• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Beberapa puluh tahun terakhir ini, masalah mengenai keracunan pangan dan isu keamanan pangan di dunia telah meningkat sebagai akibat adanya insiden keracunan pangan yang berdampak pada perdagangan pangan internasional dan perhatian publik yang meningkat terhadap isu keamanan pangan tersebut. Di negara Asia termasuk di Indonesia pun terdapat kecenderungan (trend) yang sama (Ben Embarek, 2004). Beberapa jenis penyebab keracunan pangan adalah listeriosis, salmonellosis, flu burung (Asian influenza), sapi gila atau mad cow (Bovine Spongiform Encephalophaty), penyakit kuku dan mulut pada sapi, dioksin dan ancaman bioterorisme. Menurut Badan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centre for Diseases Control and Prevention (CDC), terjadi 6-53 juta kasus keracunan pangan di Amerika Serikat. Sebanyak 50.000 kasus di antaranya disebabkan oleh Salmonella (CDC, 2001).

Di negara-negara yang sedang berkembang, penyakit akibat keracunan pangan dan air bila dihitung dapat mencapai 0,8 juta orang meninggal setiap tahun. Sedang di negara-negara industri yang sudah maju, penyakit karena keracunan pangan berakibat mencapai 30% dari jumlah populasi manusianya, dan 20 orang di antara dari 1 juta orang yang ada meninggal setiap tahun karena kasus penyakit keracunan pangan. Bahkan di negara-negara Asia, kasus penyakit yang disebabkan karena keracunan pangan telah meningkat pada tahun 2003 dan 2004 yang disebabkan karena adanya penyediaan pangan dari jasa boga untuk keperluan di kantin sekolah, kantin perusahaan, dan untuk keperluan sosial dalam rangka pesta perayaan perkawinan (Ben Embarek, 2004).

Isu masalah keamanan pangan di Indonesia pun semakin mendapat perhatian masyarakat Indonesia, baik yang menyangkut produk pangan yang diekspor ke luar negeri maupun untuk produk pangan yang dikonsumsi di dalam negeri. Misalnya, banyak produk industri pangan dan pertanian Indonesia yang ditolak oleh negara tujuan ekspor karena tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan pangan serta dicurigai sebagai produk yang tidak aman untuk dikonsumsi. Beberapa komoditas pangan pernah ditolak di Amerika Serikat oleh

(2)

US FDA karena terkontaminasi Salmonella (paha kodok, lobster, lada hitam, lada putih, udang), atau menyalahi peraturan low acid canned food (bekicot, jamur, dan ketam kecil dalam kaleng) (Fardiaz, 1996). Contoh lain adalah ditolaknya ekspor 85.000 ton minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) oleh Belanda akibat terkontaminasi solar (Menhutbun, 2000). Sedang salah satu isu masalah keamanan pangan produk pangan di dalam negeri pada beberapa tahun terakhir yang mendapat perhatian publik adalah isu penggunaan formalin dan boraks dalam beberapa produk pangan termasuk produk pangan mi.

Mi merupakan makanan yang sangat digemari mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Alasannya karena rasanya yang enak, praktis dan mudah cara penyajiannya. Di pasaran saat ini dikenal ada beberapa jenis mi, yaitu mi mentah (mi pangsit), mi basah (mi kuning), mi kering dan mi instan. Mi basah atau mi kuning adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan dalam air mendidih terlebih dahulu setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air mi basah dapat mencapai sekitar 52% (Winarno dan Rahayu, 1994) sehingga menyebabkan cepat mengalami kerusakan atau penurunan mutu dan daya tahan atau keawetannya cukup singkat, yaitu sekitar 16 jam pada suhu kamar (Astawan, 2005). Sedangkan mi kering dan mi instan merupakan mi yang kering dengan kadar air yang rendah (sekitar 10 %) sehingga lebih awet dibandingkan dengan mi mentah dan mi basah (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

Pada umumnya di Indonesia mi basah dan mi mentah banyak diproduksi dan dihasilkan oleh industri skala kecil sedangkan mi kering dan mi instan banyak diproduksi dan dihasilkan oleh industri skala menengah dan besar. Saat ini jumlah industri mi kering di Indonesia mencapai 42 industri sedangkan jumlah industri mi instan mencapai 23 industri (BPS, 2005).

Maraknya penggunaan formalin dan boraks pada bahan pangan seperti mi basah/mi mentah, bakso, tahu, ikan asin, ikan segar dan ayam potong pada tahun 2005 dan 2007 yang dilaporkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdampak negatif pada industri pembuat mi kering yang mengalami penurunan. Pada proses pembuatan mi kering sebenarnya tidak menggunakan kedua jenis bahan tambahan tersebut; sedang penggunaan formalin dan boraks tidak diperlukan pada proses pembuatan mi basah atau mi mentah bila bahan yang

(3)

digunakan dan proses dalam pembuatan mi benar. Hal tersebut dapat berdampak pada citra produk pangan Indonesia di mata konsumen di dalam negeri mapun konsumen di luar negeri serta berdampak pada kemampuan bersaing produk pangan yang dihasilkan oleh industri pangan di Indonesia.

Dilema yang dihadapi khususnya pada produk mi adalah mi dengan penambahan formalin yang dihasilkan oleh industri pangan memang lebih unggul dalam hal kekenyalan, keliatan, dan keawetan karena sampai hari ke-4 baru mulai berbau asam dan berlendir sehingga industri tersebut tanpa bersusah payah memperbaiki mutu dan keamanan produknya; di sisi lain formalin menurut lembaga internasional untuk penelitian kanker, menggolongkan formalin sebagai senyawa yang bersifat karsinogen atau senyawa yang dapat memacu pertumbuhan sel-sel kanker (Widyaningsih dan Murtini, 2006) sehingga industri pangan tersebut tetap beroperasi dengan proses produksi dan pengendalian keamanan pangan seadanya. Oleh karena itu, pemberdayaan industri pangan tersebut perlu dilakukan.

Salah satu usaha menjamin mutu dan keamanan pangan adalah pengembangan dan penerapan sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada industri pangan. Sistem HACCP ini sudah dikenalkan oleh Codex

Alimentarius Commission (CAC) ke negara-negara anggota sejak tanggal 28 Juni

1993 (WHO, 1993), dan telah ditetapkan oleh organisasi perdagangan dunia atau

World Trade Organization (WTO) sebagai sistem standar penjamin keamanan

pangan pada perdagangan pangan internasional (Hathaway, 1999; Orris, 1999). Untuk mengantisipasi pasar global yang semakin kompetitif, pemerintah Indonesia melalui BSN (Badan Standardisasi Nasional) telah memutuskan untuk mengadopsi sistem mutu ISO 9000 dan sistem keamanan pangan model HACCP serta akan mengadopsi juga sistem manajemen keamanan pangan ISO 22000. BSN telah mengadopsi CAC HACCP System : Guidelines for apllication yang dimodifikasi menjadi SNI 01-4852-1998 (Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis/HACCP – serta Pedoman penerapannya) dan telah menetapkan panduannya, yaitu Pedoman BSN 1004-1999 (Panduan Penyusunan Rencana HACCP) (Suprapto, 1999). Namun Pedoman BSN 1004-1999 ini telah direvisi menjadi Pedoman BSN 1004 -2002 (BSN, 2002).

(4)

PT Kuala Pangan adalah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan pangan dan menghasilkan produk mi kering. Perusahaan ini berdiri sejak tahun 1974 dan berlokasi di jalan Depan Terminal Kavling 23 – 25, Citeureup, Bogor. Produk perusahaan ini sebagian besar (95%) dijual dan dipasarkan di Indonesia, sedangkan sebagian kecil lainnya untuk diekspor ke negara Belgia, Belanda/Netherland, Timur Tengah dan Luxenburg serta Australia. Produksi mi kering yang dihasilkan perusahaan PT Kuala Pangan ini mencapai sekitar 12,5-15,0 ton per hari.

Mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan, berbentuk khas mi (SNI 01-2974-1992). Mi kering yang diproduksi dan dihasilkan oleh perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan ini dibuat dari bahan tepung terigu, dengan penambahan bahan pangan seperti garam, tepung telur, potasium/kalium karbonat, sodium/natrium karbonat dan bahan tambahan pangan (BTP) pewarna tartrazin CI 1940 yang diizinkan oleh Deparmen Kesehatan atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Menyadari pentingnya jaminan penerapan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan di perusahaan serta menanggapi maraknya isu penggunaan formalin dalam industri pembuatan mi dan adanya permintaan jaminan keamanan pangan dari pelanggan berdasarkan sistem HACCP, maka pihak manajemen PT Kuala Pangan berkeinginan untuk menerapkan sistem HACCP (Hazard analysis

critical control point). Sistem HACCP ini telah diakui secara internasional baik

oleh Codex, European Union (EU), dan World Trade Organization (WTO) serta telah diadopsi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) di atas.

Penerapan sistem HACCP pada industri pangan seperti yang akan diterapkan pada PT Kuala Pangan dinilai cukup efektif untuk mencegah dan meminimisasi risiko bahaya keracunan pangan, sehingga dinilai cukup baik untuk memberi jaminan keamanan pangan (Bauman, 1990; Marriott, 1997). Pertama, penerapan sistem HACCP dapat mengurangi tingkat risiko terhadap morbiditas dan mortalitas yang dikaitkan dengan konsumsi pangan yang tidak aman (Antle, 1999). Biaya-biaya yang berkaitan dengan tingkat risiko tersebut antara lain, misalnya : biaya untuk penanganan pasien yang terkena keracunan pangan,

(5)

hilangnya pendapatan pasien penderita keracunan pangan sebagai akibat kehilangan waktu kerja mereka karena tidak masuk kantor/perusahaan, biaya untuk penyembuhan karena kasus keracunan pangan dan ketidakgunaan/ ketidakmampuan mereka selama sakit karena keracunan pangan. Kedua, Penerapan sistem HACCP sebagai bagian dari sistem manajemen mutu menyeluruh (total quality management) bila diimplementasikan secara tepat dapat memberi keuntungan sebagai berikut : perbaikan dalam efisiensi operasional, mengurangi biaya transaksi dan menciptakan keuntungan yang lebih kompetitif (Caswell et al, 1998; Bredahl et al, 2001; Farina dan Reardon, 2000). Selain itu, penerapan sistem HACCP tidak berdiri sendiri, tetapi dapat diterapkan dan diintegrasikan bersama dengan sistem lain misalnya good manufacturing practice (GMP) dan ISO 9000 (Sunarya, 1999).

Produksi bahan baku atau ingredien yang digunakan oleh PT Kuala Pangan untuk bahan pangan haruslah dilakukan sesuai dengan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan yang baik agar produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Melalui penerapan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan HACCP, diharapkan perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan bisa menghasilkan produk pangan dengan kualitas yang baik dan konsisten, serta yang paling penting adalah aman untuk dikonsumsi, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk perusahaan dan meningkatkan penjualan produk perusahaan.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mempersiapkan kelayakan persyaratan dasar sesuai GMP (Good Manufacturing Practice) dan penyusunan rencana HACCP (hazard analysis critical control point)) atau HACCP Plan untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor sebagai studi kasus, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia – SNI 01. 4852-1998 (Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman Badan Standarisasi Nasional (BSN) 1004-2002.

(6)

Secara rinci penelitian ini bertujuan :

1. Mengevaluasi kondisi persyaratan kelayakan dasar sesuai persyaratan GMP pada perusahaan industri pangan PT Kuala Pangan sebelum menerapkan/ mengimplementasikan sistem manajemen keamanan pangan berdasarkan sistem HACCP ;

2. Menyusun dokumen rencana HACCP (HACCP Plan) untuk produksi mi kering pada PT Kuala Pangan di Citeureup, Bogor yang akan digunakan perusahaan sebagai panduan dalam penerapan sistem HACCP ;

3. Merekomendasikan rencana HACCP tersebut untuk pengembangan sistem HACCP pada perusahaan PT Kuala Pangan di Citeureup,Bogor.

Dengan demikian, penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan fondasi bagi penyusunan, penerapan dan sertifikasi sistem HACCP untuk produksi mi kering pada perusahaaan industri pangan PT Kuala Pangan.

C. KEGUNAAN/MANFAAT

Dengan telah tersusunnya sistem manajemen HACCP (Hazard Analysis

Critical Control Point) yang didukung dengan pemenuhan dokumen persyaratan

kelayakan dasar (prerequisite programs) dan cara produksi pangan yang baik atau

good manufacturing practice (GMP) pada industri pangan yang menghasilkan

produk mi kering di PT Kuala Pangan, maka dapat dilakukan penerapan dan sertifikasi sistem HACCP, sesuai dengan Standar Nasional Indonesia – SNI 01- 4852-1998 (Sistem Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kendali Kritis – HACCP) serta Pedoman Penerapannya (Pedoman BSN 1004-2002).

Dengan demikian, perusahaan industri pangan yang menghasilkan produk mi kering di PT Kuala Pangan tersebut diharapkan : (1) Mampu dan sanggup menghasilkan produk pangan yang memenuhi persyaratan keamanan pangan bagi kepentingan kesehatan manusia, (2) Meningkatkan jaminan keamanan pangan pada produk pangan yang dihasilkan oleh perusahaan, (3) Mencegah terjadinya penarikan produk pangan yang dihasilkan, dan (4) Meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk tanaman perkebunan di Desa Keburuhan hanya ada tanaman tebu, karena menurut sebagaian petani, tanaman tebu merupakan tanaman yang mendapatkan hasil yang cukup

Pemasang iklan biasanya lebih tertarik untuk mengetahui apakah audien yang menonton suatu program siaran itu pembeli yang potensial (prospek) bagi barang atau

Hasil yang sama dikemukakan oleh Suwadi (dalam Yogantara, 2013) bahwa variabel komitmen organisasi tidak memoderasi hubungan antara partisipasi anggaran dan kinerja

Berdasarkan hasil dari penelitian yang penulis lakukan di Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah Batang Kabung Kecamatan Koto Tangah Kota Padang dengan

Dari hasil uji validitas pada variabel kemampuan mengelola kredit dengan tingkat signifikansi 5% dapat dilihat bahwa indikator penggunaan dana kredit secara

P., 2018, Model Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Lingkungan Kerja serta Dampaknya terhadap Kepuasan Kerja Karyawan (Studi pada Karyawan PT Bank CIMB Niaga, TBK

Aston Rasuna Hotel & Residence, Jakarta PT Bakrie Swasakti Utama memiliki 2 menara yang memiliki lokasi yang sama dengan lokasi Apartemen Taman Rasuna yaitu di Jalan H.R.. Rasuna

pasal 36 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa Kelompok Belanja Tidak Langsung merupakan