• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Dasar Produksi Bersih

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep Dasar Produksi Bersih"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

T

T

I

I

N

N

J

J

A

A

U

U

A

A

N

N

P

P

U

U

S

S

T

T

A

A

K

K

A

A

Konsep Dasar Produksi Bersih

Produksi bersih merupakan salah satu sistem pengelolaan lingkungan yang dilaksanakan secara sukarela (voluntary) sebab penerapannya bersifat tidak wajib. Konsep produksi bersih merupakan pemikiran baru untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan dengan lebih bersifat proaktif. Produksi bersih merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan pendekatan secara konseptual dan operasional terhadap proses produksi dan jasa, dengan meminimumkan dampak terhadap lingkungan dan manusia dari keseluruhan daur hidup produknya.

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal, 1995) mendefinisikan Produksi bersih sebagai suatu strategi pengelolaan lingkungan yang preventif dan diterapkan secara terus-menerus pada proses produksi, serta daur hidup produk dan jasa untuk meningkatkan eko-efisiensi dengan tujuan mengurangi risiko terhadap manusia dan lingkungan.

Strategi Produksi bersih mempunyai arti yang sangat luas karena di dalam-nya termasuk upaya pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup produk, dan teknologi bersih. Pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan strategi yang perlu diprioritaskan dalam upaya untuk mewujudkan industri dan jasa yang berwawasan lingkungan, namun bukanlah merupakan satu satunya strategi yang harus diterapkan. Strategi lain seperti program daur ulang, pengolahan dan pembuangan limbah tetap diperlukan, sehingga dapat saling melengkapi satu dengan lainnya (Bratasida, 1997). Strategi untuk menghilangkan limbah atau mengurangi limbah sebelum terjadi (preventive

strategy), lebih baik daripada strategi pengolahan limbah atau pembuangan

limbah yang telah ditimbulkan (treatment strategy). Kombinasi kedua strategi tersebut sesuai dengan skala prioritas pelaksanaan produksi bersih adalah sebagai berikut (Overcash, 1986) :

1. Eliminasi : Strategi ini dimasukkan sebagai metode pengurangan limbah secara total. Bila perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge).

(2)

2. Mengurangi sumber limbah: Strategi pengurangan limbah yang terbaik adalah menjaga agar limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan limbah mungkin memerlukan beberapa perubahan penting dalam proses produksi, tetapi dapat meningkatkan efisiensi ekonomi yang besar dan menekan pen-cemaran lingkungan.

3. Daur ulang: Jika timbulnya limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka harus dicari strategi untuk meminimalkan limbah tersebut sampai batas tertinggi yang mungkin dilakukan, seperti misalnya daur ulang (recycle) dan/atau penggunaan kembali (reuse). Jika limbah tersebut tidak dapat dicegah atau diminimalkan melalui penggunaan kembali atau daur ulang, maka strategi yang bersifat mengurangi volume atau kadar racunnya melalui pengolahan limbah dapat dilakukan. Walaupun strategi ini kadang-kadang dapat mengurangi jumlah limbah, tetapi tidak sama efektifnya dengan mencegah limbah di tahap awal.

4. Pengolahan limbah: Strategi yang terpaksa dilakukan mengingat pada proses perancangan produksi perusahaan belum mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas limbah (zerro waste). Hal ini berarti limbah memang sudah terjadi dan ada dalam sistem produksinya, namun kualitas dan kuantitas limbah yang ada dikendalikan agar tidak melebihi baku mutu yang telah disyaratkan.

5. Pembuangan limbah: strategi terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah

metode-metode pembuangan alternatif. Pembuangan limbah yang tepat merupakan suatu komponen penting dari keseluruhan program manajemen lingkungan, meskipun ini adalah teknik yang paling tidak efektif.

6. Remediasi: strategi penggunaan kembali bahan-bahan yang terbuang bersama

limbah. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kadar racun dan kuantitas limbah yang ada.

Peluang dan Tantangan Penerapan Produksi Bersih

Produksi bersih diperlukan sebagai cara untuk mengharmonisasikan upaya perlindungan lingkungan dengan kegiatan pembangunan dan pertumbuhan

(3)

ekonomi. Menurut Djajadiningrat (2001), peluang penerapan Produksi bersih adalah:

1. Memberi keuntungan ekonomi, karena konsep produksi bersih didalamnya terdapat strategi pencegahan pencemaran pada sumbernya (source reduction dan inprocess recycling) yaitu pencegahan terbentuknya limbah secara dini sehingga dapat mengurangi biaya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengolahan, pembuangan limbah dan upaya perbaikan lingkungan.

2. Mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan lingkungan.

3. Memelihara dan memperkuat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang melalui konservasi sumberdaya, bahan baku dan energi.

4. Mendorong pengembangan teknologi baru yang lebih efisien dan akrab lingkungan

5. Mendukung prinsip ‘environmental equity’ dalam rangka pembangunan ber-kelanjutan.

6. Mencegah atau memperlambat terjadinya proses degradasi lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam.

7. Memelihara ekosistem lingkungan.

8. Memperkuat daya saing produk di pasar internasional. Tantangan penerapan produksi bersih, antara lain : 1. Tercapainya efisiensi produksi yang optimal

2. Diperolehnya penghargaan masyarakat terhadap sistem produksi yang akrab lingkungan

3. Mendapatkan insentif.

Pengembangan pelaksanaan dan penerapan produksi bersih intinya adalah mengubah pola pikir tradisional ‘end-of-pipe’ dengan paradigma baru dalam pengelolaan pencemaran lingkungan, yaitu penerapan produksi bersih, yang dapat meningkatkan efisiensi produksi sehingga akan memberikan peningkat-an keuntungpeningkat-an baik secara finpeningkat-ansial, teknik maupun regulasi. Hambatpeningkat-an ekonomi akan timbul bila kalangan pengusaha merasa tidak akan mendapat keuntungan dalam penerapan produksi bersih. Sekecil apapun penerapan

(4)

produksi bersih, bila tidak menguntungkan bagi perusahaan maka sulit bagi manajemen untuk membuat keputusan tentang penerapan produksi bersih. Menurut Djajadiningrat (2001), hambatan pada aspek ekonomi dan teknis antara lain:

1. Keperluan biaya tambahan peralatan

2. Tingginya modal/investasi yang dibutuhkan dibanding kan penerapan kontrol pencemaran secara konvensional sekaligus penerapan produksi bersih

3. Penghematan proses produksi bersih yang belum nyata realisasinya 4. Kurangnya informasi produksi bersih

5. Sistem yang baru ada kemungkinan tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga dapat menyebabkan gangguan

6. Fasilitas produksi ada kemungkinan sudah penuh sehingga tidak ada tempat lagi untuk tambahan peralatan.

Kendala sumberdaya manusia dalam penerapan produksi bersih dapat

berupa:

1. Kurangnya komitmen manajemen puncak

2. Adanya keengganan untuk berubah baik secara individu maupun organisasi 3. Lemahnya komunikasi internal

4. Pelaksanaan organisasi yang kaku

5. Birokrasi, terutama dalam pengumpulan data. 6. Kurangnya dokumentasi dan penyebaran informasi.

7. Kurangnya pelatihan kepada sumberdaya manusia mengenai produksi bersih. Manfaat penerapan Produksi bersih, antara lain :

1. Lebih efektif dan efisien dalam penggunaan sumberdaya alam. 2. Mengurangi biaya-biaya yang berkenaan dengan lingkungan 3. Mengurangi atau mencegah terbentuknya pencemar

4. Mencegah berpindahnya pencemar dari satu media ke media lain 5. Mengurangi risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan

6. Memberikan peluang untuk mencapai sistem manajemen lingkungan pada ISO 14000

(5)

7. Memberikan keunggulan daya saing pada tingkat pasar domestik dan internasional.

Saat ini terdapat dua mekanisme yang mendorong terjadinya pendekatan baru dalam hal perdagangan global, yaitu pertama, adanya kekuatan konsumen yang makin meningkat dan makin besarnya rasa solidaritas lingkungan terhadap produk yang dibelinya agar tidak menimbulkan dampak lingkungan dalam pengadaannya, seperti ecolabel atau green label yang menandai bahwa produk tertentu diproduksi melalui produksi bersih. Kedua, sejak awal tahun tujuh puluhan sampai pertengahan delapan puluhan, industri menghadapi penegakan hukum yang konsisten disertai baku mutu yang makin ketat. Oleh karena itu, terjadi kejar-mengejar antara baku mutu dengan kemampuan industri menaati baku mutu. Dari sisi perdagangan terjadi kecenderungan mengaitkan aspek lingkungan hidup, sehingga hal tersebut menjadikan suatu tantangan bagi kalangan industri dan jasa untuk dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerjanya supaya tetap dapat mempertahankan diri dalam situasi persaingan global. Pengusaha juga perlu mempertimbangkan perspektif konsumen mengenai produknya, seperti citra positif yang diperoleh dengan mendapatkan sertifikasi

ecolabel dan ISO 14000. Sebagian konsumen mempunyai pertimbangan yang luas

dalam setiap melakukan tindakan berkonsumsi. Mereka tidak hanya memperhatikan mutu, penampilan, harga, garansi ataupun pelayanannya saja, melainkan juga akan mempertimbangkan beberapa masalah baru. Pertama, masalah ekologi, yang ber-kaitan dengan ada tidaknya unsur pencemaran atau perusakan lingkungan mulai dari pengadaan bahan baku, proses produksi, serta akibat yang ditimbulkan dari penggunaan barang tersebut. Kedua, masalah etika, setiap kali konsumen memutuskan untuk membeli atau tidak membeli, mereka terlebih dahulu mem-pertimbangkan etika produsennya. Apakah produsen menjalankan usahanya dengan benar atau apakah produsen tidak memanfaatkan kelemahan peraturan yang ada di suatu negara. Contoh dalam hal ini adalah penghargaan yang lebih dari konsumen terhadap suatu perusahaan yang telah menggunakan standar yang diakui secara internasional (misalnya ISO 9000, ISO 14000). Yang ketiga adalah masalah keadilan, yaitu apakah produksi tersebut mengeksploitasi sumberdaya alam dan ekonomi masyarakat lokal, atau apakah pengusaha mengupayakan

(6)

pelestarian dengan penghitungan yang tepat antara eksploitasi yang mereka lakukan sejalan dengan upaya perbaikan. Contoh dalam masalah ini adalah kondisi masyarakat sekarang yang semakin kritis sehingga upaya pelestarian lingkungan hidup selalu ditanyakan dalam setiap bentuk produk dan jasa yang ada. Penerapan produksi bersih dapat mendukung ketiga aspek tersebut, terutama dalam kaitannya dengan sertifikasi ecolabel dan ISO 14000.

Sikap Indonesia mengenai perlunya integrasi produksi bersih dengan strategi pemasaran produk dalam menanggapi isu lingkungan sudah jelas. Hal tersebut sudah menjadi komitmen pemerintah. Dalam konteks perdagangan dan industri di Indonesia, pemerintah juga telah memperkenalkan produksi bersih (cleaner

production) sejak tahun 1993 melalui program-program yang dikembangkan oleh

BAPEDAL untuk menarik minat masyarakat (community awareness) dalam menerapkan produksi bersih.

Tekad pemerintah untuk melaksanakan produksi bersih ini kemudian dicanangkan pada tahun 1995 sebagai komitmen nasional bagi kalangan industri dan pengusaha untuk dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Tindak lanjutnya pada tahun 1996 telah disusun suatu rencana

pelaksanaan kegiatan produksi bersih yang mencakup arahan pelaksanaan produksi bersih pada seluruh sektor kegiatan. Pola ini dilakukan melalui kegitan bantuan teknis, pengembangan sistem informasi, peningkatan kesadaran dan pelatihan serta pengembangan sistem insentif. Selanjutnya konsep produksi bersih dilaksanakan sejalan dengan program-program lain yang dapat mendorong penerapan produksi bersih seperti label lingkungan (environmental labeling) dan Sistem Manajemen Lingkungan (environmental management system) melalui kegiatan kerjasama dengan instansi terkait misalnya Kementerian Industri dan Perdagangan Republik Indonesia.

Pemasaran pada hakekatnya ditujukan untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Persoalannya, kebutuhan konsumen tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan untuk hidup saja, tetapi juga kebutuhan untuk menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan hidup mereka. Kepedulian konsumen akan lingkungan yang semakin meningkat tersebut perlu diantisipasi oleh semua pihak. Adanya integrasi produksi bersih dengan strategi pemasaran produk maka banyak manfaat

(7)

yang dapat diperoleh bagi semua pihak (win-win situation). Bagi pengusaha ekspor, upaya mengintegrasikan penerapan produksi bersih dengan strategi pemasaran akan membuat produk dan/atau jasa lainnya telah memenuhi per-syaratan tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai produk/jasa yang akrab dengan lingkungan. Dengan demikian, produknya akan dapat diterima oleh konsumen internasional.

Strategi Penerapan Produksi Bersih

Komitmen nasional produksi bersih merupakan upaya penggalangan penerapan produksi bersih secara sukarela oleh berbagai kalangan, baik itu pemerintah, kalangan industri dan jasa, bahkan para peneliti dan konsultan yang terlibat. Komitmen nasional produksi bersih ini antara lain :

1. Produksi bersih dipertimbangkan pada tahap sedini mungkin dalam pengembangan proyek-proyek baru, atau pada saat mengkaji proses dan/atau aktivitas yang sedang berlangsung

2. Semua pihak turut bertanggung jawab dan terlibat dalam program dan rencana tindakan produksi bersih dan bekerjasama untuk mengharmonisasi-kan pendekatan-pendekatan produksi bersih.

3. Agar produksi bersih dapat dilaksanakan secara efektif, semua pendekatan melalui peraturan perundang-undangan, instrumen ekonomi maupun upaya sukarela harus dipertimbangkan.

4. Program produksi bersih menekankan pada upaya perbaikan yang berlanjut. 5. Produksi bersih hendaknya melibatkan pertimbangan daur hidup suatu

produk

6. Produksi bersih menjadi salah satu elemen inti dari sistem manajemen lingkungan, seperti pada ISO 14001.

7. Produksi bersih dilaksanakan agar tercapai daya saing yang lebih besar di pasar domestik maupun internasional melalui peningkatan efisiensi dan perbaikan struktur biaya.

Penerapan produksi bersih hingga saat ini telah memperoleh dukungan yang luas dengan penerapan pada skala nasional maupun internasional melalui program

(8)

Kyoto. Penerapan CDM terutama adalah untuk mengurangi emisi karbon ke atmosfir, dan dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing negara. Selain itu, negara maju khususnya yang tergabung dalam JI (Joint Implementation) harus membantu negara-negara berkembang dalam penerapan CDM. Dengan membantu penerapan CDM tersebut, negara maju dapat memperoleh unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit/ERU) dan sertifikasi pengurangan emisi (Certified

Emission Reduction/CER) dari penerapan CDM tersebut, serta peningkatan jatah

emisinya di dalam negeri melalui perdagangan emisi. Bagi negara berkembang, kerjasama tersebut dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan pembangunan di negara tersebut serta membantu mempercepat tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Itulah sebabnya mengapa CDM dapat diterima oleh banyak negara, karena dinilai fleksibel dan mampu mengendalikan pencemaran lingkungan (Murdiyarso, 2003).

Menurut Murdiyarso (2003) bahwa secara umum untuk dapat menerapkan produksi bersih, diperlukan kelembagaan Produksi bersih sebagai prioritas pada semua aktivitas, dengan cara :

1. Memasukkan konsep produksi bersih ke dalam perundang-undangan, peratur-an dperatur-an kebijakperatur-an nasional.

2. Mengintegrasikan konsep produksi bersih dalam suatu kebijakan dan program departemen sektoral dan pemerintah daerah, diantaranya dengan meneliti peluang untuk memberikan insentif dalam rangka promosi untuk pelaksanaan produksi bersih.

3. Menetapkan komite nasional produksi bersih yang bertugas untuk me-ngembangkan, melaksanakan strategi dan merencanakan produksi bersih. Komite tersebut akan memantau perkembangannya dan melaporkan kepada presiden mengenai kinerja produksi bersih.

4. Mempercepat usaha penerapan produksi bersih secara nasional, berarti mem-fasilitasi diterimanya produksi bersih oleh semua pihak, dan hal ini akan diperkuat dengan diratifikasinya Protokol Kyoto.

5. Mengidentifikasi peluang dan mengembangkan kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang produksi bersih dan mendorong pelaksanaan produksi bersih yang bersifat operasional untuk semua aktivitas.

(9)

6. Mengembangkan program pendidikan dan latihan produksi bersih untuk semua pihak.

7. Bantuan bagi perusahaan skala kecil dan menengah dalam upaya meng-integrasikan konsep produksi bersih, baik bantuan teknis maupun pendanaan. 8. Pengembangan penggunaan instrumen ekonomi untuk dapat mendukung

di-laksanakannya produksi bersih, mengingat produksi bersih perlu dirancang menarik agar dapat meningkatkan partisipasi semua pihak, seperti pemberian insentif.

P

PeenneerraappaannPPrroodduukkssiiBBeerrssiihh

Produksi bersih berbeda dengan kontrol polusi yang merupakan proses pengendalian pencemaran suatu kegiatan setelah kegiatan produksi

(after-the-event) dengan pendekatan reaksi dan perlakuan (react and treat); sedangkan

produksi bersih merupakan suatu tindakan proaktif dengan filosofi antisipasi dan pencegahan (anticipate and prevent) dan menganggap bahwa mencegah lebih baik daripada menangani sesuatu yang telah terjadi. Produksi bersih difokuskan pada upaya pengurangan limbah yang dihasilkan selama siklus hidup dari suatu produk yang dihasilkan berdasarkan kegiatan-kegiatan dan teknologi yang meminimalkan limbah dan energi yang digunakan dengan melibatkan penggunaan desain produk, teknologi yang ramah lingkungan, proses dan kegiatan yang meminimalkan limbah. Teknologi pengolahan limbah (end-of-pipe) tidak berarti menjadi tidak diperlukan dengan diterapkannya konsep produksi bersih, tetapi dengan penerapan filosofi produksi bersih menyebabkan berkurangnya masalah limbah dan polusi yang pada akhirnya mengurangi beban yang harus diolah dengan teknik pengolahan limbah dan untuk beberapa kasus resiko berupa limbah yang dihasilkan dapat dihindari. (Andrews et al. 2002; UNEP DTIE dan DEPA 2000). Beberapa upaya dan teknik-teknik yang dapat dilakukan dalam penerapan konsep produksi bersih disajikan pada Gambar 3. dan Tabel 1.

Keberhasilan penerapan upaya perbaikan melalui pendekatan produksi bersih didukung antara lain melalui:

(1) perubahan sikap (changing attitudes) dari pihak-pihak yang terlibat didalam suatu organisasi yang menerapkan produksi bersih dan hal ini sama penting-nya dengan penerapan perubahan teknologi;

(10)

(2) penerapan pengetahuan (applying know-how) yang berarti peningkatan efisiensi, penerapan teknik manajemen yang lebih baik, perbaikan teknik tata cara kerja (housekeeping practices), dan penyempurnaan kebijakan dan prosedur kerja perusahaan; dan

(3) perbaikan teknologi (improving technology) yang dilakukan antara lain dengan (a) perubahan proses dan teknologi manufaktur; (b) perubahan peng-gunaan input proses (bahan baku, sumber energi, resirkulasi air); (c) perubahan produk akhir atau pengembangan produk-produk alternatif; dan (d) penggunaan kembali limbah dan hasil samping (UNEP DTIE dan DEPA 2000; Maiellaro dan Lerario, 2000).

Gambar 3. Teknik-teknik produksi bersih. Sumber: UNEP DTIE dan DEPA (2000)

TEKNIK PRODUKSI BERSIH Pengurangan Sumber Pencemar Daur Ulang Pengubahan Produk  Penggantian Produk  Pengubahan Komposisi Produk Pengendalian Sumber Pencemar Pengambilan Kembali Diproses untuk:  Mendapatkan kembali bahan asal  Memperoleh produk samping Penggunaan Kembali  Pengembalian ke proses asal  Penggantian

bahan baku untuk proses lain Pengubahan Material Input  Pemurnian material  Penggantian material Pengubahan Teknologi  Pengubahan proses  Pengubahan tata letak,

peralatan/perpipaan  Pengubahan tatanan

dan ketentuan operasi  Otomatisasi peralatan

Tata Cara Operasi  Tindakan-tindakan prosedural  Pencegahan kehilangan  Pemisahan aliran limbah  Peningkatan penanganan material  Penjadwalan produksi

(11)

Tabel 1. Upaya-upaya yang dapat diterapkan pada produksi bersih

Jenis Upaya Keterangan

Good House-keeping

Penerapan produksi bersih melalui perbaikan tatacara kerja dan upaya perawatan yang memadai, sehingga dihasilkan suatu keuntungan yang nyata. Upaya ini memerlukan biaya yang rendah.

Optimisasi Proses

Konsumsi terhadap sumberdaya yang digunakan dapat dikurangi dengan mengoptimalkan proses yang digunakan. Upaya ini memerlukan biaya yang lebih tinggi dibandingkan

house-keeping

Substitusi Bahan Baku

Penerapan produksi bersih melalui upaya ini dapat menghindari masalah lingkungan yang mungkin timbul dengan mengganti bahan-bahan yang berbahaya bagi lingkungan dengan bahan lain yang bersifat lebih ramah lingkungan. Upaya ini ke-mungkinan memerlukan perubahan peralatan proses produksi yang digunakan.

Teknologi Baru

Penerapan produksi bersih melalui upaya ini dapat mengurangi konsumsi sumberdaya dan meminimalkan limbah yang dihasil-kan melalui peningkatan efisiensi operasi kerja. Upaya ini umumnya memerlukan invesitasi modal yang tinggi, tetapi jangka waktu kembali modal (payback periods) umumnya singkat

Desain Produk Baru

Penerapan produksi bersih melalui desain produk baru menghasilkan keuntungan melalui siklus hidup produk tersebut termasuk mengurangi penggunaan bahan-bahan berbahaya, limbah yang dihasilkan, konsumsi energi, dan meningkatkan efisiensi proses produksi. Desain produk baru merupakan strategi jangka panjang yang membutuhkan peralatan produksi baru dan upaya pemasaran yang lebih intensif, tetapi hasil yang diperoleh sangat menjanjikan

Sumber: UNEP DTIE dan DEPA (2000); Maiellaro dan Lerario (2000)

Produksi bersih yang diterapkan pada berbagai bidang memberikan keuntungan antara lain:

(1) perbaikan proses produksi yang dilakukan dan produk yang dihasilkan; (2) penghematan bahan baku dan energi, sehingga mengurangi biaya produksi; (3) peningkatan daya saing sebagai akibat penggunaan teknologi baru dan yang

telah diperbaiki;

(12)

(5) mengurangi upaya yang berkaitan dengan penanganan, penyimpanan, dan pembuangan bahan-bahan berbahaya;

(6) meningkatkan kesehatan, keselamatan, dan moral para pekerja; (7) meningkatkan citra perusahaan; dan

(8) mengurangi biaya penanganan limbah yang dihasilkan (UNEP CCP dan the CRC WMPC, 1999; UNEP DITE dan DEPA 2000; Maiellaro dan Lerario, 2000).

Industri Tapioka

Industri tapioka di Indonesia terbagi menjadi industri berkapasitas kecil, menengah dan besar yang beroperasi secara nasional. Industri tapioka skala kecil adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan tradisional dengan kemampuan produksi sekitar 5 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala menengah adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan yang lebih sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai kemampuan produksi 20-200 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala besar adalah industri yang menggunakan teknologi proses produksi mekanis penuh dan mempunyai kemampuan produksi di atas 200 ton bahan baku per hari (Bapedal, 1996).

Dilihat dari proses pengolahan, industri tapioka digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama industri kecil menggunakan mesin-mesin sederhana dengan kapasitas produksi rendah, modal kecil dan lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dan kelompok kedua merupakan industri besar yang menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas produksi besar, modal kuat dan tenaga kerja sedikit. Skema proses pengolahan tapioka industri kecil dan industri besar dapat dilihat pada Gambar 4. dan Gambar 5.

Tahapan proses produksi industri tapioka skala kecil adalah tahap proses pengupasan bahan baku, pencucian bahan baku, pemarutan ubikayu, proses ekstraksi bubur ubikayu, proses pengendapan dalam bak pengendapan, proses penjemuran menggunakan panas matahari, proses penggilingan tapioka kasar dan pengayakan hingga diperoleh tapioka halus.

(13)

Gambar 4. Skema Proses Pengolahan Tapioka di Industri Skala Kecil Sumber: (Bapedal, 1996)

Tahapan proses produksi di pabrik tapioka modern skala besar adalah tahap pembersihan ubikayu dari pasir atau tanah, pengupasan dapat dilakukan manual dengan tenaga manusia maupun secara mekanis, pemotongan dan pencacahan dilakukan untuk mendapatkan ukuran ubikayu yang lebih kecil untuk memper-mudah pada proses selanjutnya, serta pemarutan yang dilakukan secara mekanis dan biasanya pada proses ini ditambahkan dengan air yang akan menghasilkan bubur ubikayu. Tahap selanjutnya adalah ekstraksi bubur ubikayu yang dilakukan

Ubikayu

Pengupasan

Air

Kulit dan kotoran

Pencucian Pemarutan Ekstraksi Pengendapan Penjemuran Penggilingan Pengayakan Air Air Limbah Ampas Air Air Limbah 1 ton TEPUNG TAPIOKA Bubur ubikayu

Air Pencucian untuk

peralatan Limbah Cair

Limbah Cair

400 kg

(14)

dengan ekstraktor (saringan berputar berbentuk kerucut) yang terdiri dari ayakan

stainless steel atau filter cloth dengan bantuan air cucian yang mengandung asam

sulfide untuk menjamin pemisahan pati dengan ampasnya dan untuk menghindari terjadinya proses mikrobiologi. Setelah dilakukan ekstraksi bubur ubikayu, tahap selanjutnya adalah pengeringan dan pengemasan. Kegiatan ini terdiri dari peng-hilangan air pada bubur tepung dengan menggunakan dewatering, pengeringan tepung basah dengan flash dryer atau pneumatic dryer, pengumpulan tepung kering dengan cyclone dan pengayakan atau penyaringan yang dilakukan untuk menyaring ukuran tepung sesuai kebutuhan sebelum dimasukkan ke silo (ruangan penyimpan) untuk pengemasan tepung tapioka yang selanjutnya siap dipasarkan.

Gambar 5. Skema Proses Produksi Tapioka Industri Skala Besar (Sumber: KLH, 2004 dalam Purwati, 2010)

(15)

Limbah Industri Tapioka

Menurut Winarno (1986) yang dimaksud limbah adalah kotoran atau buangan yang tercermin dalam kata pelimbahan yang berarti tempat penampung kotoran atau buangan. Thompson (1973) mengatakan bahwa sebagian besar limbah merupakan komponen penyebab pencemaran yang terdiri dan zat atau bahan yang tidak mempunyai kegunaan lagi bagi masyarakat.

Limbah industri pertanian kebanyakan menghasilkan limbah yang bersifat cair atau padat yang masih kaya dengan zat organik yang mudah mengalami penguraian (Algamar, 1986). Industri yang ada membuang umumnya membuang limbahnya ke perairan terbuka, sehingga dalam waktu yang relatif singkat akan terjadi bau busuk sebagai akibat terjadinya fermentasi limbah.

Kunaefi (1982) berpendapat bahwa limbah industri adalah buangan yang berasal dari industri sebagai akibat dari produksi. Pengusaha industri yang akan membuang limbah diwajibkan mengolah terlebih dahulu untuk mencegah pen-cemaran lingkungan hidup di sekitarnya dengan metode pengolahan limbah yang dapat dilakukan secara fisik, kimia, biologi atau kombinasi untuk mengatasi pen-cemaran. Sugiharto (1987) mengatakan bahwa air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi, serta tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air, dan derajat pengolahan.

Limbah dari industri tapioka bisa dibedakan menjadi 3 macam yaitu limbah padat, cair dan gas (Tjiptadi, 1985). Limbah padat dari industri tapioka adalah kulit ubikayu, ampas atau onggok, dan lindur (elot). Limbah kulit ubikayu adalah limbah yang dihasilkan dari proses pengupasan kulit ubikayu. Persentase jumlah limbah kulit ubikayu bagian luar sebesar 0,5-2% dari berat total ubikayu segar dan limbah kulit ubikayu bagian dalam sebesar 8-15% (Hikmiyati et al., 2009). Kulit ubikayu ini biasanya juga digunakan untuk pakan ternak dan selebihnya dibuang karena mengandung Cyanogenic glucosides yang dapat meracuni hewan ternak (Nursita, 2005). Komposisi kimia kulit ubikayu dapat dilihat pada Tabel 2.

Ampas (onggok) adalah limbah dan industri tapioka yang dihasilkan dari proses pemerasan dan penyaringan. Komponen penting yang terdapat dalam onggok adalah pati dan selulosa. Onggok juga mengandung air dan karbohidrat yang cukup tinggi serta kandungan protein kasar dan lemak yang rendah.

(16)

Tabel 2. Komposisi kimia kulit ubikayu

Komposisi kimia Nilai (%)

Air* Abu* Lemak kasar* Serat kasar* Protein kasar* 67,7438 1,8629 1,4430 10,5952 6,0360 C** H** O** N** S** Ash** 59,31 9,78 28,74 2,06 0,11 0,3

Sumber: *) Laboratorium Fakultas Peternakan,Universitas Diponegoro (2008) dalam Hikmiyati, et al. (2009)

**) Ikawati, et al. (2009)

Banyaknya onggok yang dihasilkan dipengaruhi oleh varietas ubikayu, umur ubikayu, dan kasar-halusnya parutan yang digunakan. Varietas ubikayu yang bermutu baik dapat menghasilkan pati dengan rendemen tinggi. Saat musim hujan sebagian industri tapioka banyak membuang onggok bersama dengan air limbahnya, sehingga airnya keruh dan pekat. Hal ini sangat mengganggu kesehatan dan bahkan dapat mematikan biota air.

Onggok yang dikeluarkan industri kecil karena keterbatasan pengetahuan dan teknologi yang dimiliki maka onggok masih mengandung pati dengan konsentrasi cukup tinggi (Ira, 1991 dalam Chardialani, 2008). Adapun komposisi kimia onggok dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi kimia onggok.

Komposisi kimia Nilai (%)

Karbohidrat* Protein Lemak Serat kasar* Air Abu 68 3,6 2,3 10 20,31 4,4 Sumber : *) Susijahadi (1997) dalam Pratama (2009)

Lindur atau elot adalah limbah padat yang dihasilkan dari sisa proses pengendapan pati. Limbah elot ini masih mengandung kadar pati dengan kualitas rendah, sehingga bila elot ini langsung dibuang bersamaan dengan air limbah ke perairan, maka elot akan meningkatkan beban pencemaran yang akan terjadi di perairan.

(17)

Air limbah industri tapioka berasal dari proses pencucian bahan baku, penyaringan bubur ubikayu (ekstraksi) dan pengendapan pati. Kualitas air limbah industri tapioka dapat ditentukan dengan beberapa parameter uji. Parameter uji yang pokok dalam air limbah industri tapioka antara lain BOD5, COD, padatan

terlarut, padatan tersuspensi, sianida (HCN) dan pH. Menurut Fajarudin (2002), karakteristik limbah cair industri tapioka meliputi:

1. Warna

Warna air limbah transparan disertai suspensi berwarna putih. Zat terlarut dan tersuspensi yang mengalami penguraian hayati dan kimia akan berubah warna. Hal ini merupakan proses yang paling merugikan, karena kadar oksigen di dalam air limbah menjadi nol, sehingga air limbah berubah menjadi warna hitam dan busuk.

2. Bau

Bau industri tapioka tidak enak disebabkan oleh adanya pemecahan zat organik oleh mikroba. Bau menyengat yang timbul di perairan sungai atau salur-an, biasanya timbul apabila sungai atau saluran tersebut sudah menjadi anaerob atau tidak ada oksigen yang terlarut. Bau tersebut timbul karena penyusun protein dan karbohidrat terpecah, sehingga timbul bau busuk dari gas alam sulfida.

3. Kekeruhan

Adanya padatan terlarut dan tersuspensi di dalam air limbah tapioka menyebabkan air keruh. Kekeruhan ini terjadi Karena zat organik atau zat-zat tersuspensi dari pati yang tercecer atau zat organik terlarut yang sudah terpecah, sehingga air limbah berubah menjadi emulsi keruh.

4. BOD (Biochimical Oxigen Demand)

Padatan yang terlarut dalam air buangan terdiri dari zat organik dan anorganik. Zat organik misalnya protein, karbohidrat, lemak, dan minyak. Protein dan karbohidrat lebih mudah terpecah melalui proses hayati menghasilkan amonia, sulfida, dan asam lainnya. Sedangkan lebih stabil terhadap perusakan hayati, namun apabila ada asam mineral dapat menguraikan asam lemak menjadi gliserol. Air limbah industri tapioka mengandung pati, sedikit lemak, protein dan zat organik lainnya yang ditandai banyaknya zat-zat terapung dan menggumpal. Jumlah zat organik yang terlarut dalam air limbah tapioka dapat diketahui dengan

(18)

melihat nilai BOD. Angka BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk keperluan aktivitas mikroba dalam memecah zat organik secara biologis di dalam air limbah. Angka BOD dinyatakan dalam satuan mg/Latau ppm (part per

million) dan biasanya pula dinyatakan dalam beban yaitu gram atau kilogram per

satuan waktu.

5. COD (Chimical Oxigen Demand)

Chimical Oxigen Demand merupakan parameter air limbah yang

menunjuk-kan jumlah zat organik biodegradasi dan non biodegradasi dalam air limbah. Zat tersebut dapat dioksidasi oleh bahan kimia K2Cr2O7 dalam asam, misalnya sulfat,

nitrit kadar tinggi, dan zat-zat reduktor lainnya. Besarnya angka COD biasanya dua sampai tiga kali lebih besar dari BOD. Kisaran angka COD adalah 7.000-30.000 mg/L.

6. Derajat Keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) air limbah tapioka sangat dipengaruhi oleh kegiatan mikroba dalam pemecahan bahan organik. Air buangan cenderung asam, dan pada keadaan asam ini terlepas zat-zat yang mudah menjadi gas. Dari hasil percobaan, pada saat pembuatan tapioka pH larutan 6,51 namun setelah air limbah berumur tujuh jam mulai terjadi penurunan pH menjadi 5,8 setelah 13 jam pH menjadi 4,91 dan setelah satu hari menjadi pH 4,84 (Nurhasan dan Pramudyanto, 1983).

7. Padatan Tersuspensi

Padatan tersuspensi mempengaruhi kekeruhan air dan warna air. Apabila terjadi pengendapan dan pembusukkan zat-zat tersebut di dalam badan perairan penerima air limbah, maka akan mengurangi nilai guna perairan tersebut. Padatan tersuspensi di dalam air cukup tinggi, berkisar 1.500-5.000 mg/L. Padatan tersuspensi ini merupakan suspensi pati yang terendapkan pada pengendapan tingginya kandungan padatan tersuspensi menandakan bahwa proses pengendapan belum sempurna.

8. Asam Sianida (HCN)

Selama ini dikenal ada dua jenis ubikayu, yaitu ubikayu manis dan ubikayu pahit. Kriteria manis dan pahit biasanya berdasarkan kadar asam sianida (HCN)

(19)

yang terkandung dalam umbi ubikayu. Darjanto dan Muryati (1980) membagi ubikayu menjadi tiga golongan sebagai berikut.

a. Golongan yang tidak beracun (tidak berbahaya), mengandung HCN 20 - 50 mg per kg umbi.

b. Golongan yangberacun sedang, mengandung HCN 50 – 100 mg per kg umbi. c. Golongan yang sangat beracun, mengandung HCN lebih besar dari 100 mg

per kg umbi.

Menurut Grace (1977), kandungan asam sianida semula diperkirakan berhubungan dengan varietas ubikayu, namun kemudian ternyata juga bergantung pada kondisi pertumbuhan, tanah, kelembaban, suhu dan umur tanaman. Komposisi kimia tepung dan pati ubikayu jenis pahit dan manis ternyata hampir sama, kecuali kadar serat dan kadar abu pada tepung ubikayu manis lebih tinggi dari tepung ubikayu pahit (Rattanachon et al. 2004). Selanjutnya Rattanachon et

al. (2004) menerangkan bahwa viskositas tepung dan pati ubikayu tergantung

varietasnya, dan tidak ada hubungannya dengan kriteria manis atau pahit.

Industri tapioka kebanyakan menggunakan bahan baku ubikayu beracun, karena harganya murah. Ubikayu mengandung senyawa sianogenik linamarin. Komponen ini apabila terhidrolisis dapat menjadi glukosa, aseton, dan asam sianida (HCN). HCN terhidrolisa jika kontak dengan udara (O2), oleh karena itu

kandungan sianida bukan penyebab utama timbulnya pencemaran. Menurut Barana dan Cereda (2000) limbah cair industri tapioka memiliki kandungan sianida sebanyak 33,59 ppm.

HCN pada ubikayu yang telah tua ditandai oleh membirunya umbi pada ubikayu ataupun pada kulitnya. HCN juga terletak pada daun ubikayu, ditandai dengan pahitnya rasa daun pada ubikayu tersebut. HCN diketahui dapat larut dalam air. Hal ini terlihat bahwa ubikayu yang mengalami proses pencucian akan mengalami perubahan warna biru perlahan memudar kemudian menjadi agak keputih-putihan kembali. Hal itu membuktikan bahwa kadar asam sianida ubikayu akan menurun kadarnya setelah mengalami pencucian, perendaman, perebusan, dan penjemuran.

Air limbah dengan karakteristik tersebut harus ditangani dengan serius agar tidak mencemari lingkungan dan memenuhi standar baku mutu air limbah di

(20)

Provinsi Lampung. Spesifikasi baku mutu air limbah industri tapioka didasarkan pada Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010 tentang baku mutu air limbah usaha dan/atau kegiatan di Provinsi Lampung. Baku mutu untuk air limbah industri tapioka dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Baku Mutu Air Limbah Industri Tapioka

Parameter Kadar Maksimal BOD (5 Hari, 20OC)

COD

Total Padatan Tersuspensi pH Sianida Debit 100 mg/L 250 mg/L 60 mg/L 6 – 9 0,2 mg/L 25 m3 per ton produk Sumber : Peraturan Gubernur Lampung Nomor 7 Tahun 2010

Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif

Biogas adalah gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), limbah agroindustri, sampah biodegradable atau setiap limbah organik yang biodegradable dalam kondisi anaerobik. Biogas merupakan gas yang tidak berwarna, sangat tinggi dan cepat daya nyalanya, sehingga sejak biogas berada pada bejana pembuatan sampai penggunaannya untuk penerangan atau memasak, harus selalu dihindarkan dari api yang dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan (Suriawiria, 2005). Sifat Biogas adalah 20 % lebih ringan dari udara dan mempunyai satu suhu nyala di sekitar 650ºC sampai dengan 750ºC. Nilai kalor dari biogas adalah 20 Mega Joules (MJ) per m3 dan membakar dengan tingkat efisiensi 60 persen di suatu dapur biogas yang konvensional.

Biogas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembangkit listrik, pemanas ruangan, memasak, dan pemanas air. Jika dikompresi, biogas dapat menggantikan gas alam terkompresi (CNG) yang digunakan pada kendaraan. Biogas yang telah dimurnikan akan memiliki karakteristik yang sama dengan gas alam. Akan tetapi gas tersebut harus sangat bersih untuk mencapai kualitas pipeline. Air (H2O),

hydrogen sulfide (H2S) dan partikulat harus dihilangkan jika terkandung dalam

jumlah yang besar di gas tersebut. Apabila biogas harus digunakan tanpa pembersihan yang ekstensif, maka biasanya gas ini dicampur dengan gas alam

(21)

untuk meningkatkan pembakaran. Biogas yang telah dibersihkan untuk mencapai kualitas pipeline dinamakan gas alam terbaharui. Nilai potensial pemanfaatan biogas ini akan terus meningkat karena adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang men-janjikan. Konversi energi biogas dan penggunaannya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Konversi energi biogas

Penggunaan Energi 1 m3 biogas

Penerangan* Listrik*

Pengganti bahan bakar** Minyak Tanah

Solar

sebanding dengan lampu 60 – 100 W selama 6 jam

sebanding dengan 1,25 Kwh listrik 0,62 liter

0,52 liter

Sumber: *) Kristoferson dan Bolkaders (1991) dalam Haryati (2006) **) Ditjen PPHP Departemen Pertanian RI (2009)

Gas metan adalah gas yang mengandung unsur satu atom C dan empat atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Satu mol metana memerlukan dua mol oksigen untuk dapat dioksidasi menjadi CO2 dan air, akibatnya setiap produksi 16

gram metana dapat menurunkan COD air limbah sebanyak 64 gram. Pada suhu dan tekanan standar, setiap stabilisasi 1 pound COD dapat meng-hasilkan 5,62 ft3 metana atau 0,35 m3 metana/kg COD (Grady dan Lim, 1980 dalam Haryati, 2006). Komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Komposisi biogas

Komposisi % Metana (CH4) 55 - 75

Karbon dioksida (CO2) 25 - 45

Nitrogen (N2) 0 - 0,3

Hidrogen (H2) 1 - 5

Hidrogen sulfida (H2S) 0 - 3

Oksigen (O2) 0,1 - 0,5

Gambar

Gambar 3.  Teknik-teknik produksi bersih.
Tabel 1.  Upaya-upaya yang dapat diterapkan pada produksi bersih
Gambar 4. Skema Proses Pengolahan Tapioka di Industri Skala Kecil  Sumber: (Bapedal, 1996)
Gambar 5. Skema Proses Produksi Tapioka Industri Skala Besar    (Sumber: KLH, 2004 dalam Purwati, 2010)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu tugas pengawas adalah penyusunan program kerja pengawas yang dilandasi oleh hasil pengawasan tahun sebelumnya dalam pembinaan terhadap kepala

Di zaman Globalisasi saat ini banyak pengaruh yang mempengaruhi remaja. Ada pengaruh yang positif ada juga pengaruh yang negatif. Sebagai remaja yang baik kita harus

Alhamdullilahhirobbilalamin, kami panjatkan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmatnya serta nabi Muhammad SAW sebagai panutan umat, sehingga kami dapat

b. Siapapun yang memiliki 15 Dinar selama 10 bulan, lalu menggunakannya untuk membeli barang dagangan dan setelah 2 bulan berjualan memperoleh keuntungan sehingga uangnya

Orang tua juga tidak boleh menutup rapat-rapat dari perkembangan era digital bagi anak dikarenakan dibalik perkembangan era digital tersebut ada banyak hal

Leksem wacana anaphora ini yang ditemukan dalam data karangan cerpen tulisan mahasiswa prodi pendidikan Bahasa Indonesia merupakan jenis deiksis deiksis yang mengacu

Implementasi prinsip ini da- lam mendesain strategi Mobile Learn- ing adalah sebagai berikut: (a). Siswa harus diberitahu secara eksplisit out- come belajar sehingga