• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Perilaku Nyamuk Anopheles

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan Perilaku Nyamuk Anopheles"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi dan Perilaku Nyamuk Anopheles

Nyamuk Anopheles menurut klasifikasi dalam ilmu hewan berada dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Heksapoda atau Insecta, ordo Diptera, subordo Nematocera, famili Culicidae, subfamili Anophelinae, dan genus Anopheles (Russell et al. 1963). Spesies Anopheles punctulatus termasuk sub genus Cellia, serie Neomyzomyia. Penamaan spesies A. punctulatus pertama kali diberikan oleh Donitz pada tahun 1901 (Bonne-Wepster & Swellengrebel 1953).

Nyamuk A. punctulatus Donitz mempunyai ciri morfologis yang hampir sama dengan anggota Punctulatus groups lainnya yaitu adanya spot atau bintik/noda gelap pada sayap (punctus = spot). Nyamuk betina dewasa A. punctulatus mempunyai ciri-ciri morfologis yaitu pada bagian kepala terdapat probosis yang sama panjang dengan palpi, pada palpi terdapat gelang-gelang pucat/putih, pada ujung palpi dengan hubungan putih lebar, pangkal palpi dengan hubungan putih sempit, sepertiga atau setengah ujung probosis dengan sisik-sisik pucat (Lampiran 13-14).

Pada toraks/dada terdapat mesonotum bermotif kuning kecoklatan sampai hitam kecoklatan. Pada propleura terdapat 2 sampai 3 seta/rambut, jarang ditemukan 1 atau 4-6 seta. Terdapat 4 seta di bawah sternopleural dan 5-7 seta di atas sternopleural. Ada sekelompok 4 sampai 10 seta di atas mesepimeral tetapi di bawah mesepimeral kosong. Sedangkan pada sayap (costa) terdapat noda gelap lebih dari 4 dan urat sayap 6 (sub costa) terdapat noda gelap lebih dari 4. Pada vena 2-6 terdapat banyak noda gelap, dan bercahaya putih kekuningan. Halter dengan knob berwarna hitam (Bonne-Wepster & Swellengrebel 1953).

Kaki berwarna kecoklatan sampai kehitaman ditandai dengan titik-titik putih. Pada abdomen terdapat integumen berwarna coklat tua sampai hitam, pada segmen bagian belakang terdapat sisik rambut kekuningan Tidak terdapat sisik pada tergit I sampai V dan sternit I sampai VI, beberapa sisik terdapat pada tergit VI dan VII serta sternit VII, tidak

(2)

terdapat sisik pada tergit dan sternit VIII. Sersi dengan sisik gelap (Lampiran 13-15).

Perilaku menghisap darah hanya dilakukan oleh nyamuk betina yang diperlukan untuk perkembangan telurnya. Berbagai spesies nyamuk mempunyai kegiatan menggigit dan menghisap darah yang berbeda menurut umur, waktu (siang-malam) dan lingkungannya. Nyamuk tertarik pada cahaya, pakaian berwarna gelap dan oleh adanya manusia atau hewan. Hal ini disebabkan oleh perangsangan bau zat-zat yang dikeluarkan manusia dan hewan, terutama karbondioksida (CO²) dan beberapa asam amino, dan lokasi yang dekat pada suhu hangat serta kelembaban (Reid 1968).

Beberapa nyamuk ada yang lebih menyukai menggigit manusia (antropofilik), aktivitas kehidupannya sangat menyukai berdekatan dengan manusia, seperti dekat tempat kerja manusia atau tempat manusia berkumpul karena mempunyai habitat yang nyaman untuk berkembang biak. Adapula nyamuk yang lebih menyukai mengigit hewan atau ternak (zoofilik), karena ia mendapat habitat yang sesuai untuk berkembangbiak bagi bentuk pradewasa maupun dewasanya. Nyamuk yang tidak memilih atau membedakan obyek yang digigit (antropozoofilik), ia dapat berkembangbiak dalam lingkungan dekat manusia maupun hewan (Hadi & Koesharto 2006).

Barodji et al. (2003) melaporkan di Desa Hargorejo dan Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kulonprogo, selama penangkapan nyamuk, hanya A. balabacencis dan A. maculatus yang tertangkap menggigit orang baik di dalam maupun di luar rumah. Nyamuk A. balabacencis paling dominan menghisap darah di dalam rumah, dan A. maculatus dominan menghisap darah di luar rumah. Adapun A. aconitus, A. annularis, A. barbirostris, A. flavirostris, A. kochi dan A. vagus banyak ditemukan di kandang dan sekitarnya.

Proporsi darah manusia yang terdapat dalam lambung nyamuk, dinyatakan dengan Human Blood Index (HBI). Di Desa Mebat Provinsi Madang Papua New Guinea dilaporkan bahwa nilai HBI nyamuk A. farauti sebesar 11-45%, nilai HBI A. koliensis sebesar 6-82% dan nilai HBI A. punctulatus sebesar 12-50% (Burkot & Graves 2004).

(3)

Adapun nilai HBI nyamuk A. aconitus di Dukuh Kampek Kabupaten Jepara sebesar 18,75%, nilai HBI A. barbirostris dan A. sundaicus di Sulawesi Selatan masing-masing sebesar 3% dan 72% (Susanna 2005). Di Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi nyamuk A. aconitus lebih menyukai menggigit manusia, hal ini dibuktikan melalui hasil uji presipitin yang menunjukkan bahwa A. aconitus yang tertangkap mengandung darah manusia sebesar 65,7% dan darah hewan 34,3%, sedangkan A. barbirostris mengandung darah manusia sebesar 1,47% dan darah hewan 98,52% (Munif et al. 2007).

Boewono (1986), melaporkan dalam penelitiannya di Desa Kaligading Kecamatan Boja Kabupaten Kendal, untuk mengurangi kontak antara orang dengan nyamuk di dalam rumah khususnya A. aconitus, dilakukan dengan mengatur penempatan ternak (sapi dan kerbau) berdekatan dengan rumah. Hal ini dikuatkan dengan penelitian Soedir (1985) di Desa Glagah Kecamatan Temon Kabupaten Kulonprogo, menyatakan bahwa sapi dan domba mempunyai daya tarik lebih besar untuk digigit nyamuk daripada manusia.

Adapun Garjito et al. (2004) dalam penelitiannya di Desa Sidoan dan Kasimbar Kabupaten Parigi-Moutong Sulawesi Tengah, menyatakan bahwa perilaku A. barbirostris dan A. subpictus, lebih menyukai menghisap darah di luar rumah (eksofagik) yaitu sebesar 53,7%, daripada menghisap darah di dalam rumah (endofagik) yaitu sebesar 46,3%. Sedangkan dalam hal kesukaan beristirahat, kedua nyamuk ini lebih banyak tertangkap di sekitar kandang sapi (80,97%) daripada yang hinggap di dinding dalam rumah (19,03%), hal ini dapat dikatakan spesies tesebut lebih menyukai beristirahat di luar rumah (eksofilik) dan kemungkinan lebih menyukai darah hewan (zoofilik).

Beberapa spesies nyamuk memasuki rumah untuk menghisap darah (endofagik) dan sebelum atau sesudah menghisap darah nyamuk hinggap atau istirahat di dalam rumah (endofilik). Adapula spesies nyamuk yang menghisap darah di dalam rumah (endofagik), tetapi menghabiskan waktu istirahat di luar rumah (eksofilik). Selanjutnya ada nyamuk yang menghisap darah di luar rumah (eksofagik) dan istirahatnya di luar rumah (eksofilik) (Harwood &

(4)

James 1979; Gunawan 2000; Burkot & Graves 2004; Hadi & Koesharto 2006).

Kepadatan menghisap darah jenis nyamuk tertentu biasanya diukur menggunakan MBR (man biting rate) atau MHD (man hour density). Di Dusun Nganggrung Desa Kamongan Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang dilaporkan kepadatan menghisap darah nyamuk A. aconitus tertangkap di dalam rumah sebesar 0,046 ekor/orang/jam dan di luar rumah sebesar 0,028 ekor per orang per jam, sedangkan kepadatan A. balabacencis tertangkap di dalam rumah sebesar 0,13 ekor per orang per jam dan di luar rumah sebesar 0,14 ekor per orang per jam (Boewono & Ristiyanto 2004).

Effendi (2002) dalam penelitiannya di Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo melaporkan bahwa nyamuk A. maculatus dan A. vagus, dengan populasi tertinggi tertangkap di kandang sapi sehingga lebih bersifat eksofagik, sedangkan nyamuk A. balabacensis lebih bersifat endofagik. Nyamuk A. maculatus dan A. balabacensis mempunyai puncak aktivitas menghisap darah pada tengah malam antara pukul 22.00-24.00, sedangkan A. vagus mempunyai puncak aktivitas menghisap darah pada pukul 23.00-24.00. Berbeda dengan Barodji et al. (2003) melaporkan di Desa Hargorejo dan Desa Hargotirto Kecamatan Kokap Kulonprogo, perilaku menghisap darah A. maculatus terjadi dua kali puncak kepadatan yaitu sekitar jam 21.00-22.00 dan jam 03.00-04.00. Adapun A. balabacensis puncak kepadatan sekitar jam 19.00-21.00 dan jam 04.00-02.00.

Pengamatan terhadap perilaku nyamuk A. letifer di Kelurahan Tumbang Tahai Palangkaraya Kalimantan Tengah, dilaporkan bahwa nyamuk ini cenderung bersifat antropofilik dan eksofagik dengan puncak aktivitas menggigit pada jam 19.00-20.00 (Juliawaty 2008). Di Desa Sawahan Kabupaten Trenggalek Jawa Timur ditemukan lima jenis nyamuk Anopheles yang terdiri atas A. vagus, A. maculatus, A. flavirostris, A. barbirostris dan A. kochi. Kelima jenis nyamuk yang tertangkap tersebut bersifat eksofagik dan eksofilik (Mardiana et al. 2002).

(5)

2.2. Lingkungan Kehidupan Larva Anopheles

Habitat larva nyamuk Anopheles sangat bervariasi tergantung kepada spesies nyamuknya. Habitat larva Anopheles stephensi di Bombay menjadi dua bagian yaitu (1) habitat permanen berupa sumur, tangki air, mata air, dan (2) habitat sementara berupa genangan air hujan, kaleng-kaleng bekas.

Di Indonesia tempat perkembangbiakan larva Anopheles spp berbeda-beda pada setiap lokasi. Mardiana et al. (2002) melaporkan bahwa tempat perkembangbiakan larva A. barbirostris, A. vagus, A. subpictus dan A. sundaicus di Desa Sawahan dan Damas Kabupaten Trenggalek Jawa Timur berupa sawah, lagun dan kolam bekas penampungan ubur-ubur yang tidak dipergunakan lagi. Hal ini berbeda dengan penelitian Shinta et al. (2003) di daerah pantai Banyuwangi Jawa Timur, melaporkan bahwa larva A. barbirostris dan A. sundaicus ditemukan di habitat lagun, kobakan dan mata air. Larva A. vagus terdapat di dua habitat yaitu lagun dan kobakan, sedangkan larva A. subpictus ditemukan hanya pada satu habitat yaitu mata air.

Jastal et al. (2003) melaporkan di Desa Siboang dan Desa Sidoan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah, habitat larva A. barbirostris berupa genangan air tawar yang ditumbuhi tumbuhan air dekat pantai, dekat sungai, mata air, kolam ikan terlantar, rawa dan sawah. Adapun A. subpictus umumnya ditemukan di daerah-daerah pantai.

Habitat yang sesuai bagi larva A. balabacensis di Desa Hargotirto Kokap Kulonprogo adalah pada perairan yang mengalir maupun tidak mengalir, banyak ternaungi sehingga cahaya matahari tidak dapat menembus langsung dan dasar air berupa batu (Santoso 2002). Munif et al. (2007) melaporkan di Desa Langkap Jaya Kecamatan Lengkong Kabupaten Sukabumi, tempat perkembangbiakan larva A. barbirostris, A. vagus, A. aconitus berupa sawah dan saluran irigasi.

2.2.1 Suhu Air

Suhu air pada habitat nyamuk mempunyai peranan yang penting dalam kelangsungan dan pertumbuhan baik telur, larva dan pupa. Larva tidak dapat

(6)

hidup pada suhu yang terlalu tinggi (ekstrim), pertumbuhan larva akan optimal bila pada suhu air yang hangat dibandingkan dengan suhu yang dingin. Suhu yang tinggi akan merangsang pertumbuhan plankton sehingga tersedia makanan bagi larva (WHO 1975).

Russell et al. (1963) melaporkan suhu optimum untuk perkembangan telur A. annularis, A. culicifacies, A. stephensi dan A. subpictus berkisar

antara 18 C sampai 30 C. Adapun Sembiring (2005) melaporkan larva A. sundaicus ditemukan pada berbagai habitat di Asahan Sumatera Utara pada

kisaran suhu air 24,5 C sampai 29,4 C. Habitat yang disukai larva A. maculatus dan A. balabacencis di Desa Hargotirto Kabupaten Kulonprogo pada suhu air antara 24,10 C sampai 24,15 C (Santoso 2002). Larva A. sundaicus di Desa Canti, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dilaporkan berada pada habitat tambak benur dengan kondisi suhu air berkisar antara 32-34 C (Suwito et al. 2009).

2.2.2. Kadar Garam

Kadar garam atau salinitas adalah jumlah garam-garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu (Nugroho 2006). Shinta et al. (2003) melaporkan kadar garam pada habitat perkembangbiakan Anopheles spp di Dusun Parasputih Desa Bangsring Kecamatan Wongsorejo Banyuwangi, berkisar antara 0-4‰. Adapun Budasih (1993) melaporkan larva A. sundaicus ditemukan pada habitat di Sungai Larem dan Sungai Legundi Desa Labuhan Lombok Timur dengan salinitas berkisar antara 1‰ sampai 9‰.

Hal yang berbeda dilaporkan oleh Susanna (2005), bahwa tempat perindukan larva A. sundaicus di Desa Nongsa Pantai Batam terdapat pada bekas galian pasir dengan salinitas optimum berkisar 12‰ sampai 20‰. Di lagun Ngerumpuan Desa Damas Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek, larva A. sundaicus dan A. vagus ditemukan pada kondisi kadar garam 9‰ (Mardiana et al. 2002). Salinitas berkisar antara 2,2‰ sampai 2,5‰ merupakan salinitas yang paling baik untuk perkembangan larva A. farauti di Honiara Kepulauan Solomon (Bell et al. 1999).

(7)

Sugiarto et al. (2009) melaporkan lokasi yang berpotensi sebagai tempat perindukan jentik Anopheles sp di Kayangan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat berupa lagoon, sungai dan kobakan air dengan kadar garam 2-7‰. Larva A. sundaicus di Desa Canti, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dilaporkan berada pada habitat tambak benur dengan kondisi kadar garam berkisar antara 0-25‰ (Suwito et al. 2009).

2.2.3 Derajat Keasaman Air (pH)

Keasaman air (pH) mempengaruhi perkembangan larva nyamuk, baik perkembangan larva menjadi pupa maupun mempengaruhi pigmentasi tubuh. Perkembangan larva A. farauti di laboratorium membutuhkan pH optimum yaitu pH 8. Sedangkan pH 5 dan pH 9 merupakan faktor pembatas perkembangan larva A. farauti (Bowolaksono 2001).

Chadijah (2005) melaporkan larva A. barbirostris, A. nigerrimus, A. kochi, A. tesselatus dan A. vagus ditemukan pada habitat di Desa Tonga Kabupaten Donggala pada kisaran pH 6,5 sampai 7,0. Sedangkan Sembiring (2005) melaporkan larva A. sundaicus ditemukan pada habitat di Asahan Sumatera Utara pada kisaran pH 7,0 sampai 7,8. Larva A. sundaicus di Desa Canti, Kecamatan Rajabasa, Lampung Selatan dilaporkan berada pada habitat tambak benur dengan kondisi pH berkisar antara 6,2-7,2 (Suwito et al. 2009).

Habitat yang disukai larva A. maculatus dan A. balabacencis di Desa Hargotirto Kabupaten Kulonprogo mempunyai pH air antara 7,12 sampai 7,20

(Santoso 2002). Di lokasi transmigrasi Manggala Lampung Utara, larva A. barbirostris, A. annularis dan A. vagus ditemukan di sawah, rawa dan parit

dengan pH 4,5 sampai 7,0 (Boesri 1994). Adapun di Kecamatan Srumbung Magelang, A. balabacensis banyak ditemukan pada genangan air di kebun salak dengan pH 6,70 sampai 7,2 (Boewono & Ristiyanto 2004).

(8)

2.3 Faktor Cuaca

2.3.1 Pengaruh Suhu Udara

Nyamuk adalah binatang berdarah dingin, yang tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri terhadap perubahan-perubahan di luar tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25-27 C, pertumbuhan nyamuk akan terhenti bila suhu kurang dari 10 C atau lebih dari 40 C. Toleransi terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuknya, tetapi umumnya suatu spesies nyamuk tidak akan tahan lebih lama bila suhu lingkungan naik 5-6 C di atas batas suhu normal (WHO 1975).

Munif et al. (2007) melaporkan A. barbirostris, A. aconitus dan A. maculatus yang tertangkap di Desa Langkap Jaya Kecamatan Lengkong Sukabumi pada saat kondisi suhu berkisar antara 21-22 C. Sulaeman (2004) menyatakan ada korelasi antara peningkatan suhu dengan intensitas menghisap darah A. barbirostris di Desa Bolalapu Sulawesi Tengah, nyamuk ini cenderung meningkat padat populasinya setiap bulan dan aktif pada suhu udara 27,5-27,8 C.

Juliawaty (2008) melaporkan A. letifer yang tertangkap di Kecamatan Bukit Batu Palangkaraya pada Januari-Maret 2008 dengan kondisi suhu udara rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 23-26 C. Adapun Yahya (2009) menyatakan puncak aktivitas menggigit Mansonia uniformis di Desa Jambu Ilir Kabupaten Ogan Komering Ilir selama bulan Agustus-Desember 2008 terjadi pada saat suhu udara berkisar 26-29 C.

2.3.2 Pengaruh Kelembaban udara

Kelembaban mempengaruhi kelangsungan hidup nyamuk, kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Sistem pernapasan nyamuk menggunakan trakea dan spirakel yang terbuka, sehingga pada waktu kelembaban rendah akan terjadi penguapan air dalam tubuh nyamuk mengakibatkan keringnya cairan tubuh nyamuk (WHO 1975). Kelembaban 60% merupakan batas yang paling rendah untuk memungkinkan perkembangbiakan nyamuk. Pada kelembaban yang lebih tinggi nyamuk

(9)

menjadi aktif dan lebih sering menggigit sehingga meningkatkan penularan penyakit malaria (Harijanto 2000).

Juliawaty (2008) menyatakan A. letifer tertangkap di Kecamatan Bukit Batu Palangkaraya pada Januari-Maret 2008 dengan kondisi kelembaban udara di lokasi penelitian berkisar antara 80-87%. Yahya (2009) menyatakan puncak aktivitas menggigit Mansonia uniformis di Desa Jambu Ilir Kabupaten Ogan Komering Ilir selama bulan Agustus-Desember 2008 terjadi pada saat kelembaban udara rata-rata sebesar 79,3%. Munif et al. (2007) melaporkan A. barbirostris, A. aconitus dan A. maculatus yang tertangkap di Desa Langkap Jaya Kecamatan Lengkong Sukabumi pada saat kondisi kelembaban udara berkisar antara 80-90 %.

2.3.3 Pengaruh Curah Hujan

Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan nyamuk. Hujan yang terlalu besar akan menghanyutkan larva, hujan yang terlalu kurang akan menyebabkan kekeringan, mengakibatkan berpindahnya tempat perkembangbiakan nyamuk secara temporer. Curah hujan yang sedang tetapi dalam jangka waktu lama akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak secara optimal (WHO 1975).

Jastal et al. (2003) melaporkan fluktuasi kepadatan A. barbirostris di Desa Sidoan Donggala seiring dengan datangnya hujan sampai akhir musim hujan, berbeda dengan A. subpictus saat indeks curah hujan tinggi kepadatan rendah. Juliawaty (2008) menyatakan A. letifer tertangkap di Kecamatan Bukit Batu Palangkaraya pada Januari-Maret 2008 dengan kondisi indeks curah hujan di lokasi penelitian berkisar antara 7,68-65,04 mm/bulan. Adapun Sulaeman (2004) melaporkan bahwa nyamuk A. barbirostris merupakan spesies yang paling dominan di Desa Bolalapu Sulawesi Tengah, lebih banyak tertangkap pada musim kering daripada musim hujan.

Larva A. barbirostris ditemukan pada bulan April sampai Juli 2004 dengan kondisi indeks curah hujan berkisar antara 48,52 mm sampai 112,35 mm di Desa Tongoa Kabupaten Donggala (Chadijah 2005). Sugiarto et al.

(10)

(2009) melaporkan lokasi yang berpotensi sebagai tempat perindukan jentik Anopheles sp di Kayangan Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat adalah lagoon, sungai dan kobakan air. Pada musim kemarau, lokasi yang mengandung jentik sebanyak 100%, sedangkan pada musim hujan hanya 40%.

2.4 Epidemiologi Malaria

Penyebaran malaria terjadi apabila ketiga komponen saling mendukung, antara host, agent dan environment (Depkes 2003a). Angka kejadian malaria di Indonesia masih cukup tinggi dan menjadi permasalahan kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius. Tahun 2006 di Indonesia terdapat sekitar 2 juta kasus malaria klinis, sedangkan tahun 2007 menjadi 1,75 juta kasus. Jumlah penderita positif malaria tahun 2006 sekitar 350 ribu kasus, dan pada tahun 2007 sekitar 311 ribu kasus. Tahun 2007 terjadi kejadian luar biasa (KLB) dan peningkatan kasus malaria di 8 propinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan, 30 desa dengan jumlah penderita malaria positif sebesar 1256 penderita, 74 kematian atau case fatality rate (CFR) KLB sebesar 5,9%. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006, KLB terjadi di 7 propinsi, 7 kabupaten, 7 kecamatan dan 10 desa dengan jumlah penderita 1107 penderita dengan 23 kematian (CFR KLB = 2,07%) (Depkes 2007a).

Jenis parasit penyebab malaria kini sudah tersebar luas di Indonesia, sebelumnya Plasmodium malariae dan P. ovale hanya ditemukan di kawasan timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua, namun beberapa tahun terakhir, kedua macam spesies penyebab malaria pada manusia tersebut telah ditemukan di Provinsi Lampung dan Kepulauan Nias. Demikian pula, P. vivax dan P. falcifarum yang awalnya hanya ditemukan di Pulau Jawa, ternyata kini telah ditemukan di luar Pulau Jawa (Depkes 2003b).

Di Indonesia telah dilaporkan jumlah spesies Anopheles kurang lebih ada 80 spesies, tetapi hanya 22 spesies yang telah terbukti dapat menularkan Plasmodium spp dan tersebar di berbagai pulau. Di Indonesia bagian timur yang terbukti sebagai vektor malaria adalah A. bancrofti, A. koliensis, A. punctulatus, A. farauti, A. barbirostris, A. sundaicus, A. subpictus dan yang

(11)

berpotensi sebagai vektor yaitu A. vagus. Di pulau Sulawesi nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah A. barbirostris, A. sundaicus, A. kochi, A. nigerrimus dan yang berpotensi sebagai vektor adalah A. flavirostris, A. barbumbrosus, A. minimus dan A. sinensis. Di pulau Kalimantan nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah A. balabacencis, A. leucosphyrus dan A. sundaicus sedangkan mempunyai potensi sebagai vektor malaria adalah A. letifer dan A. tessellatus. Di pulau Sumatera nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah A. kochi, A. sundaicus, A. tessellatus sedangkan yang berpotensi sebagai vektor A. nigerrimus, A. maculatus, A. letifer dan A. umbrosus. Di pulau Bali nyamuk yang berperan sebagai vektor adalah A. sundaicus sedangkan yang mempunyai potensi sebagai vektor adalah A. subpictus. Di pulau Nusa Tenggara Timur yang berperan sebagai vektor adalah A. barbirostris, A. subpictus dan A. sundaicus. Di pulau Jawa nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah A. aconitus, A. balabacensis, A. maculatus dan A. sundaicus (Depkes 2007b; Munif et al. 2008).

Berbagai kegiatan pembangunan memerlukan lahan, sehingga kawasan hutan mulai dimanfaatkan untuk pembangunan permukiman, pertambangan dan ekplorasi hasil hutan. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap keseimbangan alam yang berakibat terganggunya berbagai habitat fauna termasuk binatang penular penyakit seperti nyamuk. Peruntukan lahan pesisir dan pantai untuk tambak udang seperti di Cilacap (Segara Anakan) dan Lampung (Padang Cermin) dapat berisiko tinggi terhadap terjadinya tempat perindukan nyamuk vektor malaria terutama A. sundaicus, apabila kebersihan tambak tidak dikelola dengan benar. Eksploitasi hutan yang semena-mena dan tidak memperhatikan keseimbangan alam yang dipergunakan untuk permukiman baru (transmigrasi dan pembukaan sawah baru) di beberapa daerah di luar Jawa sangat berisiko terhadap meningkatnya penularan malaria. Nyamuk vektor malaria yang biasanya berperan untuk daerah hutan dan pegunungan Indonesia adalah A. maculatus, A. balabacensis, A. farauti dan A. letifer. Pengelolaan sawah untuk kegiatan pertanian khususnya sawah bertingkat di pegunungan yang sistem penanaman padinya tidak dilakukan secara serentak sangat mendukung terhadap timbulnya tempat perindukan

(12)

nyamuk A. aconitus di daerah Jepara dan Loano Purworejo Jawa Tengah (Depkes 2003b).

Peningkatan insidensi dan KLB malaria di beberapa lokasi di tanah air, banyak yang diakibatkan oleh adanya eksploitasi lingkungan oleh anggota masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Sebagai contoh, penggalian pasir liar yang dilakukan penduduk pada lahan hutan bakau di Nongsa Pantai Batam, menyebabkan meningkatnya habitat vektor malaria A. sundaicus, akibatnya selama lima tahun terakhir insidensi malaria di sana meningkat tajam (Susanna 2005).

Kebiasaan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap pengobatan juga sangat terkait dengan penularan malaria. Kebiasaan masyarakat dalam berpakaian, tidur di luar rumah, tidur tidak memakai kelambu, penggunaan anti nyamuk, menutup lubang-lubang rumah dengan kawat anti nyamuk sangat berpengaruh terhadap terjadinya penularan malaria. Kebiasaan begadang dan tidur di luar rumah yang biasa dilakukan masyarakat di pegunungan Menoreh berpengaruh pada tingginya tingkat penularan malaria. Demikian pula dengan kebiasaan masyarakat Kubu di Jambi yang suka telanjang dada dan tidur di alam terbuka, mengakibatkan hampir setiap anggota keluarganya terkena penyakit malaria (Depkes 2003b).

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilaksanakan penelitian yang diawali dari pengambilan data hingga pada pengolah data yang akhirnya dijadikan patokan sebagai pembahasan hasil penelitian sebagai

• hasil perhitungan model Alignment Index (AI) pendidikan SMA dapat menjadi bahan evaluasi bagi sekolah dalam menyiapkan lulusan yang

Kerangka penilaian LCC yang dihasilkan pada penelitian ini memperhitungkan biaya bagi pihak pengelola dan pengguna jalan, dengan variabel input terdiri dari desain

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Ratna Askiah S, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Metrologi dan Instrumentasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.. Seluruh Dosen dan

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting yang dapat menentukan berhasil atau tidaknya suatu proyek. Potensi setiap sumber daya manusia yang ada dalam proyek seharusnya

Namun pada neonatus dengan gejala klinis TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan mikrobiologis darah v.umbilikalis)