah pasien alami tanpa menunda, disamping itu gejala-gejala lain seperti rasa tidak enak pada perut, sakit kepala, bahkan sesak nafas setelah makan makanan, obat-obatan tertentu, ataupun setelah menggunakan bahan-bahan tertentu, dan juga apabila digigit serangga. Begitu pula dengan keluarga pasien. Karena apabila ditunda dapat membahayakan nyawa.

2. Untuk lebih memastikan apa penyebab dari alergi yang dialami oleh pasien, keluarga dapat mengantar pasien ke rumah sakit untuk menjalani tes alergi sehingga pencetus reaksi alergi pasien dapat dihindari. Begitu pula dengan keluarga pasien karena ada pengaruh genetik terhadap alergi. Namun, hal ini memerlukan waktu dan biaya sehingga perlu didiskusikan antar anggota keluarga.

3. Agar pasien menjaga makanan yang dimakan sehari-hari. Pasien diharapkan berhati-hati dalam mengonsumsi makanan karena pasien pernah mengalami reaksi alergi. Mungkin saja cucu pasien tidak gemar makan ikan karena ada rasa gatal atau tidak nyaman sehingga perlu dicari tahu apakah ada alergi terhadap makanan tersebut. Kemungkinan pasien untuk mengalami reaksi alergi karena makanan laut juga masih ada.

4. Pasien dan keluarga dianjurkan untuk tidak membeli obat-obatan sendiri di apotek tanpa resep dokter karena pasien pernah memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan. Apalagi penyebab pasti alergi belum diketahui. Disamping itu, banyak obat yang dijual memilik kandungan yang sama

(22)

namun nama yang berbeda. Tentu hal ini perlu diwaspadai oleh pasien dan keuarga pasien.

5. Agar keluarga dan pasien mewaspadai tanda-tanda adanya alergi dan segera membawa ke pelayanan kesehatan terdekat.

6. Pasien dianjurkan untuk terus menjaga kesehatan dan tidak terlalu lelah karena daya tahan tubuh yang tidak baik dapat mempengaruhi pemulihan dan kemungkinan terjadinya alergi.

7. Pasien dianjurkan untuk minum obat yang didapatkan saat pulang dari rumah sakit Sanglah secara teratur. Namun, apabila terdapat keluhan setelah minum obat-obatan tersebut agar segera ke rumah sakit.

8. Jika pasien berobat ke rumah sakit atau dokter praktek swasta agar memberitahukan kepada petugas kesehatan bahwa pasien pernah memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan.

(23)

BAB IV PEMBAHASAN

Berdasarkan kunjungan lapangan yang kami lakukan, permasalahan pada pasien berupa pemahaman yang masih kurang mengenai penyakit pasien. Walaupun pasien dan keluarga sudah mengetahui bahwa pasien mengalami alergi, namun pasien dan keluarga masih kurang paham dengan bahaya alergi yang dialami oleh pasien, gejala alergi lainnya, penyebab dari alergi, dan pencegahan berulangnya reaksi alergi yang dialami pasien dan pasien tidak mengetahui adanya tes alergi untuk mengetahui faktor pemicu reaksi yang dialami pasien. Berkenaan dengan hal tersebut, kami memberikan beberapa informasi sebagai berikut.

Pasien mengalami gejala kemerahan dan gatal pada tubuh, bengkak pada kedua mata, jantung berdebar-debar setelah minum beberapa obat. Hal tersebut merupakan gejala dari reaksi alergi, dimana tubuh menjadi lebih sensitif terhadap bahan-bahan tertentu. Gejala yang dialami pasien tergolong gejala yang ringan, dimana gejala dapat lebih berat, berupa gangguan pada perut seperti nyeri pada perut, mual, muntah, diare, nyeri menelan. Bahkan pasien dengan reaksi alergi dapat mengalami sesak nafas, membiru, sampai tidak bisa bernafas, dan tekanan darah dapat menurun dengan drastis sehingga menyebabkan kematian.

Hal itu dapat terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah terpapar dengan bahan-bahan yang diduga sebagai pemicu. Penyebab pastinya belum diketahui karena pasien mengonsumsi 4 jenis obat-obatan berbeda pada saat bersamaan. Untuk itu, pasien diharapkan menghindari keempat jenis obat-obatan tersebut. Penyebab lain dari reaksi alergi selain obat-obat-obatan adalah makanan, gigitan serangga, udara yang terlalu dingin ataupun air yang terlalu dingin.

Cara yang dapat digunakan untuk mengetahui agen penyebab alergi adalah dengan tes alergi. Tes ini harus dilakukan dibawah pengawasan dokter yang telah berpengalaman. Waktu yang optimal untuk melakukan tes terhadap pemicu alergi adalah 3-4 minggu setelah pasien keluar dari rumah sakit. Tes yang dilakukan dapat berupa tes provokasi yaitu pasien diberikan agen yang diduga sebagai penyebab alergi atau tes kulit yang berupa tes tusuk maupun tes tempel.

(24)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitifitas akut yang melibatkan dua organ atau lebih (sistem kulit/mukosa dan jaringan bawah kulit, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal). Faktor pemicu timbulnya anafilaksis pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda adalah sebagian besar oleh makanan. Sedangkan gigitan serangga dan obat-obatan menjadi pemicu timbulnya reaksi ini pada kelompok usia pertengahan dan dewasa tua. Perjalanan reaksi ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase sensitisasi, fase aktivasi, dan fase efektor. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, sedangkan pemeriksaan penunjang digunakan untuk memperkuat adanya alergi. Reaksi anafilaksis/hipersensitifitas dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat. Penanganan utama anafilaksis adalah dengan mengamankan jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi serta terapi adrenalin.

Pemberian informasi mengenai alergi di masyarakat sangat jarang sehingga kami menyarankan agar pemberian informasi mengenai reaksi alergi, penyebab, gejala, dan bahaya reaksi alergi diberikan secara lebih luas sehingga masyarakat dapat mengenali dan melakukan tindakan yang tepat serta dapat mencegah timbulnya reaksi anafilaksis melalui penghindaran terhadap alergen.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.

2. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley, Chichester (Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24.

3. Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.

4. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis. 2011;4:13-37.

5. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.

6. Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013

Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193–

204.

7. Longmore Murray et.all. Anaphylactic Shock. Oxford Handbook of Clinical Medicine.2010:8th:806-807.

(26)
(27)
(28)

DAFTAR PUSTAKA

9. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.

10. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley, Chichester (Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24.

11. Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.

12. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis. 2011;4:13-37.

13. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.

14.Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013

Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193–

204.

15. Longmore Murray et.all.Anaphylactic Shock.2010:8th:806-807.

16. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–10. 17. Haryanto et.all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Alergi Imunologi Klinik.

Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing:2009:367.

18. Johannes Ring et.all. History and Classification of Anaphylaxis. anaphylaxis.Wiley, Chichester (Novartis Foundation Symposium 257):2004 p 6-24.

19. Imbawan Eka, Suryana Ketut, Suadarmana Ketut. Asosiasi Cara Pemberian Obat dengan Onset dan Derajat Klinis Reaksi Hipersensitifitas Akut/Anafilaksis pada Penderita yang Dirawat di RSUP Sanglah Denpasar Bali. J Penyakit Dalam 2010;vol.11:135-139.

20. Estelle et.all. WAO Guideline for the Assessment and Management of Anaphylaxis. 2011;4:13-37.

(29)

21. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.

22.Estele, et.al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidelines: 2013

Update Of The Evidence Base. Int Arch Allergy Immunol 2013;162:193–

204.

23. Longmore Murray et.all.Anaphylactic Shock.2010:8th:806-807.

Gambar

Gambar 1. Hipersensitivitas tipe I yang mendasari Reaksi Anafilaksis (Elseviere.com, 2009)
Tabel 1. Kriteria Klinis Diagnosis Anafilaksis

Referensi

Dokumen terkait

Klien : ( menarik nafas) Yang paling utama ialah sikap saya : ( menarik nafas) Yang paling utama ialah sikap saya sendiri iaitu masalah kewangan sebab saya ni memang sendiri

Jika tidak menyebabkan kematian, sepsis puerperalis dapat menyebabkan masalah – masalah kesehatan menahun seperti penyakit radang panggul kronis (pelvic

Sementara deaerators mekanis yang paling efisien menurunkan oksigen hingga ke tingkat yang sangat rendah (0,005 mg/liter), namun jumlah oksigen yang sangat kecil

a) Persiapkan alat tulis berupa pulpen atau pensil biasa yang terbukti lancar digunakan/tidak seret. Kalau perlu, sediakan cadangannya. Jangan memakai pensil mekanik.

Jika pada site sudah tidak ditemukan nilai counter yang dibawah standard threshold dan kualitas throughput sudah optimal, maka bisa diambil kesimpulan dari metode yang

Peta Lokasi Pumping Test Sumur Dalam Kota Denpasar (10 titik data primer dan 5 titik data sekunder) Sumber : Hasil pemetaan.. Peta Kontur Air Tanah Tertekan Kota Denpasar

Keuntungan proses kempa langsung yaitu lebih ekonomis, prosesnya singkat, tenaga dan mesin yang digunakan sedikit, dapat digunakan untuk zat aktif yang tidak tahan panas dan

Pada fraktur femur, pasien biasanya datang dengan gejala trauma hebat disertai pembengkakan pada daerah tungkai atas dan tidak dapat menggerakkan tungkai..