B A B I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai Negara agraris memiliki potensi pertanian yang cukup
besar dan dapat berkontribusi terhadap pembangunan dan ekonomi nasional.
Penduduk di Indonesia sebagian besar juga menggantungkan hidupnya dari sektor
pertanian. Sektor pertanian terdiri dari pertanian, peternakan, perikanan dan
kehutanan memiliki potensi yang sangat besar dalam menyerap tenaga kerja di
Indonesia. Sektor pertanian juga berperan besar dalam penyediaan pangan untuk
mewujudkan ketahanan pangan dalam rangka memenuhi hak atas pangan, seperti
contohnya ialah pertanian sawah.
Oleh sebab itu pemerintah pada saat ini mulai gencar melalalui
program-program yang telah dirancang untuk mengusahakan agar kondisi pangan selalu
tersedia setiap saat dan terjangkau harganya oleh masyarakat. Peraturan
pemerintah No 68 Tahun 2002 misalnya menunjukkan keseriusan pemerintah
dalam menangani masalah ketahanan pangan1
1
Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan
. Berbicara masalah petani saat
sekarang ini menarik untuk diperhatikan. Dimana pemerintah sedang menggiatkan
program ketahanan pangan, tetapi kehidupan petani masih kurang diperhatikan.
Salah satunya bisa dilihat dari harga pupuk, banyaknya jenis pupuk yang
dibutuhkan petani tentunya mendorong kualitas dari hasil pertanian mereka.
yaitu pupuk Urea. Selain itu dengan pola produksi tahunan yang mengikuti
musim, harga gabah/beras berfluktuasi. Pada saat panen raya, produksi melimpah
melebihi kebutuhan konsumsi, sehingga harga cenderung turun sampai tingkat
yang kurang menguntungkan petani. Sebaliknya pada saat paceklik, volume
produksi lebih rendah dari kebutuhan, sehingga harga cenderung meningkat yang
dapat memberatkan konsumen. Dengan kata lain fluktuasi harga gabah yang tidak
menentu untuk setiap musim panen terasa semakin memberatkan kehidupan
perekonomian petani.
Kehidupan perekonomian petani Indonesia semakin berat karena
pemerintah juga menyatakan bahwa hasil pertanian Indonesia saat ini tidak cukup
memenuhi kebutuhan penduduk Indonesia. Kebijakan yang dibuat pemerintah
untuk mengatasi kekurangan komoditas pertanian salah satunya padi adalah
dengan melakukan impor beras dari luar negeri, hal ini bahkan diperkuat dengan
pembuatan Peraturan Menteri Perdagangan2 yang mengatur ketentuan impor beras. Penetapan impor beras oleh pemerintah membuat beras dari luar negeri
banyak masuk ke Indonesia seperti contoh pada tahun 2011, impor beras dari
Thailand maupun dari Vietnam3.
Kebijakan impor beras juga terkait secara langsung dengan nasib petani
Indonesia. Menurut data dari Badan Pusat Statistik tahun 1999, kita telah
2
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 3
Salsabila, Almira,”Kebijakan Impor Beras di Indonesia,”
mengimpor beras sebanyak 1.8 juta ton pada tahun 1995; 2.1 juta ton pada tahun
1996; 0.3 juta ton pada tahun 1997; 2.8 juta ton pada tahun 1998; 4.7 juta ton pada
tahun 19994. Tetapi perhatian pemerintah terbatas hanya pada segi surplus perdagangan komoditas pertanian saja sementara dari segi kesejahteraan petani,
hal ini masih masih sangat jauh diperhatikan. Produktivitas petani padi Indonesia
terus meninggi sementara kesejahteraan petani Indonesia terus menurun,
pemerintah hanya serius mengatasi kebutuhan penduduk akan beras saja.
Kebijakan impor beras semakin menurunkan harga padi dari tangan petani. harga
jual gabah dari tangan petani sebelum adanya kebijakan sangat murah, ditambah
lagi dengan adanya kebijakan impor beras yang membuat semakin murah,
sementara kebutuhan yang harus dipenuhi kelurga petani juga semakin tinggi.
Dampaknya adalah kesejateraan petani yang semakin menurun.
Dilema petani bukan hanya pada kebijakan pemerintah yaitu pada masalah
impor beras, tetapi petani juga mengalami kesulitan seperti relatif sempitnya tanah
atau lahan yang mereka miliki, dan juga permasalahan pembagian hasil produksi
seperti: sewa tanah, upacara dan pendidikan. Oleh karena itu. surplus yang mereka
peroleh habis untuk menutupi berbagai macam kebutuhan. Bahkan, sering kali
tidak cukup. Dalam kaitan ini, R Wolf (1983) mengatakan bahwa lebih dari
separuh dari seluruh yang diperoleh petani disisihkan untuk keperluan produksi.
4
Angga Pratama Hardiansya Putra,”pemberdayaan petanidalam rangka pemantapan ketahan pangan nasional.”
Seperti kita ketahui bahwa bertani, dalam hal ini adalah bercocok tanam
padi di sawah, petani tidak harus setiap hari berada di sawahnya. Akan tetapi pada
masa-masa tertentu, terutama setelah tahap penanaman, mereka hanya sesekali
pergi kesawahnya untuk melihat keadaan air dan kondisi padi. Dengan begitu,
mereka mempunyai waktu luang untuk mengerjakan sesuatu yang dapat
menghasilkan uang, sehingga mereka dapat menambah penghasilannya dengan
mengerjakan sesuatu yaitu beternak, berjualan.
Masyarakat petani dipandang sebagai kelompok orang yang menetap di
pedesaan dan hidup dari mengolah tanah untuk tujuan mencukupi kebutuhan
subsisten. Dalam perkembangannya, masyarakat petani dapat dibedakan kedalam
tiga tingkatan, yaitu : pencocok tanam primitif, petani atau peasant, dan
pengusaha pertanian atau farmer (Wolf, 1985). Penelitian yang saya lakukan ini
bisa dikatakan lebih fokus pada petani peasant karena mereka cenderung hidup
dalam mengandalkan hasil pertanian, baik untuk kebutuhan pangan, sandang, dan
papan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut petani menyimpan setengah dari
hasil panennya di rumah, yang nantinya padi tersebut dapat dijual dan digunakan
untuk keperluan sehari-hari.
Tulisan ini mengungkapkan dan menjelaskan kebiasaan-kebiasaan
Karena menurut konsep etic dan emic view5 apabila kita melihat masyarakat
petani dari sudut pandang orang luar (masyarakat bukan petani), mereka
menganggap bahwa petani itu hanya memikirkan pada sektor sawah saja yaitu :
untuk memilih bibit yang baik, obat-obatan, merawat hingga mendapatkan hasil
yang memuaskan. Mereka juga menganggap bahwa pekerjaan petani dapat
dikerjakan oleh setiap orang. Itu salah besar, tugas seorang petani sangat sulit.
Pekerjaan mereka bukan hanya untuk memilih bibit padi, merawat serta
menghasilkan panen yang memuaskan. Tetapi juga bagaimana membagi-bagi
hasil panen tersebut untuk kebutuhan rumah tangga dan juga kebutuhan tuntutan
yaitu uang sekolah anak-anaknya, biaya yang dikeluarkan apabila mengikuti suatu
upacara atau kegiatan adat-istiadat suku batak.
Penelitian ini mengkaji bagaimana masyarakat petani di Desa Wonosari,
Kecamatan Tg Morawa,Kabupaten Deli Serdang dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, karena apabila hanya mengandalkan hasil dari sektor pertanian saja itu
tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga mereka
melakukan strategi atau alternatif yang dapat membantu masalah perekonomian
mereka, yaitu beternak babi, ayam, kambing dan domba. Ada juga sebagian kecil
dari masyarakat petani menanami tanaman holtikultura yaitu semangka, kacang
kedelai di sawah setelah pasca panen dan hasil dari penjualan dari tanaman
tersebut dapat dipakai untuk modal menanam padi. Dalam penelitian ini petani
5
dibatasi pada petani pemilik atau penguasa lahan dan buruh tani, dan dengan
kegiatan usaha tani yang masih bersifat subsisten untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
Ketertarikan saya meneliti masyarakat petani di Desa Wonosari di latar
belakangi oleh beberapa kenyataan yang saya dapatkan dari desa tetangga yang
sangat erat kaitannya dengan masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoalan
ekonomi keluarga. Yaitu sekitar dua tahun yang lalu seorang petani di Desa Aras
kabu bunuh diri di tengah-tengah areal persawahan miliknya. Singkat cerita pada
saat itu kondisi sawahnya yang ditanami padi sedang memasuki masa panen,
tetapi akibat cuaca yang buruk mengakibatkan padi yang sedianya siap dipanen
itu rubuh. Setelah ditelusuri kematian petani tersebut karena dia merasa frustasi
melihat kondisi persawahan miliknya yang rubuh sehingga petani itu menyemprot
areal persawahannya tersebut dengan racun rumput (Herbisida) dan sisa racun
rumputnya itu diminum oleh petani tersebut.
1.2 Tinjauan Pustaka
Secara umum petani dapat diartikan sebagai pencocok tanaman pedesaan
yang mencari nafkah dengan mengolah tanahnya untuk memenuhi kebutuhannya,
apabila dilihat dari sisi antropologis Masyarakat petani dipandang sebagai
kelompok orang yang menetap di pedesaan dan hidup dari mengolah tanah untuk
petani dapat dibedakan kedalam tiga tingkatan, yaitu : pencocok tanam primitif,
petani atau peasant, dan pengusaha pertanian atau farmer (Wolf, 1985).
Masalah pertanian dan kemiskinan masyarakat petani tidak bisa hanya
diselesaikan dengan masalah kebijakan pemerintah saja.Teori ilmiah saja tidak
bisa menjadi jawaban dan penyelesaian bagi masalah ini. Sukses reformasi
pertanian seperti di Jepang, Taiwan, juga Korea Selatan tidak bisa relevan menjadi
tolak ukur situasi di Indonesia.Apa yang sukses bagi orang Jawa, belum tentu
diterima orang Batak. Baik bagi orang Bali juga belum tentu bagi orang Jawa
(Rahardi, 1994: 102). Upaya analisa yang lebih penting harus menyentuh
langsung pada kehidupan petani secara lokal sehingga bisa terstruktur upaya yang
harus dilakukan secara maksimal.
Pandangan, perhatian dan pemeliharaan terhadap para petani di pedesaan
sudah semestinya diperhatikan pada masa pembangunan saat ini. Kenyataannya
kehidupan para petani di pedesaan tingkat kesejahteraannya masih rendah6
6
Petani Sumsel keluhkan minimnya perhatian pemerintah, yudi Abdullah
.
Pemerintah hanya terfokus pada masalah-masalah ekspor-impor beras saja,
mereka tidak memikirkan nasib petani yang semakin melarat. Bukan hanya
ketidak-pedulian pemerintah yang dirasakan oleh petani tetapi juga tekanan
mental yaitu mahalnya cbat-cbatan, pupuk dan juga murahnya harga gabah pada
saat masa panen. keadaan ini tidak membuat petani melepaskan profesinya
sebagai petani, tetapi mereka membuat strategi atau alternatif untuk dapat
memenuhi kebutuhannya.
Karakter utama masyarakat petani di Indonesia hampir selalu dihubungkan
dengan kemiskinan atau setidaknya ekonomi yang kurang berkecukupan.
Penghasilan yang bisa diperolehhanya dari lahan pertanian/sawah tidak bisa
diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja. Berbagai studi banyak
menggambarkan bahwa masyarakat petani berkutat pada berbagai usaha lain
sebagai tambahan ekonomi selain lahan sawah saja. Studi yang pernah dilakukan
Masri Singarimbun dan Penny pada masyarakat petani di desa Sriharjo,
Yogyakarta menyatakan petani Jawa melakukan upaya lain, terutama dengan
memanfaatkan pekarangan dengan menanam kelapa. Pohon kelapa bisa digunakan
untuk bermacam keperluan, untuk minyak, air sadapannya menjadi tuak atau gula,
daunnya untuk atap atau kayu bakar, kayunya bisa sebagai bahan bangunan, dan
seperti di Sriharjo, akarnya digali dan menjadi kayu bakar ( Singarimbun dan
Penny, 1976:82). Manfaat lain yang diusahakan juga berkembang dengan
memanfaatkan ragam tanaman ekonomis, seperti analisa yang dilakukan
Singarimbun dan Penny, ada sekitar 64 macam tanaman ekonomis yang ditanam
di pekarangan. Usaha pekarangan juga ditambah dengan berbagai rupa hewan
peliharaan seperti, kerbau, itik, ikan, ayam, dsb. Pekarangan telah digunakan
petani untuk mengisi kekurangan yang mereka peroleh dari sawah, pekarangan
dipergunakan sebagai sumber tambahan bagi makanan dan sewaktu-waktu sumber
uang tunai : dan hanya sedikit waktu atau usaha yang dicurahkan untuk mengurus
Pekarangan menyumbang sekitar 30-40 persen dibanding pendapatan dari
kelapa (Singarimbundan Penny, 1976: 73, 84). Dalam hal ini usaha tani (sawah)
saja yang banyak mendapat perhatian dari ahli-ahli, sehingga terdapat peningkatan
pada produksi padi. Hal ini tetap tidak mencukupi kebutuhan ekonomi petani
sehingga tetap mereka memanfaatkan usaha lain sebagai tambahan ekonomi.
Dalam buku Amir Marzali “strategi peisan Cikalong dalam menghadapi
kemiskinan” yaitu
1. Cara tradisional yaitu ekstensifikasi atau pembukaan areal persawahan baru
2. Cara modern yaitu intensifikasi atau memperbanyak masa panen dalam setahun
dan penggunaan faktor input baru, seperti bibit unggul, pupuk kimia, dan obat
pestisida.
Dengan mengkombinasikan kedua strategi ini petani dapat meningkatkan
produktifitas hasil panennya tanpa bergantung dengan kebijakan-kebijakan
pemerintah yang hanya dapat mempersulit petani.
Berbeda halnya dengan Penny dan Ginting dalam bukunya “pekarangan
petani dan kemiskinan”, petani memanfaatkan pekarangan mereka dengan dengan
menanaminya kelapa, pisang, melinjo, bambu dan juga usaha peternakan yaitu
ayam, itik, kambing dan lembu. Dengan menanam kelapa, petani di Desa
Mili-Sriharjo sangat terbantu dari segi ekonomi , yaitu buahnya yang dapat dijual.
Selain itu petani juga menyadap gula kelapa dan mengambil janurnya sebagai
menanami pekarangan dan beternak jauh lebih besar daripada bertani padi di
sawah.
Tulisan Geertz yang berjudul involusi pertanian yaitu melukiskan pola
kebudayaan yang sesudah mencapai bentuk yang pasti dan tidak berhasil
menstabilisasinya atau mengubahnya menjadi suatu pola baru, tetapi terus
berkembang ke dalam sehingga menjadi semakin rumit. Artinya bahwa
masyarakat petani hanya bertahan pada usaha pembagian lahan yang wariskan
kepada anak-anaknya. Contohnya apabila seorang petani mempunyai dua petak
lahan, kemudian lahan tersebut di bagikan kepada anak-anaknya yang berjumblah
empat orang. Lahan yang sudah di bagikan tersebut dibagikan lagi kepada
generasi selanjutnya, sampai lahan habis diwariskan. Sangatlah berbeda strategi
yang dilakukan petani dalam tulisan Amir Marzali, Dr. D H Penny dan Ir.
Meneth Ginting, dalam hasil riset mereka bahwa petani membuat strategi atau
alternatif untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yaitu dengan melakukan
ekstensifikasi, intensifikasi dan juga menanam pohon kelapa, memelihara ternak
di pekarangan rumah. Berbeda halnya dengan tulisan Cliffort Geertz, para petani
terus bertahan dalam roda pembagian tanah, sehingga menyebabkan pewarisan
kemiskinan di kalangan petani.
Scott dalam bukunya menyebutkan banyak hal yang terjadi dalam
kehidupan petani yang mungkin dapat dikatakan sangat ganjil. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya saja, tanpa bisa memikirkan memperoleh keuntungan yang
mungkin diperoleh melalui usaha pertanian yang dilakukannya, sehingga petani
berusaha memaksimalkan faktor produksi satu-satunya yang dimilikinya yaitu
tenaga kerja. Para petani berusaha menggunakan tenaga kerja yang dimilikinya
untuk bisa memenuhi kebutuhan subsistensi. Terkadang melalui hasil pertanian
saja tidak cukup, sehingga harus mencari alternatif pekerjaan lain yang hanya
cukup menambah sedikit saja untuk kebutuhan hidup, misalnya dengan berjualan.
Seringkali keputusan yang diambil petani juga tidak masuk akal bagi beberapa
orang, seperti membayar harga yang tinggi untuk sekedar menyewa tanah. Yang
dipikirkan para petani adalah bagaimana mampu memenuhi kebutuhan hidup dari
bertani.
Para petani dalam kehidupannya dengan apa yang dimilikinya, terkadang
berada pada tingkat krisis subsistensi (zona bahaya). Lebih tepatnya kehidupan
petani senantiasa berada dekat dengan garis batas subsistensi. Dengan melihat
kehidupan petani yang sangat dekat garis batas subsistensi, petani akan lebih
mengutamakan keselamatan panen untuk kebutuhan. Petani akan berusaha
meminimalkan kemungkinan bencana daripada memaksimalkan hasil bersih
rata-rata yang lebih tinggi dari hasil panennya. Dengan hal ini, petani akan lebih
cenderung memikirkan panen harus berhasil , tanpa memikirkan keuntungan
maupun kerugian yang diperoleh selama merawat tanaman padinya tersebut.
Berbeda halnya dalam buku masyarakat petani, mata pencaharian sambilan
dalam memenuhi kebutuhan. Petani di Desa Gapura Muka, Kelurahan Cakung
Timur, Bekasi. Para petani menyadari bahwa hasil dari pertanian saja tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhannya, maka mereka banyak yang mencari tambahan
dengan melakukan pekerjaan sambilan, seperti : tukang ojeg, berdagang
kecil-kecil, baik keliling maupun menetap, sehingga dapat menambah penghasilan
mereka.
Berbagai strategi yang sudah dijelaskan di atas, menggambarkan bahwa
petani selau mengadopsi strategi agar dapat bertahan hidup. yaitu Amir Marzali
dalam bukunya strategi petani cikalong dalam menghadapi kemiskinan, dimana
petani melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi untuk menambah produktifitas
padinya, selain itu Dr. D H Penny dan Ir. Meneth Ginting dalam bukunya
pekarangan petani dan kemiskinan, untuk menambah penghasilan di luar sektor
pertanian, petani melakukan strategi yaitu dengan menanam pohon kelapa di
pekarangan rumahnya, yang nanti buah, gula kelapa dan janurnya dapat diambil
untuk dijual. Selain itu petani juga beternak ayam, itik, kambing dan lembu.
Sedangkan hasil penelitian Dra. Sunarti dkk yang berjudul Masyarakat Petani,
Mata pencaharian dan Kesempatan Kerja, petani lebih cenderung melakukan
pekerjaan-pekerjaan sambilan yang tersedia, seperti tukang ojeg, berdagang
kecil-kecilan, baik keliling maupun menetap.
Hal ini juga yang saya lihat sebagai strategi lokal masyarakat petani desa
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan subsistensi tetapi juga berusaha untuk
mendapatkan hasil yang maksimal, walaupun hasil yang didapat sudah
memuaskan.
1.3 Rumusan Masalah
Penelitian ini melihat kehidupan masyarakat petani dalam menghadapi
persoalan-persoalan ekonomi keluarga. Penelitian ini lebih difokuskan kepada
petani peisan karena mereka cenderung hidup dalam mengandalkan hasil
pertanian, baik untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang. Selain kebutuhan
tersebut, juga kebutuhan di sektor non-pertanian. Contohnya untuk biaya anak
sekolah, biaya untuk keperluan adat-istiadat. Apabila hanya mengandalkan
pendapatan dari hasil pertanian saja tidak cukup, sehingga petani membuat
strategi dan alternatif untuk dapat bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan.
Sehubungan dengan pernyataan peisan diatas, maka muncul pokok
permasalahan dalam penelitian ini yang akan membentuk pertanyaan-pertanyaan
seperti :
1. Strategi-strategi atau usaha apa saja yang dilakukan petani dalam
menjawab persoalan ekonomi keluarga.
2. Apa penyebab petani bertahan dalam kategori masyarakat, tidak mampu
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui langkah atau
strategi apa saja yang dilakukan petani untuk bertahan hidup dan memenuhi
kebutuhannya. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat
secara praktis ataupun akademis. Manfaat secara praktis untuk menggambarkan
bagaimana kehidupan sosial ekonomi masyarakat petani, khususnya Desa
Wonosari. Hal ini bisa menjadi bahan perhatian untuk pemerintah agar lebih
memahami kehidupan petani di Indonesia. Sedangkan manfaat akademisnya
adalah untuk memperluas wawasan dan pengetahuan masyarakat. Selain itu dapat
1.5 Metode Penelitian Proses penentuan topik
Berawal dari diskusi saya dengan bapak Agustrisno, Msp selaku dosen PA
(Penasihat Akademik) saya. Beliau menanyakan apa mata pencaharian masyarakat
di desa tempat tinggal saya. Bertani padi adalah jawabannya. Panjang lebar kami
bercerita, berdasarkan rekomendasi dari bapak Agustrisno, Msp dapatlah sebuah
judul proposal saya yaitu “Strategi Sosial Ekonomi, Masyarakat Petani di Desa
Wonosari, Kec Tg Morawa, Kab Deli Serdang.
Topik pembahasan pertanian biasanya dibimbing oleh ibu Sri Alem,
berhubung mahasisiwa/i bimbingan ibu Alem sudah banyak. Sayapun
menawarkan kembali kepada bapak Agustrisno, Msp dan diterima oleh beliau.
Setelah mendapat persetujuan, sayapun langsung melakukan observasi ke Desa
Wonosari yang menjadi tempat penelitian, yang juga sekaligus merupakan tempat
saya dibesarkan.
Kegiatan Lapangan Pengembangan Rapport
Dalam pengerjaan penelitian ini, pendekatan terhadap petani di Desa
Wonosari bagi saya tidak terlalu sulit. Sebelum dan sewaktu melakukan penelitian
skripsi, saya telah melakukan hubungan yang baik dengan para masyarakat yang
nantinya menjadi beberapa informan saya. Nilai baik untuk saya, saya sempat
menjadi ketua natal muda-mudi beberapa tahun yang lalu. Sehingga sedikit
banyaknya masyarat sudah mengenal saya.
Akan tetapi, permasalahan timbul ketika saya melakukan wawancara.
bahwa saya juga adalah anak petani. Namun setelah menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian yang saya lakukan, mereka mengerti dan langsung terbuka untuk
bercerita pada topik penelitian yang saya bawakan.
Dalam melakukan penelitian, kadang kala saya ikut nongkrong7 di kedai
kopi pada sore hari dan lapo tuak 8
Beberapa hari berikutnya saya datang ke lapo tuak yang berharap bertemu
dengan bapak yang sebelumnya saya tentukan menjadi calon informan. Ternyata
bapak tersebut sedang asik bercerita dengan teman-temannya sambil meneguk
tuaknya. Kamipun bercerita panjang lebar sampai waktu menunjukkan 23:05.
Akhir dari pembicaraan kami, bapak tersebut memberitahukan kepada saya
siapa-siapa saja petani yang mempunyai pekerjaan sampingan selain bertani, karena itu
topik utama penelitian saya.
dimalam hari. Pada dasarnya, tempat ini bukan
hanya sekedar minum kopi, teh ataupun tuak, akan tetapi bisa menjadi tempat
bercerita tentang semua aspek, yaitu masalah politik, keluarga, ekonomi, kondisi
pertanian. Dengan hanya mendengarkan pembicaraan sesama petani yang
membahas tentang pertanian, saya sudah dapat menentukan bahwa dari beberapa
mereka cocok untuk dijadikan informan.
Ibu M Manurung adalah informan saya. Ibu ini juga menjadi salah satu
informan kunci saya, seluruh kriteria permasalahan skripsi saya ada padanya, dan
saya berharap besar mampu dijawab. Berketepatan ibu dari teman dekat saya di
kampung. Jarak rumah kami hanya 200 m. Saya sering berkunjung kerumahnya
sekedar bercerita apabila dia pulang dari Medan. Berdasarkan hal tersebut,
7
melakukan wawancara tidak begitu sulit dan saya mendapat respons yang baik.
Ibunya sangat terbuka untuk bercerita dan menjawab semua pertanyaan yang saya
ajukan. Hal tersebut dilakukan ibu M Manurung dengan baik berharap nantinya
apa yang dia lakukan terhadap saya, didapat oleh anaknya kembali didunia
perkuliahan
Selain itu, orang tua saya adalah salah satu informan saya. Kadang kala
waktu senggang kami bercerita sambil bercanda gurau, sekaligus cerita mereka
menjadi bahan tambahan tulisan skripsi saya. Mereka bercerita panjang lebar,
dimulai dari keluh kesah mereka sebagai petani yaitu mahalnya pupuk dan
obat-obatan, murahnya harga padi, cuaca yang tidak mendukung dan juga susahnya
petani dalam membagi-bagikan hasil panen, baik itu untuk kebutuhan rumah
tangga (biaya sekolah anak), konsumsi dan lain sebagainya.
Kurang baik untuk saya, karena saya tidak begitu lancar berbahasa batak
toba. Menurut pendapat para ahli Antropologi, menguasai bahasa masyarakat
lokal menjadi salah satu kunci utama dalam pembuatan etnografi. Dalam
melakukan wawancara, saya memakai bahasa indonesia, walaupun ada beberapa
informan saya menjawab dengan bahasa batak.
Penulisan (mengklasifikasikan data lapangan ke dalam tulisan)
Banyak kritikan yang saya dengar dari teman-teman kampus. Bahwa
apabila seorang mahasiswa/i sedang melakukan penelitian skripsi di tempat
kelahirannya atau dibesarkan kurang efektif. Mereka mengatakan data yang
didapatkan melalui jawaban orang-orang terdekat atau juga atas dasar
pengetahuan penulis. Saya tidak mengikuti cara yang demikian. Menurut saya,
data dilapangan akan lebih dalam lagi daripada data yang saya ketahui dari
orang-orang terdekat. Berangkat dari hal itu, saya terus mencari data di lapangan untuk
menambah bahan skripsi saya.
Dalam pengumpulan data saya tidak begitu sulit, akan tetapi yang menjadi
masalah adalah dalam hal menuangkan data tersebut ke dalam tulisan. Terlihat
beberapa kali saya harus mengulang setelah berdiskusi dengan dosen pembimbing
skripsi saya yaitu bapak Agustrisno, Msp.
Tidak hanya dengan bapak Agustrino, Msp, teman-taman saya Nelson ‘08,
BES ‘08, Junius ’08 dan Kalvin ’08 kerap kali kami berdiskusi bersama untuk
membahas skripsi masing-masing. Sehingga dalam diskusi tersebut muncul
ide-ide baru yang nantinya menjadi bahan tambahan penulisan skripsi.
Sekitar 4 bulan saya jarang melakukan bimbingan skripsi, di sebabkan
saya sudah mulai jenuh. Beruntung bagi saya mendapat semangat kembali ketika
menghadiri wisuda kawan stambuk saya, saya melihat kegembiraan yang begitu
dalam dan kegembiraan orang yang mengantarkan anaknya menjadi sarjana, ini
menjadi motivasi saya kembali untuk tetap semangat untuk menyelesaikan skripsi
ini.
Saya mendapat tekanan yang sangat besar dari orang tua saya, karena satu
stambuk saya sudah banyak yang selesai dalam perkuliahannya. Mereka merasa
skripsi ini. Semoga nilai skripsi ini baik dan nantinya dapat berguna bagi study