APLIKASI TEORI BEHAVIORISTIK DALAM PROSES BELAJAR MENGAJAR
A. Pendahuluan
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya
interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu apabila ia
mampu menunjukkan perubahan tingkah laku. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk
perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara
yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masuk atau input yang berupa stimulus dan keluaran
atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon
dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga
dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement)
penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan
ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu juga bila
penguatan dikurangi (negative reinforcement) respon pun akan tetap dikuatkan.
B. Pembahasan
1. Teori-Teori Belajar
Teori Koneksionisme Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan,
atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu ineraksi
yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Dari defenisi ini maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat
dari kegiatan belajar itu dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak
kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Teori Conditioning Watson
Menurut Watson, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus
dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan
dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia hal-hal tersebut sebagaifaktor yang tak
perlu diperhitungkan.
Teori Conditioning Edwin Guthrie
Dijelaskan bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara,
oleh sebab itu dalam kegiatan belajar perserta didik perlu sesering mungkin
diberikanstimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat tetap. Ia juga
mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka
diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut.
Teori Operant Conditioning Skinner
Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam
lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku. Teori Skinnerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik.
Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, pembelajaran berProgram-program, modul dan
program-program pembelajaranlain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon
serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
Teori Systematic Behavior Clark Hull
Dalam teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia,
2. Kelemahan dan kelebihan teori belajar
Teori behavioristik sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks,
sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan atau belajar yang
tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu
menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan
tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus
yang diberikan dengan responnya.
Namun kelebihan dari teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan
proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target
tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.
3. Aplikasi Dasar
Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa kegiatan belajar ditekankan sebagai aktivitas
“mimetic” yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari. Penyajian materi pelajaran mengikuti urutan dari bagian-bagian ke keseluruhan.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil, dan evaluasi menuntut satu jawaban
benar. Jawabanyang benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
C. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar menurut teori Behavioristik
merupakan perubahan tingkah laku sebagai akibatdari adanya interaksi antara stimulus dan
respon. Sedangkan apa yang terjadi di antara stimulus dan respon dianggap tidak penting
diperhatikan karena tidak bisa diamati. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran
behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement) penguatan adalah apa saja yang dapat
memperkuat timbulnya respon.
A.Teori-teori belajar psikologi behavioristik
Psikologi aliran behavioristik mulai mengalami pengembangan dengan lahirnya teori-teori
tentang belajar dipelopori oleh Thorndike, Pavlov, Watson, dan Gunthrie. Mereka
berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikakan oleh ganjaran (rewards) atau
penguatan (reinforcment)dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar
terdapat jalinan yang sangat erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasintya.
Para guru sekolah yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku
murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa
sekarang, dan bahwa semua tingkah laku adalah hasil belajar. Kita dapat menganalisa
kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcmet) pada
tingkah laku tersebut.
1.Connectism Theory
Teori belajar ini dikemukakan oleh Edward Thorndrik (1874-1949) yang kemudian
berpengaruh pada pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat. Thorndike berpendapat
bahwa belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon.
Teori ini sering pula disebut “Trial and Error learning”, individu yang belajar melakukan
kegiatan melalui proses “Trial and Error” dalam rangka memilih respon yang tepat bagi
stimulus tertentu. Ada beberapa hukum-hukum dalam teori “Trial and Error” menurut
Thorndike dalam hasil penelitiannya, yaitu:
a.Law of Readiness
Hukum ini berpendapat bahwa reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk
bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
b.Law of Exercise
c.Law of Effect
Hukum ini berpendapat, bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respon, dan dibarengi
oleh “State of Affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu akan menjadi lebih kuat.
Bilamana hubungan dibarengi “State of Affairs” yang mengganggu, maka kekuatan
hubungan menjadi kurang.
Ada beberapa ciri-ciri belajar dengan menggunakan “Trial and Error”, yaitu: (a) ada motif
pendorong aktifitas; (b) Ada berbagai respon terhadap situasi; (c) ada eliminasi respon-respon
yag gagal atau salah ; dan (d) ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.
2.Conditioning Theory
Teori ini dikemukakan dan dikembangkan pertama kali oleh John B. Watson di AS
(1878-1958). Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau
respon-respon bersyarat melalui stimulus penganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan
dengan refleks dan reaksi-reaksi emosional berupa takut, cinta, dan marah. Semua tingkah
laku lainya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus dan respon yang baru melalui
“conditioning”.
Salah satu percobaan yang terkenal adalah percobaan terhadap anak umur 11 tahun “Albert”
dengan seekor tikus putih. Percobaan itu memiliki kesimpulan I bahwa rasa takut dapat
timbul tanpa dipelajari dengan proses ekstinksi, dengan mengulang stimulus bersyarat tanpa
dibarengi stimulus tak bersyarat.
B.Teori-teori belajar Psikologi Kognitif
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar “Gestalt”. Peletak dasar
teori ini adalah Max Wertheimer (1880-1943) di Austria yang meneliti tentang pengaamatan
dan problem solving. Sumbangan ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang
menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang
Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang “insight’ pada simpanse.
Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam satu
keseluuhan. Orang yang belajar, mengamati stimulus dalam keseluruhan yang terorganisir,
bukan dalam bagian-bagian yang terpisah. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung
dalam situasi itu dan memperoleh “Insight” untuk pemecahan masalah. Suatu konsep yang
penting dalam psikologi gestalt adalah tentang “insight”, yaitu pengamatan atau pemahaman
mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam situasi pemasalahan.
Insight juga sering dihubungkan dengan pernyataan spontan seperti “Aha!” atau “Oh, I see
now”
1.Teori belajar “Cognitif-field”
Teori ini dikembangkan oleh Kurt Lewin (1892-1947) dengan menaruh perhatian pada
kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang bahwa masing-masing individu berada
di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana
individu bereaksi disebut sebagai”Life Space”. Life Space mencakup perwujudan lingkungan
dimana individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang iya umpai, objek material yang ia
hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku
merupakan hasil tindakan antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu
seperti; tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar diri individu, seperti;
tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin belajar berlangsung sebagai akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif yang dihasilkan dari dua macam kekuatan, satu dari
strukrtur medan kognisi itu sendiri dan dari kebutuhan dan motivasi internal individu.
2.Teori belajar discovery learning
secara aktif dalam belajar di kelas, dimana anak atau murid harus mampu mengorganisir
bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan “reception
learning” atau “expository teaching”, dimana guru menerangkan semua bahan atau informasi
itu. Di dalam buku itu Bruner melaporkan suatu hasil dari konferensi diantara para ahli
Science (ilmu pengetahuan alam. Dalam hal ini ia mengemukakan pendapat bahwa mata
pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui
cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat kea rah yang abstrak.
Salah satu cara program pengajaran yang efektif menurut Bruner, ialah dengan
mengkoordinasikan mode penyajian bahan dengan cara dimana anak itu dapat mempelajari
bahan itu, yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dimulai
dari tingkat representasi sensory (enactive) ke representasi concrit (iconic) dan akhirnya ke
tingkat representasi yang abstrak (simbolik). Demikian juga dalam penyusunan kurikulum
dari satu mata pelajaran, harus ditentukan oleh pengertian yang sangat fundamental bahwa
hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip yang memberikan struktur bagi mata
pelajaran itu. Maka dalam mengajar, murid harus mempelajari prinsip-prinsip itu sehingga
terbentuklah suatu disiplin dalam diri mereka. Sebalaiknya, seorang guru juga harus mampu
memberian kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solving, seorang
scientis, historin ataupun ahli matematika. Biarlah murid-murid tersebut mencari dan
menemukan arti bagi diri mereka sendiri sehingga pada akhirnya memungkinkan mereka
utuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang mudah di mengerti oleh mereka.
C.Perbedaan Antara teori belajar Behaviouristik dengan teori belajar Kognitif (Gestalt)
Dari beberapa penjelasan teori belajar di atas, baik dari aliran behaviouristik maupun dari
aliran kognitif (gestalt), dapat kita tarik suatu perbedaan yang mendasar, yaitu dimana para
ahli psikologi behaviouristik lebih menitikberatkan proses hubungan
“Stimulus-respon-reinforcment” sebagai bagian terpenting dalam belajar. Pendapat tersebut di tentang oleh para
ahli psikologi kognitif, menurut mereka tingkah laku atau belajar seseorang senantiasa
didasari pada kondisi kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana
tingah laku itu terjadi. Jadi mereka berpandangan bahwa tingkah lakuseseorang bergantung
pada “Insight” daripada “Trial and error” terhadap hubungan-hubungan yang ada di dalam
suatu situasi. Orang yang belajar, menurut ahli kognitf lebih mengamati stimuli dalam
keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian-bagian yag terpisah.
TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN
A. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan
(reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan
semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka
responpun akan semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and
Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4)
Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of
Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin
Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik.
a.1 Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang
dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau
gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud
konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati.
Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori
Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum
kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu
dapat memperkuat respon.
a.2 Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama
proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan
diukur.
a.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk
menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles
Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction)
adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam.
Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi
biologis (Bell, Gredler, 1991).
a.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat
terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan
jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar.
Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku
seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
a.5 Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para
tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih
komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui
interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon
yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan
saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang
dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh
karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan
antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut.
Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental
sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
B. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku
dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam
berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya
merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun
secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak
pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat
(reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang
dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar
yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan
dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini
tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan
stimulus dan respon.
tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya
stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh
pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak
kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses
pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu,
sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal
banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak
sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan
digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan
berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada
beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si
terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan
buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si
terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang
diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan
(sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada,
sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi
semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika
siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi
jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan
malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya,
maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan
positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun
bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi
agar memperkuat respons.
D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori
behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar
sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill
atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai
hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat,
reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam
teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)ke orang
yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur
pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah,
sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama
terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru
itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang
selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal yang nyata dan dapat diamati sehingga
hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis
dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau
robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada
pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan
teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas
dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial
dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin.
Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai
kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan
sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan
dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang
berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum
secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
http://fuadmje.wordpress.com/2011/11/05/aplikasi-teori-behavioristik-dalam-proses-belajar-mengajar/
Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam tautan di bawah ini akan dikemukakan empat jenis teori belajar, yaitu: (A) teori behaviorisme; (B) teori belajar kognitif menurut Piaget; (C) teori pemrosesan informasi dari Gagne, dan (D) teori belajar gestalt.
A. Teori Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1.Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya:
Law of Effec; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Law of Rfadinfss; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa
kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Law of Exfreisf; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
2.Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
Law of Rfspondfnc Condicioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut.
Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
Law of Rfspondfnc Excinecion yakni hukum pemusnahan yang dituntut.
3. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
Law of opfranc eondicining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
Law of opfranc fxcinecion yaitu jika timbulnya perilaku operant telah
diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan opfranc adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Rfinforefr itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam elassieal eondicioning.
4.Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori obsfrvacional lfarning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imicacion) dan penyajian contoh perilaku (modfling). Teori ini juga masih memandang pentingnya eondicioning. Melalui pemberian rfward dan punishmfnc, seorang individu akan berfkir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebut Conciguicy Thfory yang menghasilkan Metode Ambang (chf crfshold mfchod), metode meletihkan (Thf Faciguf Mfchod) dan Metode rangsangan tak serasi (Thf Ineompaciblf Rfsponsf Mfchod), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
B.Teori Belajar Kognitif menurut Piaget
from chf fnvironmfnc, whieh may mfan ehanging chf fvidfnef of chfir sfnsfs co makf ic fct dan akomodasi adalah “chf diffrfnef madf co onf’s mind or eonefpcs by chf proefss of assimilaciont
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fsik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfkir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfkir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
C.Teori Pemrosesan Informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.
D. Teori Belajar Gestalt
1. Hubungan bentuk dan latar (fgurf and gound rflacionship); yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu fgurf (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan fgure dari latar belakang. Bila fgure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan fgure.
2. Kedekatan (proxmicy); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similaricy); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
4. Arah bersama (eommon dirfecion); bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu fgure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplieicy); bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (elosurf) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografs dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografs adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografs).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (mfaningful lfarning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifkasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposivf bfhavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (liff spaef); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfgurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfgurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
TEORI-TEORI BELAJAR DAN
PENERAPANNYA DALAM
PEMBELAJARAN IPS
1. A. Teori belajar behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran IPS
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada
terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat
menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive
reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon
dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.
1. 1. Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
Watson mendefnisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati
(observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
1. 3. Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap
bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
1. 4. Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishmfnc) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang. Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
1. 5. Teori Belajar Menurut Skinner
sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku
seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana rfinforefmfnc dan punishmfnc menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu
keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Tfaehing Maehinf, Pembelajaran berProgram-program, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (rfinforefmfnc), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfkir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar
menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran IPS
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran IPS tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur
dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (cransffr of knowlfdgf) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan
menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi,
bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/ buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah
menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.
1. A. Teori belajar Kognitifstik dan Penerapannya dalam Pembelajaran IPS
Tidak seperti halnya belajar menurut perspektif behavioris dimana perilaku manusia tunduk pada peneguhan dan hukuman, pada perspektif kognitif ternyata ditemui tiap individu justru merencakan respons perilakunya, menggunakan berbagai cara yang bisa membantu dia mengingat serta
mengelola pengetahuan secara unik dan lebih berarti. Teori belajar yang berasal dari aliran psikologi kognitif ini menelaah bagaimana orang berpikir, mempelajari konsep dan menyelesaikan masalah. Hal yang menjadi pembahasan sehubungan dengan teori belajar ini adalah tentang jenis pengetahuan dan memori.
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa yang telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi, dipelajari, diingat ataupun
dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset terapan
tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa
pengetahuan dasar yang luas ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia sekalipun. Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang baik tentu akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
Pfngfcahuan Dfklaracif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
Pfngfcahuan Prosfdural, yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya “pengetahuan bagaimana”.
Pfngfcahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan
mengapa” pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan.
Pengetahuan deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa berupa pengetahuan tentang fakta (misalnya, bumi berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi (setiap benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih dahulu).
Menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan tersebut maka dia sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui rumus tertentu atau
menterjemahkan teks bahasa Inggris adalah contoh kemampuan pengetahuan prosedural lainnya. Seperti halnya siswa yang mampu berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia sudah menguasai pengetahuan prosedural hal tersebut, dengan kata lain penguasaan pengetahuan ini juga dicirikan oleh praktek yang dilakukan.
Sedangkan pengetahuan kondisional adalah kemampuan untuk dapat mengaplikasikan kedua jenis pengetahuan di atas. Dalam menyelesaikan persoalan perhitungan kimia misalnya, siswa harus dapat mengidentifkasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan deklaratif) sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional ini jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa, karena
Hal yang sangat penting jadinya untuk mengidentifkasi jenis pengetahuan ini bagi guru ketika mengajar. Mempelajari informasi tentang pokok bahasan
tertentu tidak selalu menyebabkan siswa akan menggunakan informasi tersebut. Tidak juga latihan menyelesaikan banyak soal pada topik bahasan tertentu, akan membantu mereka memahami satu prinsip lebih mendalam. Mengetahui sesuatu topik, mengetahui prosedural penyelesaian masalah serta tahu kapan dan
mengapa menggunakan pengetahuan tersebut adalah hasil belajar yang
berbeda-beda, dan tentu saja ini perlu diajarkan dengan cara yang berbeda pula.
1. 2. Model Pengolahan Informasi
Untuk menggunakan tiga jenis pengetahuan di atas, tentunya kita harus dapat mengingatnya dengan baik. Hal berikutnya teori belajar yang dibahas dalam perspektif kognitif ini adalah tentang bagaimana individu mengingat dan bagian apa saja dari memori yang bekerja dalam proses berpikir seperti pada
pemecahan masalah. Model pengolahan informasi merupakan salah satu model dari perspektif teori belajar ini yang menjelaskan kerja memori manusia sesuai dengan analogi komputer, yang meliputi tiga macam sistem penyimpanan ingatan: memori sensori, memori kerja dan memori jangka panjang.
1. Mfmori Sfnsori adalah sistem mengingat stimuli secara cepat sehingga analisis persepsi dapat terjadi.
2. Mfmori Kfrja atau memori jangka pendek, menyimpan lima sampai sembilan informasi pada satu waktu sampai sekitar 20 detik, yang cukup lama untuk pengolahan informasi terjadi. Informasi yang dikodekan (dfeodf) serta persepsi tiap individu akan menentukan apa yang perlu disimpan di memori kerja ini.
3. Mfmori Jangka Panjang menyimpan informasi yang sangat besar dalam waktu yang lama. Informasi di dalamnya disimpan dalam bentuk secara verbal dan visual.
Memori Sensori
Memori sensori adalah sistem yang bekerja seketika melalui alat indera dinama kita memberikan arti kepada stimuli yang datang dinamakan pfrsfpsi. Arti yang diberikan berasal dari realitas objektif serta dari pengetahuan kita sebelumnya. Contohnya, suatu symbol ‘l’ akan dipersepsi sebagai huruf alpabet tertentu kalau kita menggolongkannya dalam urutan j, k. l, m; namun dalam kesempatan berbeda seperti l, 2, 3, 4 maka symbol yang sama bermakna angka satu. Memori sensori akan menangkap stimuli dan mempersepsi, atau memberikan makna; dalam hal ‘l’ konteks dan pengetahuan kita akan menentukan makna yang akan diberikan, bagi seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang angka atau huruf, maka symbol itu kemungkinan tidak bermakna apapun. Misalnya teks yang Anda baca saat ini akan dipersepsi berbeda oleh orang lain yang tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun yang buta huruf, walaupun matanya melihat deretan simbol yang sama seperti Anda; ataupun saat kita membaca huruf kanji dari koran berbahasa Jepang dimana kita tidak punya kemampuan untuk
harus dipersepsi secara simultan. Namun karena keterbatasan kemampuan, kita hanya dapat memfokuskan pada beberapa stimuli saja dan mengingkari yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian sangatlah selektif; dengan kata lain saat perhatian penuh sangat diperlukan, biasanya stimuli lainnya akan ditolak.
Perhatian adalah tahap pertama dalam belajar. Siswa tidak dapat memahami apa yang mereka tidak kenali atau tidak dapat dipersepsi. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi perhatian siswa. Tampilan atau aksi yang dramatis dapat mencuri perhatian siswa pada awal pembelajaran. Cara lainnya adalah melalui perlakuan pada kata yang diucapkan atau ditulis oleh guru dengan warna yang kontras, digaris bawahi atau ditandai; memangil siswa secara acak, memberikan kejutan siswa, menanyakan hal yang menantang, memberikan masalah yang dilematis, mengubah metoda mengajar dan tugas, mengubah frekuensi suara dan jedanya akan dapat membantu menarik perhatian dari siswa. Namun menarik perhatian siswa adalah hal pertama, membuat mereka untuk tetap fokus pada pelajaran dan tugasnya juga hal yang kritis berikutnya harus dilakukan oleh guru.
Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal, yaitu :
(1) suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2) kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah
berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).
manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.
Carl Ransom Rogers
Carl Ransom Rogers (1902-1987) lahir di Oak Park, Illinois pada tanggal 8
Januari 1902 di sebuah keluarga Protestan yang fundamentalis. Kepindahan dari kota ke daerah pertanian diusianya yang ke-12, membuat ia senang akan ilmu pertanian. Ia pun belajar pertanian di Universitas Wisconsin. Setelah lulus pada tahun 1924, ia masuk ke Union Theology Seminary di Big Apple dan selama masa studinya ia juga menjadi seorang pastor di sebuah gereja kecil. Meskipun belajar di seminari, ia malah ikut kuliah di Teacher College yang bertetangga dengan seminarinya.
Tahun 1927, Rogers bekerja di Institute for Child Guindance dan mengunakan psikoanalisa Freud dalam terapinya meskipun ia sendiri tidak menyetujui teori Freud. Pada masa ini, Rogers juga banyak dipengaruhi oleh Otto Rank dan John Dewey yang memperkenalkan terapi klinis. Perbedaan teori yang didapatkannya justru membuatnya menemukang benang merah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan teorinya kelak.
Tahun 1957, Rogers pindah ke Universitas Wisconsin untuk mengembangkan idenya tentang psikiatri. Setelah mendapat gelar doktor, Rogers menjadi profesor psikologi di Universitas Universitas Negeri Ohio. Kepindahan dari lingkungan klinis ke lingkungan akademik membuat Rogers mengembangkan metode client-centered psychotherapy. Disini dia lebih senang menggunakan istilah klien terhadap orang yang berkonsultasi dibandingkan memakai istilah pasien.
Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:
Kognitif (kebermaknaan)
Kecewa karena tidak bisa menyatukan psikiatri dengan psikolog, Rogers pindah ke California tahun 1964 dan bergabung dengan Western Behavioral Science Institute. Ia lalu mengembangkan teorinya ke bidang pendidikan. Selain itu ia banyak memberikan workshop di Hongaria, Brazil, Afrika Selatan, dan bahkan ke eks Uni Soviet. Rogers wafat pada tanggal 4 Februari 1987.
Teori Humanistik Carl Rogers
Meskipun teori yang dikemukan Rogers adalah salah satu dari teori holistik, namun keunikan teori adalah sifat humanis yang terkandung didalamnya. Teori humanistik Rogers pun menpunyai berbagai nama antara lain : teori yang berpusat pada pribadi (person centered), non-directive, klien (client-centered), teori yang berpusat pada murid (student-centered), teori yang berpusat pada kelompok (group centered), dan person to person). Namun istilah person centered yang sering digunakan untuk teori Rogers.
Rogers menyebut teorinya bersifat humanis dan menolak pesimisme suram dan putus asa dalam psikoanalisis serta menentang teori behaviorisme yang
memandang manusia seperti robot. Teori humanisme Rogers lebih penuh harapan dan optimis tentang manusia karena manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Dasar teori ini sesuai dengan pengertian
humanisme pada umumnya, dimana humanisme adalah doktrin, sikap, dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu.
Asumsi dasar teori Rogers adalah:
- Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
Kecenderungan setiap makhluk hidup untuk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
Struktur Kepribadian menurut Rogers
Sejak awal Rogers mengamati bagaimana kepribadian berubah dan
berkembang, dan ada tiga konstruk yang menjadi dasar penting dalam teorinya: Organisme, Medan fenomena, dan self.
1. Organisme
Pengertian organisme mencakup tiga hal:
makhluk hidup
organisme adalah mahkluk lengkap dengan fungsi fsik dan psikologisnya dan merupakan tempat semua pengalaman, potensi yang terdapat dalam kesadaran setiap saat, yakni persepsi seseorang mengenai kejadian yang terjadi dalam diri dan dunia eksternal
Realitas Subyektif
Oranisme menganggap dunia seperti yang dialami dan diamatinya. Realita adalah persepsi yang sifatnya subyektif dan dapat membentuk tingkah laku.
Holisme
Organisme adalah satu kesatuan sistem, sehingga perubahan dalam satu bagian akan berpengaruh pada bagian lain. Setiap perubahan memiliki makna pribadi dan bertujuan, yaitu tujuan mengaktualisasi, mempertahankan, dan
2. Medan Fenomena
Medan fenomena adalah keseluruhan pengalaman, baik yang internal maupun eksternal, baik disadari maupun tidak disadari. Medan fenomena ini merupakan seluruh pengalaman pribadi seseorang sepanjang hidupnya di dunia,
sebagaimana persepsi subyektifnya.
3. Diri
Konsep diri mulai terbentuk mulai masa balita ketika potongan-potongan
pengalaman membentuk kepribadiannya dan menjadi semakin mawas diri akan identitas dirinya begitu bayi mulai belajar apa yang terasa baik atau buruk, apa ia merasa nyaman atau tidak. Jika struktur diri itu sudah terbentuk, maka
aktualisasi diri mulai terbentuk. Aktualisasi diri adalah kecenderungan untuk mengaktualisasikan sang diri sebagai mana yang dirasakan dalam kesadaran. Sehingga kecenderungan aktualisasi tersebut mengacu kepada pengalaman organik individual, sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh, akan kesadaran dan ketidak-sadaran, psikis dan kognitif.
Diri dibagi atas 2 subsistem :
Konsep diri yaitu penggabungan seluruh aspek keberadaan dan pengalaman seseorang yang disadari oleh individual (meski tidak selalu akurat).
Diri ideal yaitu cita-cita seseorang akan diri.
Terjadinya kesenjangan antara konsep diri dan diri ideal akan menyebabkan ketidak-seimbangan dan kepribadian menjadi tidak sehat.
Menurut Carl Rogers ada beberapa hal yang mempengaruhi Self, yaitu:
1. Kesadaran
- Pengalaman yang dirasakan dibawah ambang sadar akan ditolak atau disangkal.
- Pengalaman yang dapat diaktualisasikan secara simbolis akan secara langsung diakui oleh struktur diri.
- Pengalaman yang dirasakan dalam bentuk distorsi. Jika pengalaman yang dirasakan tidak sesuai dengan diri (self), maka dibentuk kembali dan
didistorsikan sehingga dapat diasimilasikan oleh konsep diri.
2. Kebutuhan
- Pemeliharaan
Pemeliharaan tubuh organismik dan pemuasannya akan makanan, air, udara, dan keamanan , sehingga tubuh cenderung ingin untuk statis dan menolak untuk berkembang.
- Peningkatan diri
Meskipun tubuh menolak untuk berkembang, namun diri juga mempunyai kemampuan untuk belajar dan berubah.
- Penghargaan positif (positive regard)
Begitu kesadaran muncul, kebutuhan untuk dicintai, disukai, atau diterima oleh orang lain.
Berkembangannya kebutuhan akan penghargaan diri (self-regard) sebagai hasil dari pengalaman dengan kepuasan atau frustasi. Diri akan menghindari frustasi dengan mencari kepuasan akan positive self-regard.
3. Stagnasi Psikis
Stagnasi psikis terjadi bila :
- ada ketidak seimbangan antara konsep diri dengan pengalaman yang dirasakan oleh diri organis.
- Ketimpangan yang semakin besar antara konsep diri dengan pengalaman organis membuat seseorang menjadi mudah terkena serangan. Kurang akan kesadaran diri akan membuat seseorang berperilaku tidak logis, bukan hanya untuk orang lain namun juga untuk dirinya.
- Jika kesadaran diri tersebut hilang, maka muncul kegelisahan tanpa sebab dan akan memuncak menjadi ancaman.
Untuk mencegah tidak konsistennya pengalaman organik dengan konsep diri, maka perlu diadakan pertahanan diri dari kegelisahan dan ancaman adalah penyangkalan dan distorsi terhadap pengalaman yang tidak konsisten. Distorsi adalah salah interpretasi pengalaman dengan konsep diri, sedangkan
penyangkalan adalah penolakan terhadap pengalaman. Keduanya menjaga konsistensi antara pengalaman dan konsep diri supaya berimbang.
Cara pertahanan adalah karakteristik untuk orang normal dan neurotik. Jika seseorang gagal dalam menerapkan pertahanan tersebut, maka individu akan menjadi tidak terkendali atau psikotik. Individu dipaksakan untuk menerima keadaan yang tidak sesuai dengan konsep dirinya terus menerus dan akhirnya konsep dirinya menjadi hancur. Perilaku tidak terkendali ini dapat muncul mendadak atau dapat pula muncul bertahap.