• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Pengaruh Qawaid Ushuliyah Dan Fi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisa Pengaruh Qawaid Ushuliyah Dan Fi"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Analisa Pengaruh Qawaid Ushuliyah Dan Fiqhiyah Terhadap Perbedaan Pendapat Dalam Fiqih (kasus hukuman untuk tindak pidana korupsi)

LEO SATRIA

Universitas Negeri Islam Jakarta Email :Leosatria18@gmail.com

Abstract

Corruption is a very phenomenal form of crime in Indonesia, corruption with its various understandings (such as stealing, taking away its rights, bribery, etc.) is basically often done by state officials. These increasingly unstoppable acts of corruption necessitate the existence of a criminal offense to give a deterrent effect against the perpetrators. Laws with various articles that have been determined to criminalize perpetrators of corruption are perceived as lacking a deterrent effect for the perpetrators of corruption, hence the need for a new set of laws to bring a deterrent effect on Islamic corruptors as a peaceful religion comes with the same source of law along with tools to understand its resources in order to provide direction for a decent human life, as well as to regulate the rules of ownership (a property of equal dignity) in order to avoid fraudulent deeds (in this case it can be said to be corruption).

Islamic law which contains various methods to determine the law may produce a new theory to provide a deterrent effect for the perpetrators of corruption, in this case, then a set of methods of Ushuliyyah rules and rules Fiqhiyyah used to give law applicable to the corrupt.

Keywords: Corruption, Rules of Ushuliyyah and Fiqhiyyah, Law

Latar Belakang Masalah

Tindak pidana korupsi adalah tindakan melawan hokum yang sangat merugikan baik secara pribadi maupun masyarakat, bangsa dan Negara secara luas. Hal ini disebabkan Karena korupsi mengandung unsur-unsur seperti pencurian, pemerasan, penyogokan, pemaksaan, perampokkan, dan pengkhianatan. Adapun definisi Korupsi secara umum adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan hak-hak dan kewajiban dari pihak lain (seseorang maupun korporasi) secara salah menggunakan jabatannya, atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.1

Mardzuki Wahid dalam karyanya Jihad NU Melawan Korupsi meyatakna bahwa korupsi Sebagai istilah tindak pidana dengan segala bentuknya merupakan sesuatu yang baru dalam khazanah fiqih. Namun tindakan sejenis yang memiliki arti yang sama sebetulnya telah banyak dibahas dengan istilah-istilah yang berbeda.2 Seperti misalnya terdappat beberapa jenis tindak pidana yang mendekati terminology korupsi, diantaranya yaitu:

1Lihat Marwan Effendi, Korupsi dan Strategi Nasional, Pencegahan serta Pemberantasannya, (Jakarta: Referensi,

2013), h. 14. Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: dalam Perspektif Fiqih Jinayah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departement Agama RI, 2009), h. 36

(2)

risywah3 (penyuapan)4, ghulul5 (penggelapan/pengkhianatan terhadap kepercayaan/amanah), ghasab (mengambil paksa harta orang lain)6, sariqah (pencurian), khianat (segala sesuatu yang bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan, al-Hirabah (perampokan atau mengambil harta seseorang secara sembunyi-sembunyi dengan tipu daya), al- Maks (pungutan liar/), al-Ikhtilas (pencopetan), dan, al-Ihtihab (perampasan)7, al-Suht (makan makanan yang haram).8

1. Ghulul (Qs. Al-Imran ayat 161)

Artinya: “tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”

2. Risywah (Qs. Al-Baqarah ayat 188)

Artinya:Maka Barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka Sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

3. Ghasab (Qs. Al-Kahfi ayat 79)

Artinya:“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.”

4. Sariqahi (Qs. Al-Maidah ayat 38)

Artinya:“laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

5. Al-Suht (Qs. Al-Maidah ayat 42)

Artinya:“mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

3Pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain dengan maksud meluluskan atau melancarkan suatu

perbuatan yang tidak benar menurut syariat atau membatilkan perbuatan yang hak. Lihat Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam terj. Wahid Ahmadi, dkk, (Solo: Era Intermedia, 2003), h. 462. Abdullah bin Abd Muchsin at-Tariqi, Suap dalam Pandangan Islam, Terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, (Jakarta: Gema Insani Press. 2011), h. 11

4Al-Baqarah ayat 188

5ghulul disini juga dapat diartikan sebagai pengkhianatan/penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi

atau pencurian melalui penipuan dalam situasi

6Lihaat H.M. Harahap, Ayat-Ayat Korupsi, (Yogyakarta: Gama Media, 2009),

h. 50. Adapun ayat yang sering dipakai dalam penggunaan korupsi adalah Qs. Al-Kahfi ayat 79

(3)

yang adil.”

Yusuf Qardhawi yang merupakan salah satu cendekiawan muslim ternama mendefinisikan korupsi sebagai rishwah (suap), yaitu sesuatu yang diberikan oleh seseorang kepada penguasa agar menghasilkan kebijakan tertentu sesuai dengan keinginannya.9 Berbeda dengan Sayyid Quthub yang mendefinisikan korupsi dengan khianat sesuai dengan apa yang ia tafsirkan dalam Qs. Al-Imran ayat 161.10

Dua pengertian korupsi diatas yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh cendekiawan muslim tidak menjadikan pengertian korupsi secara terbatas, melainkan ini membuktikan bahwa pengertian korupsi sendiri berbagai macam pengertian.

Dari berbagai penertian tentang korupsi yang telah disebutkan diatas, maka dapat dirumuskan bahwa korupsi adalah:

1. Penyuapan atau memberi atau menerima hadiah 2. Penggelapan

3. Pemerasan

4. Gratifikasi, dan lain sebagainya.

Dengan berbagai definisi yang disebutkan di atas, maka korupsi dapat dikatagorikan sebagai:

1. Tindakan yang berlawanan dengan hokum

2. Penyalahgunaan wewenang, baik sarana maupun kekuasaan 3. Memperkaya diri sendiri ataupun kelompok tertentu

4. Merugikan keuangan negara

Hukum Perbuatan Korupsi Dalam Islam

Pada dasarnya Kasus korupsi telah banyak berdampak luas pada berbagai segmen kehidupan, meliputi (1) penurunan kualitas hidup dan kehidupan umat manusia, (2) perusakan nilai-nilai kemanusiaan, (3), penurunan kualitas pelayanan public (4) kehancuran sendi-sendi ketatanegaraan dan kehidupan demokrasi, (5) pengabaian hak-hak dasar warga Negara, (6) perusakan sendi-sendi principal dari system pengelolaan keuangan Negara, (7) lunturnya etos kerja, dll.11 Dimana dari kesemuanya itu secara langsung berdampak bagi pribadi koruptor, korporasi maupun masyarakat banyak, oleh sebab itu, kiranya merasa perlu merumuskan hokum yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut.

Hokum perbuatan korupsi dalam Islam, khususnya menurut pendapat ulama fiqih adalah haram karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keislaman (maqasid syariah), keharaman perbuatan korupsi tersebut dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya, perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan pribadi, sekelompok orang, dan negara yang kemudian dikecam oleh Allah Swt12 atas dampak yang ditimbulkannya.

Keharaman korupsi dalam Islam yang oleh para ulama dianggap haram menjadikan

9Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam terj. Wahid Ahmadi, dkk. h. 462

10Sayyid Quthub, Fii Zhilalil Quran terj. As’ad Yasin, dkk jilid 3 (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 300 11Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, h. 17

12Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, (Jakarta: Gema Press Insani, 2003), h.

(4)

tindakan korupsi menjadi tindakan yang dilarang dan tidak semestinya dikerjakan oleh seseorang maupun kelompok mengingat bahwa dampak dari perbuatan korupsi sangat merugikan bagi Negara.

Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah

Kaidah ushuliyyan dah fiqhiyyah merupakan seperangkat metode yang digunakan oleh para ulama untuk menetapkan hokum yang sudah tertulis didalam nash maupun yang belum tertulis didalam nas dengan sumbernya berupa al-Quran dan Sunnah Rasulullah, adapun pengertian antara keduanya akan dibahas pada paragraph selanjutnya.

kaidah Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah umum yang dapat diaplikasikan kepada seluruh unsurnya dan objek pembahasannya tanpa terkecuali.13 Pada dasarnya kaidah ushuliyah merupakan jembatan antara hokum denngan sumber-sumber hokum berupa al-Quran, Sunnah, Ijtihad dan Sunnah.

Jenis-jenis daripada kaidah ushuliyyah dapat dibagi diantaranya adalah kaidah al-Aam14 dan al-Khas15, kaidah al-Amr16dan an-Nahy17, kaidah Mujmal18 dan Mubayyan19, serta kaidah Mutlaq dan Muqayyad20.

Sedangkan kaidah Fiqhiyyah adalah sesuatu yang merupakan kumpulan hokum (kaidah-kaidah umum) yang serupa, dimana antara satu hokum dengan hokum lainnya dipertemukan oleh satu illat21. Adapun Tujuan akhir dari kaidah-kaidah Fiqhiyyah adalah untuk memberi isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode yang dipakainya terdahulu, bukan untuk beristidlal dengannya.22

Para ulama pada umumnya merumuskan kaidah-kaidah fiqhiyyah kedalam beberapa kaidah, yang dimana masing-masing para ulama mempunyai berbagai macam kaidah, diantara kaidah-kaidah yang paling umum adalah: segala sesuatu bergantung pada niat, keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan, kesulitan dapat mendataangkan kemudahan, adat dapat dijadikan landasan hokum, kemudharatan harus dihilangkan, dan masih banyak lainnya yang belum disebutkan pada pembahasan ini.

Pendekatan Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah dalam Tindak Pidana Korupsi (hudud, qiyas, dan ta’dzir

Dalam hokum Islam, tindak pidana disebut dengan jinayah, yaitu perbuatan yang

13Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 36

14Lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam lafal itu. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul

Fiqh, (Jakarta: Derektoral Jendral Pendidikan Islam Kementrian Agama RI. 2012), H. 178

15Lafal yang menunjukkan pengertian khusus. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh, h. 186 16Lafal yang bermakna perintah. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh, h. 196

17Lafal yang bermakan larangan atau perintah untuk meninggalkan. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh,

h. 200

18Lafal yang belum belum jelas, atau yang tidak dapat menunjukkan arti yang sebenarnya. Lihat. Andrerw Suharti,

Ushul Fiqh,), h. 173

19Penjelasan atau lafa lyang tidak membutuhkan penjelasan. Lihat. Andrerw Suharti, Ushul Fiqh, H. 175

20Mutlaq adalah Lafal yang menunjukkan arti yang sebenarnya dengan tanpa dibatasi oleh sesuatu hal, sedangkan

Muqayyad adalah Lafal yang mrnunjukkan dengan dibatasi oleh sesuatu hal dari batas-batas tertentu. Lihat. Andrerw Suharti,

Ushul Fiqh, , H. 175

21Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004), Cet ke-1, h. 86 22Dr. H. Toha Andiko, M. Ag, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum

(5)

dilarang didalam hokum islam, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta maupu lainnya. Para ahli hokum islam telah membuat terminology khusus untuk mengkategorikan tindak pidana itu kedalam beberapa bagian, daintaranya adalah, jarimah hudud, yaitu tindak pidana dengan hukuman pidana had , jarimah qiyas/diyat, yaitu tindak pidana dengan hukuman qisas, dan jarimah ta’zir, yaitu tindak pidana dengan hukuman ta’zir.

Dari ketiga tindak pidana di atas, lantas dimanakah tindak pidana korupsi dikategorikan, apakah bisa dikategorikan kedalam had, diyat atau ta’zir?

Dalam hokum Islam tindak pidana khususnya korupsi bisa di lihat landasan hukumnuya dalam bentuk ta’zir yang hukumannya bisa berupa pemecatan dalam jabatan, penjara seumur hidup, potong tangan dan bahkan bisa berupa hirabah yaitu bentuk pidana hukuman maksimal semisal hukuman mati, hal ini secar umum diatur dalam al-Quran23

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik [414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”

Melihat dampak yang ditimbulkan oleh korupsi merupakan dampak yang sangat besar, lantas seperti yang ditulis pada paragraph yang sebelumnya, tindak pidana yang seperti apakah yang layak untuk diterapkan kepada tindak pidana korupsi? Dilihat dari banyaknya istilah-istilah yang digunakan dalam korupsi, seperti pencurian, penipuan, suap dan khianat, maka tentu hukuman yang berlaku pun bermacam-macam , tidak dapat dikhususkan hanya pada satu hukuman saja.24 Dalam fiqh jinyah, memang tidak ada nash yang secara khusus mencatat dengan jelas sanksi dari perbuatan korupsi. Namun bukan berarti tidak ada nash yang berkaitan dengan korupsi, Islam mengkaitkan perbuatan korupsi ini diidentifikasi dengan beragam bentuknya seperti yang telah disebutkan sebelumnya berupa Ghulul, sariqah, khianat dan lain sebagainya.

Hokum korupsi yang didefinisikan diantaranya yang berupa ghulul oleh Sayydi Sabiq merupakan tindak pidana dengan hukuman disiksa dan atau kekayaanya dibakar dengan tujuan agar membuat jera25 sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, yang artinya “jika kamu menemui orang yang melakukan ghulul, maka bakarlah kekayaannyya dan pukullah. Ditempat lain beliau juga berkata bahwa orang yang melakukan ghulul maka tidak harus baginya hukuman potong tangan, hal ini didasari pada beberapa riwayat yang menegaskan bahwa pelaku ghulul tidak berhak untuk dijatuhi hokum potong tangan, karena ia masih mempunyai hak terhadap harta baitul mal, hal ini berdasarkan keterangan dai Ali abi Abi Thalib, yaitu, “sesungguhnya ia (pencuri) itu mempunyai saham dalam baitul mal. Sebab itu jangan kamu potong tangannya.26

Lain halnya dengan Sayyid Sabiq, ulama lainnya yang mengomentari masahal hukuman

23Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, h. 92 24Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, h. 104

25Pendapat sayyid Sabiq ini diambil dari Sunan Abu Dawud, untuk lebih jelasnya silahkan merujuk pada Abu Dawud,

Sunan Abu Dawud, Juz 1 (Beirut: Dar al- Fikr, 1994), h. 627

(6)

terhadap pelaku korupsi adalah Musthafa al-Maraghi, al- Maqaghi menilai bahwa pelaku korupsi (risywah) jika dilihat dari tindak pidana maka dijatuhi hukuman had yaitu hukuman potong tanga. Hal ini sesuai dengan nash-nash yang berkaitan dengan masalah pencurian.27

Jika dilihat dari bentuk jinayah terhadap korupsi, dari kedua ulama yang disebutkan di atas bisa diambil beberapa kesimpulan, yaitu tindak pidana korupsi bisa dikategorikan sebagai bentuk pidana ta’zir seperti yang dilakukan oleh Sayyid Sabiq dam bentuk pidana hudud seperti yang dikemukakan oleh al- Maraghi Melihat metode yang dipakai oleh Sayyid Sabiq dan al-Maraghi, nampaknya keduanya menggunakan kaidah ﺭﺮﻀﻟﺍ ﻝﺍﺰـﻳ (Kemudharatan harus dihilangkan) dalam tindak pidana korupsi, dengan melihat atas dampak yang ditimbulkan oleh korupsi itu sendiri yaitu merusak pribadi diri seorang koruptor, merusak dan merusak berbagai kelompok maupun Negara yang tentunya didalamnya terdpat banyak sekali kemudharatan.

Dilihat dari segi bahasa yang digunakan oleh kedua tokoh di atas (Sayyid sabiq dan al-Maraghi), nampaknya para tokoh tersebut memahami pengertian korupsi dengan berbagai pengertian yang berbeda, yang kemudian menghasilkan hukuman pidana yang berbeda-beda pula, ghulul yang merupakan perbuatan korupsi yang dipahami oleh Sayydi Sabiq menhasilkan pidana hukum berupa disiksa dan dibakar kekayaannya, sedangkan Musthafa al-Maraghi memahami korupsi sebagai bentuk dari pada risywah, yang kemudian dari pemahaman tersebut menghasilkan bentuk pidana berupa hukuman had yaitu hukuman potong tangna.

Dari perbedaan pendapat para tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, hukuman pidana bagi pelaku korupsi tidak mesti harus dengan satu bentuk tindak pidana berupa, had, ta’zir atau atau qiyas. Hukuman Tindak pidana terhadap pelaku korupsi harus dilihat terlebih dahulu dari jenis pemahaman terhadap korupsi tersebut, apakah korupsi tersebut dimaknai sebagai pencurian, penghianatan, atau penyuapan dan lan sebagainya yang kemudian dari pengertian tersebut barulah ditrentukan hukuman pidana yang pantas bagi pelaku korupsi tersebut,

Kaidah lain yang digunakan dalam menentukan hokum pidana tehhadap korupsi adalah kaidah mubayyan jika merujukun makna korupsi kepada makna pencurian, seperti dalam al-Quran Surat al-Maidah ayat 38 yang artinya “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Qs. Al-Maidah : 38).

Kaidah mubayyan yang terkandung didalam ayat ini sungguh jelas, yaitu, hukuman had berupa potong tangan bagi pelaku korupsi (dalam hal ini korupsi diistilahkan dengan pencuri), ayat ini tidak lagi membutuhkan penjelasan, dalam lafal yang disebutkan didalam ayat tersebut secara jelas menjelaskan tentang hokuman terhadap pelaku korupsi.

27Ahmad Djazali, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa,

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Toha Andiko, , Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah: Panduan Praktis dalam Merespon Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. 1, Yogyakarta: Sukses Offset, 2011

Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2004, Cet ke-1

Setiawan Budi Utomo, Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer, Jakarta: Gema Press Insani, 2003

Marwan Effendi, Korupsi dan Strategi Nasional, Pencegahan serta Pemberantasannya, Jakarta: Referensi, 2013

Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: dalam Perspektif Fiqih Jinayah, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departement Agama RI, 2009

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam terj. Wahid Ahmadi, dkk, Solo: Era Intermedia, 2003

Abdullah bin Abd Muchsin at-Tariqi, Suap dalam Pandangan Islam, Terj. Muchotob Hamzah dan Subakir Saerozi, Jakarta: Gema Insani Press. 2011

M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Jakarta: Amzah, 2012 H.M. Harahap, Ayat-Ayat Korupsi, Yogyakarta: Gama Media, 2009 Abu Dawud, Sunan Abu

Dawud, Juz 1, Beirut: Dar el-Fikr, 1994 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut: Daar al-Fikr, 1983

Mardzuki wahid, Jihad NU Melawan Korupsi, Jakarta: LAKPESDAM PBNU, 2016 Khaeron Sirin, Jurnal Hukum Islam, “Istinbath”, Vol. 12, No. 1. Juni 2013, h. 74

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Rachman Natawijaya sehingg tawijaya sehingga dapat disimpulkan a dapat disimpulkan bahwa bimbinga bahwa bimbingan adalah n adalah merupakan merupakan proses pemberian

Penggunan seni wayang sebagai sarana penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga menunjukkan kelihaian Sunan Kalijaga dalam memadukan unsur-unsur Islam dan unsur-unsur

Penelitian ini bertujuan untuk membuat Jam Digital Waktu Shalat Menggunakan Arduino Uno dan LED Dot Matrix P10 sebagai display dengan ukuran 16x32 cm sehingga

Dalam pelaksanaan praktik mengajar, secara langsung praktikan dibimbing Bapak Marsudi,ST untuk mengampu mata pelajaran Teknik Listrik pada kelas X AV 1 dan kelas X AV 2.

Tegangan tinggi akan memberikan energi yang tinggi sehingga elektron dalam ion klor yang terbentuk di sekitar anoda tereksitasi yang menyebabkan terbentuknya

Pertama kam~ menanggapi usulan dari rekan FKP dahulu, yang pertama pada butir !· Memang betul apa yang disampaikan kalau di- cantumkannya azas penataan ruang ini

Penelitian ini merupakan penelitian Deskriptif Kuantitatif. Dikatakan sebagai penelitian Deskriptif Kuantitatif karena peneliti menggunakan dua teknik pengolahan data.

Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor kepribadian yang terdiri dari keterbukaan dan keramahtamahan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap komitmen