• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengetahuan - Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Status Imunisasi Anak di Sekolah Dasar Negeri 064979 Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pengetahuan - Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Status Imunisasi Anak di Sekolah Dasar Negeri 064979 Medan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Benyamin Bloom (1908) dalam Notoadmojo (2010) pada proses penginderaan sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda–beda. Secara garis besar pengetahuan dibagi dalam enam tingkatan, yaitu :

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa buah tomat banyak mengandung vitamin C, apa penyebab penyakit TB, dan sebagainya.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. Misalnya: orang yang memahami cara pemberantasan penyakit demam berdarah, bukan hanya sekedar menyebutkan 3M ( mengubur, menutup, dan menguras), tetapi juga harus dapat menjelaskan mengapa harus mengubur, menutup, dan menguras tempat – tempat penampungan air tersebut.

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi berarti orang yang telah memahami objek tersebut harus dapat mengaplikasikan atau menggunakan prinsip yang telah diketahui tersebut pada situasi tertentu. Misalnya: seorang telah dapat memahami metodologi penelitian maka ia akan mudah membuat proposal penelitian.

(2)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, dan kemudian mencari hubungan antara komponen– komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Misalnya: seseorang yang dapat membedakan nyamuk Aedes agepty

dengan nyamuk biasa, seseorang yang dapat membuat siklus hidup (flow chart) cacing kremi, dan sebagainya.

5. Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan logis dari komponen–komponen pengetahuan yang dimiliki. Misalnya: seseorang yang dapat merangkum isi dari artikel yang telah dibaca atau didengarkan.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek. Misalnya: seseorang yang dapat menilai manfaat ikut keluarga berencana bagi keluarga (Notoatmodjo, 2010).

2.2. Konsep Imunisasi 2.2.1. Pengertian

Menurut Hidayat (2005) dalam Asuhan Neonatus Bayi dan Balita (2010), imunisasi adalah suatu usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin ke dalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu.

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak dia terpajan terhadap antigen serupa, dia tidak sakit (Ranuh, 2008). Imunisasi merupakan salah satu cara pencegahan penyakit infeksi serius yang paling efektif biayanya (Bart, 2000)

(3)

pasif adalah timbulnya reaktivitas imun spesifik pada individu yang sebelumnya tidak memiliki imunitas melalui pemberian sel limfoid tersensitisasi atau serum dari individu yang imun (Dorland, 2002).

2.2.2. Tujuan

Tujuan pemberian imunisasi untuk seseorang, yaitu untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat, dan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar variola. Keadaan yang terakhir ini hanya dapat dilakukan pada penyakit yang ditularkan melalui manusia seperti difteria (Matondang, 2008).

2.2.3. Jenis vaksin

Vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan antibodi yang dimasukkan ke tubuh manusia melalui suntikan atau mulut (Muslihatun, 2010). Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

- Live attenuated

- Inactivated (Juyitno, 2008).

Vaksin life attenuated diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang telah dihasilkan masih dapat bereplikasi dan merangsang terbentuknya antibodi tetapi tidak menyebabkan penyakit. Vaksin ini berkembang biak dalam tubuh resipien, supaya dapat merangsang respon imun. Vaksin bersifat labil dan dapat rusak oleh cahaya atau panas. Walaupun dapat menyebabkan penyakit namun bersifat lebih ringan daripada penyakit alamiah dan hal ini disebut kejadian ikutan (adverse effect). Contoh vaksin dari virus hidup adalah campak, gondongan, rubela, polio, rotavirus, yellow fever. Contoh vaksin dari bakteri hidup adalah BCG dan tipoid oral (Muslihatun, 2020).

(4)

membutuhkan waktu selama 10 tahun untuk mengubah virus campak liar menjadi virus campak yang dapak divaksinasi ke tubuh manusia (Suyitno, 2008).

Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakkan bakteri atau virus dalam media pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif dengan penanaman bahan kimia. Vaksin inactivated tidak dapat hidup atau berkembang biak sehingga seluruh dosis antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik (Suyitno, 2008). Contoh vaksin yang berasal dari seluruh sel virus inactivated adalah influenza, polio, rabies, dan hepatitis A. Contoh vaksin yang berasal dari seluruh bakteri inactivated adalah pertusis, kolera, tifoid, dan lepra (Muslihatun, 2010).

2.3. Aspek Imunologi Imunisasi

Imunisasi menggambarkan proses menginduksi imunitas secara artifisial terhadap antigen dengan memberikan agen imnunobiologis. Pemberian bahan imunobiologis tidak dapat disamakan secara autonomis dengan perkembangan imunitas yang cukup (Bart, 2000).

Dilihat dari cara timbulnya kekebalan pada imunisasi maka terdapat dua jenis imunisasi yaitu imunisasi aktif dan imunisaasi pasif (Matondang dan Siregar, 2008). Imunisasi aktif adalah induksi tubuh untuk mengembangkan pertahanan terhadap penyakit dengan pemberian vaksin atau toksoid yang merangsang sistem imun untuk menghasilkan antibodi dan respon imun seluler yang melindungi terhadap agen infeksi (Bart, 2000). Kekebalan yang diperoleh dari imunisasi aktif dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada imunisasi atau terpajan secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya memori imunologik (Matondang dan Siregar, 2008).

(5)

menghambat imunisasi yang efektif pada bayi. Jadi sebaiknya imunisasi pada neonates ditunggu sampai antibodi ibu menghilang dari darah anak (Imunologi Dasar, 2009). Kekebalan yang terbentuk dari imunisasi pasif tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari, sedangkan waktu paruh imunologik lainnya lebih pendek (Matondang dan Siregar, 2008).

Pendekatan utama imunisasi aktif adalah menggunakan agen infeksi hidup yang dilemahkan dan dinonaktifkan atau diambil ekstrak antigennya. Vaksin hidup yang dilemahkan menginduksi respon imunologis yang lebih menyerupai respon imunologis pada infeksi alamiah daripada vaksin yang dininaktifkan atau vaksin mati. Vaksin mati terdiri atas seluruh organisme yang diinaktifkan (vaksin pertusis), eksotoksin yang didetoksifikasi saja (toksoid tetanus), endotoksin terikat pada protein pembawa atau bahan kapsul yang dapat larut (polisakarida pneumokokus), bahan kapsul gabungan (vaksin gabungan Hib) dan ekstrak dari komponen–komponen organism (subunit influenza) (Bart, 2000).

2.3.1. Respon Imun

Respon imun adalah respon tubuh terhadap urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen (Ag) untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu mekanisme pertahanan tubuh non-spesifik dan mekanisme pertahanan tubuh spesifik. Mekanisme pertahanan non-spesifik disebut juga komponen non-adaptif atau innate artinya tidak ditujukan untuk satu antigen tapi untuk berbagai macam antigen. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya memori pada pemberian antigen pertama kali (Matondang dan Siregar, 2008).

(6)

sedangkan antigen TI (T independent) akan langsung diproses oleh sel B (Matondang dan Siregar, 2008).

Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas seluler dan imunitas humoral. Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut immunoglobulin (Ig) yang dapat dipindahkan secara pasif kepada individu lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda dengan imunitas seluler hanya dapat dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus – host – disease (Matondang dan Siregar, 2008).

Respon imun terdiri dari dua fase, yaitu fase pengenalan yang diperankan oleh APC, sel limfosit B, dan limfosit T dan fase efektor yang diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor (Matondang dan Siregar, 2008).

2.3.2. Antigen sel T dependen dan sel T independen

Pada umumnya pajanan antigen bersifat tergantung sel T (TD=T dependent antigen) yang akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan sel Th (T helper) melalui zat yang akan dilepaskan Th aktif. Antigen TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus, dan antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak memerlukan sel T (TI = T independent antigen) untuk menghasilkan antibodi dengan cara langsung merangsang sel limfosit B misalnya antigen yang strukturnya sederhana dan berulang–ulang, biasanya merupakan molekul besar dan menghasilkan IgM, IgG2 dan sel memori yang lemah. Contohnya polisakarida komponen endotoksin yang terdapat pada dinding sel bakteri (Matondang dan Siregar, 2008).

(7)

akan terjadi diferensiasi menjadi sel Th efektor, sel Tc efektor, sel Th memori dan sel Tc memori atas pengaruh sitokin berada di jaringan perifer. Sel Th efektor mengaktivasi makrofag. Peran utama dari Th adalah membantu sel limfosit B menghasilkan antibodi (Matondang dan Siregar, 2008). Bantuan tersebut berupa sitokin yang dilepas sel T setelah kontak dengan antigen (Imunologi Dasar, 2009).

Terdapat dua jenis sel Th yaitu sel Th1 dan sel Th2 yang dapat dibedakan dengan sitokin yang dihasilkannya dan fungsi efektornya (Matondang dan Siregar, 2008). Sel Th1 memperantarai respon imun seluler sedangkan sel Th2 memperbanyak produksi antibody. Sel Th1 menghasilkan IL-2 dan interferon gamma dan sel Th2 menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-10 (Bart, 2000).

2.3.3. Pajanan Antigen pada Sel B

Pada antigen TD akan berikatan dengan immunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan Th akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sehingga terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan membentuk sel B memori. Sedangkan antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th. Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga virulensinya hilang ataupun berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagositosis oleh makrofag dalam proses opsonisasi (Matondang dan Siregar, 2008).

Proses pengikatan antibodi dengan antigen sehingga mempermudah lisis antigen oleh sel Tc disebut antibody dependent cellular mediated cytotoxity

(ADCC). Hal yang diharapkan dari imunisasi adalah pembentukan sel memori sebagai hasil akhir dari aktivasi sel B. Sehingga bila kelak tubuh terpajan lagi dengan antigen serupa maka antibodi akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi melalui respon imun sekunder (Matondang dan Siregar, 2008).

(8)

dengan respon imun sekunder (Matondang dan Siregar, 2008). Pada respon imun primer, titer IgM akan turun setelah titer IgG naik selama minggu kedua sesudah pajanan antigen (Bart, 2000).

2.3.4. Imunitas Seluler

Imunitas seluler terdiri dari:

- Proses fagositosis yang diperankan oleh sel dalam system retikuloendotelial.

- Kemampuan sel tubuh dalam menolak dan mengeluarkan benda asing. - Timbulnya reaksi alergi pada kulit

- Proses pengenalan antigen yang pernah terpajan sebelumnya dengan cepat (Ilmu Kesehatan Anak, 2005).

Respons imun seluler diperankan oleh limfosit T yang dapat langsung melisis sel yang mengekspresikan antigen spesifik (sel Tc = sel T cytotoxic) atau mensekresi sitokin yang akan merangsang terjadinya proses inflamasi (Th = sel T helper) hipersensivitas tipe lambat. Sel Tc dan sel Th berperan pada mikroorganisme intraselular seperti infeksi virus, parasit, dan beberapa bakteri. Sel T sitotoksik akan melisis sel yang mengandung virus. Sel Th aktif juga merangsang sel Tc untuk mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi pada molekul MHC kelas I (Matondang dan Siregar, 2008).

2.3.5. Imunitas Humoral

Imunitas humoral terkandung dalam immunoglobulin (Ilmu Kesehatan Anak, 2005). Respon immunoglobulin (Ig) pada sel limfosit B mengenal dan berinteraksi dengan epitop antigen. Pada awalnya immunoglobulin yang dihasilkan adalah kelas IgM dan pada perkembangan selanjutnya sel B juga menghasilkan IgG, IgA, dan IgD (Matondang dan Siregar, 2008).

2.4. Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Imunisasi

(9)

- Jumlah dosis obat.

- Cara pemberian antigen. Pada pemberian secara intradermal (id), intramuskular (im), subkutan (sc), organ sasaran adalah kelenjar limfoid regional. Secara intravenous (iv) berada di limpa, sedangkan pemberian secara oral akan ke plaque-Peyer’s, dan melalui inhalasi berada di jaringan limfoid brackhial.

- Penambahan dengan zat yang bekerja sinergis dengan antigen, misalnya ajuvan atau antigen lain.

- Sifat molekul antigen, jumlah protein, ukuran, dan daya larutnya. - Faktor genetik penjamu (Matondang dan Siregar, 2008).

2.4.1. Status Imun Penjamu

Jenis antibodi yang terdapat dalam tubuh mempengaruhi keberhasilan imunisasi (Muslihatun, 2010). Misalnya pada bayi yang semasa janin mendapatkan antibodi maternal spesifik terhadap virus campak. Bila vaksin virus campak diberikan pada saat kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang memuaskan (Matondang dan Siregar, 2008).

Hal yang serupa terjadi pada air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretorik (SIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi virus polio yang diberikan secara oral (Muslihatun, 2010). Bagian Alergi-Imunologi Bagian IKA FKUI/RSCM Jakarta, kadar SIgA polio pada ASI sudah tidak ditemukan lagi setelah bayi berumur 5 bulan. Kadar SIgA yang tinggi terdapat pada kolostrum. Oleh karena itu vaksinasi polio yang diberikan pada masa pemberian kolostrum, hendaknya ASI tidak diberikan dua jam sebelum dan sesudah vaksinasi (Matondang dan Siregar, 2008).

(10)

2.4.2. Faktor Genetik Penjamu

Interaksi sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik respon imun manusia dapat dibagi menjadi respon baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu. Seseorang dapat memberikan respon rendah terhadap antigen tertentu, tapi respon yang tinggi terhadap antigen lain. Oleh karena itu keberhasilan vaksinasi tidak dapat mencapai 100% (Matondang dan Siregar, 2008). Untuk keberhasilan imunisasi, seseorang harus berada dalam keadaan yang imunokompeten (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

2.4.3. Kualitas dan Kuantitas Vaksin

Beberapa faktor kuantitas dan kualitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi seperti cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian adjuvan yang digunakan, dan jenis vaksin (Matondang dan Siregar, 2008).

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respon imun misalnya pada vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal dan sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral hanya memberikan imunitas sistemik saja. Dosis vaksin yang tidak tepat juga mempengaruhi respon imun. Dosis yang terlalu tinggi menghambat sistem imun (Matondang dan Siregar, 2008).

Frekuensi pemberian mempengaruhi respon imun yang terjadi. Respon imun sekunder memiliki reaksi imun yang lebih cepat, lebih tinggi produksinya, dan afinitasnya lebih tinggi (Matondang dan Siregar, 2008). Adjuvan adalah bahan yang berbeda dari antigen yang berfungsi meningkatkan respon imun dengan mempertahankan antigen pada tempat suntikan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

(11)

2.5. Imunisasi Dasar

Guna tercapainya universal child immunization, Indonesia menerapkan Pengembangan Program Imunisasi (PPI). PPI diharapkan dapat menanggulangi penyakit infeksi di Indonesia seperti eradikasi polio, eliminasi tetanus maternal dan neonatal, reduksi campak, peningkatan mutu pelayanan imunisasi, standar pemberian suntikan yang aman dan keamanan pengelolaan limbah tajam PPI telah dikenal sejak tahun 1977. Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah BCG, polio, DTP, campak, dan hepatitis B (Ismael, 2008).

2.5.1. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah setiap penyakit menular pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh spesies Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis kaseosa pada jaringan-jaringan. Spesies penyebab penyakit paling sering adalah Mycobacteriun tuberculosis dan Mycobacterium bovis. Tuberkulosis bervariasi secara luas dalam hal manifestasinya dan mempunyai kecenderungan kronisitas yang besar. Berbagai organ dapat terkena penyakit ini, namun paru merupakan organ utama yang terkena pada manusia. (Dorland, 2002).

Tuberkulosis adalah penyakit utama pada anak yang kelima. Secara berurut penyakit pada anak di Indonesia adalah infeksi saluran pernafasan, penyakit saluran pencernaan, malnutrisi energi protein, defisiensi vitamin A, dan tuberkulosis (Hasan dan Alatas, 2005).

BCG (Bacillus calmette guerin) adalah kuman tuberkulosis yamg dibiakkan oleh Calmette dan Guerin sehingga menghasilkan basil yang attenuated

(Hasan dan Alatas, 2005). Imunisasi BCG diberikan pada bayi sebelum umur 3 bulan (Hadinegoro, 2008). Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan karena manfaatnya diragukan (Muslihatun, 2010). Seorang anak masih dapat menderita tuberkulosis primer walaupun telah mendapatkan vaksin BCG tetapi anak tersebut tidak akan mendapat komplikasi berat seperti meningitis dan tuberkulosis milier (Hasan dan Alatas, 2005).

(12)

(meningitis) ternyata mempunyai riwayat imunisasi BCG (Muslihatun, 2010). Vaksin BCG merupakan vaksin hidup sehingga tidak diberikan pada pasien imunokompromais seperti pada penderita leukemia, anak yang sedang mendapatkan pengobatan steroid jangka panjang dan penderita HIV (Hadinegoro, 2008). Imunisasi BCG juga tidak boleh diberikan jika tes Mantoux lebih dari 5 mm, sedang menjalani pengobatan radiasi keganasan sumsum tulang atau sistem limfe, gizi buruk, demam tinggi, infeksi kulit luas, pernah menderita tuberkulosis, dan sedang hamil (Muslihatun, 2010).

Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada anak kurang dari 3 bulan (Muslihatun, 2010). Untuk anak umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin diberikan apabila uji tuberkulin menunjukkan hasil negatif (Hadinegoro, 2008). Bila anak pernah kontak dengan penderita TBC, maka berikan profilaksis INH terlebih dahulu (Muslihatun, 2010).

Dosis imunisasi BCG yang diberikan pada anak kurang dari 1 tahun 0,05 ml, sedangkan dosis untuk anak diatas 1 tahun adalah 0,1 ml (Hadinegoro, 2008). Sistem imun mulai terbentuk 8-12 minggu setelah penyuntikan (Muslihatun, 2010). Sesuai anjuran WHO, vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio Musculus deltoideus (Hadinegoro, 2008). BCG diberikan rutin hanya bila tes tuberkulin negatif (Meadow dan Newell, 2005). Terdapat beberapa efek samping imunisasi BCG, yaitu:

- Pada tempat penyuntikan terjadi ulkus yang lama sembuh terutama bila tempat penyuntikan di subkutan bukan di intrakutan.

- Pembengkakan kelenjar regional yang dapat pecah dan menimbulkan ulkus. - Terjadi infeksi sekunder dari ulkus yang terbentuk (Hasan dan Alatas, 2005).

(13)

2.5.2. Hepatitis B

Hepatitis B adalah penyakit yang menginfeksi liver dan disebabkan oleh virus hepatitis B. Infeksi akut hepatitis dapat menyebabkan gejala-gejala seperti kehilangan nafsu makan, kecapekan, diare, muntah-muntah, jaundice, rasa sakit di otot, persendian, dan bagian perut. Sedangkan infeksi kronik hepatitis B dapat menyebabkan sirosis, kanker hati, dan kematian (CDC, 2012).

Indonesia termasuk negara dengan daerah endemis hepatitis B sedang sampai tinggi. Transmisi dapat terjadi melalui kontak perkutaneus, parenteral, dan melalui hubungan seksual. Virus hepatitis B juga dapat bertahan di permukaan suatu benda selama kurang lebih 1 minggu tanpa kehilangan daya tularnya (Hidayat dan Pujiarto, 2008).

Jadwal imunisasi hepatitis B dilakukan sebanyak tiga kali. Imunisasi hepatitis B yang pertama dilakukan dalam waktu 12 jam setelah bayi lahir, kemudian dilanjutkan dengan imunisasi kedua dan ketiga saat bayi berusia dua bulan dan tiga hingga enam bulan. Dapat dikatakan juga jarak antara imunisasi hepatitis B pertama dengan kedua adalah 1 bulan, sedangkan jarak antara imunisasi hepatitis B kedua dengan yang ketiga adalah 2 hingga 5 bulan (Hadinegoro, 2008).

Vaksin hepatitis B diberikan secara intramuskular. Pada bayi dan neonatus penyuntikan di anterolateral paha, sedangkan pada anak-anak dan dewasa di region deltoid (Muslihatun, 2010). Setiap vaksin hepatitis yang diberikan dievaluasi untuk menentukan dosis sesuai umur sehingga dapat menimbulkan respon antibodi yang cukup (Hidayat dan Pujiarto, 2008).

(14)

2.5.3. Difteria, Pertusis, Tetanus (DPT)

Difteri, pertusis dan tetanus (DPT) adalah produk polivalen yang mengandung toksoid Korinebakter difteri, Bordetela pertusis dan Klostridium tetani (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

Difteri akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein seluler dan menyebabkan destruksi jaringan setempat sehingga terbentuk suatu selaput yang menyumbat saluran nafas. Toksik yang terbentuk pada selaput tersebut dapat diabsorbsi darah dan dibawa ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan komplikasi berupa miokarditis, neuritis, trombositopenia, dan proteinuria (Jumbelaka dan Hadinegoro, 2008).

Pertusis atau batuk rejan merupakan penyakit yang bersifat toxic-mediated. Toksik yang dihasilkan menempel pada bulu getar saluran nafas dan merusak bulu getar tersebut. Bulu getar yang rusak menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan dan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas (Jumbelaka dan Hadinegoro, 2008). Pemberian vaksin pertusis mempunyai efek samping berupa demam ringan dan kadang terjadi ensefalitis dengan gejala hiperpireksia, status konvulsivus, dan penurunan kesadaran. Oleh karena itu, vaksinasi pertusis perlu dipertimbangkan lagi pada anak yang kejang dan mempunyai alergi (Hassan dan Alatas, 2005).

Tetanus disebabkan oleh Klostridium tetani yang masuk ke tubuh manusia melalui luka dan suasana anaerob dengan penyebarannya melalui darah dan limfe. Toksik tetanus menempel di sistem saraf dan mempengaruhi pelepasan

neurotransmitter, yang berakibat terjadi penghambatan impuls inhibisi. Akibatnya terjadi kontraksi serta spastisitas otot tak terkontrol, kejang dan gangguan system saraf otonom (Jumbelaka dan Hadinegoro, 2008).

(15)

Vaksin DPT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular baik untuk imunisasi dasar maupun untuk ulangan (Hadinegoro,2008). Anak-anak dengan demam tinggi harus menunggu hingga demam hilang untuk imunisasi DTP. Anak yang mengalami reaksi alergi atau mengalami gangguan sistem saraf dalam waktu 7 hari setelah pemberian vaksin DPT-1 tidak boleh melanjutkan vaksin berikutnya. Vaksinasi DPT tidak dianjurkan untuk orang dewasa dan anak diatas 7 tahun. Dianjurkan vaksinasi DT (Difteri Tetanus) untuk usia 11 tahun keatas (CDC, 2007).

2.5.4. Poliomielitis

Penyakit ini disebabkan oleh virus poliomyelitis yang menyerang medulla spinalis sehingga menyebabkan kelumpuhan anggota gerak bawah. Virus polio umumnya menyebar secara oro-faecal, namun dalam beberapa kasus dapat menyebar secara oral ke oral. Poliomielitis sangat infeksius dari 7 sampai 10 hari sebelum dan setelah timbul gejala, tetapi virusnya dapat ditemukan di tinja dalam 3 minggu sampai 6 minggu (Suyitno, 2008).

Vaksin poliomielitis yang digunakan adalah vaksin Salk (Inactivated Polio Vaccin) dan vaksin Sabin (Oral Polio Vaccin) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Di Indonesia jenis imunisasi polio yang digunakan adalah jenis Sabin yang telah dilaksanakan sejak tahun 1980 dan pada tahun 1990 telah mencapai UCI (universal of child immunization) (Suyitno, 2008).

Vaksin Salk disuntikkan secara subkutan dengan jadwal imunisasi pertama saat anak berumur 3 bulan, yang kedua 4 minggu setelah imunisasi pertama, dan yang ketiga adalah 6 sampai 7 bulan sesudah imunisasi kedua (Hassan dan Alatas, 2005). Vaksin ini memberikan imunitas terhadap infeksi polio sistemik, tetapi tidak terhadap infeksi intestinal (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

(16)

dilanjutkan dengan tiga kali imunisasi dalam rentan waktu 2 bulan. Setelah imunisasi keempat, maka dapat dilakukan imunisasi kelima dan keenam pada saat bayi berumur 1,5 tahun dan 5 tahun (Suyitno, 2008).

2.5.5. Campak

Campak adalah penyakit infeksi yang sangat menular dan dapat menginfeksi segala usia. Infeksi campak ditandai dengan gejala demam, batuk, flu, konjutivitis, dan kemerahan pada kulit yang menyeluruh (Medscape, 2012). Penyakit campak disebabkan oleh virus campak dari paramyxovirus yang sangat sensitif terhadap panas dan mudah rusak pada suhu 37°C. Campak umumnya ditularkan dari droplet infeksi (Soegijanto, 2008).

Ruam timbul pada hari ketiga sampai hari keempat dari timbulnya demam. Ruam yang timbul berupa maculopapila eritematosa yang dimulai dari daerah leher, belakang telinga, perbatasan rambut di kepala, dan meluas ke seluruh tubuh dalam waktu 24 jam. Setelah tiga atau empat hari ruam kemerahan itu akan berubah warna menjadi kecoklatan hingga kehitaman dan mengalami deskuamasi berupa sisik berwarna keputihan (Soegijanto, 2008).

Ada dua jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus campak yang hidup dan dilemahkan dan vaksin yang berasal dari virus campak yang dimatikan (Muslihatun,2010). Vaksin campak dianjurkan dalam satu dosis 0,5 ml secara subkutan pada umur 9 bulan (Hadinegoro ,2008). Imunisasi ulangan perlu diberikan pada saat anak masuk SD atau usia 6 tahun (Muslihatun, 2010).

Imunisasi campak tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi, pasien TB yang tidak diobati, pasien kanker, pasien transplantasi organ, pasien yang mendapat pengobatan imunosupresi jangka panjang, dan anak

(17)

berlangsung selama 2 hari dan gangguan sistem saraf pusat pada reaksi KIPI berat (Muslihatun, 2010).

2.6. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Imunisasi Dasar Anak Ketidaktahuan ibu terhadap imunisasi dapat menyebabkan minimnya informasi tentang inunisasi pada anak (Ali, 2002). Hasil penelitian Tarigan (2011) yang dilakukan di Puskesmas Namorambe menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara tingkat pengetahuan ibu dengan status imunisasi anak. Namun ada hasil penelitian lain yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan status imunisasi anak (Asrtianzah dan Margawati, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

The present study is concerned with the cognitive domain since it examines the cognitive skill of the reading comprehension questions on ‘Bahasa Inggris

Tujuan penelitian adalah (1) mengetahui dominasi komunikasi scientific pada pembelajaran biologi (2) mengetahui faktor penyebab dominasi komunikasi scientific pada

Sahabat serta teman-teman tersayang, yang sudah memberikan banyak motivasi, doa dan masukan untuk penulisan skripsi ini.. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang tidak terbatas

Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 1 Ayat 32 Peraturan

Bahan yang digunakan adalah kedelai kuning varietas Anjasmoro didapat dari Balitkabi yang dikecambahkan, gula pasir, dan maltodekstrin. Untuk analisis kadar proksimat meliputi..

sarana yang digunakan oleh pemerintah atau administrasi negara dalam

Daftar Nama Hasil Pelaksanaan Ujian Ulang 1 ( 27 September 2014) Rayon 139 Universitas PGRI Semarang Tahun 2014.. Pelaksanaan PLPG

Di rumah Singgah Girlan Nusantara Sleman Yogyakarta, dari 10 soal yang diberikan kepada 7 orang anak jalanan 80% pengetahuan rendah atau <55%, ini disebabkan karena