• Tidak ada hasil yang ditemukan

Desain Parodi Iklan Televisi pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Desain Parodi Iklan Televisi pdf"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Desain Parodi Iklan Televisi

Sebuah Sajian Performance dan Pendidikan

Muchammad Bayu Tejo Sampurno

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta m.bayutejo@gmail.com

Abstrak

Dunia yang selalu berkembang diiringi pula dengan perkembangan di bidang lainnya, antara lain teknologi, seni, dan pendidikan. Terdapat permasalahan bagaimana pengkategorisasian yang diberikan dalam kaitannya dengan bidang kesenian, menyebabkan seni semakin tidak dianggap keberadaannya. Kenyamanan yang dirasakan oleh guru rasanya tidak sebanding dengan label ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Hal tersebut dikarenakan dari pemikiran linier yang sangat erat hubungannya dengan pengkategorisasian dan kenyamanan. Kembali pada perbincangan mengenai perkembangan dalam berbagai bidang, teknologi merupakan salah satu bidang yang berkembang pesat. Maka, tidak ada salahnya jika guru mencoba mencari metode baru dalam pembelajaran dengan memanfaatkan salah satu ‘hasil’ teknologi yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Iklan yang seringkali dimasukkan dalam ranah non-seni yang merupakan acara televisi menampilkan non-seni olah peran yang kompleks yang sebenarnya mampu menjadi metode pembelajaran yang efektif dan efisien bagi seni pertunjukan dengan desain parodialnya.

Katakunci: parodi, iklan, televisi, seni, pertunjukan

Abstract

World are always growing accompanied by developments in other fields, such as technology, arts, adn education. There are problem of how categorization is given in relation to the field of art, that causes art is not considered of its existence. Comfort of perceived by the teacher feels is can’t comparable with the label ’unsung hero’. That is because of the linear thinking which is very closely related to the categorization of art and its comfort. Back on the discussion of the development in various fields, technology in one area that growing rapidly. Thus, there is no harm if teachers try to find a new method of learning by utilizing one of the 'results' of technology that is often encountered in everyday life. Ads, that are often included in the realm of non-art is a television show featuring art of the complex role or as a performance that is actually capable of becoming effective and also efficient learning methods for performing arts with their parodial design.

(2)

1. Pendahuluan

Pendidikan merupakan sebuah sistem dalam proses pemindahan pengetahuan yang

memerlukan bantuan atau perantara oleh pihak lain sebagai mediator. Pada jaman

konvensional, terdapat buku yang menjadi sumber primer dalam membantu peran pendidik

guna memberikan pemahaman kepada khalayak. Di dalam era kekinian, media dan sumber

pemahaman tersebut berkembang. Media statis berupa buku tersebut diaplikasikan dalam

bentuk yang dinamis, yang lebih memberikan daya tarik bagi khalayak. Tujuannya pasti,

yaitu agar khalayak lebih mudah untuk menangkap apa yang menjadi isi pesan atau materi

pengetahuan yang ingin disampaikan. Salah satu bentuk sumber belajar yang dinamis

adalah melalui media televisi, yang di dalamnya terdapat sajian hiburan. Salah satu media

yang dapat dikreasikan sedemikian rupa adalah pengkonversian teks melalui media iklan.

Iklan atau periklanan didefinisikan sebagai kegiatan berpromosi melalui media massa

(Wibowo, 2003:5). Sedikit berbicara mengenai iklan, dewasa ini kemunculan berbagai jenis

iklan semakin marak di televisi dimana perusahaan-perusahaan telah memilih iklan di televisi

sebagai salah satu ‘corong’ pencitraan produknya. Televisi sebagai media beriklan terbukti

merupakan media komunikasi yang paling efektif dan efisien sebagai media untuk informasi

produk dan citra perusahaan. Kelebihan-kelebihan dan kekuatan teknologis yang dimilikinya,

memungkinkan tercapainya tingkat efektifitas dan efisiensi yang diharapkan oleh suatu

perusahaan atau lembaga lainnya. Salah satu keunggulan televisi adalah mampu

memperlihatkan kelebihan dari segala macam produk yang diiklankan melalui desain

penyampaian masing-masing perusahaan. Kaitannya dengan pendidikan, telah kita ketahui

bersama bahwa iklan merupakan sebuah tanda yang di dalamnya terdapat pesan, dan pasti

terdapat unsur pendidikan dalam iklan. Iklan sebagai sebuah performance atau pertunjukan,

karena sesuai dengan konteks pertunjukan yang didasarkan pada peran dan fungsinya, seni

pertunjukan lebih dekat disebut sebagai media komunikasi. Iklan dalam desainnya juga

mampu digunakan sebagai media pembelajaran seni pertunjukan yang sangat efektif.

Sejalan dengan itu, maka wilayah seni pertunjukan sebagai media komunikasi antara kreator

(seniman) dan apresiator (penonton atau audiens), antara pelaku seni dan penikmat seni,

menjadi sesuatu yang ditafsirkan oleh keduanya. Maka, terdapat kaitan erat antara iklan

sebagai sebuah seni pertunjukan dan dunia pendidikan baik pesan yang ada dalam iklan

sampai cara penyampaian iklan yang dapat dijadikan sumber acuan bagi pembelajaran seni

pertunjukan. Namun, terdapat masalah yang mendasar dalam iklan televisi yang kini sangat

beragam, mulai dari kurangnya masyarakat memandang iklan sebagai media pendidikan

dalam kaitannya sebagai seni pertunjukan sampai minimnya eksplorasi kreasi pendidik

dalam pembelajaran seni pertunjukan tradisional kepada khalayak dikarenakan kurangnya

(3)

yang selalu berupa tarian, musik, drama atau teater, namun tidak pernah sebuah iklan

dipandang sebagai ranah dari seni pertunjukan. Iklan dikelompokkan dalam sebuah ranah

tersendiri, yaitu ranah ekonomi atau komersil, yang menunjukkan bahwa sebuah iklan sarat

dengan unsur promosi atau komersil tanpa melihat unsur seni yang terdapat di dalam iklan

tersebut, dan bahkan unsur seni dalam iklan seakan menjadi roh, jiwa, dari iklan tersebut,

namun tidak ada yang menyadari keberadaannya, atau tidak ada yang menyadari di mana

letak seni dalam iklan. Hal tersebut sama halnya dengan baliho, yang lebih dikenal oleh

sebagian besar masyarakat sebagai media promosi ketimbang salah satu dari produk seni

rupa.

2. Posisi Iklan dalam Seni yang Terbatas

Berbicara mengenai seni, secara tidak sadar pikiran terbang bebas dan turut

memperlihatkan apa yang seharusnya ada dalam seni, antara lain kesenangan, kenikmatan,

imajinasi, kreasi, inovasi, emosi, dan ekspresi. Lalu pada akhirnya hal-hal tersebut-lah yang

akan membawa individunya ke dalam situasi yang menyatakan ‘seni itu bebas’, dan

pernyataan-pernyataan sejenis, yang intinya bahwa tidak ada batas, dan bahkan

linieritas-pun agak dilarang dalam seni. Seni menuntut pelakunya untuk selalu gelisah yang pada

akhirnya berimbas pada penemuan dan penciptaan karya-karya baru untuk dinikmati.

Dewasa ini, seiring dengan masifnya perkembangan zaman, baik secara langsung

maupun tidak langsung, seni juga ikut mengalami perkembangan. Seni bukan lagi berada

dalam wilayah yang bersifat elitis dan esoteris, namun sudah sebagai siasat untuk

menciptakan persepsi kehidupan sehari-hari.1 Kembali ke perkembangan seni,

perkembangan yang dimaksud bukan hanya pada gaya atau aliran, namun juga pada

pemahaman para pelaku seni mengenai apa yang dimaksud seni itu sendiri, yang pada

kesempatan kali ini difokuskan pada pelaku seni dalam bidang pendidikan atau biasa disebut

dengan guru seni, atau seniman guru. Beberapa kasus yang marak terjadi di Indonesia

adalah bagaimana para guru mengkotak-kotakkan bidang-bidang seni, dan tidak memaksa

dirinya untuk ikut ‘keluar’ dari kenyamanannya dalam kaitannya dengan bidang-bidang seni.

Para guru seakan nyaman dengan apa yang dipelajarinya saat menempuh pendidikan

dahulu. Padahal jika ditelaah lebih lanjut, konsep-konsep teori yang didapatnya dulu, di

masa kini telah berkembang atas dasar penelitian maupun pengalaman yang menyebabkan

berubahnya sebuah konsep teori. Seperti yang telah dikemukakan pada bahasan

sebelumnya mengenai pengkategorisasian yang terkesan ngawur dan asal-asalan yang

mana hal tersebut justru malah mempersempit esensi seni dalam kehidupan kita. Mari

direnungkan bersama, bagaimana pentingnya seni dalam kehidupan; dimana dalam setiap

1

(4)

detik dalam hidup terdapat ‘seni’ yang mengiringinya. Dalam kata lain, seni sangat penting

keberadaannya dalam hidup kita.

Berbicara mengenai seni pertunjukan, Menurut Soedarsono, seni pertunjukan adalah

seni yang hilang dalam waktu yang hanya bisa kita nikmati apabila seni tersebut sedang

dipertunjukan (Sujarno, 2003:1). Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu

keadaan dimana seni pertunjukan itu tumbuh dalam lingkungan-lingkungan ethnik yang

berbeda satu sama lain (Sedyawati, 1981:52). Masyarakat kita yang agraris dan tradisional

menemukan seni pertunjukan sebagai wahana ekspresi yang efektif dan sangat fungsional.

Maka, dapat dikatakan bahwa seni pertunjukan waktu itu adalah wahana ekspresi

komunikasi kultur yang tepat dan berguna untuk menjaga keseimbangan, equilibrium

masyarakat (Kayam, 1981:109). Lalu bagaimana dengan seni pertunjukan masa kini? Patut

digarisbawahi dalam pernyataan mengenai seni pertunjukan di atas, terdapat beberapa kata

kunci yang dapat dijadikan pedoman dalam pembahasan ini, yaitu ‘wahana ekspresi’,

‘fungsional’, dan ‘ekspresi komunikasi’. Seni pertunjukan apapun bentuknya merupakan

media komunikasi, yang memiliki progresivitas dalam menciptakan ragam dan format sajian

untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan masyarakat pendukungnya.

Progresivitas pertunjukan sebagai media komunikasi dapat diamati dengan ‘pelebaran

wilayah pertunjukan’ yang sebelumnya telah dirinci secara antropologis, di antaranya oleh

Victor Turner (The Anthropology of Performance,1986), Willa Apple dan Richard Schechner

(By Mean of Performance, 1990), dan Richard Schechner (Performance Theory, 1988). Dari

ketiga kajian tersebut, pertunjukan pada prinsipnya dibagi menjadi empat kategori, yakni; (1)

ritual (hal-hal yang menyangkut upacara keagamaan); (2) performance arts (seni

pertunjukan); (3) event of culture (hal-hal yang menyangkut peristiwa budaya), dan; (4)

entertainment (dunia hiburan). Di dalam kajian masa kini, dapat kita lihat bahwa pertunjukan

dapat mencerminkan dari salah satu kategori di atas. Seni pertunjukan merupakan seni

plastis atau seni kemasan dengan bobot estetik yang cukup diperhitungkan dan memiliki

multidimensi seni, misalnya teater atau drama, tari, musik , seni rupa, sastra dan

sebagainya. Lalu sedikit lebih mengarah pada kaitan antara seni pertunjukan dan iklan;

selanjutnya seni pertunjukan yang menghibur (to entertain), dengan sifatnya yang

menghibur, seni pertunjukan berkembang pesat dengan orientasinya yang lebih pada profit,

namun juga disajikan secara cuma-cuma sebagai pelengkap kegiatan yang sifatnya lebih

pada market-oriented pada masyarakat kota (industri), dan leisure time pada masyarakat

desa, maka dirasa tidak ada perbedaan antara iklan dan seni pertunjukan, keduanya dapat

berjalan bersamaan sebagai sebuah kesatuan. Ruang dan waktu bentuk pertunjukan seperti

ini tidak terbatas. Oleh karenanya, media televisi sangat melirik bentuk pertunjukan yang

(5)

Dunia kita saat ini secara tidak sadar telah dikepung oleh media yang hadir dari

berbagai sisi dan penjuru sudut. Setiap langkah kita diiringi oleh ekspresi media yang lahir

seiring dengan kemajuan teknologi dan kemajuan pemikiran sosok-sosok yang menjadi

pelaku di dalamnya. Dunia objektif yang dihadapi manusia itu tidak terjangkau, tidak terlihat,

dan tak terbayangkan. Oleh karenanya manusia menciptakan sendiri dunia di pikirannya

dalam upaya memahami dunia objektif. Karena itu pula perilaku manusia dalam sebuah

media tidak didasarkan pada kenyataan yang sesungguhnya, melainkan berdasarkan pada

kenyataan ciptaannya sendiri (Rivers, dkk., 2004:29). Gambaran tentang lingkungan semu

adalah gambaran isi media yang tak berbeda dengan bentuk-bentuk pertunjukan sebagai

ekspresi manusia saat ini, yang bermaksud menggambarkan dunia objektif. Berkaitan

dengan hal tersebut, dalam kajian media dan seni pertunjukan akan dikhususkan menyoroti

media televisi yang secara umum sebenarnya menayangkan mata acara yang erat kaitannya

dengan pertunjukan. Sebagaimana pertunjukan menurut Bill Parcells dalam performance

studies, yang dicatat oleh Schechner mengidentifikasi adanya delapan macam bentuk

pertunjukan. Bentuk-bentuk pertunjukan tersebut meliputi; pertunjukan dalam kehidupan

sehari-hari (everyday life), seni, olah raga dan hiburan populer, bisnis (kerja), teknologi,

seks, ritual (sakral dan sekuler), dan drama (teater) (Schechner, 2002: 25). Kedelapan jenis

pertunjukan tersebut merupakan isi media televisi kita saat ini yang dikemas oleh pelaku

media sesuai dengan interpretasi mereka.

Antara media televisi dan seni pertunjukan memang terjadi perbedaan wilayah. Akan

tetapi secara umum keduanya menjadi suatu “pertunjukan” yang memiliki hakekat sama,

yaitu “ditonton oleh banyak orang”. Dengan ditonton dan diapresiasi oleh masyarakat,

mereka menjadi suatu bentuk sumber komunikasi yang memberikan pesan bagi khalayak

masing-masing. Hal inilah yang menyebabkan pertautan antara media dan seni pertunjukan

menjadi erat kaitannya. Televisi adalah sumber daya terbuka bagi semua orang dalam

masyarakat industri dan semakin mengalami pertumbuhan di negara-negara berkembang.

Televisi juga merupakan sumber bagi pengetahuan tentang dunia, dan berdampak pada

ketentuan dan konstruksi selektif pengetahuan sosial, imajinasi sosial, di mana kita

merepresentasikan dunia, realitas yang dijalani, dan secara imajiner merekonstruksi

kehidupan secara keseluruhan.2 Permasalahannya muncul ketika media televisi

dikategorikan sebagai pembujuk seperti yang dikatakan oleh Drew Pearson, bahwa “selain

reporter, masih banyak pembohong lain dalam media televisi yang memiliki maksud-maksud

untuk membujuk khalayak” (Rivers, dkk., 2004: 231). Bujukan media televisi adalah bujukan

semu yang tidak setiap orang dapat menjangkaunya, baik dari sisi ekonomi, sosial, politik,

2

(6)

maupun kultur. Bujukan-bujukan tersebut secara keseluruhan menawarkan gaya hidup ideal

seseorang untuk dapat dikatakan sebagai manusia kekinian. Dunia yang semu (psedou

world) dan bukan pula hayalan yang ditawarkan televisi menjadi elemen-elemen simbolik

dari suatu masyarakat beragam kelas yang terangkum dalam pikiran media untuk

mempengaruhi masyarakat (pemirsa). Sementara seni pertunjukan yang digarap oleh sosok

seniman dengan media panggung pertunjukan lebih menawarkan nilai-nilai yang diyakini

oleh suatu kelompok masyarakat yang memandang fenomena-fenomena sebagai sesuatu

yang harus dijawab dalam sebuah karya pertunjukan. Ketika kedua bentuk disatukan, media

televisi dan seni pertunjukan, mereka mejadi saling membutuhkan. Media televisi

membutuhkan pertunjukan sebagai isi dari apa yang ingin disampaikan kepada masyarakat

dan pertunjukan membutuhkan media televisi sebagai media untuk menyebarluaskan

pesan-pesan yang ada dalam pertunjukan tersebut. Kepentingan yang sama dimiliki oleh media

dan seni pertunjukan dalam memberikan pesan. Dengan pengalaman dan pikiran para

pelaku media, jenis-jenis pertunjukan direkonstruksi untuk turut membangun kehidupan

berkaitan dengan pikiran-pikiran sosial dan budaya masyarakatnya.

Terdapat banyak ragam pandangan yang didasarkan pengalaman dan pikiran sosok

manusia yang dituangkan dalam media saat ini. Pengalaman dan pikiran individu manusia

yang dituangkan dalam media itu sekarang dianggap sebagai kreativitas manusia. Ragam

kreativitas selanjutnya merupakan bagian dari budaya masyarakat yang oleh media

disebarluaskan menjadi suatu bentuk pikiran-pikiran dengan makna baru yang

kepentingannya untuk mempengaruhi atau memberikan informasi dari apa yang menjadi

gagasan kreativitasnya. Sekalipun antara media televisi dan seni pertunjukan memiliki

hakekat yang sama, keduanya berbeda orientasi secara ideal. Idealisasi seni pertunjukan

dapat menawarkan makna atas nilai-nilai kultural yang menjadi bagian penting hidup suatu

masyarakat atas hubungan yang tidak berdasarkan untung rugi secara finansial. Berbeda

halnya dengan media televisi kita saat ini yang lebih berorientasi pada prinsip-prinsip

libertarian. Prinsip ini di antaranya menjadikan media sebagai hiburan dan barang dagangan.

Seperti ditengarai oleh Pauline Kael (dalam Rivers, 2004: 181), bahwa televisi sering

menampilkan acara promosi dengan para selebritis untuk menjual apa saja dan itupun masih

diselingi dengan iklan-iklan lainnya.

Berdasarkan paparan di atas, kebanyakan dari kita menganggap iklan masuk dalam

ranah yang terpisah dari seni, yaitu dalam ranah komersil. Namun, jika ditelaah lagi, iklan

sarat akan unsur-unsur seni terutama seni pertunjukan dalam penyampaiannya kepada

penonton. Juga kaitannya dengan fungsi seni yang salah satunya adalah sebagai media

berkomunikasi atau penyampaian pesan, iklan televisi telah dirasa mampu dengan baik

(7)

satu sajian seni pertunjukan yang kurang disadari keberadaannya dalam seni, yang

sebenarnya justru memiliki kompleksitas dalam fungsi. Lagi, mengenai iklan sebagai seni,

sering dibicarakan mengenai fungsi seni sebagai media ekspresi. Di dalam iklan tentu

terdapat aspek tersebut yang terletak pada saat artis mengekspresikan dirinya dalam peran

yang dijalaninya dalam sebuah drama atau cerita dalam iklan dengan pesan penyampaian

informasi mengenai suatu produk. Tidak jarang kita temui bentuk iklan yang malah tidak

menampilkan produknya secara gamblang, namun tersirat. Komunikasi dalam iklan juga

tersampaikan sama halnya dengan komunikasi antara seniman dan penonton pada karya

seni lain seperti seni lukis, musik, tari, misalnya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka iklan

sangat dapat dikatakan sebagai seni pertunjukan, paling tidak terdapat unsur-unsur seni

pertunjukan di dalamnya.

3. Desain Parodi Iklan Televisi: Mengapa?

Bangsa Indonesia identik dengan bangsa yang kaya akan budaya, dimana jika ditarik

sebuah garis lurus, maka kebudayaan erat halnya dengan kesenian, dan kesenian erat

halnya dengan kesenangan, serta kesenangan erat halnya dengan kegembiraan, kelucuan.

Maka dari itu tidak dapat dipungkiri lagi bahwasanya masyarakat lebih ‘menerima’ dengan

sebuah penyampaian atau suatu hal yang didalamnya terdapat unsur humor. Humor dalam

istilah akademis disebut dengan parodi, karena di dalam parodi terdapat unsur humor yang

kompleks dimana terdapat pula unsur lain yang seakan ‘memperindah’ tampilan parodi

tersebut. Di dalam parodi terdapat ruang kritik untuk mengungkapkan satu ketidakpuasan

atau bisa juga sekedar ungkapan rasa humor belaka. Konsep pendekatan parodi mampu

membuat iklan lebih menarik dimana aspek humor yang menonjol membuat penonton lebih

mengingatnya (Shimp, 2003:536). Dengan mengangkat hal-hal sosial atau budaya dan lain

sebagainya yang ada di sekitar masyarakat inilah yang membuat konsumen tertarik untuk

melihat iklan parodial dari awal sampai akhir yang kemudian akan memberikan awareness

kepada para konsumen. Daya tarik parodi yang menghibur mampu mempengaruhi emosi

penonton dan menempatkannya sebagai konsumen dalam kerangka berpikir yang

menguntungkan produsen. Riset menunjukkan bahwa cita-cita visual parodi yang

disuguhkan melalui televisi melompati proses logika otak dan langsung disampaikan ke

(8)

Gambar 1.Kedudukan desain parodi dalam sebuah pertunjukan (sumber: penulis, 2014)

Seni pertunjukan dalam desain parodi iklan merupakan penghadiran karya seni dapat

disebut sebagai representasi, karena dalam prosesnya seniman bersinggungan dengan

kenyataan objektif di luar dirinya atau kenyataan dalam dirinya sendiri3.

Representasionalisme adalah pandangan bahwa seni merupakan suatu cara

merepresentasikan sesuatu. Di dalam iklan terdapat simbol-simbol yang dapat dikaji makna

yang terkandung di dalamnya, hal tersebut juga terdapat pada seni pertunjukan, maka

semakin ditekankan bahwa iklan merupakan sebuah sajian seni pertunjukan. Berbicara

mengenai simbol, dalam bahasa lain simbol-simbol yang berinteraksi itu sebagai sebuah

pertunjukan dapat disebut sebagai teks yang dikomposisikan dalam pertunjukan

(composition in performance). Desain dalam parodi iklan merupakan sebuah simulasi yang

disampaikan melalui simbol-simbol yang didalamnya terdapat hiperrealitas, sebuah realitas

yang dilebih-lebihkan. Hiperrealitas adalah konsep yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard,

sebuah konsep dimana realitas yang dalam konstruksinya tidak bisa dilepaskan dari

produksi dan permainan tanda-tanda yang melampaui realitas aslinya, dimana hiperrealitas

menciptakan suatu kondisi dimana kepalsuan bersatu dengan keaslian, masa lalu berbaur

dengan masa kini, fakta bersimpang siur dengan rekayasa, tanda melebur dengan realitas,

dusta bersenyawa dengan kebenaran.4 Hiperrealitas menghadirkan model-model kenyataan

sebagai sebuah simulasi bagi penikmatnya yang disebut dengan simulakrum. Simulasi

adalah suatu proses dimana representasi atas dasar tanda realitas, dimana

tanda-tanda tersebut justru menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal

yang lebih penting dibandingkan objek tersebut. Simulasi hadir bukan untuk melukiskan

realitas yang diwakilkannya, tetapi mereka hadir hanya untuk mengacu pada dirinya sendiri

dan melampaui realitas aslinya. Menurut Baudrillard, simulasi tersebut menghasilkan

simulakra, yang tersusun atas serakan citra tanpa realitas. Iklan ini menunjukkan

hiperrealitas bisa digunakan sebagai media kreatif kritik. Hiperrealitas iklan ini menguraikan

3

Periksa Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000, 76.

4

Periksa Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,

(9)

simulasi dari simulakra, dan justru membuktikannya tidak bertentangan dengan plesetan.

Iklan dengan desain parodi menyampaikan komunikasi, ekspresi, dan metode penyampaian

yang memberikan kebebasan kepada masing-masing penonton untuk

menginterpretaikannya, juga membiarkan mereka untuk mengkaji secara detail. Artis yang

berperan dalam parodi iklan tersebut sama halnya dengan seniman seni pertunjukan.

Bahkan, di dalam iklan si artis tersebut dituntut bekerja kompleks sebagai pekerja seni.

Telah dijabarkan di atas mengenai apa yang disampaikan oleh iklan, atau apa yang

terkandung dalam iklan televisi. Di dalam bagian tersebut, lebih baiknya kita mencoba

berpikir zig-zag, non-linier. Paradigma akademik di dunia pendidikan nasional dibuat linier;

linieritas jadi pijakan sekaligus sebagai filter penyaring terhadap segala sesuatu yang

non-linier, padahal natura kreativitas di bidang apapun selalu bergerak zig-zag dimana kreativitas

hanya dapat terjadi ketika ada dinamika non-linier, mengkombinasikannya, mengaitkan

dengan hal berbeda, menginterpretai dengan persepsi yang berdeda dengan orang

kebanyakan, maka jadilah sesuatu hal yang baru.5 Karena sebagai guru seni, seuai dengan

salah satu aspek yang ada dalam seni yaitu kreatif, maka guru seni pun harus kreatif

terutama dengan hal yang berkaitan dengan tugasnya sebagai pentransfer ilmu. Dengan

berpikir demikian, kita sebagai penikmat, penonton, dan tentunya guru mampu mendapatkan

interpretasi berbeda dari suatu objek yang dilihat, dan khusus bagi guru, diharapkan mampu

berpikir out of the box dalam kaitannya sebagai sumber primer dari kegiatan transfer

pengetahuan. Seperti yang telah dipaparkan pada awal bahasan, biasanya sumber belajar

utama bagi siswa adalah buku. Tanpa kita sadari, sebenarnya di era modern saat ini

teknologi berada pada posisi teratas. Oleh karenanya tidak ada salahnya apabila guru

mencoba menggunakan televisi sebagai salah satu teknologi sebagai sumber belajar siswa.

Pemikiran berbeda ditunjukkan dengan menjadikan iklan yang notabene sering disebut oleh

kebanyakan orang sebagai media komersil, untuk dijadikan sumber belajar bagi peserta

didik, terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran seni pertunjukan. Hal tersebut dapat

dilakukan karena banyaknya unsur seni pertunjukan yang ada dalam iklan terutama iklan

dengan penyampaian parodial. Dengan belajar pada iklan parodi dan juga desain parodi

iklannya, seorang siswa pertunjukan akan dapat memahami secara kompleks apa arti peran

dalam sebuah ekspresi sampai komunikasi. Di dalam iklan parodi, terdapat artis yang harus

mampu menyampaikan pesan secara tersirat. Maka dengan mengamati dan mengkaji

pertunjukan yang disajikan dalam bentuk iklan tersebut siswa dapat memahami bagaimana

artis memainkan perannya dan dapat mengerti bagaimana cara penyampaian pesan dalam

bentuk drama teatrikal berbentuk parodi. Pembelajaran menggunakan media televisi

5

(10)

termasuk efektif, karena arti penting televisi yang tidak bisa disempitkan ke dalam makna

tekstual karena pada dasarnya televisi ditempatkan dan dipertahankan di dalam aktivitas

kehidupan sehari-hari (Barker, 2011:306), sehingga dalam penerimaan oleh penonton

menjadi lebih mudah.

4. Kesimpulan

Seni pertunjukan merupakan media komunikasi masyarakat yang memiliki fungsi lebih

pada penyadaran budaya. Sebagai media komunikasi, seni pertunjukan memberikan

informasi kearifan lokal yang secara lisan masih menjadi budaya kebanyakan masyarakat

pendukungnya. Simbol-simbol yang menjadi alat komunikasi dalam seni pertunjukan sebagai

media komunikasi adalah simbol-simbol yang dapat memberikan pengetahuan atas budaya

lokal berdasarkan kesepakatan masyarakatnya. Demikian halnya jika kita bandingkan antara

media saat ini terutama televisi dengan seni pertunjukan. Perbedaan yang mencolok adalah

isi tampilan dan makna tampilan yang dikemukakan dua media tersebut. Televisi, oleh

karena sifatnya yang sangat berorientasi pada pasar, kapital maka isinya lebih

menyenangkan pemirsanya sebagai sebuah hiburan. Berbeda dengan media seni

pertunjukan, sekalipun menampilkan kesenangan dan hiburan namun tetap memegang

nilai-nilai yang berlaku di masyarakatnya. Pada sisi lain, komunikasi yang dibangun oleh media

televisi adalah komunikasi dalam konteks massa, berbeda dengan seni pertunjukan yang

sering diartikan agak terbatas sebagai media komunikasi dalam konteks publik. Sejalan

dengan itu, seni sebagai media berkomunikasi dan media berekspresi terdapat pula dalam

iklan. Iklan televisi dengan desain parodi memiliki kompeksitas pertunjukan yang pantas

dijadikan media pembelajaran olah peran dalam ranah pendidikan seni pertunjukan masa

kini.

5. Pustaka

Barker, C., 2011, Cultural Studies: Teori dan Praktek, terj. Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Kayam, U., 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.

Monle, L., dkk., 2004, Prinsip-prinsip Periklanan dalam Perspektif Global, Jakarta: Prenada.

Piliang, Y. A., 2003, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna,

Yogyakarta: Jalasutra.

Rivers, W. L., dkk., 2004, Media Massa dan Masyarakat Modern, Terj. Haris Munandar dan Dudy Priatna, Jakarta: Prenada Media.

(11)

Sedyawati, E., 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.

Shimp, T. A., 2003, Periklanan Promosi, Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu,

Jakarta: Erlangga.

Sugiharto, B., 2013, Untuk Apa Seni?, Bandung: Matahari.

Sujarno, dkk., 2003, Seni Pertunjukan Tradisional (Nilai, Fungsi dan Tantangannya), Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian Dan Pengembagan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta.

Sumardjo, J., 2000, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB.

Wibowo, W., 2003, Sihir Iklan: Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban Kosmopolit, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

6. Biodata Penulis

Muchammad Bayu Tejo Sampurno, S.Pd., lahir di Jakarta, 7 Nopember 1992. Lulus Sarjana

Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Yogyakarta tahun 2013 dengan predikat

cumlaude. Sejak 2010-sekarang bekerja sebagai terapis bagi anak berkebutuhan khusus

menggunakan terapi seni. Saat ini sedang menyelesaikan program master (S2) pada

Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana

Gambar

Gambar 1. Kedudukan desain parodi dalam sebuah pertunjukan (sumber: penulis, 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini telah diterima, selanjutnya akan dibahas lebih jauh mengenai penyebab diterimanya

Melihat penurunan kuat tekan beton pada beton yang dirawat dengan air laut maupun air tawar maupun beton yang menggunakan air laut sebagai campuran beton maka perlu untuk

mempelajari dan mendalami serta mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dalam kegiatan belajar mengajar. Tidak berpengaruhnya kompetensi pedagogik guru terhadap

Proses training pada algoritma SOM dilakukan dengan mencari jarak terdekat dari masing-masing neuron output ke data input, proses ini akan mengupdate bobot neuron pada

Tindakan yang dilakukan tersebut merupakan kebenaran, yang juga berarti ketidakpastian objektif sebab apa yang diyakini sebagai kebenaran tidak mutlak menutup suatu

Pasal 76 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, bahwa Aset lainnya milik Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain: kekayaan Desa yang dibeli

Pelaksanaan program pemberdayaan life skills batik SDN di Kecamatan Pandak dilaksanakan dengan melalui beberapa tahapan yaitu : (1) Menyusun renstra pendidikan dan pelatihan life

Jika dilihat dari parameter longsor yang telah dipaparkan Area A memiliki karakteristik kemiringan lereng 0 – 8 % yang merupakan tingkat kemiringan sangat