• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI DALAM RUMAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI DALAM RUMAH"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KEWAJIBAN SUAMI DAN ISTRI

DALAM RUMAH TANGGA

Kewajiban Istri

Pasutri pasti selalu menginginkan keluarganya terus tentram dan langgeng. Namun kadang yang terjadi di tengah-tengah pernikahan adalah pertengkaran dan perselisihan. Ini boleh jadi karena tidak mengetahui manakah yang menjadi hak atau kewajiban dari masing-masing pasutri. Oleh karena itu, mengetahui kewajiban suami atau kewajiban istri sangatlah penting. Sehingga istri atau suami masing-masing mengetahui manakah tugas yang mesti ia emban dalam rumah tangga. Kali inirumaysho.com akan mengulas bahasan kewajiban istri. Namun jangan khawatir, untuk kewajiban suami masih tetap ada setelah bahasan untuk istri selesai. Allahumma yassir wa a’in.

Keagungan Hak Suami

Hak suami yang menjadi kewajiban istri asalnya dijelaskan dalam ayat berikut ini,

اَََمِب ِبْيَغْلِل ٌتاَظِفاَح ٌتاَتِناَق ُتاَحِلاَصلاَف ْمِهِلاَوْمَأ ْنِم اوُقَفْنَأ اَمِبَو ٍضْعَب ىَلَع ْمُهَضْعَب ُ َا َلَضَف اَمِب ِءاَسِنلا ىَلَع َنوُماَوَق ُلاَجِرلا لليِبَس َنِهْيَلَع اوُغْبَت َلَف ْمُكَنْعَطَأ ْنِإَف َنُهوُبِرْضاَو ِعِجاَضَمْلا يِف َنُهوُرُجْهاَو َنُهوُظِعَف َنُهَزوُشُن َنوُفاَخَت يِت َللاَو ُ َا َظِفَح

(2)

Hak suami yang menjadi kewajiban istri amatlah besar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ِقَحْلا َنِم َنِهْيَلَع ْمُهَل ُ َا َلَعَج اَمِل َنِهِجاَوْزَل َنْدُجْسَي ْنَأ َءاَسِنلا ُتْرَمَل ٍدَحَل َدُجْسَي ْنَأ الدَحَأ الرِمآ ُتْنُك ْوَل

“Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud pada yang lain, maka tentu aku akan memerintah para wanita untuk sujud pada suaminya karena Allah telah menjadikan begitu besarnya hak suami yang menjadi kewajiban istri” (HR. Abu Daud no. 2140, Tirmidzi no. 1159, Ibnu Majah no. 1852 dan Ahmad 4: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ketaatan seorang istri pada suami termasuk sebab yang menyebabkannya masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِتْئِش ِةَنَجْلا ِباَوْبَأ ِىَأ ْنِم َةَنَجْلا ىِلُخْدا اَهَل َليِق اَهَج ْوَز ْتَعاَطَأَو اَهَج ْرَف ْتَظِفَحَو اَهَرْهَش ْتَماَصَو اَهَسْمَخ ُةَأْرَمْلا ِتَلَص اَذِإ “Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

جوزلا قح نم بجوأ هلوسرو ا قح دعب ةأرملا ىلع سيلو

“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)

(3)

Berikut adalah rincian mengenai hak suami yang menjadi kewajiban istri:

Pertama: Mentaati perintah suami

Istri yang taat pada suami, senang dipandang dan tidak membangkang yang membuat suami benci, itulah sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, اَََمِب اَََهِلاَمَو اَهِسْفَن يِف ُهُفِلاَخُت َلَو َرَمَأ اَذِإ ُهُعيِطُتَو َرَظَن اَذِإ ُهُرُسَت يِتَلا َلاَق ٌرْيَخ ِءاَسِنلا ُيَأ َمَلَسَو ِهْيَلَع ُ َا ىَلَص ِ َا ِلوُسَرِل َليِق

ُهَرْكَي Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Begitu pula tempat seorang wanita di surga ataukah di neraka dilihat dari sikapnya terhadap suaminya, apakah ia taat ataukah durhaka.

Al Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

(4)

Namun ketaatan istri pada suami tidaklah mutlak. Jika istri diperintah suami untuk tidak berjilbab, berdandan menor di hadapan pria lain, meninggalkan shalat lima waktu, atau bersetubuh di saat haidh, maka perintah dalam maksiat semacam ini tidak boleh ditaati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِفوُرْعَمْلا ىِف ُةَعاَطلا اَمَنِإ ، ٍةَيِصْعَم ىِف َةَعاَط َل “Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Ketaatan itu hanyalah dalam perkara yang ma’ruf (kebaikan).” (HR. Bukhari no. 7145 dan Muslim no. 1840)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan,

ِا ِةَيِصْعَم يِف ٍقْوُل ْخَمِل َةَعاَط َل “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad 1: 131. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Kedua: Berdiam di rumah dan tidaklah keluar kecuali dengan izin suami

Allah Ta’ala berfirman,

ىَلوُ ْلا ِةَيِلِهاَجْلا َجُرَبَت َن ْجَرَبَت َلَو َنُكِتوُيُب يِف َن ْرَقَو “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).

Seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali dengan izin suaminya. Baik si istri keluar untuk mengunjungi kedua orangtuanya ataupun untuk kebutuhan yang lain, sampaipun untuk keperluan shalat di masjid.

(5)

Ketiga: Taat pada suami ketika diajak ke ranjang

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َحِب ْصُت ىَتَح ُةَكِئَلَمْلا اَهْتَنَعَل َءىِجَت ْنَأ ْتَبَأَف ِهِشاَرِف ىَلِإ ُهَتَأَرْما ُلُجَرلا اَعَد اَذِإ “Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas si istri enggan memenuhinya, maka malaikat akan melaknatnya hingga waktu Shubuh” (HR. Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436).

Dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh,

اَهْنَع ىَض ْرَي ىَتَح اَهْيَلَع الطِخاَس ِءاَمَسلا يِف يِذَلا َناَك َلِإ ِهْيَلَع ىَبْأَتَف اَهِشاَرِف ىَلِإ ُهَتَأَرْما وُعْدَي ٍلُجَر ْنِم اَم ِهِدَيِب يِسْفَن يِذَلاَو “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak ajakan suaminya melainkan yang di langit (penduduk langit) murka pada istri tersebut sampai suaminya ridha kepadanya.” (HR. Muslim no. 1436)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ini adalah dalil haramnya wanita enggan mendatangi ranjang jika tidak ada uzur. Termasuk haid bukanlah uzur karena suami masih bisa menikmati istri di atas kemaluannya” (Syarh Shahih Muslim, 10: 7). Namun jika istri ada halangan, seperti sakit atau kecapekan, maka itu termasuk uzur dan suami harus memaklumi hal ini.

Keempat: Tidak mengizinkan orang lain masuk rumah kecuali dengan izin suami

Pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji Wada’,

(6)

mengizinkan seorang pun yang tidak kalian sukai untuk menginjak permadani kalian” (HR. Muslim no. 1218)

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ىَدَؤََُي ُهَنِإَف ِهِرََْمَأ ِرََْيَغ ْنَع ٍةَقَفَن ْنِم ْتَقَفْنَأ اَمَو ، ِهِنْذِإِب َلِإ ِهِتْيَب ىِف َنَذْأَت َلَو َ،ِهِنْذِإِب َلِإ ٌدِهاَش اَهُجْوَزَو َموُصَت ْنَأ ِةَأْرَمْلِل ُلِحَي َل هُرْطَش ِهْيَلِإ “Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa (sunnah), sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya. Dan ia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

Dalam lafazh Ibnu Hibban disebutkan hadits dari Abu Hurairah,

ِهِنْذِإِب َلِإ ُدِهاَش َوُهَو اَهِج ْوَز ِتْيَب يِف ُةَأ ْرَملا ُنَذْأَت َل “Tidak boleh seorang wanita mengizinkan seorang pun untuk masuk di rumah suaminya sedangkan suaminya ada melainkan dengan izin suaminya.” (HR. Ibnu Hibban 9: 476. Kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)

Hadits di atas dipahami jika tidak diketahui ridho suami ketika ada orang lain yang masuk. Adapun jika seandainya suami ridho dan asalnya membolehkan orang lain itu masuk, maka tidaklah masalah. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 3: 193)

Kelima: Tidak berpuasa sunnah ketika suami ada kecuali dengan izin suami

Para fuqoha telah sepakat bahwa seorang wanita tidak diperkenankan untuk melaksanakan puasa sunnah melainkan dengan izin suaminya (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99). Dalam hadits yang muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(7)

“Tidaklah halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya.” (HR. Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026) Dalam lafazh lainnya disebutkan,

َناَضَمَر َرْيَغ ِهِنْذِإِب َلِإ ٌدِهاَش اَهُلْعَبَو ُةَأْرَمْلا ُموُصَت َل “Tidak boleh seorang wanita berpuasa selain puasa Ramadhan sedangkan suaminya sedang ada (tidak bepergian) kecuali dengan izin suaminya” (HR. Abu Daud no. 2458. An Nawawi dalam Al Majmu’ 6: 392 mengatakan, “Sanad riwayat ini shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim”)

Ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan izin bisa jadi dengan ridho suami. Ridho suami sudah sama dengan izinnya. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Imam Nawawi rahimahullah menerangkan, “Larangan pada hadits di atas dimaksudkan untuk puasa tathowwu’ dan puasa sunnah yang tidak ditentukan waktunya. Menurut ulama Syafi’iyah, larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 115)

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud larangan puasa tanpa izin suami di sini adalah untuk puasa selain puasa di bulan Ramadhan. Adapun jika puasanya adalah wajib, dilakukan di luar Ramadhan dan waktunya masih lapang untuk menunaikannya, maka tetap harus dengan izin suami. … Hadits ini menunjukkan diharamkannya puasa yang dimaksudkan tanpa izin suami. Demikianlah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 9: 295)

(8)

Syawal, maka boleh dilakukan tanpa izin suami, kecuali jika memang suami melarangnya.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99)

Jadi, puasa yang mesti dilakukan dengan izin suami ada dua macam: (1) puasa sunnah yang tidak memiliki batasan waktu tertentu (seperti puasa senin kamis[1]), (2) puasa wajib yang masih ada waktu longgar untuk melakukannya. Contoh dari yang kedua adalah qodho’ puasa yang waktunya masih longgar sampai Ramadhan berikutnya.[2]

Jika Suami Tidak di Tempat

Berdasarkan pemahaman dalil yang telah disebutkan, jika suami tidak di tempat, maka istri tidak perlu meminta izin pada suami ketika ingin melakukan puasa sunnah. Keadaan yang dimaksudkan seperti ketika suami sedang bersafar, sedang sakit, sedang berihrom atau suami sendiri sedang puasa (Lihat Fathul Bari, 9: 296 dan Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 28: 99) Kondisi sakit membuat suami tidak mungkin melakukan jima’ (hubungan badan). Keadaan ihrom terlarang untuk jima’, begitu pula ketika suami sedang puasa. Inilah yang dimaksud kondisi suami tidak di tempat.

Hikmah Mengapa Harus dengan Izin Suami

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan, “Dalam hadits yang menerangkan masalah ini terdapat pelajaran bahwa menunaikan hak suami itu lebih utama daripada menjalankan kebaikan yang hukumnya sunnah. Karena menunaikan hak suami adalah suatu kewajiban. Menjalankan yang wajib tentu mesti didahulukan dari menjalankan ibadah yang sifatnya sunnah.” (Fathul Bari, 9/296)

(9)

[1] Puasa senin kamis bisa saja dilaksanakan di minggu-minggu berikutnya. Jadi waktunya begitu longgar.

[2] Ini berarti kalau puasanya adalah puasa Syawal, maka boleh tanpa izin suami karena puasa Syawal adalah puasa yang memiliki batasan waktu tertentu hanya di bulan Syawal Keenam: Tidak menginfakkan harta suami kecuali dengan izinnya

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَهِجْوَز ِنْذِإِب َلِإ اَهِجْوَز ِتْيَب ْنِم الئْيَش ٌةَأَرْما ُقِفْنُت َل

“Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya” (HR. Tirmidzi no. 670. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)

Ketujuh: Berkhidmat pada suami dan anak-anaknya

Semestinya seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan shahabiyah seperti yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma yang berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ia mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya, menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue. Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR. Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

Demikian pula khidmat Fathimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah suaminya, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Sampai-sampai kedua tangannya lecet karena menggiling gandum. (HR. Bukhari no. 5361 dan Muslim no. 2182)

(10)

suka mendatangkan di tengah-tengah mereka wanita yang sama dengan mereka. Maka aku pun menikahi seorang wanita yang bisa mengurusi dan merawat mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Jabir,

– الرْيَخ : ْوَأ – َكَل ُا َكَرَابَف “Semoga Allah memberkahimu.” Atau beliau berkata, “Semoga kebaikan untukmu.” (HR. Muslim no. 715)

Kedelapan: Menjaga kehormatan, anak dan harta suami

Allah Ta’ala berfirman,

ُ َا َظِفَح اَمِب ِبْيَغْلِل ٌتاَظِفاَح ٌتاَتِناَق ُتاَحِلاَصلاَف “Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada” (QS. An Nisa’: 34). Ath Thobari mengatakan dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta suami. Di samping itu, iawajib menjaga hak Allah dan hak selain itu.”

Kesembilan: Bersyukur dengan pemberian suami

Seorang istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan berhadapan dengan ancaman neraka Allah Ta’ala.

Seselesainya dari shalat Kusuf (shalat Gerhana), Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau ketika shalat,

:َلاَََق ؟ِلاِب َنْرُفْكَي :َلْيِق . َنِهِرْفُكِب :َلاَق ؟ِا َلْوُسَر اَي َمِل :اوُلاَق .َءاَسِنلا اَهِلْهَأ َرَثْكَأ ُتْيَأَرَو ُطَق الرَظْنَم ِمْوَيْلاَك َرَأ ْمَلَف َراَنلا ُتْيَأَرَو ُطَق الرْيَخ َكْنِم ُتْيَأَر اَم : ْتَلاَق الئْيَش َكْنِم ْتَأَر َمُث ،َرْهَدلا َنُهاَدْحِإ َىلِإ َتْنَسْحَََأ ْوَل ، َناَسْحِلْا َنْرُفْكَيَو َرْيِشَعْلا َنْرُفْكَي

(11)

menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang istri kalian pada suatu waktu, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata, ‘Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Bukhari no. 5197 dan Muslim no. 907). Lihatlah bagaimana kekufuran si wanita cuma karena melihat kekurangan suami sekali saja, padahal banyak kebaikan lainnya yang diberi. Hujan setahun seakan-akan terhapus dengan kemarau sehari.

Kesepuluh: Berdandan cantik dan berhias diri di hadapan suami

Sebagian istri saat ini di hadapan suami bergaya seperti tentara, berbau arang (alias: dapur) dan jarang mau berhias diri. Namun ketika keluar rumah, ia keluar bagai bidadari. Ini sungguh terbalik. Seharusnya di dalam rumah, ia berusaha menyenangkan suami. Demikianlah yang dinamakan sebaik-baik wanita. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

اَََمِب اَََهِلاَمَو اَهِسْفَن يِف ُهُفِلاَخُت َلَو َرَمَأ اَذِإ ُهُعيِطُتَو َرَظَن اَذِإ ُهُرُسَت يِتَلا َلاَق ٌرْيَخ ِءاَسِنلا ُيَأ َمَلَسَو ِهْيَلَع ُ َا ىَلَص ِ َا ِلوُسَرِل َليِق ُهَرْكَي Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no. 3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Kesebelas: Tidak mengungkit-ngungkit pemberian yang diinfakkan kepada suami dan anak-anaknya dari hartanya

Allah Ta’ala berfirman,

(12)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al Baqarah: 264). Keduabelas: Ridho dengan yang sedikit, memiliki sifat qona’ah (merasa cukup) dan tidak membebani suami lebih dari kemampuannya

Allah Ta’ala berfirman,

الرْسُي ٍرْسُع َدْعَب ُ َا ُلَعْجَيَس اَهاَتَآ اَم َلِإ السْفَن ُ َا ُفِلَكُي َل ُ َا ُهاَتَآ اَمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُقْزِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنَمَو ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس وُذ ْقِفْنُيِل “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath Tholaq: 7)

Ketigabelas: Tidak menyakiti suami dan tidak membuatnya marah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ْنَأ ُك ََِش ْوُي ٌلََْيِخَد َكَدََْنِع َوََُه اَََمَنِإَف , ُا ِكَََلَتاَق , ِهْيِذْؤُت َل : ِنْيِعْلا ِرْوُحْلا َنِم ُهُتَجْوَز ْتَلاَق َلِإ اَيْنُدلا يِف اَهَجْوَز ٌةَأَرْما يِذْؤُت َل اَنْيَلِإ ِكَقِراَفُي “Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. (HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ahmad 5: 242. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Keempatbelas: Berbuat baik kepada orang tua dan kerabat suami

Kelimabelas: Terus ingin hidup bersama suami dan tidak meminta untuk ditalak kecuali jika ada alasan yang benar

(13)

. ِةَنَجلا ُةَحِئاَر اَهْيَلَع ٌماَرَحَف ٍسْأَب اَم ِرْيَغ يِف َق َلَطلا اَهَجْوَز ْتَلَأَس ٍةَأَرْما اَمُيَأ

“Wanita mana saja yang meminta talak kepada suaminya tanpa ada alasan (yang dibenarkan oleh syar’i), maka haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Tirmidzi no. 1199, Abu Daud no. 2209, Ibnu Majah no. 2055. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Keenambelas: Berkabung ketika meninggalnya suami selama 4 bulan 10 hari

Allah Ta’ala berfirman,

ا لرْشَعَو ٍرُهْشَأ َةَعَب ْرَأ َنِهِسُفنَأِب َنْصَب َرَتَي الجاَوْزَأ َنو ُرَذَيَو ْمُكنِم َنْوَفَوَتُي َنيِذَلاَو يِف َنْلَعَف اَََميِف ْمُكْيَلَع َحاَََنُج َلَف َنُهَلَجَأ َنْغَلَب اَذِإَف

ِفو ُرْعَمْلاِب َنِهِسُفنَأ ٌريِبَخ َنوُلَمْعَت اَمِب ُهََللاَو

“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 234)

Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الرْشَعَو ٍرُهْشَأ َةَعَبْرَأ ٍجْوَز ىَلَع َلِإ ، ٍلاَيَل ِثَلَث َقْوَف ٍتِيَم ىَلَع َدِحُت ْنَأ ِرِخخا ِمْوَيْلاَو ِ َلاِب ُنِمْؤُت ٍةَأَرْمِل ُلِحَي َل “Tidak dihalalkan bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, yaitu (selama) empat bulan sepuluh hari.” (HR. Bukhari no. 5334 dan Muslim no. 1491)[2] Supaya mengimbangi pembahasan ini, nantikan bahasan mengenai kewajiban suami yang menjadi hak istri. Semoga Allah mudahkan untuk menyusunnya.

(14)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

[1] 1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil

[2] Bahasan kali ini dikembangkan dari Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 3: 192-197. Kewajiban Suami

Kesempatan yang lalu, telah diangkat mengenai kewajiban istri di web Muslim.Or.Idtercinta ini. Saat ini, giliran suami pun harus mengetahui kewajibannya. Apa saja kewajiban suami, berkaitan dengan berbuat baik pada istri dan kewajiban nafkah, akan diulas secara sederhana dalam tulisan kali ini. Moga dengan mengetahui hal ini pasutri semakin lekat kecintaannya, tidak penuh ego dan semoga hubungan mesta tetap langgeng.

Pertama: Bergaul dengan istri dengan cara yang ma’ruf (baik)

Yang dimaksud di sini adalah bergaul dengan baik, tidak menyakiti, tidak menangguhkan hak istri padahal mampu, serta menampakkan wajah manis dan ceria di hadapan istri.

Allah Ta’ala berfirman,

ِفوُرْعَمْلاِب َنُهوُرِشاَعَو “Dan bergaullah dengan mereka dengan baik.” (QS. An Nisa’: 19).

ِفوُرْعَمْلاِب َنِهْيَلَع يِذَلا ُلْثِم َنُهَلَو

“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. Al Baqarah: 228).

(15)

ىِلْهَل ْمُكُرْيَخ اَنَأَو ِهِلْهَل ْمُكُرْيَخ ْمُكُرْيَخ

“Sebaik-baik kalian adalah yan berbuat baik kepada keluarganya. Sedangkan aku adalah orang yang paling berbuat baik pada keluargaku” (HR. Tirmidzi no. 3895, Ibnu Majah no. 1977, Ad Darimi 2: 212, Ibnu Hibban 9: 484. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata mengenai surat An Nisa’ ayat 19 di atas, “Berkatalah yang baik kepada istri kalian, perbaguslah amalan dan tingkah laku kalian kepada istri. Berbuat baiklah sebagai engkau suka jika istri kalian bertingkah laku demikian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 400)

Berbuat ma’ruf adalah kalimat yang sifatnya umum, tercakup di dalamnya seluruh hak istri. Nah, setelah ini akan kami utarakan berbagai bentuk berbuat baik kepada istri. Penjelasan ini diperinci satu demi satu agar lebih diperhatikan para suami.

Kedua: Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal dengan baik

Yang dimaksud nafkah adalah harta yang dikeluarkan oleh suami untuk istri dan anak-anaknya berupa makanana, pakaian, tempat tinggal dan hal lainnya. Nafkah seperti ini adalah kewajiban suami berdasarkan dalil Al Qur’an, hadits, ijma’ dan logika.

Dalil Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,

اَهاَتَآ اَم َلِإ السْفَن ُ َا ُفِلَكُي َل ُ َا ُهاَتَآ اَمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُقْزِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنَمَو ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس وُذ ْقِفْنُيِل

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).

(16)

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara ma’ruf” (QS. Al Baqarah: 233).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bapak dari si anak punya kewajiban dengan cara yang ma’ruf (baik) memberi nafkah pada ibu si anak, termasuk pula dalam hal pakaian. Yang dimaksud dengan cara yang ma’ruf adalah dengan memperhatikan kebiasaan masyarakatnya tanpa bersikap berlebih-lebihan dan tidak pula pelit. Hendaklah ia memberi nafkah sesuai kemampuannya dan yang mudah untuknya, serta bersikap pertengahan dan hemat” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 2: 375).

Dari Jabir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika haji wada’,

الدَََحَأ ْمُك َََشُرُف َنْئِطوََُي َل ْنَأ َنِهْيَلَع ْمُكَلَو ِ َا ِةَََمِلَكِب َنُهَجوُرََُف ْمُتْلَلْحَت ََْساَو ِ َا ِناَََمَأِب َنُهوُمُتْذَََخَأ ْمُكَنِإَََف ِءا َََسِنلا ىِف َ َا اوُقَتاَََف ِفوُرْعَمْلاِب َنُهُتَوْسِكَو َنُهُق ْزِر ْمُكْيَلَع َنُهَلَو ٍحِرَبُم َرْيَغ البْرَض َنُهوُبِرْضاَف َكِلَذ َنْلَعَف ْنِإَف .ُهَنوُهَرْكَت “Bertakwalah kepada Allah pada (penunaian hak-hak) para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakiti. Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang ma’ruf” (HR. Muslim no. 1218).

Dari Mu’awiyah Al Qusyairi radhiyallahu ‘anhu, ia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai kewajiban suami pada istri, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(17)

(dalam rangka nasehat) selain di rumah” (HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).

Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Dia tidak memberi untukku dan anak-anakku nafkah yang mencukupi kecuali jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِفوُرْعَمْلاِب ِكَدَلَوَو ِكيِفْكَي اَم ىِذُخ “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya” (HR. Bukhari no. 5364).

Lalu berapa besar nafkah yang menjadi kewajiban suami?

Disebutkan dalam ayat,

ُ َا ُهاَتَآ اَمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُق ْزِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنَمَو ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس وُذ ْقِفْنُيِل

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” (QS. Ath Tholaq: 7).

ُهُرَدَق ِرِتْقُمْلا ىَلَعَو ُهُرَدَق ِعِسوُمْلا ىَلَع “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula)” (QS. Al Baqarah: 236).

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Hindun,

(18)

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah:

1. Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman.

2. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak.

Termasuk dalam hal nafkah adalah untuk urusan pakaian dan tempat tinggal bagi istri. Patokannya adalah dua hal yang disebutkan di atas.

Mencari nafkah bagi suami adalah suatu kewajiban dan jalan meraih pahala. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah menunaikan tugas yang mulia ini.

Masih ada beberapa hal terkait kewajiban suami yang belum dibahas. Insya Allah akan berlanjut pada tulisan berikutnya.

Ketiga: Meluangkan waktu untuk bercanda dengan istri tercinta

Inilah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyahradhiyallahu ‘anha,

« َلاَََقَف ىِنَقَب َََسَف ُهُتْقَباَس َمْحَللا ُتْلَمَح اَمَلَف َىَلْجِر ىَلَع ُهُتْقَبَسَف ُهُتْقَباَسَف ْتَلاَق ٍرَفَس ىِف -ملسو هيلع ا ىلص- ِىِبَنلا َعَم ْتَناَك اَهَنَأ .» ِةَقْبَسلا َكْلِتِب ِهِذَه Ia pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. ‘Aisyah lantas berlomba lari bersama beliau dan ia mengalahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala ‘Aisyah sudah bertambah gemuk, ia berlomba lari lagi bersama Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam, namun kala itu ia kalah. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini balasan untuk kekalahanku dahulu.” (HR. Abu Daud no. 2578 dan Ahmad 6: 264. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam masih menyempatkan diri untuk bermain dan bersenda gurau dengan istrinya tercinta.

(19)

ىِذَلا اَََنَأ َنوََُكَأ ىَتَح ، ِدِج ََْسَمْلا ىِف َنوََُبَعْلَي ِة َََشَبَحْلا ىَلِإ ُرََُظْنَأ اَََنَأَو ، ِهِئاَدِرِب ىِنُرُت ََْسَي – ملََسو هيلع ا ىلص – َىِبَنلا ُتْيَأَر ِوْهَللا ىَلَع ِةَصيِرَحْلا ِنِسلا ِةَثيِدَحْلا ِةَيِراَجْلا َرْدَق اوُرُدْقاَف ، ُمَأْسَأ

“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutup-nutupi pandanganku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda” (HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda sambil menutup-nutupi pandangan istrinya yang ingin memandang seorang pemuda. Lihatlah candaan beliau dan senda gurau kepada istrinya tercinta! Sebagai suami pernahkah kita seperti itu?

Keempat: Menyempatkan waktu untuk mendengar curhatan istri

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa duduk dan menyimak curhatan dan cerita ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sampai pun kisah itu panjang. Di antara cerita ‘Aisyah pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan dalam hadits yang lumayan panjang berikut ini.

الئْيَش َنِهِجاَو ْزَأ ِراَبْخَأ ْنِم َنْمُتْكَي َل ْنَأ َنْدَقاَعَتَو َنْدَهاَعَتَف لةَأَرْما َةَرْشَع ىَدْحِإ َسَلَج ْتَلاَق َةَشِئاَع ْنَع Sebelas orang wanita berkumpul lalu mereka berjanji dan bersepakat untuk tidak menyembunyikan sedikit pun cerita tentang suami mereka.

ُلَقَتْنُيَف َنْيِمَس َلَو ىَقَتْرُيَف َلْهَس َل ٍلَبَج ِسْأَر ىَلَع ٍثَغ ٍلَمَج ُمْحَل يِجْوَز ىَلْوُلا ِتَلاَق

Wanita pertama berkisah, “Sesungguhnya suamiku adalah daging unta yang kurus yang berada di atas puncak gunung yang tanahnya berlumpur yang tidak mudah untuk didaki dan dagingnya juga tidak gemuk untuk diambil.

(20)

bagaimana cara yang baik untuk berbicara dengan suaminya karena suaminya buruk perangainya. Sudah dengan usaha keras, si istri ingin berhubungan baik dengan suaminya, ia tidak bisa meraih dan bersenang-senang dengannya.]

ُهَرَجُبَو ُهَرَجُع ْرُكْذَأ ُه ْرُكْذَأ ْنِإ ُهَرَذَأ َل ْنَأ ُفاَخَأ يِنِإ ُهَرَبَخ ُثُبَأ َل يِج ْوَز ُةَيِناَثلا ْتَلاَق Wanita kedua berkisah, “Mengenai suamiku, aku tidak akan menceritakannya karena jika aku berkisah tentangnya aku khawatir aku (tidak mampu) meninggalkannya. Jika aku menyebutkan tentangnya maka aku akan menyebutkan urat-uratnya yang muncul di tubuhnya dan juga perutnya”.

[Maksud perkataan di atas: Ia mengisyaratkan bahwa suaminya itu penuh dengan ‘aib. Jika diceritakan, ia khawatir tidak akan ada ujungnya kisah tentang suaminya karena saking banyaknya ‘aib suaminya. Jika aibnya disebut maka akan nampak aib luar seperti urat di badan dan dalam tubuhnya seperti urat di perut. Ada pula yang menafsirkan, jika si istri menceritakan aib suaminya, maka ia khawatir akan berpisah darinya. Karena jika sampai ketahuan, suaminya akan menceraikannya dan ia khawatir karena masih ada anak dan hubungan dengan suaminya.]

ْقَلَعُأ ْتُكْسَأ ْنِإَو ْقَلَطُأ ْقِطْنَأ ْنِإ ُقَنَشَعْلا يِجْوَز ُةَثِلاَثلا ْتَلاَق

Wanita ketiga berkisah, “Suamiku tinggi, jika aku berucap maka aku akan dicerai, dan jika aku diam maka aku akan tergantung”.

[Maksud perkataan di atas: Ia memaksudkan suaminya adalah suami yang berperangai buruk atau ada yang mengatakan bahwa suaminya itu egois (mementingkan diri sendiri). Ia mengetahui jika ia mengeluh kepada suaminya maka sang suami langsung menceraikannya. Namun jika ia berdiam diri maka ia akan tersiksa karena seperti wanita yang tidak bersuami padahal ia bersuami.]

(21)

Wanita keempat berkisah, “Suamiku seperti malam di Tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tidak ada ketakutan dan tidak ada rasa bosan”.

[Maksud perkataan di atas: Tihamah adalah suatu daerah yang ma’ruf. Malam di sana seimbang (tidak panas dan tidak dingin), cuacanya bagus dan bersahabat. Jadi si wanita menyifati suaminya yang pelembut dan berperangai baik. Si wanita selalu tentram, tidak penuh kekhawatiran ketika berada di sisi suaminya. Suaminya tidak ada rasa bosan dengannya. Istrinya merasakan keadaannya di sisi suaminya seperti keadaan penduduk Tihamah, suaminya menikmati hubungan dengannya seperti kenikmatan di Tihamah yang tidak panas dan tidak dingin serta dalam cuaca yang bersahabat.]

َدِهَع اَمَع ُلَأْسَي َلَو َدِسَأ َجَرَخ ْنِإَو َدِهَف َلَخَد ْنِإ يِج ْوَز ُةَسِماَخْلا ِتَلاَق Wanita kelima berkisah, “Suamiku jika masuk rumah seperti macan dan jika keluar maka seperti singa dan tidak bertanya apa yang telah diperbuatnya (yang didapatinya)”.

[Maksud perkataan di atas: Cerita si wanita bisa jadi sebuah pujian, bisa jadi suatu celaan. Apabila yang dimaksud adalah pujian, maka ada beberapa tafsiran. Tafsiran pertama, suaminya disifatkan seperti macan karena biasa menundukkan dan menjima’ istrinya. Aritnya, istrinya begitu disayangi sampai si suami tidak kuat tatkala memandangnya. Jika keluar dari rumah, ia adalah seorang yang gagah seperti singa. Jika datang, ia biasa membawa makanan, minuman dan pakaian, jangan ditanya di mana ia memperolehnya. Tafsiran kedua, masih sebagai pujian. Jika ia memasuki rumah, seperti macan, yaitu ia tidak pernah mengomentari apa yang terjadi di rumah, adakah yang cacat, dan tidak banyak komentar. Jika ia keluar dari rumah, ia begitu perkasa seperti singa. Ia tidak banyak bertanya apa yang terjadi. Maksudnya adalah si suami begitu bergaul dengan istri meskipun ia melihat kekurangan yang nampak pada istrinya.

(22)

padanya. Jika suaminya keluar dan istrinya dalam keadaan sakit lalu ia kembali, tidak ada perhatiannya padanya dan anak-anaknya.]

َثَبْلا َمَلْعَيِل َفَكْلا ُجِلْوُي َلَو َفَتْلا َعَجَطْضا ِنِإَو َفَتْشا َبِرَش ْنِإَو َفَل َلَكَأ ْنِإ يِجْوَز ُةَسِداَسلا ِتَلاَق

Wanita keenam berkisah, “Suamiku jika makan maka banyak menunya dan tidak ada sisanya, jika minum maka tidak tersisa, jika berbaring maka tidur sendiri sambil berselimutan, dan tidak mengulurkan tangannya untuk mengetahui kondisiku yang sedih”. [Maksud perkataan di atas: Ia mensifati suaminya yang biasa menyantap makanan apa saja dan banyak minum. Jika ia tidur, ia sering menjauh dari istrinya dan tidur sendirian. Ia pun tidak berusaha mengetahui keadaan istrinya yang sedih. Intinya, ia menyifati suaminya dengan banyak makan dan minum, serta sedikit jima’ (berhubungan intim). Ini menunjukkan celaan.]

ِكَل لًلُك َعَمَج ْوَأ ِكَلَف ْوَأ ِكَجَش ٌءاَد ُهَل ٍءاَد ُلُك ُءاَقاَبَط ُءاَياَيَع ْوَأ ُءاَياَيَغ يِج ْوَز ُةَعِباَسلا ِتَلاَق Wanita ketujuh berkisah, “Suamiku bodoh yang tidak pandai berjimak, semua penyakit (aib) dia miliki, dia melukai kepalamu, melukai badanmu, atau mengumpulkan seluruhnya untukmu”.

[Maksud perkataan di atas: Ia menjelaskan bahwa suaminya tidak kuat berhubungan intim dengan istrinya. Jika ia berbicara, ia biasa menyakiti kepala. Jika ia berhubungan intim, ia biasa memukul kepala dan melukai jasad.]

َبَن ْرَز ُحْيِر ُحْيِرلاَو َبَنْرَأ ُسَم ُسَمْلا يِج ْوَز ُةَنِماَثلا ِتَلاَق Wanita kedelapan berkisah, “Suamiku sentuhannya seperti sentuhan kelinci dan baunya seperti bau zarnab (tumbuhan yang baunya harum)”.

[Maksud perkataan di atas: Suaminya selalu bersikap lemah lembut dan bersikap baik pada istrinya.]

(23)

Wanita kesembilan berkisah, “Suamiku tinggi tiang rumahnya, panjang sarung pedangnya, banyak abunya, dan rumahnya dekat dengan bangsal (tempat pertemuan)”.

[Maksud perkataan di atas: Suaminya itu termasuk orang terpandang, banyak tamu yang mengunjunginya sehingga ia pun biasa menyembelih hewan untuk menyambut tamunya. Ia pun dianggap mulia oleh keluarganya. Suamiya pun biasa didatangi oleh orang-orang yang ingin curhat berbagai masalah dan persoalan mereka. Ia terkenal dengan sifatnya yang mulia, orang yang terpandangan, berakhlak mulia dan memiliki pergaulan yang baik dengan sesama] َت ْو َََص َنْعِم َََس اَذِإَو ،ِحِرا َََسَمْلا ُتَلْيِلَق ِكِراَََبَمْلا ُتاَرََْيِثَك ٌلََِبِإ ُهَََل َكََِلَذ ْنِم رََْيَخ ُكََلِاَم ؟ٌكِلاَم اَمَو ٌكِلاَم يِجْوَز ُةَرِشاَعْلا ِتَلاَق ُكِلاَوَه َنُهَنَأ َنَقْيَأ ِرِهْزُمْلا

Wanita kesepuluh berkisah, “Suamiku (namanya) adalah Malik, dan siapakah gerangan si Malik? Malik adalah lebih baik dari pujian yang disebutkan tentangnya. Ia memiliki unta yang banyak kandangnya dan sedikit tempat gembalanya, dan jika unta-unta tersebut mendengar kayu dari tukang jagal maka unta-unta tersebut yakin bahwa mereka akan disembelih.”

[Maksud perkataan di atas: Suaminya memiliki banyak unta sebagai persiapan untuk menyambut tamu. Artinya, suaminya memiliki akhlak mulia, ia sering memuliakan para tamu dengan pemuliaan yang luar biasa].

يِسْفَن ىَلِإ ُتْحَجَبَف يِنَحَجَبَو َيَدُضَع ِمْحَش ْنِم َ َلَمَو َيَنُذُأ ٍيِلُح ْنِم َساَنَأ ؟ٍعْرَز ْوُبَأ اَمَف ٍعْرَز ْوُبَأ يِجْوَز َةَرْشَع َةَيِداَحْلا ِتَلاَق

Wanita kesebelas berkisah, “Suamiku adalah Abu Zar’. Siapa gerangan Abu Zar’? Dialah yang telah memberatkan telingaku dengan perhiasan dan telah memenuhi lemak di lengan atas tanganku dan menyenangkan aku, maka aku pun gembira.”

(24)

menjadikan sang istri menjadi sangat mencintai suaminya karena merasakan perhatian suaminya dan sayangnya suaminya kepadanya. Para wanita sangat suka kepada perhiasan emas, dan ini merupakan hadiah yang paling baik yang diberikan kepada wanita. Tubuh yang berisi padat (tidak kurus dan tidak gemuk) merupakan sifat kecantikan seorang wanita.]

ُبَر ََْشَأَو ُحَب َََصَتَأَف ُدََُق ْرَأَو ُحَبَقُأ َلَف ُل ْوََُقَأ ُهَدََْنِعَف ،ٍقَََنَمَو ٍسِئاَدَو ٍطََْيِطَأَو ٍلْيِهَص ِلْهَأ يِف يِنَلَعَجَف ٍقِشِب ٍةَمْيَنُغ ِلْهَأ يِف يِنَدَجَو . ُحَنَقَتَأَف Ia mendapatiku pada peternak kambing-kambing kecil dalam kehidupan yang sulit, lalu ia pun menjadikan aku di tempat para pemilik kuda dan unta, penghalus makanan dan suara-suara hewan ternak. Di sisinya aku berbicara dan aku tidak dijelek-jelekan, aku dibiarkan tidur di pagi hari, aku minum hingga aku puas dan tidak pingin minum lagi.

[Maksud perkataan di atas: Maksudnya yaitu Abu Zar’ mendapatinya dari keluarga yang menggembalakan kambing-kambing kecil yang menunjukan keluarga tersebut kurang mampu dan menjalani hidup dengan susah payah. Lalu Abu Zar’ memindahkannya ke kehidupan keluarga yang mewah yang makanan mereka adalah makanan pilihan yang dihaluskan. Mereka memiliki kuda-kuda dan onta-onta serta hewan-hewan ternak lainnya. Jika ia berbicara di hadapan suaminya maka suaminya Abu Zar’ tidak pernah membantahnya dan tidak pernah menghinakan atau menjelekkannya karena mulianya suaminya tersebut dan sayangnya pada dirinya. Ia tidur di pagi hari dan tidak dibangunkan karena sudah ada pembantu yang mengurus urusan rumah. Ia minum hingga puas sekali dan tidak ingin minum lagi yaitu suaminya telah memberikannya berbagai macam minuman seperti susu, jus anggur, dan yang lainnya. Merupakan sifat suami yang baik adalah membantu istrinya diantaranya dengan mendatangkan pembantu yang bisa membantu tugas-tugas rumah tangga istrinya.]

(25)

Ibu Abu Zar’. Siapakah gerangan Ibu Abu Zar’?, yang mengumpulkan perabotan rumah, dan memiliki rumah yang luas.

[Maksud perkataan di atas: Ibu suaminya adalah wanita yang kaya raya yang memiliki banyak perabot rumah tangga didukung dengan rumahnya yang besar dan luas. Hal ini menunjukan bahwa sang ibu adalah orang yang sangat baik yang selalu memuliakan tamu-tamunya. Di antara sifat istri yang sholehah hendaknya ia menghormati ibu suaminya dan memahami bahwa ibu suaminyalah yang telah melahirkan suaminya yang telah banyak berbuat baik kepadanya. Kemudian hendaknya tidak ada permusuhan antara seorang istri yang sholehah dan ibu suaminya. Dan sesungguhnya tidak perlu adanya permusuhan karena pada hakekatnya tidak ada motivasi yang mendorong pada hal itu jika keduanya menyadari bahwa masing-masing memiliki hak-hak khusus yang berbeda yang harus ditunaikan oleh sang suami.]

ِةَرْفَجْلا ُعاَرِذ ُهُعِبْشُيَو ٍةَبْطَش ِلَسَمَك ُهُعَج ْضَم ؟ٍعْرَز يِبَأ ُنْبا اَمَف ،ٍعْرَز يِبَأ ُنْبا Putra Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Tempat tidurnya adalah pedang yang terhunus keluar dari sarungnya, ia sudah kenyang jika memakan lengan anak kambing betina.

[Maksud perkataan di atas: Putra suaminya adalah anak yang gagah dan tampan serta pemberani, tidak gemuk karena sedikit makannya, tidak kaku dan lembut, namun sering membawa alat perang dan gagah tatkala berperang.]

اَهِتَراَج ُظْيَغَو اَهِئاَسِك ُء ْلِمَو اَهِمُأ ُعْوُطَو اَهْيِبَأ ُعْوُط ؟ٍعْرَز يِبَأ ُتْنِب اَمَف ،ٍعْرَز يِبَأ ُتْنِب Putri Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Taat kepada ayahnya dan ibunya, tubuhnya segar montok, membuat madunya marah kepadanya.

(26)

الشْيِشْعَت اَنَتْيَب ُ َلْمَت َلَو الثْيِقْنَت اَنَتَرْيِم ُثِقَنُت َلَو الثْيِثْبَت اَنَثْيِدَح ُثُبَت َل ؟ٍعْرَز يِبَأ ُةَيِراَج اَمَف ،ٍعْرَز يِبَأ ُةَيِراَج

Budak wanita Abu Zar’, siapakah gerangan dia? Ia menyembunyikan rahasia-rahasia kami dan tidak menyebarkannya, tidak merusak makanan yang kami datangkan dan tidak membawa lari makanan tersebut, serta tidak mengumpulkan kotoran di rumah kami.

[Maksud perkataan di atas: Budak wanita tersebut adalah orang yang terpercaya bisa menjaga rahasia dan amanah. Seluruh kejadian atau pembicaraan yang terjadi di dalam rumah tidak tersebar keluar rumah. Ia sangat jauh dari sifat khianat dan sifat mencuri. Dia juga pandai menjaga diri sehingga jauh dari tuduhan tuduhan sehingga ia tidak membawa kotoran (tuduhan-tuduhan jelek) dalam rumah kami.]

يِنَقَلَطَف ِنْيَتَناَمُرِب اَهِر ََْصِخ ِتْحَت ْنِم ِناَََبَعْلَي ِنْيَدََْهَفْلاَك اَََهَل ِناَدَََلَو اَََهَعَم لةَأَرََْما َيِقَلَف ُضَخَمُت ُباَطْوَلاَو ٍعْرَز وُبَأ َجَرَخ ْتَلاَق اَهَحَكَنَو Keluarlah Abu Zar’ pada saat tempat-tempat dituangkannya susu sedang digoyang-goyang agar keluar sari susunya, maka ia pun bertemu dengan seorang wanita bersama dua orang anaknya seperti dua ekor macan. Mereka berdua sedang bermain di dekatnya dengan dua buah delima. Maka iapun lalu menceraikanku dan menikahi wanita tersebut.

[Maksud perkataan di atas: Abu Zar’ suatu saat keluar di pagi hari pada waktu para pembantu dan para budak sedang sibuk bekerja dan diantara mereka ada yang sedang menggoyang-goyangkan (mengocok-ngocok) susu agar keluar sari susu tersebut. Kemudian ia bertemu dengan seorang wanita yang memiliki dua orang anak yang menunjukan bahwa wanita tersebut adalah wanita yang subur. Hal ini merupakan sebab tertariknya Abu Zar’ untuk menikahi wanita tersebut, karena orang Arab senang dengan wanita yang subur untuk memperbanyak keturunan. Dan sang wanita memiliki dua anak yang masih kecil-kecil yang menunjukan bahwa wanita tersebut masih muda belia. Akhirnya Abu Zar’pun menikahi wanita tersebut dan mencerai Ummu Zar’]

(27)

Setelah itu aku pun menikahi seoerang pria yang terkemuka yang menunggang kuda pilihan balap. Ia mengambil tombak khotthi lalu membawa tombak tersebut untuk berperang dan membawa ghonimah berupa onta yang banyak sekali. Ia memberiku sepasang hewan dari hewan-hewan yang disembelih dan berkata, “Makanlah wahai Ummu Zar’ dan berkunjunglah ke keluargamu dengan membawa makanan”. Kalau seandainya aku mengumpulkan semua yang diberikan olehnya maka tidak akan mencapai belanga terkecil Abu Zar’.

[Maksud perkataan di atas: Ummu Zar’ setelah itu menikahi seorang pria yang gagah perkasa yang sangat baik kepadanya hingga memberikannya makanan yang banyak, demikian juga pemberian yang lain, bahkan ia memerintahkannya untuk membawa pemberian-pemberian tersebut kepada keluarga Ummu Zar’. Namun meskipun demikian Ummu Zar’ kurang merasa bahagia dan selalu ingat kepada Abu Zar’.

Yang membedakan antara Abu Zar’ dan suaminya yang kedua adalah Abu Zar’ selalu berusaha mengambil hati istrinya, ia tidak hanya memenuhi kebutuhan istrinya akan tetapi kelembutannya dan kasih sayangnyalah yang telah memikat hati istrtinya. Ditambah lagi Abu Zar’ adalah suami pertama dari sang wanita.]

ٍع ْرَز ِمُ ِل ٍع ْرَز يبِأَك ِكَل ُتْنُك ملسو هيلع ا ىلص ِا ُل ْوُسَر َلاَق ُةَشِئاَع ْتَلاَق ‘Aisyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku bagimu seperti Abu Zar’ bagi Ummu Zar’.

Dalam riwayat lain Aisyah berkata

ٍع ْرَز يِبَأ ْنِم َيَلِإ ٌرْيَخ َتْنَأ ْلَب ِا َل ْوُسَر اَي “Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro 5: 358, no. 9139)

(28)

Kisah ini juga menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang selalu sayang dan perhatian kepada Aisyah. Berbeda dengan sebagian suami yang kasih sayangnya kepada istrinya hanya pada waktu-waktu tertentu saja, dan pada waktu-waktu yang lain tidak demikian. Kisah ini juga mengandung pelajaran bahwa sebaiknya suami berusaha untuk memperhatikan dan menyimak curhatan istrinya, meskipun agak lama seperti dalam kisah ini.

Demikian ulasan kita pada hari ini. Masih ada beberapa kewajiban suami yang belum penulis ulas. Moga bisa diteruskan dalam kesempatan yang lain.

Semoga Allah memudahkan kita menjadi suami idaman, penuh kelembutan, penuh kasih sayang dan amat perhatian pada istri. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:

Referensi

Dokumen terkait

oleh DJP dan KPP Pratama Cikarang Utara yakni dari segi keandalan, yakni perlu adanya pemilihan provider jaringan yang memiliki kualitas lebih bagus lagi agar masalah

NA KTHR Lestari Sarolangun adalah Kelompok pemilik hutan hak, tidak dipersyaratkan untuk memiliki dokumen lingkungan, sehingga verifier ini tidak diverifikasi lebih

• Wajib pajak orang pribadi yang sedang tidak menjalankan suatu usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan

Dalam membuat strategi, tentu saja Anda dapat dibantu oleh tim Anda atau mungkin ada karyawan Anda yang memiliki ide yang bisa ditampung4. Tetapi, mau bagaimana pun, Anda

Teknologi informasi dan komunikasi yang baru akan lebih bisa diterima jika memang menguntungkan pengguna – khususnya kaum perempuan, compatible, dan yang lebih penting

Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO), berdasarkan rata-rata kinerja keuangan dengan menggunakan rasio BOPO menunjukkan bahwa bank umum swasta memiliki nilai

[r]

Adapun perbedaan penelitian yang telah dilakukan dengan penelitian ini adalah objek penelitian, teori yang digunakan, dan teknik analisis data yang berbeda yakni penelitian ini