• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN GEREJA KATOLIK FILIPINA DALAM REVO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN GEREJA KATOLIK FILIPINA DALAM REVO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN GEREJA KATOLIK FILIPINA DALAM REVOLUSI EDSA

1986-PEOPLE POWER.

Nama: Andi Wira Pratama

NPM: 1306412703

ABSTRAK

Filipina adalah salah satu negara yang mengalami demokratisasi gelombang ketiga. Marcos, sang diktator, telah dijatuhkan dalam Revolusi EDSA-People Power 1986. Salah satu pihak yang mendukung demokratisasi tersebut adalah Gereja Katolik Filipina dengan tokoh utamanya adalah Kardinal Sin. Dukungan dari Gereja Katolik sangatlah krusial untuk menumbangkan Marcos. Oleh karena itu, Makalah ini akan membahas mengenai peran Gereja Katolik Filipina terhadap Demokratisasi Filipina via Revolusi EDSA 1986- People Power.

Kata kunci: gereja, katolik, Filipina, EDSA, 1986.

PENDAHULUAN

1) LATAR BELAKANG

Demokratisasi saat ini telah menjadi fenomena umum. Dahulunya, negara-negara yang demokratis masih bisa dihitung dengan jari, dan sebagian besar berlokasi di negara kawasan Eropa ditambah Amerika Serikat. Sekarang, demokratisasi sudah meluas ke negara-negara Asia. Demokratisasi telah menyentuh Taiwan, Korea Selatan, Filipina (1986), dan Indonesia (1998)

Filipina dahulunya pernah diperintah oleh seorang pemimpin yang otoriter. Pemimpin tersebut bernama Ferdinand Marcos. Marcos terpilih menjadi Presiden setelah memenangkan Pemilu 1965. Dengan menggunakan kampanye populis, bahwa dia adalah seorang pahlawan Perang Dunia II yang banyak mengkoleksi medali kehormatan.1 Hasilnya dia mendapatkan suara yang mayoritas dan mengalahkan lawannya. Marcos bahkan memenangi pemilu sebanyak dua kali.

(2)

Namun, sekalipun terpilih sebagai presiden yang demokratis. Marcos justru tidak demokratis. Segera, di tahun 1971, tepatnya di tanggal 21 September, 2Marcos mendeklarasikan Martial Law atau negara darurat perang. Dengan Martial Law itu, Marcos praktis menjadi diktator di Pilipina. Marcos membatasi pergerakan oposisi dan membungkam media massa yang dianggap bersebrangan dengan kepentingannya. Media massa yang dibubarkan itu contohnya adalahoManila Time. Beberapa ada yang diambil alih pemerintah. 3Banyak pihak yang menentang Marcos.

Salah satu tokoh yang menentang Marcos adalah Benigno Servillano Aquino. Dia terus mengkritik Marcos yang telah menjadi pemimpin yang otoriter dan korup. Sebagai akibatnya, di tahun 1972, Aquino dipenjara oleh Marcos. Aquino sempat pergi ke luar negeri dan diperbolehkan dengan alasan kesehatan.Namun saat kembali lagi ke Pilipina, tepatnya di tahun 1983 di tanggal 21 Agustus, beliau ditembak saat baru mendarat di bandara. Penembakannya segera memicu perlawanan besar kepada Marcos, yang awalnya hanya sedikit dan tidak berpengaruhi

Marcos mengadakan Pemilu di tahun 1986 sementara lawannya adalah Corazon Aquino, janda Benigno Aquino. Dalam Pemilu yang curang tersebut, Marcos dinyatakan memenangkan pemilu. Banyak pihak yang menentang hal itu. Bahkan, Gereja Katolik Filipina memprotes hal tersebut.4 Beberapa teknisi yang ditugaskan untuk menghitung hasil Pemilu dengan hitung cepat di COMELEC melakukan walk out sebagai bentuk protes mereka terhadap kecurangan Pemilu tersebut.5

Tindakan Marcos memanipulasi suara pemilu 1986 tersebut segera memicu protes. Protes tersebut akhirnya terwujud menjadi People Power 1986 di EDSA, Manila.6 People Power yang terwujud menjadi aksi protes massal ini pada akhirnya berhasil mendesak Marcos untuk turun dari jabatannya. Dia bahkan kabur dari Pilipina menuju Amerika Serikat. Sementara itu, Corazon Aquino terpilih sebagai Presiden Pilipina.

2 http://www.gov.ph/featured/declaration-of-martial-law/

3 Frago, M. Perlita. The Media and Philippine Politics dalam Philippine Politics and Governance-Challenge to Democration and Development, halaman 171.

4 http://www.cbcponline.net/documents/1980s/1986-post_election.html

5 http://cnnphilippines.com/videos/2016/02/24/Remembering-the-1986-Comelec-walkout.html

(3)

Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya, Gereja Katolik Filipina menyatakan protesnya kepada Marcos saat mengetahui bahwa dia telah memanipulasi hasil pemilu. Hal ini menandakan bahwa Gereja Katolik Filipina memiliki peran dalam demokratisasi yang dimulai tahun 1986.

Salah satu tokoh yang berperan dalam Revolusi EDSA People Power 1986 adalah Kardinal Jaime Sin, yang merupakan tokoh dari Gereja Katolik di Filipina. 7 Kardinal Sin menggerakan masyarakat sipil untuk mendukung pemberontakan terhadap Marcos. Ketika senjata dan tank milik pemerintah dikirim untuk menghancurkan pemberontakan, masyarakat sipil yang berdoa dijalanan berhasil mencegah mereka untuk menembak rakyat. 8 Sebelumnya, Kardinal Sin ternyata telah berupaya mempersatukan faksi-faksi politik anti-Marcos, dimulai sejak tahun 1983 dan memprotes Marcos karena ketidakpeduliannya terhadap rakyat kecil.9

POKOK MASALAH DAN PERTANYAAN PENELITIAN

Berdasarkan fakta yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa Gereja Katolik Filipina memiliki peran yang signifikan. Gereja Katolik Filipina adalah masyarakat sipil yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat Filipina. Tanpa adanya dukungan Gereja Katolik Filipina (seperti yang telah dilakukan oleh Kardinal Sin), People Power tidak akan berhasil menumbangkan Marcos dari kursi kepresidenannya. Untuk itu, makalah ini akan membahas lebih secara lebih lengkap dan mendalam tentang peran Gereja Katolik Filipina dalam EDSA 1986.

Bagaimana peran Gereja Katolik Filipina dalam Revolusi EDSA-People Power 1986?

KERANGKA KONSEP

Huntington (1991), berusaha menjelaskan mengapa demokratisasi dapat terjadi dalam bentuk gelombang ketiga.

1) Permasalahan legitimasi. Kegagalan rezim otoriter dalam mempertahankan legitimasinya, baik dalam bidang militer dan ekonomi telah menghantarkan mereka kepada kehancurannya, sementara nilai-nilai demokratis di seluruh dunia telah berkembang

7 http://www.rappler.com/newsbreak/iq/122057-key-players-1986-people-power-revolution

8 https://www.tcdsb.org/Board/NurturingOurCatholicCommunity/Documents/Cardinal%20Sin%20Biography.pdf

(4)

2) Pertumbuhan ekonomi yang pesat. Pertumbuhan ekonomi ini menghasilkan kelas menengah yang terdidik di seluruh negara yang menjadikannya sebagai kekuatan utama demokratisasi.

3) Perubahan doktrin dan aktivitas Gereja Katolik, yang terbentuk berdasarkan Konsili Vatikan Ke II di tahun 1963-1965. Hal ini mengubah gereja Katolik yang sebelumnya mempertahankan status quo menjadi penentang keras otoritarianisme.

4) Perubahan kebijakan actor politik eksternal seperti AS, Uni Soviet dan Komunitas Eropa.

5) Snowballing, atau efek demonstari transisi di negara lain sebelumnya yang menstimulasi dan memberikan contoh demokratisasi.10

PENGARUH GEREJA KATOLIK DI FILIPINA.

Sejarah Singkat Gereja Katolik di Filipina

Filipina adalah negara yang unik di Asia Tenggara. Filipina adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang beragama Katolik sementara Asia Tenggara didominasi oleh agama Buddha dan Islam. Filipina adalah negara yang memiliki penduduk Katolik terbesar ketiga di seluruh dunia, setelah Brazil dan Meksiko.11

Kristen Katolik masuk ke Filipina sejak abad ke-16, dimulai dengan datangnya Penjajah Spanyol. Ferdinand de Magellan adalah seorang penjelajah yang mendarat di Filipina di 31 Maret 1521. 2 minggu kemudian, tepatnya 14 April, pendeta yang bersama Magellan, Pedro Valderrama membaptis Raja Humabon, beserta 500 orang penduduk asli di Cebu, Filipina. 12

Umat Katolik Filipina sempat tidak terurus semenjak kematian Magellan. Namun, 44 tahun kemudian, penjelajah Spanyol yang lain, Legazpi, mendarat di pulau yang sama, tepatnya di bulan April 1565. Semenjak saat itu, Gereja Katolik mulai menancapkan akarnya di Filipina. Misionaris-misionaris semakin berdatangan ke Pilipina. Cabang-cabang gereja mulai berdiri di luar Cebu, seperti Manila, Cagayan dan kota-kota lainnya , seiring dengan ekspansi penjajah

10 Huntington. P. Samuel (1991). Democracy’s Third Wave. Journal of Democracy Spring 1991, halaman 13. 11 http://www.huffingtonpost.com/2013/02/25/most-catholic-countries-top-10-by-population_n_2740237.html

DIAKSES 13/6/2016 pukul 11.00 WIB

(5)

Spanyol di Pilipina.13 Gereja berkembang di bagian utara Filipina sampai ke wliayah selatan yang dihuni mayoritas Muslim.

Filipina telah menjadi koloni dan jajahan Spanyol sejak abad ke -16. Gereja Katolik termasuk salah satu yang mendapatkan keuntungan besar dari penjajahan ini. Gereja Katolik di Spanyol termasuk salah satu institusi keagamaan yang paling kaya, berpengaruh dan berkuasa. Sebagai salah satu institusi keagamaan, mereka berperan sebagai penyedia kebutuhan rohani kepada pengikutnya. Namun, keterlibatan mereka berkegiatan bersama kaum pribumi Pilipina ternyata menyadarkan jiwa mereka akan penindasan di Pilipina oleh penjajah.

Menjelang akhir penjajahan Spanyol, gereja Katolik di Pilipina memiliki pengaruh yang terbesar di negara tersebut. Gereja Katolik Filipina adalah salah satu pemilik tanah terbesar di Filipina Namun, gereja terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah pastor Spanyol yang mewakili hegemoni pemerintah kolonial Spanyol. Kelompok kedua adalah pastor dari penduduk asli Filipina yang berusaha menginginkan otonomi yang luas kepada Gereja Katolik di Filipina.14

Beberapa pastor ada yang memang berupaya menentang penjajahan. Gomburza, yang merupakan singkatan dari tiga nama pastor yakni, Jose Burgos, Zamora dan Gomez. Ketiga pastor ini dieksekusi karena dianggap melawan pemerintah Spanyo dengan mendukung sekularisasi. Maksudnya sekularisasi ini adalah nasionalisasi, dimana ketiga pastor ini memperjuangkan otonomi kepada gereja Filipina dari Spanyol. Selain itu, menurut Schumacher (2006), ketiga pastor ini menginginkan perlakuan yang setara kepada pihak pihak pastor pribumi dalam administrasi Gereja. Eksekusi ini sangat mempengaruhi Jose Rizal. Eksekusi ini oleh mayoritas Sejarawan dianggap sebagai pemicu gerakan Revolusi Kemerdekaan di Filipina. 15

Revolusi 1898 adalah periode dimana Gereja Katolik Filipina mendapatkan serangan dan perlawanan dari kaum revolusioner pribumi. Lebih dari 40 pendeta (friar) terbunuh dalam revolusi ini.16 Setelah perginya penjajah Spanyol pasca Revolusi 1898, Amerika menguasai Filipina. Dibawah Amerika, Filipina menerapkan pemisahan yang ketat antara Gereja dan

13 Ibid, halaman 3.

14 http://rlp.hds.harvard.edu/faq/catholicism-philippines diakses 13/6/2016 pukul 08.30 WIB. 15 Senauth, Frank. (2012). The Making of the Philippines. Authorhouse, halaman 16.

(6)

Negara. Gereja Katolik Filipina sempat mengalami marginalisasi dan stagnasi sebagai akibat hal tersebut. Bahkan, di masa itu, beberapa gereja di luar Gereja Katolik berdiri, seperti Aglipayan. Selain itu, Amerika berupaya mengurangi kekuatan gereja Katolik, seperti mengambil alih tanag-tanahnya dan menjualnya kepada rakyat Filipina. Mereka juga membawa pendeta Katolik dari Amerika Serikat untuk mengontrol Gereja Katolik Filipina.17

PENGARUH GEREJA KATOLIK DALAM MASYARAKAT FILIPINA

Gereja Katolik Filipina memiliki pengaruh yang besar, walau sempat mengalami penurunan menjelang Revolusi Filipina 1898. Salah satu pengaruh yang terlihat dalam masyarakat Filipina adalah dalam bidang pendidikan. Banyak sekali universitas-universitas di Filipina adalah milik Gereja Katolik. Ada sekitar 17 universitas Katolik, 151 kampus Katolik, 400 SMA Katolik, dengan total pelajar sebanyak 670.000 orang. Universitas-universitas elit seperti Ateneo De Manila, De La Salle, adalah universitas yang memiliki afiliasi dengan gereja Katolik.18

Selain dalam bidang pendidikan, Gereja juga mempunyai Rumah Sakit, stasiun radio, program kerja sosial, dan memiliki organisasi yang menjangkau daerah pedesaan dan wilayah kecil. Pengorganisasian Gereja Katolik di Filipina dilaksanakan oleh Catholic Bishops Conference of Philippines (CBCP) dan Association of Major Religious Superiors in the Philippines (AMRSP). Opini-opini gereja biasanya disalurkan lewat kedua organisasi tersebut dengan menggunakan misa minggu. CBCP memiiki 95 aktif bishop (kepala gereja) dengan diokesa gereja yang tersebar di seluruh Filipina.19 Dengan kata lain, gereja memiliki jaringan yang luas dan kuat. Oleh karena itu, kekuatan mereka tidak dapat disepelekan.

Gereja memiliki kekuatan strategis lain, yakni sebagai otoritas moral. Gereja tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia, baik dari segi ekonomi maupun dari segi politik. Mereka juga aktif dalam menegakkan keadilan sosial, sejak datangnya Walter Hogan di bulan Juli 1946. Dia mendirikan ISO (Institute of Social Order)

17 Op.cit http://rlp.hds.harvard.edu/faq/catholicism-philippines

18 Timberman, G. David. (1991). A Changeless Land: Continuity and Change in Philippine Politics ISEAS- M.Sharpe Publication. halaman 273.

19 Hernandez. G. Carolina, The Military in Philippine Politics dalam Severino, C. Rodolfo dkk ( 2007).Whither the Philippines in the 21st Century?

(7)

yang bergerak di bidang organisasi pekerja, pelajar, dan rakyat miskin kota.20 Di gereja juga berkembang kaum moderat dan progresif yang masing-masing di antara menekankan perlawanan terhadap kaum zalim dan membela rakyat yang lemah. 21

Kondisi ini juga semakin diperkuat setelah Konsili Vatikan II yang berakhir di tahun 1965. Semakin banyak organisasi non pemerintah, masyarakat sipil dan organisasi keagaaman, yang berkat Martial Law di Filipina berkembang pesat. Teologi liberasi yang mengajarkan kesadaran membantu pihak yang lemah telah membentuk beberapa pendeta dan pastor untuk bekerja dan membela rakyat miskin.22

Masyarakat Pilipina adalah masyarakat yang religius. Agama Katolik begitu meresap dalam jiwa mereka. Hal ini bisa dilihat dengan sikap para ilustrados dan massa perlawanan Filipina yang menggunakan agama Kristen sebagai justifikasinya dalam melakukan perlawanan.23 Fusi antara politik dan nilai agama adalah biasa dalam memperjuangkan sebuah ide. Hal ini nantinya akan dipakai oleh Gereja Katolik Filipina dalam melawan Marcos.

Sekalipun Spanyol adalah penjajah Filipina, agama Katolik adalah agama yang berpengaruh dalam masyarakat Filipina. Penjajahan Spanyol yang menyebarkan ajaran Kristen telah membentuk pola piker masyarakat ini. Adalah hal yang biasa, jika seorang politisi ingin ikut serta dalam Pemilu, beliau harus mendapatkan restu dari pada pendeta dan pastor.24

PANDANGAN GEREJA KATOLIK

Ada empat pandangan yang berada di Gereja Katolik di saat pemerintahan Marcos. Mereka adalah

1) Ultra-Konservatif

2) Konservatif

20 Carrol.J.John, Cracks in the Wall of Separation? The Church, Civil Society and The State of Philippines dalam Guan, Hock Lee. (2004). Civil Society in Southeast Asia. ISEAS. halaman 56

21 Timberman, op.cit halaman 274

22 Hernandez G. Carolina dalam Rodolfo C Severino, op.cit halaman 108

23 David, Leonard. (1989).Revolutionary Struggle In The Philippines. St Martin’s Press.

(8)

3) Moderat

4) Progresif.

Masing-masing pihak tersebut memiliki pendapatnya tersendiri mengenai rezim Marcos. Pihak pertama, yakni Ultra Konservatif, adalah pihak yang sangat pro terhadap Marcos. Mereka tidak peduli sama sekali dengan kejadian pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Marcos. Bagi mereka, hal tersebut penting untuk melawan komunisme. Pihak Konservatif adalah mereka yang jumlahnya paling besar di kalangan Gereja. Namun, mereka cukup lamban dalam mengutuk terjadinya pelanggaran HAM di zaman Marcos. Mereka mengkritik Marcos, namun lebih banyak kolaborasinya dengan Marcos. 25

Ketiga, pihak moderat yang memiliki pengalaman pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia. Mereka menginginkan perubahan, serta reformasi terhadap rezim dan menggunakan cara-cara nir-kekerasan dalam mewujudkannya. Pihak-pihak yang termasuk dalam grup ini adalah AMRSP dan NCCP. Terakhir, kelompok progressif yang memiliki kesamaan dengan kelompok moderat. Hanya saja, terkait kekerasan, mereka menyerahkan sepenuhnya terhadap rakyat yang menentukan. Kelompok progressif lebih keras tekanannya terhadap hak asasi manusia ketimbang kelompok moderat.26

KONLFIK DENGAN MARCOS MENJELANG PEOPLE POWER 1986

Sebelumnya, Gereja Katolik bersikap pasif terhadap pemerintahan Marcos.Namun, sejak Marcos memberlakukan Martial Law (1972-1981), pihak gereja mulai sadar dan mulai menentang sikap Marcos. CBCP dan NCPP menjadi pengkritik utama Marcos sebab penggunaan Martial Law ini dipakai untuk melanggar hak asasi manusia, yang korban utamanya adalah jemaat gereja. Banyak para pendeta yang membantu rakyat miskin, petani miskin, terkena serangan dari pihak Militer. Ada sekitar dua puluh operasi yang dilancarkan pihak militer terhadap kaum agamawan. Di tahun 1974, militer merazia Gereja Sacred Hart Novitiate, yang menjadikan para agamawan menentang keras rezim Marcos.27

(9)

Pihak gereja mulai menyadari kekeliruan rezim Marcos. Kardinal Sin juga menjauh dari Rezim Marcos yang senantiasa menyerang pihak gereja. 28 Walau disaat itu beliau bersikap pasif, hal ini karena mengasosiasikan diri dengan pihak Marcos akan merusak nama baik gereja. Namun, setelah Martial Law dihentikan, serangan Marcos terhadap gereja meningkat.

Terpilihnya kembali Marcos di tahun 1981 telah memperburuk hubungannya dengan pihak gereja. Di tahun 1982, Kardinal Sin menyerukan pihak agamawan Katolik dengan mengatakan bahwa mereka memiliki obligasi moral untuk berpolitik. Di bulan Januari 1983, CBCP memutuskan untuk keluar dalam komite yang memfasilitasi hubungan kontroversi antara Militer dengan Gereja. Bulan depannya, menurut Youngblood (1990), para pendeta mengecam rezim Marcos yang telah menghasilkan korupsi, penindasan, dan ekonomi yang salah urus.29

Benigno Aquino wafat sebagai akibat ditembak pihak yang tidak dikenal di tahun 1983. Pihak gereja semakin banyak yang menentang Marcos dan mengkehendaki dia segera mundur dari jabatannya sebagai presiden. Walau demikian, Kardinal Sin masih tetap hati-hati dalam menentang Marcos. Kardinal Sin tetap menjunjung tinggi upaya dialog dan rekonsialisasi serta membantu pihak moderat.30 Namun, hal tersebut sepertinya tidak bertahan lama.

Di tahun 1984, setelah melihat bahwa pemilihan parlemen telah dimanipulasi oleh Marcos, pihak gereja Katolik semakin keras dalam menentangnya. Kardinal Sin mendukung National Movement of Free Elections.31 Kardinal Sin mendukung protes dan demonstrasi terhadap pemerintah. Beliau segera mempersatukan Cory Aquino dan Laurel yang mewakili pihak oposisi untuk ikut dalam Pilpres 1986.32

Marcos mengadakan pemilu presiden di tahun 1986. Kali ini, pihak gereja sudah jelas berada di pihak mana, yakni oposisi. Corazon Aquino mendapat dukungan dari NAMFREL, Gereja Katolik, dan kalangan pebisnis Filipina serta beberapa elemen reformis dari Militer Filipina. NAMFREL memiliki hubungan dekat dengan Gereja Katolik dan mereka bertugas untuk mengawasi Pemilu Presiden Filipina di 1986. Kardinal Sin mengajak setiap warga Filipina untuk

28 Anderson, John. (2009). Christianity and Democratisation: From Pious Subjects to Critical Participants. Manchester University Press.

29 Parsa, Misagh. (2000). States, Ideologies, and Social Revolutions: A Comparative Analysis of Iran , Nicaragua and Philippines, halaman 158.

30 Ibid, hal 158.

31 Op.cit Anderson, John.

(10)

memilih calon yang jujur dan menghargai HAM. Saat penghitungan Pemilu, NAMFREL menemukan kecurangan-kecurangan yang telah dilakukan oleh Marcos. Namun, bukannya membatalkan hasil pemilu ini, Batasang Pambansa (Parlemen) justru mendeklarisasikan Marcos sebagai Presiden berdasarkan hasil hitung dari Komisi Pemilu Filipina. 33

PEOPLE POWER 1986

Sebagai buntut dari aksi kecurangan ini, ratusan ribu penduduk Filipina turun ke jalan dan memprotes tindakan Marcos. Mobilisasi massa begitu besar. Di tanggal 16 Februari 1986, lebih dari 1 juta orang berdemonstrasi di Taman Rizal di Filipina. Di tanggal 22 Februari 1986, beberapa personel militer melakukan pemberontakan.34 Sebelumnya, di tanggal 16 Februari 1986, Corazon Aquino telah mengajak seluruh rakyat Pilipina untuk melakukan mogok massal.35

Peran Gereja Katolik sangat signifikan dalam revolusi rakyat ini. Kardinal Sin memerintahkan kepada setiap kaum beriman untuk “melindungi kalangan pemberontak dari pihak militer”. 36 Sebelumnya, di tanggal 13 Februari 1986, CBCP telah mendeklarasikan bahwa Pemilu 1986 telah dimanipulasi dengan penuh kecurangan. NCCP juga berpendapat sama dan memutuskan bahwa kepemimpinan dengan hasil kecurangan adalah kosong dan tidak berguna.37

Gereja Katolik menunjukkan pengaruh kuatnya ketika Kardinal Sin mengeluarkan sebuah pernyataan di bulan yang sama. Dengan menggunakan Radio Veritas, Kardinal Sin, pemimpin CBCP, mengajak setiap rakyat untuk berkumpul di EDSA untuk memprotes pemerintah Marcos yang zalim.38

Yang paling fenomenal adalah tindakan Kardinal Sin untuk mendukung pihak pemberontak Marcos. Di tanggal 22 Februari 1986, Radio Veritas tetap mengudara dan mengajak rakyat untuk melindungi para pemberontak. Hasilnya, EDSA dipenuhi oleh para pastor dan biarawati yang

33 Stephan, J. Maria. (2011). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. Cambridge University Press, halaman 160.

34Katsiaficas,N. George. ( 2013). Asia's Unknown Uprisings: People power in the Philippines, Burma, Tibet, China, Taiwan, Bangladesh, Nepal, Thailand dan Indonesia (1947-2009). PM Press, halaman 37-38.

35 Carter, April. (2012). People Power and Political Change: Key Issues and Concepts.Routledge. 36 Woods, L. Damon (2006).The Philippines: A Global Studies Handbook. ABC-Clio, halaman 123

37 Carrol, J. John, Crack in the Wall of Separation, dalam Guan, Hock Lee. (2004). Civil Society in Southeast Asia. ISEAS.

halaman 63.

(11)

sibuk berdoa dan berani berkonfrotasi langsung, tepat di depan tank Militer, sembari melempar senyum dan memberikan bunga.39

ANALISIS

Tampaknya sudah jelas, bahwa Gereja Katolik Filipina sangat berperan dalam demokratisasi Filipina. Hal ini terlihat dengan peran Gereja Katolik Filipina dalam melakukan protes terhadap aksi otoritarianisme yang dilakukan oleh Marcos. Gereja Katolik Filipina mempersatukan oposisi, memobilisasi massa. Komunikasi mereka yang luas dan menjangkau tiap segmen masyarakat membuat mereka menjadi kekuatan politik yang sangat diperhitungkan dan tidak bisa disepelekan.

Kita bisa melihat bahwa Gereja Katolik Filipina itu dahulunya adalah pendukung status quo. Gereja Katolik Filipina datang bersamaan dengan penjajah Spanyol dan mereka berkontribusi terhadap penindasan warga Pilipina. Salah satu pihak yang diserang dalam Revolusi Filipina 1898 adalah Gereja Katolik. Bahkan, sebagai buntut hal ini, Gereja Katolik mengalami perpecahan dengan munculnya Gereja Aglipayan. Walau demikian, elemen-elemen perlawanan terhadap penjajah tetap ada dan terbatas pada beberapa orang (Gomburza).

Akan tetapi, semua itu berubah semenjak Konsili Vatikan II. Gereja Katolik kini menjadi salah satu agen utama perlawanan terhadap otoritarianisme. Kita sudah tahu sebelumnya bahwa sudah berkembang faksi-faksi moderat dan progresif yang menentang status quo. Hal ini yang membuat Gereja Katolik Filipina tidak tinggal diam terhadap penindasan dan arogansi Marcos. Mereka melawan dengan cara yang baik, pertama dengan dialog. Namun, ketika dialog pada akhirnya gagal, mereka tidak segan-segan bersikap tegas.

Satu hal lagi, Gereja Katolik Filipina, sekalipun adalah warisan penjajah kolonial, begitu meresapi jiwa masyarakat Filipina. Kita bisa melihat sebelumnya bahwa Katolik adalah agama terbesar di Filipina dimana Filipina adalah negara dengan penduduk Katolik terbanyak ketiga di dunia. Gereja Katolik Filipina memiliki respek yang sangat tinggi dari rakyat Filipina. Hal ini terlihat dengan ketidakberanian tentara dalam berkonfrontasi dengan pendeta-pendeta yang melawan Marcos di EDSA. Karena Gereja Katolik adalah organisasi keagamaan dan sumber

(12)

otoritas moral, mereka menjadi pemersatu oposisi Filipina yang tentu memiliki pandangan politik yang berbeda-beda.

Huntington (1991) sudah tepat menjelaskan bahwa perubahan doktrin dan teologi agama di Vatikan telah berpengaruh besar terhadap kelangsungan demokratisasi. Contoh dari negara yang terbukti tersebut tak lain adalah Filipina. Gereja Katolik telah berhasil memobilisasi massa dan mengarahkannya untuk menumbangkan Marcos. Tanpa ada dukungan Gereja Katolik, Filipina bisa jadi masih dikuasai oleh kroni-kroni Marcos.

KESIMPULAN

Gereja Katolik Filipina berperan besar dan strategis dalam demokratisasi di Filipina. Tanpa adanya mereka, demokratisasi bisa jadi tidak akan berlangsung. Mereka menjadi pemersatu oposisi, dan pemobilisasi massa yang terbaik. Mereka juga sumber dari otoritas moral. Sikap Gereja Katolik Filipina yang mendukung demokratisasi tak bisa lepaskan dari Perubahan Teologi dan Doktrin Gereja di Konsili Vatikan II.

REFERENSI

http://www.gov.ph/featured/declaration-of-martial-law/ diakses 13/6/2016 pukul 12.00 WIB

Frago, M. Perlita. The Media and Philippine Politics dalam Philippine Politics and Governance-Challenge to Democration and Development, halaman 171.

http://www.cbcponline.net/documents/1980s/1986-post_election.html

http://cnnphilippines.com/videos/2016/02/24/Remembering-the-1986-Comelec-walkout.html

Wui, A. Marlon. (1997). STATE-CIVIL SOCIETY RELATIONS IN POLICY-MAKING. The Third World Studies Centre.

http://www.rappler.com/newsbreak/iq/122057-key-players-1986-people-power-revolution

(13)

http://www.huffingtonpost.com/2013/02/25/most-catholic-countries-top-10-by-population_n_2740237.html DIAKSES 13/6/2016 pukul 11.00 WIB

http://iec2016.ph/wp-content/uploads/2014/12/Cebu%E2%80%94Cradle-of-the-Philippine-Church-and-Seat-of-Far-East-Christianity.pdf diakses 13/6/2016 pukul 08.00 WIB

http://rlp.hds.harvard.edu/faq/catholicism-philippines diakses 13/6/2016 pukul 08.30 WIB.

Senauth, Frank. (2012). The Making of the Philippines. Authorhouse, halaman 16.

Bankof, Greff dalam Ooi, Gin Keat. (2004). Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to East Timor. Volume 1. ABC-Clio, halaman 526.

Timberman, G. David. (1991). A Changeless Land: Continuity and Change in Philippine Politics

ISEAS- M.Sharpe Publication.

Hernandez. G. Carolina, The Military in Philippine Politics dalam Severino, C. Rodolfo dkk ( 2007).Whither the Philippines in the 21st Century?

diedit oleh Rodolfo C Severino,Lorraine Carlos Salazar halaman 105.

Carrol.J.John, Cracks in the Wall of Separation? The Church, Civil Society and The State of Philippines dalam Guan, Hock Lee. (2004). Civil Society in Southeast Asia. ISEAS. halaman 56

David, Leonard. (1989).Revolutionary Struggle In The Philippines. St Martin’s Press.

Claudio, Estrada. On Earth as It is in Heaven: The Philippine Catholic Hierarchy’s Gendered Worldview of Society and Salvation in the 1940s and in the 1950s dalam Sobritchea, Carolyn. L . (2004).Gender, Culture & Society: Selected Readings in Women's Studies in the . Ewha University Press, halaman 92.

(14)

Parsa, Misagh. (2000). States, Ideologies, and Social Revolutions: A Comparative Analysis of Iran , Nicaragua and Philippines,

Stephan, J. Maria. (2011). Why Civil Resistance Works: The Strategic Logic of Nonviolent Conflict. Cambridge University Press,

Katsiaficas,N. George. ( 2013). Asia's Unknown Uprisings: People power in the Philippines, Burma, Tibet, China, Taiwan, Bangladesh, Nepal, Thailand dan Indonesia (1947-2009). PM Press,

Carter, April. (2012). People Power and Political Change: Key Issues and Concepts.Routledge.

Woods, L. Damon (2006).The Philippines: A Global Studies Handbook. ABC-Clio

Referensi

Dokumen terkait

Ketika semua kapasitor shunt yang terdapat pada sistem dinonaktifkan, maka saluran yang memiliki nilai efisiensi susut transmisi paling baik adalah saluran Tello 150 kV

Parfum Laundry Bengkong Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI PANGSA PASAR PRODUK NYA:.. Chemical Untuk Laundry

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, kasih sayang serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

MATAKULIAH KONSEP SAINS II PRODI PGSD IKIP PGRI MADIUN", Premiere Educandum : Jurnal Pendidikan Dasar dan Pembelajaran, 2016 Publication nidaalulfahuntoro.blogspot.com

Pemrosesan reduksi bijih besi dengan menggunakan blast furnace memiliki kelemahan utama, yaitu karena temperatur proses yang terlalu tinggi maka logam lain ( Si, Mn, dll.) akan

Pembelajaran Sejarah Berbasis Keunikan Toponimi Kawasan Banten Lama untuk Meningkatkan Historical Empathy Siswa di SMA Negeri Kota Serang. Sariyatun, M.Pd, M.Hum. Program

Memanfaatkan peninggalan tersebut sebagai objek wisata tanpa mengadakan aktivitas yang dapat mengganggu atau merusak keberadaan objek tersebut Melakukan restorasi,

Dari pengamatan yang telah penulis lakukan berdasarkan hasil observasi langsung dengan Reservation Agent penulis telah memberi kesimpulan bahwa penanganan pemesanan kamar