• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN USULAN PEMB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SOSIALISASI FIKIH LINGKUNGAN USULAN PEMB"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

DI DESA NELAYAN*

DIFLA NADJIH

Dosen FAI UCY

F. SETIAWAN SANTOSO

Dosen FAI UCY

Abstract

This paper intends to introduce more about the environmental Jurisprudence. In Indonesia, this new field of jurisprudence needs to be disseminated to support the culture of pro-environment within fishermen communities with which they depend fully on natural conditions for their welfare life. Through the empowerment of majelis taklim, teaching environmental Jurisprudence can be well done. To that end, it is fully necessary to strengthen the understanding of the jurisprudence through a series of training and sosialization for the board of majelis taklim. Thus, they can disseminate to the congregation.

Keywords: environmental Jurisprudence, pro-environment, majelis taklim, fishing communities

”Samudera, laut, selat dan teluk adalah masa depan peradaban, masa depan dan tulang punggung ekonomi kita” (Presiden Joko Widodo, SU MPR, 20 Oktober 2014).

A. Pendahuluan

Pemerintah Jokowi-JK telah mencanangkan kebijakan nasional sebagai Poros Maritim Dunia. Potensi laut Indoensia yang besar itu akan dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat, dengan menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial-budaya, dan ekologi. Kepentingan ekonomi yang bertautan dengan pendapatan; menyangkut akses, kesempatan berusaha, tata kelola yang baik arif; dan pembudayaan yang dapat menjamin keberlanjutan ekosistem. Budaya yang ramah lingkungan kemudian merupakan pemenuhan kebutuhan ekonomi, ekologi, politik dan budaya tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang dan spesies lain di luar manusia dalam relasi yang kompromistis. Kehidupan pro-lingkungan berdampak langsung bahkan berkelanjutan bagi generasi manusia sekarang dan masa depan.

(2)

lingkungan terpadu menunjukkan bahwa masalah lingkungan dapat terjadi karena perilaku atau ‘pressure’.1

Perilaku manusia dalam mengelola lingkungan digerakkan oleh kompleks daya penggerak tertentu atau ‘driving force’. Capacity-Incentive/Environmental Degradation dari Reardon dan Vosti dalam Karyanto menjadi derajat tertentu atas ‘capacity’ dan ‘incentive’ yang dimiliki yang meliputi kemampuan akses atas lima modal dasar meliputi modal finansial, sarana prasarana, modal alam, modal manusia dan modal sosial. faktor penggerak yang terdapat dalam kerangka konseptual DPSIR memiliki kesamaan substantif dengan motivasi. Motivasi tersebut merupakan penggerak yang mendorong individu atau institusi dan memunculkan ‘pressure’ atau perilaku lingkungan tertentu. Theory of Planned Behavior menjelaskan bahwa perilaku -dalam hal ini adalah perilaku lingkungan tertentu- muncul karena kesiapan berperilaku/Behavioral Intention. Kesiapan tersebut dideterminasi oleh behavioral attitude/attitude towards behavior atau sikap, subjective norm atau norma sosial/nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dan perceived behavioral control/self efficacy yang berhubungan dengan analisis pribadi menyangkut potensi dan sumber daya yang dimiliki.

(3)

nilai-nilai dalam masyarakat yang kemudian dapat ditetapkan sebagai kode etik bersama sebagai aturan-aturan sosial, norma atau sangsi.2

Agama adalah salah norma dan modal sosial yang bisa mendukung pengingkatan keyakinan terhadap budaya ramah lingkungan dengan penyebaran pengetahuan dan ajaran yang dibutuhkan dalam bersikap dan persepsi masyarakat menuju perilaku individu dan norma sosial yang ramah lingkungan. Tahapan penyebaran itu digambarkan oleh Jimenez sebagai berikut;3

Dalam konteks tersebut, fikih lingkungan sebagai salah satu sumber penting dalam ajaran Islam untuk mendukung budaya ramah lingkungan yang menyejahterakan masyarakat secara berkelanjutan bisa dikedepankan. Di Indonesia, penyebarannya bisa dilakukan melalui pendidikan berbasis masyarakat berciri khas Islam di indonesia, yaitu majelis taklim. Tulisan ini bermaksud menjelaskan upaya mengenalkan lebih jauh tentang lingkungan sebagai bidang fikih yang masih baru guna mendukung budaya ramah lingkungan di masyarakat pedesaan nelayan yang bergantung penuh pada kondisi alam dalam kesejahteraan hidupnya melalui pemberdayaan majelis taklim.

B. Fiqih Lingkungan

Hamdi mengungkapkan, dalam bahasa Arab, fikih lingkungan hidup dipopulerkan dengan istilah fikih al-bi`ah. Kata majemuk itu terdiri dari fikih dan al-bi`ah. Secara bahasa fikih berasal dari kata faqiha – yafqahu - fikihan yang berarti al-‘ilmu bis-syai`i (pengetahuan terhadap sesuatu) al-fahmu (pemahaman). Sedangkan secara istilah, fikih adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil tafshili (terperinci). Adapun kata al-bi`ah dapat diartikan dengan lingkungan hidup, yaitu: kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.4

(4)

relasi dengan sesama dan alam sehingga persoalan yang harus diselesaikan melalui disiplin ini harus lebar dan mencakup untuk menjadi hamba-Nya. Dengan demikian realitas sosial yang berkembang hingga kapanpun tercakup didalamnya termasuk permasalahan kekrusakan lingkungan yang sekarang menjadi kritik pokok terhadap keterlibatan agama Islam dalam mengatasinya.

Abdillah mempertegas kebutuhan terhadap fikih lingkungan dari disiplin Qurani. Eksplorasi konsep lingkungan dalam al-Qur’an melalui empat kata kunci. Yakni, al-'alamin, as-sama', al-ard dan al-bi'ah. Ia menjelaskan, lafad al-'alamin memiliki dua konotasi yakni, bermakna seluruh spesies (umum) dan bermakna manusia (khusus). Kata as-sama' (langit) yang berkonotasi pada tiga makna di antaranya jagad raya, ruang udara dan ruang angkasa. Lafad al-'ard (bumi) ada yang memiliki makna ekosistem bumi, lingkungan hidup, dan siklus ekosistem. Dan yang ke-empat lafad al-bi'ah merujuk kepada lingkungan hidup sebagai ruang kehidupan. Empat kata kunci tersebut membuktikan bahwa Islam memiliki andil dalam pelestarian lingkungan sehingga bernuansa ramah terhadap lingkungan.5

Dalam penjelasan Gain, kajian lingkungan dalam Islam mulai muncul sejak negara-negara Islam menjalankan pembangunan ekonomi industri yang berpotensi bencana kerusakan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan warganya.6 Di Indonesia, Muhammad dkk. menegaskan kebutuhan fikih lingkungan pada lokakarya Mengagas Fikih Lingkungan tahun 2004.

Dengan pertemuan ini diharapkan rumusan mengenai fikih lingkungan (fikih al bi’ah) yang digali dari al-Qur’an, sunnah, dan kitab salaf. Hasil dari rumusan ini diharapkan kelak bisa menjadi sebuah pedoman praktis dalam kehidupan muslim sehari-hari yang diawali dari pesantren. Dalam melangkah jauh ke depan, pesantren dengan potensi sumber daya manusia (para santri sebagai kader tokoh masyarakat dan ulama) dan sistem yang dimilikinya, diharapkan mampu memberikan pencerahan kepada komunitas muslim di segala tingkatan. Kemudian pada ujungnya juga mampu memberikan pencerahan dan penyadaran secara luas tentang pentingnya konservasi alam dan pemeliharaan lingkungan kepada seluruh komunitas muslim yang ada di Indonesia.7

(5)

istishlah. Untuk menjaga agar manusia yang telah memilih atau mengambil jalan hidup ini bisa berjalan menuju tujuan penciptaannya maka (pada tataran praktis) kelima pilar syariah ini dilengkapi dengan 2 (dua) rambu utama yakni : 1) halal dan 2) haram. Kelima pilar dan dua rambu tersebut bisa diibaratkan sebagai sebuah “bangunan” untuk menempatkan paradigma lingkungan secara utuh dalam perspektif Islam.8

Pertemuan antara dasar-dasar fikih lingkungan dengan realitas kebutuhan umat-Nya dalam berinteraksi dengan alam telah menyadarkan umat agar aktif dan konsisten dalam perlindungan melalui pembentukan budaya ramah lingkungan sebagai kebutuhan. Hal itu menjadi semakin terasa ketika umat yang mendasarkan kehidupan pada mata pencaharian yang sangat tergantung kepada alam termasuk para nelayan.

C. Majelis Taklim di Pedesaan Nelayan

Di Indonesia, Majelis taklim (MT) merupakan salah satu institusi modal sosial yang berpengaruh bagi masyarakat nelayan. Untuk pengembangan budaya ramah lingkungan kelautan yang menjadi wahana utama pemenuhan kebutuhan hidup mereka, maka perlu penyebaran pengetahuan dan ketrampilan yang mempengaruhi sikap dan norma subyektif nelayan dan keluarga demi kesejahteraan hidup yang berkelanjutan.

Majelis Taklim (MT) bisa bermakna tempat orang berkumpul untuk memberikan dan mendapatkan ilmu pengetahuan. dalam penggunaannya di Indonesia ternyata mengealami penyempitan makna. MT telah dikhususkan kepada majelis tempat penyebaran ilmu-ilmu keagamaan terutama Islam. Zuharini mendefinisikannya sebagai organisasi pendidikan luar sekolah (non formal) yang bercirikan keagamaan Islami.9 Dengan mengutip dari berbagai sumber, Winn mengemukakan definisinya sebagai berikut;

Islamic study or reading groups, majelis taklim are also described as religious learning forums, preaching gatherings, public meetings for Islamic and/or Qur'anic studies, private gatherings for religious teaching, and as salon-style religious discussion groups.10

(6)

dimana saja. Sebagian MT rutin diselenggarakan secara bergiliran di rumah jama’ah secara bergiliran. MT lain telah menetapkan masjid dan musalla sebagai tempat pengajiannya. Bagi MT yang tidak berkenan di rumah jama’ah ataupun masjid, gedung atau aula pertemuan bisa disepakati sebagai tempat penyelenggaraan MT.

Fleksibilitas MT bisa memberikan perannya di dalamnya, namun tidak bisa menyandarkan material lingkungan sebatas kepada material agama yang sudah mapan. Relasi agama dengan pengetahuan tentang tatanan alam seperti perubahan lingkungan laut sebagaimana yang dialami nelayan merupakan kondisi nyata yang berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan keluarga. Pengetahuan dan aturan fikih lingkungan belum permanen menanggapinya. Pengetahuan itu juga perlu didukung pemahaman kebijakan-kebijakan negara tentang lingkungan kelautan maritim dan kehidupan nelayan sebagai muatan lokal yang harus dipahami agar daya dukung fikih lingkungan terhadap kesejahteraan nelayan bisa berjalan baik.

Kekurangan pengetahuan fikih lingkungan guna peningkatan kesadaran tentang pentingnya pembudayaan ramah lingkungan bisa dimaklumi ketika ruang fikih lingkungan masih harus perlu diperluas agar setara dengan bidang fikih yang lain. Penggalian harus diperdalam karena khazanah Islam sangat sarat dengan pemeliharaan lingkungan sekitar. Sosialiasasi fikih lingkungan juga diperluas ke seluruh lapisan umat untuk menjawab kebutuhan hidup umat yang sesuai syariat. Pada poin inilah, dua kekuatan yaitu khazanah fikih lingkungan dan eksistensi Majelis Taklim bagi masyarakat nelayan dapat dipadukan guna pembudayaan ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

D.Usulan Pemberdayaan Majelis Taklim Dalam Sosialisasi Fikih Lingkungan

Karakter khas Majelis taklim menjadi harapan sebagai motor penggerak sosial dalam mengelola pembelajaran peduli ramah lingkungan. Proses belajar majelis taklim akan dipantik untuk diarahkan mencakup bagaimana membaca peristiwa alam, menjawab bencana, mengelola lingkungan keluarga, dan mengapresiasi berubahnya lingkungan sosial dan kebijakan negara.

(7)

Di dalam konteks inilah, MT berpeluang untuk mengoptimalkan proses belajar sosial peduli lingkungan sekaligus pengembangan fiqih lingkungan yang beranjak dari pengalaman warga yang nelayan. Melalui proses belajar bersama, tumbuh berkembang suatu budaya ramah lingkungan pada komunitas nelayan.

Di lingkungan masyarakat dengan kondisi sosial, budaya dan ekonomi yang khas seperti kampung nelayan desa Poncosari kecamatan Srandakan, pendekatan partisipatif berpengaruh langsung untuk meningkatkan Pengetahuan, Keterampilan dan Perubahan Sikap terhadap lingkungan kelautan sebagai sandaran hidupnya. Didalam pendekatan ini, para peserta MT diperlakukan sebagai narasumber utama, dengan menggali potensi Cipta, Rasa dan Karsa sehingga menghasilkan produk yang bersumber dari pengalaman pribadi mereka dalam proses pemberdayaan yang digunakan sebagai sumber informasi utama untuk mencapai tujuan pembelajaran guna menciptakan budaya ramah lingkungan di kampung sendiri. Kegiatan yang dilakukan antara lain : 1. Menyelenggarakan Focus Group Discussion serial, lokakarya fiqih

lingkungan dan pendampingan ke majelis taklim dan masyarakat. 2. Pengembangan materi fikih lingkungan berbasis lokalitas masyarakat

nelayan

3. Merumuskan modul fikih lingkungan sebagai sumber referensi majelis-majelis taklim

4. Distribusi materi fiqih lingkungan melalui majelis taklim-majelis . 5. Pelatihan dan Best Practice

E. Penutup

Fikih lingkungan masih menjadi hal yang baru dalam disiplin fikih namun sudah menjadi kebutuhan bagi umat. Peningkatan pengetahauan dan perluasan wiayah sosialisasi fikih lingkungan menjadi menjadi strategi penting untuk mempercepat posisinya setara dengan bidang fikih yang lain. Optimalisasi fikih lingkungan dengan memberdayakan majelis taklim bisa menjadi hal penting bagi umat berprofesi nelayan untuk segera memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan profesi sehari-hari.

(8)

ramah lingkungan. Pendampingan itu berfungsi memelihara lingkungan kelautan bagi nelayan dapat berjalan secara keberlanjutan dan sesuai tujuan yang dimaksud dalam fikih lingkungan.

Catatan Akhir

*Artikel ini merupakan revisi dari usulan Program Bantuan Peningkatan Mutu Pengabdian Kepada MasyarakatDirektur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun 2015 oleh Fattah Setiawan Santoso, Diflah Nadjih dan Imam Samroni. Tambahan ada di bab: fikih lingkungan hidup dan majelis taklim di pedesaan nelayan.

1Puguh Karyanto, “Kerangka Konseptual (Conceptual Framework) Untuk Analisis

Pertanian Upland Berkelanjutan,” Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi FKIP UNS 2010, h. 244-281

2Ibid.

3Manuel Jimenez Sanchez, “Defining And Measuring Environmental

Consciousness,” Revista Internacional De Sociologia (RIS) Vol.68, no 3, Septiembre-Diciembre, 2010, h. 731-755.

4 Fahmi Hamdi, “Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Fikih Islam,” Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013, h. 75-90

5 Muijiyono Abdillah,Agama Ramah Lingkungan, Perspektif Al-Quran, (Jakarta

: Penerbit Paramadina, 2001), h. xi

6 Abu Bakr Ahmad Bagader dkk, Environemental Protection In Islam, 2nd. ed, (UK: IUCN, 1994), h. viii.

7 Ahsin Sakho Muhammad, dkk., Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi’ah), cet.2,

(Jakarta : Conservation International Indonesia, 2006), h. 4. 8 Bagader dkk, Environemental…, h. 5

9 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. ke-2

hal. 76

10Phillip Winn, “Majelis Taklim and Gendered Religious Practice in Northern

Ambon” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, Issue 30, November 2012

Daftar Pustaka

Abdillah, Mujiyono. Agama Ramah Lingkungan, Perspektif Al-Quran. Jakarta : Penerbit Paramadina, 2001

Abu Bakr Ahmad Bagader dkk. Environmental Protection In Islam, 2nd.

ed, (UK: IUCN, 1994), h. 5

Ahsin Sakho Muhammad, Husein Muhammad, Roghib Mabrur, Ahmad Sudirman Abbas, Amalia Firman, Fachruddin Mangunjaya, Kamal IB. Pasha dan Martha Andriana. Fiqih Lingkungan (Fikih al-Bi’ah), cet.2, Jakarta : Conservation International Indonesia, 2006.

Fattah Setiawan Santoso, Diflah Nadjih dan Imam Samroni, Penguatan Budaya Ramah Lingkungan Berbasis Fikih Di Kampung Nelayan Wilayah Poncosari Srandakan Bantul-DIY, Laporan Akademik Program Bantuan Peningkatan Mutu Pengabdian Kepada Masyarakat Direktur Pendidikan Tinggi Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam tahun 2015

Hamdi, Fahmi. “Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Fikih Islam.” Ta’lim Muta’allim, Vol. III Nomor 05 Tahun 2013, h. 75-90

(9)

Sanchez, Manuel Jimenez. “Defining And Measuring Environmental Consciousness,” Revista Internacional De Sociologia (RIS) Vol.68, no 3, Septiembre-Diciembre, 2010, h. 731-755.

Winn, Phillip.“Majelis Taklim and Gendered Religious Practice in Northern Ambon.” Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific, Issue 30, November 2012

Referensi

Dokumen terkait

Terakhir, jika pelanggan atau pemasok mengusulkan Anda bekerja sama dengannya untuk membahayakan salah seorang pesaingnya, Anda juga harus menghentikan percakapan dan

Bab ketiga berisi paparan data yang menjelaskan tentang badan amil zakat nasional (BAZNAS) kabupaten Bantul, Kementrian Agama Kabupaten Bantul, serta pengelolaan Koin

Dapat dilihat pada Tabel 16 bahwa indikator partisipasi dalam tahap perencanaan pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang- parit yang tergolong

Kajian upaya peningkatan daya saing peternakan kambing Saburai skala kecil di Kabupaten Tanggamus diharapkan dapat merumuskan tahapan pengembangan sumberdaya peternak

Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Puskesmas sesuai dengan tugas pokok pelaksana urusan3. Melaksanakan penyeliaan, pemantauan, dan evaluasi kinerja bidan

3 Nanang Khairudin Prajurit Kulon 42 Perakitan Komputer 0 - 100 juta Planetz Computer Micro DAFTAR KEGIATAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH ( UMKM ). DI KELURAHAN PRAJURIT KULON

waktu/daluwarsa 1 satu tahun lebih , sebagaimana yang di tentukan dalam Pasal 82 Undang- Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, di mana Pemutusan Hubungan Kerja di lakukan pada

Sistem start pada mata lomba ini adalah mass start yaitu dengan posisi atlet berdiri statis 
(diam) didalam garis start yang tersedia dan atlet akan mulai