BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan politik tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat
sekarang ini. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik, akan tetapi
apabila cara-cara yang digunakan untuk mewujudkan politik tidak menggunakan
cara yang baik tentu akan mendapatkan dampak yang negatif. Belum pahamnya
masyarakat terhadap politik dan makin banyaknya oknum-oknum yang bermain
kotor dalam politik, berdampak pada masyarakat yang semakin enggan
mempelajari politik dengan baik dan benar. Ketika anak-anak muda
dipertontonkan dengan kecurangan politik, kasus suap, politik uang, tanpa
dibekali pendidikan politik yang baik dan benar, mereka akan selalu
berpandangan negatif terhadap kehidupan politik, dan politik adalah kehidupan
yang kejam. Pandangan yang seperti inilah yang dapat mengikis rasa
nasionalisme. Mereka tidak mau tahu tentang berbagai persoalan yang dihadapi
oleh bangsanya, mereka acuh terhadap aturan-aturan pemerintahan yang tentunya
akan berdampak melemahnya rasa persatuan dan kesatuan antar warga Negara.
Indonesia sebagai Negara demokrasi, dengan kekuasaan tertinggi ada
ditangan rakyat memiliki peranan penting dalam aspek kehidupan bernegara. Oleh
karena itu sangatlah penting bagi masyarakat untuk mengetahui tentang politik.
rendah yang dapat berdampak pada terhambatnya pembangunan nasional.
Pendidikan politik sangat mutlak perlu diwujudkan dikalangan warga masyarakat,
mahasiswa, maupun siswa sekolah dasar sekalipun agar tidak berpandangan
negatif terhadap kehidupan politik. Kehidupan politik dalam suatu bangsa atau
negara, sampai saat ini masih menjadi barometer utama untuk menilai suatu
bangsa itu memiliki kekuatan atau tidak. Meskipun aspek politik tentu tidak bisa
berdiri sendiri, karena hal itu sangat terkait dengan kemajuan ekonomi suatu
bangsa, juga kemajuan ilmu dan teknologi. Kalau kita lihat fenomena masa kini,
bahwa pemegang dominasi kekuatan politik dunia adalah mereka yang memiliki
sumber daya yang handal dalam penguasaan ekonomi dan sains-tek.
Saat ini terdapat berbagai masalah dalam proses demokrasi di Indonesia,
pertama tidak sejalannya aspirasi masyarakat dengan wakil rakyat di lembaga
legislatif. Kedua, terbatasnya pengetahuan masyarakat terhadap aspek teknis
pemilu beserta aturannya seperti parleamentary, presidential dan electoral
treshold. Ketiga, terjadinya kecurangan beberapa manipulasi data dan politik uang
yang berdampak pada maraknya konflik horisontal antar warga1
Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara
menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat rendah dengan jumlah pemilih yang
menggunakan hak pilihnya hanya 48,5 persen. Rendahnya partisipasi masyarakat
disebabkan beberapa faktor, seperti sosialisasi yang kurang maksimal dari KPU,
hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik, masyarakat tidak .
1
mengenal calon gubernur dan wakil gubernur2
Memilih dan dipilih adalah salah satu hak yang sangat asasi bagi manusia,
untuk ini partai politik adalah salah satu pilar demokrasi yang idealnya
memberikan pendidikan politik dan pencerahan kepada rakyat sebagai
konstituennya
. Masalah masalah tersebut dapat
dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang politik.
Pendidikan politik dibutuhkan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat akan
politik supaya dapat menentukan pilihan politiknya secara cerdas dan untuk
menjamin kualitas hasil pemilukada.
3
. Partai politik sebagaimana dalam pasal 11 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang fungsi partai politik adalah sebagai sarana
pendidikan politik bagi masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kahidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara4
Pendidikan politik merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar
dan terencana guna meningkatkan kesadaran politik rakyat sehingga ia dapat
berperan sebagai pelaku dan partisipan dalam kehidupan politik kenegaraan yang . Sampai saat ini peran partai politik dalam pendidikan
politik bagi masyarakat belum terasa maksimal. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementrian Hukum
dan HAM RI mengatakan bahwa pendidikan politik tidak sepenuhnya dilakukan
oleh partai politik.
2
diakses pada 13 Juni 2014 pukul 10.15.
3
Asep Kurnia. Opcit, Hal 3-4. 4
sesuai dengan nilai-nilai politik yang berlaku serta dapat menjalankan peranannya
secara aktif, sadar dan bertanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai politik
yang berdasarkan pancasila
Oleh karena itu pendidikan politik merupakan wahana pembinaan dan
pembentukan kesadaran warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik dimaksudkan untuk menanamkan
nilai-nilai dan ideologi yang dianut oleh suatu bangsa, pembentukan kesadaran itu
akan dicerminkan oleh nilai-nilai, sikap dan ideologi yang dianut.
Pendidikan adalah membimbing anak didik dari tingkat belum dewasa
menuju kedewasaan, dengan kriteria keberhasilan adalah kedewasaan. Sedangkan
politik adalah hubungan khusus antara manusia yang hidup bersama, dalam
hubungan itu timbul aturan, kewenangan, kelakuan penjabat, legalitas keabsahan,
dan akhirnya kekuasaan. Tetapi politik juga dapat dikatakan sebagai
kebijaksanaan, kekuatan, kekuasaan pemerintah, pengaturan konflik yang menjadi
konsensus nasional, serta kemudian kekuatan masa rakyat.5
5
Syafiie, Inu Kencana dan Azhari. 2008. Sistem Politik Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Hal 6-7
Dengan dipadukannya antara pendidikan dan politik diharapkan dapat
memberikan pemahaman terhadap politik, melalui pendidikan politik setiap warga
negara bisa melek politik. Artinya, mereka perlu belajar dan memahami tentang
kehidupan politik di negaranya dan tidak selalu berpandangan negatif tentang
Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik antara pemberi dan
penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan
mempelajari nilai-nilai, norma-norma dan simbol-simbol politik negaranya dalam
sistem politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antar pendidik,
seperti sekolah, pemerintah, partai politik, peserta didik dalam rangka
pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai, norma dan simbol-simbol
politik yang dianggap ideal dan baik.6
Pendidikan dalam konteks pendidikan politik ialah suatu proses dimana
seseorang diberikan pengetahuan dan wawasan mengenai perkembangan politik
suatu negara sehingga orang tertersebut mengetahui dan memahami nilai-nilai
yang terkandung dalam politik yang nantinya dapat meningkatkan kesadaran
politik, kemelekan politik dan tingkat partisipasi dalam menjalankan sebuah
sistem politik.7
6
Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo. Hal 150
7
Affandi, Idrus dan Anggraeni, Leni. 2011. Pendidikan Politik. Bandung: Lensa Media Pustaka Indonesia. Hal 4
Setiap masyarakat dalam kehidupan sehari-hari pasti selalu bersentuhan
dengn aspek-aspek politik, baik itu secara sadar maupun tidak sadar. Oleh sebab
itu mereka perlu belajar dan memahami tentang aspek-aspek politik baik melalui
pembelajaran yang dialogis maupun interaktif. Adapun yang perlu ditekankan
dalam pendidikan politik dengan menanamkan nilai-nilai kearifan (budaya dan
etika) politik kepada masyarakat, sehingga mereka mampu melakukan tindakan
Tujuan pemahaman pendidikan politik harus dimulai sejak dini, yaitu
sejak generasi penerus bangsa masih duduk di bangku sekolah, seperti di Sekolah
Menengah Atas (SMA). Hal ini dikarenakan generasi muda merupakan aset
partisipasi dalam politik yang masih belum dimaksimalkan. Generasi muda masih
belum paham akan sesungguhnya pendidikan politik yang ada. Alhasil, partisipasi
terhadap politik masih rendah. Mengapa generasi muda kurang paham atau
bahkan tidak menyukai politik. Mereka berpikiran bahwa politik merupakan
sesuatu hal yang rumit dan membingungkan.8
Dalam masyarakat bernegara khususnya di Indonesia pendidikan politik
baru terasa ketika pasca reformasi 1998, dimana masyarakat mampu berpendapat
dan menunjukkan keinginannya tanpa harus takut akan ancaman dari pihak luar
karena segala sesuatu perbuatan masyarakat diatur oleh hukum. Melihat
pengalaman selama 32 tahun di bawah Orde Baru dapat dikemukakan dua model
partisipasi politik yang pernah ada di masyarakat Indonesia dalam kaitannya
dengan pendidikan politik. Pertama, partisipasi politik termobilisasi yag dikenal
sebagai satu model partisipasi politik yang termobilisasi. Dapat diartikan
masyarakat politik indonesia mayoritas semata-mata digerakkan oleh elit yang
berkuasa. Kedua, partisipasi otonom dimana kesadaran dalam membangun
partisipasi politik yang mandiri semakin menguat dan menunjukkan wujudnya
wujudnya pasca gerakan reformasi 1998 kendati belum dapat dikatakan
8
seluruhnya berhasil, sudah mampu menunjukkan trend ke arah pembangunan
partisipasi politik masyarakat secara mandiri.9
Al Jam`iyatul Washliyah merupakan organisasi kemasyarakatan dengan
amal ittifaknya yaitu pendidikan, dakwah dan amal sosial yang didirikan oleh Pemahaman akan pendidikan politik di masyarakat masih sangat rendah
secara keseluruhan. Ini disebabkan karena masyarakat belum paham akan arti atau
makna yang sesungguhnya dari pendidikan politik itu sendiri. Oleh karena itu,
sosialisasi terhadap pemahaman pendidikan politik di masyarakat menjadi hal
yang mutlak harus dilakukan. Pemahaman akan pendidikan politik harus
digalangkan mulai dari dini, supaya nanti dimasa yang akan datang tercipta
generasi muda yang paham akan politik akan berdampak pada meningkatnya
partisipasi politik di kalangan masyarakat. Tujuan dari pemahaman pendidikan
politik yaitu untuk memberikan pengetahuan akan pendidikan politik pada
masyarakat.
Saat ini organisasi masyarakat telah turut ambil bagian dalam pendidikan
politik bagi masyarakat. Organisasi pada hakekatnya dijalankan dari sekumpulan
orang yang memiliki dasar ideologi yang sama. Dasar ideologi yang dimaksud
adalah pondasi yang dijadikan dasar dari pola pikir anggotanya. Keberadaan
organisasi diinginkan untuk membantu setiap anggotanya keluar dari masalahnya.
Sehingga adanya organisasi diharapkan untuk mencapai solusi dari visi dan misi
organisasi itu.
9
pelajar-pelajar Maktab Islamiah Tapanuli Medan, Sumatera Utara pada tanggal 9
Rajab 1349 H bertepatan tanggal 30 Nopember 1930 dan organisasi tersebut
diberi nama ALJAM`IYATUL WASHLIYAH (Al Washliyah) oleh Ulama Besar
Shyeh H. Muhammad Yunus.
Al Jam’iyatul Washliyah menonjolkan kata “washola” pada nama
organisasinya. Suatu organisasi kemasyarakatan Islam yang memiliki ciri khas
yang menonjolkan fungsi sebagai “mediator”. Al Washliyah dalam dakwahnya
selalu tampil sebagai juru penghubung, mediator, menjembatani hubungan antara
manusia dengan Allah (hamblum minallah) dan hubungan antar manusia dengan
manusia (hamblum minannas). Jika ada perselisihan di antara sesama kelompok
Islam, maka Al Washliyah ada di tengah-tengahnya. Orang Al Washliyah Suka
berkumpul bersilaturrahim antar ulama, pelajar, mahasiswa dan membaur kepada
masyarakat umum.
Mengenal Al Washliyah selain dari namanya, juga melalui lagu marsnya,
berulang-ulang kata bersatu dan hentikan pertikaian untuk mencapai kemuliaan
disebut hampir pada setiap baitnya. Ada satu bait terakhir yang indah liriknya
bila dinyanyikan dapat menggugah rasa yaitu; “Bersatulah ya ikhwan,
hentikanlah pertikaian, junjung tinggi, amar Tuhan, hiduplah Washliyah zaman
ber zaman.”
Melalui lagu marsnya, Al Washliyah menonjolkan ciri khasnya yaitu
terutama antar sesama ikhwan muslim dan sesama anggota Al Washliyah agar
selalu bersatu, menghentikan pertikaian, menjunjung tinggi perintah Tuhan.
Sesuai misi utamanya sebagai penghubung, orang Al Washliyah suka
bergaul ke mana-mana, selalu berusaha untuk tidak tampil sebagai salah satu
pihak yang bertikai atau bersengketa, tapi lebih memilih berperan menjadi
penengah. Perselisihan yang terjadi pada antar organisasi Islam maupun
perselisihan dalam keluarga dan antardesa. Peran penengah dilakukan oleh orang
Al Washliyah baik para ulamanya, muslimatnya, para pelajar, mahasiswa,
pemuda, cendikiawan, guru dan juga para anggota.
Kalau ditarik dari sejarah berdirinya Al Washliyah, salah satu pendorong
lahirnya Al Washliyah adalah adanya kehawatiran terhadap terjadinya
perpecahan di kalangan kaum muslimin mengamalkan ajaran Islam pada waktu
itu. Perselisihan itu terjadi antar “kaum tua” yaitu, masyarakat Islam tradisional
yang mentolerir tradisi setempat masuk dalam kegiatan seremonial Islam
sepanjang diyakini tidak bertentangan dengan ajaran Islam, dengan “kaum
Muda” yaitu, ‘masyarakat Islam modern (pembaharu) yang menolak
bercampurnya kegiatan Agama Islam dengan budaya, karena khawatir
pengamalan ajaran Islam menjadi tidak murni lagi.
Dalam pergerakan politik dan ekonomi, organisasi ini juga melakukannya
meskipun bukan organisasi politik dan organisasi bisnis. Usaha atau kegiatan ini
diperlukan untuk partisipasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
Washliyah memutuskan untuk mengambil peran politik walaupun Al Washliyah
sejatinya adalah organisasi sosial.
Secara umum, latar belakang kelahiran Al Washliyah dapat dilihat dari
dua aspek. Pertama, adalah aspek kegelisahan yang mendalam dari aktivis pelajar
dengan kondisi perpecahan umat. Perselisihan itu disebabkan perbedaan (ikhtilaf)
pendapat mengenai hukum Islam yang menyangkut masalah-masalah cabang
(furu’iyah). Perbedaan pendapat dikalangan umat Islam sudah sedemikian luas
dab sudah mengarah kepada perpecahan umat dan putusnya silaturahmi.Kedua,
adalah aspek ruh perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia dan munculnya
jiwa nasionalisme. Jadi, munculnya gerakan untuk mendirikan organisasi Al
Washliyah adalah berdasarkan kedua latar belakang tersebut.
Studi latar belakang dari peristiwa sejarah ini menunjukkan ada dua hal
pokok yang berkaitan erat dengan peran politik Al Washliyah dalam membina
karakter bangsa. Pertama, dalam konteks keagamaan (religiusitas), bahwa Al
Washliyah lahir dalam rangka respon kondisi dan tuntutan keumatan yang sangan
membutuhkan saat itu. Kedua, dalam konteks bangsa-negara (nation-state), tanpa
dapat dibantah bahwa kelahiran Al Washliyah adalah bentuk respon yang
revolusioner dalam tuntutan besar dalam konteks pergerakan kemerdekaan
Indonesia melalui amal jihad (gerakan) dan ijtihad (pemikiran). Dalam pandangan
para tokoh dan warga Al Washliyah sesungguhnya tuntutan keagamaan dan
dinyatakan bahwa kelahiran Al Washliyah merupakan bentuk tanggung jawab
atas kesadaran keagamaan dan kesadaran kebangsaan.10
10
Azhari Akmal Tarigan. 2007. Menyegarkan Kembali Pemikiran Al Washliyah. Jakarta: Waspada
Memahami pendidikan politik di masyarakat merupakan hal yang sangat
menarik untuk diketahui. Karena pendidikan politik itu merupakan suatu proses
dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota
masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan
simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah,
pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik mengajarkan masyarakat untuk
lebih mengenal sistem politik negaranya. Inilah yang membuat penulis tertarik
untuk melihat bagaimana peran Al Washliyah dalam melakukan pendidikan
politik di Sumatera Utara.
Penulis mengangkat Al Washliyah sebagai objek penelitian juga
berdasarkan sebuah asumsi dasar sebagai landasan berpikir, yaitu : Pertama, setiap
pendiri Al Washliyah pasti adalah merupakan pejuang dan aktifis organisasi yang
membangun Al Washliyah, tapi pejuang dan aktifis organisasi yang membangun
Al Washliyah, belum tentu sebagai pendiri Al Washliyah. Kedua, Al Washliyah
tidak didirikan oleh seprang tokoh sentral kharismatik seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama, melainkan Al Washliyah didirikan oleh sekelompok pemuda
B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa
masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan
perlu untuk diteliti. Perumusan masalah juga merupakan suatu usaha yang
menyatakan pertanyaan– pertanyaan penelitian apa saja yang perlu dijawab atau
dicari jalan pemecahannya, atau dengan kata lain perumusan masalah merupakan
pertanyaan yang lengkap dan rinci mengenai ruang lingkup masalah yang akan
diteliti didasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasan masalah.11
C. Batasan Masalah
Al Washliyah meupakan organisasi sosial keagamaan, yang banyak
tokohnya ikut berperan dalam kegiatan politik di Indonesia. Sehingga sebagai
organisasi sosial keagamaan, Al Washliyah memiliki peran pendidikan politik.
Kajian ini hendak mengetahui bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah ada
kegiatan pendidikan politik di Al Washliyah? Dimana peran pendidikan
politikny?
Berangkat dari kebutuhan tersebut, maka yang menjadi pertanyaan dalam
penelitian ini adalah “Bagaimana Peran Al Washliyah dalam Pendidikan
Politik Sumatera Utara?”
Dalam melakukan penelitian, perlu membuat pembatasan masalah
terhadap apa yang diteliti, dengan tujuan untuk memperjelas dan membatasi ruang
11
lingkup penelitian dan hasil penelitian yang dihasilkan tidak menyimpang dari
tujuan awal penulisan yang ingin dicapai. Penelitian ini hanya berfokus pada Al
Washliyah wilayah Sumatera Utara, dimana yang menjadi batasan masalahnya
adalah bagaimana peran Al Washliyah dalam melakukan pendidikan politik
terhadap warga Al Washliyah.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah
penelitian, dan adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah mengetahui peran
Al Washliyah dalam memberikan pendidikan politik di Sumatera Utara,
khususnya kepada warga Al Washliyah.
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik bagi peneliti
maupun bagi orang lain, terutama untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Peneliti mampu mengasah kemampuan dalam melakukan sebuah
proses penelitian yang bersifat ilmiah dan menambah pengetahuan dan
wawasan serta cara befikir penulis tentang pendidikan politik.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan penjelasan tentang
3. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan mengenai pendidikan politik
khususnya dalam Ilmu Politik dan menjadi referensi tambahan
khususnya bagi mahasiswa/i Departemen Ilmu Politik.
F. Kerangka Teori
Bagian ini merupakan unsur yang paling penting di dalam penelitian,
karena pada bagian ini peneliti mencoba menjelaskan fenomena yang sedang
diamati dengan menggunakan teori–teori yang relevan dengan penelitiannya.
Teori menurut Masri Singarimbun dan Sofian effendi dalam buku Metode
Penelitian Sosial mengatakan, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, konstrak,
definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis
dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.12
1. Pendidikan Politik
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, untuk menggambarkan masalah
penelitian yang menjadi objek di dalam penelitian, penulis menggunakan teori,
yaitu :
a. Pengertian Pendidikan Politik
Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan
12
biasanya berlangsung seumur hidup, berawal saat seorang bayi dilahirkan sampai
diujung usia. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi dilahirkan seperti
yang dilakukan oleh banyak orang dengan cara memainkan musik dan
membacakan dongeng kepada bayi dalam kandungan dengan harapan bisa
mengajar bayi sebelum dilahirkan.
Politik dalam bahasa arabnya disebut “Siyasyah” yang kemudian
diterjemahkan menjadi siasat, atau dalam bahasa inggrisnya “politics”. Politik
dapat berarti cerdik, dan bijaksana atau suatu cara yang dipakai untuk
mewujudkan tujuan. Asal mula kata politik iu sendiri dari kata “Polis” yang
berarti negara kota. Politik pada dasarnya mempunyai ruang lingkup negara,
karena teori politik menyelidiki negara sebagai lembaga politik yang
mempengaruhi hidup masyarakat. Selain itu politik juga menyelidiki ide-ide,
azas-azas, sejarah pembentukan negara, hakekat negara, serta bentuk dan tujuan
negara.
Menurut Arief Rohman, politik pada dasarnya merupakan segala kegiatan
dan interaksi antar manusia yang berkenaan dengan proses perubahan dan
pelaksanaan keputusan politik yang mengikat semua anggota masyarakat pada
suatu wilayah tertentu.13
Menurut Miriam Budiardjo, Politik adalah usaha untuk menentukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk
membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha
13
menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara
lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara
melaksanakan tujuan itu. Masyarakat mengambil keputusan mengenai apakah
yang menjadi tujuan dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan antara
beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan yang telah ditentukan itu.14
seperti sekolah, pemerintah, partai politik, peserta didik dalam rangka
pemahaman, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai, norma dan simbol-simbol
politik yang dianggap ideal dan baik.
Politik sangat penting bagi kehudapan masyarakat sebagai bagian dari
suatu negara, melalui politik masyarakat dapat turut serta menyalurkan
aspirasinya dan secara tidak langsung berperan penting dalam pembangunan
bangsa.
Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogik antara pemberi dan
penerima pesan. Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan
mempelajari nilai-nilai, norma-norma dan simbol-simbol politik negaranya dalam
sistem politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antar pendidik,
15
Pendidikan politik adalah aktifitas yang bertujuan untuk membentuk dan
menumbuhkan orientasi-orientasi politik pada individu. Ia meliputi keyakinan
konsep yang memiliki muatan politis, meliputi juga loyalitas dan perasaan politik,
14
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 15 15
serta pengetahuan dan wawasan politik yang menyebabkan seseorang memiliki
kesadaran terhadap persoalan politik dan sikap politik.16
Pendidikan politik menurut Rush dan Althoff, adalah sebagai suatu proses
oleh pengaruh mana seorang individu bisa mengenali sistem politik yang
kemudian menentukan sifat-sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta
reaksi-reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Proses ini dipengaruhi oleh
lingkungan individu berada, baik secara sosial, ekonomi, politik dan budaya
pendidikan politik yang diperoleh setiap individu menimbulkan
pengalaman-pengalaman politik yang baru sehingga menimbulkan perilaku politik.17
16
Affandi, Idrus dan Anggraeni, Leni. Opcit, Hal 2
17
Affandi, Idrus dan Anggraeni, Leni. Ibid, Hal 7
Pada hakekatnya pendidikan politik dilaksanakan sebagai upaya untuk
meningkatkan pengetahuan politik pada individu, sehingga mereka dapat
berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Maka pendidikan politik
menjadi sebuah keharusan yang wajib diajarkan disemua elemen kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pendidikan politik disebut pula sebagai political forming atau politische
Bildung. Disebut “forming” karena terkandung intensi untuk membentuk insan
politik yang menyadari status/kedudukan politiknya di tengah masyarakat. Dan
disebut “Bildung” (pembentukan atau pendidikan diri sendiri), karena istilah
tersebut menyangkut aktivitas : membentuk diri sendiri, dengan kesadaran penuh
Pendidikan politik pada hakekatnya merupakan bagian dari pendidikan
orang dewasa. Pendidikan macam ini tidak menonjolkan proses kultivasi individu
menjadi “intelektual politik” yang bersinggasana dalam menara gading keilmuan,
atau menjadi pribadi kritis dan cerdas “yang terisolasi” dari masyarakat
lingkungannya. Akan tetapi lebih menekankan relasi individu dengan individu
lain, atau individu dengan masyarakat di tengah medan sosial; dalam satu konteks
politik, dengan kaitannya pada aspek-aspek sosial-ekonomi-budaya; di tengah
situasi-situasi konflik yang ditimbulkan oleh bermacam-macam perbedaan, atau
oleh adanya pluriformitas (kemajemukan masyarakat).
Beberapa defenisi mengenai pendidikan politik adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan politik adalah bentuk pendidikan untuk orang dewasa dengan
menyiapkan kader-kader untuk pertarungan politik dan mendapatkan
penyelesaian politik, agar menang dalam perjuangan politik.
2. Pendidikan politik adalah upaya edukatif yang intensional, disengaja dan
sistematis untuk membentuk individu sadar politik, dan mampu menjadi
pelaku politik yang bertanggung jawab secara etis/moral dalam mencapai
tujuan-tujuan politik.
3. R. Hayer menyebut :
Pendidikan politik ialah usaha membentuk manusia menjadi partisipan yang
Politik dapat diartikan sebagai aktivitas, perilaku atau proses yang
menggunakan kekuasaan untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan
keputusan yang sah berlaku di tengah masyarakat.
Unsur pendidikan dalam pendidikan politik itu pada hakekatnya
merupakan aktivitas pendidikan-diri (mendidik dengan sengaja diri sendiri) yang
terus menerus berproses di dalam person, sehingga orang yang bersangkutan lebih
mampu memahami dirinya sendiri dan situasi-kondisi lingkungan sekitarnya.
Kemudian mampu menilai segala sesuatu secara kritis, untuk selanjutnya
menentukan sikap dan cara-cara penanganan permasalahan-permasalahan yang
ada di tengah lingkungan hidupnya. Inilah bentuk pendidikan sejati, dalam mana
terdapat unsur pengenalan-pemahaman, berfikir secara kritis, menentukan dan
merubah sikap, kemudian melakukan perbuatan nyata (merubah, mencipta,
memperbaiki, menyempurnakan; aktif berbuat). Melalui pendidikan –dalam hal
ini ialah pendidikan politik- orang berusaha melihat permasalahan sosial-politik
yang ada di sekitarnya dengan cara lain, kemudian memperbincangkan, ikut
memikirkan, dan ikut menangani/memcahkannya dengan cara-cara lain (dengan
pemecahan alternatif; tidak “ngotot” bersikeras melekat pada cara berfikir dan
cara menyelesaikan yang konservatif), dengan berbuat aktif, dengan arah dan
tujuan yang pasti.
Dengan begitu pendidikan politik merupakan proses belajar, bukan hanya
untuk menambah informasi dan pengetahuan saja, akan tetapi lebih menekankan
melatih ketangkasan aksi/berbuat. Selanjutnya, individu murni dan mutlak bebas
itu tidak ada. Keberadaannya selalu terkait dengan individu-individu lain, sebab
dia ada di tengah situasi-situasi kebersamaan dengan orang lain di tengah
masyarakat. Maka hakekatnya manusia itu adalah : produk-produk dari
macam-macam ikatan-ikatan kemasyarakatan (pergaulan hidup bersama-sama sehingga
dia tidak pernah bisa bebas mutlak dalam kesendirian absolut). Selalu saja ada
interdependensi antara individu dengan individu, dan antara manusia dengan
manusia lain. Maka untuk selama-lamanya manusia itu harus terus-menerus
belajar hidup rukun bersama dalam satu ikatan kemasyarakatan, dari yang kecil
(keluarga, kaum, kelompok) sampai ke ikatan kebangsaan, dan kenegaraan,
supaya dia mampu memahami status dirinya selaku warga negara itulah
diperlukan pendidikan politik, yang secara intensional mengarah pada
peningkatan pemahaman status diri sendiri selaku warga negara yang baik di
tengah pergaulan hidup bersama, serta menyadari fungsi politiknya selaku warga
negara
b. Inti Pendidikan Politik
Inti pendidikan politik ialah pemahaman politik atau pemahaman
aspek-aspek politik dari setiap permasalahan. Dan pemahaman politik berarti pemahan
konflik. Banyaknya konflik di masyarakat manusia itu disebabkan oleh adanya
kontroversi, perbedaan, aneka ragam fikiran dan tindakan/perilaku manusia dalam
masyarakat. Juga disebabkan oleh adanya persamaan keinginan dan tingkah laku,
karena itu hidup bermasyarakat itu adalah hidup di tengah banyak dimensi konflik
dan ketegangan. Berkaitan dengan pengertian ini, berbuat politik berarti
mempengaruhi dan ikut mengambil keputusan di tengah medan politik dan
pertarungan konflik-konflik.
Maka pendidikan politik itu merupakan proses mempengaruhi individu
agar dia memperoleh informasi lebih lengkap, wawasan lebih jernih, dan
keterampilan politik yang lebih tinggi, sehingga dia bisa bersikap kritis dan lebih
intensional/terarah hidupnya. Juga diharapkan menjadi warga negara yang lebih
cerdas mantap, sebab tidak terapung-apung melayang tanpa bobot pengertian dan
kesadaran dan tanpa arah di tengah kancah politik. Selanjutnya dari dirinya
diharapkan kesanggupan melakukan : reorientasi terhadap kondisi diri pribadi dan
kondisi obyektif lingkungan sekitar, terutama kondisi politik yang mengitari
dirinya. Dengan demikian pendidikan politik mendorong orang untuk melihat diri
sendiri dan lingkungannya dengan cara lain, lalu berani berbuat lain, menuju pada
eskalasi-diri dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Maka dapat di mengerti, bahwa pendidikan politik tidak diharapkan
identik dengan propaganda atau indoktrinasi. Sebab oleh propaganda orang
menjadi terlena dan semakin dungu. Dan oleh pendidikan indoktrinatif orang akan
menjadi kaku, stereotypis, sempit pandangan dan fanatik. Mentalnya menjadi
kacau dan kebodoh-bodohan, sebab perilakunya sering bertentangan dengan suara
kemauan dan aspirasi umum, yang menuntut kebenaran dan hak hak asasi
kemanusiaan yang wajar-wajar.
Pendidikan politik diadakan untuk mempersiapkan:
1. Kader-kader politik yang mampu berfungsi baik di tengah perjuangan politik.
2. Untuk mendapatkan penyelesaian politik yang bisa memuaskan semua pihak,
sesuai dengan konsep-konsep politik yang sudah ditetapkan.
Jika pendidikan politik tersebut dilakukan dengan baik dan sistematis, maka pasti
akan dapat ditumbuhkan kekuatan-kekuatan kontra yang demokratis dan positif
konstruktif. Yaitu menjadi kekuatan yang kritis melawan kondisi-kondisi yang
tidak sehat, buruk, tidak adil, tidak mantab, dan tidak wajar. Kemudian orang
berusaha menciptakan iklim yang lebih demokratis dan lebih sehat, untuk
membuat kondisi sosial-politik-ekonomi-budaya menjadi lebih baik.
c. Tujuan Pendidikan Politik
Dalam rumusan pasal 3 UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional dinyatakan fungsi dan tujuan dari pendidikan nasional adalah sebagai
berikut: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusiayang berima dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.18
18
Tujuan pendidikan politik ialah :
1. Membuat rakyat (individu, kelompok, klien, anak-didik, warga masyarakat,
rakyat, dan seterusnya) mampu memahami situasi sosial-politik penuh
konflik. Berani bersikap tegas memberikan kritik membangun terhadap
kondisi masyarakat yang tidak mantab. Aktivitasnya diarahkan pada proses
demokratisasi individu/perorangan, dan demokratisasi semua lembaga
kemasyarakatan serta lembaga negara. Serta sanggup memperjuangkan
kepentingan dan ideologi tertentu, khususnya yang berkolerasi dengan
keamanan dan kesejahteraan hidup bersama
2. Memperhatikan dan mengupayakan peranan insani dari setiap individu
sebagai warga negara (melaksanakan realisasi-diri/aktualisasi-diri dari
dimensi sosialnya). Mengembangkan semua bakat dan kemampuannya (aspek
kognitif, wawasan, kritis, sikap positif, keterampilan politik). Serta
mengupayakan agar orang bisa aktif berpartisipasi dalam proses politik, demi
pembangunan diri, masyarakat sekitar, bangsa dan negara.
Maka dalam konteks uraian di atas, pendidikan politik di Indonesia dapat
dinyatakan sebagai rangkaian upaya edukatif yang sistematis dan intensional
untuk memantapkan kesadaran politik dan kesadaran bernegara, dalam menunjang
kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah hidup serta landasan
konstitusional. Melakukan upaya pembaharuan kehidupan politik bangsa
dinamis. Landasan pokok yang dipakai dalam melaksanakan pendidikan politik
ialah Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan Sumpah Pemuda 1928.
Khusus bagi generasi mudanya, tujuan pendidikan politik di Indonesia
ialah :
1. Membangun generasi muda Indonesia yang sadar politik, sadar akan hak dan
kewajiban politiknya selaku warga negara, di samping sadar akan kehidupan
berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang harus
terus menerus membangun.
2. Membangun orang muda menjadi manusia Indonesia seutuhnya, yang
perwujudannya tercermin dalam seluruh sifat watak/karakteristik kepribadian
Indonesia (tidak lupa jati dirinya, dan tidak mengalami proses alienasi).
Ciri karakteristik kepribadian Indonesia yang berkaitan dengan dimensi
politik yang diharapkan bisa dibina lewat pendidikan politik antara lain ialah:
1. Sadar akan hak dan kewajiban, tanggung jawab etis/moril dan politik
terhadap kepentingan bangsa dan negara, mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa, dan memberikan keteladanan yang baik.
2. Dengan sadar menaati hukum dan UUD 1945, memiliki disiplin pribadi,
disiplin sosial dan nasional, nasionalisme yang teguh dan tidak sempit.
3. Berpandangan jauh ke depan, dengan tekad perjuangan mencapai taraf
kehidupan bangsa yang lebih tinggi, berkeadilan dan berkesejahteraan,
didasarkan pada kemampuan obyektif dan kekuatan kolektif bangsa Indonesia
4. Aktif berpartisipasi, dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
khususnya dalam kegiatan pembangunan nasional dan pembangunan politik.
5. Secara kesinambungan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan
kesadaran adanya keanekaragaman suku-suku bangsa dan agama, serta
mendukung sistem kehidupan nasional yang demokratis.
6. Sadar akan perlunya memelihara lingkungan hidup manusia dan lingkungan
alam sekitar agar lestari laras dan imbang (terjamin ekosistemnya) sebagai
wadah kehidupan yang sehat.19
Sedangkan, tujuan pendidikan politik menurut Idrus Affandi dan Lani
Anggraeni, yaitu agar setiap individu mampu memberikan partisipasi politik yang
aktif di masyarakatnya. Dengan demikian pendidikan politik memiliki tiga tujuan,
antara lain:
1. Membentuk kepribadian politik, pembentukan kepribadian politik dilakukan
melalui metode tak langsung, yaitu pelatihan dan sosialisasi, serta metode
langsung berupa pengajaran politik dan sejenisnya.
2. Menumbuhkan kesedaran politik ditempuh melalui dua metode yakni dialog
dan pengajaran intruktif.
3. Partisipasi politik, terwujud dengan keikut sertaan individuindividu secara
sukarela dalam kehidupan politik masyarakatnya.20
19
Kartono, Kartini. 2009. Pendidikan Politik, Sebagai Bagian Dari Pendidikan Orang Dewasa.
Bandung: CV. Mandar Maju. Hal 71 20
d. Manfaat pendidikan politik
Menurut Ramdlon Naning, Pendidikan politik mempunyai manfaat
sebagai berikut:
1. Dapat memperluas pemahaman, penghayatan, dan wawasan terhadap
masalah-masalah atau isu-isu yang bersifat politis.
2. Mampu meningkatkan kualitas diri dalam berpolitik dan berbudaya politik
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3. Meningkatkan kualitas kesadaran politik rakyat menuju peranan aktif dan
partisipasinya terhadap pembangunan politik bangsa secara keseluruhan.21
Menurut Idrus Affandi dan Leni Anggraeni, manfaat memahami
pendidikan politik yaitu bisa dilihat mulai dari berubahnya pola pemikiran dari
masyarakat, dimana ketika masyarakat tidak mengetahui pengetahuan banyak
berkenaan dengan pendidikan politik, partisipasi masyarakat dalam menggunakan
hak pilihnya pun relatif rendah. Akan tetapi ketika pengetahuan akan pemahaman
pendidikan politik sudah banyak, otomatis berdampak terhadap partisipasi
masyarakat untuk menggunakan haknya.22
e. Kesulitan dan Hambatan Dalam Pelaksanaan Pendidikan Politik Tema sentral dalam pendidikan politik itu ialah situasi-situasi kongkrit
yang menyebalkan secara sosial, untuk dianalisa secara kritisdan dengan cara-cara
sah serta demokratis ditanggulangi bersama-sama dengan pemerintah. Dengan
begitu berlangsung demokratisasi di segala bidang kehidupan, khususnya untuk
21
Budiyanto. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan untuk SMA kelas X. Jakarta:Erlangga. Hal 185 22
menantang anakronisme feodal dalam kepemimpinan politik, mengarah ke proses
demokratisasi yang lebih maju. Oleh sebab itu tujuan, materi dan metode
pendidikan politik itu harus sejajar dengan pembaharuan terhadap
struktur-struktur politik dan struktur-struktur kemasyarakatan. Tegasnya, pendidikan politik itu
tidak hanya diarahkan pada perubahan-perubahan sikap-sikap politik individu
saja, akan tetapi juga diarahkan pada pembaharuan bentuk-bentuk struktur politik
dan lembaga kemasyarakatan.
Maka menjadi sangat jelas, bahwa pendidikan politik itu bukan gerakan
eliter atau aristokratis dengan ideologi yang melayang-layang tinggi, juga bukan
merupakan aktivitas yang sia-sia seperti “si pungguk yang ingin menggayut
bintang dengan galah bambu”, juga bukan berupa alat yang tidak efisien yang
membuat sejumlah pemberontak mengalami frustasi lebih parah lagi, akan tetapi
merupakan bimbingan edukatif yang terarah, bertujuan sistematis. Ditujukan pada
pencapaian hari esok yang lebih baik. Melawan ketidakadilan, pemerintah
teknokratis otoriter, tiranik atau despotik.
Selanjutnya, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dan sebagai asas
bagi tata tertib kenegaraan itu dipakai di Indonesia untuk memberikan jaminan
kepada setiap individu mencapai kebebasan mengembangkan kehidupannya
sendiri secara bertanggung jawab. Demokrasi tidak hanya menjamin kebebasan
individu lewat hukum-hukum formal saja, akan tetapi juga menjamin dapat
dilaksanakannya dimensi-dimensi sosial dan publiknya secara bertanggung jawab
Pendidikan politik dengan tugas pokok membangun kekuatan-kekuatan
kontra untuk memberantas macam-macam distorsi (pemutar-balikan, pengubahan
bentuk ke arah yang salah, pemuntiran) dan situasi-situasi yang tidak melegakan
hati penuh disharmoni, pertentangan dan persaingan. Dengan begitu pendidikan
politik itu diarahkan pada humanisasi masyarakat Indonesia, agar lebih melegakan
untuk dihuni oleh rakyat, dan tidak boleh indoktrinatif sifatnya.
Semua upaya untuk memelekkan secara politik penduduk Indonesia itu
tidak luput dari kesulitan dan hambatan, antara lain berupa :
1. Amat sulit menyadarkan rakyat akan kondisi diri sendiri yang diliputi banyak
kesengsaraan dan kemiskinan, sebagai akibat terlalu lamanya hidup dalam
iklim penindasan, penghisapan dan penjajahan, sehingga mereka menjadi
“terbiasa” hidup dalam keserba kekurangan dan ketertinggalan. Sulit
mendorong mereka ke arah konsientisasi-diri mengungkapkan segala
problema yang tengah dialami.
2. Apatisme politik dan sinisme politik yang cenderung menjadi sikap putus asa
itu mengakibatkan rakyat sulit mempercayai usaha-usaha edukatif dan
gerakan-gerakan politik –yang dianggap palsu dan menina-bobokan rakyat
belaka– , sulit pula untuk mengajak mereka untuk berfikir lain dengan nalar
jernih. Bahkan banyak di antara massa rakyat yang takut pada kemerdekaan
(dirinya).
3. Dengan latar pendidikan yang rendah atau kurang, rakyat kebanyakan sulit
4. Para penguasa yang otoriter cenderung tidak menghendaki adanya pendidikan
politik, karena status mereka berkepentingan sekali dengan status quo dan
pelestarian rezimnya. Partisipasi aktif dan pengawasan terhadap jalannya
pemerintahan oleh rakyat itu tidak di kehendaki, sebab mengurangi
kebebasan dan kekuasaan organ-organ ketatanegaraan.23
2. Partisipasi Politik
Partisipasi politik itu merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan
negara demokrasi sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.
Dinegara-negara yang proses modernisasinya secara umum telah berjalan dengan
baik, biasanya tingkat partisipasi warga negara meningkat. Modernisasi politik
dapat berkaitan dengan aspek politik dan pemerintah. Partisipasi politik pada
dasarnya merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam
proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan yang dilakukan pemerintah.24
Pemerintah dalam membuat dan melaksanakan keputusan politik akan
menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Dasar inilah yang
digunakan warga masyarakat agar dapat ikut serta dalam menentukan isi politik.
Perilaku-perilaku yang demikian dalam konteks politik mencakup semua kegiatan
sukarela, dimana seorang ikut serta dalam proses pemilihan pemimpin-pemimpin
politik dan turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan
kebijakan umum.
23
Kartono, Kartini. 2009. Opcit, Hal 73
24
Menurut Budiarjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu
dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak langsung
mempengaruhi kebijakan pemerintah.25
Menurut Hutington dan Nelson, bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi yang dimaksud untuk
mempengaruhi pembuat keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat
individual dan kolektif, terorganisir dan sepontan, mantap atau sporadis, secara
damai atau dengan kekerasan. Legal atau ilegal, efektif atau tidak efektif.26
3. Civil Sociecty
Dari pengertian mengenai partisipasi politik diatas maka dapat di ambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud partisipasi politik adalah keterlibatan individu
atau kelompok sebagai warga negara dalam proses politik yang berupa kegiatan
yang positif dan dapat juga yang negatif yang bertujuan untuk berpartisipasi aktif
dalam kehidupan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan pemerintah.
a. Sejarah dan Defenisi Konsep
Secara harfiah, civil society adalah terjemahan dari istilah Latin, civilis
societas. Mula-mula ia dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), seorang orator dan
pujangga Roma, yang pengertiannya mengacu pada gejala budaya perorangan dan
25
Sastroatmodjo, Sudijono. Ibid, Hal 68
26
masyarakat.27 Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik
(political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup.28
Di zaman modern, istilah itu diambil dan dihidupkan kembali oleh John
Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778) untuk mengungkapkan pemikiran
mereka mengenai masyarakat dan politik. Locke umpannya, mendefinisikan
masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik” (political society). Namun
demikian, dalam konsep Locke dan Rousseau belum dikenal pembedaan antara
masyarakat sipil dan negara. Karena negara, lebih khusus lagi, pemerintah, adalah
merupakan bagian dari salah satu bentuk masyarakat sipil. Bahkan keduanya
beranggapan bahwa masyarakat sipil adalah pemerintahan sipil, yang
membedakan diri dari masyarakat alami atau keadaan alami (state of nature).29
Ciri dari suatu masyarakat sipil, selain terdapat tata kehidupan politik yang
terikat pada hukum, juga adanya kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem
uang sebagai alat tukar. Selain itu, kemandirian dan kemampuan untuk
mengorganisasi diri—mengandaikan suatu keadaan di mana masyarakat memiliki
kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri, tanpa tergantung pemerintah—juga
merupakan ciri lain dari civil society.30
27
Alatas, Syed Farid. 2001. Islam, Ilmu-ilmu Sosial dan Masyarakat Sipil. (Makalah Simposium Internasional). Jurnal Antropologi Indonesia ke-2. Padang : Universitas Andalas
28
Gunawan, Hendra. 2007. Islam dan Civil Society: Konsep, Sejarah, dan Perkembangannya di Indonesia (Makalah). Purwokerto: FISIP Universitas Jenderal Soedirman
29
Gunawan, Hendra. Ibid 30
Di Indonesia sendiri, civil society sebetulnya sudah mulai berkembang
sejak dekade 70-an bersamaan dengan mulai maraknya lembaga swadaya
masyarakat (LSM) di Indonesia. Memasuki dekade 80-an, wacana ini makin
merebut perhatian publik. Ini tidak heran, karena pada dekade tersebut, kekuasaan
Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang sangat
hegemonik: ditandai penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Itulah sebabnya,
wacana civil society ini seolah-olah menjadi alternatif sebagai wacana tandingin
untuk kekuasaan Orde Baru.31
Masyarakat sipil (civil society) sebagai sebuah konsepsi, menggambarkan
suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup mampu
mengimbangi kekuasaan negara. Mereka terdiri atas lembaga swadya masyakat
yang mandiri, serikat-serikat pekerja, lembaga-lembaga profesi, perdagangan,
badan-badan otonom keagamaan, kelompok mahasiswa, kelompok kebudayaan,
dan lembaga lainnya, yang tugasnya adalah untuk mengawasi, meneliti dan
menilai kebijakan pemerintah.32
31
Gunawan, Hendra. Ibid 32
Alatas, Syed Farid. Opcit
Dalam konteks ini, mereka juga berhadapan
langsung kepada pemerintah untuk mengimbangi kekuasaan negara. Lembaga
atau masyarakat itulah yang kemudian diidentikkan dengan masyarakat sipil.
kemudian mengkontiniukan antara satu dengan yang lainnya demi kesetabilan
pemerintah.33
Sebagai sebuah istilah, civil society memang masih merupakan
perdebatan. Setiap ilmuwan sosial cenderung memiliki pandangan yang
berbeda-beda tentang istilah ini. Craig Calhoun, misalnya, mendefinisikan civil society
sebagai ruang sipil di mana orang bisa mengorganisasikan kehidupan sehari-hari
mereka tanpa intervensi negara. Nakamura Mitsuo juga memiliki pandangan yang
kurang lebih sama ketika dia menyatakan bahwa di luar ragam perbedaan teoritis
dalam mendefinisikan civil society, ada dua aspek penting yang mencirikan civil
society yang disepakati oleh para ilmuwan sosial, yaitu kehidupan berserikat—
yang sifatnya suka rela—dan keadaban atau nilai-nilai keadaban dalam
masyarakat.34
Untuk mendefinisikan civil society, beberapa tokoh menggambarkan
posisi hubungannya dengan beberapa sektor dan kemudian mengaitkan dengan
beberapa tingkatan bidang yang ada pada sektor tersebut. Civil society sebagai
sektor, maka ia sangat erat kaitannya dengan bisnis, negara, dan keluarga.
Sementara civil society sebagai sebuah tingkatan bidang, maka ia memiliki
tingkatan dalam keluarga, bisnis dan negara.35
33
Gunawan, Hendra. Opcit
34
Boy ZTF, Pradana. 2009. Muhammadiyah, Memadukan Peran Ulama dan Bazaris. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
35
b. Wacana Civil Society dan Masyarakat Madani
Dalam problematika di Indonesia, wacana civil society lebih bersifat
teoriritis, sehingga, tidak sedikit orang yang menyepadankan istilah civil society
dengan masyarakat madani. Padahal, isitilah civil society, societas civilis
(Romawi) atau koinonia politike (Yunani) dan masyakarakat madani berasal dari
dua sistem budaya yang berbeda. Masyakarat madani merujuk pada tradisi
Arab-Islam (meski tidak semua Arab pasti Arab-Islam), sementara civil society merujuk pada
tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna berbeda apabila
dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul.36
36
Jainuri, Achmad. 2000. Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan Khusus Tentang Sikap Budaya, Agama dan Politik. Jurnal Al Afkar. Edisi III Tahun ke 2: Juli-Desember
Oleh karena itu pemaknaan lain di luar derivasi konteks asalnya akan
merusak makna aslinya. Keidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa
kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut, tetapi juga
para interpreter yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan
perbedaan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah
teruji secara terus-menerus dalam tatanan kehidupan sosial-politik Barat hingga
mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban
Barat modern. Sedangkan masyarakat madani seakan merupakan keterputusan
konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi
Perbedaan tersebut timbul dari adanya perbedaan intepretasi tentang apa
yang dimaksud dengan masyarakat unggul (al khair al ummah). Ia bisa diartikan
sebagai masyarakat sipil, bisa pula negara. Tetapi jika kita kembali kepada
pengertian masyarakat madani, yang merupakan pemikiran baru di zaman
modern, maka masyarakat madani mencakup masyarakat sipil maupun negara.
Masalahnya adalah mana yang dianggap primer dan mana yang sekunder. Hingga
sekarang ini, negara (state—konsep civil society) dipandang sebagai primer,
walaupun kenyataannya, masyarakat sipil terlebih dahulu lahir sebelum
terbentuknya Negara RI. Tetapi, negara juga mempunyai peranan dalam
pembinaan masyakat. Di Indonesia, Negara secara tidak langsung ikut
membentuk masyarakat sipil.37
c. Islam dan Korelasinya dengan Civil Society di Indonesia
Menjelang Perang Dunia II, dipelopori oleh kaum cendekiawan lahirlah
organisasi-organsasi keislaman di Indonesia. Boleh dikatakan, kaum cendekiawan
bersama-sama dengan ulama, yang sering juga disebut sebagai cendekiawan
tradisional, memegang peranan sentral dan ikut mewarnai pembentukan negara.
Merek terpecah pandangannya dalam melihat kedudukan dan peranan agama
dalam negara. Di satu pihak, terdapat pendapat yang menghendaki pemisahan
agama dan negara, dan di lain pihak, terutama kelompok Islam, menentang
37
sekularisme, mengingat kuatnya unsur keagaman dalam masyarakat, khususnya
kaum Muslim, yang pada waktu itu mencakup lebih dari 90% penduduk.38
Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu pada penciptaan
peradaban. Kata al din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan
dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam
pengertian al madinah yang arti harfiyahnya adalah kota. Dengan demikian, maka
civil society diterjemahkan sebagai “masyarakat madani”, yang mengandung tiga
hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan.39
Di Indonesia, beberapa waktu lalu terjadi banyak kasus yang menjadi
rebutan antara agama dan negara. UU Pornografi dan Pornoaksi serta peraturan
pemerintah tentang poligami adalah di antara contohnya. Di wilayah manakah
persoalan seperti pornografi, pornoaksi, dan poligami itu mestinya berada, adalah
salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan. Sehingga, muncul lagi kemudian
sebuah pertanyaan, apakah kasus-kasus tersebut di atas—dan kasus-kasus
sejenis—menjadi bagian dari wilayah negarakah atau agama.
Di sinilah letak kekompleksitasan
dari konsepsi civil society itu sendiri. Artinya, ada yang memahami bahwa civil
society itu merupakan pola masyarakat madani yang oleh orang barat
disepadankan dengan civil society yang dipandang modern oleh mereka.
40
Tidak bisa dimungkiri bahwa teori civil society awalnya berkembang di
Barat; dan karena itu menerapkan kerangka teoritis ini begitu saja ke dalam
konteks masyarakat Islam Indonesia menjadi tidak bijaksana. Kesalahan
menerapkan satu ukuran teoritis pada kondisi-kondisi masyarakat yang berbeda
inilah, antara lain, yang telah mengarahkan teoritisi Barat untuk melabel
masyarakat Islam sebagai tidak sejalan dengan civil society.41
Masyarakat sipil yang mewarnai dunia Islam di Indonesia ini merupakan
mata rantai sejarah dari Islam itu sendiri. Islam tidak pernah sepi dari peranannya Ernest Gellner,
misalnya, menilai dalam kerangka teoritis Barat tentang masyarakat, keberadaan
civil society di kalangan masyarakat muslim adalah sesuatu yang sangat tidak
mungkin. Pandangan negatif tentang ketidakmungkinan Islam bersanding dengan
civil society ini dikritik oleh Masoud Kamali, bahwa para pemikir Barat ini gagal
memahami dua dimensi Islam, yaitu Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai
teori politik dan sumber legitimasi kekuasaan. Kenyataan kedua ini merupakan
fakta yang berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menurut Kamali, peran
menentukan agama dalam melegitimasi kekuasaan telah menjadikan kelompok
ulama sangat berpengaruh dalam masyarakat. Secara historis, ulama memainkan
peranan yang sangat penting dalam banyak lembaga sosial, seperti pendidikan,
perkawinan, penguburan, pengumpulan dan pembagian pajak, pendataan
kekayaan, dan sebagainya. Maka, peran-peran yang dimainkan oleh para ulama
inilah yang menjadikan status mereka dalam masyarakat semakin kuat.
41
membentuk civil society. Namun demikian, konsep civil society yang dibangun
Islam sungguh berbeda dengan konsep civil society yang dibangun oleh dunia
Barat. Civil society dalam pandangan Islam tidak memisahkan umat (masyarakat)
dari negara. Akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yang utuh. Berbeda dengan
konsep civil society yang digagas oleh pemikir Barat. Masyarakat diletakkan
berseberangan dengan negara. Ia menjadi penyeimbang yang bersifat opisisi dari
negara, dengan tujuan sebagai pengontrol kekuasaan negara. Guna menghilangkan
kesalahpahaman berbagai pihak tentang adanya civil society—sebagai lawan dari
pemerintah—maka yang dimaksud masyarakat sipil di sini adalah masyarakat
madani, yakni sebenarnya kedua istilah dan konsepsi ini jelas berbeda. Ia tetap
“dipaksa” untuk disamakan asal bisa mengacu untuk menjadi sebuah masyarakat
yang etis, progesif, dan menuju kepada terbentuknya peradaban yang unggul.
G. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah sebagaimana ajaran mengenai cara-cara yang
digunakan dalam memproses penelitian.42
1. Metode Penelitian
Metodologi penelitian pada dasarnya
merupakan cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan penelitian yang
dilakukan.
Metode penelitian adalah cara yang ditempuh oleh peneliti untuk
menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.43
42
Kartono Kartini. 1996. Pengantar Metode Riset Sosial. Bandung: CV. Mandar Maju. Hal 17
43
Dr. Saifuddin.2010.Metode Penelitian.Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Hal 1.
yang digunakan untuk menjawab penelitian ini adalah metode penelitian
deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis merupakan metode yang bertujuan
mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek penelitian yang
diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan
yang berlaku umum.44
2. Lokasi Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini diadakan di Al Washliyah Sumatera Utara yang
beralamat di Jalan Sisingamangaraja Nomor 144, Kelurahan Pasar Merah Barat,
Kecamatan Medan Kota Kode Pos 20217 Medan Sumatera Utara.
3. Jenis Data
Kegiatan penelitian baik penelitian sosial ataupun penelitian eksakta selalu
berkaitan dengan sumber data. Didalam sejarah perkembangan penelitian, pada
awalnya yang dikatakan sebagai sumber data hanyalah apa yang ditemui pada saat
itu baik yang dilihat ataupun yang didengar tanpa mempertimbangkan segi
perkembangan dan waktu.
Perkembangan atau lebih tepatnya perubahan akan terjadi selama
mekanisme kegiatan manusia dan akan berinteraksi seiring dengan waktu. Oleh
sebab itu peranan waktu akan semakin menentukan dalam perkembangan ataupun
kejadian perubahan. Perubahan akan terjadi dengan nyata apabila terdapat
rekaman awal, rekaman selama terjadinya interaksi dan rekaman akhir. Kumpulan
44
perubahan tersebut yang dalam hal ini disebut sebagai sumber data.45
a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan. Dilakukan
sengan metode wawancara mendalam (indepth-interview) yang dipandu
dengan pedoman wawancara. Wawancara dalam penelitian ini adalah
wawancara bebas terpimpin. Dimana model wawancara bebas terpimpin yaitu
diartikan sebagai wawancara yang menggunakan pedoman wawancara (daftar
pertanyaan) namun berupa kalimat-kalimat yang tidak permanen atau
mengikat.
Pada
penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder, yaitu :
46
b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh baik yang belum diolah maupun
yang telah diolah, baik dalam bentuk angka maupun uraian. Data diperoleh
dari literatur yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, jurnal,
artikel, makalah, undang-undang, peraturan-peraturan, internet serta
sumber-sumber lain yang dapat memberikan informasi mengenai judul penelitian. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung dan
terbuka kepada informan atau pihak-pihak yang berhubungan dan memiliki
relevansi terhadap masalah yang berhubungan dengan penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian, data sangat dibutuhkan sebagai acuan untuk
menjamin keakuratan dalam menganalisis penelitian tersebut. Maka peneliti
45
Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian (Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal 44.
46
dalam hal ini melakukan teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan
wawancara secara langsung. Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode
purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang disesuaikan dengan tujuan
dan syarat tertentu yang ditetapkan berdasarkan tujuan dan masalah penelitian.
Wawancara ini dilakukan secara langsung kepada informan ataupun narasumber
yang dianggap paling sesuai dengan objek penelitian, serta melakukan tanya
jawab secara mendalam terkait permasalahan yang diteliti kepada informan dan
narasumber dalam objek penelitian ini. Pihak-pihak yang diwawancarai dilibatkan
dalam penggalian data sebagai informan dengan tujuan agar memperoleh
informasi yang tersaring tingkat akurasinya sehingga keseimbangan informasi
dapat diperoleh.47
1. DRS. H. HASBULLAH HADI, SH, M.Kn selalu Ketua PW Al
Washliyah Sumatera Utara 2011 – 2015
Maka, peneliti mengambil informan sebanyak 3 orang yaitu :
2. DRS. H. DARIANSYAH EMDE selaku Wakil Ketua PW Al
Washliyah Sumatera Utara 2011 – 2015
3. H. ISMA FADLI ARDYA PULUNGAN, S.Ag, SH, MH selaku
Sekretaris PW Al Washliyah Sumatera Utara 2015 – 2019
Selain dengan metode wawancara, peneliti juga menggunakan
pengumpulan data sekunder yaitu dengan mencari data dan informasi melalui
buku, internet, jurnal dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian. Data-data
47
Sukandarrumidi. 2006. Metodologi Penelitian (Petunjuk Praktis Untuk Pmeneliti Pemula). Yogyakarta:
tersebut digunakan sebagai acuan untuk menggambarkan konsep yang dituliskan
dalam penelitian ilmiah ini. Selain itu, peneliti juga mencari informasi dan
referensi tambahan melalui buku-buku terkait pendidikan politik, partisipasti
politik, civil society serta Al Washliyah.
5. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisa data kualitatif. Analisa data kualitatif memberikan hasil penelitian untuk
memperoleh gambaran terhadap proses yang diteliti dan juga menganalis makna
yang ada dibalik informasi, data dan proses tersebut.48
48
Burhan Bungin. 2009. Penelitiian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial
Lainnya, Jakarta: Kencana. Hal 153.
Penelitian ini merupakan
penelitian yang menggunakan data-data primer dan data-data sekunder. Metode
ini sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa hasil
wawancara dari para narasumber maupun data-data tertulis. Data hasil wawancara
akan diuraikan melalui petikan wawancara dengan masing-masing informan.
Setelah data-data primer dan data-data sekunder terkumpul kemudian
dilanjutkan dengan menganalis data secara deskriptif berdasarkan fenomena yang
terjadi di lapangan yakni data yang diperoleh kejelasan atas permasalahan yang
telah dirumuskan sebelumnya. Kemudian dilakukan penarikan kesimpulan dari
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan penjabaran rencana penulisan untuk
lebih mempermudah dan terarah dalam penulisan karya ilmiah. Agar mendapat
gambaran yang jelas dan terperinci, maka penulis membagi penulisan skripsi ini
ke dalam 4 (empat) bab. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam BAB I ini berisi tentang Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika
Penulisan
BAB II DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN
Dalam BAB II ini mendeskripsikan profil Al Washliyah
Sumatera Utara
BAB III PERAN AL WASHLIYAH DALAM PENDIDIKAN POLITIK DI SUMATERA UTARA
Bab ini membahas secara garis besar hasil dari penelitian
sekaligus menganalisis data yang diperoleh untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian.
BAB IV PENUTUP
Pada BAB IV ini berisi kesimpulan dan saran yang