PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
MELALUI
COOKING
CLASS
UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MOTORIK HALUS
PADA ANAK
Luh Putu Juniyanasari
1, Ketut Pudjawan
2, Putu Rahayu Ujianti
31,3
Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini
2Jurusan Teknologi Pendidikan
Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Ganesha
Singaraja, Indonesia
e-mail:
juniana_sari@yahoo.com., ketutpudjawan@gmail.com.,
rahayuujianti@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keterampilan motorik halus pada anak TK kelompok B setelah penerapan pembelajaran kontekstual melalui cooking class. Penelitian ini termasuk penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research). Subjek dari penelitan ini adalah 24 orang anak di kelompok B PAUD ABC Singaraja semester II tahun pelajaran 2014/2015. Data penelitian tindakan kelas ini dikumpulkan melalui metode observasi menggunakan lembar observasi. Analisis data menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik deskriptif kuantitatif. Penelitian ini dilaksanakan dengan 2 siklus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I rata-rata persentase keterampilan motorik halus adalah 69,79% berada pada katagori sedang, sedangkan terjadi peningkatan pada siklus II menjadi 80,99% dengan katagori tinggi, hal tersebut menandakan bahwa terdapat peningkatan rata-rata persentase keterampilan motorik halus pada anak kelompok B PAUD ABC Singaraja pada siklus I dan siklus II sebesar 11,2%. Jadi penerapan pembelajaran kontekstual melalui cooking class dapat meningkatkan keterampilan motorik halus pada anak kelompok B PAUD ABC Singaraja semester II tahun pelajaran 2014/2015.
Kata kunci: pembelajaran kontekstual, cooking class, keterampilan motorik halus.
Abstract
This Research aimed to know the fine motor skills increasing at group B kindergarten after implementing of contextual teaching dan learning by cooking class. This research was designed of Classroom Action Reaserach. The subjects of this research were 24 children at group B in Singaraja ABC kindergarten the second semester of academic year 2014/2015. This action research data was used observation method with observations form. The data analysis was used statistic descriptive analysis and quantitative statistic descriptive analysis. This research was conducted with 2 cycles. The result of this research was to showed the first cycle it was percentage of fine motor skills, which was 59,33% and categorized as low. There was an increased in cycle II which was 80,25% and categorized as high, it was indicated the fine motor skills mean increased first cycle and second cycle at group B children in Singaraja ABC kindergarten of 20,29%. So the implementation of contextual teaching dan learning by cooking class activities could be increased the fine motor skills at group B children in Singaraja ABC kindergarten the second semester of academic year 2014/2015.
PENDAHULUAN
Pendidikan yang berkualitas akan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Montessori (dalam Syaodih,
2005:11) menganggap bahwa “Pada
hakikatnya pendidikan harus berlangsung sepanjang hayat. Cara menciptakan generasi yang berkualitas, pendidikan harus dilakukan sejak anak masih berusia dini.” Pada masa ini proses pertumbuhan dan perkembangan dalam berbagai aspek sedang mengalami masa yang cepat dalam rentang perkembangan hidup manusia. Salah satunya aspek yang dikembangkan adalah aspek motorik, yang sangat
dipengaruhi oleh organ otak.
Perkembangan motorik terbagi atas dua yaitu motorik kasar dan motorik halus. Motorik kasar memerlukan koordinasi kelompok otot-otot besar tertentu yang
dapat membuat mereka melompat,
memanjat, berlari, menaiki sepeda, sedangkan motorik halus memerlukan koordinasi otak, tangan dan mata seperti menggambar, menulis, menggunting.
Keterampilan motorik halus yang dimiliki setiap anak berbeda-beda, baik dalam hal kekuatan maupun ketepatannya. Perbedaan ini juga dipengaruhi oleh pembawaan anak dan stimulai yang didapatkannya. Lingkungan sekitar anak mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam kecerdasan motorik halus. Setiap
anak mampu mencapai tahap
perkembangan motorik halus yang optimal asal mendapatkan stimulasi tepat. Pada
setiap fase, anak membutuhkan
rangsangan untuk mengembangkan
kemampuan mental dan motorik halusnya.
Guru seharusnya mampu
mengembangkan model atau metode
pembelajaran yang sesuai dengan
kurikulum dan kondisi peserta didik untuk dapat lebih baik dalam mengembangkan dan melatih aspek perkembangan motorik anak. Namun berdasarkan hasil observasi di sekolah, pembelajaran yang digunakan saat ini masih menerapkan metode ceramah atau masih terpusat pada guru saja. Aktivitas yang diterapkan cenderung mengarah pada kegiatan monoton dan kurang kreatif.
Proses pembelajaran yang dipaparkan tersebut, menyatakan bahwa metode ceramah merupakan metode yang sampai saat ini sering digunakan oleh setiap guru atau instruktur. Hal ini selain disebabkan oleh beberapa pertimbangan tertentu, juga adanya faktor kebiasaan baik dari guru ataupun anak. Pada umumnya anak bersifat pasif, yaitu hanya menerima semua
yang dijelaskan oleh guru. Guru
menggunakan alat pendukung kegiatan belajar-mengajarnya, yaitu papan tulis,
kapur/spidol, gambar-gambar, dan
sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan daya kreativitas, imajinasi, serta inovasi pada diri anak menjadi kaku sehingga
motivasi anak dalam mengikuti
pembelajaran akan berkurang serta
hasilnya akan berujung pada kebosanan pada diri anak.
Tugas guru adalah sebagai suatu
tugas yang professional. Hal ini
dikarenakan tugas mengajar antara lain berarti turut menyiapkan anak ke arah berbagai jenis profesi. Kemampuan dalam memilih dan mengaplikasikan model atau
metode pembelajaran sangat
mempengaruhi kualitas dan keberhasilan
sebuah pembelajaran. Kemampuan
mengaplikasikan model pembelajaran
dalam suatu kegiatan akan membawa pada suasana dan kondisi pembelajaran ke arah yang lebih kondusif.
Pada proses kegiatan, khususnya saat kegiatan inti (sentra) masih banyak cara atau teknik guru yang monoton dan minimnya pemberian stimulus, sehingga membuat anak merasa bosan dan proses pembelajaran di dalam kelas menjadi tidak berjalan dengan aktif. Di samping cara mengajarnya yang monoton dan minimnya
pemberian stimulus, kegiatan yang
diterapkan dalam proses pembelajaran guru lebih cenderung mengajak anak bercakap-cakap panjang tanpa adanya pemberian stimulus dan motivasi kepada anak. Hal ini yang mengakibatkan anak menjadi kurang semangat pada pikiran maupun fisiknya pun sulit untuk fokus pada kegiatan inti.
Bertolak dari permasalahan tersebut, sebagai seorang guru seharusnya mampu
menggali potensi yang dimiliki oleh anak, mampu memotivasi anak agar pengetahuan yang dimilikinya dapat berkembang secara optimal. Selain itu juga, guru dituntut untuk mampu kreatif dalam menciptakan suasana pembelajaran dan kegiatan yang bermakna yang berarti bahwa apa yang dipelajari anak harus sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan tercapainya suatu
aspek perkembangan pada anak,
tergantung dari guru yang membawakan materi dan arahan pembelajaran yang menyenangkan namun tetap terfokus pada capaian perkembangan yang diinginkan.
Hal ini diperkuat hasil dari observasi dan wawancara di PAUD ABC Singaraja, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng pada masa PPL Real 2014 semester ganjil bahwa pada kegiatan inti, cara atau metode guru masih menggunakan cara lama yang didominasi oleh kegiatan bercakap-cakap panjang maupun pemberian tugas. Hal ini yang terkadang membuat anak belum terangsang organ tubuhnya dan sulit untuk difungsikan. Terlihat jelas, beberapa anak ada yang sudah bisa menggunakan alat tulis secara benar namun hasil goresannya belum maksimal dan ada pula anak yang belum sama sekali dapat menggunakan alat tulis secara benar. Hal ini yang menjadi permasalahan karena keterampilan motorik halus pada anak menjadi terhambat, sehingga mengakibatkan anak kurang mendapat stimulus atau rangsangan-rangsangan yang menyegarkan seperti kurang diadakannya kegiatan pembelajaran yang dilakukan di luar kelas dan lebih mengenal alam. Dampak yang paling signifikan yaitu anak kurang termotivasi dan terangsang tentang kegiatan yang sedang dilakukan pada hari itu mengakibatkan keterampilan motorik halus anak menjadi menurun dan tidak sesuai dengan aspek yang ingin dicapai oleh guru dan orang tua. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas di kelompok B, diperoleh bahwa rata-rata perkembangan fisik atau motorik khususnya keterampilan motorik halus pada anak pada semester ganjil tahun pelajaran 2014-2015 masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari data penilaian sekolah sesuai dengan indikator bahwa dari jumlah keseluruhan kelompok B yakni 24 anak, diantaranya 10 anak masih mendapat
bintang satu yaitu belum berkembang (*) dan 9 anak masih mendapat bintang dua yaitu mulai berkembang (**). Oleh karenanya dipandang perlu melakukan
tindakan baru untuk meningkatkan
keterampilan motorik halus dengan
menerapakan pembelajaran kontesktual melalui cooking class
.
Penyebab masalah ini timbul disebabkan karena beberapa faktor diantaranya : Anak kurang peka terhadap kegiatan-kegiatan yang ada di sekolah, anak kurang latihan dalam koordinasi antara otak, mata dan jari jemari dan inovasi kegiatan belum terfokus pada aspek perkembangan anak. Salah satu alternatif untuk melatih keterampilan motorik halus pada anak adalah dengan menerapkan pembelajaran kontekstual melalui cooking class. Hal ini dapat dilihat ketika kegiatan memasak anak melakukanaktivitas yang berkaitan dengan
pengembangan keterampilan motorik halus
anak, seperti: menusuk, mengoles,
menuangkan, meremas dan memotong bahan masakan yang dapat menstimulasi tangan dan jari jemari pada anak.
Berdasarkan uraian yang telah
dipaparkan, maka ditetapkan untuk
menerapkan pembelajaran kontekstual dalam pengembangan fisik atau motorik khususnya pada keterampilan motorik halus anak dengan judul penelitian, Penerapan Pembelajaran Kontekstual Melalui Cooking
Class Untuk Meningkatkan Keterampilan
Motorik Halus Pada Anak Kelompok B Semester Genap Di PAUD ABC Singaraja Tahun Pelajaran 2014/2015.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan keterampilan motorik halus khususnya pada pada anak kelompok B semester genap di PAUD ABC Singaraja
tahun pelajaran 2014/2015 setelah
penerapan pembelajaran kontekstual
melalui cooking class. Komalasari
(2013:07) menyatakan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah
pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara materi dengan kehidupan nyata siswa sehari-harinya. Menurut Dewi (2014:16) mengatakan bahwa kelebihan
pembelajaran kontesktual yaitu
pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya anak dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Sentra memasak yang dilaksanakan sejak dini sangat bermanfaat bagi anak untuk mengembangkan seluruh potensi yang ada pada diri anak tersebut. Menurut Bartono dkk, (2006:15) menyatakan bahwa “memasak adalah membuat suatu bahan mentah menjadi matang dengan tujuan agar dapat dimakan sesuai dengan naluri manusia”. Dengan kata lain mengolah bahan mentah menjadi matang yang siap untuk di hidangkan dengan maksud atau tujuan tertentu. Menurut Sukerti (2008:63) tujuan dari cooking class adalah belajar membuat makanan itu lebih mudah dicerna dalam perut, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang seni memasak,
melatih mengolah makanan dengan
berbagai teknik, dan mengetahui cara membuat makanan itu aman untuk dikonsumsi. Menurut Iskandar (2005:71) dalam teori cooking class memiliki istilah-istilah sebagai dasar dalam teknik memasak sederhana. Istilah-istilah dasar memasak juga melatih gerak tangan seseorang dalam seni memasak seperti
menusuk, memotong, mememarkan,
meremas dan mencincang.
Gerak tangan seseorang sangat berkaitan dengan keterampilan motorik halus yang melibatkan otot kecil, koordinasi mata dan tangan serta pengendalian gerak yang baik yang memungkinkan melakukan ketepatan dan kecermatan dalam gerak. Saraf motorik halus ini dapat dilakukan dan
dikembangkan melaui kegiatan dan
rangsangan yang kontiniu secara rutin. Papalia (2008:316) menyatakan bahwa “keterampilan motorik halus (fine motor
skills) itu seperti mengancing baju dan
melukis gambar, melibatkan koordinasi mata-tangan dan otot kecil.
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau
Classroom Action Research (CAR).
“Penelitian tindakan kelas (PTK) atau
Classroom Action Research (CAR)
merupakan penelitian yang bersifat aplikasi (terapan), terbatas, segera dan hasilnya untuk memperbaiki dan menyempurnakan
program pembelajaran yang sedang
berjalan” (Agung, 2012:24). Senada dengan hal itu, menurut Elliot dalam Zuriah (2006:70) “penelitian tindakan kelas adalah kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas kegiatan yang ada di dalamnya”
Berdasarkan definisi di atas, penulis simpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu jenis penelitian yang bersifat aplikasi (terapan), terbatas, segera dan berhubungan dengan kegiatan pada saat proses pembelajaran berlangsung didalam atau diluar kelas dengan maksud untuk meningkatkan kualitas kegiatan yang ada di dalamnya.
Gambar 01 Rancangan Penelitian Tindakan Kelas
Dimodifikasi oleh Sukardi
Rancangan penelitian kelas di atas dapat diuraikan sebagai berikut. Subjek penelitian ini adalah anak kelompok B PAUD ABC Singaraja yang berjumlah 24 orang dengan 11 anak laki-laki dan 13 anak perempuan. Penelitian ini menggunakan 2 siklus. Bagian utama dari setiap siklus
adalah perencanaan, adapun
perencanaanya antara lain, membuat Rencana Kegiatan Mingguan (RKM), menyiapkan Rencana Kegiatan Harian (RKH), membentuk kelompok, membuat lembar kerja anak, dan instrumen penilaian. Selanjutnya tahap Pelaksanaan Tindakan, merupakan upaya yang dilakukan untuk
perbaikan atau peningkatan yang
diinginkan. Kemudian tahap Observasi dan Evaluasi yaitu kegiatan pengamatan yang dilakukan bersama dengan pelaksanaan tindakan, dan tahap terakhir adalah refleksi, peneliti dan guru dapat melakukan perbaikan dari kekurangan-kekurangan.
Refle ksi Renca na Tindak an Pelaksa naan Observ asi & evaluas i Siklu s I Refle ksi Observ asi & evaluas i Siklu s II Rencan a Tindak an Pelaksa naan Siklu s n
Definisi variabel operasional pada
penelitian ini yaitu pembelajaran
kontekstual adalah sebuah proses
pendidikan yang menghubungkan antara materi dengan kehidupan nyata. Pada anak dalam kehidupan sehari-harinya lebih dikaitkan dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya sebagai bekal
untuk memecahkan masalah dalam
kehidupannya kelak. Dengan demikian anak belajar diawali dengan pengetahuan, pengalaman dan konteks keseharian yang mereka miliki yang dikaitkan dengan konsep mata pelajaran yang dipelajari di kelas.
Cooking class adalah kegiatan
sentra memasak sederhana tentang proses bagaimana mengolah bahan mentah menjadi matang dan menghidangkan makanan dari awal sampai akhir dalam mengembangkan pengetahuan dan potensi yang ada pada diri anak tersebut. . Kegiatan ini juga mengasah kreativitas dan estetik anak, jika anak diajak untuk menghias dan cara menyajikan makanan sebelum dihidangkan.
Keterampilan motorik halus
merupakan kemampuan sekelompok otot-otot kecil seperti jari-jemari dan gerakan
pergelangan tangan. Kegiatan yang
berkaitan dengan keterampilan motorik
halus seperti menulis, meremas,
menggambar, menyusun balok dan
memesukkan kelereng. Semakin banyak yang dilihat dan didengar anak, semakin banyak yang ingin diketahuinya.
Penelitian ini menggunakan 2 variabel, yaitu pembelajaran kontekstual melalui cooking class sebagai variabel bebas dan keterampilan motorik halus sebagai variabel terikat. pengumpulan data tentang keterampilan motorik halus anak menggunakan metode observasi Menurut Agung (2012) menyatakan bahwa “metode observasi adalah suatu cara memperoleh atau mengumpulkan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis tentang objek tertentu". Adapun instrumen penelitian keterampilan motorik halus anak TK melalui cooking class dapat dilihat pada tabel 01.
Tabel 01. Instrumen Penelitian Keterampilan Motorik Halus Anak Melalui Cooking Class No. Variabel Bebas Variabel Terikat Indikator 1 Pembelajaran Kontekstual melalui Cooking Class Keterampilan Motorik Halus
1. Mencetak makanan dengan berbagai media
2. Membuat berbagai bentuk dari bahan makanan
3. Menusuk bahan makanan
dengan berbagai media
4. Menggunting dan memotong bahan makanan berdasarkan bentuk/pola (lurus, lengkung, gelombang, zigzag, lingkaran, segitiga, segiempat)
Untuk penskoran penilaian
keterampilan motorik halus anak melalui sentra cooking adalah dengan memberikan tanda bintang (*) (Permen No. 58, Tahun 2009) menyatakan, Bintang 1 (*) belum
berkembang, bintang 2 (**) mulai
berkembang, bintang 3 (***) berkembang sesuai harapan, bintang (****) berkembang sangat baik. Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data yaitu metode analisis statistik deskriptif dan metode
deskriptif kuantitatif. Menurut Agung (2012) menyatakan Metode analisis statistik deskriptif ialah “suatu cara pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menerapkan rumus-rumus statistik deskriptif seperti : distribusi frekuensi, grafik, angka rata-rata, median, modus dan standar deviasi, untuk
menggambarkan suatu ojek/variabel
tertentu, sehingga diperoleh kesimpulan umum". sedangkan metode analisis deskriptif kuantitatif adalah suatu cara
pengolahan data yang dilakukan dengan jalan menyusun secara sistematis dalam bentuk angka-angka dan atau persentase mengenai suatu objek yang diteliti, sehingga diperoleh kesimpulan umum” (Agung, 2012). Metode ini digunakan untuk mengukur tinggi rendahnya keterampilan motorik kasar anak ke dalam penilaian acuan patokan (PAP) skala lima.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu dari bulan April sampai dengan bulan Mei tahun 2015. Penelitian ini dilaksanakan pada siklus I 9 kali pertemuan dan siklus II 6 kali pertemuan. Rekapitulasi perhitungan data hasil penelitian tentang hasil peningkatan keterampilan motorik halus anak dapat diihat pada tabel 02.
Gambar 02: Grafik Polygon Grafik tentang keterampilan motorik halus anak kelompok B di PAUD ABC Singaraja tahun pelajaran
2014/2015 pada siklus I
Tabel 02. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Skor Hasil Peningkatan Keterampilan Motorik halus Anak.
Data Statistik Siklus I Siklus II
Rentangan 5 5
Mean 11,17 12,96
Modus 10 14
Median 11 13
Rata-rata persen M(%) 69,79% 80,99%
Pada penelitian siklus I perhitungan data keterampilan motorik anak di atas terlihat bahwa M>Me>Mo (11,17>11>10), sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran data keterampilan motorik halus anak kelompok B di PAUD ABC Singaraja pada siklus I merupakan kurve juling positif yang
diinterpretasikan bahwa skor yang
diperoleh anak cenderung rendah dan rata- rata persen (M %) pada siklus I sebesar 69,79%. Apabila dikonversikan kedalam PAP skala lima berada pada tingkat penguasaan (65% - 79%) yang berarti bahwa hasil keterampilan motorik halus siklus I berada pada kategori sedang. Secara garis besar proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kontekstual melalui kegiatan cooking class belum berlangsung sesuai harapan. Ini dapat dilihat pada gambar 02 gambar grafik polygon siklus I.
Hasil pengamatan dan temuan selama pelaksanaan tindakan pada siklus I
terdapat beberapa masalah yang
menyebabkan keterampilan motorik halus anak kelompok B berada pada kategori rendah. Hasil keterampilan motorik halus anak didik kelompok B dalam cooking class masih perlu ditingkatkan pada siklus II. Adapun kendala-kendala yang dihadapi pada saat dilaksanakan penerapan siklus I yaitu, Beberapa anak ada yang antusias melakukan praktek, namun juga banyak anak yang masih melamun dan ada yang
masih bercanda dengan teman
kelompoknya saat kegiatan berlangsung. Hal ini disebabkan karena anak belum bisa memusatkan perhatiannya dan kegiatan yang masih baru, sehingga anak masih belum tertarik untuk melakukan praktek memasak tersebut. Kendala lainnya seperti Suasana di dalam kelas saat praktek memasak berlangsung, masih belum
M = 11 M =11,7 Mo = 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 10 11 12 13 X f
terkontrol atau terkendali. Banyak anak yang melakukan praktek memasak dengan cara asal-asalan, sehingga banyak bahan yang terbuang sia-sia. Hal ini disebabkan karena setiap kelompoknya, ada anak yang belum bisa sama sekali melakukan praktek memasak serta terlihat banyak anak-anak belum mengerti atau paham ketika kegiatan praktek memasak berlangsung. Hal ini disebabkan karena anak usia dini masih sulit memahami cara atau metode yang digunakan.
Adapun solusi dari kendala-kendala tersebut yakni peneliti akan mendampingi dan membimbing anak yang belum bisa sama sekali atau yang keterampilan motorik halusnya masih kurang untuk melakukan praktek memasak. Selain itu peneliti juga akan menciptakan suasana yang lebih menarik bagi anak misalnya dengan cara menunjuk satu anak sebagai ketua kelompok setiap kelompoknya yang mampu mengarahkan temanya yang belum bisa melakukan praktek memasak serta solusi lainya seperti peneliti menjelaskan kembali kegiatan tersebut dengan bahan-bahan yang digunakan. Peneliti menggunakan penjelasan yang sederhana dan lebih
mudah dimengerti oleh anak serta
mencontohkan kepada anak secara
langsung.
Pada penelitian siklus II perhitungan data keterampilan motorik anak di atas terlihat bahwa M<Me<Mo (12,96<13<14), sehingga dapat disimpulkan bahwa sebaran data keterampilan motorik halus anak kelompok B di PAUD ABC Singaraja pada siklus II merupakan kurve juling negatif yang diinterpretasikan bahwa skor yang diperoleh anak cenderung tinggi dan dan rata- rata persen (M %) pada siklus I sebesar 80,99%. Apabila dikonversikan ke dalam PAP skala lima berada pada tingkat penguasaan (80%-89%) yang berarti hasil keterampilan motorik halus pada siklus II berada kategori tinggi. Secara garis besar proses pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran kontekstual melalui kegiatan cooking class berlangsung sesuai harapan, hal ini terlihat dari adanya peningkatan keterampilan motorik halus. Ini dapat dilihat pada gambar 03 Grafik Polygon Siklus II.
Gambar 03: Grafik Polygon Grafik tentang keterampilan motorik halus anak kelompok B di PAUD ABC Singaraja tahun pelajaran
2014/2015 pada siklus II
Proses perbaikan pada cooking
class di siklus II telah menunjukkan
peningkatan yang sigifikan terhadap keterampilan motorik halus anak di PAUD ABC Singaraja tahun pelajaran 2014/2015. Jika di siklus I anak-anak belum bisa fokus pada kegiatan, keadaan yang belum terkendali serta peneliti belum melakukan variasi memasak, maka di siklus II hal tersebut sudah dilakukan. Keterampilan motorik halus pada anak sudah terlihat berkembang. Hal ini dikarenakan adanya perbaikan yang dilakukan di siklus II.
Adapun perbaikan-perbaikan yang
dilakukan selama tindakan pelaksanaan siklus II yaitu secara garis besar proses kegiatan sudah berlangsung sesuai dengan yang direncanakan oleh peneliti seperti anak-anak terlihat tekun dalam melakukan praktek memasak, sehingga keterampilan motorik halus pada anak dapat meningkat secara optimal, anak-anak sudah terlihat antusias untuk mengikuti proses cooking
class dan dapat bekerjasama dengan
teman kelompoknya serta anak-anak mengerti atau paham dalam praktek
memasak secara sungguh-sungguh
sehingga hasil yang diperolehpun
maksimal.
Pembahasan
Berdasarkan analisis data
menggunakan analisis statistik deskriptif dan analisis statistik deskriptif kuantitatif diperoleh rata-rata persentase keterampilan motorik halus anak melalui penerapan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11 12 13 14 15 X f M = 14 Me = 13 Mo =12,96
pembelajaran kontekstual melalui cooking
class pada PAUD ABC yaitu pada siklus I
sebesar 69,79% dengan kategori sedang dan rata-rata persentase keterampilan motorik halus anak melalui penerapan pembelajaran kontekstual melalui cooking
class anak kelompok B di PAUD ABC
Singaraja pada siklus II sebesar 80,99%
dengan kategori tinggi. Rata-rata
persentase tersebut menunjukan bahwa terjadinya peningkatan dari siklus I menuju siklus II sebesar 11,2%.
Penerapan pembelajaran kontekstual melalui cooking class yang dilaksanakan pada siklus I berada pada kategori sedang. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa kendala-kendala yang ditemui oleh peneliti diantaranya yaitu: terlihat beberapa anak kurang fokus pada pelaksanaan praktek, sehingga cooking class belum bisa terlaksana dengan baik. Hal ini disebabkan karena anak belum bisa memusatkan perhatiannya. Selain itu kegiatan tersebut masih baru sehingga anak masih belum tertarik untuk melakukan praktek memasak tersebut. Selain itu suasana di dalam kelas saat praktek memasak berlangsung, masih belum terkontrol atau terkendali. Banyak anak yang melakukan praktek memasak dengan cara asal-asalan, sehingga banyak bahan yang terbuang sia-sia. Hal ini disebabkan karena ada anak yang belum bisa sama sekali melakukan praktek memasak setiap kelompoknya.
Hal yang berbeda terjadi pada siklus II menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang sigifikan terhadap keterampilan motorik halus anak di PAUD ABC Singaraja tahun pelajaran 2014/2015. Hal ini
dikarenakan adanya perbaikan yang
dilakukan di siklus II. Adapun perbaikan-perbaikan yang dilakukan selama tindakan pelaksanaan siklus II yaitu : Anak-anak terlihat sudah bisa dalam proses kegiatan memasak. Hal ini dikarenakan peneliti mengunakan variasi kegiatan memasak. Lalu anak-anak sudah antusias untuk mengikuti proses cooking class. Hal ini dikarenakan anak-anak dibagi menjadi
beberapa kelompok pada kegiatan
memasak.
Kendala-kendala tersebut
menyebabkan keterampilan motorik halus
anak dalam kategori sedang saat
penerapan menggunakan pembelajaran kontekstual melalui cooking class. Kendala-kendala yang ditemukan dalam penelitian di siklus I ditanggulangi dengan beberapa solusi yaitu: Peneliti diharapkan kreatif dan inovatif dalam menciptakan suatu variasi kegiatan memasak yang disukai oleh anak. Peneliti bisa mendampingi anak yang keterampilan motorik halusnya masih kurang untuk melakukan praktek memasak. Peneliti juga dapat menciptakan suasana yang lebih menarik bagi anak misalnya dengan cara menunjuk satu anak sebagai ketua kelompok setiap kelompoknya yang tugasnya mengarahkan teman yang belum bisa melakukan praktek memasak.
Berdasarkan solusi yang telah diberikan dalam penelitian, maka terjadi peningkatan keterampilan motorik halus
pada saat penerapan pembelajaran
kontekstual melalui cooking class dalam Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Hal ini didukung oleh pendapat dari Nurhadi dkk, (2004:14) bahwa pembelajaran kontekstual
(Contextual Teaching and Learning) adalah
konsep belajar dimana guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong anak untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Penerapan pembelajaran kontekstual
dalam cooking class memberikan
kesempatan kepada anak untuk
mengembangkan keterampilan motorik
halusnya ketika membentuk, menusuk dan memotong bahan masakan yang disukai oleh anak. Menurut Lundberg menyatakan bahwa “istilah cooking merupakan proses pemberian panas atau api (application for heat) pada bahan makanan dengan tujuan tertentu sehingga bahan yang dimasak tersebut dapat dimakan (eatable)”. Melalui pelaksanaan cooking class dalam proses pembelajaran dengan kegiatan mencetak, membentuk, menusuk dan memotong bahan masakan dapat menghilangkan rasa bosan serta meningkatkan keterampilan motorik halusnya pada anak.
Keterampilan motorik halus anak perlu dikembangkan sejak dini karena banyak hal yang harus dilakukan oleh anak secara mandiri. Kegiatan sehari-hari anak juga memerlukan keterampilan motorik halus
untuk menunjang keberhasilan kegiatan anak misalnya dalam memotong tali. Keterampilan motorik halus anak akan mengalami peningkatan seiring dengan
bertambahnya usia pada anak.
Keterampilan motorik halus anak dapat meningkat sesuai dengan kajian teori menurut Papalia (2008:316) menyatakan bahwa “keterampilan motorik halus (fine
motor skills) itu seperti mengancing baju
dan melukis gambar, melibatkan koordinasi mata-tangan dan otot kecil.”.
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2010) yaitu hasil analisis data menunjukkan bahwa terjadi peningkatan perkembangan motorik halus
anak dengan penerapan model
pembelajaran kontekstual pada siklus I sebesar 41,2% yang berada pada kategori
sangat rendah ternyata mengalami
peningkatan pada siklus II menjadi 88,2% tergolong pada kategori tinggi. Hasil tersebut sudah memenuhi target capaian peneliti yang menargetkan presentase kentuntasan sebesar 78,4%.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, bahwa dengan penerapan pembelajaran kontekstual melalui cooking class dapat meningkatkan keterampilan motorik halus pada anak kelompok B di PAUD ABC, maka strategi pembelajaran yang demikian sangat perlu dilakukan secara intensif dan berkelanjutan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa penerapan pembelajaran
kontekstual melalui cooking class dapat meningkatkan keterampilan motorik halus
anak. Hasil penelitian mengenai
keterampilan motorik halus anak pada siklus I sebesar 69,79% yang berada pada kategori sedang, kemudian hasil penelitian keterampilan motorik halus anak pada sikus II sebesar 80,99 % yang berada kategori tinggi. Hal ini membuktikan terjadinya peningkatan dari siklus I ke siklus II sebesar 11,5% terhadap keterampilan motorik halus pada anak kelompok B di PAUD ABC Singaraja.
Saran
Bertolak dari simpulan penelitian, diajukan beberapa saran sebagai berikut. Pertama, bagi guru, disarankan dalam mengembangkan pembelajaran untuk anak
diharapkan dapat mengembangkan
pembelajaran yang bervariasi dengan model-model pembelajaran yang tepat dan media atau kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak dalam proses belajar mengajar.
Kedua, bagi kepala sekolah,
diharapkan mampu memberikan informasi mengenai kegiatan pembelajaran yang tepat untuk dilakukan dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran dapat berlangsung sacara efektif dan efisien.
Ketiga, bagi peneliti lain hendaknya dapat digunakan sebagai inspirasi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan masalah ini serta sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan sebagai penyempurnaan dalam penelitian yang akan dilaksanakan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agung, A. A. Gede. 2012. Metodologi
Penelitian Pendidikan. Singaraja:
Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja
---2010. Penelitian Pendidikan Kelas (Teori dan Analisis Data dalam
PTK). Singaraja: Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja Bartono, P.H. 2006. Dasar-Dasar Food
Product.Yogyakarta: C.V Andi
Offset
Departemen Pendidikan Nasional.
2009.Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 58 Th 2009.
Jakarta: Direktorat Pembinaan TK dan SD Ditjen PNFI.
Dewi, Ni Putu Ika R. 2014. Penerapan Contextual Teaching and Learning Berbantuan Media Alam Untuk
Motorik Halus Melalui Kegiatan Menganyam Pada Kelompok B Semester II Tahun Pelajaran 2013/2014 Di TK Margarana
Tabanan. Skripsi (tidak
diterbitkan). Jurusan PG PAUD,
Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja.
Koesmadi, Dita P., Hartono, dan Sujana Y.
2013. Penerapan Model
Kontekstual Melalui Kegiatan Cooking Class ( Kelas Memasak) Untuk Meningkatkan Keterampilan Motorik Halus Pada Anak Play Group (PG) 1 PG - TK Alam Ceria Geneng Ngawi Semester Ii Tahun
Ajaran 2013/2014. Jurnal
Penelitian Universitas Sebelas
Maret (Hlm. 2)
Komalasari, Kokom. 2013. Pembelajaran
Kontekstual Konsep dan
Aplikasi.Bandung: Refika Aditama
Koyan, I W. 2007. Statistika Dasar dan
Lanjut (Teknik Abalis Data dan
Kuantitatif). Singaraja:
Pascasarjana, Universitas
Pendidikan Ganesha.
Nurchayati, Dewi dan Pusari, Wahyu R.
2014. Upaya Meningkatkan
Pengetahuan Makanan Sehat
Melalui Penerapan Sentra
Cooking Pada Kelompok Bermain B Di PAUD Baitus Shibyaan Kecamatan Bergas Kabupaten
Semarang Tahun Ajaran
2014/2015. Jurnal Penelitian
Universitas Semarang (Hal. 13)
Nurhadi, Hariadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya
dalam KBK. Malang:Universitas
Negeri Malang
Papalia, Diane E dkk. 2008. Human
Development (Psikologi
Perkembangan) Edisi Kesembilan.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Sukerti, Ni Wayan. 2008. Dasar Tata Boga. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha
Syaodih, Ernawulan. 2005. Bimbingan Di
Taman Kanak-Kanak.Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional Zuriah, Nurul. 2006. Metodologi Penelitian
Sosial dan Pendidikan.Jakarta: