• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Definisi Perjanjian - Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Definisi Perjanjian - Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK

A. Definisi Perjanjian

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata.

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata dinyatakan bahwa : persetujuan adalah

suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap

satu orang lain atau lebih. Persetujuan yang dimaksud ialah berjanji untuk

mengikatkan diri kepada pihak lain. Perjanjian memiliki defenisi yang

berbeda-beda menurut pendapat pakar hukum. Perjanjian menurut Subekti

adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau

dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7

Sehingga dengan demikian, dari perjanjian tersebutlah timbul suatu

perikatan. Sedangkan perikatan itu sendiri menurut Subekti ialah suatu

perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana

pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang

lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.8

Perjanjian menurut M Yahya Harahap ialah suatu hubungan

hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi

7

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2001) hlm.1.

(2)

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.9

Salim H.S. dalam bukunya yang berjudul Perkembangan Hukum

Kontrak Innominaat di Indonesia, berpendapat bahwa dalam Pasal 1313

perjanjian itu bersifat tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut

dengan perjanjian, ia juga mengatakan bahwa dalam pasal tersebut tidak

tampak asas konsensualisme dan bersifat dualisme. Hal yang

mendasarinya dikarenakan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan

perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun dapat disebut

perjanjian. Untuk itu, demi memperjelas pengertian mengenai perjanjian

itu sendiri harus dicari dalam doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang

disebut dengan perjanjian adalah : "perbuatan hukum berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum"

Unsur dari

wujud perjanjian tersebut adalah hubungan hukum yang menyangkut harta

kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada satu

pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.

10

Berdasar banyak defenisi tentang kontrak, Salim H.S

menyimpulkan bahwa kontrak merupakan hubungan hukum antara subjek

hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain, dalam bidang harta

9

M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian (Bandung: Penerbit Alumni, 1986) hlm. 6.

10

Salim H.S., (1). Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia

(3)

kekayaan.11

Hasanudin Rahman menyimpulkan bahwa kontrak adalah

perjanjian yang dibuat secara tertulis.

Perlu diketahui bahwa subjek hukum yang satu berhak atas

prestasi, dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk

melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.

12

Kontrak adalah salah satu dari dua

dasar hukum yang ada selain undang-undang yang dapat menimbulkan

perikatan.13

2 Perjanjian untuk berbuat sesuatu.

Perikatan terdapat di dalam perjanjian karena perikatan dapat

ditimbulkan oleh perjanjian di samping undang-undang. Hal tersebut

diatur dalam pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi : “perikatan, lahir

karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”.

Kontrak merupakan bentuk konsekuen oleh para pihak untuk

saling menepati janji sesuai dengan apa telah disepakati. Di mana dalam

pelaksanaannya terdapat pihak yang mendapatkan pemenuhan atas

haknya, dan pihak lain memenuhi kewajibannya. Namun jika dilihat dari

segi pelaksanaannya, perjanjian dapat dibagi menjadi tiga macam, seperti

yang dinyatakan dalam Pasal 1324 KUH Perdata, yakni :

1 Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang.

11

Ibid, hlm. 17

12

Hasanudin Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam MerancangKontrak Perorangnan/Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 4

13

(4)

3 Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.

B. Asas Hukum Kontrak

Kontrak dalam pembuatan atau proses terjadinya terdapat berbagai

macam asas, hal ini dikarenakan dalam pembuatan kontrak itu sendiri

dimaksudkan agar tercapai maksud yang dituju oleh para pihak. Sehingga

tercapailah prestasi sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.

Dalam KUH Perdata sendiri terdapat beberapa asas hukum kontrak, antara

lain :

1. Hukum Kontrak bersifat mengatur.

Sebagaimana diketahui bahwa hukum dapat dibagi kedalam dua

bagian yaitu :

a Hukum memaksa, dalam hal ini para pihak diharuskan

untuk mengikuti segala ketentuan, tidak diperbolehkan

adanya pelanggaran atas apa yang telah tertuang di dalam

kontrak itu sendiri.

b Hukum mengatur, dalam hal ini jika para pihak

mengaturnya secara lain dari apa yang diatur dalam hukum

kontrak, maka yang berlaku adalah apa yang diatur sendiri

oleh para pihak tersebut. kecuali undang undang

(5)

2. Asas Kebebasan Berkontrak.

Dalam asas ini artinya para pihak bebas membuat kontrak dan

mengatur sendiri isi kontraknya. Menurut Pasal 1338 KUH Perdata,

ketentuan yang harus dipenuhi dalam asas kebebasan berkontrak ialah

sebagai berikut :

a Memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

b Tidak dilarang oleh undang-undang

c Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, dan

d Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad

baik.

Menurut Salim H.S, asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas

yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun.

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan

persyaratannya.

4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

3. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini mengajarkan bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah

mempunyai ikatan hukum yang penuh. Artinya kontrak tersebut berlaku

(6)

kontrak tersebut menjadi peraturan yang berlaku seperti undang-undang

bagi para pihak tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam

Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi : "setiap perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."

Adapun Huala Adolf menyatakan dalam bukunya yang berjudul "Hukum

Perdagangan Internasional" bahwa pacta sunt servanda adalah prinsip

yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak yang telah

ditandatangani dan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan

itikad baik). Prinsip ini pun sifatnya universal. Setiap sistem hukum di

dunia menghormati prinsip ini.14

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan

perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik

tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah

apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah

diperlukan sesuatu formalitas.

4. Asas Konsensual dari suatu Kontrak

15

14

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 16

15

Budiman N.P.D, Sinaga, op.cit., hlm. 15

Artinya ketika tercapainya kata sepakat,

maka kontrak tersebut sudah mengikat para pihak. Hal ini tentunya setelah

semua syarat sah kontrak tersebut sudah dipenuhi, sesuai dengan yang

(7)

maka timbul lah akibat hukum bagi para pihak untuk memenuhi hak dan

kewajiban bagi para pihak.

5. Asas Obligator dari suatu Kontrak

Maksudnya adalah setelah sahnya suatu kontrak, maka kontrak

tersebut sudah mengikat, tetapi baru sebatas menimbulkan hak dan

kewajiban di antara para pihak, tetapi pada taraf tersebut hak milik belum

berpindah kepada pihak lain. Untuk dapat memindahkan hak milik ke

pihak yang lain diperlukan adanya kontrak kebendaan (zakelijke

overeenkomst). Perjanjian kebendaan inilah yang disebut dengan

“penyerahan” (levering).16

4 Suatu sebab yang tidak terlarang."

C. Syarat Sahnya Suatu Kontrak

Suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga dapat mengikat

kedua belah pihak, maka kontrak tersebut haruslah memenuhi

syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat-syarat sahnya kontrak tersebut tertuang dalam Pasal

1320 KUH Perdata yang menyatakan "supaya terjadi persetujuan yang

sah, perlu dipenuhi empat syarat ;

1 Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,

2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

3 Suatu pokok persoalan tertentu,

16

(8)

Selain dari Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, ada pula syarat sah yang

lainnya, seperti yang tertuang dalam Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata.

Syarat sah kontrak tersebut yakni sebagai berikut :

a Syarat itikad baik,

b Syarat sesuai dengan kebiasaan,

c Syarat sesuai dengan kepatutan,

d Syarat sesuai dengan kepentingan umum.

Munir Fuady dalam bukunya menyebutkan bahwa selain

syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, ada syarat-syarat lainnya agar suatu kontrak

itu dinyatakan sah, yakni syarat sah khusus. Menurut Munir Fuady syarat

sah khusus tersebut ialah :

1) Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu,

2) Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,

3) Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk akta

kontrak-kontrak tertentu, dan

4) Syarat izin dari yang berwenang.17

17Ibid, hlm. 34

Berikut ini penjelasan mengenai syarat-syarat sah suatu kontrak

berdasarkan syarat syah yang umum dan syarat sah yang khusus :

(9)

Kesepakatan kehendak artinya ialah persesuaian pernyataan

kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.18 Hal ini lah

yang menjadi dasar terjadinya suatu kontrak. Suatu kesepakatan itu

lazimnya terjadi saat adanya penawaran. Rai Widjaya dalam bukunya

menyebutkan bahwa tidak mungkin ada suatu kesepakatan apabila tidak

ada pihak-pihak yang saling berkomunkasi, menawarkan sesuatu yang

kemudian diterima oleh pihak lainnya.19

Yang dimaksudkan dengan paksaan (dwang, duress) ialah suatu

perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dimana

terhadap orang yang terancam karena paksaan tersebut timbul ketakutan Namun dalam pencapaian kata

sepakat ini tidak boleh ditemukan adanya unsur-unsur yang dapat menjadi

syarat batalnya suatu kontrak. Unsur-unsur tersebut seperti yang

dinyatakan dalam Pasal 1321 KUH Perdata, yakni :

a) Unsur paksaan

b) Unsur kesilapan

c) Unsur penipuan

Berikut ini penjelasan mengenai unsur syarat yang dapat

membatalkan suatu kontrak menurut Pasal 1321 KUH Perdata :

a) Unsur paksaan

18

Salim H.S., op.cit., hlm 23

19

(10)

baik terhadap dirinya maupun terhadap kekayaannya dengan suatu

kerugian yang terang dan nyata. Menurut Sudargo, paksaan (duress)

adalah setiap tindakan intimidasi mental.20

(a) Ketakutan terhadap diri orang tersebut.

Menurut KUH Perdata, yakni Pasal 1323 sampai dengan Pasal

1327, suatu paksaan dapat mengakibatkan pembatalan atas suatu kontrak,

jika telah terpenuhi syarat-syarat paksaan sebagai berikut :

(1) Paksaan tersebut dilakukan terhadap :

(a) Orang yang membuat kontrak,

(b) Suami atau istri dari orang yang membuat kontrak.

(c) Keluarga orang yang membuat kontrak dalam garis ke

atas atau ke bawah

(2) Paksaan tersebut dilakukan oleh :

(a) Salah satu pihak dalam kontrak,

(b) Dari pihak ketiga yang merasa mempunyai kepentingan

atas kontrak tersebut.

(3) Paksaan tersebut menakutkan seseorang.

(4) Orang yang takut karena mendapatkan paksaan tersebut

haruslah dalam keadaan sehat serta berpikiran sehat.

(5) Ketakutan karena paksaan tersebut berupa :

20

(11)

(b) Ketakutan terhadap kerugian yang nyata terhadap harta

kekayaan orang tersebut.

(6) Timbulnya ketakutan karena paksaan haruslah dengan

mempertimbangkan keadaan dari yang dipaksakan, berupa:

(a) Usia

(b) Kelamin

(c) Kedudukan

(7) Ketakutan bukan karena hormat dan patuh kepada orang

tua atau sanak keluarga tanpa paksaan.

(8) Setelah terjadi paksaan, kontrak tersebut tidak telah

dikuatkan (dengan tegas atau diam-diam).

(9) Tidak telah lewat waktu kadaluwarsa setelah dilakukan

paksaan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan

yang dipilih oleh pihak yang membuat kontrak tersebut bukan merupakan

kehendak murni dari dalam hatinya. Sehingga dalam pengambilan

keputusan untuk membuat kontrak tersebut pihak yang dipaksa

mendapatkan tekanan untuk menyetujui/menyepakati kontrak, sehingga

lahir lah sebuah kontrak yang bukan merupakan berasal dari kehendaknya

sendiri, melainkan karena adanya paksaan dari luar yang membuatya harus

(12)

b) Unsur Kesilapan

Seseorang yang dikatakan telah membuat kontrak secara silap ialah

manakala ia ketika membuat kontrak tersebut dipengaruhi oleh pandangan

atau kesan yang tidak benar.21

Yang dimaksud dengan salah pengertian di sini ialah jika

terhadap suatu istilah dalam kontrak dimana istilah tersebut

memiliki penafsiran atas artian yang berbeda. Sehingga dapat

menimbulkan kebingungan bagi pihak yang membuat konrak. Kesilapan yang dimaksud ini mempunyai

jenis-jenis yang berbeda, tergantung dari segi mana dilihat bentuk

kesilapan tersebut. bentuk kesilapan tersebut yakni :

(1) Kesilapan terhadap hakikat barang

Dalam hal ini yang menjadi objek dari kesilapan ialah

barang yang diperjanjikan dalam kontrak. Maksudnya ialah barang

yang diperjanjikan ternyata berbeda dengan barang yang dimaksud

dalam perjanjian.

(2) Kesilapan terhadap diri orang

Kesilapan mengenai orang tersebut tidaklah dapat

membatalkan kontrak, kecuali jika kontrak tersebut dibuat

mengingat tentang diri orang yang diperjanjikan.

(3) Salah pengertian

21

(13)

(4) Mistranskripsi.

Mistranskripsi ialah kontrak tertulis yang sewaktu

ditulisnya kontrak tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang

sudah secara lisan disepakati oleh para pihak. Dalam hal ini pihak

yang dirugikan berhak untuk mengajukan perubahan isi kontrak

sesuai dengan apa yang telah disepakati secara lisan oleh para pihak

tersebut.

c) Unsur Penipuan

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan persetujuan,

bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa,

sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian

itu tanpa adanya tipu muslihat, hal ini seperti yang dinyatakan dalam Pasal

1328 KUH Perdata, namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan dan

tidak dapat dikira-kira. Maksudnya ialah dikarenakan suatu tindakan

penipuan, sehingga salah satu pihak setuju untuk mengadakan suatu

perbuatan yang mengikat dirinya. Tindakan penipuan tersebut haruslah

berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat

perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.22

22

Sudargo Gautama, Op.cit., hlm. 77.

Menurut Munir

Fuady dalam bukunya yang berjudul Hukum Kontrak (Dari Sudut

(14)

pandang keterlibatan pihak dan syarat yang harus dipenuhi agar suatu

penipuan dalam kontrak dapat menyebabkan pembatalan kontrak,23

(d) Penipuan termasuk juga nondisclosure.

yakni

sebagai berikut :

(1) Dilihat dari segi keterlibatan pihak yang melakukan

penipuan :

(a) Penipuan yang disengaja (Intentional

misrepresentation).

(b) Penipuan karena kelalaian (Negligent

misrepresentation).

(c) Penipuan tanpa kesalahan (Innocent misrepresentation).

(d) Penipuan dengan jalan merahasiakan (Concealment).

(e) Penipuan dengan jalan tidak terbuka informasi

(Nondisclosure).

(2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu kontrak dapat

dibatalkan :

(a) Penipuan harus mengenai fakta.

(b) Penipuan harus terhadap fakta substansial.

(c) Pihak yang dirugikan berpegang pada fakta yang ditipu

tersebut.

23

(15)

(e) Penipuan termasuk juga kebenaran sebahagian.

(f) Penipuan termasuk juga dalam bentuk tindakan.

Berdasarkan ketiga unsur tersebut, bila salah satunya tidak

dipenuhi, maka suatu kontrak yang dibuat tersebut dapat dibatalkan,

karena dalam kehendaknya, salah satu pihak yang telah mengalami salah

satu unsur dari yang telah disebutkan tersebut sebenarnya tidaklah

benar-benar menginginkan adanya kesepakatan itu.

ad. 2) Kecakapan Para Pihak

Kontrak baru dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhi semua

syarat-syaratnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH

Perdata, salah satu syarat sahnya yakni “cakap bertindak”. Cakap

bertindak ini artinya orang-orang yang bisa melakukan dan

mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang dilakukannya. Berdasar

Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam

bertindak digolongkan menjadi :

a) Orang yang belum dewasa

b) Orang yang berada dibawah pengampuan

c) Perempuan yang telah kawin

d) Orang-orang yang oleh Undang-undang dilarang untuk

(16)

Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang orang-orang yang tidak cakap

dalam melakukan suatu perbuatan hukum menurut Pasal 1330 KUH

Perdata:

a) Orang yang Belum Dewasa

Untuk menentukan kedewasaan seseorang dapat dilihat dari

syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 330 KUH Perdata, dimana orang-orang

yang dikategorikan sudah dewasa ialah :

(1) Sudah genap berumur 21 tahun.

Seseorang dikatakan dewasa jika usianya telah genap 21

tahun, sementara orang yang berusia 20 tahun 11 bulan

dianggap belum dewasa karena usianya belum mencapai

21 tahun.

(2) Sudah kawin.

Seseorang dapat dikatakan dewasa meskipun ia belum

berumur genap 21 tahun, namun ia telah menikah,

(3) Sudah kawin dan akhirnya bercerai.

Seseorang dikatakan sudah dewasa, dikarenakan ia telah

menikah, namun dalam pernikahannya ia bercerai. Ia tetap

dianggap sebagai orang yang telah dewasa walaupun ia

belum berumur 21 tahun.

(17)

Seseorang dikatakan tidak cakap dalam bertindak hukum apa bila

ia berada dibawah pengampuan. Dengan kata lain alasan orang-orang

tersebut berada dibawah pengampuan dikarenakan ia tidak bisa

mengambil keputusan yang baik bagi dirinya sendiri. Dalam Pasal 433

KUH Perdata menyebutkan, ada beberapa golongan orang yang berada

dibawah pengampuan, sehingga dianggap tidak sah dalam pengambilan

atau pembuatan keputusan hukum. Orang-orang tersebut ialah :

(1) Orang yang dungu

(2) Orang yang gila

(3) Orang yang mata gelap

(4) Orang yang boros

c) Perempuan yang Telah Kawin

Dalam hal ini seorang wanita yang telah menikah dan bersuami

maka dalam pengambilan keputusannya harus didasarkan kepada suami.

Menurut Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul “Hukum Kontrak”

mengatakan hal ini dikarenakan agar jangan sampai ada dua nahkoda

dalam satu kapal, sebab dalam suatu perkawinan, pihak suami lah yang

dianggap sebagai nahkodanya (kepala rumah tangga).

Namun pada saat sekarang ini, ketentuan istri dianggap tidak cakap

dalam bertindak hukum sudah dapat dikatakan tidak berlaku lagi. Pasal 31

(18)

“sungguhpun dikatakan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri

adalah ibu rumah tangga, tetapi masing-masing pihak mempunyai hak dan

kedudukan yang seimbang, dan masing-masing pihak berhak untuk

melakukan perbuatan hukum”. Artinya istri pada saat ini telah dikatakan

sebagai orang yang cakap dalam bertindak hukum, termasuk dalam hal

pembuatan kontrak.

d) Orang-orang yang oleh Undang-undang tidak diperbolehkan

melakukan perbuatan hukum

Dalam hal ini undang-undang juga menyatakan secara jelas bagi

sebagian orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan suatu

perbuatan hukum. Hal ini tertuang dalam Pasal 1330 KUH Perdata.

Orang-orang tertentu tersebut dianggap tidak berwenang utuk melakukan

suatu perbuatan tertentu, dengan cara tertentu pula. Sebagai contoh, dalam

bidang kontrak jual-beli, ada pihak-pihak yang disebutkan oleh

undang-undang untuk dianggap tidak sah melakukan sebuah kontrak. Menurut

Munir Fuady,orang-orang tersebut ialah :

(1) Suami istri yang hendak melakukan kontrak jual beli di

antara mereka. Hal ini terdapat dalam Pasal 1467 KUH

Perdat.

(2) Hakim, jaksa, panitera, jurusita, advokat, dan notaries tidak

(19)

dirinya sendiri atau orang lain atas hak dan tuntutan yang

menjadi pokok perkara.

(3) Pegawai dalam suatu jabatan umum dilarang membeli

untuk dirinya sendiri atau untuk perantara atas

barang-barang yang dijual oleh atau di hadapan mereka.24

Suatu hal tertentu dalam hal ini dimaksudkan terhadap benda atau

obyek dari suatu kontrak itu sendiri. Menurut Pasal 1333 KUH Perdata,

barang yang menjadi obyek suatu perjanjian haruslah tertentu, maksudnya

harus jelas bentuk dan wujudnya. Sedangkan untuk jumlahnya sendiri

tidak perlu ditentukan, asalkan kemudian bisa dihitung jumlahnya. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi obyek suatu perjanjian

itu bisa saja barang tersebut tidak harus sudah ada saat dibuatnya kontrak,

melainkan benda-benda atau barang yang hendak diciptakan sehingga

pada nantinya bisa menjadi obyek perjanjian. Namun yang tidak

diperbolehkan untuk menjadi obyek suatu perjanjian barang yang masih

ada dalam warisan yang belum terbuka, hal ini sesuai dengan yang

tertuang dalam Pasal 1334 KUH Perdata, dimana diatur di dalamnya

mengenai barang-barang yang boleh dan tidak boleh untuk dijadikan

sebagai obyek perjanjian.

ad. 3) Suatu Pokok Persoalan Tertentu

24Ibid,

(20)

ad. 4) Suatu Sebab Yang Halal

Syarat ini merupakan syarat yang terakhir dalam membuat suatu

kontrak itu bisa dianggap sah secara hukum. Namun hal ini berbeda

dengan syarat subyektif dalam keabsahan suatu kontrak, dimana jika pada

syarat subyektifnya belum terpenuhi, maka bagi para pihak diberikan

keleluasaan untuk meminta apakah perjanjian itu dibatalkan ataukah

dilanjutkan dengan syarat memenuhi persyaratan yang ada. Sedangkan

pada syarat obyektif, jika syaratnya tidak terpenuhi, maka perjanjian

tersebut batal demi hukum.25

Dalam syarat yang terakhir ini, yang dimaksud dengan syarat halal

itu sendiri adalah tidak lain daripada isi perjanjian itu sendiri. Syarat kausa

(oorzaak) yang legal untuk suatu kontrak adalah sebab mengapa kontrak

tersebut dibuat.26

Syarat itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata, dimana berisi bahwa suatu kontrak haruslah dilaksanakan dengan

itikad baik. Namun, dalam pengertiannya, syarat itikad baik ini bukan Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu

perjanjian tanpa sebab atau perjanjian yang telah dibuat karena sesuatu

sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

ad. a Syarat Itikad Baik

25

Salim H.S., (2). Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,

(Jakarta : Sinar Grafika, 2010) hlm. 35

26

(21)

merupakan syarat agar sahnya suatu kontrak, melainkan hanya sebagai

sarana yang mengatur mengenai pelaksanaan tentang isi dari suatu

kontrak. Artinya, bagi para pihak yang melaksanakan kontrak itu haruslah

sesuai dengan apa yang tertera di dalam kontrak, tidak boleh melenceng

keluar dari apa yang sudah diperjanjikan, sehingga tidak menimbulkan

kerugian bagi pihak yang lainnya.

ad. b Kepatutan

Bahwa dalam pelaksanaannya kontrak itu haruslah berdasarkan

atas asas kepatutan, artinya, kontrak itu tidak boleh dibuat untuk memaksa

pihak yang lain sehingga timbul kerugian atas diri pihak yang lain

tersebut. Oleh karenanya, dalam hal ini, syarat kepatutan mempunyai

fungsi sebagai pengisi kekosongan suatu aturan dalam sebuah kontrak.

Sehngga dalam pelaksanaannya bilamana terjadi suatu hal yang tidak

diinginkan, maka bagi kedua pihak merupakan suatu kewajiban untuk

saling memikul kerugian secara bersama-sama.

ad. c Kepentingan Umum

Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak juga tidak boleh

melanggar prinsip kepentingan umum, karena sesuai dengan prinsip

hukum yang sangat universal dan mendasar, bahwa kepentingan umum

tidak boleh dikalahkan dengan kepentingan pribadi. Karena itu, jika ada

(22)

bertentangan dengan kepentingan umum, maka kontrak tersebut akan

menjadi bertentangan juga dengan undang-undang yang berlaku di

wilayah di mana kontrak tersebut dibuat.

ad. d Kebiasaan

Dalam hal ini, kontrak tersebut tidak hanya berdasar atas apa yang

diatur di dalamnya, tetapi juga harus berdasarkan atas suatu kebiasaan

dalam pembuatan kontrak tersebut. Maksudnya ialah bahwa dalam suatu

pelaksanaannya, suatu kontrak itu harus berdasar atas kebiasaan yang

sering dilakukan oleh para pihak pembuat kontrak. Contoh dalam suatu

kontrak dagang, terhadap suatu perbuatannya biasanya didasari dengan hal

yang serupa seperti yang sebelumnya dilakukan, namun bila hal ini

dilakukan dengan cara yang berbeda dan dianggap merugikan bagi pihak

lainnnya, maka hal ini sudah bertentangan dengan Pasal 1339 KUH

Perdata.

ad. 1) Syarat Sah Khusus, terdiri dari Syarat tertulis, dan Izin yang

Berwenang

Dalam hal ini suatu kontrak itu diharuskan dibuat dalam berbentuk

tertulis, tidak cukup hanya berbentuk lisan saja. Hal ini dikarenakan ada

suatu bentuk keharusan yang mengharuskan bagi para pihak yang

bersepakat tersebut untuk menuangkan bentuk perjanjiannya ke dalam

(23)

sah jika telah dituangkan kedalam suatu bentuk tulisan, dimana isinya

tersebut merupakan aturan-aturan yang mengatur, dan menjadi peraturan

selain undang-undang bagi para pihak yang berkontrak tersebut.

Pembuatan suatu kontrak itu biasanya tidaklah diharuskan adanya

campur tangan oleh pihak ketiga, atau dengan kata lain, para pihak yang

membuat kontrak tersebut diberi kebebasan untuk mengatur isi kontraknya

sesuai dengan apa yang mereka inginkan, selama tidak bertentangan

dengan asas-asas dan undang-undang yang berlaku. Namun dalam suatu

hal ada kalanya dimana kontrak tersebut diharuskan untuk intervensi dari

pihak ketiga, dalam hal ini untuk pemberian izin atas pembuatan kontrak

tersebut. misalnya kontrak peralihan hak guna usaha, kontrak peralihan

Hak Penguasaan Hutan, dimana dalam hal ini izin dari pihak yang

berwenang sangat diperlukan dalam pembuatan kontrak tersebut.

D. Bentuk-Bentuk Kontrak

Di dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang

bentuk kontrak. Namun apabila ditelaah berbagai ketentuan yang

tercantum dalam KUH Perdata maka kontrak menurut bentuknya dapat

dibagi menjadi dua macam, yaitu kontrak lisan dan tertulis.27

27

Salim H.S., (1). op.cit. hlm. 32

Kontrak

lisan adalah kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh para pihak cukup

(24)

Dengan adanya konsensus maka perjanjian itu telah terjadi. Termasuk

dalam golongan ini adalah perjanjian konsensual dan riil. Perjanjian

konsensual adalah suatu perjanjian terjadi apabila ada kesepakatan para

pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dilihat dan

dilaksanakan secara nyata.

Kontrak tertulis merupakan kontrak yang dibuat oleh para pihak

dalam bentuk tulisan. Hal ini dapat kita lihat pada perjanjian hibah yang

harus dilakukan dengan akta notaris (Pasal 1682 KUH Perdata). Kontrak

ini dibagi menjadi dua macam, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan

dan akta autentik. Akta di bawah tangan adalah akta yang cukup dibuat

dan ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan akta autentik merupakan

akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris. Akta yang dibuat oleh

Notaris itu merupakan akta pejabat. Di samping itu, dikenal juga

pembagian menurut bentuknya yang lain, yaitu perjanjian standar.

Perjanjian standar merupakan perjanjian yang telah dituangkan dalam

bentuk formulir.

Menurut Salim H.S ada tiga fungsi akta autentik, yakni :

1 Sebagai bukti bahwa para pihak yang bersangkutan telah

mengadakan perjanjian tertentu.

2 Sebagai bukti bagi para pihak bahwa apa yang tertulis

(25)

pihak.

3 Sebagai bukti kepada pihak ketiga bahwa pada tanggal

tertentu, kecuali ditentukan sebaliknya para pihak telah

mengadakan perjanjian. Hal itu juga menentukan bahwa

perjanjian sesuai dengan kehendak para pihak.28

Dalam KUH Perdata dikenal beberapa jenis perikatan, namun yang

dimaksud jenis-jenis perikatan dalam KUH Perdata tersebut pada dasarnya

adalah sama dengan jenis-jenis perjanjian atau jenis-jenis kontrak, karena

perikatan-perikatan yang dimaksud adalah juga perikatan yang lahir dari

kontrak.

E. Jenis-Jenis Kontrak

29

Kontrak bersyarat adalah kontrak yang digantungkan pada

suatu peristiwa yang akan terjadi. Kontrak bersyarat ini

dapat dibagi atas dua, yaitu kontrak dengan syarat tangguh

dan kontrak dengan syarat batal.

Berikut ini pembagian kontrak secara umum menurut

jenis-jenisnya :

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) hlm. 69

30Ibid.

hlm.70

Kontrak dengan syarat

tangguh adalah kontrak dimana suatu perjanjian baru akan

(26)

telah tercapai. Sedangkan kontrak dengan syarat batal ialah

kontrak dimana suatu perjanjian baru akan batal jika

peristiwa yang akan datang tersebut terjadi.

2 Kontrak dengan ketetapan waktu.

Kontrak dengan ketetapan waktu yaitu suatu perikatan yang

digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, suatu

hal yang akan datang, meskipun belum dapat ditentukan

kapan datangnya, (tentang matinya seseorang, misal

perjanjian asuransi jiwa).31

Salim H.S. dalam bukunya menyatakan pembagian kontrak

menurut namanya menjadi kontrak bernama dan kontrak

tidak bernama. Kontrak bernama tersebut meliputi jenis

perjanjian yang diatur dalam Pasal 1319 KUH Perdata,

yakni jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa,

persekutuan perdata, hibah, dan lain sebagainya. Sedangka

kontrak tidak bernama itu sendiri menurut Salim H.S. ialah

kontrak yang belum dikenal dalam KUH Perdata, seperti

leasing, beli-sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, 3 Kontrak menurut namanya.

31

(27)

kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain

sebagainya.32

Hal ini tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi

prestasi dan juga kehendak kedua pihak yang membuat

perjanjian. Persoalan ini baru tampil ke muka, bila salah

satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa

orang lain. Biasanya, ini terjadi karena meninggalnya satu

pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-4 Kontrak Alternatif.

Kontrak alternatif ini maksudnya ialah suatu perikatan

ketika terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan

bagi pihak yang dibebani hutang diberikan pilihan mana

yang akan ia lakukan untuk memenuhi prestasinya.

5 Perjanjian tanggung-menanggung.

Perjanjian tanggung-menanggung ialah suatu perikatan

ketika beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang

berhutang berhadapan dengan satu pihak yang

menghutangkan, atau sebaliknya.

6 Kontrak yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi.

32

(28)

haknya oleh sekalian ahli warisnya.33

Teori ini merupakan teori pernyataan kesepakatan oleh 7 Kontrak dengan ancaman hukum.

Ancaman hukuman merupakan suatu klausula kontrak yang

memberikan jaminan kepada kreditor bahwa debitur akan

memenuhi prestasi, dan manakala debitur tidak memenuhi

prestasi tersebut, maka debitur diwajibkan melakukan

sesuatu atau menyerahkan sesuatu. Ancaman hukuman ini

dapat batal jika kontrak tersebut batal, sehingga dengan

demikian ancaman hukuman tersebut hanya bersifat

sebagai tambahan.

F. Momentum Terjadinya Kontrak

Menurut KUH Perdata tidak ditentukan mengenai momentum

terjadinya suatu kontrak. Pada Pasal 1320 KUH Perdata hanya disebutkan

mengenai syarat sah terbentuknya suatu kontrak. Namun, dalam berbagai

literatur hukum, khususnya yang berkenaan dengan kontrak, banyak

disebutkan mengenai momentum terjadinya suatu kontrak. Hal tersebut

dikategorikan menjadi beberapa teori. Berikut ini penjabaran dan

penjelasan teori-teori mengenai momentum terjadinya suatu kontrak :

1 Teori Pernyataan (Uitingstheorie)

33

(29)

pihak yang menerima tawaran yang diberikan oleh si

pemberi tawaran. Menurut teori ini, kesepakatan itu terjadi

saat yang menerima tawaran tersebut menerima tawaran

yang diberikan oleh si pemberi tawaran. Jadi, dilihat dari

pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan

ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah

terjadi. Namun teori ini memiliki kelemahan, karena

bersifat sangat teoritis. Teori ini menganggap terjadinya

kesepakatan secara otomatis.

2 Teori Pengiriman (verzendtehorie)

Menurut teori ini, kesepakatan terjadi apabila pihak yang

menerima penawaran mengirimkan telegram. Namun, teori

ini mendapat kritik, karena bisa saja pihak yang

menawarkan penawaran tersebut tidak mengetahui bahwa

pihak penerima tawaran telah menerima tawaran dengan

mengirimkan telegram balasan. Teori ini juga sangat

teoritis, dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.

3 Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)

Menurut teori pengetahuan bahwa kesepakatan terjadi

apabila pihakyang menawarkan itu mengetahui adanya

(30)

diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik

terhadap teori ini, bagaimana ia mengetahuinya isi

penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

4 Teori Penerimaan (ontvangstheorie)

Teori ini berpendapat bahwa kesepakatan terjadi pada saat

pihak yang melakukan penawaran mengetahui bahwa

penawarannya telah diketahui oleh pihak yang menerima

penawaran tersebut. Kelemahan teori ini antara lain

memungkinkan terlambat lahirnya perjanjian karena

menunda-nunda untuk membuka surat penawaran dan

sukar untuk mengetahui secara pasti kapan penerima

tawaran mengetahui isi surat penawaran.

G. Berakhirnya Suatu Kontrak

Di dalam KUH Perdata dapat ditemukan ketentuan tentang

pengakhiran kontrak atau perjanjian. Secara khusus dalam Pasal 1381

disebutkan sepuluh cara untuk mengakhiri perjanjian, yakni :

1 Pembayaran,

2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan

atau penitipan,

3 Pembaharuan utang (novatie),

(31)

5 Percampuran utang,

6 Pembebasan utang,

7 Musnahnya barang yang terutang,

8 Batal/pembatalan,

9 Berlakunya suatu syarat batal,

10 Lewatnya waktu.

Namun cara tersebut dianggap belum lengkap, sebab masih ada

cara-cara lain yang tidak disebutkan, seperti berakhirnya suatu ketetapan

waktu dalam perjanjian atau menginggalnya salah satu pihak dalam

beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang persero dalam

suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di

mana prestasi hanya dapat dilakukan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh

orang lain.34 Hapusnya persetujuan harus benar-benar dibedakan daripada

hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus, sedangkan

persetujuannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.35

34

Budiman N.P.D, Sinaga, Op.cit., hlm. 21

35

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung: Putra A Bardin, 1999), hlm.68

R.

Setiawan menambahkan bahwa persetujuan dapat hapus karena hal-hal

(32)

a Hapusnya persetujuan ditentukan dalam persetujuan oleh

para pihak. Misalnya, persetujuan akan berlaku untuk

waktu tertentu.

b Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu

persetujuan. Misalnya, menurut Pasal 1066 ayat (3) KUH

Perdata, bahwa para ahli waris dapat mengadakan

persetujuan untuk selama waktu tertentu untuk tidak

melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi, waktu

persetujuan tersebut oleh ayat (4) Pasal 1066 KUH Perdata

dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.

Hapusnya suatu persetujuan tersebut menurut R. Setiawan merupakan

suatu jenis persetujuan yang berdasarkan undang-undang berlaku atau

batal berdasarkan dengan ketetapan waktu. Artinya, persetujuan tersebut

berlaku atau batal dikarenakan adanya persetujuan atau karena

undang-undang itu sendiri yang menyatakan suatu persetujuan tersebut dianggap

batal. Adapun ketentuan para pihak yang saling bersepakat tersebut yang

dapat menjadi penentu atas berlaku atau batalnya suatu perikatan tersebut

sesuai dengan yang diperjanjikan sebelumnya.

H. Fungsi Suatu Kontrak

Kontrak secara umum seperti apa yang telah disinggung pada

(33)

secara tertulis. Pembuatan kontrak secara tertulis tersebut juga memiliki

fungsi tersendiri. Menurut Salim H.S. fungsi kontrak tersebut dibedakan

menjadi dua macam, yakni fungsi yuridis dan fungsi ekonomis.36

Fungsi

yuridis suatu kontrak itu ialah sebagai suatu jaminan atau kepastian hukum

bagi para pihak yang saling bersepakat, atau para pihak yang memiliki

kepentingan masing-masing dalam suatu kontrak. Sedangkan fungsi

ekonomis suatu kontrak itu menurut Salim H.S. ialah menggerakkan

sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih renda menjadi nilai yang

lebih tinggi.

36

Referensi

Dokumen terkait

Dalam interaksi ini dosen berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan mahasiswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan dengan

Jangka waktu maksimal 95 tahun yang diberikan UUPM sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang investasi maka akan memberikan keuntungan bagi negara dalam hal

Pelaksanaan pembelajaran Akidah Akhlak kelas VIII di MTs Nurul Ikhlas Pintu Gobang Kari dilakukan sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat oleh guru mata

Hasil penelitian tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Arum(2012) yang menyatakan bahwa sikap wajib pajak terhadap kesadaran dalam membayar pajak

Pada variabel customer engagement , rekomendasi yang dapat diberikan adalah Instagram the Body Shop Indonesia lebih sering menambah kiriman ( post ) agar jumlah likes

Emulsifier fase minyak merupakan bahan tambahan yang dapat larut dalam minyak yang berguna untuk menghindari terpisahnya air dari emulsi air

Keywords: blended learning, mobile instant messaging (MIM), learning management system (LMS), line application, schoolo gy, students’

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V SD N 1 Sidabowa, sedangkan untuk sampelnya diambil seluruh siswa kelas VA sebagai kelas kontrol