• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI ANAK JALANAN S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI ANAK JALANAN S"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KONSTRUKSI IDENTITAS DIRI ANAK JALANAN (Studi Fenomenologi pada Anak Jalanan di Komunitas Jaringan

Kemanusiaan Jawa Timur)

Oleh : Wuri Anggarini 0811220150

Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya 2013

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi identitas diri anak jalanan yang tergabung di komunitas JKJT. Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi teori tentang konsep diri, teori Identitas Diri, teori Interaksionisme Simbolik, dan Symbolic Convergence Theory. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi dan teknik pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam. Informan penelitian adalah anggota komunitas JKJT yang hingga penelitian berlangsung masih aktif mengikuti kegiatan di JKJT. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa proses konstruksi identitas diri informan diawali dengan pembentukan konsep diri. Dari konsep diri tersebut, informan dikategorikan menjadi dua, yaitu informan dengan konsep diri negatif-positif, dan informan dengan konsep diri positif-positif. Dari kategorisasi tersebut konsep diri tersebut, peneliti mengembangkan analisis mengenai identitas diri yang dimiliki masing-masing informan. Konstruksi identitas diri informan menghasilkan tipe informan dengan identitas yang berbeda antara satu sama lain. Tipe-tipe tersebut antara lain informan dengan identitas religius, identitas prinsipil, identitas kreatif, dan identitas normatif.

(2)

I. Latar Belakang

Anak jalanan adalah salah satu fenomena yang sering kita lihat di kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Secara umum, anak jalanan dianggap sebagai sampah masyarakat, pengganggu ketertiban umum, kasar, kotor, tidak punya sopan santun, bahkan tidak jarang pula dianggap sebagai anak nakal karena pola hidup mereka yang cenderung tidak mengikuti aturan dan norma yang berlaku pada masyarakat pada umumnya (Suyanto, 2010: 186).

Berdasarkan data milik Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Malang, jumlah anak jalanan di kota Malang meningkat dua kali lipat pada akhir tahun 2012, yaitu sekitar 1200 orang. Pertambahan ini karena banyaknya anak jalanan yang masuk dari kota lain ke Malang dan juga ditambah angka kelahiran dari keluarga yang tinggal di jalan (Wawancara Peneliti, Februari 2013).

Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Malang adalah salah satu lembaga pendampingan anak jalanan yang mampu memperlakukan anak jalanan dengan cara yang berbeda. Berdasarkan hasil observasi peneliti, JKJT menyediakan tempat tinggal menetap, bukan sekedar rumah singgah, untuk anak jalanan yang bergabung menjadi anak bina di sana. Anak bina di JKJT mengikuti aktivitas harian rutin di sana seperti pembinaan keterampilan, wirausaha, dan kegiatan belajar umum. Tujuan dari pembinaan ini adalah agar anak jalanan yang menjadi anak bina di JKJT dapat mandiri tanpa harus kembali ke kehidupan di jalan.

Selain mengisi kegiatan harian anak binanya dengan berbagai aktivitas pembinaan, JKJT menciptakan lingkungan sosial yang baru bagi anak binanya di mana lingkungan sosial tersebut lebih kondusif dibandingkan lingkungan sosial saat mereka masih menjalani kehidupan di jalan. Salah satunya adalah dengan munculnya sapaan “Ayah” di JKJT yang ditujukan kepada Ketua JKJT sekaligus pemilik rumah tempat tinggal anak bina JKJT. Berdasarkan wawancara peneliti dengan beberapa anak bina JKJT, sapaan “Ayah” tersebut ternyata mampu membuat anak-anak bina di JKJT merasakan memiliki keluarga kembali.

(3)

ternyata memiliki peran lain yaitu membantu anak-anak bina JKJT dalam proses mengubah pola pikir dan pembentukan karakter mereka. Perubahan pola pikir tersebut dinilai penting untuk mengarahkan anak bina JKJT menjadi individu yang lebih baik.

Anak-anak yang bergabung di JKJT merasakan budaya lingkungan di JKJT lebih kondusif dibandingkan budaya lingkungan di jalan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa anak bina di JKJT, mereka merasa bukan lagi sekadar dianggap sebagai anak jalanan namun sebagai anak-anak yang harus mampu mandiri tanpa perlu merasa rendah diri dengan latar belakang mereka selama di jalanan. Perubahan-perubahan positif pun secara perlahan muncul dalam diri mereka, salah satunya adalah aspek konsep diri mereka.

Secara teoritis, konsep diri individu terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan sosial di sekitar mereka. Hal ini didukung oleh salah satu asumsi teori Interaksionisme Simbolik yang menyatakan bahwa individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan lain dan konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku (West dan Turner, 2008: 98).

Konsep diri dan identitas diri anak jalanan yang bergabung di JKJT menarik untuk dibahas dalam kajian ilmu komunikasi menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah suatu pendekatan yang digunakan manusia melalui pengalaman langsung (Littlehohn, 2009: 57). Bagaimana anak jalanan yang tergabung di JKJT mengkonstruksikan identitas diri dihasilkan dari esensi berbagai pengalaman yang mereka miliki. Pemaknaan menjadi hal penting dalam menghasilkan gambaran diri tersebut. Pemaknaan adalah salah satu aspek yang dibahas dalam kajian ilmu komunikasi dan konsep ini dipahami dalam teori Interaksionisme Simbolik yang menjelaskan bahwa manusia berinteraksi satu sama lainnya sepanjang waktu, mereka berbagi pengertian untuk istilah-istilah dan tindakan tertentu, dan memahami kejadian-kejadian dalam cara yang tertentu pula (Littlejohn, 2009: 121).

(4)

konsep diri dan konstruksi identitas diri mereka. Bagaimana proses yang terjadi dalam diri mereka dan pemaknaan apa yang mereka miliki tentang gambaran diri mereka menarik di bahas dalam penelitian ini. Lingkungan di jalan dan lingkungan di JKJT adalah dua lingkungan sosial yang berbeda di mana interaksi yang terjadi akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda pula. Dan berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Konstruksi Identitas Diri Anak Jalanan di Komunitas Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Malang”.

II. Kajian Pustaka a. Fenomenologi

Tradisi fenomenologi memberi penekanan kuat pada persepsi dan interpretasi individu terhadap pengalaman mereka (Griffin, 2011: 45). Fenomenologi adalah cara yang digunakan manusia untuk melihat pengalaman langsung. Fenomenologi membuat pengalaman nyata sebagai data pokok sebuah realitas (Littlejohn dan Foss, 2009: 57). Van Kaam merumuskan fenomenologi sebagai metode dalam psikologi yang berusaha untuk menyingkapkan dan menjelaskan gejala-gejala tingkah laku sebagaimana gejala-gejala tingkah laku tersebut mengungkapkan dirinya secara langsung dalam bentuk pengalaman (Sobur, 2013: 16).

Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada pemaknaan anak jalanan yang tergabung di JKJT tentang konsep diri dan identitas dirinya. Pemaknaan terhadap pengalaman individu adalah fokus dari penelitian fenomenologi sehingga dalam penelitian ini, peneliti menggunakan fenomenologi sebagai metode untuk melihat bagaimana informan memaknai konsep diri dan identitas diri mereka berdasarkan pengalaman sadar mereka.

b. Konsep Diri

(5)

memberikan sebuah kerangka berpikir bagi kita untuk menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita sendiri, termasuk motivasi keadaan emosional, evaluasi, dan hal lainnya (Baron dan Byrne, 2004: 165). Devito (2007: 56) mengungkapkan bahwa konsep diri seseorang terbentuk dari empat sumber utama yaitu pandangan orang lain terhadap diri seseorang, perbandingan sosial individu terhadap orang-orang di sekitarnya, ajaran budaya, dan evaluasi dan interpretasi diri.

Konsep diri merupakan salah satu tema yang dibahas di dalam teori interaksionisme simbolik. LaRossa dan Rietzes (West dan Turner, 2008: 98) menyebutkan bahwa teori ini memiliki tujuh asumsi antara lain sebagai berikut:

a. Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang diberikan orang lain terhadap mereka.

b. Makna diciptakan dalam proses interaksi antarmanusia. c. Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.

d. Individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain. e. Konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.

f. Orang dan kelompok dipengaruhi oleh proses sosial dan budaya. g. Struktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.

(6)

2008: 107). Masyarakat terdiri atas individu-individu yang memengaruhi pikiran dan diri.

Rakhmat (2005: 100) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsep diri seseorang antara lain orang lain dan kelompok rujukan. Tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama terhadap diri kita. Ada yang paling berpengaruh, yaitu orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. George Herbert Mead menyebutnya sebagai significant others, orang lain yang sangat penting. Ketika kita masih kecil, orang-orang tersebut adalah orang tua, saudara, dan orang-orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Kemudian significant others berkembang meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran, dan perasaan kita. Pandangan diri kita terhadap keseluruhan pandangan orang lain terhadap kita disebut generalized others. Memandang diri kita seperti orang-orang lain memandangnya, berarti mencoba menempatkan diri kita sebagai orang lain.

Kita pasti menjadi anggota berbagai kelompok dalam masyarakat. Kelompok tersebut memiliki norma tertentu. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita dan mempengaruhi konsep diri kita. Dengan berpedoman pada kelompok ini, individu mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya.

c. Identitas Diri

Menurut Hecht (Littlejohn dan Foss, 2009: 130), dimensi diri dan dimensi yang diharapkan dari identitas berinteraksi dalam rangkaian empat tingkatan atau lapisan, antara lain sebagai berikut:

1. Tingkatan personal layer : tingkatan ini terdiri dari rasa akan keberadaan diri kita dalam situasi sosial, misalnya ketika bermain dengan teman, mendapatkan nilai di kelas, atau bepergian bersama keluarga.

(7)

3. Tingkatan relational : tingkatan ini menyangkut siapa diri kita dalam kaitannya dengan individu lain. Identitas dibentuk dalam interaksi kita dengan mereka.

4. Tingkatan communal : identitas ini terikat pada kelompok atau budaya yang lebih besar. Tingkat identitas ini sangat kuat pada banyak budaya Asia, misalnya ketika identitas dibentuk oleh komunitas yang lebih besar daripada oleh perbedaan individu di antara manusia dalam komunikasi.

Dalam tingkatan identitas kelompok, individu dan kelompok saling berbagi cerita dan mereka mengkonstruksikan realita berdasarkan cerita-cerita yang diyakini ada. Hal ini sesuai dengan pandangan teori Pemusatan Simbol (Symbolic Convergence Theory) yang menyatakan bahwa gambaran individu tentang realitas dituntun oleh cerita-cerita yang menggambarkan bagaimana segala sesuatu diyakini ada (Littlejohn dan Foss, 2009: 236). Ada beberapa konsep dalam teori ini yang dikemukakan Bormann (Griffin, 2011: 246) antara lain:

1. Dramatizing message. Dramatisasi pesan adalah salah satu dari isi bahasa imajinatif seperti permainan kata-kata atau metafora, analogi, anekdot, kiasan, atau ekspresi kreatif lainnya.

2. Fantasy chain reaction: Unpredictable symbolic explosion. Fantasi di sini maksudnya adalah antusiasme yang mencakup seluruh anggota kelompok. 3. Fantasy themes: Content, motives, Cue, Types. Secara teknis, Bormann mendefinisikan fantasi sebagai interpretasi kejadian secara kreatif dan imajinatif yang memenuhi kebutuhan psikologis dan retoris kelompok. Tema fantasi terindeks dalam suatu symbolic cue. Symbolic cue adalah kesepakatan bersama antara trigger atau pemicu yang men-setting anggota kelompok untuk memberi respon ketika pertama kali mereka berbagi fantasi. Makna yang diberikan untuk tema fantasi berbeda-beda.

(8)

5. Rhetorical Vision: A composite drama shared by a rhetorical community. Rhetorical vision adalah sebuah gabungan drama yang merujuk pada sekelompok besar manusia menuju sebuah realitas simbolik umum.

III. Kerangka Pemikiran

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Keterangan Gambar :

: menunjukkan hubungan langsung antara konsep yang diteliti. : menunjukkan proses menjalani suatu pengalaman.

: menunjukkan proses dari suatu fenomena.

Keterangan :

Informan dalam penelitian ini adalah anak jalanan yang tergabung dalam komunitas Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT). Informan menjalani

Interaksionisme Simbolik

Kehidupan di Jalan

Jaringan Kemanusiaan Jawa

Timur (JKJT) Informan

Konstruksi Identitas Diri Anak Jalanan setelah bergabung di JKJT

Konsep Diri

Identitas Diri

(9)

serangkaian pengalaman di mana mereka pernah menjalani kehidupan di jalan dan kehidupan di JKJT. Berdasarkan asumsi teori Interaksionisme Simbolik, individu mengembangkan konsep dirinya berdasarkan interaksi dengan lingkungan sosialnya. Untuk menggali konsep diri dan identitas diri tersebut, peneliti menggunakan teori Interaksionisme Simbolik untuk membantu menggabungkan temuan-temuan lapangan terkait proses konstruksi identitas diri pada anak jalanan. Ketika informan menjalani proses kehidupan di JKJT, JKJT memiliki lingkungan budaya yang lebih kondusif dibandingkan lingkungan di jalan. Dari serangkaian pengalaman menjalani kehidupan di jalan dan di JKJT itulah informan kemudian terjadi proses konstruksi identitas diri mereka. Proses inilah yang diteliti oleh peneliti menggunakan pendekatan fenomenologi, di mana dengan pendekatan ini peneliti mengupas proses konstruksi identitas diri anak jalanan yang tergabung di JKJT berdasarkan pemaknaan yang dihasilkan oleh masing-masing informan.

IV. Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran menyeluruh tentang fenomena konstruksi identitas diri anak jalanan yang tergabung dalam Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subyek penelitian ini adalah anak-anak jalanan yang tergabung di komunitas Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Malang.

Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis Van Kaam yang telah dimodifikasi oleh Moustakas (1994: 120) :

a. Listing and Preliminary Grouping.

Membuat daftar setiap pernyataan yang relevan dengan hal yang diteliti. b. Reduction and Elimination.

(10)

1. Apakah data mengandung aspek penting untuk memahami proses konstruksi identitas diri yang terjadi pada anak jalanan yang bergabung di JKJT?

2. Apakah data itu mungkin untuk dibuat abstraksinya dan diberi label khusus?

3. Apabila data “tidak dapat” menjawab pertanyaan tadi, atau data tumpang tindih dengan data yang lain, atau terjadi pengulangan data, maka data tersebut harus dieliminasi.

c. Clustering and Thematizing the Invariant Constitutes (Thematic Potrayal). Langkah selanjutnya adalah mengelompokkan dan memberi tema setiap kelompok data yang tersisa dari proses eliminasi. Setiap kelompok data yang diperoleh akan menggambarkan tema-tema inti dari penelitian mengenai konstruksi identitas anak jalanan yang bergabung di JKJT.

d. Final Identification of the Invariant Constitutes and Themes by Application: Validation.

Memeriksa tema yang dilekatkan pernyataan dari setiap informan. Misalnya dengan menghubungkan pertanyaan berikut:

1. Apakah data secara eksplisit menunjukkan bagaimana proses konstruksi identitas diri yang terjadi pada anak jalanan yang tergabung dengan JKJT?

2. Bila sesuai, apakah data cocok dengan permasalahan penelitian dan tema yang dilekatkan kepadanya?

e. Individual Textural Description.

Mengkonstruksi deskripsi struktural masing-masing informan, termasuk pernyataan-pernyataan verbal informan, yang berguna bagi penelitian selanjutnya.

f. Individual Structural Description.

Membuat deskripsi struktural, yaitu penggabungan deskripsi tekstural dengan variasi imajinasi.

(11)

Membentuk sebuah deskripsi tekstural-struktural tiap informan tentang makna dan esensi dari pengalaman tersebut.

V. Pembahasan

Konsep diri menurut Devito (2007: 56) terbentuk dari empat sumber utama yaitu pandangan orang lain terhadap diri seseorang, perbandingan sosial individu terhadap orang-orang di sekitarnya, ajaran budaya, dan evaluasi dan interpretasi diri. Konsep diri yang dimiliki keempat informan ini tidak serta merta muncul, tetapi dipengaruhi oleh proses sosial yang terjadi di lingkungan sekitar mereka. Hal ini didukung asumsi teori Interaksionisme Simbolik (West dan Turner, 2008: 98) yang mengatakan bahwa individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi dengan orang lain dan konsep diri memberikan motif yang penting untuk perilaku.

Keempat informan dalam penelitian ini mempersepsikan dirinya dengan berbeda-beda antara satu sama lainnya. Uki mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang mau berusaha, belajar, dan tidak gengsi melakukan pekerjaan apa pun selama pekerjaan itu halal. Berbeda dengan Willy yang mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang pemalu, minder, ragu-ragu dalam mengambil keputusan dan kurang percaya diri jika berhubungan secara personal dengan orang-orang yang baru dikenal. Sementara itu Tian memiliki persepsi tentang dirinya sendiri sebagai sosok yang mandiri, keras, tegas, bertanggung jawab, dan pekerja keras. Nando sendiri mempersepsikan dirinya sebagai sosok yang dulu pernah menggunakan narkoba, merasa tidak nyaman dengan masa lalunya karena sering mendapat penilaian negatif dari orang-orang sekitarnya, lebih suka menyendiri, tidak banyak bicara, disiplin, dan mau belajar hal-hal yang tidak dikuasai sebelumnya.

(12)

yang kurang dalam proses pembentukan awal tersebut. Selama mereka menjalani kehidupan di JKJT, mereka menjadikan “Ayah” sebagai significant others dan mereka masih dalam proses modifikasi konsep diri ke arah yang lebih positif. Sementara informan dengan konsep diri positif-positif, mereka mengalami perkembangan awal konsep diri yang cukup baik karena dibantu oleh peran significant others. Ketika menjalani kehidupan di JKJT, “Ayah” menjadi significant others yang semakin memantapkan konsep diri positif yang dimiliki informan.

Dari hasil kategorisasi konsep diri informan, peneliti mengembangkan analisis mengenai identitas informan berdasarkan analisis tingkatan identitas yang dimiliki informan. Dari analisis tersebut, terdapat empat tipe identitas yang dimiliki masing-masing informan antara lain identitas religius, identitas kreatif, identitas prinsipil, dan identitas normatif.

(13)

Identitas kreatif yang dimiliki Willy ditampilkan melalui personal layer sebagai individu yang belajar untuk memperbaiki sikapnya yang ragu-ragu,belajar untuk tidak minder dengan masa lalunya karena merasa sekarang sudah memiliki bakat yang bisa dibanggakan. Enactment layer yang dimiliki Willy ditampilkan dengan sering mengaransemen lagu, sering menunjukkan hasil aransemen tersebut kepada orang lain, memperdalam keterampilan bermusik dengan mengikuti les musik, menggunakan lagu aransemennya untuk mengamen agar membedakan diri dengan pengamen lain. Relational layer ditampilkan Willy dengan menganggap identitas relasional dengan keluarga sebagai anak broken home, membangun identitas relasional dengan “Ayah” dan anak bina lain di JKJT sebagai satu keluarga, berperan dalam aktivitas band milik JKJT dan memiliki posisi yang cukup penting dalam band. Sementara sisi communal layer yang dimiliki Willy adalah identitas kelompok sebagai anggota komunitas JKJT. Diasosiasikan oleh anak-anak bina JKJT dengan peristiwa “Jakarta Nyaman” yang merupakan lelucon yang dibuat kelompok atas peristiwa beberapa tahun lalu yang terjadi pada Willy.

(14)

anggota komunitas JKJT. Mendapat nama julukan oleh anggota JKJT karena penampilan fisiknya yang hitam dan kekar, sering dipanggil dengan nama tersebut, akibatnya hanya sedikit orang yang mengetahui nama aslinya.

Identitas normatif yang dimiliki Nando ditampilkan melalui personal layer sebagai sosok pendiam, mantan pengguna narkoba, belajar tidak merasa rendah diri dengan masa lalunya, merasa sudah banyak berubah menjadi lebih baik dibandingkan dulu. Enactment layer ditunjukkan dengan berusaha menunjukkan sebagai diri berubah menjadi diri yang lebih baik dari sebelumnya. Menaati peraturan dan berusaha tidak berperilaku buruk. Sering mengingatkan sesama anggota untuk tidak melanggar peraturan. Menjunjung tinggi peraturan di JKJT dan tidak pernah melanggar sekalipun. Relational layer ditampilkan melalui identitas diri sebagai bagian dari keluarga JKJT yang tidak pernah melanggar peraturan. Mengaku sering menjadi kambing hitam jika ada konflik di JKJT oleh teman-teman yang lain namun tidak pernah merasa marah berlarut-larut karena menganggap teman-teman yang lain sudah seperti keluarga. Communal layer ditampilkan melalui identitas kelompok sebagai anggota komunitas JKJT dan berperan dalam kegiatan band JKJT. Sering membantu kegiatan lain seperti fotografi dan wirausaha.

(15)

Gambar 5.1 Konstruksi Identitas Diri Informan VI. Kesimpulan

a. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan bahwa konsep diri informan

dapat dikategorisasikan menjadi dua kelompok, yaitu informan dengan

konsep diri negatif-positif dan informan dengan konsep diri positif-positif.

Informan dengan konsep diri negatif-positif adalah informan yang

memiliki hambatan dalam perkembangan awal konsep diri mereka karena

peran significant others yang kurang dalam proses pembentukan awal

tersebut. Selama mereka menjalani kehidupan di JKJT, mereka

menjadikan “Ayah” sebagai significant others dan mereka masih dalam

proses modifikasi konsep diri ke arah yang lebih positif. Sementara

informan dengan konsep diri positif-positif, mereka mengalami

perkembangan awal konsep diri yang cukup baik karena dibantu oleh

peran significant others. Ketika menjalani kehidupan di JKJT, “Ayah”

menjadi significant others yang semakin memantapkan konsep diri positif

(16)

b. Konsep diri yang dimiliki informan kemudian berkembang menjadi

identitas diri yang terkait dengan peran sosial mereka di masyarakat.

Masing-masing informan mengkonstruksikan identitas diri mereka

berbeda antara satu dengan lainnya. Dari hasil konstruksi tersebut, terdapat

empat tipe identitas yang dimiliki informan antara lain identitas religius,

identitas prinsipil, identitas kreatif, dan identitas normatif.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Baron, Robert A. dan Byrne, Donn. 2004. Psikologi Sosial Jilid I (Edisi Kesepuluh). Jakarta: Erlangga.

Bungin, Burhan. 2006. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Devito, Joseph A. 2007. The Interpresonal Communication. Boston: Pearson Education, Inc.

Griffin, Em. 2011. A First Look At Communication Theory. New York: McGraw Hill.

Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Gelora Aksara Pratama

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi. Bandung: Widya Padjajaran.

Littlejohn, Steven W. dan Foss, Karen A. 2009. Theories of Human Communication. Jakarta: Salemba Humanika.

Moleong, L. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(17)

Moustakas, Clark. 1994. Phenomenological Research Methods. London: Sage Publication

Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Press.

Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rietzer, George. 2007. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Santrock, John W. 2005. Perkembangan Remaja. Jakarta: Penerbit Erlangga

Sudrajat, Tata. 1999. Isu Prioritas dan Program Penanggulangan untuk Mengatasi Anak Jalanan. Jurnal Hakiki Vol 1/ No 2/ Nov 1999.

Suyanto, Bagong. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

... dan Sutinah. 2006. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Kencana Prenada Media.

Sobur, Alex. 2009. Psikologi Umum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Pustaka Setia

Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta: CV Agung Seto.

Sriningsih, Endang. 2010. Teori Social Construction of Reality Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Dalam: Suyanto, B. dan Amal, H.eds. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.

Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo S. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara

West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi (Buku 1). Jakarta: Salemba Humanika.

Internet :

Bajari, Atwar. 2009. Konstruksi Makna dan Perilaku Komunikasi Anak Jalanan di Cirebon. Disertasi. Universitas Padjajaran Bandung [Online] tersedia di

(18)

Consortium for Street Children. 2009. Street Children: Occupier of the Invisible Public Space. [Online] tersedia di

http://www.streetchildren.org.uk/_uploads/Resources/

Paper_on_street_children_for_Socio_Design_Foundation_August_2009.pdf

diakses 9 Oktober 2013

Hecht, M. and Choi, H. J. 2005. The Communication Theory of Identity as a Framework for Health Message Design. [Online] tersedia di

http://www.sagepub.com/upm-data/43569_8.pdf diakses 13 Oktober 2012

Siahaan, Rosalin. 2011. Konstruksi Identitas Diri pada Murid Lembaga Pendidikan Nonformal PKBM Emphaty Medan. Skripsi. Universitas

Sumatera Utara [Online] tersedia di

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28798 diakses 15 Maret 2012

Wiencke, Mark. 2008. Theoritical Reflection on the Life World of Tanzania Street Children. [Online] tersedia di

http://anthropologymatters.com/index.php?

journal=anth_matters&page=issue&op=view&path[]=13 diakses 17 Oktober 2012

Beazley, H. 2003. Voices from the Margin Street Children’s Subcultur Indonesia. [Online] tersedia di

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami pengertian kesejahteraan siswa yang bersekolah di yayasan anak jalanan di kota Surakarta dan mengidentifikasikan

Pendekatan untuk memahami anak jalanan melalui pemahamanan terhadap latar belakang ekonomi keluarga anak jalanan tetap perlu digunakan, tetapi perlu ditambah

( Studi Kasus Konstruksi Identitas Online Perempuan Dewasa Awal dalam Social Media Path di Universitas Sebelas Maret Surakarta )v.

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul KETERKAITAN KONSTRUKSI SOSIAL DENGAN BUDAYA KEMISKINAN ANAK JALANAN DI KOTA YOGYAKARTA adalah karya

     Setelah  memahami  beberapa  permasalahan di atas, kiranya menjadi sangat  penting  untuk  memaknai  identitas  sebuah  kota,  karena  dengan 

Tugas dari pendamping JKJT dalam pendampingan terhadap anak binaan adalah melakukan assesmen terhadap anak jalanan yang baru bergabung dengan JKJT dengan maksud untuk

19 Orang tua sebagai bagian dari lingkungan sosial mempunyai media dan juga agen dalam menciptakan habitus anak jalanan untuk bergabung di komunitas Save Street

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh lirik lagu identitas daerah SUBOSUKAWONOSRATEN yang mengandung pemanfaatan aspek bunyi, diksi, gaya bahasa dan