• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAMPAK PERUBAHAN HARGA BBM TERHADAP SEKTOR PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN DAMPAK PERUBAHAN HARGA BBM TERHADAP SEKTOR PERTANIAN"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN

DAMPAK PERUBAHAN HARGA BBM

TERHADAP SEKTOR PERTANIAN

Oleh

Pantjar Simatupang Adang Agustian Supena Friyatno

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

(2)

iii

RINGKASAN EKSEKUTIF Latar Belakang

1. Kajian ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap rencana Pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah diwacanakan sejak Juli 2014, tak lama setelah pemilihan umum selesai dilaksanakan. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berakhir pada 20 Oktober 2014 telah menegaskan bahwa kebijakan penyesuaian harga BBM sepenuhnya diserahkan kepada Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Tidak lama setelah dilantik resmi, pemerintahan Presiden Jokowi mengumumkan bahwa subsidi BBM akan realokasi (harga BBM bersubsidi dinaikkan) sebelum 1 Januari 2014. Setelah melakukan persiapan, termasuk program kompensasi bagi penduduk miskin, pemerintah menetapkan harga baru BBM bersubsidi yakni, menaikkan harga bensin premium dari Rp. 6.500/liter menjadi Rp. 8.500/liter dan harga solar dari Rp. 5.500/ liter menjadi Rp. 7.500/liter atau harga masing-masing dinaikkan Rp. 2000/liter, pada 18 November 2014.

2. Sebagian hasil kajian ini telah digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi

Menteri Pertanian pada Sidang Kabinet pembahasan kebijakan subsidi BBM pada 18 November 2014, beberapa saat sebelum pemerintah mengumumkan

penyesuaian harga BBM. Dengan demikian, tujuan dan outcome utama

kajian ini sesungguhnya telah terwujud. Walaupun kebijakan penyesuaian harga BBM telah dilaksanakan, tidaklah berarti bahwa kajian ini sudah tidak relevan atau kadaluarsa. Kajian ini telah terlaksana tepat waktu dan hasilnya telah disampaikan pula kepada pengguna sasaran utamanya. Oleh karena itu, tulisan ini terutama dimaksudkan sebagai laporan kajian. Isi laporan ini pun masih mencakup analisis beberapa skenario perubahan harga BBM yang mungkin dipertimbangkan pemerintah, tidak hanya kenaikan harga Rp. 2.000/liter yang sudah diterapkan pemerintah.

3. Kajian ini bertujuan untuk merumuskan bahan pertimbangan bagi pimpinan

Kementerian Pertanian dalam menyikapi kebijakan perubahan harga BBM. Dengan lebih rinci, tujan kajian ini adalah: (1) Menganalisis dampak beberapa skenario perubahan harga BBM terhadap ongkos usahatani, harga hasil usahatani dan laba usahatani tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan peternakan, (2) Menganalisis dampak beberapa skenario perubahan harga BBM terhadap ongkos, harga produk dan laba usaha pengolahan hasil pertanian, (3) Menganalisis dampak beberapa skenario perubahan harga BBM terhadap biaya hidup di pedesaan dan di perkotaan, (4) Mengkaji dampak segera Perubahan Harga BBM terhadap Ongkos dan Keuntungan Usaha Alsintan di lokasi kajian, dan (5) Merumuskan bahan pertimbangan perihal kebijakan penyesuaian harga BBM kepada pimpinan Kementerian Pertanian.

4. Analisis dilakukan dengan dua metode pendekatan. Pertama, metode

simulasi dengan menggunakan elastisitas dampak perubahan harga BBM terhadap ongkos usahatani, harga hasil usahatani dan laba usahatani dan

(3)

iv

usaha pengolahan hasil pertanian, harga produk pertanian di tingkat konsumen, serta biaya hidup di pedesaan dan di perkotaan, masing masing pada berbagai skenario perubahan harga BBM. Elastisitas yang digunakan berasal dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Alat analisis utamanya adalah metoda Output, dengan menggunakan Tabel Input-Output Indonesia 2005.

5. Pendekatan kedua adalah kajian lapang dengan melakukan wawancara

terhadap petani-pengguna alat-alat dan mesin pertanian dan pengusaha jasa alat-alat dan mesin pertanian yang menggunakan BBM secara langsung. Kajian lapang dilakukan di Kabupaten Subang dan Cianjur, Provinsi Jawa Barat beberapa hari setelah harga BBM dinaikkan pada akhir November 2014. Kajian lapang ini dapat dipandang sebagai verifikasi hasil analisis simulasi.

Hasil Penelitian

Dampak Perubahan Harga BBM terhadap Ongkos Usahatani, Harga Hasil Usahatani dan Laba Usahatani Tanaman Pangan dan Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan

6. Perubahan harga BBM berpengaruh positif terhadap harga hasil usahatani tanaman pangan dengan elastisitas berkisar 0,0020-0,5157, yang berarti kenaikan harga BBM akan mendorong peningkatan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura dengan variasi yang cukup besar. Dampak terbesar adalah terhadap bahan pangan utama, yakni padi dan jagung, berturut-turut dengan elastisitas 0,5157 dan 0,1632, buah-buahan dengan elastisitas 0.1453, dan sayuran dengan elastisitas 0.1098. Kiranya dicatat bahwa kelompok komoditas ini adalah juga yang paling dominan diusahakan oleh usahatani rakyat. Dapat dikatakan bahwa dilihat dari segi harga jual petani, komoditas yang paling tinggi peningkatan harganya adalah komoditas yang paling banyak diusahakan oleh petani rakyat, yang berarti baik bagi petani. Namun demikian, kelompok komoditas ini adalah juga yang paling banyak dikonsumsi konsumen dalam negeri, yang berarti yang paling besar dampak negatifnya terhadap inflasi atau biaya hidup masyarakat.

7. Dampak kenaikan harga BBM terhadap ongkos usahatani tanaman pangan

dan hortikultura pada umumnya kecil, dengan elastisitas pada kisaran 0,0428-0,1132. Dampak langsung perubahan harga BBM terutama terjadi melalui ongkos penggunaan alat-alat dan mesin-mesin pertanian yang umumnya belum demikian intensif penggunaannya. Dampak terbesar adalah pada usahatani tanaman pangan utama, seperti kedelai, padi dan jagung yang paling banyak diusahakan oleh usahatani rakyak. Dengan demikian, kalaupun harga BBM dinaikkan, besaran kenaikannya mestilah diusahakan moderat.

8. Dampak kenaikan harga BBM terhadap laba nominal dan laba riil usahatani

tanaman pangan dan hortikultura, diketahui bahwa secara umum laba nominal usahatani tanaman pangan dan hortikultura meningkat apabila harga BBM dinaikkan. Besaran absolut elastisitas penurunan laba nominal

(4)

v

tersebut memang relatif kecil, yakni berkisar antara 0,0128 (sayuran) dan 0.0474 (kacang-kacangan). Peningkatan laba nominal tersebut terjadi karena dampak kenaikan harga jual hasil usahatani lebih tinggi daripada kenaikan ongkos usahatani. Penurunan laba nominal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga BBM berdampak buruk terhadap daya saing usahatani maupun kesejahteraan petani tanaman pangan dan hortikultura sehingga sebaiknya dihindari. Walaupun secara nominal positif, peningkatan harga BBM berdampak negatif terhadap laba riil usahatani tanaman pangan dan hortikultura. Penurunan laba riil ini merupakan akumulasi dampak penurunan terhadap laba nominal dan dampak kenaikan biaya hidup (inflasi).

9. Perubahan harga BBM terhadap harga komoditas perkebunan berdampak

positif di tingkat usahatani. Besaran elastisitasnya berkisar antara 0.0026 (tanaman serat) dan 0.3974 (Kelapa sawit). Secara umum, elatisitas lebih rendah untuk komoditas yang lebih didominasi oleh perkebunan rakyat. Selain itu, elastisitas harga komoditas perkebunan tersebut relatif lebih rendah dari komoditas tanaman pangan dan hortikultura.

10. Besaran elastisitas memang umumnya kecil, berkisar antara 0,0428 (cengkeh) dan 0,1132 (kopi). Namun demikian, dampak peningkatan harga BBM terhadap ongkos produksi usaha perkebunan relatif lebih tinggi dibanding usahatani tanaman pangan dan hortikultura. Alasannya adalah bahwa tanaman perkebunan lebih intensif menggunakan peralatan dan mesin yang berbahan bakar minyak subsidi. Peningkatan harga BBM berdampak negatif terhadap laba nominal usaha perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa dampak positif terhadap harga jual hasil usahatani tidak cukup untuk menutupi peningkatan ongkos usahatani perkebunan. Besaran absolut elastisitas laba nominal adalah antara 0.0081025 (jambu mete) dan -0,0974 (tembakau). Dampak negatif terhadap laba nominal menunjukkan bahwa peningkatan harga BBM berdampak buruk terhadap daya saing maupun kesejahteraan petani perkebunan.

11. Oleh karena terhadap laba nominal saja berdampak negatif, kiranya sangat jelas bahwa kenaikan harga BBM berdampak negatif terhadap laba riil usaha perkebunan. Besaran absolut elastisitas laba riil usaha perkebunan terhadap harga BBM berkisar antara 0,0519 (cengkeh) dan 0,1411 (tembakau). Walaupun relatif kecil, temuan ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani perkebunan sehingga harus dihindari atau kalaupun terpaksa dinaikkan, besarannya diusahakan serendah mungkin.

12. Perubahan harga BBM berpengaruh positif terhadap komoditas peternakan di tingkat usahatani. Dampak yang terjadi sangat bervariasi, dengan elastisitas berkisar antara 0.0013 (ternak lain) dan 0.3008 (unggas). Sebagaimana diketahui, komoditas selain unggas lebih banyak diusahakan oleh peternak kecil. Temuan ini memperkuat pola pada usahatani tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, bahwa peningkatan harga di tingkat produsen akibat kenaikan harga BBM relatif lebih rendah pada komoditas yang lebih banyak diusahakan oleh petani rakyat. Hal ini berarti dampak perubahan

(5)

vi

harga BBM terhadap harga komoditas pertanian tidaklah merata. Kenaikan harga BBM lebih merugikan perusahaan pertanian rakyat daripada perusahaan besar pertanian.

13. Kenaikan harga BBM berpengaruh positif terhadap ongkos usaha peternakan dengan elastisitas berkisar antara 0, 0214 (unggas) hingga 0,0301 (ternak lainnya). Variasi besaran elastisitas antar jenis usaha tidak begitu besar, jauh lebih sempit dibanding pada usahatani tanaman. Pada umumnya usaha peternakan belum intensif menggunakan peralatan dan mesim berbahan bakar minyak subsidi.

14. Walaupun berpengaruh positif terhadap harga jual hasil usahatani, peningkatan harga BBM berpengaruh negatif terhadap nilai nominal laba usaha peternakan. Besaran absolut elastisitas laba nominal usaha peternakan terhadap harga BBM berkisar antara 0,0100 (ruminansia non sapi perah dan 0,0319 (sapi perah). Usaha sapi perah lebih sensitif terhadap perubahan harga BBM. Secara umum, besaran elastisitas tersebut memang relatif kecil. Namun demikian, hal ini tidak boleh diremehkan karena penurunan laba berarti penurunan daya saing dan kesejahteraan petani, lebih-lebih bila dinilai secara riil (daya beli) sebagaimana dalam uraian berikut.

15. Dampak perubahan harga BBM terhadap daya beli laba (laba riil) usaha peternakan, diketahui bahwa dampak kenaikan harga BBM terhadap laba riil usahaha ternak menjadi cukup besar. Dengan besaran elastisitas absolut berkisar antara 0,0671 (ternak lainnya dan 0,0756 (sapi perah). Dampak positif terhadap ongkos usaha dan dampak negatif terhadap laba riil membuktikan bahwa kenaikan harga BBM berdampak buruk terhadap daya saing usaha peternakan dan dan kesejahteraan para peternak. Sama halnya dengan jenis usahatani lainnya, kenaikan harga BBM haruslah dihindari atau sedapat mungkin diusahakan serendah mungkin sehingga tidak terlalu berdampak buruk terhadap daya saing usahatani dan kesejahteraan petani.

Menganalisis Dampak Perubahan Harga BBM terhadap Ongkos, Harga Produk dan Laba Usaha Pengolahan Hasil Pertanian

16. Sama seperti terhadap produk pertanian primer, kenaikan harga BBM berpengaruh positif terhadap produk olahan hasil pertanian. Elastisitas dampak perubahan harga BBM terhadap harga produk olahan hasil pertanian berkisar antara 0.0131 (daging olahan) hingga 0.6783 (beras). Secara umum, dampak tertinggi (elastisitas) adalah terhadap bahan pangan pokok, yakni beras (0,6783), kedelai (0,3522), dan gula (0,3055). Bahan-bahan pangan pokok ini esensial tidak hanya untuk menjamin ketahanan pangan keluarga, tetapi harga mereka juga penentu utama biaya hidup penduduk miskin dan laju inflasi nasional. Oleh karena itu, dampak yang demikian besar terhadap harga bahan-bahan makanan pokok mestinya dijadikan sebagai perhatian utama dalam menentukan keputusan dan besaran kenaikan harga BBM. Secara umum, kenaikan harga BBM akan berdampak besar terhadap tingkat kemiskinan dan inflasi, terutama melalui dampaknya yang demikian besar terhadap bahan pangan pokok.

(6)

vii

17. Biaya pengolahan hasil pertanian sangat sensitif terhadap harga BBM, sebagaiman terlihat dari besarnya elastisitas, berkisar antara 0,93 (gula) hingga 6,46 (teh olahan). Hal ini kiranya dapat dimaklumi karena proses pengolahan memang memerlukan energi, yang hingga kini di Indonesia, masih mengandalkan BBM. Dengan dampak yang demikian besar terhadap biaya produksi, tidak seimbang dengan peningkatan harga jual hasil produksinya, peningkatan harga BBM menyebabkan penurunan nilai nominal laba usaha pengolahan hasil pertanian. Elastisitas dampak harga BBM terhadap laba nominal usaha pengolahan hasil pertanian berkisar antara 0,0138 (gula) hingga 0,1691 (teh olahan). Kenaikan harga BBM berdampak buruk terhadap daya saing usaha pengolahan hasil pertanian sehingga sebaiknya peningkatannya sedapat mungkin diusahakan tidak terlalu besar. 18. Perpaduan antara dampak negatif terhadap laba nominal dan dampak positif

terhadap biaya hidup (inflasi), menyebabkan pengaruh negatif harga BBM terhadap laba riil usaha pengolahan hasil pertanian menjadi cukup besar. Besaran absolut elastisitas dampak perubahan kenaikan harga BBM terhadap laba riil usaha pengolahan hasil pertanian berkisar antara 0,0575 (gula) hingga 0,2128 (teh olahan). Industri yang paling terpukul adalah pengolahan teh, bijia-bijan, kopra dan kedelai olahan, ketiganya dengan elastisitas dampak di atas 10 %. Penurunan laba riil tersebut tentu berdampak buruk terhadap investasi pada industri pengolahan hasil pertanian. Dengan demikian, kenaikan harga BBM berdampak buruk terhadap usaha pertanian secara umum sehingga sebaiknya dijaga sehingga kalaupun terpaksa dilakukan, besarannya diusahakan serendah mungkin.

Menganalisis Dampak Perubahan Harga BBM terhadap Biaya Hidup di Pedesaan dan di Perkotaan

19. Dampak perubahan harga BBM terhadap biaya hidup dalam hal ini dapat pula ditafsirkan sebagai peningkatan inflasi. Besaran elastisitas dampak perubahan harga BBM adalah 0,0223 untuk wilayah pedesaan, 0.0207 untuk wilayah perkotaan dan 0.0209 untuk agregat nasional. Dampak terhadap biaya hidup di pedesaan sedikit lebih tinggi dari pada di perkotaan. Secara umum dapat dikatakan bahwa dampak perubahan harga BBM terhadap inflasi tidaklah demikian besar. Namun demikian, seperti yang diuraikan sebelumnya, peningkatan inflasi tersebut terutama beraslah dari peningkatan harga bahan pangan pokok. Dengan demikian, peningkatan harga BBM tersebut dikhawatirkan berpengaruh cukup besar terhadap peningkatan insiden rawan gizi dan insiden kemiskinan.

Dampak Segera Perubahan Harga BBM terhadap Ongkos dan Keuntungan Usaha Alsintan di Lokasi Kajian Kabupaten Subang dan Cianjur

20. Di kabupaten Subang, secara umum dampak kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan pangsa ongkos biaya BBM dan pangsa total biaya yang menyebabkan turunnya keuntungan untuk usaha traktor, pompa dan RMU masing-masing -15,07%; -15,70 dan -73,92%.

(7)

viii

21. Setelah ada penyesuaian harga faktor input (onderdil) dan harga jual jasa sebesar 15%, maka untuk usaha traktor dan pompa masing-masing mendapat surplus keuntungan sebesar 8,08% dan 6,26%. Sementara untuk usaha RMU dengan penyesuaian yang sama, keuntungan turun sebesar -26,03%, sehingga untuk usaha RMU di Kabupaten Subang agar pada keseimbangan baru dapat memperoleh surplus keuntungan yang sama maka penyesuaian jasa giling harus dinaikan sebesar 12%.

22. Di Kabupaten Cianjur, secara umum dampak kenaikan harga BBM menyebabkan kenaikan pangsa ongkos biaya BBM dan pangsa total biaya yang menyebabkan turunya keuntungan untuk usaha traktor, pompa dan RMU masing-masing -4,06%; -64,37% dan -5,04%.

23. Setelah ada penyesuaian harga faktor input (onderdil) dan harga jual jasa sebesar 15%, maka untuk usaha traktor dan RMU masing-masing mendapat surplus keuntungan sebesar 15,08% dan 12,40%. Sementara untuk usaha pompa air dengan penyesuaian yang sama keuntungan turun sebesar 19,71%, sehingga untuk usaha pompa air di kabupaten Cianjur agar pada keseimbangan baru dapat memperoleh surplus keuntungan yang sama (sekitar 15%) maka penyesuaian jasa pompa harus dinaikan sekitar 5%.

Implikasi Kebijakan

24. Berdasarkan analisis di atas jelas kiranya bahwa kenaikan harga BBM berdampak buruk terhadap kesejahteraan petani, daya saing dan laba riil usaha pertanian, serta biaya hidup penduduk. Kenaikan harga BBM menyebabkan meningkatnya harga bahan pangan pokok yang selanjutnya berdampak buruk terhadap insiden rawan gizi dan insiden kemiskinan. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM harus dijadikan pilihan kebijakan terpaksa. Kalaupun terpaksa dilakukan, kenaikan harga BBM haruslah diusahakan serendah mungkin.

25. Sebagaimana dijelaskan, opsi kebijakan yang berkembang dalam diskursus publik adalah manaikkan harga bensin premium dan solar dengan nominal yang sama pada kisaran Rp. 500/liter - Rp. 3.000/liter. Dengan prinsip hanya dilakukan karena terpaksa dan dengan besaran serendah mungkin maka pilihan opsi jalan “jalan tengah”, yaitu Rp. 2.000/liter: harga bensin premium dinaikkan dari Rp. 6.500/liter menjadi Rp. 8.500/liter, dan harga solar dinaikkan dari Rp. 5.500/liter menjadi Rp. 7.500/liter. Opsi inilah yang dipilih oleh pemerintahan Presiden Jokowi.

26. Kajian lapang yang dilakukan sesudah kebijakan kenaikan harga BBM menunjukkan bahwa harga hasil-hasil usahatani dan sewa mesin-mesin pertanian masih belum naik cukup nyata. Para petani dan pengusaha jasa alat dan mesin pertanian mengatakan bahwa penyesuaian harga baru dilakukan secara penuh pada masa pengerjaan lahan (untuk peralatan pra panen) dan panen (untuk hasil usahatani dan jasa peralatan panen/pasca panen) mendatang. Penyesuaian harga terjadi tidak serta-merta. Evaluasi dampak penuh kenaikan harga BBM dapat dilakukan pada musim tanam 2014/2015.

(8)

ix

27. Didalam mengantisipasi dan adaptasi terhadap perubahan lingkungan termasuk salah satunya adalah kenaikan harga BBM, maka petani pengusaha pompa telah mampu mengadaptasi dengan cara memodifikasi komponen mesin untuk merubah menjadi BBG yang lebih efisien dan menguntungkan. Untuk itu, perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan sebagai berikut: (a) kajian tentang modifikasi berbagai karburator (alat untuk meng-karburasi bahan bakar ke dalam silinder mesin untuk di-kompresi menjadi energi pada berbagai alat mekanisasi pertanian yang digunakan dipedesaan, (b) kajian tentang teknologi praktis yang dapat merubah bio-masa menjadi sumber energi gas di perdesaan, dan (c) peningkatan capacity building para operator alsintan di perdesaan dalam mengadaptasi dan modifikasi alat-alat pertanian sesuai dengan kondisi lokal dan perubahan regional (termasuk kenaikan harga BBM).

(9)

x

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RINGKASAN EKSEKUTIF ... iii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 2

2.1. Kebijakan Penyesuaian Harga BBM ... 2

2.2. Beban Anggaran Subsidi ... 6

III. METODE ANALISIS ... 11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 11

4.1. Issu Kebijakan BBM ... 11

4.1.1. Urgensi Kenaikan Harga BBM ... 11

4.1.2. Besaran Kenaikan Harga BBM ... 14

4.1.3. Mitigasi Dampak Kenaikan Harga BBM ... 15

4.1.4. Waktu Penetapan Kenaikan Harga BBM ... 16

4.2. Analisis Dampak Kebijakan Makro dan Sektoral ... 17

4.2.1. Dampak Terhadap Usahatani Tanaman Pangan dan Hortikultura 18

4.2.2. Dampak Terhadap Usaha Perkebunan ... 22

4.2.3. Dampak Terhadap Usaha Peternakan ... 26

4.2.4. Dampak Terhadap Usaha Pengolahan Hasil Pertanian ... 29

4.2.4. Dampak Terhadap Biaya Hidup... 33

4.3. Dampak segera Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos dan Keuntungan Usaha Alsintan di Lokasi Kajian Kabupaten Subang dan Cianjur ... 34

4.3.1. Kabupaten Subang ... 35

4.3.2. Kabupaten Cianjur ... 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN ... 49

5.1. Kesimpulan ... 49

5.2. Saran Kebijakan ... 54

(10)

xi

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Perkembangan harga BBM berdasarkan ketetapan pemerintah

1992/93-2007 ... 5

2. Perkembangan beban anggaran subsidi BBM dalam APBN ... 8

3. Perkembangan Volume dan Nilai BBM Subsidi 2008-2014 ... 11 4. Realisasai Penyaluran BBM yang Dikelola Pertamina per Agustus

2014 pemerintah dan Perkiraan Per 31 Desember 2014 (KL) ... 12

5. Alternatif besaran kenaikan harga BBM berdasarkan diskursus pemerintah publik ... 15 6. Program Kompensasi Kenaikan Harga BBM, 2005-2014 ... 16 7. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Harga Hasil Usahatani

Tanaman Pangan Dan Hortikultura (%) ... 19 8. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos Hasil Usahatani

Tanaman Pangan Dan Hortikultura (%) ... 20 9. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Nominal Usahatani

Tanaman Pangan Dan Hortikultura (%) ... 21 10. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Riil Usahatani

Tanaman Pangan Dan Hortikultura (%) ... 22 11. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Harga Hasil

Perkebunan (%) ... 23 12. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos Usaha

Perkebunan (%) ... 24 13. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Nominal Usahatani

Perkebunan (%) ... 25 14. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Riil Usahatani

Perkebunan (%) ... 26 15. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Harga Hasil

Peternakan (%) ... 27 16. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos Usaha

(11)

xii

17. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Nominal Usaha

Peternakan (%) ... 28 18. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Daya Beli Laba Riil Usaha

Peternakan (%) ... 29 19. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Harga Produk Olahan Hasil

Pertanian (%) ... 30 20. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos Produksi Produk

Olahan Hasil Pertanian (%) ... 31 21. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Nominal Usaha

Pengolahan Hasil Pertanian (%) ... 32 22. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Daya Beli Laba Riil Usaha

Pengolahan Hasil Pertanian (%) ... 23 23. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Biaya Hidup, dirinci

Menurut Wilayah ... 33 24. Struktur Ongkos dan Harga Sewa Traktor Untuk Padi di Subang,

Jawa Barat, 2014 ... 36 25. Struktur Ongkos dan Harga Sewa Pompa Air Untuk Padi di Subang,

Jawa Barat, 2014 (BB-Solar) ... 39 26. Struktur Ongkos dan Harga Sewa Pompa Air Untuk Padi di Subang,

Jawa Barat, 2014 (BB-Gas) ... 40 27. Struktur Ongkos dan Pendapatan Usaha RMU di Subang,

Jawa Barat, 2014 (Ongkos per 100 kg gabah)... 42 28. Struktur Ongkos dan Harga Sewa Traktor Untuk Padi di Cianjur,

Jawa Barat, 2014 ... 44 29. Struktur Ongkos dan Harga Sewa Pompa Air Untuk Padi di Cianjur,

Jawa Barat, 2014 (BB-Solar) ... 46 30. Struktur Ongkos dan Pendapatan Usaha RMU di Cianjur,

(12)

xiii

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

(13)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kajian ini dilakukan sebagai antisipasi terhadap rencana Pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang sudah diwacanakan sejak Juli 2014, tak lama setelah pemilihan umum selesai dilaksanakan. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyona (SBY) yang berakhir pada 20 Oktober 2014 telah menegaskan bahwa kebijakan penyesuaian harga BBM sepenuhnya diserahkan kepada Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Tidak lama setelah dilantik resmi, pemerintahan Presiden Jokowi mengumumkan bahwa subsidi BBM akan realokasi (harga BBM bersubsidi dinaikkan) sebelum 1 Januari 2014. Setelah melakukan persiapan, termasuk program kompensasi bagi penduduk miskin, pemerintah menetapkan harga baru BBM bersubsidi yakni, menaikkan harga bensin premium dari Rp. 6.500/liter menjadi Rp. 8.500/liter dan harga solar dari Rp. 5.500/ liter menjadi Rp..7.500/liter atau harga masing-masing dinaikkan Rp. 2000/liter, pada 18 November 2014.

Sebagian hasil kajian ini telah digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Menteri Pertanian pada Sidang Kabinet pembahasan kebijakan subsidi BBM pada 18 November 2014, beberapa saat sebelum pemerintah mengumumkan penyesuaian harga BBM. Dengan demikian, tujuan dan outcome utama kajian ini sesungguhnya telah terwujud.

Berdasarkan penjelasan di atas kiranya dapat dimaklumi bahwa walaupun kebijakan penyesuaian harga BBM telah dilaksanakan, tidaklah berarti bahwa kajian ini sudah tidak relevan atau kadaluarsa. Kajian ini telah terlaksana tepat waktu dan hasilnya telah disampaikan pula kepada pengguna sasaran utamanya. Oleh karena itu, tulisan ini terutama dimaksudkan sebagai laporan kajian. Isi laporan ini pun masih mencakup analisis beberapa skenario perubahan harga BBM yang mungkin dipertimbangkan pemerintah, tidak hanya kenaikan harga Rp. 2.000/liter yang sudah diterapkan pemerintah.

(14)

2

1.2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk merumuskan bahan pertimbangan bagi pimpinan Kementerian Pertanian dalam menyikapi kebijakan penyesuaian harga BBM. Dengan lebih rinci, tujan kajian ini adalah: (1) Menganalisis dampak beberapa skenario perubahan harga BBM terhadap ongkos usahatani, harga hasil usahatani dan laba usahatani tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan dan peternakan, (2) Menganalisis dampak beberapa skenario perubahan harga BBM terhadap ongkos, harga produk dan laba usaha pengolahan hasil pertanian, (3) Menganalisis dampak beberapa skenario perubahan harga BBM terhadap biaya hidup di pedesaan dan di perkotaan, (4) Mengkaji dampak segera Perubahan Harga BBM terhadap Ongkos dan Keuntungan Usaha Alsintan di lokasi kajian, dan (5) Merumuskan bahan pertimbangan perihal kebijakan penyesuaian harga BBM kepada pimpinan Kementerian Pertanian.

II. TINJAUAN PUSTAKA1

2.1. Kebijakan Penyesuaian Harga BBM

Hingga pertengahan tahun 1970-an minyak bumi masih termasuk komoditas murah karena pasokannya melimpah dalam tatanan pasar dunia yang bebas. Pemerintah tidak perlu melakukan kebijakan subsidi harga di pasar dalam negeri. Rendahnya harga minyak di pasar dunia telah mendorong Organisasi Negara-Negara Eksportir Minyak Dunia (OPEC) yang dibentuk pada tahun 1960 melakukan praktek kartel dan Indonesia menjadi anggotanya pada tahu 1962. Pada tahun 1970 negara-negara OPEC berhasil memperoleh kemampuan untuk menetapkan volume produksi dan harga harga jual di Negara masing-masing. Keputusan ini telah berhasil mengguncangkan pasar minyak mentah dunia sehingga harganya melonjak hingga delapan kali lipat pada tahun 1970-1974 (dari 1.51 menjadi 11,65 dollar per barrel) dan kemudian tiga kali lipat pada periode tahun 1979-1981 (menjadi 32 dollar per

1

(15)

3

barrel pada tahun 1981). Sejak pertengahan tahun 1970an harga minyak bumi sudah semakin mahal dan tidak stabil. Melonjaknya harga minyak dunia inilah yang memaksa pemerintah menerapkan kebijakan subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 1977.

Pemerintah tidak pernah mengumumkan kriteria penetapan harga dan waktu pemberlakuan yang digunakannya. Namun demikian dapat diduga beberapa faktor yang dijadikan pemerintah dalam penetapan jenis BBM, tingkat harga dan waktu pemberlakuan harga bersubsidi adalah:

1. Harga internasional: perbedaan harga internasional dan harga bersubsidi menentukan beban anggaran subsidi dan rangsangan penyelundupan.

2. Target penerima subsidi: penentu keadilan dan selanjutnya jenis dan volume BBM yang disubsidi.

3. Jenis dan volume BBM bersubsidi penerima subsidi: menentukan beban anggaran subsidi.

4. Kemampuan anggaran pemerintah, termasuk neraca ekspor-impor BBM: menentukan tingkat harga dan volume subsidi.

5. Kondisi politik dalam negeri: Terutama dalam kaitannya dengan waktu pelaksanaan pemilihan umum. Pemerintah menghindari menaikkan harga BBM menjelang pemilihan umum.

Hingga September 2005, BBM yang disubsidi pemerintah ada 5 jenis yaitu minyak tanah, solar, bensin premium, minyak diesel dan minyak bakar. Sebagai bagian dari upaya mengurangi beban anggaran subsidi dan mengurangi kelompok penerima subsidi, sejak 1 Oktober 2005 minyak diesel dan minyak bakar tidak disubsidi lagi. Minyak diesel dan minyak bakar terutama dipergunakan oleh sektor usaha industri. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa perubahan besaran harga dan tanggal pemberlakuan tidak memiliki pola yang teratur.

Upaya pengurangan subsidi harga sudah dimulai pada tahun 2000 ditandai dengan penurunan harga bensin premium pada tanggal 1 Oktober, kejadian pertama sejak 27 Januari 1966. Pada tanggal 16 Juni 2001 Pemerintah memulai kebijakan menghapuskan secara bertahap subsidi BBM untuk Industri. Harga BBM untuk sektor

(16)

4

Industri ditetapkan 50 persen dari harga pasar yang selanjutnya akan ditingkatkan bertahap hingga sama dengan harga pasar. Harga pasar ditetapkan sebesar rata-rata Mid Oil Platts Singapore (MOPS) ditambah 5 persen. Pada tanggal 17 Januari 2002, kecuali harga minyak tanah untuk konsumen rumah tangga dan industri kecil, harga BBM dikaitkan dengan harga pasar dengan porsi dan rentang harga terrendah-tertinggi tertentu (price band). Misalnya, harga bensin premium ditetapkan sesuai (100 persen) harga pasar namun dengan kisaran Rp. 1. 450-1.750 per liter. Harga BBM lainnya ditetapkan 75 persen dari harga pasar dengan rentang harga yang berbeda menurut jenisnya..Seperti pada ketentuan sebelumnya, harga pasar ditetapkan sebesar MOPS ditambah 5 persen.

Penghapusan subsidi untuk sektor industri barulah konsisten dilakukan sejak bulan Juli 2005. Harga BBM untuk Industri sepenuhnya disesuaikan dengan harga pasar yang ditetapkan dengan rumus perhitungan harga keekonomian sebagai berikut:

Harga Kekonomian = MOPS+ Marjin 15 %+ Pajak (PPN 10 %, PBBKB 5 % )

PPN = Pajak Pertambahan Nilai

PBBKB = Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (untuk bensin dan solar) Harga BBM untuk industri diumumkan oleh PT. Pertamina dua kali tiap bulan atau setiap dua minggu. Dengan demikian, harga BBM untuk industri dapat berubah tiap dua minggu sesuai dengan perkembangan harga di pasar dunia.

Penurunan drastis harga minyak dunia telah membantu penurunan biaya subsidi BBM dalam negeri. Untuk itu Pemerintah memperlambat penurunan harga BBM bersubsidi. Penurunan harga solar dan bensin dilakukan bertahap sebanyak tiga kali pada tahun 2008 dan 2009. Selain itu, dengan alasan untuk mendukung program konversi penggunaan minyak tanah ke gas dengan memberikan subsidi kompor dan harga gas bagi penduduk kurang mampu, harga minyak tanah tidak ikut diturunkan. Selain sebagai hal wajar untuk menyesuaikan terhadap harga dunia, patut pula diduga keputusan untuk menurunkan harga BBM tersebut juga didasari oleh pertimbangan politik sehubungan dengan pelaksanaan pemilihan umum pada April (legislatif) dan Juli (Presiden) dan tahun 2009.

(17)

5

Tabel 1. Perkembangan harga BBM berdasarkan ketetapan pemerintah, 1965-2014

Tahun Tanggal M.Tanah Solar Premium Keterangan 1965 22 November 0.2 0.2 0.3 - 1966 3 Januari 0.6 0.8 1.0 - 1966 27 Januari 0.3 0.4 0.5 - 1967 3 Agustus 1.8 3.5 4.0 - 1968 25 April 4.0 12.5 16.0 - 1970 1 Juni 10.0 12.5 25.0 - 1972 1 April 10.0 14.0 35.0 - 1973 1 April 11.5 16.0 41.0 - 1974 22 April 13.0 19.0 46.0 - 1975 2 April 16.0 22.0 57.0 - 1976 1 April 18.0 25.0 70.0 - 1979 5 April 18.0 35.0 100 - 1979 2 Mei 25.0 35.0 100 - 1980 1 Mei 37.5 52.5 150 - 1991 11 Juli 220 300 550 - 1993 8 Januari 280 380 700 - 1998 5 Mei 350 600 1,200 - 2000 1 Oktober 350 600 1,150 -

2001 16 Juni 400 900 1,450 Harga untuk sektor industri 50% harga pasar 2002 17 Januari 600 1,150 1,550 Harga premium tidak disubsidi, harga solar 75% harga pasar 2003 2 Januari 700 1,890 1,810 -

2005 1 Maret 700 2,100 2,400 Target subsidi: Rumah tangga, usaha kecil, transportasi darat dan ASDP, pelayanan umum

2005 1 Oktober 2,000 4,300 4,500 Minyak diesel dan minyak bakar tidak disubsidi lagi, pemberian subsidi kompensasi kenaikan harga BBM 2008 24 Mei 2,500 5,500 6,000 Subsidi konversi minyak tanah ke gas 2008 1 Desember 2,500 5,500 5,500 Penyesuaian terhadap penurunan harga dunia 2008 15 Desember 2,500 4,800 5,000 Penyesuaian terhadap penurunan harga dunia 2009 15 Mei 2.500 4,500 4,500 Penyesuaian terhadap penurunan harga dunia 2013 22 Juni - 5.500 6.500 Tekanan beban anggaran subsidi dan neraca perdagangan 2014

18 November 7.500 8.500 Ancaman overkuota serta tekanan beban anggaran subsidi dan neraca perdagangan

Sumber: BPH Migas, dan www. Wikipedia . com (harga BBM).

2.2. Beban Anggaran Subsidi

Konsekuensi langsung dari kebijakan subsidi harga adalah kewajiban untuk menanggung kerugian selidih harga jual bersubsidi dengan Harga Patokan dari

(18)

6

barang bersubsidi tersebut. Beban anggaran subsidi BBM adalah hasil perkalian dari volume penjualan dengan selisih Harga Patokan dan harga jual eceran bersubsidi dari BBM bersubsidi tersebut:

Nilai Subsidi = VJBS x (HP -Harga Eceran Bersubsidi di luar Pajak) . . . (3) VJBS = Volume Jual BBM bersubsidi

HP = Harga Patokan

Bila harga Harga Patokan merupakan parameter yang berada di luar kendali pemerintah maka masih ada tiga variabel yang masih perlu diketahui terkait dengan kebijakan subsidi BBM: Harga eceran bersubsidi (atau Alpha berdasarkan rumus 1), Volume jual BBM bersubsidi dan Nilai subsidi. Pada ketiga variabel tersebut hanya dua diantaranya yang perlu ditetapkan atau sebagai variabel keputusan kebijakan (policy decision variables) karena nilai dari suatu variabel merupakan hasil kombinasi dari nilai kedua variabel lainnya. Hal ini adalah putusan kesepakatan politik antara Pemerintah dan DPR. Dengan anggapan bahwa baik Pemerintah maupun DPR lebih menyukai harga bersubsidi serendah mungkin maka patut diduga bahwa variabel utama penentu kebijakan harga BBM adalah plafon anggaran subsidi.

Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa selama paruh pertama dekade 1990-an, subsidi BBM relatif kecil dibanding dengan penerimaan Negara dari minyak dan gas bumi maupun total pengeluaran pemerintah. Subsidi BBM berfluktuasi di bawah 2,5 persen dari total belanja Negara, bahkan tidak ada sama sekali pada tahun fiskal 1995/1996. Penerimaan netto dari sektor minyak dan gas bumi merupakan sumber andalan penerimaan dalam neraca Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dimungkinkan oleh kondisi harga minyak di pasar dunia bertahan rendah sementara Indonesia memiliki surplus netto ekspor BBM yang cukup besar.

Beban subsidi BBM melonjak eskalatif selama periode tahun 1997/1998-2001 bersamaan dengan terjadinya krisis ekonomi di Asia Timur-Tenggara dan kejadian fenomena El Nino yang menyebabkan anjloknya produksi pangan dan komoditas pertanian secara umum yang menyebabkan perekonomian Indonesia mengalami deflasi hebat dan krisis ketahan pangan yang selanjutnya memicu krisis politik dan

(19)

7

kericuhan sosial yang pada akhirnya membuat Orde Baru tumbang dan digantikan oleh Orde Reformasi. Subsidi BBM melonjak sekitar 50 kali lipat dari hanya Rp. 1.4 triliun pada tahun 1997/98 menjadi Rp. 68.4 triliun atau 23.8 persen dari total pengeluaran APBN pada tahun 2001. Selama periode krisis ini pemerintah terpaksa lebih memilih terbebani oleh eskalasi beban subsidi daripada menaikkan harga BBM yang mungkin akan semakin memperparah masalah kemiskinan dan rawan pangan dan spiral krisis ekonomi, sosial dan politik.

Setelah menurun selama periode tahun 2002-2004, subsidi BBM melonjak tajam pada tahu 2004. Pemerintah enggan menaikkan harga BBM boleh jadi karena pertimbangan politik sehubungan dengan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2004. Penundaan tersebut harus dibayar mahal dengan keharusan untuk menaikkan harga BBM dengan amat tajam, sekitar 300 persen atau rekor sejak tahun 1968, pada tahun 2005, segera setelah pemerintahan baru terbentuk. Subsidi minyak kembali melonjak tajam pada tahun 2008 sehubungan dengan melonjaknya harga minyak dunia dan terjadinya krisis finansial yang juga berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal inilah yang menekan pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi pada bulan Mei 2008.

Jelaslah kiranya bahwa beban subsidi, biasanya diukur relatif terhadap anggaran pengeluaran dalam APBN atau GDP, merupakan faktor penekan pemerintah dalam menetapkan besaran kenaikan harga BBM bersubsidi namun penetapan waktu pelaksanaannya juga ditentukan oleh kondisi perekonomian dan momentum politik. Menaikkan harga BBM bukanlah tindakan yang popular secara politis sehingga hanya dilakukan bila sudah terpaksa. Oleh karena itu, penurunan anggaran subsidi lebih cenderung dilakukan dengan menunda penurunan harga BBM bersubsidi tatkala harga BBM dunia mengalami penurunan. Itulah sebabnya harga BBM bersubsidi lebih sering dinaikkan daripada diturunkan.

(20)

8

Tabel 2 Perkembangan Beban Anggaran Subsidi BBM dalam APBN, 1992/93-2007

Tahun (a)

Subsidi BBM Penerimaan Minyak dan Gas Bumi

Total Penerimaan Dalam Negeri (Rp. triliun) Nilai (Rp. triliun) Pangsa Pengeluaran (%) Nilai (Rp. triliun) Pangsa Penerimaan Dalam Negeri (%) 1992/93 0.7 1.4 15.3 31.4 48.9 1993/94 1.3 2.3 12.5 22.3 56.1 1994/95 0.7 1 13.5 20.4 66.4 1995/96 - - 16.1 22 71.6 1996/97 1.4 1.8 20.1 25.7 78.2 1997/98 9.8 9.1 35.4 32.7 108.2 1998/99 27.2 18.2 41.4 26.3 157.5 1999/00 35.8 17.8 58.5 31.2 187.8 2000 b) 51.1 25.0 85.3 41.6 204.9 2001 68.4 23.8 89.7 31.3 286.8 2002 30.3 10.0 74.2 24.6 301.9 2003 30 8.0 80.4 23.6 340.7 2004 69.0 15.8 86.0 21.1 407.8 2005 b) 19.0 4.8 60.7 16.0 379.6 2005 R c) 76.5 14.9 146.3 30.2 484.5 2005 R d) 89.2 15.8 175.8 32.5 540.1 2006 b) 54.3 8.4 183.8 29.4 625.2 2007 56.6 7.6 145.0 21.0 690.0

Sumber : Departemen Keuangan dalam US Embassy (2008)

Keterangan: a. Sejak tahun 2000 tahun fiskal diubah dari April-Maret ke Januari-Desember. b. RABPN

c. Revisi anggaran pertama d. Revisi anggaran kedua.

III. METODE ANALISIS

Analisis dilakukan dengan dua metode pendekatan. Pertama, metode simulasi dengan menggunakan elastisitas dampak perubahan harga BBM BBM terhadap ongkos usahatani, harga hasil usahatani dan laba usahatani dan usaha pengolahan hasil pertanian, harga produk pertanian di tingkat konsumen, serta biaya hidup di pedesaan dan di perkotaan, masing masing pada berbagai skenario perubahan harga BBM. Elastisitas yang digunakan berasal dari penelitian Simatupang, et al. (2009)

(21)

9

yang telah melakukan penelitian komprehensif dengan kerangka analisis seperti pada Gambar 1. Alat analisis utamanya adalah metoda Input-Output, dengan menggunakan Tabel Input-Output Indonesia 2005.

Pendekatan kedua adalah kajian lapang dengan melakukan wawancara terhadap petani-pengguna alat dan mesin pertanian dan pengusaha jasa alat-alat dan mesin pertanian yang menggunakan BBM secara langsung. Kajian lapang dilakukan di Kabupaten Subang dan Cianjur, beberapa hari setelah harga BBM dinaikkan pada akhir November 2014. Kajian lapang ini dapat dipandang sebagai verifikasi hasil analisis simulasi.

(22)

10

Gambar 1. Alur Transmisi Dampak Perubahan Harga BBM

DAYA BELI KONSUMEN PERMINTAAN PDB INFLASI ONGKOS PEMASARAN HARGA HASIL USAHATANI LABA USAHATANI ONGKOS USAHATANI HARGA SELURUH SEKTOR HARGA INPUT NON-BBM RELASI I/O HARGA BBM NILAI TUKAR PETANI

Daya Beli Laba/ Kesejahteraan Petani

(23)

11

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Issu Kebijakan BBM

4.1.1. Urgensi Kenaikan Harga BBM

Penyesuaian harga BBM bersubsidi bersifat imperatif, terpaksa dilakukan sesegera mungkin karena beberapa alasan yang sangat memaksa. Pertama, subsidi BBM lebih banyak digunakan sebagai barang konsumsi dan lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk berpendapatan tinggi. Kedua, beban subsidi BBM dalam APBN sudah terlalu tinggi dan terus meningkat sehingga sangat membatasi ruang kebijakan fiskal, khususnya untuk mendukung kegiataan ekonomi produktif. Seperti terlihat dalam Tabel 3, puncak siklus nilai subsidi BBM meningkat dari Rp 139,1 triliun pada 2008, menjadi 165,2 triliun pada 2011 dan Rp 246,49 triliun pada 2014 (Tabel 1). Nilai subsidi BBM menurun bila pemerintah menaikkan harga BBM. Secara historis, kenaikan harga BBM terutama didorong oleh tingginya subsidi dan dimaksudkan untuk mengurangi beban subsudi.

Tabel 3. Perkembangan Volume dan Nilai BBM Subsidi 2008-2014

Uraian 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Volume (juta KL) Solar 11.5 11.8 12.8 14.1 14.8 16 15.7 Bensin 19 20.9 23 24.5 27.3 30.8 29.4 Minyak tanah 7.7 4.6 2.4 1.7 1.2 1.2 0,9 Nilai (Rp triliun) 139.1 45.4 82.4 165.2 211.8 199.8 246,5 Sumber: Kementerian Keuangan dari Berbagai Sumber

Ketiga, Indonesia merupakan importir netto BBM sehingga peningkatan konsumsi BBM menyebabkan peningkatan impor BBM, yang selanjutnya berdampak buruk terhadap neraca perdagangan yang dalam beberapa tahun terakhir terus dalam kondisi defisit besar. Kelima, harga BBM bersubsidi yang jauh lebih rendah dari harga pasar bebas telah menyebabkan maraknya penyimpangan penjualan pupuk bersubsidi ke pasar non-subsidi di dalam negeri maupun penyelundupan ke luar negeri. Kelima, kuota volume BBM bersubsidi dalam APBN 2014 sebesar 46 juta kilo liter diperkirakan tidak akan cukup hingga akhir tahun 2014. Kuota BBM bersubsidi 2014 sebesar 46 juta KL

(24)

12

dibagi menjadi 45,355 KL didistribusikan oleh Pertamina dan 645 KL oleh Usaha Pendamping. Realisasi penyaluran oleh Pertamina per Agustus 2014 telah mencapai 30.884 KL, diperkirakan akan menjacapi 46.975 KL pada 31 Desember 2014 (Tabel 4). Kuota volume BBM bersubsidi dikhawatirkan tidak akan mencukupi.

Tabel 4. Realisasai Penyaluran BBM yang Dikelola Pertamina per Agustus 2014 dan Perkiraan Per 31 Desember 2014 (KL)

Produk Kuota Pertamina Realiasi per Agustus Perkiraan per 31 Desember

Premium 29.390 19.747 29.811

Solar 15.165 10.518 16.243

Minyak tanan 900 619 921

Total 45.355 30.884 46.975

Sumber: Konsumsi BBM Bersubsidi Berlebih. Kompas 19 September 2014

Atas kekhawatiran overkuota subsidi, sejak awal Agustus 2014 Pemerintah bersama Pertamina melaksanakan pengaturan distribusi BBM subsidi (Kotak 1). Pembatasan penyaluran BBM subsidi ternyata menimbulkan kelangkaan pasok dan panik pasar di sejumlah daerah sehingga Pemerintah, pada masa itu masih dikomandoi oleh Presiden SBY, menghentikan kebijakan pembatasan distribusi BBM tersebut. Pada 27 Agustus di Denpasar, Bali, Presiden terpilih Jokowi mengadakan pertemuan dengan Presiden SBY untuk yang pertama kalinya. Pada kesempatan itu, Presiden terpilih meminta agar Presiden SBY menaikkan harga BBM sebelum serah terima jabatan Presiden RI. Permintaan calon Presiden Jokowi tersebut ditolak oleh Presiden SBY. Calon Presiden Jokowi menyatakan menghargai sikap Presiden SBY tersebut dan lalu menegaskan bahwa ia pasti akan menyesuaikan harga BBM segera setelah dilantik menjadi Presiden RI.

Pada 20 Oktober 2014, Joko Widodo dan Jusuf Kalla resmi dilantik berturut-turut menjadi Presiden RI dan Wakil Presiden RI. Pada 29 Oktober 2019 pada Rapat Kabinet terbatas yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla diputuskan bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum 1 Januari 2015. Pemerintah menyebut

(25)

13

konsumtif ke produktif serta dari subsidi barang ke subsidi langsung kepada orang berhak.

Untuk itu, Pemerintah akan melaksanakan program perlindungan sosial sebagai kompensasi kenaikan harga BBM berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia

Kotak 1. Timeline Menuju Penyesuaian Harga BBM Bersubsidi 2014

1. Agustus 2014 Pertamina melakukan pembatasan penjualan BBM bersubsidi:

 1 Agustus: Penghentian penjualan solar bersubsidi di seluruh SPBU di Jakarta Pusat

 4 Agustus:

i. Penjualan solar bersubsidi di klaster-klaster tertentu di Jawa, Sumatera, dan Bali dibatasi hanya pada pukul 08.00-18.00.

ii. Penentuan klaster difokuskan untuk kawasan industry, pertambangan, perkebunan, dan wilayah-eilayah dekat pelabuhan yang terindikasi rawan penyalahgunaan solar bersubsidi.

iii. SPBU yang terletak di jalur utama distribusi logistic tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan

iv. Alokasi solar untuk Lembaga Penyalur Nelayan dipotong 20 %

 6 Agustus: Larangan penjualan premium di SPBU di tempat peristirahatan jalan tol

 18 Agustus: Pasokan solar dan premium dibatasi. Namun, kebijakan pembatasan penyaluran BBM bersubsidi ternyata menimbulkan kelangaan pasok di banyak SPBU dan bahkan kepanikan pasar BBM sehingga pemerintah meminta Pertamina untuk menormalkan kembali pendistribusian BBM bersubsidi.

2. 27 Agustus 2014: Pada pertemuan pertamanya denga Presiden SBY di Bali, Presiden terpilih Jokowi meminta agar pemerintah menaikkan harga BBM. Namun permintaan tersebut ditolak, Presiden SBY menyerahkan penyesuaian kebijakan BBM kepada pemerintahan mendatang. 3. 20 Oktober 2014: Joko Widodo dilantik menjadi Presiden RI dan Jusuf Kalla menjadi

Wakil Presiden RI

4. 29 Oktober 2019: Pada Rapat Kabinet terbatas yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla diputuskan bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi sebelum 1 Janurai 2015. Pemerintah menyebut kebijakan yang dilakukan bukanlah menghapus subsidi tetapi

menggeser subsidi dari konsumtif ke produktif serta dari

subsidi barangke subsidi langsung kepada orang berhak.

Pemerintah akan melaksanakan program perlindungan sosial sebagai kompensasi kenaikan harga BBM berupa Kartu Keluarga Sehat (KKS), Kartu Indonesia Pintar(KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) Kebijakan menaikkan harga BBM tersebut baru akan dilaksanakan bila program kompensasi sudah efektif dan program antisipasi reaksi pasar sudah terbangun dalam status siap siaga. 5. 3 November 2014: KKS, KIP dan KIS diluncurkan (diujicoba).

6. 18 November 2014: Harga premium dan solar bersubsidi dianaikkan masing-masing Rp 2.000/ltr, kebijakan diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi.

(26)

14

Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Kebijakan menaikkan harga BBM tersebut baru akan dilaksanakan bila program kompensasi sudah efektif dan program antisipasi reaksi pasar sudah terbangun dalam status siap siaga.

4.1.2. Besaran kenaikan harga BBM

Setelah menetapkan bahwa harga BBM tidak boleh tidak harus dinaikkan, maka issu selanjutnya adalah menjawab pertanyaan kunci, seberapa besarkah harga BBM itu semestinya dinaikkan? Pertanyaan ini tidak mudah diputuskan karena menyangkut dampak nyata yang saling bertentangan terhadap perekonomian makro dan penghidupan rakyat. Dari sisi ruang kebijakan fiskal atau beban anggaran negara, semakin tinggi harga BBM dinaikkan, semakin kecil beban anggaran negara, dan semakin besar ruang kebijakan fiskal. Peningkatan harga BBM yang semakin tinggi juga berdampak pada semakin besarnya penurunan impor BBM, yang berarti semakin baik untuk kesehatan neraca pembayaran yang dalam beberapa tahun terakhir terus mengalami defisit dengan kecenderungan meningkat.

Namun dari sisi lain, peningkatan harga BBM berdampak pada peningkatan harga seluruh barang dan jasa atau inflasi, yang berarti meningkatkan biaya hidup masyarakat atau menurunkan daya beli pendapatan masyarakat. Kenaikan harga BBM juga akan menyebabkan peningkatan ongkos produksi barang dan jasa, yang berarti akan mendorong kenaikan harga jual barang dan jasa secara umum. Peningkatan ongkos produksi barang dan jasa di dalam negeri juga menurunkan daya saing produk dalam negeri. Dalam jangka pendek, kenaikan harga BBM dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Perpaduan antara peningkatan inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan peningkatan nyata insiden kemiskinan.

Dilema kebijakan itu menuntut pertimbangan penuh kebijaksanaan mengenai besaran kenaikan harga BBM. Dari diskursus yang berkembang dimasyarakat, terdapat lima alternatif besaran kenaikan harga BBM (Tabel 5). Jenis BBM yang harganya dinaikkan adalah bensin premium dan solar. Kenaikan harga disarankan sama secara nominal untuk kedua jenis BBM.

(27)

15

Tabel 5. Alternatif Besaran Kenaikan Harga BBM Berdasarkan Diskursus Publik

Ukuran Alternatif Kenaikan Harga BBM

1 2 3 4 5

Nominal (Rp/ltr) 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

Persentase (%) 16,67 25 33.33 41.67 50

Sumber: Diskursus Publik di Media Massa

4.1.3. Mitigasi Dampak Kenaikan Harga BBBM Bagi Penduduk Miskin

Seperti yang telah dikemukakan, kenaikan harga BBM dapat berdampak nyata terhadap inflasi dan insiden kemiskinan. Oleh karena itu, issu selanjutnya adalah mempersiapkan sistem antisipasi untuk mengurangi dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi dan insiden kemiskinan. Upaya pengendalian dampak terhadap inflasi difokuskan pada stabilisasi harga pangan, khususnya beras, dan ongkos transportasi. Antisipasi pengendalian harga beras dilakukan oleh Bulog, sedangkan sedangkan antisipasi pengendalian ongkos transportasi dikoordinasikan oleh Menteri Perhubungan bekerjasama dengan pemerintah daerah.

Seperti pada setiap kenaikan harga BBM sebelumnya, kali ini pun Pemerintah memberikan kompensasi kepada penduduk miskin (Tabel 6). Pada masa lalu bantuan kompensasi kenaikan harga BBM dilaksanakan melalui subsidi dan atau bantuan langsung tunai. Bebeda dengan itu, penyerahan bantuan kali ini dilaksanakan dengan sistem non-tunai melalui sistem perbankan elektronik, yang dipandang lebih tepat sasaran dan lebih tertib dibandingkan dengan bantuan subsidi maupun bantuan langsung tunai.

Bantuan kompensasi itu mencakup asuransi kesehatan melalui pemberian Kartu Indonesia Sehat, bantuan beasiswa anak bersekolah melalui Kartu Indonesia Pintar, dan bantuan uang tunai memalui Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Ketiga kartu tersebut ada pula yang menyebutnya sebagai kartu Trisakti Jokowi. Ketiga kartu tersebut diluncurkan oleh Presiden Jokowi pada 3 November 2014.

(28)

16

Tabel 6. Program Kompensasi Kenaikan Harga BBM, 2005-2014

No. Tanggal Penyesuaian Harga dan Program Kompensasi

1 1 Maret 2005: Program Kompensasi Pengurangan Subsidi: Rp 17,8 triliun 1. Pendidikan Rp 5,6 triliun: Beasiswa untuk 9,6 juta siswa miskin 2. Kesehatan Rp 2,1 triliun: untuk 36 juta penduduk miskin 3. Beras murah Rp 5,4 triliun: Untuk 8,6 juta keluarga miskin 4. Infrastruktur pedesaan Rp 3,3 triliun: untuk 11.140 desa miskin 5. Rumah sangat sederhana Rp 600 milyar

6. Pelayanan sosial Rp 250 milyar

7. Dana bergulir untuk usaha mikro Rp 200 milyar

8. Pelayanan kontrasepsi Rp 100 milyar: Untuk 11,8 juta pasangan usia subur 2 1 Oktober 2005: Bantuan Lansung Tunai (BLT) Rp 300.000 per rumah tangga setiap

tiga bulan melalui kantor pos untuk 15,5 juta rumah tangga dengan total dana Rp 4,65 triliun

3 25 Mei 2008: Melanjutkan BLT dengan besaran sama, Rp 100.000/bulan/rumah tangga miskin

4 15 Mei 2009: Tidak ada perubahan program 5 22 Juni 2013:

1. Bantuan Lansung Sementara Masyarakat (BLSM) Rp 9,3 triliun untuk 15,5 juta keluarga miskin, Rp 150.000 per keluarga per bulan selama empat bulan 2. Bantuan Siswa Miskin Rp 7,5 triliun

3. Program Keluarga Harapan Rp 700 milyar 4. Beras untuk rakyat miskin Rp 4,3 triliun 6 18 November 2014: Program Perlindungan Sosial

1. Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) 2. Kartu Indonesia Sehat (KIS) 3. Kartu Indonesia Pintar (KIP)

Sumber: Kebijakan BBM: Pasokan Normal Dua Sampai Tiga Bulan Lagi. Kompas, 28 Agustus 2014

4.1.4. Waktu Penetapan Kenaikan Harga BBM

Issu terakhir yang perlu dipertimbangkan dengan seksama adalah waktu pemberlakuan kenaikan harga BBM. Di satu sisi dari segi tekanan ancaman kecukupan kuota BBM bersubsidi dan tekanan beban anggran subsidi BBM, kenaikan harga BBM lebih cepat lebih baik. Bila harga BBM dinaikkan lebih cepat maka nilai penghematan anggaran pemerintah dari penuruan subsidi akan lebih besar. Kenaikan harga BBM dengan lebih cepat juga dipandang sangat baik sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi tekanan neraca pembayaran Indonesia yang terus mengalami defisit sehingga nilai Rupiah mengalami tekanan penurunan.

(29)

17

Namun, dilihat dari segi dampak terhadap inflasi, kenaikan harga BBM sebaiknya disesuaikan dengan siklus inflasi, kenaikan dilakukan pada masa tekanan inflasi pada titik meninimum. Berdasarkan perkiraan siklus tekanan inflasi tahunan, waktu yang tepat untuk menaikkan harga BBM adalah pada bulan September-Oktober dan Maret-April. Bulan Desember-Januari tekanan inflasi biasanya tinggi karena berkaitan dengan masa perayaan Natal dan Tahun Baru. Pertimbangan inilah kenapa diskusi publik banyak yang menyarankan agar Presiden SBY bersedia menaikkan harga BBM pada Oktober, waktu yang dipandang paling baik namun Calon Presiden Jokowi belum dilantik resmi. Pemikiran inilah barangkali kenapa pada pertemuan mereka di Bali pada 27 Agustus 2014, pertemuan pertama kali sesudah Pemilihan Presiden, calon Presiden Jokowi meminta Presiden SBY agar berkenan menaikkan harga BBM sesegera mungkin.

Seperti yang telah disebutkan, Presiden SBY menyerahkan penyesuain harga BBM kepada pemerintahan Presien terpilih Jokowi yang akan dilantik pada 20 Oktober 2014. Presiden Jokowi menyatakan menghargai sikap Presiden SBY dan menegaskan tidak ragu menaikkan harga BBM segera setelah pelantikannya. Setelah menyelesaikan segala persiapan pendukung pelaksanaan kebijakan, khususnya pemberian kompensasi kepada masyarakat miskin, harga premium dan solar bersubsidi dinaikkan masing-masing Rp 2.000/ltr pada 18 November 2014. Kebijakan tersebut diumumkan langsung oleh Presiden Jokowi di Istana Negara.Timeline menuju penyesuaian harga BBM

bersubsidi 2014 dapat dilihat lebih rinci dalam Kotak 1.

4.2. Analisis Dampak Kebijakan Makro dan Sektoral

Dampak kenaikan harga BBM terhadap usaha pertanian dapat terjadi secara langsung maupun secara tidaklangsung. Dampak langsung terjadi melalui kenaikan harga yang dipergunakan dalam usaha pertanian. Dampak tidak langsung terjadi melalui kenaikan upah tenaga kerja, harga sarana dan prasarana serta jasa yang dipergunakan dalam proses produksi, pengolahan maupun pemasaran hasil pertanian. Dampak-dampak tersebut dapat terjadi seketika dan dapat pula melalui proses secara bertahap menuju suatu titik keseimbangan.

(30)

18

Analisis dilakukan dengan metode Input-Output berdasarkan Tabel Inpu-Output yang disusun oleh Badan Pusat Statistik tahun 2005. Hasil analisis menunjukkan dampak total yang merupakan akumulasi dampak langsung dan dampak tidak langsung pada titik keseimbangan. Analisis dampak dilakukan dengan lima skenario rata-rata kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yakni Rp 1.000/Kg (16,67 %), 1.500/Kg (25 %), 2.000/Kg (33.33 %), Rp 2.500/Kg (41.67 %), dan Rp 3.000/Kg (50 %). Analisis yang dilakukan mencakup dampak terhadap harga hasil usaha pertanian, harga produk olahan pertanian, ongkos usaha pertanian, laba nominal dan daya beli laba usaha pertanian, serta terhadap biaya hidup penduduk dirinci menurut wilayah desa dan kota.

4.2.1. Dampak Terhadap Usahatani Tanaman Pangan dan Hortikultura

Perubahan harga BBM berpengaruh positif terhadap harga hasil usahatani tanaman pangan dengan elastisitas berkisar 0,0020-0,5157, yang berarti kenaikan harga BBM akan mendorong peningkatan harga komoditas tanaman pangan dan hortikultura dengan variasi yang cukup besar. Dampak terbesar adalah terhadap bahan pangan utama, yakni padi dan jagung, berturut-turut dengan elastisitas 0,5157 dan 0,1632, buah-buahan dengan elastisitas 0.1453, dan sayuran dengan elastisitas 0.1098. Kiranya dicatat bahwa kelompok komoditas ini adalah juga yang paling dominan diusahakan oleh usahatani rakyat. Dapat dikatakan bahwa dilihat dari segi harga jual petani, komoditas yang paling tinggi peningkatan harganya adalah komoditas yang paling banyak diusahakan oleh petani rakyat, yang berarti baik bagi petani. Namun demikian, kelompok komoditas ini adalah juga yang peling banyak dikonsumsi konsumen dalam negeri, yang berarti yang paling besar dampak negatifnya terhadap inflasi atau biaya hidup masyarakat. Dengan demikian, peningkatan BMM haruslah diusahakan tidak terlalu tinggi karena dikhawatirkan akan berpengaruh buruk terhadap inflasi dan daya beli pendududuk miskin.

(31)

19

Tabel 7. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Harga Hasil Usahatani Tanaman Pangan Dan Hortikultura (%)

Komoditas Elastisitas Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 Padi 0.5157 8,60 12,89 17,19 21,49 25,79 Jagung 0.1632 2,72 4,08 5,44 6,80 8,16 Ketelapohon 0.0406 0,68 1,02 1,35 1,69 2,03 Ubijalar 0.0020 0,03 0,05 0,07 0,08 0,10 Umbi-Umbian Lain 0.0292 0,49 0,00 0,00 0,00 0,00 Kacang 0.0188 0,31 0,47 0,63 0,78 0,94 Kedele 0.0215 0,36 0,54 0,72 0,90 1,08 Kacang-Kacangan Lain 0.0084 0,14 0,21 0,28 0,35 0,42 Sayuran 0.1098 1,83 2,75 3,66 4,58 5,49 Buah-Buahan 0.1453 2,42 3,63 4,84 6,05 7,27 Padi-Padian 0.0058 0,10 0,15 0,19 0,24 0,29

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

Dampak kenaikan harga BBM terhadap ongkos usahatani tanaman pangan dan hortikultura pada umumnya kecil, dengan elastisitas pada kisaran 0, 0428 – 0, 1132 (Tabel 8). Dampak langsung perubahan harga BBM terutama terjadi melalui ongkos penggunaan alat-alat dan mesin-mesin pertanian yang umumnya belum demikian intensif penggunaannya. Dampak terbesar adalah pada usahatani tanaman pangan utama, seperti kedelai, padi dan jagung yang paling banyak diusahakan oleh usahatani rakyak. Dengan demikian, kalaupun harga BBM dinaikkan, besaran kenaikannya mestilah diusahakan moderat.

(32)

20

Tabel 8. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos Usahatani Tanaman Pangan dan Hortikultura (%)

Komoditas Elastisitas (%) Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 Padi 9.7358 1,62 2,43 3,24 4,06 4,87 Jagung 9.5676 1,59 2,39 3,19 3,99 4,78 Ketelapohon 8.8651 1,48 2,22 2,95 3,69 4,43 Ubijalar 6.6659 1,11 1,67 2,22 2,78 3,33 Umbi-Umbian Lain 7.4537 1,24 12,42 16,56 20,70 24,84 Kacang 6.1278 1,02, 1,53 2,04 2,55 3,06 Kedele 11.3238 1,89 2,83 3,77 4,72 5,66 Kacang-Kacangan Lain 5.2989 0,88 1,32 1,77 2,21 2,65 Sayuran 4.2832 0,71 1,07 1,43 1,78 2,14 Buah-Buahan 6.7282 1,12 1,68 2,24 2,80 3,36 Padi-Padian 5.3507 0,89 1,34 1,78 2,22 2,68

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

Dampak kenaikan harga BBM terhadap laba nominal dan laba riil usahatani tanaman pangan dan hortikultura disajikan pada Tabel 9 dan Tabel 10. Secara umum, laba nominal usahatani tanaman pangan dan hortikultura meningkat apabila harga BBM dinaikkan. Besaran absolut elastisitas penurunan laba nominal tersebut memang relatif kecil, yakni berkisar antara 0,0128 (sayuran) dan 0.0474 (kacang-kacangan). Peningkatan laba nominal tersebut terjadi karena dampak kenaikan harga jual hasil usahatani lebih tinggi daripada kenaikan ongkos usahatani sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Penurunan laba nominal ini mengindikasikan bahwa kenaikan harga BBM berdampak buruk terhadap daya saing usahatani maupun kesejahteraan petani tanaman pangan dan hortikultura sehingga sebaiknya dihindari.

(33)

21

Tabel 9. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Nominal Usahatani Tanaman Pangan dan Hortikultura (%)

Komoditas Elastisitas (%) Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 Padi -0.50651 -0,08 -0,13 -0,17 -0,21 -0,25 Jagung -0.71146 -0,12 -0,18 -0,24 -0,30 -0,36 Ketelapohon -1.02383 -0,17 -0,26 -0,34 -0,43 -0,51 Ubijalar -1.22315 -0,20 -0,31 -0,41 -0,51 -0,61 Umbi-Umbian Lain -1.22358 -0,20 -0,31 -0,41 -0,51 -0,61 Kacang -0.70978 -0,12 -0,18 -0,24 -0,30 -0,35 Kedele -0.74195 -0,12 -0,19 -0,25 -0,31 -0,37 Kacang-Kacangan Lain -0.47253 -0,08 -0,12 -0,16 -0,20 -0,24 Sayuran -1.28222 -0,21 -0,32 -0,43 -0,53 -0,64 Buah-Buahan -1.25418 -0,21 -0,31 -0,42 -0,52 -0,63 Padi-Padian -0.85180 -0,14 -0,21 -0,28 -0,35 -0,43

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

Walaupun secara nominal positif, peningkatan harga BBM berdampak negatif terhadap laba riil usahatani tanaman pangan dan hortikultura (Table 10). Penurunan laba riil ini merupakan akumulasi dampak penurunan terhadap laba nominal dan dampak kenaikan biaya hidup (inflasi). Artinya, secara umum, kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli pendapatan keluarga tani. Hal ini terjadi karena peningkatan laba nominal lebih rendah dari peningkatan biaya hidup. Terlepas dari besarannya, peningkatan harga UMM berdampak buruk terhadap kesejahteraan ekonomi keluarga tani sehingga harus diusahakan serendah mungkin.

(34)

22

Tabel 10. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Riil Usahatani Tanaman Pangan dan Hortikultura (%)

Komoditas Elastisitas (%) Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 Padi -12.64416 -2,11 -3,16 -4,21 -5,27 -6,32 Jagung -12.02554 -2,00 -3,01 -4,01 -5,01 -6,01 Ketelapohon -10.97907 -1,83 -2,74 -3,66 -4,57 -5,49 Ubijalar -9.79154 -1,63 -2,45 -3,26 -4,08 -4,90 Umbi-Umbian Lain -12.64381 -2,11 -3,16 -4,21 -5,27 -6,32 Kacang -14.15868 -2,36 -3,54 -4,72 -5,90 -7,08 Kedele -13.92245 -2,32 -3,48 -4,64 -5,80 -6,96 Kacang-Kacangan Lain -13.02197 -2,17 -3,26 -4,34 -5,43 -6,51 Sayuran -11.95243 -1,99 -2,99 -3,98 -4,98 -5,98 Buah-Buahan -9.74914 -1,63 -2,44 -3,25 -4,06 -4,87 Padi-Padian -9.48987 -1,58 -2,37 -3,16 -3,95 -4,74

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

4.2.2. Dampak Terhadap Usaha Perkebunan

Dampak perubahan harga BBM terhadap harga komoditas perkebunan di tingkat petani ditampilkan pada Tabel 11. Seperti halnya komoditas tanaman pangan dan hortikultura, peningkatan harga BBM berdampak positif terhadap harga komoditas perkebunan di tingkat usahatani. Besaran elastisitasnya berkisar antara 0.0026 (tanaman serat) dan 0.3974 (Kelapa sawit). Secara umum, elatisitas lebih rendah untuk komoditas yang lebih didominasi oleh perkebunan rakyat. Selain itu, elastasitas harga komoditas perkebunan tersebut relatif lebih rendah dari komoditas tanaman pangan dan hortikultura.

(35)

23

Tabel 11. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Harga Hasil Perkebunan (%)

Komoditas Elastisitas (%) Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

Karet 0.2847 4,75 7,12 9,49 11,86 14,24

Tebu 0.1309 2,18 3,27 4,36 5,45 6,55

Kelapa 0.1582 2,64 3,96 5,27 6,59 7,91

Kelapa sawit 0.3974 6,62 9,94 13,25 16,56 19,87

Hasil Tanaman Serat 0.0026 0,04 0,03 0,03 0,04 0,05

Tembakau 0.0546 0,91 1,37 1,82 2,28 2,73 Kopi 0.1015 1,69 2,54 3,38 4,23 5,08 Teh 0.0079 0,13 0,20 0,26 0,33 0,40 Cengkeh 0.0107 0,18 0,27 0,36 0,45 0,54 Kakao 0.0551 0,92 1,38 1,84 2,30 2,76 Jambu Mete 0.0156 0,26 0,39 0,52 0,65 0,78

Hasil Perkebunan Lain 0.0812 1,35 2,03 2,71 3,38 4,06

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

Peningkatan harga BBM tentu akan menaikkan ongkos usahatani perkebunan. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12, besaran elastisitas memang umumnya kecil, berkisar antara 0,0428 (cengkeh) dan 0,1132 (kopi). Namun demikian, dampak peningkatan harga BBM terhadap ongkos produksi usaha perkebunan relatif lebih tinggi dibanding usahatani tanaman pangan dan hortikultura. Alasannya adalah bahwa tanaman perkebunan lebih intensif menggunakan peralatan dan mesin yang berbahan bakar minyak subsidi.

(36)

24

Tabel 12. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos Usaha Perkebunan (%)

Komoditas Elastisitas (%) Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

Karet 9.7358 1,62 2,43 3,24 4,06 4,87

Tebu 9.5676 1,59 2,39 3,19 3,99 4,79

Kelapa 8.8651 1,48 2,22 2,95 3,69 4,43

Kelapa Sawit 6.6659 1,11 1,67 2,22 2,78 3,33

Hasil Tanaman Serat 7.4537 8,28 12,42 16,56 20,70 24,84

Tembakau 6.1278 1,02 1,53 2,04 2,55 3,06 Kopi 11.3238 1,89 2,83 3,77 4,72 5,66 Teh 5.2989 0,88 1,32 1,77 2,21 2,65 Cengkeh 4.2832 0,71 1,07 1,43 1,78 2,14 Kakao 6.7282 1,12 1,68 2,24 2,80 3,36 Jambu Mete 5.3507 0,89 1,34 1,78 2,23 2,68

Hasil Perkebunan Lain 8.1710 1,36 2,04 2,72 3,40 4,09

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

Peningkatan harga BBM berdampak negatif terhadap laba nominal usaha perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa dampak positif terhadap harga jual hasil usahatani tidak cukup untuk menutupi peningkatan ongkos usahatani perkebunan. Besaran absolut elastisitas laba nominal adalah antara 0.0081025 (jambu mete) dan -0,0974 (tembakau). Dampak negatif terhadap laba nominal menunjukkan bahwa peningkatan harga BBM berdampak buruk terhadap daya saing maupun kesejahteraan petani perkebunan.

(37)

25

Tabel 13. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Nominal Usahatani Perkebunan (%)

Komoditas Elastisitas (%) Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

Karet -6.61506 -1,10 -1,65 -2,20 -2,76 -3,31

Tebu -5.17256 -0,86 -1,29 -1,72 -2,16 -2,59

Kelapa -2.74662 -0,46 -0,69 -0,92 -1,14 -1,37

Kelapa Sawit -4.75425 -0,79 -1,19 -1,58 -1,98 -2,38

Hasil Tanaman Serat -1.05318 -0,18 -0,26 -0,35 -0,44 -0,53

Tembakau -9.73826 -1,62 -2,43 -3,25 -4,06 -4,87 Kopi -2.39980 -0,40 -0,60 -0,80 -1,00 -1,20 Teh -3.09519 -0,52 -0,77 -1,03 -1,29 -1,55 Cengkeh -0.81025 -0,14 -0,20 -0,27 -0,34 -0,41 Kakao -1.36265 -0,23 -0,34 -0,45 -0,57 -0,68 Jambu Mete -0.84446 -0,14 -0,21 -0,28 -0,35 -0,42 Hasil Perkebunan Lainnya -1.66815 -0,28 -0,42 -0,56 -0,70 -0,83

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

Oleh karena terhadap laba nominal saja berdampak negatif, kiranya sangat jelas bahwa kenaikan harga BBM berdampak negatif terhadap laba riil usaha perkebunan (Tabel 14). Dampak terhadap laba nominal merupakan akumulasi dampak perubahan harga BBM terhadap laba nominal usahatani perkebunan dan terhadap biaya hidup (inflasi). Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14, besaran absolut elastisitas laba riil usaha perkebunan terhadap harga BBM berkisar antara 0,0519 (cengkeh) dan 0,1411 (tembakau). Walaupun relatif kecil, temuan ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani perkebunan sehingga harus dihindari atau kalaupun terpaksa dinaikkan, besarannya diusahakan serendah mungkin.

(38)

26

Tabel 14. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Laba Riil Usahatani Perkebunan (%)

Komoditas Elastisitas (%) Peningkatan Harga BBM (Rp/ltr)

1.000 1.500 2.000 2.500 3.000

Karet -10.99006 -1,83 -2,75 -3,66 -4,58 -5,50

Tebu -9.54756 -1,59 -2,39 -3,18 -3,98 -4,77

Kelapa -7.12162 -1,19 -1,78 -2,37 -2,97 -3,56

Kelapa Sawit -9.12925 -1,52 -2,28 -3,04 -3,80 -4,56

Hasil Tanaman Serat -5.42818 -0,90 -1,36 -1,81 -2,26 -2,71

Tembakau -14.11326 -2,35 -3,53 -4,70 -5,88 -7,06 Kopi -6.77480 -1,13 -1,69 -2,26 -2,82 -3,39 Teh -7.47019 -1,25 -1,87 -2,49 -3,11 -3,74 Cengkeh -5.18525 -0,86 -1,30 -1,73 -2,16 -2,59 Kakao -5.73765 -0,96 -1,43 -1,91 -2,39 -2,87 Jambu Mete -5.21946 -0,87 -1,30 -1,74 -2,17 -2,61

Hasil Perkebunan Lain -6.04315 -1,01 -1,51 -2,01 -2,52 -3,02

Sumber: Tabel I-O diolah (BPS, 2005).

4.2.3. Dampak terhadap Usaha Peternakan

Perubahan harga BBM berpengaruh positif terhadap komoditas peternakan di tingkat usahatani (Tabel 15). Dampak yang terjadi sangat bervariasi, dengan elastisitas berkisar antara 0.0013 (ternak lain) dan 0.3008 (unggas). Sebagaimana diketahui, komoditas selain unggas lebih banyak diusahakan oleh peternak kecil. Temuan ini memperkuat pola pada usahatani tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan, bahwa peningkatan harga di tingkat produsen akibat kenaikan harga BBM relatif lebih rendah pada komoditas yang lebih banyak diusahakan oleh petani rakyat. Hal ini berarti dampak perubahan harga BBM terhadap harga komoditas pertanian tidaklah merata. Kenaikan harga BBM lebih merugikan perusahaan pertanian rakyat daripada perusahaan besar pertanian.

Gambar

Tabel 16. Dampak Perubahan Harga BBM Terhadap Ongkos Produksi Usaha Peternakan  (%)
Tabel  17.  Dampak  Perubahan  Harga  BBM  Terhadap  Laba  Nominal  Usaha  Peternakan  (%)
Tabel    24.  Struktur  Ongkos  dan  Harga  Sewa  Traktor  untuk  Padi  per  hektar  di   Kabupaten Subang, Jawa Barat, 2014
Tabel 26.  Struktur Ongkos dan Harga Sewa Pompa Air untuk Padi di Kabupaten  Subang, Jawa Barat, 2014 (BB-Gas)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Membuat sarana yang informatif di E- Diklat yakni dengan menyertakan content statistika, menyediakan fasilitas download (data diklat, data peserta diklat, data

■ Office Professional Plus 2007 includes Office Word 2007, Office Excel 2007, Office PowerPoint 2007, Office Outlook 2007, Office Access 2007, Office Publisher 2007, Microsoft®

a) Pelarut tidak bereaksi dengan zat yang dilarutkan. b) Partikel zat terlarut tidak larut pada pelarut dingin tapi larut dalam pelarut panas. c) Pelarut hanya dapat

Pada dasarnya, sebuah spin box digunakan untuk menampilkan suatu peubah saat itu dan kemudian nilai peubah tersebut akan bertambah ketika user menekan tombol dengan anak panah

Penentuan lingkungan pengendapan juga didukung dengan data analisis petrografi, berdasarkan dari analisis petrografi pada setiap sampel, didapatkan bahwa batuanya

Hipotesis 2 yang menduga bahwa pengembangan karir berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan CV IPLUS diterima.Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi & Utama (2016)

Jasaraharja Putera, hasil penelitian ini akan memberikan pedoman strategis yang bisa diikuti untuk membantu efektivitas program- program pengembangan karir karyawan

Ini dikarenakan translasi S-V jarang ditemui siswa, sehingga siswa kesulitan dalam mengubah soal yang disajikan dalam bentuk simbolik menjadi sebuah cerita yang