Kesadaran yang Lahir Setelah Bencana
(Tinjauan Kritis Bahaya Pencemaran Merkuri-Industrial Disaster Mitigation)
*Elly Sufriadi dan **Sunarti
Seringkali kesadaran kita tergugah ketika musibah dan bencana telah
memporakporandakan bumi yang kita huni. Kita lebih memilih menghabiskan biaya yang tak
terhingga ketika sanak saudara kita telah terkonversi menjadi penghuni alam lain, dan ketika
anak atau orang tua kita telah tergeletak tanpa daya akibat bencana yang kita ciptakan sendiri,
karena kita tidak pernah mau belajar dan mengambil hikmah dari momen-momen tragis yang
terjadi selama ini. Kasus Lapindo dan tragedi Minamata belum cukup berarti untuk
menggugah kesadaran bahwa kehidupan ini harus diselamatkan dari kecerobohan
pihak-pihak tertentu yang hanya berpikir untuk meraup keuntungan semata.
Pada awal Tahun 2010 yang lalu, penulis mencoba menggelitik kesadaran kita melalui
opini yang berjudul Pencemaran Merkuri (Serambi Indonesia, 20 Januari 2010). Pesan yang
disampaikan adalah perlunya kewaspadaan kita semua, khususnya para pengambil kebijakan
untuk mengelola dengan sebaiknya potensi sumber daya alam mineral yang saat ini dimiliki
Aceh. Pengertian mengelola yang penulis tawarkan lebih dititikberatkan kepada kesadaran
pemangku kepentingan dalam mengorganisir para pelaku tambang emas yang hari ini banyak
dilakoni masyarakat kita. Fakta yang terjadi hari ini, di beberapa kabupaten seperti Aceh
Jaya, Aceh Selatan, Aceh Barat dan Pidie, eksploitasi mineral khususnya emas telah
dilakukan secara tidak terkendali terutama terkait dengan penggunaan merkuri atau air raksa
sebagai material pemisah emas dari bijih emas. Penggunaan merkuri sebagai bahan utama
untuk mendapatkan logam emas menjadi satu-satunya pilihan bagi pelaku tambang, karena
pemangku kepentingan tidak pernah mencoba menawarkan pilihan yang lebih bijak, apalagi
disertai dengan regulasi yang menguntungkan kita semua. Setelah setahun berlalu, ternyata
keadaan belum berubah, yang terjadi sekarang penguasa Aceh hanya menjadi penonton yang
Marudi Sanjaya, seorang Geologist Senior di Dinas Pertambangan dan Energi Aceh (Kamis,
27 Januari 2010), tidak fokus dan sama sekali tidak menjawab permasalahan yang terjadi hari
ini di lapangan. Apa yang kita banggakan dengan Kampanye Aceh Green hari ini di Aceh
ketika proses penghancuran peradaban umat tengah berlangsung secara besar-besaran di
negeri Wonder Land (Aceh). Proses kerusakan ini terjadi secara tersembunyi (laten), karena
memang begitu pola yang terjadi. Mata kita terlalu rabun untuk melihat proses pembantaian
manusia secara bertahap yang terjadi di sekitar hari ini, karena sangat banyak pemandangan
lain yang mengganggu pandangan kita. Kematian demi kematian akibat kelalaian fisik telah
terjadi, katakanlah tertimbun, longsor, terkena demam berdarah di lokasi penambangan dan
gesekan sosial lain yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Sementara ada ancaman yang
lebih serius lagi yang secara sistematik hanya menunggu waktu untuk memakan korban yang
jauh lebih besar lagi.
Tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti dan menjadikan malam yang kita lalui
menjadi mimpi buruk berkepanjangan. Harapannya, opini akademis seperti ini dapat
berkontribusi terhadap upaya mitigasi bencana yang disebabkan oleh aktifitas industri. Fakta
berikut dapat dijadikan referensi kita bersama. Yulia Fitri dibawah supervisi Sunarti dan
Widiasari (2010), telah melakukan penelitian untuk menentukan kadar merkuri dalam air
limbah penggilingan dan air PDAM di Kabupaten Aceh Jaya. Pada bulan Desember 2009
ditemukan kadar merkuri dalam limbah penggilingan sebesar 0,028 mg/L dan air PDAM
sebesar 0,035 mg/L. Padahal menurut Peraturan Menteri KLH kandungan yang
diperbolehkan hanya 0,001 mg/L. Sementara pengambilan data yang dilakukan pada Bulan
Agustus 2010 ditemukan bahwa kadar merkuri dalam air sungai (sampel diambil di desa
Panggong dan Paya Semantok) sebesar 2,4028 mg/L, air PDAM 0,0275 mg/L, dan limbah
Apa yang tergambar dalam pikiran kita ketika kita membaca temuan ini, kita sepakat
bahwa sebagian masyarakat Aceh Jaya mengkonsumsi air yang mengandung merkuri di atas
ambang batas yang diperbolehkan, inilah yang dimaksud diatas, bahwa kita sedang
mengalami pembantaian secara tersembunyi. Masih pada penelitian yang sama ditemukan
bahwa, air PDAM dari Aceh Jaya ini diberikan kepada hewan uji (Mencit) pada hari pertama
kebuntingan. Temuan penting dan mencengangkan diperoleh bahwa pada hari ke-18, janin
(fetus) mengalami cacat perkembangan, terjadinya proses penyerapan (self resorb) oleh tubuh
terhadap organ yang mau tumbuh, dan terjadi pula cacat tengkorak akibat terjadinya
gangguan kalsifikasi. Kondisi yang hampir mirip juga akan terjadi pada tubuh manusia,
katakanlah pada Ibu-ibu yang sedang hamil.
Kalaupun masyarakat mengambil sikap untuk tidak mengkonsumsi air sungai atau
PDAM di Aceh Jaya, tetapi air sungai ini akan mengalir ke laut dan akumulasi merkuri dalam
setiap makhluk hidup akan terjadi, termasuk ikan dan biota laut yang sering dikonsumsi
manusia. Pertanyaannya, apakah masyarakat Aceh Jaya dan sekitarnya juga tidak akan
mengkonsumsi ikan dan produk perikanan lainnya? Bisa dikatakan hal itu menjadi sesuatu
yang absurd. Kematian mendadak akibat menkonsumsi merkuri juga bisa terjadi apabila
merkuri yang awalnya berada dalam bentuk ion anorganik berubah menjadi merkuri organik,
seperti metil merkuri dan etil merkuri (lihat tragedi Minamata). WHO (1976) melaporkan
bahwa awal dari efek toksik metilmerkuri terjadi ketika kadar dalam darah antara 200 – 500
ng/mL. Kadar dalam darah ini berkaitan dengan beban tubuh menanggung 30-50 mg merkuri
per kg berat badan yang setara dengang asupan harian 3-7 mg/kg. Hal yang perlu dicatat
bahwa kemunculan gejala keracunan merkuri dapat tertunda beberapa minggu atau bulan
tergantung dari akumulasi senyawa merkuri dalam tubuh.
Menurut Yanuar (2004) Toksisitas kronik yang pernah terjadi adalah kasus keracunan
dilaporkan pada Mei 1956 di daerah sekitar Teluk Minamata. Hingga akhir tahun 1956 pasien
bertambah menjadi 52 orang termasuk 17 orang tewas. Di tahun 1957, penyakit yang tidak
diketahui ini disebut penyakit Minamata. Di Irak, di awal 1970, lebih dari 6000 orang dirawat
di rumah sakit dan 459 tewas karena mengkonsumsi roti yang dibuat dari tepung yang
tercemar metilmerkuri yang berasal dari fungisida. Kadar merkuri dalam tepung saat itu
berkisar 4,8-14,6 mg/g.
Secara kongkrit berbagai kontradiksi pokok di atas akan sulit diatasi secara nyata di
Aceh. Sifat pesimis kita tidak terlontar begitu saja, tapi tercermin dari kebijakan umum
anggaran Pemerintah Aceh yang menempatkan alokasi yang kecil terhadap para pihak yang
bertanggungjawab terhadap upaya penyelamatan lingkungan, seperti Bapedal Aceh. Pihak
yang terkait dengan pelaksanaan perencanaan pembangunan seperti Bappeda di Aceh
merupakan institusi yang paling bertanggung jawab apabila muncul bencana di kemudian
hari. Pengalokasian dana yang besar terhadap proyek-proyek fisik merupakan mainan yang
jauh lebih menarik dan menggiurkan, walaupun hampir semua rakyat Aceh tiap tahun hanya
disuguhi berita bahwa ada sekian ratus milyar anggaran tidak bisa dipertanggungjawabkan,
sebagai akibat perencanaan yang dilakukan tidak berbasis data, melainkan berbasis hawa
nafsu.
Dalam bayangan penulis, ketika bencana itu tiba, mereka merasa menjadi pihak yang
tidak berdosa terhadap kematian demi kematian yang terjadi, dengan asumsi sederhana,
bahwa penyelamatan lingkungan dan penanggulangan bencana bukanlah tupoksi mereka.
Lalu sampai kapan kita hidup dalam kegamangan seperti ini? Entah kita harus menunggu dua
atau tiga Pilkadasung lagi, atau memang selamanya keadaan ini tidak akan berubah,