BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian dan Jenis-jenis Perjanjian
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan Tersebut merupakan kata terjemahan dari perkataan overeenkomst dalam bahasa Belanda. Kata overeenkomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sama artinya dengan perjanjian.
Menurut Tan Kamello Perjanjian adalah suatu hubungan hokum antara dua orang atau lebih yang didasarkan pada kata sepakat dengan tujuan untuk menimbulkan akibat hukum.5
Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.6
Dari ketiga pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313 KUHPerdata dapat dibaca dengan perjanjian. Menurut para sarjana, antara lain
Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.
5
Tan Kamello. 6
Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian dalam KUHPerdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu :
a) Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan Hukum (onrechtmatige daad) yang mengandung konsesus, seharusnya dipakai kata “persetujuan”.
c) Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur
dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitor dan kreditor dalam lapangan harta kekayaan saja.Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
d) Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal itu disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.7
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan antara dua pihak lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum”.8
Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUHPerdata, ternyata mendapat kritikan dan para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. di dalam praktiknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di situ pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, di lain pihak terlalu luas.
R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau
7
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung :Alumni, 1982), hal. 78 8
untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.9
Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :
1. Terdapat para pihak yang berjanji;
2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat/kesesuaian hendak; 3. Perjanjian merupakan hukum atau hubungan hukum;
4. Terletak dalam bidang harta kekayaan; 5. Adanya hak dan kewajiban para pihak; 6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat;
Dari 6 unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan konsep perjanjian yang menurut paham KUHPerdata dikatakan perjanjian hanya merupakan perbuatan (handeling), Adapun beberapa perjanjian dimana dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
b) Perjanjian cuma-cuma
Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
c) Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
d) Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe
9
yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata.
e) Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemde Overeenkomst)
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya.
f) Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak.
g) Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).
h) Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian.Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338).
i) Perjanjian Real
Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
j) Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada (Pasal 1438 KUHPerdata).
k) Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
l) Perjanjian Untung-untungan
Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.
m) Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Diantara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan (subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama(co-ordinated).
n) Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian di dalam10
10
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Istilah perjanjian sudah tidak asing bagi kita, karena hampir sebagian besar aktivitas kita menjadikan perjanjian sebagai suatu sarana untuk berbisnis atau bertransaksi. Untuk lebih jelasnya memahami apa sesungguhnya perjanjian itu, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana pihak yang satu mengikatkan dirinya kepada pihak lainnya untuk melaksanakan sesuatu. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang paling banyak menimbulkan perikatan karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian dan undang-undang hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat.
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, dengan demikian suatu perjanjian dapat dikatakan hubungan timbal balik atau bilateral maksudnya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban yang merupakan konsekwensi dari hak-hak yang diperolehnya.
Jenis-jenis Perjanjian
1. Perjanjian dengan cuma-cuma dan perjanjian dengan beban
b.Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2.Perja njian sepihak dan perjanjian timbal balik
a. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
b. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.Perjanjian konsensuil, formal dan riil
a. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. b. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu
bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
c. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian yang diperlukan dan sepakat harus diserahkan.
3. Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran
a. Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana undang-undang telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai Bab XII KUHPerdata ditambah titel VII A.
b. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
Syarat-syarat Perjanjian Kerja
Menurut Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus mempedomani Pasal 1320 KUHPerdata.
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian yaitu harus ada :
1. Kesepakatan
Yang dimaksud dengan kesepakatan di sini adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan, atau kekhilafan.
2. Kecakapan
3. Hal tertentu
Maksudnya objek yang diatur kontrak harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi, tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.
4. Sebab yang dibolehkan
Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang bersifat memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.
KUHPerdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.
Adapun keempat syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.
ad.2. Kecakapan untuk membuat perjanjian
Kecakapan di sini orang yang cakap yang dimaksudkan adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh Pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami.
Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka Pengadilan tanpa seizin suami.
Ad.3. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sekurang-kurangnya macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sudah ditentukan, misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis dan rupanya, sedangan jual beli besar 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat dibatalkan.
Ad.4. Suatu sebab yang halal
membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.11
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak dipenuhi, perjanjian tersebut batal demi hukum.
Akibat perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan :
1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Dengan demikian, perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuat perjanjian. Artinya pihak-pihak harus mentaati isi perjanjian seperti mereka mentaati undang-undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap sama dengan melanggar undang-undang. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.
C. Wanprestasi
Wanprestasi (ingkar janji) adalah berhubungan erat dengan adanya perikatan atau perjanjian antara pihak. Baik perikatan itu didasarkan perjanjian sesuai Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1431 KUHPerdata maupun perjanjian yang bersumber pada undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1352 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Apabila salah satu pihak ingkar janji maka itu menjadi alasan bagi pihak lainnya untuk mengajukan gugatan. Demikian juga tidak terpenuhinya Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian menjadi alasan untuk batal atau dibatalkan suatu persetujuan perjanjian melalui suatu gugatan.
Salah satu alasan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan adalah karena adanya wanprestasi atau ingkar janji dari Debitor. Wanprestasi itu dapat
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain, Dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan batas waktunya tetap isi berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan pelaksanaan perjanjian itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila perjanjian tidak dapat dilakukan,pihak berutang perlu diberikan waktu yang pantas. Adapun macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya jual beli, tukarmenukar, penghibahan (pemberian), sewamenyewa, pinjampakai.
2. Perjanjian untuk berbuatsesuatu, misalnya perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan seorang lain.
Menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya Segi-segi Hukum Perjanjian, yang dimaksud dengan wanprestasi adalah : “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya”.10
Dalam keadaan normal perjanjian dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya tanpa gangguan ataupun halangan. Tetapi pada waktu yang tertentu, yang tidak dapat diduga oleh para pihak, muncul halangan, sehingga pelaksanaan perjanjian tidak dapat dilaksanakan dengan baik, faktor penyebab terjadinya wanprestasi oleh Abdulkadir Muhammad diklasifikasikan menjadi dua faktor yaitu :
a. Faktor dari luar dan
10
b. Faktor dari dalam diri para pihak
Faktor dari luar menurut Abdulkadir Muhammad adalah “Peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga akan terjadi ketika perjanjian dibuat”. faktor dari dalam diri manusia/para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja atau pun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak itu sendiri, dan para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat yang timbul dari perbuatannya tersebut.11
Hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak dalam perjanjian itu harus dinyatakan terlebih dahulu secara resmi yaitu dengan memperingatkan kepada pihak yang lalai, bahwa pihak kreditor menghendaki pemenuhan prestasi oleh pihak Debitor. Menurut Undang-Undang peringatan tersebut harus dinyatakan tertulis, sekarang sudah dilazimkan bahwa peringatan itu dapat dilakukan secara lisan asalkan cukup tegas menyatakan desakan agar segera memenuhi prestasinya terhadap perjanjian yang mereka perbuat.
Peringatan tersebut dapat dinyatakan pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditor kepada pihak debitor. J. Satrio memperinci pernyataan lalai tersebut dalam beberapa bentuk yaitu :
1. Berbentuk surat perintah atau akta lain yang sejenis.
2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri. Apabila dalam surat perjanjian telah ditetapkan ketentuan : debitor dianggap bersalah jika satu kali saja dia melewati batas waktu yang diperjanjikan. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong debitor untuk tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban dan sekaligus juga menghindari proses dan prosedur atas adanya wanprestasi dalam jangka waktu yang panjang. Dengan adanya penegasan seperti ini dalam perjanjian, tanpa tegoran kelalaian dengan sendirinya pihak debitor sudah dapat dinyatakan lalai, bila ia tidak menepati waktu dan pelaksanaan prestasi sebagaimana mestinya.
3. Jika tegoran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan (aanmaning) dan bisa juga disebut dengan sommasi. Dalam sommasi
11
inilah pihak kreditor menyatakan segala haknya atas penuntutan prestasi kepada pihak debitor.12
Jadi dengan adanya pernyataan lalai yang diberikan oleh pihak kreditor kepada pihak debitor, menyebabkan pihak debitor dalam keadaan wanprestasi, bila ia tidak mengindahkan pernyataan lalai tersebut. Pernyataan lalai sangat diperlukan karena akibat wanprestasi tersebut adalah sangat besar baik bagi kepentingan pihak kreditor maupun pihak debitor. Dalam perjanjian biasanya telah ditentukan di dalam isi perjanjian itu sendiri, hak dan kewajiban para pihak serta sanksi yang ditetapkan apabila pihak debitor tidak menepati waktu atau pelaksanaan perjanjian.
Wanprestsi seorang debitor dapat berupa empat macam kategori yaitu : 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan.
3. Melakukan apa yang diperjanjikan akan tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh untuk dilakukan.13 Debitor yang oleh pihak kreditor dituduh lalai, dapat mengajukan pembelaan diri atas tuduhan tersebut. Adapun pembelaan debitor yang dituduh dapat didasarkan atas tiga alasan yaitu :
1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa 2. Mengajukan bahwa si kreditor sendiri juga wanprestasi
3. Mengajukan bahwa kreditor telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.14
Yang dimaksud pihak kreditor melepaskan haknya atas tuntutannya kepada pihak debitor adalah bahwa pihak kreditor telah mengetahui bahwa ketika pihak debitor mengembalikan barang yang diperjanjikan, pihak kreditor telah mengetahui bahwa waktu pengembalian barang sudah terlambat selama seminggu. Akan tetapi atas keterlambatan tersebut pihak kreditor tidak mengajukan keberatan
ataupun sanksi maka terhadap debitor yang terlambat mengembalikan barang, dapat diartikan bahwa pihak kreditor telah melepaskan haknya untuk pihak debitor yang telah nyata wanprestasi.
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan bahwa : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebgai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari Pasal 1338 KUHPerdata di atas ditarik suatu gambaran bahwa pada prinsipnya suatu perjanjian tidak dapat dibatalkan oleh sepihak, karena dengan adanya pembatalan tersebut, tentunya akan menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya.
Pembatalan perjanjian hanya dapat dilakukan apabila diketahui adanya kekhilafan ataupun paksaan dari salah satu pihak ketika membuat perjanjian. Kekhilafan dan paksaan merupakan alasan yang dapat membatalkan perjanjian.
Selain itu juga penipuan yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak yang lainnya dalam membuat perjanjian, dapat dijadikan sebagai alasan untuk dapat dibatalkannya suatu perjanjian secara sepihak oleh salah satu pihak. Karena menurut Pasal 1320 KUHPerdata suatu perjanjian yang tidak
didasarkan kepada syarat subjektif perjanjian, perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Meminta pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektifnya dapat dilakukan dengan cara :
1. Melakukan penuntutan secara aktif di muka Hakim atau Pengadilan.
tidak memenuhi prestasi perjanjian, dapat mengajukan pembelaan bahwa perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat subjektif yang memungkinkan untuk dibatalkannya perjanjian tersebut.
Untuk penuntutan secara aktif sebagaimana yang disebutkan oleh undang-undang, dimana undang-undang mengatur pembatasan waktu penuntutan ya itu 5 tahun di dalam perjanjian yang diadakan. Sebaliknya terhadap pembatalan perjanjian sebagai pembelaan tidak ditetapkan batas waktunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pasal 1454 KUHPerdata.
Penuntutan pembatalan akan diterima baik oleh hakim jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak yang dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan.
Apabila suatu pembatalan terhadap perjanjian yang dilakukan secara sepihak tanpa disertai alasan yang sah menurut hukum, pihak yang oleh pihak lain dibatalkannya perjanjian dapat menuntut kerugian kepada pihak yang membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak, karena dengan adanya pembatalan yang dilakukan sepihak oleh salah satu pihak akan menimbulkan kerugian bagi pihak lain.
dan membawa segala sesuatu kembali seperti keadaan semula, seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perjanjian di antara kedua belah pihak. Berarti dengan adanya pembatalan perjanjian akan menghapuskan segala kewajiban ataupun hak yang timbul dari perjanjian yang telah mereka buat sebelumnya.
Terhadap perjanjian yang dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak tanpa disertai alasan yang sah, apabila perjanjian tersebut telah berlangsung lama, pihak yang dirugikan atas pembatalan tersebut dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pihak yang membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak. Ganti rugi yang diajukan oleh pihak yang dirugikan atas pembatalan yang sepihak tersebut adalah dapat berupa biaya, rugi, maupun bunga atas kerugian yang dideritanya.
Apabila dalam pembatalan yang dilakukan secara sepihak terhadap perjanjian yang mereka perbuat, segala isi maupun ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian tersebut belum dilaksanakan sama sekali oleh kedua belah pihak, dengan adanya pembatalan perjanjian tersebut oleh salah satu pihak secara sepihak tidak menimbulkan akibat hukum apa-apa. Pembatalan perjanjian tersebut hanya membawa para pihak pada keadaan semula yaitu keadaan sebelumnya para pihak dianggap tidak pernah melakukan atau mengadakan perjanjian diantara mereka.
mengajukannya kepada pengadilan ataupun dengan pembelaan atau gugatan pihak yang akan membatalkan perjanjian.
Terhadap perjanjian yang dibatalkan secara sepihak tanpa alasan yang sah, dapat diajukan tuntutan kepada pihak yang membatalkannya selama perjanjian
tersebut telah berlangsung, sebaliknya apabila pembatalan secara sepihak tersebut terjadi sebelum adanya pelaksanaan perjanjian maka pembatalan itu
hanya membawa pada keadaan semula yaitu keadaan yang dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.
Dalam perjanjian, pernyataan keadaan wanprestasi ini tidaklah dapat terjadi dengan sendirinya, akan tetapi harus terlebih dahulu diperlukan adanya suatu pernyataan lalai atau sommatie yaitu suatu pesan dari pihak pemberi pekerjaan borongan pada saat kapan selambatnya harus diharapkan pemenuhan
prestasi. Dari pesan ini pula selanjutnya akan ditentukan dengan pasti saat mana seseorang berada dalam keadaan wanprestasi atau ingkar janji tersebut,
sehingga pihak yang wanprestsi harus pula menanggung segala akibat yang telah merugikan pihak yang lainnya.
Sebagai akibat timbulnya kerugian dari salah satu pihak tersebut, maka undang-undang memberikan sesuatu hak baginya untuk menuntut
diantara beberapa hal yaitu : 1. Pemenuhan prestasi
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi 3. Ganti rugi
4. Pembatalan perjanjian
5. Pembatalan disertai ganti rugi.15
15
Bentuk ganti rugi tersebut di atas pada pelaksanaannya dapat diperinci dalam tiga bentuk yaitu biaya, rugi dan bunga.
Menurut R. Setiawan disebutkan bahwa :
Menurut Pasal 1246 KUHPerdata ganti rugi terdiri dari dua faktor yaitu : 1. Kerugian yang nyata-nyata diderita
2. Keuntungan yang seharusnya diperoleh
Kedua faktor tersebut dicakup dalam pengertian, biaya, kerugian dan bunga. Biaya adalah pengeluaran-pengeluaran nyata, misalnya biaya notaris, biaya perjalanan dan seterusnya. Kerugian adalah berkurangnya kekayaan kreditor sebagai akibat dari pada ingkar janji dan bunga adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditor jika tidak terjadi ingkar janji.16
Dalam perjanjian ditentukan bahwa dalam hal terlambatnya salah satu pihak untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan dan dalam jadwal waktu yang telah ditentukan adalah merupakan salah satu bentuk dari wanprestasi. Penentuan wanprestasi ini sendiri erat kaitannya dengan suatu pernyataan lalai yaitu suatu pesan dari salah satu pihak untuk memberitahukan pada saat kapan selambatnya ia mengharapkan pemenuhan prestasi.
Dengan demikian sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan dalam penentuan pernyataan wanprestasinya salah satu pihak adalah ketentuan batas pelaksanaan kewajiban itu sendiri.
Keterlambatan melakukan kewajiban ini dapat juga terjadi dari bentuk wanprestasi lainnya, seperti halnya melaksanakan kewajiban yang tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Sementara bentuk wanprestasi ini juga harus dapat dibedakan terhadap lainnya pihak kedua untuk tidak melakukan kewajiban sama sekali, karena dalam hal demikian pihak kedua tidak dapat dianggap terlambat memenuhi pelaksanaan prestasi. Sementara sanksi dalam hal pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban sama sekali yang selanjutnya dapat
16
dikategorikan menolak untuk melaksanakan kewajiban, sebagai sanksinya pihak pertama berhak atas uang jaminan yang diberikan oleh salah satu pihak.
D. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Terpenuhinya kesepakatan antara kedua belah pihak yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian, semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan. Secara keseluruhan, KUHPerdata mengatur faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena :
1. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga memenuhi unsur pembayaran.
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya, tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestsi sebelum waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum jatuh tempo, perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
Pembayaran uang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian, sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi pergantian pihak debitor atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak mampu melunasi sisa pembayaran.
4. Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditor dan debitor saling mengutang terhadap yang lain, utang keduanya dianggap terbayar oleh piutang mereka masing-masing.
5. Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian. Contohnya penyewa rumah yang berubah menjadi pemilik rumah karena dibelinya rumah sebelum waktu berakhir, sementara masih ada tunggakan sewa yang belum dilunasi.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak kreditor untuk membebaskan debitor dari kewajiban membayar hutang, dengan terbebasnya debitor dari kewajiban pemenuhan hutang, hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dan dengan demikian berakhirlah perjanjian.
Musnahnya barang yang diperjanjian juga menyebabkan tidak terpenuhinya syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian yang mengaturnya.
8. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian. Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan yang didasarkan pada Pasal 1266 KUHPerdata.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati dalam perjanjian.
10.Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu (daluwarsa) perjanjian.
Di dalam Pasdal 1381 KUHPerdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perjanjian yaitu :
1. Pembayaran
3. Pembaharuan hutang 4. Perjumpaan hutang 5. Percampuran hutang 6. Pembebasan hutang
7. Musnahnya benda yang terhutang 8. Kebatalan/pembatalan
9. Berlakunya syarat batal
10.Kadaluwarsa atau lewat waktu
Yang dimaksud dengan pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan.
Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang bersangkutan saja. Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, akan tetapi yang penting adalah hutang itu harus dibayar.
Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu cara pembayaran untuk menolong debitor. Dalam hal ini si kreditor
meminta kepada Hakim agar konsignasi disahkan Jika telah disahkan, debitor terbebas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus.
Pembaharuan hutang (novasi) adalah peristiwa hukum dalam suatu perjanjian yang diganti dengan perjanjian lain. Dalam hal para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang baru.
Dalam hal terjadinya perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu kreditor dan debitor saling mempunyai hutang dan piutang, maka mereka mengadakan perjumpaan hutang untuk suatu jumlah yang sama. Hal ini terjadi jika antara kedua hutang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika.
Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditor dan debitor pada satu orang. Dengan bersatunya kedudukan debitor pada satu orang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran hutang sesuai dengan Pasal 1435 KUHPerdata.
Pembebasan hutang terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh si debitor. Jika si debitor menerima pernyataan si kreditor maka berakhirlah perjanjian hutang piutang diantara mereka.
debitor telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada seperti semula. Hal ini disebut dengan risiko.
Suatu perjanjian akan hapus jika ada suatu pembatalan ataupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan atau batal demi hukum. Karena jika dilihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada akan tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak kembali kepada keadaan semula.
Syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, yaitu tidak pernah ada suatu perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud terjadi.17
Daluwarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata).
17