• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penampilan Sifat Ketahanan Penyakit Layu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penampilan Sifat Ketahanan Penyakit Layu"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak digemari masyarakat. Oleh karena itu, salah satu spesies cabai yang banyak dibudidayakan adalah cabai merah (Capsicum annuum L.). Bosland dan Votava (2000) menyatakan bahwa dalam buah cabai mengandung zat-zat gizi diantaranya protein, lemak, kalsium, fosfor, besi, vitamin (A, C dan B1) dan senyawa alkaloid seperti capsaicin, plavonoid dan minyak esensial. Pada saat tertentu, kebutuhan cabai sangat tinggi sehingga produksi nasional tidak mencukupi permintaan yang selalu bertambah dari tahun ke tahun.

Luas panen tanaman cabai pada tahun 2010-2012 berturut-turut adalah 122.755 ha, 121.063 ha dan 120.275 ha, sedangkan produksinya mencapai 807.160 ton, 888.852 ton dan 954.363 ton. Dari data tersebut, produktivitas cabai berturut-turut 6,58 ton/ha, 7,34 ton/ha dan 7,93 ton/ha (Anonymousa, 2015). Produktivitas tanaman cabai tergolong sangat rendah karena menurut (Agustin, Ilyas, Anas dan Suwarno, 2010) menyatakan bahwa potensi produktivitas tanaman cabai bisa mencapai 20-40 ton ha-1.

Rendahnya produktivitas cabai antara lain disebabkan oleh serangan hama dan penyakit serta kurang tersedianya benih yang berkualitas. Salah satu penyakit yang menyerang tanaman cabai ialah penyakit layu bakteri. Penyakit ini cukup berbahaya karena pada tingkat serangan berat penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada tanaman dan kegagalan panen sehingga menimbulkan kerugian atau penurunan hasil yang relatif besar (Semangun, 1994). Penyakit ini, biasanya menyerang tanaman cabai pada saat musim hujan sehingga dapat menurunkan hasil produksi cabai. Oleh karena itu sangat dianjurkan untuk menggunakan varietas yang resisten.

(2)

patogen, sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang dan menyebar. Sebaliknya, tanaman yang rentan yaitu tanaman tidak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit. Respon tanaman terhadap patogen dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Suatu varietas disebut tahan apabila varietas tersebut memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman itu pulih kembali dari serangan penyakit pada keadaan yang mengakibatkan kerusakan. Ketahanan terhadap suatu penyakit masing-masing genotip cabai merah berbeda-beda (Muhuria, 2003).

Pada umumnya masyarakat menggunakan cabai sebagai bahan masakan yang memberi rasa pedas. Selain digunakan sebagai bahan masakan tanaman cabai juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan herbal dan obat-obatan. Rasa pedas yang terdapat pada tanaman cabai dipengaruhi oleh kadar capsaicin pada tanaman cabai tersebut. Kadar capsaicin yang terkandung pada buah cabai memiliki kadar yang berbeda-beda tergantung dari varietas cabai. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan tanaman cabai yang tahan terhadap penyakit layu bakteri, memiliki produktivitas dan kadar capsaicin yang tinggi.

Pada penelitian ini, tetua yang digunakan adalah TW 2, PBC 473 dan Jatilaba. TW 2 yaitu varietas lokal Brebes yang memiliki sifat tahan tungau, tahan rebah semai, produksi tinggi dan cenderung pedas. Sedangkan PBC 473 yaitu hasil introduksi dari AVRDC yang memiliki sifat tahan layu bakteri dan mempunyai rasayang pedas serta Jatilaba yaitu varietas yang dikeluarkan oleh PT. East West Seed Indonesia yang memiliki sifat tahan layu bakteri, produksi tinggi, bentuk buah besardan rentan terhadap penyakit antraknosa.

1.2 Tujuan

(3)

1.3 Hipotesis

(4)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Cabai

Menurut klasifikasi dalam tata nama (sistem tumbuhan) tanaman cabai termasuk kedalam Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Ordo Solanales, Famili Solanaceae, Genus Capsicum, dan Spesies Capsicum annuum L.

Tanaman cabai memiliki akar tunggang yang terdiri atas akar utama dan akar samping yang berupa serabut-serabut akar. Batang tanaman cabai berkayu dan berwarna cokelat kehijauan. Tunas baru akan tumbuh pada setiap ketiak daun tinggi batang cabai pada umumnya mencapai 50-90 cm. Tanaman cabai memiliki helaian daun dengan tangkai yang panjang. Daun merupakan daun tunggal berbentuk oval atau 4 lonjong dengan tepi daun yang rata dan warna daun hijau sampai hijau tua (Ashari, 1995).

Batang utama cabai menurut (Hewindati, 2006) tegak dan pangkalnya berkayu dengan panjang 20-28 cm dengan diameter 1,5-2,5cm. Batang percabangan berwarna hijau dengan panjang mencapai 5-7 cm, diameter batang percabangan mencapai 0,5-1 cm. Percabangan bersifat dikotomi atau menggarpu, tumbuhnya cabang beraturan secara berkesinambungan.

Menurut Hewindati (2006), daun cabai berbentuk memanjang oval dengan ujung meruncing atau diistilahkan dengan oblongus acutus, tulang daun berbentuk menyirip dilengkapi urat daun. Bagian permukaan daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian permukaan bawah berwarna hijau muda atau hijau terang. Panjang daun berkisar 9-15 cm dengan lebar 3,5-5 cm. Selain itu daun cabai merupakan daun tunggal, bertangkai (panjangnya 0,5-2,5 cm), letak tersebar. Helaian daun bentuknya bulat telur sampai elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi rata, petulangan menyirip, panjang 1,5-12 cm, lebar 1-5 cm, berwarna hijau.

(5)

mahkota bunga, alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Bunga cabai disebut juga berkelamin dua atau hermaphrodite karena alat kelamin jantan dan betina dalam satu bunga. Sedangkan menurut Kusundriani (1996) menyebutkan bahwa bunga cabai merupakan bunga sempurna (hermaphrodite), bunga jantan dan bunga betina terletak pada satu bunga yang biasanya menggantung dan keluar dari ketiak daun. Setiap bunga memiliki satu kepala putik (stigma) berbentuk bulat, lima sampai enam helai benang sari dengan bentuk lonjong. Posisi benang sari dan putik dalam bunga sangat mempengaruhi penyerbukan. Apabila posisi kepala putik lebih tinggi dari benang sari maka akan terjadi penyerbukan silang dan sebaliknya, apabila kepala putik lebih rendah dari benang sari maka akan terjadi penyerbukan sendiri.

Buah cabai berbentuk kerucut memanjang, lurus atau bengkok, meruncing pada bagian ujungnya, menggantung, permukaan licin mengkilap, diameter 1-2 cm, panjang 4-17 cm, bertangkai pendek, rasanya pedas. Buah muda berwarna hijau tua, setelah masak menjadi merah cerah. Sedangkan untuk bijinya, biji yang masih muda berwarna kuning, setelah tua menjadi cokelat, berbentuk pipih, berdiameter sekitar 4 mm. Rasa buahnya yang pedas dapat mengeluarkan air mata orang yang menciumnya, tetapi orang tetap membutuhkannya untuk menambah nafsu makan.

2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

Syarat tumbuh tanaman cabai dalam budidaya tanaman cabai meliputi ketinggian tempat, iklim dan tanah. Ketinggian tempat untuk penanaman cabai adalah adalah di bawah 1400 m dpl. Berarti cabai dapat ditanam pada dataran rendah sampai dataran tinggi (1400 m dpl). Di daerah dataran tinggi tanaman cabai dapat tumbuh, tetapi tidak mampu berproduksi secara maksimal.

(6)

5,5 – 6,8 karena pada pH di bawah 5,5 atau di atas 6,8 hanya akan menghasilkan produksi yang sedikit (Sumarni, 1996).

Perkecambahan biji cabai memerlukan suhu optimum sekitar 30o C, sedangkan untuk pertumbuhan optimum tanaman diperlukan suhu rata-rata harian 20-30o C. pada suhu kurang dari 15o C atau lebih dari 32o C, perkecambahan benih dan pertumbuhan tanaman umumnya terhambat. Tanaman cabai dapat tumbuh di dataran rendah maupun tinggi hingga 3000 m diatas permukaan laut dan dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997).

2.3 Penyakit Layu Bakteri Pada Tanaman Cabai

Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum yang sebelumnya bernama Psedomonas solanacearum (Yabuuchi, Kosaka, Yano, Hotta, Nishiuchi, 1995). Tanaman dari famili Solanaceae seperti tomat dan cabai merupakan inang yang rentan terhadap serangan bakteri ini (Machmud, 1985).

Ralstonia solanacearum memiliki sifat aerob, bisa bergerak dengan satu atau beberapa bulu cambuk (flagella), berbentuk batang dengan lebar 0.5 mikron, panjangnya 1.5 mikron (Pracaya, 1993). Bakteri ini mempunyai bentuk koloni yang bervariasi, untuk membedakan antara strain avirulen dengan strain virulen dapat digunakan medium 2,3,5 triphenyl tetrazolium chloride (TTC). Koloni strain virulen bentuknya tidak beraturan seperti berair, berwarna putih dengan pusat merah muda. Koloni strain avirulen berbentuk bundar, ukurannya lebih kecil, warnanya mula-mula merah kemudian menjadi merah gelap sesuai umurnya (Hayward, 1985).

Bakteri Rolstania solanacearum umumnya masuk ke dalam jaringan tanaman inang melalui luka yang terjadi pada waktu bercocok tanam, melalui lubang-lubang alami (lentisel), melalui pertumbuhan akar sekunder, melalui akar yang luka akibat tusukan nematode. Setelah masuk ke tanaman, bergerak secara sistematik mengikuti aliran cairan dalam pembuluh xylem ke bagian tanaman lain (Anonymousb, 2015).

(7)

dan kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman. Gejala serangan biasanya terlihat dengan terjadinya kelayuan. Kadang-kadang kelayuan tidak berkembang tetapi terjadi pengkerdilan pada tanaman muda terutama pada varietas yang tahan (Wang, 1998). Gejala pertama kali terlihat pada umur 6-8 minggu. Daun-daun layu biasanya dimulai dari daun-daun muda dan masih sekulen. Apabila batang tanaman yang sakit dipotong, akan terlihat berkas pembuluh yang berwarna coklat. Apabila batang ditekan akan keluar eksudat berupa lendir yang berwarna putih susu (Hayward, 1983). Potongan batang yang sakit dimasukkan ke dalam tabung yang berisi air steril, kemudian akan terlihat aliran massa bakteri yang berwarna putih yang keluar dari berkas pembuluh. Aliran massa ini merupakan salah satu ciri khas layu bakteri yang membedakannya dengan layu yang disebabkan oleh cendawan (Semangun, 1994).

Menurut Semangun (1994) intensitas penyakit sangat dipengaruhi oleh tanaman sebelumnya. Pupuk kandang yang baru (belum masak) dapat membawa bakteri layu ke ladang. Meskipun bakteri dapat hidup pada pH yang luas, namun bakteri berkembang lebih baik pada tanah alkalis. Bakteri dapat berkembang dengan baik di tanah yang suhunya agak tinggi, di waktu banyak hujan. Sedangkan menurut Yadi dan Sri (2009) menyatakan bahwa perkembangan penyakit layu bakteri dibantu oleh suhu dan kelembaban yang tinggi. Suhu optimum bagi perkembangan bakteri ini adalah 27-37oC, sedangkan pada suhu 15oC bakteri tidak berkembang.

2.4 Ketahanan Penyakit

(8)

Seterusnya manusia sebagai petani atau penanam berusaha mempengaruhi ketiganya agar terjadi interaksi yang menguntungkan baginya. Manusia mempengaruhi tumbuhan dengan memilih jenis yang sesuai atau memilih varietas yang tahan. Dengan melakukan penyemprotan fungisida manusia mempengaruhi patogen. Secara terbatas manusia mempengaruhi lingkungan, misalnya dengan mengadakan drainase, mengatur jarak tanam, dan sebagainya. Dengan demikian dari segitiga penyakit terjadi “limas penyakit” (Latief, 2003).

Umumnya tanaman bertahan terhadap serangan patogen karena kombinasi dua penghalang yaitu sifat struktural yang bertindak sebagai penghalang fisik yang menghambat masuknya dan berkembangnya patogen dalam tanaman, adanya reaksi biokimia dalam sel dan jaringan yang menghasilkan senyawa racun yang akan meracuni patogen atau menimbulkan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen dalam tanaman (Latief, 2003).

Menurut (Latief, 2003), tipe ketahanan penyakit dibagi menjadi tiga yaitu ketahanan bukan-inang, ketahanan sejati dan ketahanan semu.

a. Ketahanan bukan-inang

(9)

ketahanan vertikal. Ketahanan horizontal ialah tanaman yang mempunyai tingkat ketahanan tidak khusus yang efektif melawan setiap patogen yang menyerangnya. Ketahanan horizontal dikendalikan oleh banyak gen yang sering disebut ketahanan multigen. Ketahanan horizontal dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berbeda dan dapat sangat bervariasi dibandingkan ketahanan vertikal. Umumnya, ketahanan horizontal tidak dapat melindungi tanaman terhadap infeksi tetapi ketahanan ini menyebabkan titik infeksi berkembang lambat yang mengakibatkan penyebaran penyakit juga lambat. Ketahanan vertikal yaitu tanaman yang tampak sangat tahan terhadap satu ras patogen dan rentan terhadap ras lain pada berbagai kondisi lingkungan. Ketahanan semacam ini sangat berbeda diantara ras patogen karena efektif melawan ras patogen tertentu tetapi tidak efektif melawan ras lainnya. Ketahanan vertikal selalu dikendalikan oleh satu atau beberapa gen saja. Ketahanan vertikal menghambat awal keberdaan patogen yang datang kelahan dari tanaman inang yang tidak mempunyai gen utama ketahanan. Ketahanan vertikal menghambat perkembangan epidemi dengan membatasi inokulum awal atau membatasi reproduksi patogen setelah terjadinya infeksi. Ketahan vertikal maupun ketahanan horizontal pada ketahanan sejati umumnya dikendalikan oleh gen yang berlokasi dalam kromosom tanaman yang ada dalam nucleus sel.

c. Ketahanan semu

(10)

Tanaman yang tahan terhadap penyakit adalah tanaman yang mampu menghambat perkembangan patogen sehingga patogen tersebut tidak dapat berkembang dan menyebar. Sebaliknya, tanaman rentan yaitu tanaman yang tidak mampu menghambat perkembangan patogen penyebab penyakit (Black, Green, Hartman dan Poulos, 1996).

2.5 Capsaicin Pada Tanaman Cabai

Tumbuhan tidak hanya melakukan metabolisme primer, tetapi juga melakukan metabolisme sekunder menggunakan jalur metabolisme tertentu, yang akan menghasilkan pembentukan senyawa kimia khusus yang disebut metabolit sekunder. Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung jawab terhadap rasa pedas dari cabai (Sukrasno et al., 1997). Zat ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak dan mudah rusak oleh proses oksidasi. Capsaisin memiliki rumus molekul C18H27NO3 (gambar 1) dengan nama IUPAC 8-methyl-N-vanillyl-6-nonenamide, terdiri dari unit vanillamin dengan asam dekanoat, yang mempunyai ikatan rangkap pada rantai lurus bagian asam.

Gambar 1. Struktur kimia capsaicin (Laras, 2013)

(11)

tersebut (Purseglove et al, 1985). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Laras, 2013) didapatkan hasil tingkat kepedasan pada beberapa jenis cabai (tabel 1).

Tabel 1. Tingkat Kepedasan (Scoville Heat Unit) Jenis Cabai Pencucian satu

(12)
(13)

3. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilaksanakan di Desa Patok, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang dengan ketingggian tempat ± 1.100 m dpl. Dengan suhu rata-rata harian 20oC-27oC, serta memiliki curah hujan 713 mm/bln. Penelitian akan di mulai pada bulan Januari – bulan Juni 2015.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: rak tray, plastik semai, gembor, cangkul, meteran, alat pelubang mulsa, ajir bambu, tali rafia, timbangan analitik, papan penelitian, bambu, kamera dan alat tulis.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah cocopeat, pupuk kompos, pupuk urea, pupuk SP-36, pupuk KCl dan 25 famili cabai merah generasi F5 hasil persilangan TW2 X PBC473 dan TW2 X Jatilaba, yaitu:

No Famili Tetua Keterangan

1 PBC 473 PBC 473 20 Tanaman

(14)

22 B6 42 13 TW 2 X Jatilaba 60 Tanaman

23 B2 40 20 TW 2 X Jatilaba 60 Tanaman

24 B2 46 6 TW 2 X Jatilaba 60 Tanaman

25 B3 6 4 TW 2 X Jatilaba 60 Tanaman

26 B1 5 6 TW 2 X Jatilaba 60 Tanaman

27 B2 46 9 TW 2 X Jatilaba 60 Tanaman

28 B2 40 15 TW 2 X Jatilaba 60 Tanaman

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode single plot yang terdiri dari 25 famili cabai merah generasi F5 hasil persilangan TW2 X 473 dan TW2 X jatilaba. Dalam setiap famili ditanam sebanyak 60 tanaman. Pengamatan dilakukan pada seluruh tanaman dengan jarak tanam 40 cm x 60 cm.

3.4 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Pembibitan

Benih cabai merah disemaikan dalam media cocopeat dan tambahan pupuk kompos dengan perbandingan 2:1, tempat persemaian di lakukan di polibag plastik yang berukuran kecil dengan panjang ± 7 cm. Selama pembibitan harus terjaga kelembapannya sehingga dilakukan penyiraman tiap hari pada pagi dan sore hari. Kebutuhan bibit cabai merah dalam satu petak adalah 20 bibit.

3.4.2 Persiapan Lahan

(15)

dengan jarak tanam 40 cm x 60 cm untuk diameter lubang 10 cm dan kedalaman 10 cm.

3.4.3 Penanaman

Tanaman cabai merah akan ditransplanting saat umur 25-30 hari setelah semai. Penanaman dilakukan dengan mengunakan jarak tanam 40 cm x 60 cm. Untuk menanggulangi stress saat pindah tanam, penanaman dilakukan pada sore hari atau pagi hari sekali. Sebelum penanaman, kantong semai disobek terlebih dahulu tanpa merusak media tanahnya untuk mencegah kemungkinan akar tanaman tidak dapat berkembang dan tanaman menjadi layu. Setelah bibit cabai ditanam kemudian disiram air untuk menjaga kelembaban dalam tanah dan kelembaban tanaman.

3.4.4 Pemupukan

Pemupukan pada tanaman cabai merah dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu, pemupukan dasar, pemupukan susulan pertama dan pemupukan susulan kedua. Untuk pemupukan dasar dilakukan pemberian pupuk kotoran ayam dengan cara ditebarkan secara merata pada lahan yang akan ditanami tanaman cabai, bersamaan dengan pengolahan tanah. Setelah itu tanah dibiarkan bero selama dua minggu. Pemupukan susulan pertama dilakukan pada umur 30 hari setelah tanam. Pupuk yang diberikan adalah Urea dengan dosis 150 Kg/Ha, SP-36 dengan dosis 150 Kg/Ha, KCl dengan dosis 50 Kg/Ha. Cara pemberian dengan diletakkan di dekat tanaman namun tidak menempel pada tanaman, jaraknya 10 cm dari tanaman kemudian ditimbun dengan tanah kembali. Pemupukan susulan kedua diberikan pada saat tanaman berumur 45 hari setelah tanam. Pupuk yang diberikan yaitu SP-36 dengan dosis 150 Kg/Ha, KCl dengan dosis 100 Kg/Ha. Cara pemberian atau aplikasi sama dengan pemupukan susulan pertama.

3.4.5 Perawatan Tanaman

a. Pengairan

(16)

generatifnya penyiraman dapat dilakukan hanya setiap 2 hari sekali dengan melihat kondisi tanah yang kering. karena cabai tidak menginginkan tanah kering dan terlalu basah.

b. Penyiangan gulma

Penyiangan gulma dilakukan secara manual pada saat umur 30 hari setelah tanam dan dilakukan setiap 14 hari sekali sesuai dengan hari pengamatan. c. Pengendalian hama dan penyakit tanaman

Pengendalian dilakukan dengan pestisida untuk serangan hama yang menyerang tanaman cabai merah. Sedangkan untuk pengendalian penyakit dilakukan dengan fungisida dan selain bahan aktif dari layu bakteri. Penyemprotan dilakukan sebelum pukul 06.00 WIB dan pada saat aplikasi pestisida tidak dilakukan penyiraman, hal ini bertujuan agar pestisida yang telah diaplikasikan tidak tercuci.

3.4.6 Panen

Pemanenan dilakukan setelah buah mencapai kematangan 80% sampai matang penuh. Pemanenan dilakukan satu kali seminggu selama enam minggu. Periode panen merupakan waktu yang dibutuhkan untuk memanen buah cabai merah mulai panen pertama sampai habis dipanen. Waktunya sulit ditentukan secara pasti sebab sangat tergantung dari lingkungan tumbuh, tingkat pertumbuhan tanaman, perawatan dan kesehatan tanaman. Panen pertama mulainya agak lambat yaitu pada waktu tanaman berumur 90-100 hari setelah tanam dengan interval 5-7 hari sekali. Secara umum periode panen buah cabai merah berlangsung selama 1,5-2 bulan.

3.4.7 Pasca Panen

Metode pelaksanaan penelitian setelah panen atau pasca panen yaitu menghitung kadar capsaicin (%) yang terkandung pada buah cabai merah. Langkah-langkah untuk mendapatkan kadar capsaicin (%) yaitu:

1. 25 gram buah cabai segar dihaluskan dengan blender

2. Cabai yang sudah halus dimasukkan kedalam Erlenmeyer yang berisi 200 ml etanol kadar 95%, dipanaskan dengan suhu 70OC selama 4 jam

(17)

4. Filtrat hasil saringan siap digunakan untuk pengukuran pada spektrofotometer UV

5. Sebelum melakukan pengukuran pada sampel, maka harus dibuat kurva standard dan larutan standard capsaicin dengan konsentrasi 0, 25, 50, 75, 100 dan 125 ppm pada λ 281 nm.

3.5 Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada seluruh individu tanaman cabai yang ditanam. Pengamatan yang diamati meliputi:

1. Tinggi Tanaman (cm): tinggi tanaman diukur mulai pangkal batang hingga bagian titik tumbuh tanaman dengan menggunakan meteran. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada panen kedua.

2. Bobot per buah (g): rata-rata bobot buah dari lima buah masak dengan menggunakan timbangan analitik.

3. Diameter buah (cm): rata-rata diameter (pangkal, tengah, ujung) buah dari lima buah masak. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. 4. Panjang buah (cm): rata-rata panjang buah dari lima buah masak. Diukur dari

pangkal buah sampai ujung buah.

5. Jumlah buah per tanaman: jumlah buah per tanaman pada panen pertama sampai panen terakhir.

6. Intensitas serangan penyakit layu bakteri: pengamatan intensitas serangan penyakit layu bakteri dilakukan saat tanaman mulai terserang atau menunjukkan gejala terserangnya layu bakteri.

7. Masa inkubasi: masa atau waktu saat penyakit menyerang tanaman mulai dari gejala sampai penularan pada tanaman yang lain.

8. Kadar capsaicin: pengukuran kadar capsaicin pada cabai merah dilakukan pada buah yang sudah masak. Sampel yang diambil untuk diuji kadar capsaicinnya ialah famili yang mempunyai produksi yang tinggi dan tahan terhadap serangan layu bakteri.

(18)

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendugaan nilai

N = jumlah observasi dalam populasi Xi = nilai observasi

´

X = rata-rata populasi

KKG (Koefisien Keragaman Genetik) =

σ2g

xx x 100%

KKF (Koefisien Keragaman Fenotipe) =

σ2p

xx x 100%

Suatu karakter sifat dapat dikatakan mempunyai keragaman genetik yang luas jika nilai koefisien keragaman genotip dan fenotipnya tergolong tinggi yaitu lebih besar dari 50%, dikatakan rendah apabila nilai koefisien keragaman genotip dan fenotipnya lebih kecil dari 50%. Menurut Moedjiono dan Mejaya (1994)

(19)

Untuk analisis data pada pengamatan intensitas serangan layu bakteri menggunakan rumus:

IP ¿ n

N x 100% Di mana:

IP = intensitas tanaman layu n = jumlah tanaman yang sakit

N = jumlah seluruh tanaman yang diamati.

Kriteria ketahanan tanaman terhadap penyakit layu bakteri didasarkan atas pedoman yang dikemukakan Machmud (1985) yaitu persentase tanaman layu 0-20% = tahan, 21-30% = agak tahan, 31-40% = rentan, dan >40% = sangat rentan.

Untuk menghitung kadar capsaicin (%) yang terkandung pada tanaman cabai dapat dilakukan dengan rumus:

(C x F) (W x V)x100 Keterangan:

C = konsentrasi pada ppm kurva F = faktor pengenceran

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Agustin, Widi., S. Ilyas, S.W. Budi, I. Anas, dan F.C. Suwarno. 2010. Inokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) dan pemupukan P untuk meningkatkan hasil dan mutu benih cabai (Capsicum annuum L.). J. Agron. Indonesia 38 : 218 – 224.

Anonymousa. 2015. Badan Pusat Statistik (BPS). Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Cabai, 2009. www.bps.go.id. Diakses tanggal 2 Januari 2015. Anonymousb. 2015. Bacterial wilt. AVRDC Publication.

Ashari, S. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. UI-Press, Jakarta.

Austi, I. R. 2013. Keragaman dan Kekerabatan Pada Proses Penggaluran Kacang Bogor (Vigna subterranea (L.) Verdc) Jenis Lokal. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. p.19-20.

Black, L. L, S. K. Green, G. Hartman, and J. M. Poulos. 1991. Pepper Diseases, A Field Guide.

Bosland, P.W., E.J. Votava. 2000. Peppers: Vegetable and Spice Capsicum. CABI Pub. New York. 204 p.

Hayward AC. 1983. Pseudomonas: The Non-Fluorescent Pseudomonas. Di dalam: Fahy PC, Persley GJ. editor. Plant Bacterial Disease: A Diagnostic Guide. Sydney: Academy Press. 107-140

Hayward AC. 1985. Bacterial Wilt Caused by Pseudomonas solanacearum in Asia and Australia: an overview. Di dalam Persley GJ. Editor. Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proc. International Workshop Held at PCARRD, Los Banos, 8-10 Okt 1985. Canberra: PCARRD, CIP, SAPPRAD, ACIAR. 15-24

Hewindati, Yuni Tri dkk. 2006. Hortikultura. Universitas Terbuka. Jakarta.

Kusandriani, Y. 1996. Botani Tanaman Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.

Laras, W. S. 2103. Ekstraksi Oleoresin Capsaicin Dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit. Institut Pertanian Bogor. Bogor

(21)

Machmud M. 1985. Bacterial Wilt in Indonesia. Di dalam Persley GJ. Editor. Bacterial Wilt Disease in Asia and the South Pasific. Proc. International Workshop Held at PCARRD, Los Banos, 8-10 Okt 1985. Canberra: PCARRD, CIP, SAPPRAD, ACIAR. 30-34

Moedjiono dan M. J. Mejaya. 1994. Keragaman Genetik beberapa karakter Plasma Nutfah jagung koleksi BALITTAN Malang. Zuriat 5(2): 27 – 32. Moekasan, T.K., L. Prabaningrum, dan Meitha L. 2000. Penerapan PHT pada

Sistem Tanaman Tumpang Gilir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura . Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Muhuria, L., 2003. Strategi Perakitan Gen-Gen Ketahanan Terhadap

Hama.Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana/S3 Institut

Pertanian Bogor November 2003. Diakses dari

http://tumoutou.net/702_0713/la_muhira.pdf. Pada tanggal 27 Desember 2014.

Poespadarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU. Institut Pertanian Bogor. Bogor. p. 169

Pracaya. 1993. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya: Jakarta. p. 382 Purseglove, J. W., E.G. Brown, C.L. Green dan S.R J. Robins. 1985. Spices. Vol I.

Longman Inc., New York.

Rubatzky, V.E dan Yamaguchi, M. 1997. World Vegetable: Principles, Production and Nutritive Values. USA. p. 843

S. Yadi dan S. A. Rais. 2009. Respon Beberapa Genotipe Kacang Tanah terhadap Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) di Rumah Kaca. Buletin Plasma Nutfah.15(1): 20-26 Kapsaisin dan Dihidrokapsaisin pada Berbagai Buah Capsicum. JMS Vol. 2 Sumarni, N. 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Jakarta: Badan Penelitian

(22)

Syukur, M., S. Sujiprihati, R. Yunianti. 2012. Teknik Pemuliaan Tanaman. Penebar Swadaya: Jakarta.

Gambar

Gambar 1. Struktur kimia capsaicin (Laras, 2013)
Tabel 1. Tingkat Kepedasan (Scoville Heat Unit)

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya penelitian ini dilakukan guna meningkatkan pemahaman konsep IPA pada materi gaya dan gerak menggunakan metode eksperimen dengan berbantukan media realia pada

Hal ini menunjukkan, pengadukan yang cepat akan memperpendek jarak antar partikel sehingga gaya tarik-menarik antar partikel menjadi lebih besar dan dominan

Ì×ÒÖßËßÒ ÐËÍÌßÕß ßò Ì·²¶¿«¿²

Rancangan Basis Data untuk Pengembangan Sistem Informasi Rekam Medis Rawat Jalan untuk pelayanan pasien di RSU Imelda Pekerja Indonesia membutuhkan beberapa tabel

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Siklus Belajar 5E ( Learning Cycle 5E ) berbantuan tutor sebaya ( peer tutoring

Laksana Baru dapat mengetahui apakah bauran promosi yang dilakukan dapat berpengaruh terhadap intensitas pembelian pelanggannya dan mengetahui variabel yang paling

Dalam bab IV akan dijelaskan mengenai hasil penelitian yang dilakukan dan pembahasan pokok permasalahan bauran pemasaran pada wisatawan Lembah Harau Kab.50 Kota. BAB V SIMPULAN