BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK
A. Definisi Perjanjian
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa : persetujuan adalah
suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih. Persetujuan yang dimaksud ialah berjanji untuk
mengikatkan diri kepada pihak lain. Perjanjian memiliki defenisi yang
berbeda-beda menurut pendapat pakar hukum. Perjanjian menurut Subekti
adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7
Sehingga dengan demikian, dari perjanjian tersebutlah timbul suatu
perikatan. Sedangkan perikatan itu sendiri menurut Subekti ialah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang
lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.8
Perjanjian menurut M Yahya Harahap ialah suatu hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi
7
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm.1.
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.9
Salim H.S. dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum
Kontrak Innominaat di Indonesia, berpendapat bahwa dalam Pasal 1313
perjanjian itu bersifat tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut
dengan perjanjian, ia juga mengatakan bahwa dalam pasal tersebut tidak
tampak asas konsensualisme dan bersifat dualisme. Hal yang
mendasarinya dikarenakan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan
perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun dapat disebut
perjanjian. Untuk itu, demi memperjelas pengertian mengenai perjanjian
itu sendiri harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang
disebut dengan perjanjian adalah : "perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum"
Unsur dari
wujud perjanjian tersebut adalah hubungan hukum yang menyangkut harta
kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada satu
pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.
10
Berdasar banyak defenisi tentang kontrak, Salim H.S
menyimpulkan bahwa kontrak merupakan hubungan hukum antara subjek
hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain, dalam bidang harta
9
M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hlm. 6.
10
Salim H.S., (1). Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia
kekayaan.11
Hasanudin Rahman menyimpulkan bahwa kontrak adalah
perjanjian yang dibuat secara tertulis.
Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas
prestasi, dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.
12
Kontrak adalah salah satu dari dua
dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan
perikatan.13
2 Perjanjian untuk berbuat sesuatu.
Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat
ditimbulkan oleh perjanjian di samping undang-undang. Hal tersebut
diatur dalam pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi : “perikatan, lahir
karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.
Kontrak merupakan bentuk konsekuen oleh para pihak untuk
saling menepati janji sesuai dengan apa telah disepakati. Di mana dalam
pelaksanaannya terdapat pihak yang mendapatkan pemenuhan atas
haknya, dan pihak lain memenuhi kewajibannya. Namun jika dilihat dari
segi pelaksanaannya, perjanjian dapat dibagi menjadi tiga macam, seperti
yang dinyatakan dalam Pasal 1324 KUH Perdata, yakni :
1 Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang.
11
Ibid, hlm. 17
12
Hasanudin Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam MerancangKontrak Perorangnan/Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 4
13
3 Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
B. Asas Hukum Kontrak
Kontrak dalam pembuatan atau proses terjadinya terdapat berbagai
macam asas, hal ini dikarenakan dalam pembuatan kontrak itu sendiri
dimaksudkan agar tercapai maksud yang dituju oleh para pihak. Sehingga
tercapailah prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Dalam KUH Perdata sendiri terdapat beberapa asas hukum kontrak, antara
lain :
1. Hukum Kontrak bersifat mengatur.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi kedalam dua
bagian yaitu :
a Hukum memaksa, dalam hal ini para pihak diharuskan
untuk mengikuti segala ketentuan, tidak diperbolehkan
adanya pelanggaran atas apa yang telah tertuang di dalam
kontrak itu sendiri.
b Hukum mengatur, dalam hal ini jika para pihak
mengaturnya secara lain dari apa yang diatur dalam hukum
kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri
oleh para pihak tersebut. kecuali undang undang
2. Asas Kebebasan Berkontrak.
Dalam asas ini artinya para pihak bebas membuat kontrak dan
mengatur sendiri isi kontraknya. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata,
ketentuan yang harus dipenuhi dalam asas kebebasan berkontrak ialah
sebagai berikut :
a Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b Tidak dilarang oleh undang-undang
c Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan
d Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad
baik.
Menurut Salim H.S, asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya.
4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah
mempunyai ikatan hukum yang penuh. Artinya kontrak tersebut berlaku
kontrak tersebut menjadi peraturan yang berlaku seperti undang-undang
bagi para pihak tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam
Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi : "setiap perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."
Adapun Huala Adolf menyatakan dalam bukunya yang berjudul "Hukum
Perdagangan Internasional" bahwa pacta sunt servanda adalah prinsip
yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah
ditandatangani dan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan
itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di
dunia menghormati prinsip ini.14
Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan
perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik
tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah
apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah
diperlukan sesuatu formalitas.
4. Asas Konsensual dari suatu Kontrak
15
14
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 16
15
Budiman N.P.D, Sinaga, op.cit., hlm. 15
Artinya ketika tercapainya kata sepakat,
maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak. Hal ini tentunya setelah
semua syarat sah kontrak tersebut sudah dipenuhi, sesuai dengan yang
maka timbul lah akibat hukum bagi para pihak untuk memenuhi hak dan
kewajiban bagi para pihak.
5. Asas Obligator dari suatu Kontrak
Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak
tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan
kewajiban di antara para pihak, tetapi pada taraf tersebut hak milik belum
berpindah kepada pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik ke
pihak yang lain diperlukan adanya kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah yang disebut dengan
“penyerahan” (levering).16
4 Suatu sebab yang tidak terlarang."
C. Syarat Sahnya Suatu Kontrak
Suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga dapat mengikat
kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat-syarat sahnya kontrak tersebut tertuang dalam Pasal
1320 KUH Perdata yang menyatakan "supaya terjadi persetujuan yang
sah, perlu dipenuhi empat syarat ;
1 Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
3 Suatu pokok persoalan tertentu,
16
Selain dari Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, ada pula syarat sah yang
lainnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata.
Syarat sah kontrak tersebut yakni sebagai berikut :
a Syarat itikad baik,
b Syarat sesuai dengan kebiasaan,
c Syarat sesuai dengan kepatutan,
d Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
Munir Fuady dalam bukunya menyebutkan bahwa selain
syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, ada syarat-syarat lainnya agar suatu kontrak
itu dinyatakan sah, yakni syarat sah khusus. Menurut Munir Fuady syarat
sah khusus tersebut ialah :
1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu,
2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,
3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk akta
kontrak-kontrak tertentu, dan
4) Syarat izin dari yang berwenang.17
17Ibid, hlm. 34
Berikut ini penjelasan mengenai syarat-syarat sah suatu kontrak
berdasarkan syarat syah yang umum dan syarat sah yang khusus :
Kesepakatan kehendak artinya ialah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.18 Hal ini lah
yang menjadi dasar terjadinya suatu kontrak. Suatu kesepakatan itu
lazimnya terjadi saat adanya penawaran. Rai Widjaya dalam bukunya
menyebutkan bahwa tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak
ada pihak-pihak yang saling berkomunkasi, menawarkan sesuatu yang
kemudian diterima oleh pihak lainnya.19
Yang dimaksudkan dengan paksaan (dwang, duress) ialah suatu
perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana
terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan Namun dalam pencapaian kata
sepakat ini tidak boleh ditemukan adanya unsur-unsur yang dapat menjadi
syarat batalnya suatu kontrak. Unsur-unsur tersebut seperti yang
dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yakni :
a) Unsur paksaan
b) Unsur kesilapan
c) Unsur penipuan
Berikut ini penjelasan mengenai unsur syarat yang dapat
membatalkan suatu kontrak menurut Pasal 1321 KUH Perdata :
a) Unsur paksaan
18
Salim H.S., op.cit., hlm 23
19
baik terhadap dirinya maupun terhadap kekayaannya dengan suatu
kerugian yang terang dan nyata. Menurut Sudargo, paksaan (duress)
adalah setiap tindakan intimidasi mental.20
(a) Ketakutan terhadap diri orang tersebut.
Menurut KUH Perdata, yakni Pasal 1323 sampai dengan Pasal
1327, suatu paksaan dapat mengakibatkan pembatalan atas suatu kontrak,
jika telah terpenuhi syarat-syarat paksaan sebagai berikut :
(1) Paksaan tersebut dilakukan terhadap :
(a) Orang yang membuat kontrak,
(b) Suami atau istri dari orang yang membuat kontrak.
(c) Keluarga orang yang membuat kontrak dalam garis ke
atas atau ke bawah
(2) Paksaan tersebut dilakukan oleh :
(a) Salah satu pihak dalam kontrak,
(b) Dari pihak ketiga yang merasa mempunyai kepentingan
atas kontrak tersebut.
(3) Paksaan tersebut menakutkan seseorang.
(4) Orang yang takut karena mendapatkan paksaan tersebut
haruslah dalam keadaan sehat serta berpikiran sehat.
(5) Ketakutan karena paksaan tersebut berupa :
20
(b) Ketakutan terhadap kerugian yang nyata terhadap harta
kekayaan orang tersebut.
(6) Timbulnya ketakutan karena paksaan haruslah dengan
mempertimbangkan keadaan dari yang dipaksakan, berupa:
(a) Usia
(b) Kelamin
(c) Kedudukan
(7) Ketakutan bukan karena hormat dan patuh kepada orang
tua atau sanak keluarga tanpa paksaan.
(8) Setelah terjadi paksaan, kontrak tersebut tidak telah
dikuatkan (dengan tegas atau diam-diam).
(9) Tidak telah lewat waktu kadaluwarsa setelah dilakukan
paksaan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan
yang dipilih oleh pihak yang membuat kontrak tersebut bukan merupakan
kehendak murni dari dalam hatinya. Sehingga dalam pengambilan
keputusan untuk membuat kontrak tersebut pihak yang dipaksa
mendapatkan tekanan untuk menyetujui/menyepakati kontrak, sehingga
lahir lah sebuah kontrak yang bukan merupakan berasal dari kehendaknya
sendiri, melainkan karena adanya paksaan dari luar yang membuatya harus
b) Unsur Kesilapan
Seseorang yang dikatakan telah membuat kontrak secara silap ialah
manakala ia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan
atau kesan yang tidak benar.21
Yang dimaksud dengan salah pengertian di sini ialah jika
terhadap suatu istilah dalam kontrak dimana istilah tersebut
memiliki penafsiran atas artian yang berbeda. Sehingga dapat
menimbulkan kebingungan bagi pihak yang membuat konrak. Kesilapan yang dimaksud ini mempunyai
jenis-jenis yang berbeda, tergantung dari segi mana dilihat bentuk
kesilapan tersebut. bentuk kesilapan tersebut yakni :
(1) Kesilapan terhadap hakikat barang
Dalam hal ini yang menjadi objek dari kesilapan ialah
barang yang diperjanjikan dalam kontrak. Maksudnya ialah barang
yang diperjanjikan ternyata berbeda dengan barang yang dimaksud
dalam perjanjian.
(2) Kesilapan terhadap diri orang
Kesilapan mengenai orang tersebut tidaklah dapat
membatalkan kontrak, kecuali jika kontrak tersebut dibuat
mengingat tentang diri orang yang diperjanjikan.
(3) Salah pengertian
21
(4) Mistranskripsi.
Mistranskripsi ialah kontrak tertulis yang sewaktu
ditulisnya kontrak tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang
sudah secara lisan disepakati oleh para pihak. Dalam hal ini pihak
yang dirugikan berhak untuk mengajukan perubahan isi kontrak
sesuai dengan apa yang telah disepakati secara lisan oleh para pihak
tersebut.
c) Unsur Penipuan
Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan,
bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa,
sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian
itu tanpa adanya tipu muslihat, hal ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal
1328 KUH Perdata, namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan dan
tidak dapat dikira-kira. Maksudnya ialah dikarenakan suatu tindakan
penipuan, sehingga salah satu pihak setuju untuk mengadakan suatu
perbuatan yang mengikat dirinya. Tindakan penipuan tersebut haruslah
berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat
perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.22
22
Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 77.
Menurut Munir
Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak (Dari Sudut
pandang keterlibatan pihak dan syarat yang harus dipenuhi agar suatu
penipuan dalam kontrak dapat menyebabkan pembatalan kontrak,23
(d) Penipuan termasuk juga nondisclosure.
yakni
sebagai berikut :
(1) Dilihat dari segi keterlibatan pihak yang melakukan
penipuan :
(a) Penipuan yang disengaja (Intentional
misrepresentation).
(b) Penipuan karena kelalaian (Negligent
misrepresentation).
(c) Penipuan tanpa kesalahan (Innocent misrepresentation).
(d) Penipuan dengan jalan merahasiakan (Concealment).
(e) Penipuan dengan jalan tidak terbuka informasi
(Nondisclosure).
(2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat
dibatalkan :
(a) Penipuan harus mengenai fakta.
(b) Penipuan harus terhadap fakta substansial.
(c) Pihak yang dirugikan berpegang pada fakta yang ditipu
tersebut.
23
(e) Penipuan termasuk juga kebenaran sebahagian.
(f) Penipuan termasuk juga dalam bentuk tindakan.
Berdasarkan ketiga unsur tersebut, bila salah satunya tidak
dipenuhi, maka suatu kontrak yang dibuat tersebut dapat dibatalkan,
karena dalam kehendaknya, salah satu pihak yang telah mengalami salah
satu unsur dari yang telah disebutkan tersebut sebenarnya tidaklah
benar-benar menginginkan adanya kesepakatan itu.
ad. 2) Kecakapan Para Pihak
Kontrak baru dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhi semua
syarat-syaratnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH
Perdata, salah satu syarat sahnya yakni “cakap bertindak”. Cakap
bertindak ini artinya orang-orang yang bisa melakukan dan
mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukannya. Berdasar
Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam
bertindak digolongkan menjadi :
a) Orang yang belum dewasa
b) Orang yang berada dibawah pengampuan
c) Perempuan yang telah kawin
d) Orang-orang yang oleh Undang-undang dilarang untuk
Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang orang-orang yang tidak cakap
dalam melakukan suatu perbuatan hukum menurut Pasal 1330 KUH
Perdata:
a) Orang yang Belum Dewasa
Untuk menentukan kedewasaan seseorang dapat dilihat dari
syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 330 KUH Perdata, dimana orang-orang
yang dikategorikan sudah dewasa ialah :
(1) Sudah genap berumur 21 tahun.
Seseorang dikatakan dewasa jika usianya telah genap 21
tahun, sementara orang yang berusia 20 tahun 11 bulan
dianggap belum dewasa karena usianya belum mencapai
21 tahun.
(2) Sudah kawin.
Seseorang dapat dikatakan dewasa meskipun ia belum
berumur genap 21 tahun, namun ia telah menikah,
(3) Sudah kawin dan akhirnya bercerai.
Seseorang dikatakan sudah dewasa, dikarenakan ia telah
menikah, namun dalam pernikahannya ia bercerai. Ia tetap
dianggap sebagai orang yang telah dewasa walaupun ia
belum berumur 21 tahun.
Seseorang dikatakan tidak cakap dalam bertindak hukum apa bila
ia berada dibawah pengampuan. Dengan kata lain alasan orang-orang
tersebut berada dibawah pengampuan dikarenakan ia tidak bisa
mengambil keputusan yang baik bagi dirinya sendiri. Dalam Pasal 433
KUH Perdata menyebutkan, ada beberapa golongan orang yang berada
dibawah pengampuan, sehingga dianggap tidak sah dalam pengambilan
atau pembuatan keputusan hukum. Orang-orang tersebut ialah :
(1) Orang yang dungu
(2) Orang yang gila
(3) Orang yang mata gelap
(4) Orang yang boros
c) Perempuan yang Telah Kawin
Dalam hal ini seorang wanita yang telah menikah dan bersuami
maka dalam pengambilan keputusannya harus didasarkan kepada suami.
Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kontrak”
mengatakan hal ini dikarenakan agar jangan sampai ada dua nahkoda
dalam satu kapal, sebab dalam suatu perkawinan, pihak suami lah yang
dianggap sebagai nahkodanya (kepala rumah tangga).
Namun pada saat sekarang ini, ketentuan istri dianggap tidak cakap
dalam bertindak hukum sudah dapat dikatakan tidak berlaku lagi. Pasal 31
“sungguhpun dikatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri
adalah ibu rumah tangga, tetapi masing-masing pihak mempunyai hak dan
kedudukan yang seimbang, dan masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum”. Artinya istri pada saat ini telah dikatakan
sebagai orang yang cakap dalam bertindak hukum, termasuk dalam hal
pembuatan kontrak.
d) Orang-orang yang oleh Undang-undang tidak diperbolehkan
melakukan perbuatan hukum
Dalam hal ini undang-undang juga menyatakan secara jelas bagi
sebagian orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan suatu
perbuatan hukum. Hal ini tertuang dalam Pasal 1330 KUH Perdata.
Orang-orang tertentu tersebut dianggap tidak berwenang utuk melakukan
suatu perbuatan tertentu, dengan cara tertentu pula. Sebagai contoh, dalam
bidang kontrak jual-beli, ada pihak-pihak yang disebutkan oleh
undang-undang untuk dianggap tidak sah melakukan sebuah kontrak. Menurut
Munir Fuady,orang-orang tersebut ialah :
(1) Suami istri yang hendak melakukan kontrak jual beli di
antara mereka. Hal ini terdapat dalam Pasal 1467 KUH
Perdat.
(2) Hakim, jaksa, panitera, jurusita, advokat, dan notaries tidak
dirinya sendiri atau orang lain atas hak dan tuntutan yang
menjadi pokok perkara.
(3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli
untuk dirinya sendiri atau untuk perantara atas
barang-barang yang dijual oleh atau di hadapan mereka.24
Suatu hal tertentu dalam hal ini dimaksudkan terhadap benda atau
obyek dari suatu kontrak itu sendiri. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata,
barang yang menjadi obyek suatu perjanjian haruslah tertentu, maksudnya
harus jelas bentuk dan wujudnya. Sedangkan untuk jumlahnya sendiri
tidak perlu ditentukan, asalkan kemudian bisa dihitung jumlahnya. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek suatu perjanjian
itu bisa saja barang tersebut tidak harus sudah ada saat dibuatnya kontrak,
melainkan benda-benda atau barang yang hendak diciptakan sehingga
pada nantinya bisa menjadi obyek perjanjian. Namun yang tidak
diperbolehkan untuk menjadi obyek suatu perjanjian barang yang masih
ada dalam warisan yang belum terbuka, hal ini sesuai dengan yang
tertuang dalam Pasal 1334 KUH Perdata, dimana diatur di dalamnya
mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh untuk dijadikan
sebagai obyek perjanjian.
ad. 3) Suatu Pokok Persoalan Tertentu
24Ibid,
ad. 4) Suatu Sebab Yang Halal
Syarat ini merupakan syarat yang terakhir dalam membuat suatu
kontrak itu bisa dianggap sah secara hukum. Namun hal ini berbeda
dengan syarat subyektif dalam keabsahan suatu kontrak, dimana jika pada
syarat subyektifnya belum terpenuhi, maka bagi para pihak diberikan
keleluasaan untuk meminta apakah perjanjian itu dibatalkan ataukah
dilanjutkan dengan syarat memenuhi persyaratan yang ada. Sedangkan
pada syarat obyektif, jika syaratnya tidak terpenuhi, maka perjanjian
tersebut batal demi hukum.25
Dalam syarat yang terakhir ini, yang dimaksud dengan syarat halal
itu sendiri adalah tidak lain daripada isi perjanjian itu sendiri. Syarat kausa
(oorzaak) yang legal untuk suatu kontrak adalah sebab mengapa kontrak
tersebut dibuat.26
Syarat itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata, dimana berisi bahwa suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan
itikad baik. Namun, dalam pengertiannya, syarat itikad baik ini bukan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu
perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu
sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
ad. a Syarat Itikad Baik
25
Salim H.S., (2). Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2010) hlm. 35
26
merupakan syarat agar sahnya suatu kontrak, melainkan hanya sebagai
sarana yang mengatur mengenai pelaksanaan tentang isi dari suatu
kontrak. Artinya, bagi para pihak yang melaksanakan kontrak itu haruslah
sesuai dengan apa yang tertera di dalam kontrak, tidak boleh melenceng
keluar dari apa yang sudah diperjanjikan, sehingga tidak menimbulkan
kerugian bagi pihak yang lainnya.
ad. b Kepatutan
Bahwa dalam pelaksanaannya kontrak itu haruslah berdasarkan
atas asas kepatutan, artinya, kontrak itu tidak boleh dibuat untuk memaksa
pihak yang lain sehingga timbul kerugian atas diri pihak yang lain
tersebut. Oleh karenanya, dalam hal ini, syarat kepatutan mempunyai
fungsi sebagai pengisi kekosongan suatu aturan dalam sebuah kontrak.
Sehngga dalam pelaksanaannya bilamana terjadi suatu hal yang tidak
diinginkan, maka bagi kedua pihak merupakan suatu kewajiban untuk
saling memikul kerugian secara bersama-sama.
ad. c Kepentingan Umum
Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak juga tidak boleh
melanggar prinsip kepentingan umum, karena sesuai dengan prinsip
hukum yang sangat universal dan mendasar, bahwa kepentingan umum
tidak boleh dikalahkan dengan kepentingan pribadi. Karena itu, jika ada
bertentangan dengan kepentingan umum, maka kontrak tersebut akan
menjadi bertentangan juga dengan undang-undang yang berlaku di
wilayah di mana kontrak tersebut dibuat.
ad. d Kebiasaan
Dalam hal ini, kontrak tersebut tidak hanya berdasar atas apa yang
diatur di dalamnya, tetapi juga harus berdasarkan atas suatu kebiasaan
dalam pembuatan kontrak tersebut. Maksudnya ialah bahwa dalam suatu
pelaksanaannya, suatu kontrak itu harus berdasar atas kebiasaan yang
sering dilakukan oleh para pihak pembuat kontrak. Contoh dalam suatu
kontrak dagang, terhadap suatu perbuatannya biasanya didasari dengan hal
yang serupa seperti yang sebelumnya dilakukan, namun bila hal ini
dilakukan dengan cara yang berbeda dan dianggap merugikan bagi pihak
lainnnya, maka hal ini sudah bertentangan dengan Pasal 1339 KUH
Perdata.
ad. 1) Syarat Sah Khusus, terdiri dari Syarat tertulis, dan Izin yang
Berwenang
Dalam hal ini suatu kontrak itu diharuskan dibuat dalam berbentuk
tertulis, tidak cukup hanya berbentuk lisan saja. Hal ini dikarenakan ada
suatu bentuk keharusan yang mengharuskan bagi para pihak yang
bersepakat tersebut untuk menuangkan bentuk perjanjiannya ke dalam
sah jika telah dituangkan kedalam suatu bentuk tulisan, dimana isinya
tersebut merupakan aturan-aturan yang mengatur, dan menjadi peraturan
selain undang-undang bagi para pihak yang berkontrak tersebut.
Pembuatan suatu kontrak itu biasanya tidaklah diharuskan adanya
campur tangan oleh pihak ketiga, atau dengan kata lain, para pihak yang
membuat kontrak tersebut diberi kebebasan untuk mengatur isi kontraknya
sesuai dengan apa yang mereka inginkan, selama tidak bertentangan
dengan asas-asas dan undang-undang yang berlaku. Namun dalam suatu
hal ada kalanya dimana kontrak tersebut diharuskan untuk intervensi dari
pihak ketiga, dalam hal ini untuk pemberian izin atas pembuatan kontrak
tersebut. misalnya kontrak peralihan hak guna usaha, kontrak peralihan
Hak Penguasaan Hutan, dimana dalam hal ini izin dari pihak yang
berwenang sangat diperlukan dalam pembuatan kontrak tersebut.
D. Bentuk-Bentuk Kontrak
Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang
bentuk kontrak. Namun apabila ditelaah berbagai ketentuan yang
tercantum dalam KUH Perdata maka kontrak menurut bentuknya dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis.27
27
Salim H.S., (1). op.cit. hlm. 32
Kontrak
lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup
Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah terjadi. Termasuk
dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perjanjian
konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para
pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dilihat dan
dilaksanakan secara nyata.
Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak
dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang
harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata). Kontrak
ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan
dan akta autentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat
dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta autentik merupakan
akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Akta yang dibuat oleh
Notaris itu merupakan akta pejabat. Di samping itu, dikenal juga
pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar.
Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam
bentuk formulir.
Menurut Salim H.S ada tiga fungsi akta autentik, yakni :
1 Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah
mengadakan perjanjian tertentu.
2 Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis
pihak.
3 Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal
tertentu, kecuali ditentukan sebaliknya para pihak telah
mengadakan perjanjian. Hal itu juga menentukan bahwa
perjanjian sesuai dengan kehendak para pihak.28
Dalam KUH Perdata dikenal beberapa jenis perikatan, namun yang
dimaksud jenis-jenis perikatan dalam KUH Perdata tersebut pada dasarnya
adalah sama dengan jenis-jenis perjanjian atau jenis-jenis kontrak, karena
perikatan-perikatan yang dimaksud adalah juga perikatan yang lahir dari
kontrak.
E. Jenis-Jenis Kontrak
29
Kontrak bersyarat adalah kontrak yang digantungkan pada
suatu peristiwa yang akan terjadi. Kontrak bersyarat ini
dapat dibagi atas dua, yaitu kontrak dengan syarat tangguh
dan kontrak dengan syarat batal.
Berikut ini pembagian kontrak secara umum menurut
jenis-jenisnya :
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hlm. 69
30Ibid.
hlm.70
Kontrak dengan syarat
tangguh adalah kontrak dimana suatu perjanjian baru akan
telah tercapai. Sedangkan kontrak dengan syarat batal ialah
kontrak dimana suatu perjanjian baru akan batal jika
peristiwa yang akan datang tersebut terjadi.
2 Kontrak dengan ketetapan waktu.
Kontrak dengan ketetapan waktu yaitu suatu perikatan yang
digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, suatu
hal yang akan datang, meskipun belum dapat ditentukan
kapan datangnya, (tentang matinya seseorang, misal
perjanjian asuransi jiwa).31
Salim H.S. dalam bukunya menyatakan pembagian kontrak
menurut namanya menjadi kontrak bernama dan kontrak
tidak bernama. Kontrak bernama tersebut meliputi jenis
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata,
yakni jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa,
persekutuan perdata, hibah, dan lain sebagainya. Sedangka
kontrak tidak bernama itu sendiri menurut Salim H.S. ialah
kontrak yang belum dikenal dalam KUH Perdata, seperti
leasing, beli-sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, 3 Kontrak menurut namanya.
31
kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain
sebagainya.32
Hal ini tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi
prestasi dan juga kehendak kedua pihak yang membuat
perjanjian. Persoalan ini baru tampil ke muka, bila salah
satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa
orang lain. Biasanya, ini terjadi karena meninggalnya satu
pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-4 Kontrak Alternatif.
Kontrak alternatif ini maksudnya ialah suatu perikatan
ketika terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan
bagi pihak yang dibebani hutang diberikan pilihan mana
yang akan ia lakukan untuk memenuhi prestasinya.
5 Perjanjian tanggung-menanggung.
Perjanjian tanggung-menanggung ialah suatu perikatan
ketika beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu pihak yang
menghutangkan, atau sebaliknya.
6 Kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.
32
haknya oleh sekalian ahli warisnya.33
Teori ini merupakan teori pernyataan kesepakatan oleh 7 Kontrak dengan ancaman hukum.
Ancaman hukuman merupakan suatu klausula kontrak yang
memberikan jaminan kepada kreditor bahwa debitur akan
memenuhi prestasi, dan manakala debitur tidak memenuhi
prestasi tersebut, maka debitur diwajibkan melakukan
sesuatu atau menyerahkan sesuatu. Ancaman hukuman ini
dapat batal jika kontrak tersebut batal, sehingga dengan
demikian ancaman hukuman tersebut hanya bersifat
sebagai tambahan.
F. Momentum Terjadinya Kontrak
Menurut KUH Perdata tidak ditentukan mengenai momentum
terjadinya suatu kontrak. Pada Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan
mengenai syarat sah terbentuknya suatu kontrak. Namun, dalam berbagai
literatur hukum, khususnya yang berkenaan dengan kontrak, banyak
disebutkan mengenai momentum terjadinya suatu kontrak. Hal tersebut
dikategorikan menjadi beberapa teori. Berikut ini penjabaran dan
penjelasan teori-teori mengenai momentum terjadinya suatu kontrak :
1 Teori Pernyataan (Uitingstheorie)
33
pihak yang menerima tawaran yang diberikan oleh si
pemberi tawaran. Menurut teori ini, kesepakatan itu terjadi
saat yang menerima tawaran tersebut menerima tawaran
yang diberikan oleh si pemberi tawaran. Jadi, dilihat dari
pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan
ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah
terjadi. Namun teori ini memiliki kelemahan, karena
bersifat sangat teoritis. Teori ini menganggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
2 Teori Pengiriman (verzendtehorie)
Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menerima penawaran mengirimkan telegram. Namun, teori
ini mendapat kritik, karena bisa saja pihak yang
menawarkan penawaran tersebut tidak mengetahui bahwa
pihak penerima tawaran telah menerima tawaran dengan
mengirimkan telegram balasan. Teori ini juga sangat
teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
3 Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Menurut teori pengetahuan bahwa kesepakatan terjadi
apabila pihakyang menawarkan itu mengetahui adanya
diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik
terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahuinya isi
penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
4 Teori Penerimaan (ontvangstheorie)
Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi pada saat
pihak yang melakukan penawaran mengetahui bahwa
penawarannya telah diketahui oleh pihak yang menerima
penawaran tersebut. Kelemahan teori ini antara lain
memungkinkan terlambat lahirnya perjanjian karena
menunda-nunda untuk membuka surat penawaran dan
sukar untuk mengetahui secara pasti kapan penerima
tawaran mengetahui isi surat penawaran.
G. Berakhirnya Suatu Kontrak
Di dalam KUH Perdata dapat ditemukan ketentuan tentang
pengakhiran kontrak atau perjanjian. Secara khusus dalam Pasal 1381
disebutkan sepuluh cara untuk mengakhiri perjanjian, yakni :
1 Pembayaran,
2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan,
3 Pembaharuan utang (novatie),
5 Percampuran utang,
6 Pembebasan utang,
7 Musnahnya barang yang terutang,
8 Batal/pembatalan,
9 Berlakunya suatu syarat batal,
10 Lewatnya waktu.
Namun cara tersebut dianggap belum lengkap, sebab masih ada
cara-cara lain yang tidak disebutkan, seperti berakhirnya suatu ketetapan
waktu dalam perjanjian atau menginggalnya salah satu pihak dalam
beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang persero dalam
suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di
mana prestasi hanya dapat dilakukan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh
orang lain.34 Hapusnya persetujuan harus benar-benar dibedakan daripada
hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan
persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.35
34
Budiman N.P.D, Sinaga, Op.cit., hlm. 21
35
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung: Putra A Bardin, 1999), hlm.68
R.
Setiawan menambahkan bahwa persetujuan dapat hapus karena hal-hal
a Hapusnya persetujuan ditentukan dalam persetujuan oleh
para pihak. Misalnya, persetujuan akan berlaku untuk
waktu tertentu.
b Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu
persetujuan. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat (3) KUH
Perdata, bahwa para ahli waris dapat mengadakan
persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak
melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi, waktu
persetujuan tersebut oleh ayat (4) Pasal 1066 KUH Perdata
dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.
Hapusnya suatu persetujuan tersebut menurut R. Setiawan merupakan
suatu jenis persetujuan yang berdasarkan undang-undang berlaku atau
batal berdasarkan dengan ketetapan waktu. Artinya, persetujuan tersebut
berlaku atau batal dikarenakan adanya persetujuan atau karena
undang-undang itu sendiri yang menyatakan suatu persetujuan tersebut dianggap
batal. Adapun ketentuan para pihak yang saling bersepakat tersebut yang
dapat menjadi penentu atas berlaku atau batalnya suatu perikatan tersebut
sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya.
H. Fungsi Suatu Kontrak
Kontrak secara umum seperti apa yang telah disinggung pada
secara tertulis. Pembuatan kontrak secara tertulis tersebut juga memiliki
fungsi tersendiri. Menurut Salim H.S. fungsi kontrak tersebut dibedakan
menjadi dua macam, yakni fungsi yuridis dan fungsi ekonomis.36
Fungsi
yuridis suatu kontrak itu ialah sebagai suatu jaminan atau kepastian hukum
bagi para pihak yang saling bersepakat, atau para pihak yang memiliki
kepentingan masing-masing dalam suatu kontrak. Sedangkan fungsi
ekonomis suatu kontrak itu menurut Salim H.S. ialah menggerakkan
sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih renda menjadi nilai yang
lebih tinggi.
36