• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Trend Multikulturalisme dalam Aras Pendidikan di Pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Trend Multikulturalisme dalam Aras Pendidikan di Pesantren"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Trend Multikulturalisme dalam Aras Pendidikan di Pesantren

Ilman Nafi‟an

Abstract

Pesantren is an Islamic educational institution that has a style typical of Indonesia (indigenous). In other Islamic countries there is no institution that has the characteristics and traditions just like boarding school, although there may be a particular institution insome other countries are considered to have similarities with the boarding schools, such as ribâth, insistence dâkhilî, or Jam `iyya. But the feature of pesantren in Indonesia distinctly unique, because it is closely linked with the history and process of the spread of Islam in Indonesia. Indigenous education is what makes the world of boarding schools still exist and brave in the midst of the siege of cultural modernity is increasingly growing.

The dynamics of the journey can not be separated from the minor assumption, assessment, stigma and labeling, especially in matters of traditionality. But it was still notable to break down historical roots so strongly embedded in local culture of this level. Pesantren since long survival in the history of education in Indonesia. Pesantren attached to the "status" as a traditional educational institution puritanical, extreme and radical. Pesantren unfairly discredited as a place of preservation of the teachings of Islam an intolerant and non-cooperative. Pesantren claimed to be a base camp where producing cadres of militant terrorists with its main enemy of the United States and its accomplices. On the other hand,

plurality, multicultural considered a “product of discourse” which accidentally

transmitted effectively, massive and intensive, through various channels of information technology by the West. Therefore this paper will explore further how the actual strategic role of school, especially in responding to contemporary realities of a pluralistic and multicultural it.

Keywords: Pesantren, Multicultural, Pluralistic, Islamic Education, Traditional Education.

Pendahuluan

(2)

2 Bagi orang jawa, persoalan menghargai perbedaan (teposliro), saling menghormati, gotong royong tanpa melihat asal usul seseorang justru sudah dilaksanakan berabad-abad lamanya. Sehingga bagi komunitas masyarakat jawa sudah sangat terbiasa menghadapi realitas perbedaan manusia dengan segala kekurangan dan kelebihan. Namun seiring dengan dinamika, perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya masyarakat, kebiasaan masyarakat dalam menghadapi perbedaan tersebut di atas mulai memudar dengan menguatnya identitas lokal. Masyarakat Indonesia yang dulunya dikenal familiar, santun, humanis, kini menjadi beringas, individualis, hedonis, pragmatis dan opportunis.

Sejarah membuktikan fenomena kekerasan di berbagai belahan bumi nusantara yang berbau ras, agama dan etnis. Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun terakhir ini, pertumpahan darah dan konflik terjadi secara hampir berurutan. Diawali dari peristiwa G.30.S, di mana peristiwa tersebut masih menjadi pertanyaan besar masyarakat. Kekerasan etnis China di Jakarta tahun 1998, konflik antara Islam-Kristen Maluku tahun 1999-2003, konflik suku antara suku Dayak dan Madura tahun 2000, konflik suku di Papua yang menelan korban ratusan nyawa,1 termasuk pro-kontra seputar pembahasan RUU APP. Beberapa

demonstrasi yang digelar untuk mendukung atau menolak RUU itu berakhir rusuh bahkan lebih menyerang pribadi seseorang. Dalam masyarakat yang mengedepankan musyawarah dan dialog sebagai ciri masyarakat sipil, mengedepankan pribadi, apalagi menjelek-jelekkan seseorang merupakan pelanggaran dalam dunia masyarakat sipil. Semua ini secara hipotesis membuktikan, bahwa masyarakat Indonesia belum siap menghadapi perbedaan.

Merespon berbagai anarkhisme tersebut, diskursus dan implementasi multikulturalisme menemukan tempatnya yang berarti dan tentu saja pendidikan agama, dalam hal ini pondok pesantren (selanjutnya disebut pesantren) menjadi satu faktor penting. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa pesantren sebagai objek kajian dalam tulisan ini? Hal ini berdasar atas asumsi yang berkembang (common sense) bahwa sebagai institusi pendidikan yang sangat concern dalam bidang pengajaran agama Islam dan pembinaan akhlak masyarakat, pesantren dikenal alergi dengan perubahan dan kemajuan.

Pesantren dilekatkan dengan “status” sebagai lembaga pendidikan

tradisional yang puritan, ekstrim dan radikal. Pesantren secara tidak fair disudutkan sebagai tempat pelestarian ajaran Islam yang intoleran dan non kooperatif. Pesantren diklaim menjadi basecamp tempat memproduksi kader-kader teroris militan dengan musuh utamanya Amerika Serikat beserta para anteknya.2

Sementara pada sisi yang lain, pluralitas-multikultural dianggap sebagai ”produk

wacana” yang sengaja ditularkan secara efektif, massive dan intensif, melalui berbagai saluran teknologi informasi yang ada oleh negara Barat. Karenanya tulisan ini akan mengeksplorasi lebih jauh bagaimana sebenarnya peran strategis

1 Martin Van Bruinessen, "Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia", Southeast Asia Research no 2, 2002, hlm. 117.

2 Bruinessen, “Global and local in Indonesian Islam”, Southeast Asian Studies (Kyoto) vol. 37, no.2

(3)

3 dari Pesantren, terutama dalam merespon realitas kekinian yang plural dan multikultur itu.

Pengertian Multikulturalisme

Istilah “multicultural” dilihat dari formalitas istilah disebut sesuatu yang

baru. Tetapi dilihat dari substansi atau maknanya bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam bukan merupakan hal yang baru. Multikultural sebagai jelmaan dari kesiapan untuk menerima perbedaan,3 yang dianggap sebagai

sunatullah (kodrati) sudah jelas ada dalam Islam. Bahkan perbedaan bisa dijadikan sebagai sarana untuk menciptakan kesejahteraan bagi umat (ikhtilaful ummati rahmatun).

Terkait dengan term multukulturalisme, sebenarnya ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidak merepresentasikan hal

yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ‟ketidaktunggalan‟. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‟hal-hal yang lebih dari satu‟ (many).

Keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ‟lebih dari satu‟ itu berbeda -beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Dibandingkan dua konsep terdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru. Secara konseptual terdapat perbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.

Dengan kata lain, apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dan adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuah gerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)4 terhadap semua perbedaan sebagai entitas

dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamin eksisitensinya.

3 Scott Lash dan Mike Featherstone (ed.), Recognition And Difference: Politics, Identity, Multiculture

(London: Sage Publication, 2002), hlm. 2-6.

4 Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka di

Princenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajian lain, filsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseau dalam Discourse Inequality

dan kesamaan martabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskan Immanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabat manusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karena itu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua element sosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam

(4)

4 Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal, termasuk perbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yang dikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense. Menurut Bikhu Parekh, perbedaan tersebut bisa dikategorikan dalam tiga hal -salah satu atau lebih dari tiga hal- yaitu; Pertama, perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atau sekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku; Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau kelompok dengan perspektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut oleh mayoritas masyarakat di sekitarnya; Ketiga, perbedaan komunalitas (communal diversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuine sesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).5

Menurut Bhikhu Parekh, multukulturalisme baru pertama kali muncul menjadi sebuah gerakan pada sekitar tahun 1970-an di Kanada dan Australia, kemudian di Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalisme berkembang dengan sangat cepat. Setelah tiga dekade sejak digulirkannya, multikulturalisme sudah mengalami dua gelombang penting yaitu; Pertama, multikulturalisme dalam konteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda. Prinsip kebutuhan terhadap pengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini; Gelombang kedua adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yang mengalami beberapa tahapan, di antaranya:6 kebutuhan atas pengakuan, melibatkan berbagai

disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme, gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat aseli/masyarakat adat (indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenisme dan post-strukturalisme yang mendekonstruksi struktur kemapanan dalam masyarakat.7

Menurut Steve Fuller, multikulturalisme gelombang kedua tersebut pada gilirannya memunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu; Pertama, adanya hegemoni Barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu mempelajari sebab-sebab dari hegemoni Barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkah-langkah seperlunya mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia Barat;8 Kedua, esensialisasi budaya. Dalam

hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budaya tanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme. Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnya merugikan komunitas itu

5 Ibid, hlm. 3-4.

6 H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. 83.

7 Gregory Jay. “Critical Contexts For Multiculturalism” dalam http://www.uwm.edu/~gjay/Multicult/ contextsmulticult.htm, download 2 Desember 2005.

8 Kymlica W. Multicultural, Citizenship: a Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Clarendon

(5)

5 sendiri di dalam era globalisasi; Ketiga, proses globalisasi, bahwa globalisasi bisa memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.9

Oleh karena itu untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentang multikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi mendasar yang harus diperhatikan dalam kajian ini, yaitu; Pertama, pada dasarnya manusia akan terikat dengan struktur dan sistem budayanya sendiri di mana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan ini tidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut, akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatu berdasarkan budayanya tersebut; Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi dari sistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula.

Oleh karena itu, suatu budaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial dan memerlukan budaya lain untuk memahaminya. Sehingga tidak satu budaya pun yang berhak memaksakan budayanya kepada sistem budaya lain;10 Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internal merupakan entitas

yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi dan untaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.11Oleh karena itu tepat kiranya jika Parekh menulis: “a culture‟s relation to

itself shapes and is turn shaped by its relation to others, and their internal and external pluralities presuppose and reinforce each other. A culture cannot appreciate the value of other unless it appreciates the plurality within it”12

Pesantren di Era Multikulturalisme

Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki corak khas keindonesiaan (indigenous). Di negara-negara Islam lainnya tidak ada lembaga pendidikan yang memiliki ciri dan tradisi persis seperti pesantren, walau mungkin ada lembaga pendidikan tertentu di beberapa negara lain yang dianggap memiliki kemiripan dengan pesantren, seperti ribâth, sakan dâkhilî, atau jam‟iyyah. Namun ciri pesantren yang ada di Indonesia jelas khas keindonesiaannya, karena berhubungan erat dengan sejarah dan proses penyebaran Islam di Indonesia. Hal itu bisa dilihat pada zaman penjajahan. Saat itu, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren. Hal itu mengisyaratkan bahwa eksistensi pendidikan pesantren tidak pernah lepas dari spirit perjuangan bangsa untuk merajut integritas yang kokoh.13

Dalam lembaran sejarah, banyak gerakan perlawanan itu dimotori oleh para penghuni pesantren. Lihat saja misalnya pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi

9 Mahalingan dan Cameron McCarthy, Multiculturalism Curriculum, 2002. hlm. 15-36 sebagaimana

dikutif oleh Tilaar, Multikulturalisme….Ibid., hlm. 84-85.

10 Raz J.The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986), hlm. 375.

11Bikhu Parekh. “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999. Raz J. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996), hlm. 177.

12 Parekh, Jurnal India Seminar…Ibid.

13 Achmad Fatchan dan Basrowi. Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa (Surabaya: Yayasan

(6)

6 Kalisalak 1786-1875) dan lain sebagainya. Dari sini dapat dipahami bahwa sebagai medan pendidikan agama (Islam), pesantren memiliki basis sosial yang jelas. Karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada titik ini, pesantren tidak hanya identik dengan makna ke-Islam-an tetapi karakter eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya.14 Karena itu tidak salah kiranya C. Geertz menyebutnya sebagai

subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa).15 Subkultur di sini bermakna

pula, bahwa pesantren memiliki keunikannya tersendiri dalam aspek-aspek berikut; cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditatati sepenuhnya.

Indigeneous inilah yang menjadikan dunia pendidikan pesantren tetap eksis dan tegar di tengah kepungan budaya modernitas yang kian membrutal. Lika-liku perjalanannya sarat dengan anggapan minor, penilaian miring, hujatan, stigma dan labelisasi, utamanya dalam persoalan ketradisionalannya. Namun hal itu tetap tak menggoyahkan akar kesejarahannya yang menancap begitu kuat di aras kultur lokal ini. Pesantren sejak lama tetap survive dalam sejarah perkembangan pendidikan Indonesia. Ia telah terbukti banyak memberi sumbangan bagi upaya mewujudkan idealisme pendidikan nasional, yang bukan sekedar hanya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) pada aspek penguasaan sains dan tekhnologi an sich, melainkan juga lebih concern dalam mencetak warga negara Indonesia yang memiliki ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terutama dalam memupuk generasi yang bermoral baik (akhlaq al-karimah)16.

Terlepas dari itu, dinamika perjalanan pesantren tak selamanya mulus. Ia harus berkelit-kelindang dalam tiap fase kesejarahan dengan tingkat problem yang berbeda. Perkembangan dewasa ini menunjukan indikasi lain, di mana pesantren kini dituding sebagai sarang teroris yang mensahkan aksi kekerasan atas nama agama. Penghuninya dicap ekslusif, jumud, kaku, dan tidak toleran.17

Tudingan ini lahir bukan tanpa evidences. Tertangkapnya Imam Samudra dan Amrozi cs, lima tahun silam, sebagai pelaku peledakan bom di Bali dan berbagai tindak pengrusakan yang dilakukan para santri atas fasilitas publik di berbagai wilayah Indonesia menguatkan tudingan tersebut. Pelaku tersebut, meski sebagian kecil saja ternyata jebolan pesantren. Wajar saja jika tudingan dialamatkan ke institusi ini. Sejak peristiwa itu, Islamphobia merebak menghantui orang-orang Barat di Indonesia, khususnya ketakutan terhadap alumnus pesantren. Karenanya, menarik untuk kembali menelusuri benarkah kalangan pesanten mensahkan tindak kekerasan dan tidak ramah terhadap perbedaan? Apa sebenarnya akar dari munculnya prasangka orang atas sikap eksklusifitas dalam tubuh pesantren? Jawaban atas kedua pertanyaan ini akan dapat tersingkap bila

14 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994),

hlm. 17.

15 Clifford C. Geertz, The Religion of Java (Glencoe, IL: Free Press, 1960), hlm. 7.

16 Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan

PT Rineka Cipta, 1991), 71.

(7)

7 ditelusuri ulang melalui pembelajaran pendidikan agama yang ditransformasikan bagi para santri di pesantren.

Ekslusifitas Pendidikan Agama di Pesantren

Selama Orde Baru (Orba), pendidikan agama pada umumnya di Indonesia hanya sebagai proses pemenuhan kewajiban yang cenderung bersifat proyek instan, sehingga yang terjadi hanya sekedar pembentukan manusia yang siap kerja dan menjadi pegawai di berbagai instansi agama. Pendidikan agama dalam bingkai ini hanya sekedar berorientasi pada transfer ilmu pengetahuan agama, sementara aspek pembentukan sikap, kepribadian, mental, dan kreativitas jauh dari jangkauan pendidikan agama. Hasil pendidikan agama model Orba tidak mengajarkan atau bahkan menjauhi sikap keberagamaan yang pluralis-inklusif. Dan karena materi itu yang selama ini terinternalisasi dalam sel-sel otak siswa, maka yang tumbuh kemudian adalah sikap kebenaran dan pembelaan pada keyakinan agamanya sendiri.

Mengingat pendidikan agama pada zaman Orde Baru hanya berorientasi

pada „kamuflase‟ pengajaran agama, maka siswa pun hanya menjadi obyek yang

bisa dibentuk sesuai kemauan guru. Meminjam istilah Paulo Freire, siswa menjadi manusia yang hanya memiliki kesadaran magis, menerima semua yang diterima sebagai kebenaran mutlak, tanpa kesadaran kritis. Padahal, pendidikan sebenarnya pembentukan manusia sempurna yang hadir melalui proses dialogis, penghargaan kemanusiaan, dan saling menekankan kebebasan dan keadilan.18

Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pesantren mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda. Pesantren kini sedang dipertanyakan eksistensinya dan mendapatkan tantangan yang serius, karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari ekslusifitas beragama. Pesantren melalui rahimnya diklaim kurang mampu melahirkan masyarakat yang menghargai pluralisme dan perbedaan. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Syamsudini ditemukan, bahwa pendidikan agama yang diajarkan oleh para ustadz di pesantren pada umumnya dinilai hanya menekankan ajaran agama yang bersifat teologis-dogmatis, sehingga makin terbentuklah chauvinisme rasa kebenaran pada agamanya sendiri. Sehingga dampaknya pengajaran agama menjadi kurang menyentuh aspek realitas sosial yang sesungguhnya, tidak sampai pada persoalan aksi nyata dari proses perilaku keagamaan.19

Ironisnya, di beberapa pesantren klasik tradisional, tidak jarang ditemukan adanya wacana kafir-iman, muslim-non muslim, sorga-neraka sering kali menjadi bahan pemetaan ideologis di dalam kelas yang selalu diindoktrinasi. Pelajaran teologi diajarkan hanya sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Fenomena ini tumbuh subur di dalam pesantren. Pemahaman agama yang ekslusif-doktrinal ini telah menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara amat berbeda, bahkan bermusuhan. Kondisi inilah yang

(8)

8 menjadikan lembaga pendidikan Islam sangat ekslusif dan tidak toleran terhadap pendidikan agama lain. Padahal di era multikulturalisme dewasa ini, pendidikan Islam mesti melakukan reorientasi filosofis-paradigmatik tentang bagaimana membentuk kesadaran peserta didiknya agar berwajah inklusif dan toleran. Inilah tantangan serius dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia.20

Realitas tersebut di atas diamini oleh Amin Abdullah. Ia mengungkapkan, bahwa hal itu antara lain disebabkan oleh materi dan metodologi pengajaran pendidikan agama di pesantren yang cenderung menekankan eklusifitas kebenaran agama, mengabaikan aspek pluralitas serta inklusifitas.21 Materi dan

metodologi pengajaran yang berkelindan dalam dunia pesantren jarang menyentuh persoalan pluralitas agama secara langsung dalam satu paket pendidikan agama yang biasa mereka ajarkan kepada anak didik.

Materi pluralitas agama dan kemajemukan keberagamaan hanya diperoleh anak didik lewat pendidikan kewarganegaraan dan moral Pancasila, namun amat jarang yang masuk dalam satu komponen yang utuh dalam materi pendidikan agama. Bahkan yang lebih serius lagi adalah teks-teks yang seringkali dijadikan rujukan dan acuan dalam materi ajar sejarah Islam senantiasa kembali ke masa lalu, seperti Perang Salib, ekspansi bangsa Arab, dan pemaksaan penyebaran agama-agama. Sehingga dapat dikatakan pula, pendidikan dan pengajaran agama di pesantren pada umumnya masih lebih menekankan sisi keselamatan individu, agama dan kelompoknya sendiri, dengan mengesampingkan keselamatan yang dimiliki dan didambakan oleh orang lain di luar dirinya, agamanya dan kelompoknya sendiri.

Para santri hanya dididik dan diajarkan tentang agamanya, bagaimana memegang teguh kepercayaan agamanya, dan sekaligus melakukan dakwah

untuk menyebarkan agamanya dengan imaginasi „pedang‟ (pemaksaan),

sementara visi untuk menghargai dan bersikap toleran terhadap pemeluk agama di luar agamanya kurang dielaborasi. Karenanya dapat dipastikan, bila pesantren tidak mampu memberi bekal kepada para santri ketika mereka harus berhadapan dan menghadapi realitas aktual dan kongkrit tentang keberanekaragaman yang dianut oleh anggota masyarakat baik nasional ataupun internasional.22

Senada dengan pernyataan Amin Abdullah di atas, Kautsar Azhari Noer juga menengarai, pendidikan agama di pesantren selama ini kurang menyentuh aspek fenomenologi agama yang bisa menemukan titik-titik persamaan untuk kemanusiaan universal. Kautsar melihat sistem pendidikan di wilayah agama (pesantren) selama ini lebih menekankan pada aspek kognitif pendidikan agama, bukan pada aspek afektif dan psikomotoriknya. Sehingga hanya menghasilkan proses pendidikan yang menekankan kemajuan pengetahuan intelektual, ketrampilan-ketrampilan dan kurang memperhatikan realitas social agama yang berkelindan dalam masyarakatnya. Menurutnya, visi dan misi pendidikan agama tampak sekali diwarnai dan didominasi oleh asumsi dasar paradigma klasik-skolastik dari para konseptor dan perancangnya yang terlalu menggarisbawahi

20Ibid.

21 Amin Abdullah. Pendidikan Agama era Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005),

hlm. 33.

(9)

9 keyakinan dan anggapan bahwa keselamatan sosial dan keselamatan kelompok amat tergantung pada keselamatan individual.

Secara eksploratif dapat dikatakan, bahwa keselamatan individual, dalam diskursus pembelajaran di pesantren, bagaimana pun jauh lebih pokok dan lebih utama daripada keselamatan sosial. Dengan kata lain, jika individu-individu dalam masyarakat bertingkah laku dengan baik dan bermoral secara agamis, maka secara otomatis kehidupan kelompok sosial dan kolektif juga akan berlaku baik dan bermoral agamis. Paradigma psikologi individual kependidikan lebih dominan daripada psikologi sosial, asumsi demikian terlalu menyederhanakan persoalan dalam realitas kehidupan kelompok, khususnya bila diaplikasikan dalam lingkup kehidupan Indonesia yang multikultural.23

Cara penanganan kasus-kasus yang dialami oleh individu-individu sangat berbeda dari cara penanganan kasus-kasus yang dialami oleh kelompok. Kemarahan masa yang berkerumun, fenomena adanya provokator, keresahan sosial, penyebaran isu negatif dan tidak bertanggungjawab, kekerasan massa secara kolektif tidak dapat dijelaskan, diselesaikan dan diantisipasi lewat pengajaran agama yang hanya melalui penekanan pada keselamatan individu secara eksklusif.24

Konsep kerukunan umat beragama yang hanya dilandaskan pada jaminan keselamatan individual dengan tolak ukur kekuatan aqidah, iman atau credo tertentu masih harus diuji di lapangan. Jika individu-individu tersebut mengelompok, berkerumun dan berorganisasi dengan berbagai kepentingan yang melekat di dalamnya yang sering kali mengatasnamakan agama untuk menarik emosi dan dukungan yang penuh bagi penganut agama tersebut, maka harus diklarifikasikan dengan bentuk kesepakatan-kesepatan yang lebih mengedepankan kepentingan sosial bukan kepentingan agama. Penanaman sikap sosial keagamaan ini tidak disentuh dalam pembelajaran agama di pesantren. Yang banyak ditekankan justru aspek teologis dan ritualitas formal yang banyak sekali perbedaannya.

Pendidikan pesantren lebih menekankan pada keselamatan yang didasarkan pada kebaikan hubungan individu dengan Tuhan ketimbang keselamatan individu dengan individu lainnya. Kekurangpekaan para santri terhadap nasib dan penderitaan yang dialami oleh sesama pemeluk agama lain merupakan hasil dari pendidikan dengan memakai pendekatan keselamatan individu dengan Tuhan. Pendidikan yang mematikan kepekaan terhadap solidaritas antar sesama manusia dan bukan semata-mata sesama anggota yang seagama merupakan akibat dari konsep agama bahwa orang yang tidak seiman

atau di luar kelompok adalah “lawan”. Untuk itu, pendekatan baru yang

diusulkan oleh Amin Abdullah, yakni bagaimana agar pendidikan agama akan lebih menekankan hidup beragama dari peserta didik yang dapat mempertimbangkan kehidupan sosial yang lebih terbuka. Prinsip-prinsip kehidupan bersama secara sosial yang lebih didasarkan pada pendekatan

23 Lihat tulisan Kautsar Azhari dalam Sumartana Th. dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001), hlm 232-264.

(10)

10 contract” dan bukan sekedar “agree in disagreement”. Sosial-contract, menurut Amin, mengandung suatu keyakinan yang menghargai bahwa perbedaan yang memang sudah ada harus di pelihara dengan unsur cooperation (kerjasama) dalam bentuk kontrak sosial.

Dalam konsep agree in disagreement, masih tampak corak pendekatan teologi yang cukup menonjol dan sangat kental dengan nilai-nilai agama masing-masing, lantaran disagreement masih selalu ditonjolkan, sedang komponen agree-nya bisa saja cepat tertindih oleh disagrement-nya. Sedangkan state of mind, mentalitas dan cara berfikir serta cara bertindak yang tersembunyi dibalik kata kunci kontrak sosial adalah sebuah asumsi dan keyakinan bahwa kita semua sejak semula memang berbeda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam bidang aqidah, akan tetapi demi menjaga keharmonisan, keselamatan dan kepentingan kehidupan bersama dan kelompok (sosial survival) mau tidak mau kita harus rela untuk menjalin cooperation (kerjasama) dalam bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok dan warga masyarakat yang memang sejak semula berbeda ditinjau dari sudut pandang apapun.25

Berangkat dari realitas di atas, suatu hal yang lumrah terjadi bila materi pendidikan agama di pesantren dinilai eksklusif, tidak terbuka terhadap laju perkembangan pemikiran keagamaan yang berkembang di luar pesantren. Trend atau kecenderungan untuk mempertahanakan „al-qadim‟ (konsep-konsep pendidikan agama yang lama dan dianggap telah teruji) yang dianggap dan dipercayai pasti jauh lebih baik (al-aslah) dalam pendidikan agama, lebih dominan untuk mengambil konsep pendidikan yang baru (al-jadid) yang lebih baik dan sesuai dengan tuntutan dan tantangan zaman.

Oleh karena itu, dapat dipahami jika sikap guru-guru agama dan para santri di pesantren dalam menghadapi pluralitas komunitas dan penganut-penganut agama diluar yang biasa mereka kenal, nyaris tidak berubah. Isu kafir mengkafirkan, antar kelompok pengikut agama, tuduhan tidak selamat jika menganut diluar agama yang mereka anut, saling murtad memurtadkan keberadaan orang lain sebagai ancaman masih sering dijumpai dalam praktek pendidikan agama manapun secara terang-terangan maupun secara halus yang pada akhirnya emosi sosial dan kelompok keagamaan mudah disulut dan dibakar oleh provokator yang mempunyai kepentingan politik, sosial, ekonomi dan budaya.

Pola pendidikan tersebut tidak hanya manifest dalam dunia pesantren, tapi juga dalam pendidikan agama yang diajarkan mulai tingkat yang paling rendah (TK/PAUD) sampai ke perguruan tinggi. Karena itu, upaya untuk mengkaji ulang dan mencermati paradigma konsep pendidikan agama yang ditawarkan oleh kurikulum, silabi, literatur dan pengajarnya di lapangan dalam era multikulturalisme menjadi sesuatu yang sangat pentings. Lebih-lebih jika upaya demikian dikaitkan dengan pencarian sebagian sumber atau akar-akar konflik dan kerusuhan dalam masyarakat plural.

(11)

11 Lebih lanjut menurut Amin Abdullah, kecenderungan tersebut juga disebabkan oleh minimnya forum-forum dialog agama yang melibatkan guru-guru agama. Selama ini, dialog antarumat beragama secara terbatas hanya melibatkan tokoh-tokoh di elit organisasi keagamaan, fungsionaris yang berwenang dalam lembaga-lembaga keagamaan, tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap terpandang. Sementara guru agama sebagai ujung tombak pendidikan agama dari TK sampai perguruan tinggi dan pesantren nyaris tidak pernah tersentuh dari gelombang pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama selama hampir 30 tahun terakhir.26 Sehingga dapat ditebak, mindset (pemikiran) mereka pada umumnya

masih terpanggil untuk mengajarkan agama dengan materi, cara dan metode yang sama dengan asumsi dasar keyakinan dan pra anggapan-anggapan mereka bahwa anak didik, masyarakat dan umat diluar sekolah seolah-olah hidup dalam komunitas yang homogen dan bukan heterogen secara keagamaan.

Jika saja mereka memperoleh informasi yang akurat tentang kompleknya kehidupan beragama dalam era pluralitas dan memberikan alternatif-alternatif pemecahan yang menyejukan, lebih-lebih jika mereka mampu mengemas ulang pesan-pesan nilai-nilai agama yang mereka peluk di era pluralitas, maka anak didik dari sejak dini sudah dapat diantarkan untuk dapat memahami (bukan menegasikan perbedaan dan menolaknya), menghargai dan menghormati kepercayaan dan agama yang dianut atau dipeluk orang lain (bukan membencinya dan memusuhinya). Dengan demikian, pada saatnya mereka dapat mengambil sikap dan menghadapi realitas pluralitas agama, budaya, suku, etnis, dan golongan secara lebih arif, matang dan dewasa.

Internalisasi Ide Multukulturalisme ke dalam Aras Pesantren

Dalam agama Islam, nilai-nilai multikultural sesungguhnya telah mendapatkan pembenarannya yang cukup kuat, bahkan menjadi landasan dalam Islam. Islam mengajarkan pada pengikutnya bahwa manusia memang diciptakan berbeda-beda, bersuku-suku agar saling mengenal. Proses saling mengenal inilah yang dinamakan sebagai esensi dari ide multikulturalisme, dan dengan demikian, multikulturalisme seyogyanya juga tentu termasuk dalam bentuk ibadah dalam agama Islam, dan akan mendapatkan pahala di sisi-Nya. Bahkan prinsip dasar tauhid sendiri, yang berarti ke-Maha Tunggal-an Allah, meniscayakan bahwa selain Dia, pasti mengambil bentuk yang majemuk. Prinsip tauhid seperti ini juga menunjukkan, bahwa multikulturalisme sangat kuat melandasi berdirinya agama ini dan menjadi bagian dari ibadah serta prinsip hidup umatnya. Akan tetapi yang sangat disayangkan di sini adanya sebagian otoritas keagamaan yang tidak menginginkan otoritas tersebut tersebar. Mereka merasa keberatan dengan paham ini. Mereka cenderung untuk lebih memfavoritkan keseragaman dan pemikiran yang monolitik, picik dan tidak toleran. Kekuasaan kemudian seringkali menjadi media untuk mempertahankan otoritas yang mereka dan kelompok mereka miliki.

(12)

12 Padahal setiap diri manusia yang berakal sehat, memiliki potensi akal budi yang sama untuk memahami segala realitas yang terjadi di alam semesta ini. Tidak ada seorang pun yang berhak mengklaim bahwa pemikirannyalah yang paling benar. Siapapun boleh saja berpikir untuk menolak atau tidak setuju dengan sesuatu pemikiran lain, akan tetapi ia tidak berhak untuk menyeru orang lain agar sama menolak dan tidak setuju atas pemikiran lain tersebut. Bagaimana pun, perbedaan dan keragaman semestinya dilihat sebagai anugerah hidup manusia dan bukannya ancaman atas otoritas kebenaran dari sesuatu kelompok. Karenanya, upaya untuk memperlunak kekakuan dan mencairkan kebekuan pemikiran serta pemahaman keagamaan yang rigit-monolitik terhadap eksistensi agama, patut dikedepankan.

Upaya tersebut, menurut Amin Abdullah, hendaknya dimulai dengan melakukan internalisasi pemahaman yang membedakan antara tiga konsep berikut; Keberagamaan manusia (Religiosity); Keanekaragaman agama (Religions); dan Proses "menjadi" ke arah yang lebih baik, sempurna dan lengkap, yang terus menerus berlangsung selama hayat ikandung badan (Being religious). Dari ketiga konsep tersebut, perlu dipetakan mana yang dianggap "absolute" (mutlak), mana yang dianggap "relative" (nisbi) dan mana pula yang bersifat “relatively absolute" (secara relatif absolut).27

Dalam kehidupan sehari-hari seringkali ketiga konsep tersebut dicampur aduk, sehingga menyulitkan umat beragama dalam menghadapi persoalan pelik sosial-keagamaan di masyarakat. Campur aduk dan tumpang tindih antara ketiganya menjadikan fenomena agama menjadi unik dan komplek. Di satu sisi, fenomena keberagamaan terkait dengan unsur sakralitas transendental, namun disisi lain, ia juga terkait langsung dengan fenomena budaya dan sosial. Konsekuensinya, memahami fenomena agama dibutuhkan peralatan metodologis yang khusus; disamping mengenal pendekatan psikologis dan filosofis eksistensial, juga dituntut untuk mampu menghargai dan sekaligus menggunakan pendekatan dan metodologi yang bisa digunakan dalam bidang-bidang budaya dan sosial.

Setiap orang pastilah ingin mengenal dan mendambakan tanpa syarat adanya ide dasar ketuhanan, kebaikan, kesejahteraan, kesehatan, kedamaian, keadilan, kemerdekaan, kebahagiaan, ketenangan, spiritualitas, integritas, kejujuran, ketertiban, keselamatan, dan keindahan. Tuntutan dan kebutuhan dasar umat manusia ini bersifat absolut atau mutlak, karena setiap manusia, tanpa pandang perbedaan warna kulit, etnisitas, ras dan agama, mendambakan dan mencita-citakan hal yang sama. Begitu juga relijiusitas. Relijiusitas adalah sejenis tuntutan pemenuhan hal-hal yang bersifat pokok, fundamental, spiritual, dan mendasar, yang diperlukan oleh setiap umat manusia tanpa pandang latar belakang dan komunalitas keberagamaannya. Itulah makna Absolut yang dimaksud dalam tulisan ini.

Dengan kata lain, norma dan aturan agama yang diklaim sebagai yang bersumber dari Ilahi yang suci, yang samawi, yang sakral, yang ultimate

27Lihat artikel Amin Abdullah dalam download

(13)

13 menjadikan agama mempunyai ciri yang spesifik dan unik, sekaligus membedakannya dari jenis-jenis pengalaman budaya dan sosial keagamaan yang lain.28 Dimungkinkannya truth and claim (klaim kebenaran) yang biasa terjadi pada

penganut agama-agama, sebagian bersumber dari apa yang disebut suci ini. Sampai di sini barangkali tidak ada masalah. Namun ketika disebut bersumber dari yang Ilahi dan diungkapkan dengan bahasa agama tertentu, maka serta merta campur tangan budaya dan sosial tidak dapat dihindarkan sama sekali. Hal-hal yang dianggap "absolute" ini, jika telah turun ke bawah, ke wilayah kesejarahan manusia dan sosial kemasyarakatan yang bersifat historis-empiris-kultural, maka terjadilah berbagai model, corak, cara, pilihan strategi dan taktik untuk mencapainya. Setiap kelompok masyarakat, budaya dan agama mempunyai cara yang berbeda-beda dalam merumuskan, mengkonseptualisasikan, menginterpretasikan apa1agi menentukan cara-cara untuk mencapainya.

Perbedaan konsep, bahasa, kultur, luas-sempitnya pengetahuan, dan strategi untuk mencapainya yang menjadikan sebagian anggota masyarakat kemudian bertikai untuk memperebutkan yang "terasli", "terbaik", "terunggul", "tersempurna", dan begitu seterusnya. Tanpa sadar, manusia telah memasuki wilayah pertarungan yang bersifat sosiologis. Hukum-hukum sosial mulai berlaku di sini. Akibatnya pengutipan dan penyitiran teks wahyu harus dilakukan tanpa mempedulikan konteks. Oleh karenanya, pada dataran ini, semua yang tadinya dianggap absolut tersebut tiba-tiba berubah menjadi "relative”.29

Relatif di sini, bukan berarti nihilistik. Relatif di sini semata-mata karena adanya perbedaan interpretasi antara pengikut golongan agama yang berbeda. Relatifitas di sini ini wajar adanya karena tingkat perbedaan pengalaman sejarah yang dijalani, tingkat pendidikan masyarakat (nomad, agraris, industri, informasi-komunikasi) dan alat-alat teknologi yang dimiliki. Namun, relativitas di sini sama sekali tidak menegasikan tujuan-tujuan luhur yang secara "absolute" dipegang teguh oleh pengikut agama-agama. Yang jelas, ketika cita-cita luhur, belief, credo, iman, dan aqidah yang semula dianggap "absolute" tersebut dikonseptualisasikan dan diungkapkan lewat bahasa manusia dan diinstitusionalisasikan, maka ia memasuki wilayah yang bersifat historis-kultural dan "relative”. Dengan begitu, hal-hal yang bersifat "relative” (instrumental values) sesungguhnya tidak dapat dengan begitu saja dipindah ke wilayah yang bersifat "absolute" (ultimate values). Jika hal-hal yang sesungguhnya relatif ini diabsolutkan atau disakralkan, maka cepat atau lambat akan terjadi disharmoni sosial yang dapat menimbulkan kekerasan.30

Sampai di sini dapat dimaklumi, jika dalam kehidupan sosial-keagamaan seringkali terjadi percampuradukan antara wilayah "absolute" dan "relative.” Secara tidak sadar muncul pemahaman, bahwa yang "relatif-partikular” itulah yang sesungguhnya "absolute"-universal, semata-mata hanya untuk keperluan menegaskan identitas diri dan kelompoknya di hadapan berbagai rival kelompok sosial-keagamaan lain. Ketegangan hubungan yang bersifat perennial antara yang

(14)

14 "absolute" dan yang “relative” hanya dapat dikurangi ketika manusia menyadari kembali bahwa, ia hanyalah makhluk yang sedang berproses secara terus menerus. Ketika proses itu sedang berlangsung banyak hal dapat saja terjadi. Yang dulunya ketika muda menjadi aktivis keagamaan, sangat dikenal sebagai tokoh yang idealistik-fundamentalistik dapat saja berubah mendadak menjadi sangat pragmatis-oportunistik setelah menjadi tokoh LSM, tokoh partai, atau pejabat pemerintah, atau figuran yang membantu pejabat pemerintah yang sedang berkuasa. Demikian pula sebaliknya. Jadi, situasi dan perubahan politik sesaat, keterjepitan dan ketercukupan ekonomi, mobilitas vertikal yang dialami oleh seseorang ikut berperan dalam menentukan "on going process of being religious" tersebut.

Lebih lanjut, Amin Abdullah mengungkapkan, bahwa salah satu pendekatan ilmu yang juga ikut membantu pemahaman akan diskursus ini adalah pendekatan fenomenologi agama. Ia dapat membantu mencari jawaban atas kesulitan atau ketegangan (tension) antara absolusitas dan relativitas dalam beragama. Pendekatan fenomeno1ogi agama memang ingin mendialogkan, menyatukan, dan menghimpun kembali kedua entitas berpikir yang seringkali telah terpisah secara diametrikal. Pendekatan perbandingan agama (Comparative Study of Religions) -in the old fashion- menjadi sedikit kurang memuaskan di sini.31

Karena logika perbandingan dalam pemikiran agama tertentu biasanya mengatakan bahwa A+B+C=A. Setelah melakukan perbandingan, ternyata agama yang dipeluknya sajalah yang paling baik dan benar, sedangkan yang lain kurang baik atau tidak benar. Pendidikan agama era multikultural dan multirelijius yang diasumsikan menggunakan logika A+B+C+D = A+B+C+D lebih baik dari pada logika perbandingan model lama.32

Lain lagi model pengajaran Teologi atau Kalam atau Aqidah yang hanya mengajarkan A+A+A = A+A+A. Biasanya, lama sekali seseorang atau kelompok mempelajari agama, tetapi tingkat pengetahuannya hanya terbatas pada agama yang dipeluknya sendiri. Selama sekian lama belajar, tidak pernah menyentuh dan bersinggungan sama sekali dengan pemeluk agama yang dimiliki oleh tetangga yang tinggal di sebelah rumah, tetangga RT atau RW , di seberang desa, di negara tetangga.33

Teologi, Kalam atau pemikiran keagamaan yang bercorak inklusif-pluralistik adalah pola pikir keagamaan "baru" era multikultural-multirelijius yang hanya dapat dibangun lewat pendekatan fenomenologi agama dengan cara selalu mendialogkan dimensi absolutisitas dan relativitas dalam satu keutuhan pola pikir dan satu tarikan nafas kehidupan sosial-keagamaan. Dengan cara begitu, eksistensi umat beragama sebagai entitas sosiologis-antropologis dapat dihargai keberadaannya (pluralistik), namun tetap dan selalu waspada akan

31 Zaini Muhtarom. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia; Beberapa Permasalahan (Jakarta: INIS, 1999),

15.

32 Amin Abdullah dalam download http://www.uin-suka.info/ind/index.php?option=comcontent&task= view&id= 510&Itemid =341

33 Sumartana Th. dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei,

(15)

15 kemungkinan adanya bahaya komunalitas dan konfessionalitas sempit yang bersifat relatif.34

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa bangunan Teologi atau Kalam yang bersifat inklusif-pluralistik hanya dapat dipahami dan dipraktekkan jika dapat menyentuh dan mendialogkan ketiga konsep tersebut secara simultan dalam satu tarikan nafas, ruh semangat keberagamaan yang segar yaitu Religiousity, Religions, dan On going process of being religious. Teologi yang bersifat inklusif-pluralistik tersebut diataslah yang selayaknya diperkenalkan di lingkungan pesantren. Kalau model pendekatan dan strategi pembelajaran dan pendidikan agama di pesantren hanya sekadar memindahkan dan mengulang kembali materi, metode, dan pendekatan yang biasa digunakan dalam komunitas intern sendiri, maka institusi pendidikan agama apapun itu, termasuk pesantren, tidak lagi dapat diandalkan sebagai media pencerdas dan pencerah kehidupan berbangsa.

Bila kerangka normatif pembelajaran teologi yang inklusif-pluralistik di atas dapat dikemas dan dituangkan dalam berbagai bentuk dan isi materi kurikulum dan nonkurikulum di dalam pendidikan pesantren, maka akan terbentuk pemahaman baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik dalam diri civitas pesantren akan sebuah upaya memajukan budaya perdamaian, rasa persaudaraan serta sikap nasionalisme baru yang mengombinasikan berbagai aspek seperti penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, afeksi (wisdom, self-correction, critical thinking and attitude) sebagai bagian pembentukan kultur keamanan nasional dan sikap yang toleransi terhadap kemajemukan dan nilai-nilai sosial di Indonesia.

Hal ini penting dilakukan karena kerangka normatif tersebut dapat mendorong terciptanya budaya dialog, kepekaan terhadap keadilan, HAM, dan solidaritas yang saat ini amat dibutakan. Dengan kata lain, pemahaman yang inklusif-pluralistik diharapkan dapat mengikis maraknya budaya kekerasan dan disharmoni antar pemeluk agama. Pendidikan agama di pesantren seyogyanya mulai menyentuh persoalan pluralitas agama secara langsung dalam satu paket pendidikan agama yang biasa mereka ajarkan kepada para santri, membicarakan kerusuhan agama dari pendekatan struktural ekonomi dan politik menyandingi pendekatan multicultural literacy terbatas yang lebih memperkenalkan perayaan, tokoh dan tempat-tempat ibadah agama-agama. Pendekatan pengkajian dan pemecahan struktural merupakan satu paket dengan pendekatan kultural.35 Ke

arah itulah pendidikan agama di pesantren seharusnya menuju dalam mengelola kemajemukan masyarakat, dan bila itu terwujud, pesantren akan dapat berperan secara strategis dalam merespon realitas kekinian yang plural dan multikultur itu. Di tengah pergulatan masyarakat multikultural, pesantren akan mampu memasuki ruang kontestasi dengan carut marut perbedaan budaya, ras dan agama tanpa kehilangan kekhasan dan kearifannya. Pesantren tetap akan mampu

34 P3PK, Keimanan Beragama dan Peranan Pendidikan Agama (Yogyakarta: UGM-Depag RI, 1997).

35 James A. Bank dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural Education (San

(16)

16 mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan memiliki pemikiran yang inklusif-pluralistik.

Proses menuju arah itu tentu saja memerlukan banyak pembenahan internal dan inovasi baru agar tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya. Proses ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi), kalau boleh dikatakan demikian, dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand) yang multikultural, tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan.

P E N U T U P

Upaya-upaya yang bernuansa reformatif dan rekonstruktif terhadap pendidikan agama dan pendidikan sosial keagamaan era multikulturalisme dalam aras pesantren merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak. Penyusunan konsep baru yang bernuansa reformatif untuk pembenahan muatan materi, silabi, kurikulum dan litertatur dalam bidang pendidikan agama hendaknya tidak hanya menekankan pada tataran iman, aqidah dan identitas diri dan kelompoknya masing-masing, tapi lebih luas lagi memberi titik tekan pada bagaimana memperteguh dan memperkokoh kepentingan dan solidaritas sosial kemasyarakatan untuk menghadapi tantangan, benturan dan tuntutan era globalisasi, kompetisi, dan pluralisme budaya, agama, suku, etnik dan ras. Karenanya ijtihad dalam bidang pendidikan yang terkait langsung dengan pendidikan agama untuk ke-Islaman dan ke-Indonesiaan saat sekarang ini lebih jauh diperlukan dan mendesak sifatnya daripada ijtihad-ijtihad dalam bidang hukum yang biasa dikonsepsikan, dipahami, dikonotasikan dan dijalankan selama ini. Wallahu a‟lam bi al-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama era Multikultural Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005)

---, Mencari Model Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius,

down load

http://www.uin-suka.info/ind/index.php?option=comcontent&taskview&id=510& Itemid= 341

(17)

17 Bank, James A. dan Cherry A. McGee (ed). Handbook of Research on Multicultural

Education (San Francisco: Jossey-Bass, 2001).

Bruinessen, Martin Van. "Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia" dalam Southeast Asia Research, no. 2, 2002.

---, “Pesantren and Kitab Kuning: continuity and change in a tradition of

religious learning” dalam: Wolfgang Marschall (ed.), Texts from the

islands. Oral and written traditions of Indonesia and the Malay world Ethnologica Bernica, 4 (Berne: University of Berne, 1994).

---, “Global and local in Indonesian Islam”, Southeast Asian Studies (Kyoto) vol. 37, no. 2, 1999.

Cannon, Dale. Six Way Of Being Relegious (Belmont: Wadworst Company, 2001).

Departemen Agama RI..Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Jakarta: DEPAG RI, 2001).

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Kyai, cet. 6 (Jakarta: LP3ES, 1994).

Fatchan, Achmad dan Basrowi. Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa (Surabaya: Yayasan Kampusina, 2004).

Freire, Paulo. Pedagogi Pengharapan, terj. A. Widyamartaya Lic. Phil. (Yogyakarta:

Kanisius, 2001).

Galba, Sindu. Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan PT Rineka Cipta, 1991).

Geertz, Clifford C. The Religion of Java (Glencoe, IL: Free Press, 1960).

Gregory, Jay. “Critical Contexts For Multiculturalism” download

http://www.uwm.edu/~gjay/Multicult/ contextsmulticult.htm/.

ICIP (International Centre for Islam and Pluralsme), Jurnal Al-Wasathiyyah, no. 1 edisi Januari 2008.

J, Raz. Ethics in Public Domain: Essays in the Morality of Law and Politics (Oxford: Clarendon Press, 1996).

J, Raz. The Morality of Freedom (Oxford: Oxford University Press, 1986).

(18)

18 Kymlica, W. Multicultural, Citizenship: a Liberal Theory of Minority Rights (Oxford:

Clarendon Press, 1995).

Lash, Scott, & Featherstone, Mike, (ed.) Recognition and Difference: Politics, Identity, Multiculture (London: Sage Publication, 2002).

Mahalingan dan Cameron McCarthy. Multiculturalism Curriculum, 2002.

Mas‟ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi

(Yogyakarta: LKiS 2004).

Muhsin, Imam. Jangan Mengambinghitamkan Pesantren di Jawa Pos, Senin 5 Desember 2005.

Muhtarom, Zaini. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia; Beberapa Permasalahan (Jakarta: INIS, 1999).

P3PK, Keimanan Beragama dan Peranan Pendidikan Agama (Yogyakarta: UGM-Depag RI, 1997).

Parekh, Bikhu. “What is Multiculturalism?” dalam Jurnal India Seminar, Desember 1999.

---, Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (Cambridge: Harvard University Press, 2000)

Syamsudini. Pendidikan Islam di Era Multikulturalisme dalam download http://darussolah.com/cetak.php?id=151

Taylor, Charles. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman,

Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994).

Th., Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2001). Ibid, hal 232-264.

Tilaar, H.A.R. “Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan” dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002).

W, Kymlica. Multicultural dalam Citizenship: a Liberal Theory of Minority Rights (Oxford: Clarendon Press, 1995).

Referensi

Dokumen terkait

Perceived value berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen, yang menunjukkan pemberian perceived value yang baik kepada konsumen akan semakin

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian terdahulu membahas tentang peran Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Selatan

bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

 Dalam mendukung peningkatan sistem manajemen kinerja, sejak tahun 2017, telah diterapkan sistem aplikasi pemantauan dan penilaian kinerja berbasis IT

Secara ideal, komunikasi tersebut meski bebas dan terbuka, dan tidak ada tekanan, yang dimaksud tekanan disini adalah ketentuan-ketentuan yang sifatnya mutlak

Data diameter zona hambat kombinasi ekstrak etanol daun sirih merah dan siprofloksasin terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae terdistribusi

Dari hasil kalibrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemodelan HEC-HMS dapat digunakan untuk perencanaan dengan mengganti curah hujan yang terjadi pada tanggal 8 - 9