• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN S"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Keperawatan Dewasa III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN

STRES

Disusun oleh: Kelompok HG 1

Abdul Aziz Wahyudin 1506690132

Kamelia Syani 1506732305

Muhammad Abdul Aziz 1506689774

Naadiyah Fauziyyah 1506690113

Shafa Dwi Andzani 1506690063

Siti Nurul Jannah 1506690100

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Makalah ini membahas mengenai asuhan keperawatan pada klien gangguan stres.

Makalah ini dibuat dengan berdasarkan literatur atau studi keperpustakaan serta dari berbagai pengalaman dan juga pengamatan kami sebagai penyusun makalah. Selain itu juga, kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Ns. Widya Lolita S.Kep, M.Kep yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Depok, 18 Oktober 2016

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar... ii

Daftar Isi... iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Rumusan Masalah... 1

1.3. Tujuan Penulisan... 2

1.4. Metode Penulisan... 2

1.5. Sistematika Penulisan... 2

BAB II ISI 2.1. Pengertian dan Sumber Stres………... 3

2.2. Jenis-Jenis Stres………... 4

2.3. Indikator Stres..………... 6

2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres………... 9

2.5. Respon Fisiologis dan Manajemen Stres pada Manusia... 10

2.6. Model Teoritical Stres... 15

2.7. Trend dan Isu terkait Psikofarmakologi... 16

2.8. Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) ... 29

2.9. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) ... 34

2.10. Konsep Koping... 38

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan... 44

3.2. Saran... 45

(4)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejatinya manusia hidup di dunia ini pasti akan mengalami sebuah masalah, dan masalah itulah yang harus manusia hadapi dan selesaikan. Seseorang yang dikatakan stres jika mereka tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut bahkan hanya menghindarinya. Pada dasarnya stres bukan hanya dapat menyebabkan penyakit, melainkan dapat terjadi setelah seseorang mengidap penyakit. Penyakit atau kelainan yang timbul akibat stres ini dapat diselesaikan jika stres tersebut dapat ditangani melalui koping yang baik dan positif selain itu bermacam obat pun juga dapat membantu mengurangi stres.

Dalam hal ini, seorang perawat harus memiliki dasar pengetahuan mengenai apa itu stres, anatomi dan fisiologinya, serta apa itu koping dan jenis obat apa saja yang dapat menyembuhkan stres. Penyelesaian masalah membutuhkan koping yang bekerja secara bertahap melalui berbagai sumber, baik dari segi keadaan keuangan, spiritual, bahkan dari lingkungan sosial.

Koping merupakan mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima, karena koping adalah cara alami atau proses pembelajaran dalam menanggapi perubahan lingkungan, masalah tertentu atau situasi. Pengetahuan ini penting bagi klien ataupun perawat, namun alangkah baiknya sebelum seorang perawat melakukan tindakan keperawatannya terkait stres ini, perawat harus dapat mengatasi stresnya sendiri terlebih dahulu.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Jelaskan pengertian dan sumber Stress? 1.2.2 Apa saja jenis-Jenis Stress?

1.2.3 Apa saja indikator Stress?

1.2.4 Apa saja faktor-faktor yang mnempengaruhi Stress?

1.2.5 Bagaimana respon fisiologis dan Manajemen Stress pada Manusia? 1.2.6 Apa yang dimaksud dengan model Teoritical Stress?

(5)

1.2.8 Bagaimana penatalaksanaan terkait trend dan isu terkait psikofarmakologi 1.2.9 Bagaimana konsep Post Traumatic Stress Disorder?

1.2.10 Bagaimana konsep Koping?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui konsep stres berdasarkan pengertian, sumber, anatomi dan fisiologis respons stres manusia, indikator, dan jenis.

1.3.2 Mengetahui model teoritikal stres: General Adaptive Syndrome (GAS) dan Local Adaptive Syndrome (LAS).

1.3.3 Mengetahui beberapa penyakit yang berhubungan dengan stres dan organ tubuh yang diserang.

1.3.4 Mengetahui prinsip penatalaksanaan terkait trend dan isu terkait psikofarmakologi

1.3.5 Mengetahui prinsip penatalaksanaan terapi aktivitas kelompok. 1.3.6 Mengetahui konsep Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

1.3.7 Mengetahui konsep koping, metode, strategi, sumber, mekanisme serta aspek sosial-budaya yang mempengaruhi koping dan diagnosa keperawatan terkait adaptasi

1.4 Metode Penulisan

Penulis menggunakan metode studi literatur (kepustakaan) untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Sumber kepustakaan yang digunakan oleh penulis berupa buku, jurnal dan artikel dari internet yang berhubungan dengan konsep stress, konsep koping dan konsep Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

1.5 Sistematika Penulisan

(6)

BAB II ISI

2.1 Pengertian dan Sumber Stress

Stres menurut Berman, Snyder, dan Frandsen (2016) adalah perubahan kondisi keseimbangan yang dialami individu. Sedangkan menurut DeLaune dan Ladner (2011) stres merupakan reaksi psikologis tubuh terhadap stimulus/ stressor yang menimbulkan perubahan. Stressor adalah segala kejadian yang menyebabkan seorang individu mengalami stress. Dengan begitu, stres melibatkan persepsi diri atas stimulus yang kita terima sedangkan persepsi adalah cara seorang individu menginterpretasikan dampak sebuah stressor pada dirinya atau pada apa yang terjadi dan apa yang bisa ia lakukan (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013).

Stress yang dialami seseorang merupakan wujud konsekuensi kehidupan sehari-hari yang merangsang proses berpikir sehingga membantunya untuk tetap waspada terhadap lingkungan. Hal tersebut menjadi landasan dalam pertumbuhan kepribadian seseorang. Reaksi orang-orang terhadap stres akan bergantung pada cara pandang dan hasil evaluasi dampak dari stressor tersebut, efeknya terhadap situasi dan support pada saat terjadinya stres, dan mekanisme koping yang biasa dilakukan. Jika stres terjadi dan mekanisme koping yang biasa dilakukan tidak dapat menanganinya, orang tersebut akan kehilangan keseimbangan emosional dan terjadilah krisis. Lain halnya dengan stres, jika gejala tersebut terus ada hingga melampaui durasi dari stressor, orang tersebut mengalami trauma (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013).

(7)

Menurut DeLaune dan Ladner (2011), stres bersumber dari 5 aspek yaitu : Stres fisiologis terjadi akibat perubahan yang terjadi pada organ atau kelenjar tubuh karena hal tertentu, stres psikologis melibatkan emosional seseorang seperti kekhawatiran, rasa takut, marah, dan bahagia, stres kognitif adalah stres yang timbul sebagai hasil pembelajaran atau pemikiran atas suatu hal, stres lingkungan

terjadi karena kondisi fisik lingkungan, dan

stres sosial-budaya terjadi akibat perubahan pola hubungan sosial.

2.2 Jenis-Jenis Stress

Selye (dalam Potter & Perry, 2013) mengemukakan teorinya mengenai jenis-jenis stres yang dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Eustres

Merupakan jenis stres berenergi positif (energi motivasi yang dapat berupa kesenangan, pengharapan dan gerakan yang terarah) sehingga sifatnya melindungi kesehatan (Varcarolis, et al, 2006 dalam Potter & Perry, 2013). Stres jenis ini berjangka pendek dan memberikan kekuatan terhadap individu yang mengalaminya. Eustres merupakan stres yang bersifat menantang akan tetapi masih dapat dikendalikan oleh diri sendiri. Sebenarnya stres tidak hanya mengacu pada hal-hal yang menyebabkan gangguan dalam keseimbangan diri seseorang. Stres jenis eustres mampu meningkatkan antuisme, kreativitas, motivasi, serta keaktifan seseorang. Singkatnya saat individu mengalami stres jenis ini, individu tersebut akan memandang kejadian, stimulus, atau stresor tersebut sebagai situasi yang menantang namun memiliki sisi menyenangkan bagi dirinya.

b. Distres

Merupakan jenis stres yang bersifat merusak, tidak menguntungkan, serta merupakan interpretasi negatif dari suatu peristiwa yang dialami. Intepretasi tersebut berupa rasa ketakutan, rasa marah, atau bahkan keduanya (Seaward,

(8)

2012). Distres dipandang atau dirasa terlalu berat dan sulit untuk diatasi bagi individu yang mengalaminya (Saparinah, 2010). Individu yang mengalami distres merasa bingung bahkan tidak memilki keinginan atau harapan untuk mengatasi stres atau masalah yang dimilikinya. Individu yang mengalami distres menggangap dirinya sudah terperangkap didalam masalah tersebut sehingga merasa sudah tidak dapat meninggalkan atau keluar situasi stres yang dialami, bahkan merasa tidak berdaya dan frustrasi. Terdapat dua macam distres yaitu:

1. Stres Kronis

Stres kronik merupakan stres yang stresornya tidak terlalu kuat akan tetapi terjadi dalam waktu yang bertahan hingga berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan atau dapat dikatakan stres yang berlangsung lama. Stres kronik inilah yang bersifat destruktif. (Sunaryo, 2004). Contoh: Individu dengan tanggung jawab keluarga di rumah dan bekerja penuh diluar rumah.

2. Stres Akut

Stres ini merupakan stres yang terjadi dalam waktu yang relatif singkat dengan tekanan yang kuat atau dapat digolongkan sebagai stres yang sering muncul dan dapat hilang dengan cepat (Sunaryo, 2004). Contoh, tekanan menghadapi ujian nasional, deadline pekerjaan, dll.

Sedangkan menurut Sunaryo (2004) stres dibagi menjadi dua ditinjau dari tipe kepribadian yang mengacu pada rentan tidaknya seseorang mengalami stres, di antaranya yaitu:

1. Jenis yang rentan (vulnerable)

Individu dengan jenis stres ini, merupakan individu dengan resiko tinggi mengalami stres.

2. Jenis yang kebal (immune)

Individu dengan jenis stres ini, merupakan individu yang kebal terhadap stres.

(9)

a. Stres Fisik, merupakan stres yang disebabkan oleh hal-hal yang dirasakan oleh indra seseorang. Contoh: suhu atau temperature yang terlalu tinggi atau rendah, suara bising, sinar yang terlalu terang atau bisa juga karena tersengat arus listrik.

b. Stres Kimiawi, biasanya disebabkan oleh benda-benda kimia yang masuk atau berada di dalam tubuh individu.Contoh: asam atau basa yang terlalu kuat, obat-obatan, zat beracun, hormon atau gas.

c. Stres Mikrobiologik, merupakan stres yang disebabkan oleh keberadaan organisme-organisme yang memicu timbulnya penyakit bagi individu. Contoh: virus, bakteri, ataupn parasite yang menimbulkan penyakit. d. Stres Fisiologik, merupakan stres yang disebabkan oleh gangguan yang

nantinya menggagu fungsi dari bagian atau keseluruhan tubuh individu. Contoh: stres pada struktur, fungsi jaringan, organ, atau sistemik sehingga menimbulkan fungsi tubuh tidak normal.

e. Stres Proses pertumbuhan dan perkembangan, biasanya disebabkan karena gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi hingga tua. Contoh: kegagalan melalui tugas tahap perkembangan, atau kegagalan menemukan identitas, dll.

f. Stres psikis/emosional, disebabkan oleh gangguan hubungan interpersonal, sosial, budaya atau keagamaan. Contoh: stres akibat permasalahan percintaan, keluarga, pendidikan, dll (yang berhubungan dengan hubungan individo kepada seseorang, kelompok, atau kepercayaannya).

2.3 Indikator Stress

Menurut Kozier (2015) terdapat tiga indikator dalam stres seorang individu, yaitu :.

a. Indikator fisiologis

(10)

stress merupakan hasil dari aktivasi sistem simpatik dan neuroendokrin tubuh (Kozier,2015). Contoh manifestasi stress secara fisiologis (DeLaunne ,2011):

Sistem kardiovasikular dan

Genitourinary effects Poliuria (sering buang air kecil)

Musculoskeletal effects 1. Tegang otot2. Berkedut

Endocrine effects Peningkatan kadar glukosa darah dan kortisol.

b. Indikator psikologis

Menifestasi stress dalam indikator psikologis antara lain kecemasan (anxiety), takut, marah, depresi dan mekanisme ego yang tidak disadari (Kozier,2015). Contoh manifestasi stres di dalam indikator psikologis (DeLaunne ,2011): iritabilitas, perasaan sangat sensitive, sedih, depresi, dan merasa dipojokan.

1. Anxiety (kecemasan) adalah keadaan dimana terjadi kondisi gelisah, takut, atau putus asa terhadap ancaman yang datang atau ancaman yang tidak dapat diantisipasi oleh diri sendiri (Kozier,2015). Menurut (Kozier,2015) anxiety dapat di manifestasikan kedalam empat level :

a) Mild anxiety (kecemasan ringan), peningkatan presepsi, pembelajaran dan kemampuan produktif. Contohnya kecemasan ringan yaitu perasaan gelisah ringan yang ingin lebih ingin mengetahui sesuatu dengan mencari informasi dan mengajukan pertanyaan.

b) Moderate anxiety, keadaan dimana individu mengungkapkan perasaan tegang, gugup, atau kekhawatiran.

(11)

d) Panik, tingkat yang paling tinggi yang menyebabkan individu kehilangan kontrol

2. Takut merupakan rasa khawatir yang muncul akibat presepsi bahaya nyeri, atau ancaman yang akan terjadi atau Nampak (Kozier, 2015).

3. Depresi merupakan reaksi umum terhadap kejadian yang tampak kacau dan negatif (Kozier, 2015).

4. Mekanisme pertahanan ego yang tidak disadari atau disebut mekanisme adaptif psikologik menurut pernyataan Sigmund (1946) dalam Kozier (2015) merupakan mekanisme mental yang berkembang saat personalitas berupaya mempertahankan diri, menciptakan gangguan terhadap implus yang bertentangan, dan meredakan ketegangan di dalam diri. Pertahanan ego juga merupakan kerja tidak sadar untuk melindungi seseorang dari kecemasan.

c. Indikator kognitif

Indikator kognitif stress adalah renspon berpikir yang mencakup penyelesaian masalh, penstukturan, kontrol diri/ disiplin diri, supresi, dan fantasi (Kozier,2015). Contoh manifestasi stres di dalam indikator kognitif (DeLaunne ,2011) : gangguan memori, kebingungan, dan gangguan penilaian dan membuat keputusan.

1. Penyelesaian masalah yaitu berpikir melalui situasi yang mengancam, dan menggunakan langkah spesifik untuk mencapai solusi (Kozier,2015). 2. Penstrukturan yaitu perencanaan supaya peristiwa yang mengancam tidak

terjadi (Kozier,2015).

3. Kontrol diri adalah menampilkan perilaku dan ekspresi wajah yang menggambarkan rasa dapat mengontrol (Kozier,2015).

4. Supresi adalah menempatkan pikiran atau perasaan di luar ingatan secara disadari dan disengaja (Kozier,2015).

(12)

Contoh lain dari manifestasi menurut Delaune (2011) :

Tipe Stressor Contoh

Behavioral (perilaku)

1. Sering mondar- mandir 2. Telapak tangan berkeringat 3. Berbicara cepat

4. Insomnia

5. Reflex kaget yang berlebihan

Spiritual (rohani)

1. Keterasingan 2. Isolasi sosial

3. Perasaan kekosongan

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stress

Menurut Atkinson & Hilgard (1996), tingkat stres tergantung pada sejumlah faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhinya yaitu:

a. Kemampuan menerka, kemampuan menerka timbulnya kejadian stres, walaupun yang bersangkutan tidak dapat mengontrolnya, biasanya akan mengurangi kerasnya stres.

b. Kontrol atas jangka waktu, kemampuan seseorang mengendalikan jangka waktu kejadian yang penuh stres akan mengurangi kerasnya stres.

c. Evaluasi kognitif, kejadian stres yang sama mungkin dihayati secara berbeda oleh dua individu yang berbeda, tergantung pada situasi apa yang berarti pada seseorang.

d. Perasaan mampu, kepercayaan seseorang atas kemampuannya menanggulangi stres merupakan faktor utama dalam menentukan kerasnya stres.

e. Dukungan masyarakat, dukungan emosional dan adanya perhatian orang lain dapat membuat seseorang sanggup bertahan dalam menghadapi stres.

Setiap individu juga akan mendapat efek stres yang berbeda-beda. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, yaitu:

(13)

b. Intensitas terhadap stimulus, jika intensitas serangan stres terhadap individu tinggi, maka kemungkinan kekuatan fisik dan mental individu tersebut mungkin tidak akan mampu mengadaptasinya.

c. Jumlah stresor yang harus dihadapi dalam waktu yang sama, jika pada waktu yang bersamaan bertumpuk sejumlah stresor yang harus dihadapi, stresor yang kecil dapat menjadi pemicu yang mengakibatkan reaksi yang berlebihan. d. Lamanya pemaparan stresor, memanjangnya lama pemaparan stresor dapat

menyebabkan menurunnya kemampuan individu dalam mengatasi stres. e. Pengalaman masa lalu, pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi

kemampuan individu dalam menghadapi stresor yang sama.

f. Tingkat perkembangan, pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah dan intensitas stresor yang berbeda sehingga risiko terjadinya stres pada tingkat perkembangan akan berbeda.

Penilaian individu terhadap sesuatu yang dianggap sebagai sumber stres dipengaruhi oleh dua faktor (Seaward, 2014), yaitu:

a. Faktor individu, meliputi intelektual, motivasi dan karakter kepribadian. b. Faktor situasi, meliputi besar kecilnya tuntutan keadaan yang dilihat sebagai

stres.

Terdapat beberapa dampak stres yang telah dirangkum di tabel berikut ini:

Sindorm Mental dan Emosional Gejala-Gejala Fisik

Sikap negatif Ketegangan/nyeri otot

Kekhawatiran Kekejangan otot

Pikiran-pikiran yang terobsesi Sakit kepala

Ketakutan/fobia Migrain

Kesedihan Kekakuan rahang

Peka/mudah tersinggung Menggertak-gertakkan gigi Kemarahan/ingin meledak Letih/kelelahan

Keragu-raguan Gemetar

Insomnia Jantung berdebar-debar

Mimpi buruk Tekanan darah tinggi

(14)

Bunuh diri Kecenderungan mencelakakan diri sendiri

2.5 Respon Fisiologis dan Manajemen Stress pada Manusia

Menurut Selye dalam (Kozier, 2010) stres didefinisikan sebagai respon nonspesifik tubuh terhadap suatu tuntutan yang ditimbulkannya. Respon stres ini ditandai pola kejadian fisiologis yang disebut sindrom adaptasi umum (GAS) atau sindrom stres. Respon tubuh terhadap sindrom ini berupa pelepasan hormon adaptif tertentu dan perubahan pada struktur dan komposisi kimia tubuh. Organ tubuh yang dipengaruhi yaitu saluran pencernaan, kelenjar adrenal dan struktur limfatik. GAS dirangsang secara tidak langsung oleh kejadian fisik atau kejadian fisiologis (Lazarus, 1999) dalam (Potter & Perry, 2010).

GAS melibatkan beberapa sistem tubuh terutama sistem saraf otonom dan sistem endokrin serta respon cepat apabila tubuh mendapat trauma, maka kelenjar pituitari merangsang hipotalamus menyekresikan endorfin untuk menghasilkan perasaan damai dan mengurangi nyeri (Lazarnus, 1999, dalam Potter & Perry, 2010). Selain beradaptasi secara umum, tubuh juga bereaksi secara lokal yang disebut sindrom adaptasi lokal (LAS), misalnya radang.

2.5.1 General Adaptation Syndrome (GAS) menurut Hidayat (2012)

Menurut Selye (1976) dalam (Kozier, 2010), baik GAS maupun LAS mempunyai tiga tahap, yaitu :

1. Reaksi alarm

(15)

sehingga menghasilkan lapang pandang terluas. Aktivitas hormonal yang ekstensif tersebut mempersiapkan seseorang untuk “fight-or-flight”.

2. Tahap resistensi

Tahap ini terjadi saat tubuh mulai beradaptasi atau berusaha menghadapi stresor. Tubuh mempertahankan dan merespon reaksi peringatan dengan cara berlawanan. Kadar hormon, denyut jantung, tekanan darah, dan curah jantung kembali normal, dan tubuh melakukan perbaikan terhadap segala kerusakan. Namun, jika stresor tidak hilang, maka akan memasuki tahap ketiga.

3. Tahap kelelahan

Tahap ini terjadi saat adaptasi yang dilakukan tubuh pada tahap kedua tidak adaptif. Apabila stresor belum dapat diatasi, maka efek stres dapat menyebar ke bagian tubuh lain. Hasil akhir dari tahap ini tubuh bisa kembali normal ke kondisi semula atau dapat menyebabkan kematian. Semua ini bergantung kepada sumber energi adaptif individu, keparahan stresor, dan sumber adaptif eksternal.

Stresor menstimulasi sistem saraf simpatis untuk menstimulasi hipotalamus, hipotalamus melepaskaan kortikotropin (ACTH). Selama masa stres, medulla adrenal menyekresi epinefrin dan norepinefrin sebagai respon stimulasi simpatetik. Respon tubuhnya berupa:

a) Peningkatan kontraktibilitas miokardial, sehingga curah jantung dan aliran darah meningkat untuk mengaktifkan otot.

b) Dilatasi bronki sehingga asupan oksigen meningkat. c) Peningkatan pembekuan darah.

d) Peningkatan metabolism seluler.

e) Peningkatan metabolism lemak untuk menyediakan oksigen dan sintesis senyawa lain.

(16)

Respon fisiologis terhadap stres juga dapat melibatkan sistem imun. Sistem imun ini dibedakan menjadi sistem imun diri dan non-diri. Apabila sistem imun salah menginterpretasikan antigen dan responnya terlalu kuat dapat menyebabkan penyakit autoimun (Stuart & Sundeen, 2013). Stres berkepanjangan menyebabkan berbagai penyakit karena peningkatan tingkat kekuatan hormon yang mengubah proses dalam tubuh, koping tidak sehat, mengabaikan gejala penyakit (Monat, Lazarus, & Reevy, 2007 dalam Potter & Perry, 2010).

2.5.2 Local Adaptation Syndrom (LAS) menurut Hidayat (2012)

Tubuh menghasilkan banyak respons lokal terhadap stres. Respons lokal ini termasuk pembekuan darah dan penyembuhan luka, akomodasi mata terhadap cahaya, dan lain-lain. Respon adaptasi lokal berjangka pendek, tidak terus menerus dan bersifat restoratif. Karakteristik dari LAS yaitu :

1. Respon inflamasi

Respon ini distimulasi oleh adanya trauma dan infeksi dan terjadi hanya pada area tubuh yang trauma sehingga penyebaran inflamasi dapat dihambat dan proses penyembuhan dapat berlangsung cepat. Respon inflamasi dibagi kedalam 3 fase:

a) Fase pertama, terjadi perubahan sel dan sistem sirkulasi, dimulai dengan penyempitan pembuluh darah ditempat cedera dan secara bersamaan teraktifasinya kinin,histamin, sel darah putih. Kinin berperan dalam memperbaiki permeabilitas kapiler sehingga protein, leukosit dan cairan yang lain dapat masuk ketempat yang cedera tersebut.

b) Fase kedua, terjadinya pelepasan eksudat.

c) Fase ketiga, terjadi regenerasi jaringan dan terbentuknya jaringan parut.

2. Respon refleks nyeri

Respon ini merupakan respon adaptif yang bertujuan melindungi tubuh dari kerusakan lebih lanjut. Misalnya mengangkat kaki ketika bersentuhan dengan benda tajam.

(17)

Manajemen stres merupakan upaya mengelola stres dengan baik, yang bertujuan untuk mencegah dan mengatasi stres agar tidak sampai ke tahap yang paling berat. Menurut Hidayat (2012) ada beberapa cara manajemen stres yang dapat dilakukan adalah:

a. Mengatur diet dan nutrisi, cara ini merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau mengatasi stres. Iini dapat dilakukan dengan cara mengonsumsi makanan yang bergizi sesuai porsi dan jadwal yang teratur. Menu juga sebaiknya bervariasi agar tidak timbul rasa kebosanan.

b. Istirahat dan tidur, cara ini merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena istirahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keletihan fisik dan kebugaran. Tidur yang cukup dapat memperbaiki sel-sel yang rusak.

c. Olahraga teratur, cara ini merupakan salah satu cara yang dapat meningkatkan daya tahan dan kekebalan fisik maupun mental.

d. Berhenti merokok, cara ini akan meningkatkan status kesehatan dan menjaga ketahanan serta kekebalan tubuh

e. Menghindari minuman keras, minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan terjadinya stres. Dengan menghindari minuman keras, individu dapat terhindar dari berbagai macam penyakit.

f. Mengatur waktu, pengaturan waktu merupakan cara yang tepat dalam mengurangi dan menaggulangi stres. Dengan mengukur waktu sebaik-baiknya, pekerjaan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik akan terhindari. Individu harus menggunakan waktu secara efektif dan efisien.

g. Terapi psikofarmaka, terapi ini menggunakan obat-obatan dalam mengatasi stres yang dialami melalui pemutusan jaringan antara psiko, neuro, dan imunologi sehingga stresor tidak akan memengaruhi kognitif, afektif, dan psikomotor. Obat yang biasa digunakan adalah obat anticemas dan antidepresan.

(18)

i. Psikoterapi, teknik ini menggunakan tekni psiko yang disesuaikan dengan kebutuhan seseorang. Terapi ini meliputi psikoterapi suportif (motivasi), psikoterapi reedukatif (Pendidikan ulang), dan psikoterapi kognitif (kemampuan berpikir rasional).

j. Terapi psikoreligius, terapi ini menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi permasalahan psikologis. Hal ini dilakukan karena individu harus sehat secara fisik, psikis, social, dan spiritual.

Manajemen stres yang lain adalah dengan cara meningkatkan strategi koping yang berfokus pada emosi dan strategi koping yang berfokus pada masalah. Koping yang berfokus pada emosi dilakukan antara lain dengan cara mengatur respons emosional terhadap stres melalui pengendalian diri atau berpikir positif. Sedangkan koping yang berfokus pada masalah dilakukan dengan cara mempelajari cara untuk mengatasi masalah seperti manajemen waktu dan cara menetapkan prioritas pekerjaan (Hidayat, 2012).

2.6 Model Teoritical Stress

Model teoritical strees ini bermanfaat bagi perawat agar dapat menganalisis stressor klien pada situasi tertentu sehingga dapat memprediksi respon klien terhadap stressor tersebut. Selain itu, akan membuat perawat mampu membantu klien untuk menguatkan koping respon kesehatannya dan beradaptasi saat tidak sehat dan tidak produktif. Menurut (Kozier, 2015), model teoritical stress dibagi menjadi empat jenis, yaitu:

1. Model berbasis stimulus, dimana stres merupakan sesuatu yang dihadapi seseorang seperti stimulus, peristiwa yang terjadi selama hidup atau situasi yang dapat membuat seseorang bereaksi secara fisiologik dan atau psikologik yang membuat kerentanan terhadap penyakit semakin meningkat. Dalam model ini terdapat skala numerik yang digunakan untuk mendokumentasikan pengalaman klien yang baru seperti perceraian, kehamilan dan pension.

(19)

dua jenis yaitu General Adaptive Syndrome (GAS) dan Local Adaptive Syndrome (LAS).

3. Model berbasis transaksi, dimana menekankan respons kognitif, afektif dan adaptif timbul karena transaksi individu dengan lingkungan. Contoh respon dalam model ini adalah penilaian kognitif dan koping klien serta memandang stressor sebagai respon yang sesuai dengan persepsi klien itu sendiri yang berakar pada proses psikologis dan kognitif.

4. Model berbasis interaksional, merupakan gabungan antara model berbasis respon dengan model berbasis stimulus. Gabungan dua model tersebut dapat diukur ketika dua kondisi bertemu yaitu ketika individu menerima ancaman akan motif dan kebutuhan penting milik klien dan ketika individu tidak mampu meng-coping stressor.

2.7 Trend dan Isu terkait Psikofarmakologi

2.7.1 Penyakit Fisiologis terkait Stress

Tekanan stres yang besar akan menimbulkan gejala-gejala patologis, seperti sakit kepala, mudah marah, dan tidak bisa tidur. Gejala ini merupakan bentuk dari reaksi non-spesifik pertahanan diri. Hal tersebut akan merangsang kelenjar anak ginjal (corfex) untuk mensekresi hormon adrenalin dan memacu meningkatnya denyut jantung, kemudian tekanan darah naik dan aliran darah ke otak, paru-paru, jantung, dan otot perifer meningkat (Hartono, 2011). Jika stres ini terjadi terus menerus maka akan menimbulkan penyakit fisiologis yang dapat dikelompokkan menjadi:

a. Penyakit Kardiovaskular

(20)

b. Defisiensi imun

Situasi stress mengakibatkan penurunan respon imun yang disebabkan peningkatan sekresi glukokortikoid oleh korteks adrenal. Penurunan imunitas akibat stress sering tampak pada pasien kanker, dimana tidak jarang pasien kanker yang dikatakan sudah sembuh, kambuh lagi karena mengalami stress akut, seperti kematian kerabat dekat (Tambayong, 2008).

c. Penyakit pencernaan

Iskemik mukosa lambung dan sekresi asam lambung merupakan dampak dari stres. Selain itu, stress juga dapat menjadi penyebab konstipasi, diare, dan colitis ulserativa. Pengaruh stress pada tubuh bersifat perorangan, tergantung pada kepribadian orang tersebut (Tambayong, 2008).

d. Kanker

Stressor secara spesifik dapat dihubungkan dengan kanker. Hubungan antara stress dan kanker dilihat dari depresi respon imunologis oleh stress yang memungkinkan timbulnya kanker. Stress juga dipandang sebagai faktor yang memiliki faktor dua kali lipat pada keganasan, dimana stress dapat meningkatkan produksi sel abnormal dan menurunkan kemampuan tubuh untuk merusak sel-sel ini (Tambayong, 2008).

e. Kondisi lain

Kulit merupakan organ yang menjadi sasaran ketika stres datang. Ketika stres terjadi, pembuluh darah konstriksi dan aliran darah perifer menurun. Sistem muskuloskeletal pun menunjukkan efek stres dengan menegangkan otot secara kronis (Tambayong, 2008).

2.7.2 Penyakit dan Gangguan Psikologis a. Ansietas

(21)

yang tidak mampu beradaptasi dan menghadapi stressor akan mengakibatkan anxiety disorders. Beberapa jenis ansietas yang umum terjadi yaitu:

1. General Anxiety Disorder (GAD) yang merupakan gangguan kecemasan dan rasa khawatir yang terus menerus terjadi pada individu sehingga individu tidak dapat mengontrol emosinya dan juga mudah tersinggung.

2. Panic Disorder, Panic terjadi biasanya hanya berlangsung beberapa menit ketika kecemasan muncul tiba-tiba pada serangan yang berat. Serangan ini berkaitan dengan gejala fisik kecemasan yang berat dan membuat seseorang ketakutan karena merasa sesuatu yang mengerikan akan terjadi atau seolah-olah akan mati.

3. Social Anxiety Disorder (SAD), merupakan anxiety disorder yang ditandai dengan rasa malu, tidak percaya diri dan rasa cemas bila berada dalam lingkungan.

4. Specific Phobia, merupakan kondisi dimana individu merasa takut (disertai panik) pada keadaan tertentu seperti tempat ramai, tempat yang gelap, dan pada situasi sosial tertentu seperti bertemu dengan orang lain.

5. Obsessive Compulsive Disorder (OCD), yaitu kondisi dimana individu terus menerus memikirkan sesuatu dan sulit melupakannya.

6. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), yaitu gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah kejadian atau pengalaman yang menyeramkan atau menakutkan, sulit serta tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (APA, 2000).

(22)

a) halusinasi audiotorik, sering dalam bentuk makian, mengulangi perkataan pasien, dan mengomentari perilaku pasien

b) pikiran yang dicabut, ditanam, dan disiarkan pihak luar dapat menghilang, memasukkan, atau mendengarkan pikiran penderita

c) ide diluar batas normal, contoh dewa-dewa dapat melakukan suatu keajaiban nyata

d) kontrol ekternal atas pikiran, aksi, dan emosi b. Emotional Responses dan Mood Disorder

Mood disorders terjadi karena respon emosional diri yang terhadap kejadian berduka. Respon emosional paling maladaptif yaitu depresi dan bipolar. Depresi merupakan suatu jenis perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik seperti halnya rasa susah, murung, sedih, putus asa dan tidak bahagia, serta komponen somatik contohnya anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi sedikit menurun.

Tanda dan gejalanya yaitu merasa rendah diri, sedih, marah atau merasa tidak berharga. Depresi merupakan gangguan pada emosi dan hampir setiap individu pernah mengalaminya. Depresi merupakan masalah kejiwaan yang paling sering terjadi dan terbagi menjadi depresi ringan, sedang, dan parah. Terapi psikologis yang digunakan ialah antidepresan bagi penderita depresi ringan dan sedang. Sedangkan untuk depresi berat menggunakan terapi elektrokonvulsif. Selain itu, bipolar juga merupakan gangguan perasaan, akan tetapi jarang terjadi dibandingkan dengan depresi. Terapi psikofarmaka untuk bipolar disorder yaitu obat penenang mayor dan litium yang berfungsi untuk menstabilitaskan mood.

c. Gangguan terkait Zat, Makan serta Gangguan Identitas Seksual dan Jenis Kelamin

(23)

Gangguan ini disebabkan oleh abnormalitas neuroendokrin dalam hipotalamus. Gangguan ini dapat menyulitkan individu dalam menginterpretasikan sensasi lapar dan kenyang (Doenges, Townsend, & Moorhouse, 2007). Selanjutnya, gangguan seksual meliputi disfungsi seksual dan parafilia. Disfungsi seksual didefinisikan sebagai gangguan pola normal dalam setiap fase respon seksual contohnya homoseksesual dan lesbi. Parafilia adalah gangguan berupa tindakan yang tidak biasa dan perlu direalisasikan untuk rangsangan seksua contohnya pedofilia, fetisisme, seksual sadis, dan ekshibisionisme.

2.7.3 Neurotransmitter

Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron, yang membantu transmisi informasi ke seluruh tubuh. Neurotransmiter juga memicu atau menstimulasi aksi di dalam sel (eksitasi) atau menghambat atau menghentikan aksi (inhibisi) (Videbeck, 2011). Terdapat tipe utama neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, serotonin, histamin, asetilkolin, dan Asam Gama-Aminobutirat (GABA) (Videbeck, 2011). Berikut penjelasannya: a. Dopamin

Merupakan neurotransmitter yang terdapat di batang otak yang berfungsi dalam pengontrolan gerakan yang kompleks, motivasi, kognisi, dan pengaturan respon emosional. Dopamin umumnya bersifat eksitasi. Dopamin terlibat dalam menimbulkan skizofrenia (gangguan mental yang mengalami halusinasi) dan psikosis lain seperti gangguan pergerakan penyakit parkinson (degenerasi sel saraf secara bertahap pada otak bagian tengah yang berfungsi mengatur pergerakan tubuh, salah satu gejalanya adalah adanya tremor atau gemetaran). Kedua gangguan tersebut merupakan akibat dari ketidakseimbangan dopamin. Obat antipsikotik akan menurunkan aktivitas dopamin.

b. Norepinefrin

(24)

adrenalin. Norepinefrin yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan ansietas (cemas) dan yang kekurangan norepinefrin dapat memengaruhi kehilangan memori, menarik diri dari masyarakat, dan depresi.

c. Serotonin

Serotonin adalah suatu neurotransmiter yang hanya ditemukan di otak. Fungsinya sebagian besar adalah inhibisi. Serotonin merupakan neorotransmitter yang berasal dari asam amino triptofan. Serotonin berperan dalam pengaturan mood, aktivitas motorik, nafsu makan, pola tidur, dan fungsi seksual. Serotonin juga dapat mengakibatkan munculnya rasa cemas (ansietas).

d. Histamin

Histamin berfungsi memproduksi respon alergi perifer, mengontrol sekresi lambung, stimulasi jantung, dan kewaspadaan. Beberapa obat psikotropika menyekat histamin dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan hipotensi (Stuart, 2013).

e. Asetilkolin

Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang ditemukan di otak, medula spinalis, dan sistem saraf perifer, khususnya di taut neuromuskular otot skelet. Asetilkolin dapat bersifat eksitasi ataupun inhibisi. Asetilkolin disintesis dari kolin yang ditemukan di dalam makanan seperti daging dan sayuran. Asetilkolin juga sudah terbukti dapat memengaruhi siklus tidur serta memberi tanda aktifnya otot. Pada penderita alzheimer memiliki jumlah neuron penyekresi asetilkolin yang menurun dan penderita miastenia gravis (suatu gangguan otot) memiliki jumlah reseptor asetilkolin yang menurun.

f. Asam Gama-Aminobutirat (GABA)

GABA adalah suatu asam amino dan neurotransmiter inhibisi utama di otak. Fungsinya yaitu memodulasi sistem neurotransmitter lainnya, bukan memberikan stimulus langsung. Sedangkan suatu asam amino eksitasi yaitu glutamat, pada kadar tinggi dapat memiliki efek neurotoksik. Glutamat terlibat dalam kerusakan tak yang disebabkan stroke, hipoksia atau iskemia terus menerus, dan beberapa penyakit degeneratif seperti penyakit alzheimer.

(25)

a. Antipsikotik

Dikenal sebagai neuroleptik, yang digunakan sebagai perawat dari gejala psikosis, seperti delusi dan halusinasi yang nampak pada skizofenia, gangguan skizoafektif, dan gangguan kepribadian (bipolar disorder) (Videbeck, 2011). Beberapa gangguan jiwa yang menggunakan antipsikotik sebagai pengobatannya ialah psikotik akut, psikotik kronik (jika oral masih belum efektif, diberikan lewat suntikan) (Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni, 2007). Tetapi dalam melakukan proses kerjanya antipsikotik dapat menyebabkan efek samping, antara lain (Videbeck, 2011):

1. Gejala Ekstrapiramidal (EPS), merupakan gejala neurogical dimana merupakan efek samping utama dari obat antipsikotik. EPS dapat berkembang atau tumbuh jika proses pemblokiran reseptor D2 di batang otak tetap terjadi. EPS ini ditandai dengan distonia akut, psedoparkinsonism, dan akathisia. Distonia akut mencakup kekakuan dan kram otot, lidah menjadi kaku dan sulit menelan. Distonia biasanya terjadi ketika minggu pertama pertawatan. Sedangkan gejala pseudoparkinsonism menyerupai gejala penyakit Parkinson, seperti, postur tubuh bungkuk, kaku, tremor. Akathisia ditandai dengan peningkatan rasa cemas atau gelisah, ketidak mampuan untuk duduk tenang atau beristirahat, postur tubuh hungkuk, dan gerakan spontan berkurang.

2. Neuroleptic malignant syndrome (NMS) ialah reaksi fatal dari obat antipsikotik. NMS biasanya ditandai dengan kekakuan, demam tinggi, tekanan darah tidak stabil, diaporesis, dan palor, delirium. Klien dengan NMS biasanya sering terlihat bingung dan diam. NMS biasanya terjadi setelah 2 minggu terapi.

(26)

mengkerut, wajah yang menyeringai, dan gerakan wajah lainnya yang tidak semestinya.

4. Efek samping antikolergik, ditandai dengan gejala hipotensi ortostatik, mulut kering, konstipasi, retensi urine atau sulit berkemih, rabun dekat, mata kering, fotofobia, kongesti nasal, dan berkurangnya ingatan.

5. Efek samping lain, obat antipsikotik juga dapat meningkatkan tingkatan prolactin dalam darah. Peningkatan prolaktin dapat menyebabkan pembesaran dan nyeri tekan payudara pada pria dan wanita, penurunan libido, disfungsi ereksi dan orgasme, ketidakteraturan menstruasi, dan peningkatan risiko kanker payudara. Klozapin berisiko menyebabkan agranulositosis fatal yang ditandai dengan demam, malaise, faringitis gangrenosa, dan leukopenia.

Klien yang membutuhkan terapi antipsikotik ialah yang mengidap beberapa diagnosa keperawatan, antara lain risiko kekerasan yang berhubungan dengan panic, ansietas, dan mistrust kepada orang lain, risiko cedera yang berhubungan efek samping dari pemberian obat (sedasi, fotosensitifitas, agranulositosis, EPS, TD, dan NMS), dan risiko intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan sedasi, pengelihatan buram, dan lelah.

b. Antidepresan

Biasanya diguakan untuk perawatan dari gangguan depresif, gangguan ansietas, fase depresi pada bipolar disorder, dan depresi psikotik. Menurut Keliat, Akemat, Helena, & Nurhaeni (2007) panik dan depresi juga menggunakan antidepresan sebagai terapinya. Antidepresan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu tricylic and the related cylic antidepressant, selective serotonin reuptake inhibitors, MAO inhibitors, antidepresan yang lain seperti venlafaxine desvenlafaxine.

(27)

Sedangkan efek samping yang timbul dari MAOIs ialah, sedasi, insomnia, berat badan bertambah, mulut kering, hipotensi orostatik, dan disfungsi seksualitas. Klien yang membutuhkan terapi antidepresan ialah yang mengidap beberapa diagnosa keperawatan, antara lain risiko bunuh diri, risiko cedera, isolasi sosial, dan konstipasi.

c. Mood-Stabilizing (penstabil mood)

Obat penstabil mood digunakan untuk mengobati gangguan afektif bipolar dengan menstabilkan mood klien, menghindari atau meminimalkan tinggi rendah mood yang mencirikan gangguan bipolar, dan mengobati episode akut mania. Keadaan emosional klien yang penuh dengan kegembiraan disebut dengan mania episode, sedangkan keadaan emosional yang penuh kesedihan disebut dengan deppresive episode. Obat-obat yang tergolong jenis penstabil mood yaitu litium dan antikonvulsan seperti karbamazepin dan asam valproate (Videbeck, 2011). Efek toksik dari terapi litium ini meliputi diare berat, muntah, mengantuk, kelemahan otot, dan kurang koordinasi. Efek samping yang ditimbulkan oleh antikonvulsan yaitu rasa kantuk, mulut kering, dan penglihatan kabur. Klien yang membutuhkan terapi Mood-Stabilizing ialah yang mengidap beberapa diagnosa keperawatan, antara lain risiko cedera yang berhubungan dengan manik hiperaktifitas, risiko self-directed, risiko cedera yang berhubngan dengan litium, dan risiko intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan efek samping pusing

d. Antiansietas (anxiolitik)

Digunakan untuk ansietas dan gangguan ansietas, insomnia, OCD, depresi, posttraumatic stress, dan penatikan alcohol. Benzodiazepines ialah obat yang paling efektif untuk menghilangkan ansietas. Benzodiazepin menimbulkan efeknya dengan terikat ke tempat khusus di reseptor GABA. Efek samping yang ditimbulkan benzodiazepin yaitu depresi sistem saraf pusat seperti mengantuk, sedasi, koordinasi yang buruk, dan gangguan memori atau gangguan sensorium.

(28)

antiansietas ialah yang mengidap beberapa diagnosa keperawatan, antara lain risiko cedera yang berhubungan dengan panik, risiko intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan efek samping sedasi dan kelesuan, dan risko konfusi akut yang berhubungan dengan kerja pengobatan di CNS.

e. Stimulants

Penggunaan utama stimulan yaitu untuk mengatasi gangguan hiperaktivitas/defisit perhatian pada anak-anak dan remaja, gangguan defisit perhatian sisa pada dewasa, dan narkolepsi (serangan rasa kantuk pada siang hari yang tidak diinginkan tetapi tidak dapat diatasi dan mengganggu kehidupan individu) (Townsend, 2008). Obat-obatan utama yang digunakan ialah metilfenidat, pemolin, dan dekstroamfetamin. Efek samping yang ditimbulkan oleh stimulan yaitu anoreksia, penurunan berat badan, mual, dan iritabilitas, pusing, mulut kering, penglihatan kabur, palpitasi, supresi pertumbuhan dan berat badan pada anak.

f. Disulfiram (Antabuse)

Disulfiram digunakan sebagai pencegah untuk klien yang sedang melakukan perawatan karena alcoholism. Disulfiram dapat berguna untuk orang yang ingin beralih ke hidup sehat dan tidak mengonsumsi alkohol lagi. Efek samping dari disulfiram ini ialah, sekitar 5 sampai 10 menit setelah seseorang meminum disulfiram, akan terjadi vasodilatasi, sakit kepala, berkeringat, mulut kering, nausea, vomit, pusing, dan lelah. Efek lainnya yang ditimbulkan oleh disulfiram ialah kelelahan, mengantuk, nafas bau, trmor, dan impotensi.

2.7.5 Sasaran Keselamatan Pasien I, III, dan Penyalahgunaan Zat

(29)

a. Sasaran Keselamatan Pasien I

Terdapat enam elemen penilaian SKP I ini yaitu: 1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien dan tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi pasien. 2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah, hal ini menjadi penting karena perawat perlu mengentahui apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tertentu. 3) pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan specimen lain untuk pemeriksaan klinis. 4) pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan atau prosedur. 5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan lokasi (RSJ GRHASIA, 2014).

b. Sasaran Keselamatan Pasien III

Sasaran keselamatan pasien III yaitu peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert). Obat high alert ialah obat yang sering menyebabkan terjadinya kesalahan atau kesalahan serius, obat yang berisiko tinggi berdampak yang tidak diinginkan (adverse outcome). Pemberian obat jenis ini perlu diawasi semaksimal mungkin sehingga meminimalkan kejadian tidak diharapkan (KTD) pada pasien. Pada sasaran keselamatan pasien III ini terdapat empat elemen penilaian yaitu (RSJ GRHASIA, 2014):

1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan eletrolit konsentrat.

2. Kebijakan dan prosedur diimplementasikan

3. Elektrolit konsentrat tidak boleh disimpan di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan

4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restrict access) (rsj grhasia, 2014).

c. Penyalahgunaan Zat

(30)

lebih baik. Faktor tersebut dapat berasal dari diri sendiri, lingkungan sekitar, dan faktor narkoba (Elvira, S.D., & Hadisukanto, G., 2010)

1. Faktor dari diri sendiri ini dipengaruhi oleh keadaan mental (depresi), kondisi fisik, dan psikologis. Faktor dari diri sendiri ditentukan oleh dua aspek, yaitu: a) aspek biologis yang dilakukan seorang penyalahguna obat untuk menghilangkan rasa sakit atau keletihan yang diderita. b) Faktor psikologis yang dapat dimulai ketika remaja karena ingin mencoba-coba dan mencari pengalaman baru.

2. Faktor lingkungan dapat berasal dari lingkungan keluarga yang tidak harmonis hingga lingkungan pergaulan yang tidak sehat.

3. Faktor narkoba, karena narkoba saat ini mudah ditemukan dengan harga yang murah dan para pedagang narkoba yang memiliki sindikat yang kuat dan professional.

2.7.6 Kepatuhan Minum Obat dan Prinsip Penatalaksanaan Terapi Psikofarmaka

Terapi psikofarmaka atau psikofarmakologi adalah terapi obat-obatan sebagai bentuk tindakan atau treatment untuk pasien dengan gangguan neurobiologi otak atau gangguan mental (Stuart G. , 2013). Klien yang tidak patuh dalam minum obat menunjukkan gangguan yang lebih berat saat dirawat kembali, menjadi lebih sering masuk kembali ke rumah sakit, lebih mungkin terjadi perawatan paksa, dan menjalani hari perawatan yang lebih lama (Davies & Craig, 2009).

a. Kepatuhan minum obat

Kepatuhan dalam minum obat terdiri atas beberapa faktor, yaitu usia, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi sosial, jarak tempat pelayanan kesehatan, dan pendidikan. Hal-hal yang penting untuk mewujudkan kepatuhan dalam minum obat pada klien ialah adanya:

1. Pemahaman, klien dan keluarga klien harus memiliki pemahaman yang baik mengenai manfaat dan resiko dari pengobatan tersebut.

2. Kenyamanan, menghindari efek samping yang ditimbulkan.

(31)

Adapun strategi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap terapi obat (Davies,Craig 2009):

1. Saat memulai terapi, tenaga kesehatan/perawat menjelaskan waktu munculnya efek samping.

2. Tenaga kesehatan/perawat harus dapat mengenali dan mengobati efek samping secara cermat.

3. Realistic mengenai efek yang dapat ditimbulkan atau tidak dapat ditimbulkan oleh suatu obat. Banyak pasien memiliki harapan yang tidak realistic mengenai manfaat obat.

4. Tenaga kesehatan/perawat sebaiknya mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan perlahan-lahan karena hal ini dapat menguraangi efek samping. 5. Libatkan klien untuk memantau pengobatannya sendiri.

b. Prinsip Penatalaksanaan Terapi Prsikofarmaka

Semua obat-obat psikotropik memiliki manfaat dan efek samping selama dikonsumsi, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Tenaga kesehatan yang melakukan terapi psikofarmaka memerlukan pedoman untuk melaksanakan terapi tersebut. Adapun beberapa prinsip yang dapat dijadikan pedoman penggunaan terapi psikofarmaka sebagai berikut (Hyman, Arana, & Rosenbaum, 1995):

1. Obat diseleksi berdasarkan efeknya pada gejala target klien. Keefektifan pengobatan dievaluasi dengan cara melihat bagaimana kemampuan obat tersebut untuk mengurangi atau menghilangkan gejala.

2. Pemberian dosis obat psikotropika yang memenuhi syarat atau memadai sehingga dapat memberikan manfaat yang optimal.

3. Dosis obat sering kali disesuaikan dengan dosis terendah yang efektif bagi klien. Dosis tinggi digunakan untuk menstabilkan gejala target klien dan dosis yang lebih rendah digunakan untuk mempertahankan efek dari obat tersebut.

(32)

5. Pengurangan obat psikotropik sering kali dilakukan secara berangsur-angsur atau bertahap, bukan secara mendadak dihentikan untuk mencegah terjadinya rebound (gejala kembali muncul sementara), putus obat (munculnya gejala baru yang disebabkan penghentian obat), dan kambuhnya gejala semula.

6. Untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan, melakukan penyesuaian dosis obat, dan penatalaksanaan efek samping, tenaga kesehatan dapat melakukan perawatan tindak lanjut pada klien. 2.8 Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

2.8.1 Definisi dan Jenis-jenis TAK

Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi kepada pasien dengan gangguan kejiwaan (Yosep, 2008). Terapi aktivitas kelompok berfungsi untuk meningkatkan identitas diri, keterampilan sosial, penyaluran emosi, kemampuan mengekspresikan diri dan kemampuan memecahkan masalah secara konstruktif. Menurut Keliat & Akemat (2004), TAK terbagi menjadi 4 macam yaitu :

a. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Kognitif/ Persepsi

Terapi ini menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan berkaitan dengan pengalaman hidup yang didiskusikan dalam kelompok untuk menghasilkan suatu kesepakatan persepsi atau alternatif sebagai penyelesaian masalah (Keliat & Akemat, 2004). Tujuan terapi ini adalah meningkatkan kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah. Stimulus yang digunakan seperti membaca artikel/ majalah/ buku/ puisi, menonton TV.

b. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Sensori

(33)

suara yang didengar dan gambar yang dilihat, serta mengekspresikan perasaan melalui gambar.

c. Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Realita

Terapi ini berfokus pada pengorientasian kejadian nyata kepada klien. Tujuan terapi ini adalah membantu klien untuk mengenal orang lain, tempat dan waktu sesuai dengan kenyataan. Klien dengan indikasi TAK stimulasi realita yaitu klien yang tidak mengenal dirinya, halusinasi, dimensia, kebingungan, salah mengenal orang lain, tempat dan waktu (Keliat & Akemat, 2004).

d. Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi

Terapi ini merupakan upaya untuk memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial (Keliat & Akemat, 2004). Klien dengan indikasi TAK sosialisasi adalah klien yang menarik diri dan telah melakukan interaksi interpersonal serta klien yang mengalami kerusakan komunikasi verbal dan telah berespon sesuai stimulus. Terapi ini dilakukan melalui tujuh sesi dengan tujuan agar :

1. klien mampu memperkenalkan dirinya

2. klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok lainnya 3. klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok lainnya 4. klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik pembicaraan

5. klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi kepada orang lain

6. klien mampu bekerjasama dalam permainan sosialisasi kelompok

7. klien mampu menyampaikan pendapat mengenai manfaat dari kegiatan terapi yang telah dilakukan.

2.8.2 Proses TAK

Terapi aktivitas kelompok dapat dilakukan dengan beberapa tahap atau fase pembentukan kelompok. Kelompok dapat terbentuk dan berkembang melalui 4 fase diantaranya:

a. Fase prakelompok

(34)

pengelompokannya, diantaranya memiliki gejala yang sama, kategori yang sama dilihat dari skor hasil kategorisasi, jenis kelamin, kelompok umur hampir sama dan jumlah efektif dalam suatu kelompok terapi yaitu 7-10 orang (Townsend, 2011).

b. Fase awal kelompok

1. Tahap orientasi, memerlukan peranan pemimpin kelompok dalam memberikan arahan, mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasiaan, waktu pertemuan dan norma perilaku.

2. Tahap konflik, merupakan tahap yang paling sulit sehingga pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan positif maupun negatif, membantu kelompok mengenali penyebab konflik dan mencegah perilaku yang tidak produktif.

3. Tahap kohesif, merupakan tahap pembelajaran bagi anggota kelompok bahwa perbedaan tidak perlu ditakutkan dan merasa bebas membuka diri tentang informasi yang lebih intim satu sama lain.

c. Fase kerja kelompok

Anggota kelompok menyadari peningkatan produktivitas dan kemampuan yang disertai dengan rasa percaya diri dan kemandirian (Townsend, 2011).

d. Fase terminasi

Fase terminasi dapat bersifat sementara atau akhir. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok yang akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari (Townsend, 2011).

2.8.3 Penatalaksanaan TAK

(35)

Penatalaksanaan terapi aktivitas kelompok dilanjutkan dengan berbagi pengalaman pribadi yang mengakibatkan subjek ingin bekerja pada bidang yang disukainya sepulang dari rumah sakit (Hartono, 2015). Selain itu, penatalaksanaan TAK dapat dilakukan dengan gerakan brain gym sehingga subjek dapat memperlihatkan keterampilan mendengar dan mengekspresikan perasaan menyenangkan pada kegiatan tersebut (Hartono, 2015). Perawat yang akan menerapkan terapi aktivitas kelompok, perlu mengetahui beberapa hal yaitu (Basavanthappa, 2007):

a. Pengetahuan pokok tentang pikiran dan tingkah laku normal dan patologi dalam budaya setempat.

b. Konsep teoritis yang sesuai dalam memahami pikiran dan tingkah laku normal maupun patologis.

c. Teknis yang bersifat terapeutik dan menyatu dengan konsep yang dimiliki melalui pengalaman klinis dengan pasien.

d. Memiliki kesadaran atas harapan, kecemasan, mekanisme pertahanan dan pengaruhnya terhadap teknik terapeutik yang digunakan.

e. Mampu menerima pasien sebagai manusia utuh dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

f. Memiliki kecakapan dalam memahami hal-hal yang tersampaikan secara tersirat dan menggunakannya secara empatis.

2.8.4 Trend dan Issue TAK

Terapi Aktivitas Kelompok adalah terapi yang dilakukan dengan tujuan untuk mengubah perilaku klien dengan menggunakan dinamika kelompok (Yusuf, 2015). Terapi yang dilakukan secara berkelompok akan membentuk suatu interaksi yang saling mempengaruhi antar anggota kelompok dan norma yang disetujui bersama sehingga dapat dijadikan sebagai sistem sosial. Pelaksanaan sistem sosial meliputi proses interaksi, interelasi, dan interdependen (Yusuf, 2015). Hal tersebut menyebabkan terapi aktivitas kelompok sebagai trend dalam mengobati penyakit gangguan kejiwaan.

2.8.5 Terapi Kelompok

(36)

Terapi kelompok berfokus terhadap kemunculan kesadaran diri klien, peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya (Stuart, 2013). Terapi kelompok termasuk metode pengobatan yang diberikan kepada pasien dengan gangguan depresi atau penyakit bipolar dengan tujuan untuk meningkatkan harga diri. Terapi kelompok dilakukan melalui tiga tahap, diantaranya :

a. Tahap pertama yaitu terapis membentuk hubungan kerja dengan anggota kelompok agar kedua pihak saling mengenal, mengetahui tujuan bersama dan membiasakan diri untuk melakukan diskusi kelompok (Townsend, 2008). b. Tahap kedua yaitu tercapainya tranference dan perkembangan identitas

kelompok. Tranference adalah suatu perilaku atau keinginan pasien yang seharusnya ditujukan kepada orang lain tetapi dialihkan kepada orang lainnya. Tranference dapat dicontohkan pada perilaku seorang lansia yang seharusnya ditujukan kepada orang tuanya tetapi dalam kehidupan nyata dialihkan kepada terapis. Perkembangan identitas kelompok adalah tercapainya suatu sense of belonging atau rasa menyatu yang menyebabkan munculnya rasa memiliki konflik yang sama dan membentuk ikatan diantara anggota kelompok (Townsend, 2008).

c. Tahap mutualisis yaitu tahap dimana setiap orang akan mendapatkan informasi atau reaksi atas pernyataan yang telah dikemukakan. Setiap anggota akan mendapatkan koreksi atau kesan kelompok atas tingkah lakunya (Townsend, 2008).

2.8.6 Terapi Individu

Terapi individu bagi penderita gangguan jiwa salah satunya adalah terapi kognitif. Terapi kognitif adalah terapi dalam waktu yang singkat namun diberikan secara teratur dengan tujuan memberikan dasar berpikir agar pasien dapat menunjukkan perasaan negatif yang dimilikinya, dapat memahami dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi (Yusuf, 2015). Perbedaan antara terapi individu dan terapi kelompok, yaitu (Wahab, 2014):

Karakteristik Terapi Individu Terapi Kelompok Jumlah klien Satu klien 7 – 10 klien

Jenis sasaran Klien sulit mengungkapkan

masalah pribadinya. Klien kesulitan bersosialisasi

Keuntungan Pemantauan terhadap klien mudah dilakukan

(37)

Menggali kemampuan berkomunikasi klien

2.9 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

2.9.1 Definisi, Tanda dan Gejala PTSD

Definisi PTSD menurut Towsend (2008) adalah suatu gangguan psikologis yang dialami individu akibat kejadian buruk yang dialaminya dan biasanya inidividu tersebut tidak mampu menghilangkan kejadian buruk tersebut dari pikirannya sehingga sering mengalami mimpi buruk, flashback, dan serangan panik. Pada banyak kasus, individu yang memiliki trauma tertentu, memiliki resiko lebih tinggi terserang PTSD pada setiap kejadian yang dialaminya (Nayback, 2009; Doctoret al, 2011; Stuart, ).

Contoh peristiwa traumatis yang mungkin menjadi pemicu kondisi ini meliputi kecelakaan lalu lintas, bencana alam, tindak kejahatan seperti pemerkosaan atau perampokan, pengalaman di medan perang, dll. Individu dengan gangguan PTSD ini selalu dibayang-bayangi oleh ingatan buruk dan mengerikan, merasa ketakutan yang kuat, tidak berdaya, hingga berdampak pada phobia akan suatu hal. Trauma kronis ini ditandai dengan peningkatan kecemasan, penghindaran dari hal-hal yang menimbulkan trauma tersebut, teringat-ingat dengan kejadian. (Kring, 2013).

Kejadian trauma merupakan kejadian yang menyakitkan, mengakibatkan pukulan berat, dapat menghilangkan prinsip kebutuhan dasar hidup manusia, seperti keamanan yang selalu terancam, sulit tidur, dll. Gangguan ini terjadi selama lebih dari satu bulan bahkan dapat terjadi selama bertahun-tahun. Seseorang yang mengalami PTSD sulit untuk melakukan koping atau penyesuaian diri. (Linda, 2007, Jurnal Ilmu Kesehatan Immanuel). Berdasarkan DSM-5 (diagnose yang didirikan dari beberapa gejala yang ada, terdapat 4 kategori tanda dan gejala utama PTSD, meliputi:

(38)

b. Avoidance of stimuli associated with the event.

Kondisi dimana klien akan selalu menghindar terhadap segala sesuatu yang dapat memicu pengingatan terhadap trauma. Namun disayangkan mereka sering gagal melakukan hal ini sehingga trauma mereka akan tetap berlanjut. c. Mood and cognitive change after the trauma

Dimana terjadi perubahan mood dan kognitif sesudah trauma. Perubahan-perubahan ini meliputi: emosi mereka menjadi negatif, sering menyalahkan diri sendiri, orang lain, atau lingkungan, mengalami peniurunan semnagt terhadap aktivitas-aktivitas yang mereka jalanai, mersa terasingkan dari lingkungan social, sulit membangun emosi positif atau hal-hal penting terhadap peristiwa yang mengakibatkan trauma. \

d. Symptoms of Increased arousal and reactivity (peningkatan kewaspadaan). Gejala dan tandanya adalah seperti tingkah laku yang agresif, identitas diri yang sembrono/teledor, sulit tidur, sulit membangun konsentrasi, pkewaspadaan tinggi, tertekan, melebih-lebihkan kejadian-kejadian yang mengagetkan.

2.9.2 Faktor Penyebab PTSD

Faktor penyebab PTSD dalam jurnal Predictors of Posttraumatic stress disorder and symptoms in adults: A meta-analysis yaitu trauma sebelumnya, penyesuaian psikologis sebelumnya, riwayat psikopatologi keluarga, ancaman hidup yang dirasakan selama trauma, dukungan sosial posttrauma, respon emosional peritraumatic, dan disosiasi peritraumatic. Penyebab utama PTSD adalah trauma, namun terdapat beberapa faktor lain yang berkontribusi dalam pengembangan PTSD, yaitu :

a. Faktor lingkungan dan sosial

(39)

b. Faktor psikologis

Individu yang mengalami kejadian traumatik yang sama memiliki resiko PTSD. Namun setidaknya terdapat tiga faktor psikologis yang dapat menjelaskan perbedaan respon individu terhadap trauma. Pertama, bagi beberapa orang trauma dapat menghancurkan asumsi dasar tertentu mengenai kehidupan, dan hal ini dapat berkontribusi terhadap tekanan psikologis jangka panjang. Kedua, beberapa orang sudah merasa tertekan sebelum trauma terjadi dan sangat beresiko tinggi terjadi PTSD. Ketiga, cara penanganan (coping style) tertentu dapat meningkatkan kesempatan individu mengembangkan PTSD.

c. Faktor biologis

Hal ini yang menentukan bagaimana individu mengembangkan PTSD setelah mengalami trauma. Di mana yang berperan dalam faktor ini adalah fungsi otak dan sistem biokimia yang terlibat dalam respon stres, beberapa peneliti juga mengatakan faktor genetik juga ikut berperan dalam kerentanan menderita PTSD.

2.9.3 Dampak dan Tipe Terapi Untuk Penderita PTSD

(40)

a. Psychopharmacotherapy

Sebuah tinjauan baru-baru ini pengobatan farmakologis PTSD, antara lain: 1. SSRI Antidepresan, merupakan pilihan utama terbaik dalam menangani

PTSD. Ada 5 SSRI yang dapat digunakan : Zoloft (sertaline), Paxil (paroxetine), Prozac (fluoxetine), Luvox (fluvoxamine), Mirtazapine, dan Celexa (citalopram).

2. Antipsikotik (Antiansietas), berguna untuk meredakan kecemasan parah yang digunakan untuk jangka pendek, namun memiliki efek samping seperti sulit tidur atau ledakan emosional. Salah satunya ialah Valium (Diazepam), Xanax (Alprazolam), Klonopoin (Clonazepam) dan Ativan (Lorazepam).

3. Antidepresan lain. Berguna untuk membantu gejala depresi dan kecemasan namun tidak efektif dikarenakan dapat menimbulkan efek samping. Salah satu jenis obat antidepresan ini seperti Serzone (nefazone), dan Effexor (venlafazine).

4. Antidepresan Trisiklik, bukan merupakan pilihan utama karena memiliki banyak efek samping jika dibandingkan dengan antidepresan lain. Contohnya imipramine, dan amitriptyline (Evavil).

5. Prazosin, berguna untuk gejala termasuk insomnia atau mimpi buruk berulang. Prazosin, yang digunakan selama bertahun - tahun dalam pengobatan hipertensi, dapat menghambat respon otak untuk bahan kimia otak seperti adrenalin yang disebut norepinefrin.

b. Psikoterapi

(41)

c. Terapi Neurokognitif

Everly (1994, 1995) telah mengusulkan bahwa formulasi perawatan strategis neurokognitif untuk stres pasca trauma kemungkinan untuk membuktikan yang paling efektif dan jelas yang paling teoritis suara ( Everly & Lating, 2002). Everly menunjukkan bahwa teknik desensitisasi neurologis harus digunakan untuk mengatasi sensitivitas saraf stres pasca trauma dan dikombinasikan dengan teknik yang membahas skema kognitif yang telah terancam atau hancur karena peristiwa traumatis. Teknik untuk desensitisasi neurologis mungkin termasuk meditasi, Yoga, latihan fisik, pijat, teknik relaksasi neuromuskular, hipnosis, obat psikotropika, citra, dan sebagainya.

d. Eye Movement Desensitization an Reprocessing

EMDR adalah metode terapi berasal oleh Francine Shapiro pada tahun 1987 ( Everly & Lating, 2002). Menurut Shapiro (1999), penting untuk mengakui bahwa EMDR adalah bentuk terintegrasi terapi yang menggabungkan banyak aspek orientasi psikologis tradisional dan menggunakan berbagai rangsangan bilateral selain gerakan mata ( Everly & Lating, 2002).

2.9.4 Tindakan Keperawatan dalam Penanganan PTSD

Perawat juga dapat memberikan tindakan berupa mempromosikan keamanan pasien, membantu klien mengatasi stress dan emosi, serta menolong klien meningkatkan harga diri (Videbeck, 2011). Perawat dapat mempromosikan keamanan pasien untuk menjauhi kemungkinan terburuk. Dalam kondisi stress berkepanjangan klien dapat berpikiran untuk melakukan bunuh diri, maka perawat perlu menjaga lingkungan agar tetap aman. Perawat juga dapat membantu klien untuk mengatasi stress dan emosi dengan memposisikan klien untuk menghadapi ketakutannya, contohnya teknik grounding untuk klien PTSD akan kegelapan. Harga diri klien juga perlu ditingkatkan dengan memandang klien sebagai orang yang selamat (survivor) dibandingkan korban (victim). Pada intinya perawat harus mampu mendorong klien mengatasi stresor yang ada disamping kemampuan yang ada dalam dirinya melawan stresor tersebut (Wilkinson, 2005).

2.10 Konsep koping

(42)

Menurut Nursalam (2007) dalam (Carlson, 1994) mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stresor sehingga individu tersebut menyadari dampak dari stresor tersebut. Kemampuan koping individu tergantung dari tempramen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang budaya/norma tempatnya. Sedangkan menurut kozier, (2004) dalam Lazarus, (2006) mekanisme koping adalah cara alami atau belajar untuk menanggapi perubahan lingkungan atau masalah tertentu atau situasi. Dalam kata lain koping adalah "upaya kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal dan/atau internal yang spesifik yang dinilai sebagai bobot atau kelebihan dari sumber daya seseorang.

2.10.2 Metode Koping

Metode koping terbagi dua yaitu diantaranya Long-term coping strategy bisa konstruktif dan realistis, mencangkup perubahan pola hidup, atau mengunakan problem solving dalam memutuskaan pilihan. Sedangkan Short-term coping strategies bisa mengurangi stress menjadi dalam limt yang bisa ditoleransi, namun tida efektif untuk mengatasi stress yang berkpanjangan karena bersifat haya menyelesaikan stress pada suatu waktu tertentu. Bahkan bisa menjadi destruktif ketika hal ini menjadi ketergantungan dengan penggunaan yang berlebihan (Kozier, Erb, Snyder, Berman, 2015).

2.10.3 Strategi koping

Ada dua macam strategi koping menurut Lazarus (2000): (1) Problem-solving focused coping, dimana individu secara aktif mencari penyelesaian masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stress; (2) Emotion-focused coping, dimana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangaka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan di timbulkan suatu kondisi dari suatu tekanan (Kozier, Erb, Snyder, Berman, 2015).

2.10.4 Sumber Koping

Referensi

Dokumen terkait

NAMA SISWA ASAL SEKOLAH NILAI.. AKHIR

menyelesaikan Laporan Tugas Akhir dengan Judul “ Analisis Kinerja Keuangan Tahun 2013 – 2015 Di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Karanganyar Dan Kabupaten Sukoharjo”

LOKASI SD NEGERI MARGOYASAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Alamat : Jalan Taman Siswa No. Memperoleh bantuan tenaga, ilmu dan pemikiran dalam rangka penyiapan generasi muda

PEMERI NTAH KABUPATEN BANYUWANGI.. PAN ITIA

Credit harga: Bhineka.com, hargalaptop.net... - See more

Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pe- ngusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan dinyatakan atau dinilai

Formulir ini harus dilengkapi dan hanya berlaku untuk SATU orang pasien dan harus diisi dengan lengkap dan ditandatangani oleh peserta atau orang tua jika pasien adalah anak-anak..

Pembelajaran kewirausahaan di SMK telah diimplementasikan dalam berbagai bentuk media pembelajaran berbasis produksi dan bisnis antara lain: Teaching Factory, Teaching