• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Jiwa dan Minat Kewirausahaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Jiwa dan Minat Kewirausahaan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Jiwa dan Minat Kewirausahaan

Definisi Kewirausahan. Kewirausahaan atau entrepreneurship berasal dari bahasa Perancis "entreprende" yang artinya to undertake yakni menjalankan, melakukan dan berusaha. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Richard Cantillon dan semakin popular ketika dipakai oleh ahli ekonomi Jean Baptise Say dalam Riyanti (2003) untuk menggambarkan para pengusaha yang mampu memindahkan sumber-sumber daya ekonomi dari tingkat produktivitas rendah ke tingkat produktivitas yang lebih tinggi dan menghasilkan lebih banyak lagi atau lebih produktif. Dalam Bahasa Indonesia kata entrepreneur diartikan sebagai wirausaha yang merupakan gabungan dari dua kata yakni kata wira yang artinya gagah berani, perkasa dan usaha. Jadi wirausaha berarti orang yang gagah berani atau perkasa dalam usaha.

Banyak ahli yang mendefinisikan tentang kewirausahaan dan wirausaha, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut: Hisrich dan Peters dalam Tunggal (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan adalah proses membuat sesuatu yang baru dengan mempertimbangkan resiko dan balas jasa. Drucker dalam Suryana (2006) menyatakan kewirausahaan adalah kemampuan menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda. Prawirokusumo dalam Suryana (2006) menyatakan wirausaha adalah mereka yang melakukan usaha-usaha kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang dan perbaikan hidup. Zimmerer dan Scarborough dalam Tunggal (2008) menyatakan wirausaha sebagai orang yang melakukan reformasi atau merevolusioner pola produksi dengan menggunakan penemuan atau teknologi yang belum dicoba untuk memproduksi komoditas baru atau memproduksi produk lama dengan cara baru. Drucker dalam Tunggal (2008) menyatakan wirausaha sebagai orang yang memindahkan sumber-sumber ekonomi yang produktivitasnya rendah menjadi sumber-sumber ekonomi berproduktivitas tinggi.

Meng dan Liang dalam Riyanti (2003) merangkum pendapat pandangan berbagai ahli dan mendefinisikan wirausaha sebagai: seorang inovator (Shumpeter), seorang pengambil resiko atau a risk taker (Yee), orang yang mempunyai misi dan visi (Silver), hasil dari pengalaman masa kanak-kanak (Kets De Vries), orang yang memiliki kebutuhan prestasi tinggi (Mc Clelland & Brockhaus), orang yang memiliki locus internal of control (Rotter).

(2)

Jiwa dan Karakteristik Wirausaha. Jiwa wirausaha yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sifat dan karakter wirausaha yang telah tertanam dalam diri individu sebagai akibat dari proses belajar individu seumur hidupnya. Sifat-sifat wirausaha tersebut antara lain: (1) Percaya diri: sifat yakin, mandiri, individualitas,optimisme, dan dinamis; (2) Originalitas: sifat inovatif, kreatif, mampu mengatasi masalah baru, inisiatif, mampu mengerjakan banyak hal dengan baik, dan memiliki banyak sumber pengetahuan; (3) Berorientasi tugas dan hasil kerja: sifat ingin berprestasi, berorientasi keuntungan, teguh, tekun, determinasi, kerja keras, penuh semangat dan penuh energi; (4) Berorientasi masa depan: sifat pandangan ke depan, dan ketajaman persepsi; (5) Berani ambil resiko: sifat mampu ambil resiko, suka tantangan; (6) Berorientasi manusia (kepemimpinan): sifat suka bergaul, fleksibel, responsif terhadap saran/kritik (Marbun dalam Alma, 2009; Kemendiknas, 2010).

Zimmerer dan Scarborough (2004) mengemukakan delapan karakteristik kepribadian dari seorang wirausaha sukses yakni: (1) Desire for responsibility yakni memiliki rasa tanggung jawab atas usaha-usaha yang dilakukannya; (2) Preference for moderate risk yakni memilih resiko yang moderat dan telah diperhitungkan dan tidak mengambil resiko yang terlalu rendah atau terlalu tinggi; (3) Confidence in their ability to succees yakni percaya bahwa dirinya bisa meraih kesuksesan yang diinginkannya; (4) Desire for immediate feedback yakni memiliki keinginan untuk segera mendapatkan umpan balik; (5) High level of energy yakni memiliki semangat dan energi yang tinggi untuk bekerja keras mencapai tujuannya; (6) Future orientation yakni berorientasi pada masa depan dan jangka panjang; (7) Skill of organizing yakni mempunyai ketrampilan mengorganisir sumber-sumber daya untuk mencapai tujuannya; (8) Value of achievement over money yakni lebih menghargai prestasi dibandingkan uang, karena uang akan mengalir masuk dengan sendirinya jika seorang wirausaha mempunyai prestasi yang bagus.

Harris dalam Suryana (2006) menyatakan bahwa wirausaha yang sukses pada umumnya adalah mereka yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan, ketrampilan dan kualitas individu yang meliputi sikap, motivasi, nilai-nilai pribadi serta tingkah laku yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan. Penelitian oleh Mazzarol et al. dalam Saud et al. (2009) yang meneliti 93 responden wirausaha di Australia Barat, menemukan bahwa faktor kepribadian (sikap pribadi dan latar belakang responden) mempengaruhi dorongan untuk mendirikan usaha.

(3)

Menururt Bygrave dalam Suryana (2006) wirausaha adalah orang yang memperoleh peluang dan menciptakan suatu organisasi untuk mengejar peluang itu. Pendapat Meredith dalam Suryana (2006) mengemukakan wirausaha sebagai suatu kemampuan untuk melihat dan menilai peluang-peluang bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna menghasilkan keuntungan dari peluang tersebut. Tropman dan Morningstar dalam Nirbito (2000) mengemukakan wirausaha adalah kombinasi dari pemikir dan pelaksana yang melihat peluang untuk produk dan jasa baru, suatu pendekatan baru, suatu kebijakan baru, atau cara baru untuk memecahkan masalah-masalah sekaligus berbuat sesuatu dengan apa yang dilihatnya hingga memberikan suatu hasil keuntungan.

Faisol (2002) menyatakan pola/cara berpikir, bertingkang laku, dan berbuat seorang wirausaha dalam kehidupan sehari-hari dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Berani mengambil resiko. Wirausaha adalah orang yang berani mengambil resiko wajar yang sudah diperhitungkan, optimis akan berhasil, namun bukan pasti berhasil atau gagal. (2) Kreatif dan inovatif. Seorang wirausaha senang memikirkan dan menciptakan hal–hal baru dan lebih menyukai kegiatan yang memungkinkan berkembangnya ide/gagasan dan daya ciptanya. (3) Mempunyai visi. Seorang wirausaha mampu membuat gambaran tentang masa depan yang ingin diraih. (4) Mempunyai tujuan yang berkelanjutan. Seorang wirausaha sukses mampu merumuskan tujuan yang jelas, menantang, namun realistis, serta selalu melakukan evaluasi dan penyesuaian–penyesuaian terhadap tujuan yang telah dirumuskan, guna memastikan tujuan tersebut konsisten dengan visi pribadi dan perusahaan yang berkembang. (5) Percaya diri. Wirausaha sukses memiliki rasa percaya diri yang kuat, dan optimis (percaya dan yakin) bahwa apa yang dilakukan akan berhasil sesuai dengan harapannya, walaupun banyak orang meragukan. (6) Mandiri. Seorang wirausaha adalah orang yang mandiri, tidak mau hidupnya tergantung pada orang lain, dan mempunyai keinginan menjadi pemimpin minimal untuk dirinya sendiri, terbebas dari perintah atau kontrol orang lain. (7) Aktif, Energik dan Menghargai waktu. Seorang wirausaha akan puas kalau dapat menggunakan waktu sebaik–baiknya, dan bekerja kalau perlu sampai 24 jam sehari dalam rangka mencapai prestasi usahanya. (8) Memiliki konsep diri positif. Wirausaha sejati adalah orang yang terbuka terhadap kritik, karena kritik sangat berguna bagi diri ataupun usahanya, dan tidak bangga terhadap pujian. (9) Berpikir positif. Berpikir positif merupakan bagian dari sikap hidup sehari–hari seorang wirausaha berhasil. (10) Bertanggung jawab secara pribadi. Seorang wirausaha akan konsisten bertanggung jawab ketika keputusan–keputusan yang telah diambilnya ternyata kurang/tidak tepat

(4)

sekali. (11) Selalu belajar dan menggunakan umpan balik. Seorang wirausah senang mempelajari apa yang menyebabkan dirinya berhasil atau gagal dari waktu ke waktu dan hasilnya dapat dipergunakan untuk lebih menyempurnakan usaha selanjutnya.

Minat Kewirausahaan. Menurut Winkel (1989) minat adalah kecenderungan yang agak menetap dalam subyek untuk merasa tertarik pada bidang/hal tertentu atau merasa senang berkecimpung dalam bidang itu. Menurut Loekmono (1994) minat diartikan kecenderungan untuk merasa tertarik atau terdorong untuk memperhatikan seseorang, sesuatu barang atau kegiatan dalam bidang-bidang tertentu. Minat salah satu hal ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam segala bidang, baik studi, kerja dan kegiatan-kegiatan lain. Minat pada suatu bidang tertentu akan memunculkan perhatian terhadap bidang tertentu.

Minat merupakan perangkat mental yang terdiri dari campuran dari perasaan, harapan, pendirian, prasangka, rasa takut, kecenderungan lain yang mengarahkan individu pada suatu pilihan tertentu (Mapiare,1982). Tarmudji (2006) menyatakan minat adalah perasaan tertarik atau berkaitan pada sesuatu hal atau aktivitas tanpa ada yang meminta/menyuruh. Lebih lanjut Tarmudji (2006) menyatakan minat seseorang dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan seorang lebih tertarik pada suatu obyek lain dan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas. Super dan Crites dalam Sukardi (1988) menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai minat pada obyek tertentu dapat diketahui dari pengungkapan/ucapan, tindakan/perbuatan dan dengan menjawab sejumlah pertanyaan.

Hurlock (1991) menjelaskan minat adalah sumber motivasi yang mendorong individu untuk melakukan apa yang ingin dilakukannya. Ketika individu menilai sesuatu akan bermanfaat, maka akan terbentuk minat, kemudian mendatangkan kepuasan. Ketika kepuasan menurun, maka minatnya juga akan menurun sehingga minat tidak bersifat permanen, tetapi bersifat sementara atau dapat berubah-ubah. Kartono dalam Yuwono et al. (2008) menyatakan bahwa minat merupakan momen kecenderungan yang terarah secara intensif kepada sesuatu objek yang dianggap penting. Fryer dalam Yuwono et al. (2008) menyatakan bahwa minat adalah gejala psikis yang berkaitan dengan objek atau aktivitas yang menstimulir perasaan senang pada individu. Crow & Crow dalam Yuwono et al. (2008) menyebutkan ada tiga aspek minat pada diri seseorang, yaitu: (a) dorongan dari dalam untuk memenuhi kebutuhan diri sebagai sumber penggerak untuk melakukan sesuatu; (b) kebutuhan untuk berhubungan dengan lingkungan sosialnya yang akan menentukan posisi individu dalam lingkungannya; (c) Perasaan individu terhadap suatu pekerjaan yang dilakukannya.

(5)

Yuwono (2008) menyatakan minat kewirausahaan adalah rasa ketertarikan seseorang untuk melakukan kegiatan usaha yang mandiri dengan keberanian mengambil resiko. Steinhoff dan Burgess dalam Suryana (2006) menyatakan bahwa ada tujuh alasan mengapa seseorang berminat terhadap kegiatan kewirausahaan, yaitu ingin memiliki penghasilan yang tinggi, karier yang memuaskan, bisa mengarahkan diri sendiri/tidak diatur oleh orang lain, meningkatkan prestise diri sebagai pemilik bisnis, menjalankan ide atau konsep yang dimiliki secara bebas, kesejahteraan hidup dalam jangka panjang, dan ingin menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Minat berkaitan erat dengan perhatian, oleh karena itu, minat merupakan sesuatu hal yang sangat menetukan dalam setiap usaha, maka minat perlu ditumbuh kembangkan pada diri setiap mahasiswa. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, sebagaimana yang dikutip dalam Ristanti (2002) yaitu:

1) Kebutuhan Pendapatan. Pendapatan adalah penghasilan yang diperoleh seseorang baik berupa uang maupun barang. Berwirausaha dapat memberikan pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi hidupnya. Keinginan untuk memperoleh pendapatan itulah yang akan menimbulkan minat seseorang untuk berwirausaha.

2) Harga Diri. Manusia diciptakan sebagai makhluk yang paling mulia, karena dikaruniai akal, pikiran dan perasaan. Hal ini menyebabkan manusia merasa butuh dihargai dan dihormati orang lain. Berwirausaha dalam suatu bidang usaha dapat digunakan untuk meningkatkan harga diri seseorang karena dengan usaha tersebut seseorang akan memperoleh popularitas, menjaga gengsi, dan menghindari ketergantungan terhadap orang lain. Keinginan untuk meningkatkan harga diri tersebut akan menimbulkan seseorang berminat untuk berwirausaha.

3) Perasaan Senang. Perasaan adalah suatu keadaan hati atau peristiwa kejiwaan seseorang, baik perasaan senang atau tidak senang (Ahmadi,1992). Perasaan erat hubungannya dengan pribadi seseorang, maka tangggapan perasaan seseorang terhadap sesuatu hal yang sama tidaklah sama antara orang yang satu dengan yang lain. Rasa senang berwirausaha akan diwujudkan dengan perhatian, kemauan, dan kepuasan dalam bidang wirausaha. Hal ini berarti rasa senang terhadap bidang wirausaha akan menimbulkan minat berwirausaha.

(6)

4) Peluang. Peluang merupakan kesempatan yang dimiliki seseorang untuk melakukan apa yang diinginkan atau menjadi harapannya. Suatu daerah yang memberikan peluang usaha akan menimbulkan minat seseorang untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Masrun dalam Yuwono et al. (2008) menyatakan bahwa banyak lulusan perguruan tinggi belum mampu berwirausaha. Mahasiswa cenderung berpikir bagaimana caranya mereka bisa diterima bekerja sesuai dengan gelar kesarjanaannya dan dengan gaji yang sesuai ketika menyelesaikan kuliahnya. Mereka berpendapat lebih baik menganggur daripada mendapat pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya. Lebih lanjut Masrun menyatakan penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi justru kurang berminat menjadi wirausaha, tercatat hanya 10 persen yang berminat menjadi wirausaha. Mereka yang pendidikannya rendah justru 49 persen yang berminat menjadi wirausaha.

Dalam Enterpreneur's Handbook seperti yang dikutip oleh Wirasasmita dalam Suryana (2006) dikemukakan empat alasan utama yang menumbuhkan minat seseorang menjadi wirausaha: pertama, alasan keuangan, yaitu untuk mencari nafkah, menjadi kaya, mencari pendapatan tambahan dan sebagai jaminan stabilitas keuangan; kedua, alasan sosial, yaitu untuk memperoleh gengsi/status agar dikenal dan dihormati banyak orang, menjadi teladan untuk ditiru orang lain dan agar dapat bertemu banyak orang; ketiga, alasan pelayanan, yaitu agar bisa membuka lapangan pekerjaan dan membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, dan keempat adalah alasan pemenuhan diri, yaitu untuk bisa menjadi seorang atasan, mencapai sesuatu yang diinginkan, menghindari ketergantungan kepada orang lain, menjadi lebih produktif dan menggunakan potensi pribadi secara maksimum.

Mudjiarto et al. (2005) menyatakan bahwa umumnya orang berminat membuka usaha sendiri karena beberapa alasan berikut ini: mempunyai kesempatan untuk memperoleh keuntungan, memenuhi minat dan keinginan pribadi, membuka diri untuk berkesempatan menjadi bos bagi diri sendiri, adanya kebebasan dalam manajemen. Megginson dan Byrd dalam Yohnson (2003) menyatakan alasan seseorang memulai kewirausahaan kecil adalah memuaskan tujuan pribadi (kemandirian dalam hidup, menerima pendapatan yang lebih besar, membantu keluarga, menemukan produk baru); mencapai tujuan bisnis (melayani kebutuhan masyarakat baik produk maupun jasa, mendapatkan keuntungan, peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat, mendapatkan pertumbuhan, tujuan bisnis dihubungkan dengan tujuan pribadi.

(7)

Zimmerer dan Scarborough (2004) menyatakan ada delapan faktor yang menjadi pendorong pertumbuhan minat kewirausahaan, yakni: (1) Pendapat bahwa wirausaha adalah seorang pahlawan; (2) Pendidikan kewirausahaan. (3) Faktor ekonomi dan kependudukan. (4) Pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi jasa. (5) Kemajuan teknologi. (6) Gaya hidup bebas. (7) E-Commerce dan The World Wide Web. (8) Terbukanya peluang bisnis internasional. Hisrich et al. (2008) menyatakan pendidikan sangatlah penting dalam perjalanan wirausaha. Pentingnya pendidikan tidak hanya tercermin dalam tingkat pendidikan yang dicapai, tetapi juga dalam kenyataan bahwa pendidikan memainkan peranan penting untuk membantu para wirausaha mengatasi masalahmasalah yang mereka hadapi. Studi di India oleh Sinha diacu oleh Indarti (2008) membuktikan bahwa latar belakang pendidikan menjadi salah satu penentu penting minat kewirausahaan dan kesuksesan usaha yang dijalankan. Situmorang (2007) menyatakan tujuan dari pendidikan kewirausahaan adalah mengembangkan masyarakat berkewirausahaan (entreprising people) dan menanamkan sikap percaya pada diri sendiri melalui proses belajar yang sesuai. Pendidikan kewirausahaan dan program pendidikan dan pelatihan kewirausahaan bertujuan untuk mendirikan usaha kecil yang independen.

Jones dan English (2009) lebih menekankan bahwa pendidikan kewirausahaan adalah proses menyiapkan individu dengan kemampuan untuk mengenali kesempatan komersial, meningkatkan penghargaan diri, pengetahuan dan ketrampilan untuk bertindak terhadap kesempatan komersial tersebut. Kourilsky diacu oleh Jones dan English (2009) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai kesempatan untuk mengenali, menyusun sumber-sumber daya dengan kehadiran resiko, dan membangun sebuah perusahaan bisnis. Bechard and Toulouse diacu oleh Jones dan English (2009) mendefinisikan pendidikan kewirausahaan sebagai kumpulan dari pengajaran formal yang memberikan informasi, melatih dan mendidik siapapun yang tertarik untuk mendirikan bisnis atau mengembangkan bisnis kecil. Pendidikan kewirausahaan dapat memberikan kesempatan untuk melakukan simulasi kegiatan bisnis dan mengamati model peran. Pengalaman ini akan mempengaruhi keputusan mahasiswa untuk memilih karir sebagai wirausaha.

Charney et. al. (2000) pada penelitiannya terhadap lulusan Universitas Arizona tahun 1985-1999 dengan membandingkan para lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan dengan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan menyimpulkan beberapa hal penting berikut ini:

(8)

1) Pendidikan kewirausahaan terbukti meningkatkan minat pendirian perusahaan baru. Lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan tiga kali lebih banyak yang mendirikan perusahaan baru dibandingkan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan.

2) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan minat para lulusan tiga kali lebih besar untuk menjadi pekerja mandiri (self-employed) dibandingkan para lulusan yang tidak mendapatkan pendidikan kewirausahaan.

3) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan pendapatan para lulusan yang mendapatkan pendidikan kewirausahaan sebanyak 27 persen lebih tinggi.

4) Pendidikan kewirausahaan meningkatkan pertumbuhan perusahaan terutama pada perusahaan kecil, pada perusahaan besar pengaruh pendidikan kewirausahaan lebih sulit diukur. Tetapi perusahaan besar memberikan gaji yang lebih besar kepada para lulusan yang memiliki pendidikan kewirausahaan. Perusahaan yang didirikan para lulusan yang memiliki pendidikan kewirausahaan juga lebih besar.

5) Pendidikan kewirausahaan mempromosikan perpindahan teknologi dari universitas kepada sektor swasta dan mempromosikan perusahaan dan produk berbasis teknologi. Para lulusan dengan pendidikan kewirausahaan lebih cenderung bekerja para perusahaan dengan teknologi yang lebih tinggi.

Bandura, Hollenbeck dan Hall, Wilson et al. diacu oleh Basu et al. (2009) menemukan bahwa pendidikan kewirausahaan dapat meningkatkan tingkat efikasi diri seseorang. Noel diacu oleh Basu et al. (2009) menemukan bahwa pendidikan kewirausahaan mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan minat kewirausahaan terutama untuk mahasiswi. Wilson et al. diacu oleh Basu et al. (2009) menyatakan bahwa pendidikan kewirausahaan meningkatkan minat mahasiswa terhadap kewirausahan sebagai karier.

Pengalaman kerja menyatakan jenis dan jumlah pekerjaan, lamanya bekerja di sebuah atau beberapa bidang yang dialami seseorang di dalam karirnya. Setiap orang mempunyai pengalaman kerja yang berbeda-beda yang mempengaruhi kehidupan dan karirnya ke depan. Evan dan Leighton diacuh oleh Colambato dan Melnik (2009) menyatakan pengalaman kerja biasanya pada industri yang sama merupakan prasyarat alami untuk menjadi seorang wirausaha. Colambato dan Melnik (2009) pada penelitiannya terhadap para pengusaha di Italia menemukan bahwa dibutuhkan pengalaman kerja rata-rata selama 8 tahun sebagai pekerja sebelum seseorang memutuskan menjadi seorang wirausaha. Drennan diacu oleh Basu et al. (2009) menyatakan bahwa pandangan yang positip terhadap pengalaman

(9)

bisnis keluarga dan pengalaman langsung memulai bisnis baru akan mempengaruhi sikap dan persepsi tentang kewirausahaan sebagai karier.

Din (1992) dalam penelitiannya pada populasi mahasiswa sekolah bisnis di Malaysia menemukan bahwa mahasiswa yang memiliki pengalaman kerja tetap lebih memiliki kecenderungan melakukan kegiatan kewirausahaan yang lebih besar dibandingkan mereka yang pengalaman kerjanya lebih sedikit, hal ini berlaku untuk pengalaman kerja di perusahaan bisnis yang besar dan tidak berlaku untuk pengalaman kerja di sektor publik. Peterman dan Kennedy dalam Frazier (2009) menemukan bahwa pengalaman yang positif dalam kegiatan kewirausahaan pada bisnis kecil mempunyai pengaruh terhadap minat kewirausahaan. Penelitian Reitan dalam Frazier (2009) menemukan bahwa pengalaman kerja pada bisnis keluarga mempunyai pengaruh positif pada minat kewirausahaan.

Penelitian Rotefoss dan Kolvereid dalam Kautonen et al. (2008) menunjukkan bahwa pengalaman kewirausahaan sebelumnya yang positif mempengaruhi kemungkinan mendirikan bisnis dan ada perbedaan antara wirausaha yang baru pertama kali berbisnis (novice entrepreneurs) dengan wirausaha yang sudah memiliki bisnis sebelumnya (serial entrepreneurs). Menurut Ucbasaran et al. dalam Kautonen et al. (2008) serial entrepreneurs menikmati pengalaman dan manfaat kewirausahaan dibandingan novice entrepreneurs karena serial entrepreneurs memiliki kesempatan untuk mendapatkan sumber-sumber daya dan belajar dari karir wirausaha sebelumnya. Penelitian yang dilakukan Indarti et al. (2008) membuktikan bahwa mahasiswa Norwegia yang memiliki pengalaman kerja memiliki minat kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak, akan tetapi pendapat ini tidak berlaku untuk mahasiswa Indonesia dan Jepang.

Lingkungan Keluarga

Definisi dan Fungsi Keluarga. Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Interaksi sosial yang dibangun berdasarkan simpati, tempat pertama anak belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang mempunyai norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain (Alex Sobur 2003). Keluarga merupakan tempat aktivitas utama kehidupan seorang individu berlangsung, sehingga keluarga menjadi institusi pertama dan utama pembangunan sumber daya manusia (Sunarti 2008).

(10)

tingkat hubungan spesifik melalui pernikahan, adopsi dan hubungan darah (Rice & Tucker 1986). Menurut Burges dan Locke dalam Puspitawati (2009), ada 4 ciri keluarga yaitu: (a) keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan (pertalian antar suami dan istri), darah (hubungan antara orang tua dan anak) atau adopsi; (b) anggota-anggota keluarga ditandai dengan hidup bersama di bawah satu atap dan merupakan susunan satu rumah tangga; (c) keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan-peranan sosial; (d) keluarga adalah pemelihara suatu kebudayaan bersama yang diperoleh dari kebudayaan umum.

Menurut Mattessich dan Hill dalam Zeitlin (1995), keluarga merupakan suatu kelompok yang berhubungan dengan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang sangat dekat yang memperlihatkan empat hal, yaitu interdepensi intim, memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, serta melakukan tugas-tugas keluarga. Definisi lain menurut Settels dalam Sussman & Steinmetz (1987), keluarga diartikan sebagai suatu abstraksi ideologi yang memiliki citra romantis, suatu proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu jaringan dan peristirahatan/ tujuan akhir.

Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan sebagainya. Adapun tujuan membentuk keluarga adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anggota keluarganya. Keluarga yang sejahtera diartikan sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan fisik dan mental yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota keluarga, dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya (Landis 1989; BKKBN 1992).

Menurut United Nation (1993) fungsi keluarga meliputi fungsi pengukuhan ikatan suami istri, prokreasi dan hubungan seksual, sosialisasi dan pendidikan anak, pemberian nama dan status, perawatan dasar anak, perlindungan anggota keluarga, rekreasi dan perawatan emosi, dan pertukaran barang dan jasa. Rice dan Tucker (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga juga meliputi fungsi ekspresif, yaitu memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan anak termasuk moral, loyalitas dan sosialisasi anak, dan fungsi instrumental yaitu manajemen sumberdaya keluarga untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui prokreasi dan sosialisasi anak dan dukungan serta pengembangan anggota keluarga.

(11)

faktor yang dapat mempengaruhi minat seseorang untuk berwirausaha. Moos & Moos (2002) membagi lingkungan keluarga dalam 3 dimensi utama, yaitu dimensi relasi (relationship), perkembangan individu (personal growth), sistem pemeliharaan (system maintenance). Dimensi relasi (relationship) terdiri dari 3 sub komponen yaitu: Kohesi (Cohesion) yang berarti kewajiban, bantuan dan dukungan diantara anggota keluarga; Ekspresi (expressiveness) yang berhubungan dengan tindakan anggota keluarga untuk mengekspresikan perasaan mereka secara langsung; dan Konflik (conflict) berhubungan dengan tingkat ekspresi perasaan tidak suka, kemarahan dan ketidaksetujuannya anggota keluarga secara terbuka.

Dimensi perkembangan individu (personal growth) berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan individu yang terdiri dari 5 sub komponen yaitu: Kebebasan (independence) berarti tingkat keinginan, harapan dan kemampuan anggota keluarga untuk membuat keputusan sendiri; Orientasi berprestasi (achievement orientation) yang berhubungan dengan aktivitas dalam keluarga yang mengarah pada pencapaian prestasi atau berkompetisi; Orientasi budaya-intelek (intelectual-cultural orientation) yang berhubungan dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan politik, kemasyarakatan, budaya dan intelektual; Orientasi aktif rekreasi (active-recreation orientation) yang berhubungan dengan tingkat partisipasi dalam kegiatan rekreasi; dan Orientasi moral-agama (moral-religion orientation) yang berhubungan dengan nilai, moral dan agama dalam keluarga. Dimensi sistem pemeliharaan (system maintenance) berhubungan dengan sistem pemeliharaan nilai-nilai dalam keluarga yang terdiri dari: Organisasi (organization): tingkat perencanaan dan pengaturan kewajiban dalam keluarga, dan kontrol (control): seberapa banyak peraturan dan prosedur digunakan dalam keluarga (Moos & Moss 2002).

Slameto (2003) membagi lingkungan keluarga menjadi 6 faktor, yaitu: cara orangtua mendidik anak (pengasuhan), relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pemahaman orang tua, latar belakang kebudayaan. Cara orangtua mendidik anak. Cara orangtua mendidik anak berpengaruh besar terhadap cara belajar dan berpikir anak. Ada orang tua yang mendidik secara diktator militer (otoriter), ada yang demokratis, dan ada yang acuh tak acuh (permisif) dengan pendapat setiap keluarga. Brooks (2001) menyatakan bahwa orang tua yang permisif akan menghasilkan anak yang memiliki regulasi emosi yang rendah, pemberontak, menunjukkan tingkah laku yang anti-sosial dan memiliki ketahanan yang rendah dalam menghadapi hal-hal yang menantang, sementara itu orang tua yang otoritatif akan menghasilkan anak bahagia, memiliki

(12)

rasa percaya diri, memiliki regulasi emosi dan kemampuan sosial yang baik. Penelitian Sephana (2010) tentang Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kecenderungan Jiwa Wirausaha Mahasiswa ITS dengan Menggunakan Model Persamaan Struktural memperoleh kesimpulan bahwa pola asuh demokrasi berpengaruh secara signifikan sebesar 0,49 terhadap jiwa wirausaha, sedangkan pola asuh permisif dan pola asuh otoriter keduanya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jiwa wirausaha dengan nilai estimasi parameter masing-masing sebesar 0,02 dan 0,09.

Relasi antar anggota keluarga. Menurut Slameto (2003) relasi antar anggota keluarga merupakan salah satu cara menggambarkan lingkungan keluarga, namun relasi antar anggota keluarga yang terpenting adalah relasi antara orang tua dan anak-anaknya. Demi kelancaran belajar serta keberhasilan anak, perlu adanya relasi yang baik di dalam keluarga. Hubungan yang baik adalah hubungan yang penuh pengertian dan kasih sayang, disertai dengan bimbingan untuk mensukseskan belajar anak.

Suasana rumah. Suasana rumah dimaksudkan oleh Slameto (2003) adalah situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga, dimana anak berada dan belajar. Suasana rumah merupakan faktor yang penting dan tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh/ramai dan kacau-berantakan tidak akan memberi ketenangan pada anak yang belajar. Suasana rumah yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok pertengkaran antar anggota keluarga atau dengan keluarga lain menyebabkan anak menjadi bosan di rumah, suka keluar rumah dan akibatnya belajar kacau, sehingga untuk memikirkan masa depannya tidaklah terkonsentrasi dengan baik.

Kondisi ekonomi keluarga. Pada keluarga yang kondisi ekonominya relatif kurang, kemampuan memenuhi kebutuhan pokok anak menjadi relatif lebih sulit, sehingga menyebabkan anak menjadi patah semangat untuk mengejar prestasi, namun pada beberapa keluarga, faktor kesulitan ekonomi justru menjadi motivator atau pendorong anak untuk lebih berhasil. Adapun pada keluarga yang ekonominya berlebihan, orang tua cenderung mampu memenuhi segala kebutuhan anak, termasuk kemampuan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang tinggi. Kadangkala kondisi serba berkecukupan tersebut membuat orang tua kurang perhatian pada anak, karena sudah merasa memenuhi semua kebutuhan anaknya, akibatnya anak menjadi malas belajar dan prestasi yang diperoleh tidak akan baik.

(13)

orang tua. Orang tua wajib memberi pengertian, mendorong, dan membantu sedapat mungkin kesulitan yang dialami anak, baik di sekolah maupun masyarakat. Hal ini penting untuk tetap menumbuhkan rasa percaya dirinya.

Latar Belakang Kebudayaan. Tingkat pend

.idikan atau kebiasaan di dalam keluarga mempengaruhi sikap anak dalam kehidupannya. Anak perlu di tanamkan kebiasaan-kebiasan dan contoh yang baik, agar mendorong anak untuk menjadi semangat dalam meniti karier dan masa depan. Hal ini dijelaskan oleh Soemanto dalam Supartono (2004) mengatakan bahwa cara oreng tua dalam meraih suatu keberhasilan dalam pekerjaanya merupakan modal yang baik untuk melatih minat, kecakapan dan kemampuan nilai-nilai tertentu yang berhubungan dengan pekerjaan yang diinginkan anak.

Penelitian berdasarkan perbedaan gender dalam perkembangan kemandirian terdapat beberapa inkonsistensi. Douvan dan Adelson (1966), Coleman (1961) menemukan bahwa laki-laki lebih pesat dalam hal kemandirian tingkah laku dibanding perempuan, namun di sisi lain Steinberg dan Silverberg (1986) menemukan bahwa kemandirian emosi selama masa remaja awal lebih terlihat pada perempuan (Tung dan Dhillon, 2006).

Menurut penelitian Tung dan Dhillon (2006) dilaporkan bahwa perempuan memiliki lingkungan keluarga yang lebih kohesif dan lebih religius dibanding laki-laki. Persepsi perempuan terhadap lingkungan keluarga lebih kohesif, ekspresif, mendukung pengambilan keputusan, lebih berorientasi pada kegiatan intelektual, budaya dan rekreasi. Remaja putri lebih dekat dan lebih lekat pada orang tua terutama pada ibu, sementara remaja putra lebih banyak terlibat konflik dengan orang tuanya (Douvan & Adelson, 1966). Remaja putra lebih merasa bebas dari pengawasan orang tua dan menganggap bahwa lingkungan keluarga mengekangnya dan tidak memberi mereka kebebasan (Tung dan Dhillon, 2006).

Keluarga sangat tergantung dari lingkungan di sekitarnya, begitu pula sebaliknya. Beberapa peneliti memberikan contoh-contoh hubungan antara keluarga dan lingkungan. Khairuddin (1985) dan Lenski & Lenski (1987) menjelaskan bahwa berbagai perubahan global yang terjadi saat ini, baik dari segi sosial-ekonomi, teknologi dan politik, serta perubahan sistem dunia telah berdampak pada perubahan dalam keluarga dan masyarakat. Keluarga menjadi tidak stabil dan berada pada masa transisi menuju keseimbangan yang baru (Khairuddin 1985).

Bronfenbrenner (Bronfenbrenner 1981; Santrock dan Yussen 1989), Deacon dan Firebaugh (1988), Melson (1980), Holman (1983), Klein dan White (1996) diacuh

(14)

oleh Puspitawati (2006) menyajikan model pandangan ekologi untuk mengerti proses sosialisasi anak-anak. Model tersebut menempatkan posisi anak atau keluarga inti pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada di sekitarnya, yaitu lingkungan mikrosistem (the microsystem) yang merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem (the mesosystem) yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas lagi disebut dengan lingkungan exosystem yang merupakan lingkungan tempat anak tidak secara langsung mempunyai peranan secara aktif, misalnya lingkungan keluarga besar (extended family) atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem (the macrosystem) yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.

Gambar 1. Hubungan anak denganm lingkungannya (Model ekologi dari Bronfenbrenner, 1981)1

(15)

Pendekatan ekosistem menyangkut hubungan interdependensi antara manusia dan lingkungan di sekitarnya sesuai dengan aturan norma kultural yang dianut. Menurut Holland et al. (Kilpatrick dan Holland 2003) bahwa perspektif ekosistem (sistem ekologi) merupakan pendekatan teoretikal yang dominan dalam melihat perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang berhubungan dengan lingkungan sosialnya (mulai dari tingkatan mikro ke makro). Pendekatan lain dari Megawangi (1994) menjelaskan bahwa keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Sistem ekologi juga menganalisis keterkaitan antara keluarga dan lingkungan dalam melihat perubahan budaya, seperti peran ganda ibu, tren perceraian, dan efek perceraian dalam pengasuhan (Harris dan Liebert 1992).

Berkaitan dengan keluarga dan lingkungannya, Coleman (Fukuyama 2000), seorang ahli sosiologi, membawa istilah modal sosial atau social capital pada aspek pendidikan dan pengasuhan anak. Modal sosial didefinisikan sebagai suatu set sumberdaya yang diwariskan dalam hubungan keluarga dan organisasi sosial masyarakat di sekitarnya yang sangat berguna untuk perkembangan kognitif dan sosial anak-anaknya. Fukuyama (2000) menyatakan bahwa ada hubungan yang sangat kuat antara keluarga dengan modal sosialnya. Keluarga merupakan landasan unit kerjasama sosial dengan melibatkan orangtua, ayah dan ibu, untuk bekerja bersama dalam berkreasi, melakukan sosialisasi, dan mendidik anak-anaknya.

Sosialisasi. Cohen dan Orbuch (1990) menyatakan bahwa sosialisasi adalah proses belajar yang terjadi pada semua umur dan tahapan dalam kehidupan seluruh umat manusia. Selain itu mereka didefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana manusia belajar cara hidup masyarakatnya dan mengembangkan kapasitas fungsi masing-masing, baik sebagai individu maupun anggota kelompok.

Macionis (1991) menunjukkan bahwa sosialisasi adalah proses dimana individu menjadi manusia seutuhnya berdasarkan pengalamannya. Macionis (1991) mendefinisikan sosialisasi sebagai “Proses pengalaman sosial seumur hidup dimana individu-individu mengembangkan potensi manusia mereka dan mempelajari pola budaya mereka.” Cohen dan Orbuch (1990) menyatakan bahwa tujuan sosialisasi, antara lain: Individu harus diajarkan menuntut keterampilan yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakatnya; Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengembangkan kemampuan untuk

(16)

berbicara, membaca, dan menulis; Individu harus menginternalisasi nilai-nilai dasar dan kepercayaan masyarakat; Individu harus mengembangkan konsep dirinya. Individu belajar untuk melihat diri sendiri sebagai entitas yang berbeda, terpisah dari semua orang dan sesuatu yang lainnya.

Meskipun remaja menjadi semakin mandiri dari orangtua mereka, sejak mereka SMA, namun mereka tetap bergantung pada orangtua mereka untuk pengembangan karir. Beberapa orangtua mempengaruhi remaja dalam pemilihan perguruan tinggi untuk mendukung karir mereka di masa depan. Apakah kelas atas, menengah, atau kelas bawah, orangtua mengharapkan anak-anak mereka suatu saat menjadi orang yang sukses dengan mendapatkan posisi dan karier yang baik. Sebuah studi oleh Trusty et al. menunjukkan bahwa remaja perempuan memiliki keterlibatan orang lebih tinggi daripada remaja laki-laki (Trusty, Watts & Erdman, 1997). Tampaknya gender mungkin merupakan variabel yang penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan karir. Wanita mungkin perlu atau ingin terlibat lebih dari orangtua untuk memetakan jalur karir mereka sendiri.

Weidman (1989) telah mengembangkan pendekatan konseptual sosialisasi di tingkat sarjana. Kerangka dibangun atas dasar teori-teori struktural psikologis dan sosial yang pada akhirnya berpengaruh pada proses pengembangan remaja dan dewasa, karena sosialisasi mereka dalam organisasi (Lihat Gambar 2). Konsisten dengan penelitian kontemporer tentang dampak kuliah, Weidman mengusulkan empat set variabel dalam kerangka nya: 1) karakteristik latar belakang siswa, 2) karakteristik perguruan tinggi; 3) ukuran hubungan siswa dengan lingkungan perguruan tinggi; dan 4) indikator dampak perguruan tinggi.

Kerangka konseptual wiedman memiliki dua masalah: pertama adalah untuk mengetahui perkembangan situasi dan kendala individu pada pilihan yang dibuat oleh mahasiswa dalam lingkungan organisasi, dan perhatian kedua adalah untuk mengeksplorasi dampak dari proses sosialisasi dimana individu terlibat dalam konteks normatif hubungan interpersonal antar anggota. Selain itu, Weidman (1989) berpendapat bahwa dampak perguruan tinggi adalah proses dinamis dan berpengaruh penting terhadap hasil sosialisasi untuk mahasiswa dalam preferensi pilihan karir mereka, gaya hidup, aspirasi, dan nilai-nilai individu.

(17)

Gambar 2. Model Konseptual Sosialisasi Kesarjanaan Weidman2

Kerangka konseptual Weidman dapat diringkas sebagai berikut: Pertama, siswa masuk perguruan tinggi sebagai Mahasiswa baru dengan nilai tertentu, aspirasi, dan tujuan pribadi lainnya dengan berbagai latar belakang siswa. Kedua, mereka mendapatkan beberapa pengalaman perguruan tinggi yang terkena pengaruh berbagai sosialisasi saat mengikuti kuliah, termasuk tekanan normatif dari hubungan sosial dengan fakultas perguruan tinggi dan teman sebaya, orang tua dan kelompok-kelompok referensi bukan universitas. Ketiga, mereka menilai berbagai tekanan normatif yang ditemui untuk menjaga tujuan-tujuan pribadi. Kempat, setelah mereka mengikuti kuliah, apakah mereka bisa mengubah atau mempertahankan nilai-nilai, aspirasi, dan tujuan pribadi yang telah ada sejak mereka masuk ke perguruan tinggi (Weidman, 1989).

Menurut Rosenblatt, de Mik, Anderson dan Johnson diacuh oleh Greve dan Salaff (2003) anggota keluarga memainkan peranan yang penting ketika seorang calon wirausaha merencanakan dan mendirikan usaha karena anggota keluarga

2 Diambil dari John C. Weidman, 1989, Undergraduate Socialization: A Conceptual Approach.

Higher Education: Handbook of Theory and Research. Vol. V (p. 299). Edited by Smart, J.C. New York: Agathon Press. (www. books.google.co.id)

(18)

dan jaringannya selalu dilibatkan untuk dimintai bantuan dan dukungan. Penelitian yang dilakukan oleh McClelland diacuh oleh Muhandri (2002) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 50% pengusaha yang menjadi sampel yang diambil secara acak dalam penelitiannya berasal dari keluarga pengusaha dan faktor lingkungan keluarga mempengaruhi minat kewirausahaan. Penelitian McClelland didukung oleh penelitian Crant diacuh oleh Saud et al. (2009) yang menemukan fakta bahwa minat kewirausahaan dipengaruhi oleh faktor kepemilikan bisnis oleh orang tua. Mathews dan Moser diacuh oleh Cotleur (2009) juga menyatakan bahwa pengaruh keluarga sangat signifikan dalam mengembangkan minat kewirausahaan, hal ini terutama berlaku untuk laki-laki. Adanya model peran/role model juga merupakan faktor yang menentukan minat kewirausahaan seseorang.

Davidsson dan Honig (2003) menemukan hubungan yang kuat antara kewirausahaan dan kepemilikan orang tua yang mempunyai bisnis. Dalam studi itu ditemukan dukungan teman dekat atau tetangga di dalam usaha mempunyai pengaruh positif pada minat kewirausahaan individu. Staw diacuh oleh Riyanti (2003:38) menemukan bukti kuat adanya hubungan antara minat kewirausahaan dengan profesi orang tua yang bekerja mandiri atau sebagai wirausaha. Kemandirian dan fleksibilitas dapat ditularkan oleh orang tua kepada anaknya sejak dini dan menjadi sifat yang melekat kepada anak-anaknya. Pendapat Staw didukung oleh Duchesneau diacuh oleh Riyanti (2003) yang menemukan bahwa wirausaha yang berhasil adalah mereka yang dibesarkan oleh orang tua yang juga wirausaha. Aldrich dan Zimmer diacuh oleh Greve dan Salaff (2003) menyatakan wirausaha membutuhkan jaringan sosial yang kuat selain informasi, modal, ketrampilan, tenaga kerja untuk memulai usaha. Jaringan sosial ini bisa berupa jaringan profesional, teman-teman, rekan-rekan kerja sebelumnya mulai dari dalam organisasi, kumpulan perusahaan, atau orang-orang yang membantu menjalankan dan mendirikan usaha (Hansen diacuh oleh Greve dan Salaff 2003)

Lingkungan Pendidikan

Lingkungan pendidikan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lingkungan yang menjadi tempat individu (pelajar) melakukan proses pembelajaran formal dan memberikan pengalaman pendidikan yang terintegrasi bagi individu, baik secara akademik maupun secara sosial. Astin (1996) merancang sebuah kerangka kerja konseptual untuk mempelajari mahasiswa output dengan menggunakan model input-environment-outcomes (I-E-O). Astin (1996) menyatakan jika ingin hasil terbaik dari seorang mahasiswa, maka mahasiswa tersebut harus terlibat aktif dalam

(19)

lingkungan yang dijalaninya. Lingkungan yang dimaksudkan adalah berbagai program, kebijakan, fakultas, teman-teman, dan pengalaman pendidikan yang mengenai mahasiswa dan memberikan nilai tambah bagi mahasiswa. Astin (1996) menemukan fakta bahwa banyak mahasiswa menghabiskan empat tahun atau lebih kuliah dengan maksud mendapatkan pengalaman perguruan tinggi yang memberikan perubahan nilai, sikap, aspirasi (cita-cita), keyakinan, dan perilaku, selain perubahan pengetahuan dan keterampilan kejuruan yang mereka ambil. Keterlibatan penting yang berdampak pada pengembangan mahasiswa adalah intensitas belajar siswa dan pengembangan pribadi terkait dengan program pendidikan, serta efektivitas setiap kebijakan atau praktik pendidikan untuk meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kampus (Davis & Murrell, 1993).

Weidman (1989) mengusulkan bahwa seorang mahasiswa akan mendapatkan pengalaman perguruan tinggi yang mereka harapkan ketika dimensi normatif, baik dimensi akademik dan dimensi sosial, didukung oleh proses sosialisasi yang baik. Dimensi akademik mengacu pada aspek-aspek dari lingkungan perguruan tinggi yang berkontribusi secara eksplisit untuk pemenuhan tujuan pendidikan (sebagaimana tercantum dalam misi institusi), termasuk hal-hal seperti alokasi sumber daya untuk organisasi pengajaran, dan proses seleksi mahasiswa. Dimensi sosial mengacu pada cara di mana kesempatan untuk berinteraksi antara anggota diatur dan mengelompok dalam sebuah institusi atau lembaga (Weidman, 1989).

Dalam model Tinto, karakteristik mahasiswa seperti atribut individu, latar belakang keluarga, dan pengalaman pra-perguruan dimasukkan ke dalam model dinamis keberangkatan mahasiswa ‘dynamic model of student departure’ (Davis & Murrell, 1993). Karakteristik-karakteristik tersebut merupakan faktor-faktor yang dianggap mengarah pada komitmen siswa dan dianggap ketika memprediksi keberhasilan siswa dalam gelar akademis. Semakin lemah komitmen siswa untuk sebuah institusi atau terhadap penyelesaian derajat, semakin besar kemungkinan siswa akan putus sekolah.

Dalam program orientasi mahasiswa baru, sosialisasi antisipatif, Pascarella dan Terenzini (1986) hipotesis bahwa latar belakang sifat dan pengaruh komitmen awal kesuksesan akademik dan integrasi mahasiswa dengan lingkungan. Mereka bekerja dua variabel integrasi akademik: 1) mahasiswa tahun nilai rata-rata kumulatif, dan 2) siswa tingkat perkembangan intelektual dirasakan selama tahun pertama. Ada empat variabel integrasi sosial: 1) tingkat keterlibatan dalam kegiatan ekstra kurikuler selama tahun pertama; 2) frekuensi kontak tahun pertama dengan fakultas di luar kelas; 3) cakupan dan kualitas hubungan siswa dengan rekan-rekan mahasiswa; dan

(20)

4) kualitas dan dampak dari kontak siswa dengan fakultas di luar kelas

Sebagian besar studi melaporkan terdapat kontribusi positif integrasi akademis terhadap mahasiswa, pembelajaran mahasiswa, serta ketekunan untuk menyelesaikan tugas pembelajarannya (Napoli & Wortman,1998). Mahasiswa yang mempunyai gambaran dan tujuan yang jelas dengan program studi yang diambil sebagai bagian dari integrasi akademiknya cenderung mempunyai prestasi belajar yang lebih baik (William, Clive & Tom Pepe, 1982). Berbagai penelitian tersebut menggunakan istilah ’integrasi akademik’ untuk menjelaskan variabel yang berkenaan dengan pemahaman mahasiswa tentang program studi, persepsi mahasiswa terhadap perilaku guru/dosen, interaksi antara mahasiswa dengan dosen, dan interaksi antar mahasiswa dengan mahasiswa (Suhartono dan Suripto, 2006).

Lingkungan Sosial

Dewanti (2008) menyatakan bahwa kewirausahaan tidak hanya dipicu oleh faktor pribadi dan lingkungan, tetapi juga aspek sosiologis. Faktor lingkungan yang berpengaruh menurut Dewanti adalah peluang situasi yang menguntungkan, model peranan, aktivitas, pesaing dengan industri yang sama, inkubator sebagai sumber ide, sumber daya alam dan manusia, teknologi dan kebijakan pemerintah.

Penelitian Mazzarol et al. dalam Saud et al. (2009) menemukan bahwa faktor lingkungan (faktor sosial, ekonomi, politik dan perkembangan infrastruktur) mempengaruhi dorongan untuk mendirikan usaha. Zimmerer dan Scarborough (2004) menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti faktor ekonomi dan kependudukan, pergeseran dari ekonomi industri ke ekonomi jasa, kemajuan teknologi, perkembangan e-Commerce dan the world wide web, terbuka lebarnya peluang internasional dan perubahan gaya hidup masyarakat mempengaruhi minat kewirausahaan.

Menurut Zastrow dan Ashman (1987) lingkungan sosial adalah suatu kondisi, keadaan dan interaksi manusia yang berhubungan dengan manusia lainnya. Dimensi lingkungan sosial menurut Zastrow dan Ashman (1987), antara lain: transactions, energy, interface, adaptation, coping, dan interdependence. Transactions, yaitu interaksi seseorang dengan orang lain dalam lingkungannya. Interaksi bersifat aktif dan dinamis. Energy, yaitu kekuatan alami yang dimiliki seseorang untuk terlibat aktif dengan lingkungannya. Interface, merupakan poin penting dimana interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Dengan kata lain interface ini merupakan penghubung dari suatu interaksi, seperti bahan pembicaraan yang menyebabkan

(21)

seorang individu berinteraksi dengan individu lain. Adaptation, menunjukkan pada kemampuan untuk menyesuaikan diri untuk menyatu dengan kondisi lingkungan. Coping, adalah bentuk manusia menyesuaian diri dan implikasinya suatu perjuangan untuk mengatasi masalah. Bentuk penyesuaian ini ada yang bersifat positif namun ada juga yang bersifat negatif. Interdependence, menunjukkan hubungan saling tergantung atau kepercayaan dari setiap orang kepada orang lain.

Menurut Ginting (2003), yang dimaksud lingkungan sosial disini termasuk lingkungan pergaulan di kampus, rekan sepemondokan, dan masyarakat di sekitarnya serta keluarga. Kampus adalah lingkungan sosial, di samping lingkungan pendidikan. Kehidupan sosial yang sehat di kampus perlu dibina dan dikembangkan. Keberhasilan dalam menjalin hubungan sosial sangat penting bagi semua manusia, yang merupakan makhluk sosial. Kondisi itu sangat menunjang keberhasilan secara keseluruhan (Ginting, 2003).

Menurut Gunarsa & Gunarsa (2008), lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya, memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada individu. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga. Kesenjangan antara norma, ukuran, patokan dalam keluarga dengan lingkungannya perlu diperkecil, agar tidak timbul keadaan timpang atau serba tidak menentu, suatu kondisi yang memudahkan munculnya perilaku tanpa kendali, yakni penyimpangan dari berbagai aturan yang ada. Kegoncangan memang mudah timbul karena kita berhadapan dengan berbagai perubahan yang ada dalam masyarakat.

Ketersediaan Informasi. Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna dalam Indarti et al. (2008) di India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi adalah salah satu karakter utama seorang wirausaha. Mujianto (2009) menyatakan informasi dan ide untuk melakukan kegiatan kewirausahaan dapat berasal dari berbagai sumber seperti pekerjaan dan ketrampilan yang dimiliki saat ini, minat dan hobi, pengalaman kerja, pengamatan terhadap lingkungan, informasi dari media massa, melalui berbagai pameran, dan jejaring sosial dengan orang lain. Muhyi (2007) menyatakan ada banyak cara untuk mendapatkan informasi untuk memulai kegiatan kewirausahaan, yakni: (a) melalui pendidikan formal; (b) melalui seminar-seminar kewirausahaan; (c) melalui pelatihan; (d) otodidak.

(22)

Akses Kepada Modal. Modal merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk memulai usaha. Penelitian oleh beberapa peneliti seperti Marsden, Meier dan Pilgrim, Steel dalam Indarti et al. (2008) menyatakan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan dipandang sebagai hambatan utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara berkembang. Kristiansen dalam Indarti et al. (2008) menyatakan bahwa akses kepada modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha. Menurut Indarti et al. (2008) akses kepada modal merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usahausaha baru, setidaknya terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga penyedia keuangan yang tidak begitu kuat. Kasmir (2007) menyatakan bahwa ada dua jenis modal yang dibutuhkan seorang wirausaha, yakni: (1) Modal investasi. Modal investasi bersifat jangka panjang dan dapat digunakan secara berulangulang dan umumnya berumur lebih dari satu tahun. Modal investasi dipakai untuk membeli aktiva tetap seperti tanah, gedung, mesin-mesin, peralatan, kendaraan, dan lain-lain. Modal ini biasanya diperoleh dari perbankan selain modal sendiri; (2) Modal kerja. Modal kerja merupakan modal yang dipakai untuk membiayai operasional perusahaan pada saat perusahaan beroperasi. Modal ini bersifat jangka pendek dan biasanya hanya dipakai sekali atau beberapa kali dalam proses produksi, membeli bahan baku, membayar gaji karyawan, biaya pemeliharaan, dan lain-lain. Lebih lanjut Kasmir (2007) menyatakan sumber-sumber modal untuk kegiatan usaha dapat berupa: (1) Modal sendiri. Modal sendiri diperoleh dari pemilik usaha karena pemilik usaha bisa mengeluarkan saham sebagai modal sendiri; dan (2) Modal asing (pinjaman). Modal asing/pinjaman adalah modal yang diperoleh dari luar perusahaan dan biasanya diperoleh sebagai pinjaman.

Manurung (2008) menyatakan bahwa modal usaha adalah dana yang digunakan untuk menjalankan usaha agar dapat berlangsungnya usaha tersebut. Lebih lanjut Manurung (2008) menyatakan ada beberapa sumber modal, yakni:(1) Dana milik sendiri; (2) Menggadaikan barang yang dimiliki ke lembaga formal atau non-formal; (3) Meminjam dari lembaga formal atau non-formal; (4) Menggunakan modal dari pemasok; (5) Bermitra dengan mitra kerja agar modal kerja yang dibutuhkan dapat dibagi bersama; (6) Melakukan pinjaman dari bank; (7) Mendapatkan modal dari pasar modal dengan menerbitkan obligasi, saham, dll.; (8) Mendapatkan bantuan dari pemerintah, perusahaan baik swasta maupun BUMN, universitas, dan lain-lain. Akses kepada modal dalam penelitian ini adalah kemampuan wirausaha untuk mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya.

(23)

Kepemiikan Jaringan Sosial. Membentuk jaringan sosial dapat diartikan sebagai proses dua arah di mana di antara dua orang atau lebih melakukan pertukaran informasi dan sumber daya untuk saling mendukung kegiatan masing-masing. Dengan membentuk jaringan sosial maka semua kesempatan bisnis yang ada, permasalahan modal kerja, teknologi produksi, informasi bisnis, investasi, perubahan kebijakan dan peraturan, dan lain-lain dapat dibagi sehingga usaha akan lebih efektif dan efisien dan mengurangi resiko usaha.

Mazzarol dalam Indarti et al. (2008) menyatakan bahwa jaringan sosial mempengaruhi minat kewirausahaan. Gregoire et al. dalam Gadar dan Yunus (2009) menyatakan jaringan sosial merupakan faktor yang paling berpengaruh pada wirausaha wanita. Penelitian oleh Gadar dan Yunus (2009) menemukan bahwa jaringan sosial merupakan faktor kelima terpenting pada wirausaha wanita di Malaysia. Gadar dan Yunus (2009) menemukan bahwa hubungan dengan elit politik yang kuat dan dengan pemimpin bisnis, dukungan suami merupakan faktor yang mendukung para wirausaha wanita di Malaysia. Kristiansen dalam Indarti et al. (2008) menjelaskan bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha.

Marshall dan Oliver (2005) mendukung pendapat Aldrich dan Zimmer dengan menyatakan kegiatan kewirausahaan membutuhkan modal sosial/social capital selain modal manusia/human capital dan modal keuangan/financial capital. Marshall membagi modal sosial menjadi dua jenis yakni jaringan keluarga dan jaringan yang dibentuk dari pertemanan atau kenalan. Chrisman, Chua dan Steier dalam Marshall dan Oliver (2005) menyatakan bahwa pengaruh keluarga pada pembentukan usaha baru lebih penting dibandingkan faktor budaya yang lain.

Penelitian Kewirausahan Terdahulu

Penelitian tentang minat berwirausaha pada mahasiswa telah banyak dilakukan, tidak hanya pada jenjang perguruan tinggi, namun juga pada tingkat sekolah menengah atas/umum. Penelitan yang dilakukan pada jenjang perguruan tinggi ada yang mengubungkannya dengan pola asuh orangtua (Wijatmiko 2004; Meinitha 2006), efikasi diri (self efficacy) (Nurrohmah 2005; Indarti et al. 2008; Setiyorini 2009), sensation seeking (Khusnuriyah 2006), suku bangsa (Wibisono 2006), pekerjaan orangtua (Morello et al. 2003; Harpowo et al. 2009), pilihan jurusan saat perguruan tinggi, usia akademik (Morello et al. 2003), kebutuhan akan prestasi

(24)

(Indarti et al. 2008; Setiyorini 2009), lingkungan/instrumen pengembagan minat, latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis (Indarti et al. 2008), pengalaman kerja (Morello et al. 2003; Indarti et al. 2008), locus of control, akses terhadap modal dan informasi, kepemilikan hubungan sosial (Setiyorini 2009), pekerjaan ayah, pengalaman berwirausaha (Basu et al. 2009), pendidikan kewirausahaan (Harpowo et al. 2009). Beberapa penelitian tersebut masih menghasilkan kesimpulan yang beragam terkait pengaruh masing-masing variabel yang diteliti.

Morello et al. (2003) mengadakan studi di Ekuador dengan judul "Entrepreneurial Intention of Undergraduates at ESPOL in Equador" dengan sampel berjumlah 852 orang mahasiswa. 61,4 persen responden adalah lelaki dan sisanya 38,6 persen adalah wanita, 75 persen responden adalah mahasiswa teknik, 10,9 persen adalah mahasiswa ekonomi dan sisanya 14,10 persen adalah mahasiswa teknologi, dan 72 persen responden adalah mahasiswa yang sedang bekerja, 32,5 persen memiliki ibu yang memiliki bisnis, 48,6 persen memiliki ayah yang seorang pembisnis. Hasil penelitian tersebut mendapatkan fakta bahwa: (1) mahasiswa yang memiliki orang tua sebagai pengusaha memiliki minat kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak memiliki orang tua yang berprofesi sebagai pengusaha; (2) minat kewirausahaan mahasiswa ekonomi berbeda dengan minat kewirausahaan mahasiswa teknik dan teknologi; (3) mahasiswa teknik memiliki minat kewirausahaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan mahasiswa ekonomi; (4) mahasiswa yang bekerja memiliki minat kewirausahaan yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang tidak bekerja; (5) usia akademi tidak mempunyai korelasi dengan minat kewirausahaan mahasiswa.

Indarti et al. (2008) meneliti minat mahasiswa Indonesia, Jepang dan Norwegia selama 2002-2006 dengan judul "Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia". Sampel penelitian berjumlah 332 orang mahasiswa dengan rincian 130 orang mahasiswa Indonesia, 81 orang mahasiswa Jepang dan 121 orang mahasiswa Norwegia. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa sarjana (S-1) dari Universitas Gadjah Mada-Indonesia, Agder University College-Norwegia dan Hiroshima University of Economics (HUE)-Jepang. Lebih dari 50 persen responden dari ketiga negara adalah laki-laki (66 persen responden Indonesia, 79 persen responden Jepang, 62,8 persen responden Norwegia). Dari segi usia, lebih dari 50 persen responden berusia di bawah 25 tahun (84 persen responden Indonesia, 97,5 persen responden Jepang, 50,4 persen responden Norwegia). Lebih dari 50 persen responden Indonesia belum pernah memiliki pengalaman kerja, 96,3 persen mahasiswa Jepang tidak memiliki

(25)

pengalaman kerja, hanya 19,8 persen mahasiswa Norweiga yang belum pernah bekerja. Sampel diambil dengan teknik judgement atau purposive sampling. Seluruh butir pertanyaan diukur dengan menggunakan skala Likert 7-poin. Data dikumpulkan dengan wawancara dan daftar pertanyaan (kuesioner). Metode analisis data menggunakan analisis regresi berganda.

Hasil penelitian Indarti et al. (2008) menyimpulkan: (1) kebutuhan akan prestasi tidak berpengaruh terhadap minat kewirausahaan mahasiswa pada mahasiswa ketiga negara; (2) efikasi diri mempengaruhi minat kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan Norwegia, tetapi tidak mempunyai pengaruh pada mahasiswa Jepang; (3) kesiapan instrumen atau lingkungan hanya mempengaruhi minat kewirausahaan mahasiswa Norwegia dan tidak mempengaruhi pengaruh terhadap minat kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan Jepang; (4) gender dan usia yang lebih muda tidak mempunyai pengaruh terhadap minat kewirausahaan mahasiswa ketiga negara; (5) latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis tidak mempunyai pengaruh terhadap minat kewirausahaan mahasiswa Indonesia dan Jepang, sebaliknya minat kewirausahaan pada mahasiswa Indonesia dengan latar belakang pendidikan bisnis dan ekonomi malah lebih rendah; (6) pengalaman kerja mempengaruhi minat kewirausahaan pada mahasiswa Norwegia, tetapi tidak mempunyai pengaruh terhadap mahasiswa Indonesia dan Jepang.

Setiyorini (2009) meneliti minat berwirausaha mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul "Pengaruh Faktor Personal dan Lingkungan terhadap Keinginan Berwirausaha" dengan jumlah responden 100 orang. Responden berusia di antara 20-23 tahun dengan usia mayoritas antara 21-22 tahun. Responden 22 orang laki-laki dan 78 orang perempuan, 19 orang responden memiliki pengalaman kerja dan 81 orang responden tidak. Pengambilan sampel secara proportional random sampling, dan data dikumpulkan dengan kuesioner skala Likert 4 poin. Metode analisis data yang digunakan adalah regresi berganda. Kesimpulan dari penelitian Setiyorini tersebut adalah: (1) efikasi diri mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta adalah moderat, (2) mahasiswa memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan locus of control yang moderat, (3) akses terhadap modal yang rendah, 4) kemampuan mengakses informasi yang moderat dan (5) kepemilikan hubungan sosial yang moderat. Dari uji R2 diperoleh kesimpulan bahwa faktor personal dan lingkungan dapat menjelaskan minat kewirausahaan mahasiswa Universitas Sebelas Maret sebesar 44 persen.

(26)

Basu et al. (2009) meneliti minat mahasiswa terhadap kewirausahaan dengan judul "Assessing Entrepreneurial Intentions Among Students: A Comparative Study" di Universitas San Jose State terhadap mahasiswa dari berbagai fakultas. Penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa (1) pendidikan kewirausahaan mempunyai pengaruh positif terhadap minat kewirausahaan mahasiswa; (2) mahasiswa yang memiliki ayah yang bekerja sendiri (self employed) mempunyai sikap yang lebih positif terhadap kewirausahaan; (3) mahasiswa yang memiliki pengalaman berwirausaha memiliki sikap yang lebih positif terhadap kewirausahaan. Harpowo et al. (2009) dalam penelitiannya yang berjudul "Budaya Wirausaha pada Mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Malang", dengan populasi 77 orang mahasiswa Fakultas Pertanian. Sampel diambil dengan teknik accidental sampling, data dikumpulkan melalui kuesioner dan metode analisa data menggunakan korelasi dari Fisher. Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa (1) 51,9% mahasiswa sangat antusias mengikuti mata kuliah kewirausahaan; (2) sebanyak 50,9% mahasiswa yang mengikuti mata kuliah kewirausahaan mulai berpikir untuk menjadi wirausaha setelah mengikuti mata kuliah kewirausahaan; (3) tidak ada korelasi antara pekerjaan orang tua dengan minat mahasiswa untuk berwirausaha.

Tama (2010) meneliti mahaiswa S1 Fakultas Ekonomi UNDIP Semarang dengan sampel 60 orang. Penelitian tesebut bertujuan untuk menganalisis pengaruh variable independenya (keberhasilan diri dalam berwirausaha, toleransi akan resiko, dan keinginan merasakan pekerjaan bebas) terhadap variable dependen (motivasi mahasiswa menjadi untuk menjadi seorang entrepreneur). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa seluruh variable (keberhasilan diri dalam berwirausaha, toleransi akan resiko, dan keinginan merasakan pekerjaan bebas) berpengaruh positif dan signifikan terhadap motivasi mahasiswa untuk menjadi entrepreneur.

(27)

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS UMUM

Kerangka Berpikir

Tingginya angka pengangguran pada lulusan perguruan tinggi menunjukkan proses pendidikan di perguruan tinggi kurang menyentuh persoalan-persoalan nyata di dalam masyarakat. Persoalan ini harus serius diatasi, salah satunya dengan pendidikan dan pelatihan kewirausahaan di kampus-kampus, agar para sarjana tidak berpikir hanya menjadi pencari pekerjaan, tetapi mereka bisa menciptakan peluang usaha baik bagi diri sendiri maupun orang lain karena mereka sudah dilatih di kampus. Ciputra dalam Siswoyo (2009) menyatakan agar mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu jangan hanya diajarkan bagaimana bisa bekerja dengan baik, tetapi harus dipacu untuk bisa menjadi pemilik dari usaha-usaha yang sesuai dengan latar belakang ilmu yang mereka miliki. Lebih lanjut Ciputra menyatakan pendidikan kewirausahaan seharusnya membekali mahasiswa untuk menjadi mandiri dan tidak berorientasi menjadi pencari kerja ketika para mahasiswa menyelesaikan studinya. Oswari (2005) menyatakan kurangnya jumlah wirausaha di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor yakni kurangnya pengetahuan tentang kewirausahaan, etos kerja yang kurang menghargai kerja keras, cepat merasa puas dengan hasil kerja yang telah dicapai, pengaruh penjajahan negara asing yang terlalu lama terhadap rakyat Indonesia dan kondisi ekonomi yang buruk.

Yohnson (2003) menyatakan bahwa perguruan tinggi berperan penting dalam memotivasi lulusannya menjadi wirausaha muda. Peningkatan wirausaha dari kalangan sarjana, akan mengurangi jumlah pengangguran dan menambah jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Pentingnya peranan perguruan tinggi didukung oleh Zimmerer dalam Yohnson (2003) yang menyatakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan kewirausahaan adalah pendidikan kewirausahaan. Gray dalam Yohnson (2003) menyarankan untuk memulai usaha atau kegiatan kewirausahaan sejak dini misalnya pada waktu masih kuliah.

Minat seseorang terhadap suatu obyek diawali dari perhatian seseorang terhadap obyek tersebut. Minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Minat dapat berubah-ubah tergantung dari faktor-faktor yang mempengaruhinya di antaranya adalah faktor lingkungan. Menurut Lupiyoadi (2007) faktor lingkungan yang mempengaruhi minat meliputi lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan lingkungan masyarakat.

(28)

Hasil penelitian dan pendapat para ahli dalam tinjauan pustaka menunjukkan bahwa jiwa kewirausahan dipengaruhi oleh banyak faktor yang dapat dirangkum dalam beberapa kategori yaitu karakteristik mahasiswa, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan dan dan lingkungan sosial, sedangkan pada faktor yang berpengaruh terhadap minat kewirausahaan mahasiswa ditambahkan jiwa kewirausahaan. Lingkungan keluarga terdiri dari kualitas pengasuhan, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, kondisi ekonomi keluarga, dan latar belakang budaya, sedangkan lingkungan sosial terdiri dari dukungan teman, dukungan guru, dukungan masyarakat, ketersedian informasi kewirausahaan, akses modal, dan kepemilikan jaringan sosial. Adapun lingkungan pendidikan yang dimaksud adalah lingkungan sekolah dan lingkungan universitas.

Faktor lain yang berpengaruh adalah karakteristik individu dan karakteristik keluarga. Karakteristik individu yang menurut penelitian sebelumnya berhubungan dengan jiwa kewirausahan dan minat kewirausahan adalah fakultas, jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, hidup bersama orangtua, daerah asal, indeks prestasi, uangsaku,pengeluaran bulanan, pengalaman kerja dan wirausaha, sedangkan karakteristik keluarga yang dimaksud antara lain: usia orangtua, status pernikahan, ukuran keluarga, pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua, dan penghasilan orangtua.

Hipotesis Umum

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dibuat hipotesis sebagai berikut: 1 . Karakteristik individu, karakteristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan

pendidikan, lingkungan sosial, jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor (TPB-IPB) TA. 2010/2011 memiliki perpedaan yang nyata berdasarkan jenis kelamin.

2 . Karakteristik individu, karaketeristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial dengan jiwa dan minat kewirausahaan mahasiswa TPB-IPB TA. 2010/2011 memiliki hubungan yang nyata.

3 . Karakteristik individu, karaketeristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial berpengaruh terhadap jiwa kewirausahaan mahasiswa TPB-IPB TA. 2010/2011

4 . Karakteristik individu, karaketeristik keluarga, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan, lingkungan sosial, dan jiwa kewirausahaan berpengaruh terhadap minat kewirausahaan mahasiswa TPB-IPB TA. 2010/2011.

(29)

Gambar 1. Kerangka Berpikir KARAKTERISTIK MAHASISWA a. Fakultas b. Jenis kelamin c. Usia d. Urutan kelahiran

e. Hidup bersama orangtua

f. Daerah Asal

g. Indeks Prestasi

h. Uangsaku dan

pengeluaran keuangan

i. Pengalaman kerja dan

wirausaha

LINGKUNGAN KELUARGA

a. Kualitas Pengasuhan

b. Relasi antar anggota keluarga

c. Suasana rumah

d. Kondisi ekonomi keluarga e. Latar Belakang Budaya

LINGKUNGAN PENDIDIKAN a. Lingkungan pendidikan Sekolah b. Lingkungan pendidikan Universitas LINGKUNGAN SOSIAL a. Dukungan Teman b. Dukungan Guru c. Dukungan Masyarakat d. Ketersedian Informasi Kewirausahaan e. Akses Modal

f. Kepemilikan Jaringan Sosial

MINAT KEWIRAUSAHAAN KARAKTERISTIK KELUARGA a. Usia orangtua b. Status pernikahan c. Ukuran keluarga d. Pendidikan orangtua e. Pekerjaan orangtua f. Penghasilan orangtua JIWA WIRAUSAHA Kepercayaan diri Berorientasi tugas dan hasil

Berani mengambilan resiko Kepemimpinan Kreativitas dan orisinalitas

Gambar

Gambar 1. Hubungan anak denganm lingkungannya (Model ekologi dari  Bronfenbrenner, 1981) 1
Gambar 2. Model Konseptual Sosialisasi Kesarjanaan Weidman 2
Gambar 1. Kerangka BerpikirKARAKTERISTIK MAHASISWAa. Fakultas b. Jenis kelamin c. Usia d

Referensi

Dokumen terkait

membaca buku dan refrensi di internet tentang sistem operasi jaringan (SOJ), prinsip dan cara kerja (SOJ), hardware server, instalasi SOJ berbasis GUI dan CLI Google meet b

Hal ini sesuai dengan pendapat Balitkabi (2016) yang menyatakan bahwa kedelai varietas Dering 1 dilepas pada 25 September 2012 memiliki tinggi tanaman rata-rata ± 57

  Penataan  Fisik  Kegiatan  PKL  Pada  Kawasan  Komersial  di  Pusat  Kota . (Studi  Kasus:  Simpang  Lima 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 faktor istri sebagai TKW berperan terhadap nafkah keluarga karena tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga dan juga pendidikan formal rendah

memberikan penjelasan dan arahan karena model tersebut masih dirasakan baru oleh siswa. Sehingga dapat dijelaskan bahwa dengan menerapkan pembelajaran dengan metode

Segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah dari-Nya berhasil menuntun penulis menyelesaikan skripsi ini.Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada

dicatat dalam Lampiran Tanda Terima Dokumen Perbaikan Pasangan Calon Bupati dan. Wakil Bupati sebagaimana

Hal ini kerana rata-rata kajian yang dijumpai oleh saya ialah kajian yang berkaitan keperluan pekerja sosial sekolah, peranan pekerja sosial sekolah, rasional penempatan