• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSENTRASI MEDIA MASSA DAN MELEMAHNYA D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSENTRASI MEDIA MASSA DAN MELEMAHNYA D"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

KONSENTRASI MEDIA MASSA

DAN MELEMAHNYA DEMOKRASI

Oleh: Henry Subiakto

(Dosen Jurusan Komunikasi FISIP dan Program Pascasarjana Studi Media dan Komunikasi Universitas Airlangga)

This article tells about globalization and the tend of concentration media ownership on the world. It’s impact to reduce democracy in many countries. Like in United States, United Kingdom, also Indonesia. Ownerships is very important aspect of journalism. Many studies indicates, ownership

interferes the independency of editors . The content of the media always reflect the interest those who finance them.

Key word of this article are globalization, media concentration, and the decline of democracy

Globalisasi Budaya

Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi telah m engubah

dunia. Dulu tak ada orang membayangkan, dunia yang begitu luas akan menjadi

desa global (global village). Tahun 1964 ketika Marshall Mc Luhan

mengemukakan teori determinisme teknologi dalam buku Understanding Media,

banyak orang yang sulit mengert i, dan tidak bisa membayangkan konsepsi global

village. Pemikiran Mc Luhan saat itu dinilai kontroversi, dan membingungkan.

Tapi sekarang, globalisasi memang benar -benar menjadi kenyataan. Penduduk

dunia saling berhubungan semakin erat hampir di semua as pek kehidupan. Dari

bertukar informasi, budaya, perdagangan, i nvestasi, pariwisata, hingga persoalan

pribadi, ataupun aspek kehidupan lain.

Semakin nyata perkembangan teknologi komunikasi secara signifikan

memang berimbas ke berbagai sektor. Media massa g lobal seperti CNN, MTV,

CNBC, HBO, BBC, ESPN, dan lain -lain, telah menjangkau dan menembus

yuridiksi berbagai negara. Informasi mengalir deras melalui jaringan media global

dan kantorkantor berita internasional, seperti Reuters, UPI, AP, AFP dan lain

-lain. Informasi-informasi itu sering dimaknai di dalamnya mengandung

kebudayaan, maka terjadilah penyebaran budaya global. Media massa berperan

(2)

hak asasi manusia, lingkunga n hidup, maupun terorrisme internasional, hingga ke

persoalan budaya dan gaya hidup.

Perkembangan teknologi juga telah memunculkan komunikasi baru dalam

bentuk Computer Mediated Communication (CMC). Yaitu komunikasi dengan

mediasi komputer melalui jaringa n on line internet yang memungkinkan adanya

komunitas virtual yang berkomunikasi secara intensif di dunia maya, antara orang

banyak dengan orang banyak yang pesertanya berasal dari berbagai belahan

dunia tanpa batas (McQuail, 2002 hal: 113). Menurut catat an Nua.com,

pertumbuhan pengguna internet (growth of internet users) sampai tahun 2001,

jumlahnya sudah mencapai 500 juta orang (Lister et all, 2003:204). Padahal

tahun 1998 baru sekitar 120 jutaan. Artinya ada peningkatan yang sangat

signifikan. Melalui CMC ini para pengakses mengakses internet menjadi akrab

dengan situs-situs global seperti Yahoo, Hotmail, Google, HTML (Hypertext

Markup Language), Friendster, ataupun juga perusahaan Microsoft milik Bill Gate

yang sangat terkenal. Nama -nama itu merupakan simbol-simbol global di dunia

maya sekarang ini.

Dengan demikian informasi jadi begitu mudah menyebar, sekaligus

mendorong terjadinya fenomena globalisasi budaya. Tapi problemnya tidak

semua warga dunia mampu mengikuti perkembangan globalisasi dan

memanfatkannya. Sebagian besar negara berkembang, termasuk Indonesia

malah sering menjadi obyek kemajuan dan kesiapan negara kaya. Yang terjadi

mengalirnya begitu banyak informasi dari negara -negara maju khususnya Barat

ke negara-negara berkembang. Atau terjadi unevent globalization, globalisasi

yang timpang (Lister et all, 2003:200).

Konsep free flow of information antarnegara di dunia yang pernah

diperjuangkan pada massa 1980 -an hanya menjadi wacana pada tataran

konseptual (Mc Bride, 1982). Prakteknya arus inf ormasi di media-media

internasional masih didominasi negara -negara maju, terutama Amerika Serikat.

(3)

secara seimbang informasi mengenai negaranya. Bahkan kalaupun ada informasi

dari negara berkembang, informasi tersebut berada dalam bingkai persepsi

negara-negara maju. Akhirnya yang tampil di media internasional lebih banyak

sisi negatif. Inilah yang kemudian memunculkan konsepsi imperialisme budaya.

Dimana negara Barat, khususnya Amer ika, melalui penyebaran informasi tadi

telah menyebarkan budaya mereka ke dalam kehidupan negara dan bangsa lain

di dunia. Dari informasi pemberitaan, film, lagu -lagu, hingga gaya hidup orang

Amerika, atau Barat menjadi trend di berbagai negara termasuk In donesia.

Dalam globalisasi bahasa tidak lagi menjadi penghalang. MTV misalnnya

bisa masuk mulus ke berbagai bangsa di dunia, termasuk Indonesia. Lagu-lagu

Britney Spears, Michael Jackson, hingga musik hip hop Black Eye Peas dengan

laguWhere is the Love-nya. Ataupun juga demam fenomena American Idols yang

gaungnya sampai di pelosok dunia, termasuk Indonesia. Pop Culture yang

diproduksi secara massal di Amerika Serikat untuk kepentingan hiburan,

merambah secara global, merasuk ke mana -mana dengan menawarkan mitos

dan gaya hidup. Media -media global merambah dunia bukan hanya dengan

jaringannya yang luas, content yang menarik, tetapi di dalamnya juga

menawarkan mitos dan gaya hidup. Seakan dengan mengkonsumsi lagu -lagu

MTV, menjadi simbol semangat muda modern yang bebas. Sama halnya ketika

seseorang memakai sepatu Nike, mitosnya lebih sehat dan sportif. Atau

kesegaran dan jiwa muda dengan minum Coca Cola atau Pepsi’s Nex

Generations dan sebagainya.

Mc Donald adalah sebuah contoh lain dari simbol yang sangat te pat dari

internasionalisasi aspek budaya Amerika dalam praktek bisnis yang merambah

seluruh dunia. Keberadaan McDonald hingga Moskow dan kota -kota Eropa

Timur yang lain, merupakan simbol yang amat tampak dari adanya pergeseran

dari ekonomi sosialisme menj adi ekonomi pasar di sana (Ritzer, 2000).

Keberhasilan McDonald membawa recipe standard dari pusatnya di AS melalui

strategi penyesuaian dengan selera lokal, telah mampu menancapkan kuku

(4)

maupun Kristen. “They know local tastes --- a beefburger is unwelcome in Hindu

India, a baconburger can not be sold in muslim countries --- demands alterations

to the recipes. Mc Donalds must operate as much on local basis as it does on an

international one if people are to consume the burgers and relish (Lister, et al,

2003, 202).

Kondisi semacam ini tentu saja memunculkan kekhawatiran, bahkan krisis

kebudayaan di berbagai negara. Budaya lokal, baik yang berupa seni maupun

budaya pop lokal banyak yang terancam tersisihkan. Atau terkontaminasi dari

budaya global dari Amerika. Walhasil ada ketegangan -ketegangan karena

terjadinya benturan antara budaya global yang dianggap modern, dengan budaya

lokal yang mewakili semangat nasionalisme atau bahk an kedaerahan, tapi juga

yang berkesan tradisional.

Kekhawatiran atau penolakan globalisasi yang juga sering disebut dengan

Amerikanisasi ini muncul tidak hanya di negara berkembang ataupun negara

dunia ketiga. Di negara maju Eropa seperti di Perancis, Je rman, Itali bahkan

Inggrispun tak henti-hentinya muncul kritikan dan ketidaksukaan pada globalisasi

yang mereka nilai sebagai Amerikanisasi itu. Sebagaimana dikemukakan oleh

Simon Frith (2000), profesor dari University of Stirling, Scotlandia Inggris, yan g

mengatakan “At the end of nineteenth century, there has been a recurrent fear of

‘Americanization’, whether articulated in defence of existing European culture or

as and attack from the third world againt ‘cultural imperialism’, and it is easy

enough to envisage to media future in which MTV is on every screen, a

Hollywood film in every movie theatre. Disneyland in every continent. Meriah

Carey on every radio station, and Penthouse and Cosmopolitan in every

newsagent. How seriously should we take this pictures?

Kekhawatiran yang paling tampak justru muncul di negara tetangga dekat

Amerika Serikat, yaitu Kanada. Negara ini karena saking khawatirnya dengan apa

yang disebut “the invasion from the South”, pemerintahnya sampai memiliki

kementerian warisan budaya (Ministre of Cultural Heritage). Yang tugas

(5)

(Amerika Serikat). Kementrian ini memberikan kemudahan terhadap berbagai

produk budaya lokal di media massa. Disamping juga memberik an insentif

terhadap tumbuhnya film -film kanada maupun bentuk budaya yang lain.

Kanada layak khawatir, karena negara ini memang dibanjiri oleh media

dan produk budaya Amerika. Sementara pada tahun 1997 Kanada pernah

ditekan oleh World Trade Organisation (WTO), ketika melakukan pelarangan

terhadap peredaran majalah Sports Illustrated milik kelompok Time Warner

(Chesney, 2000:81).

Kanada tidak sendirian, Australia juga pernah mengalami tekanan dari

WTO pada bulan April 1998, berkait dengan ketentuan kuota i si media domestik.

Di negara-negara lain juga muncul isu sensitif adanya tekanan, untuk membuka

pasar medianya. Norwegia, Denmark, Spanyol, Mexico, Afrika Selatan, dan

Korea Selatan merupakan contoh yang memiliki tradisi memproteksi media

domestik dan industri budaya nasional mereka. Pemerintah negara -negara

tersebut mensubsidi film -film lokal dan berusaha melestarikan industri -industri

kecil produksi film mereka. Di musim panas 1998, menteri kebudayaan dari 20

negara, termasuk Brasil, Mexico, Swedia, It aly dan Pantai Gading, bertemu di

Ottawa membicarakan bagaimana mereka dapat membuat aturan dasar untuk

melindungi ongkos budaya dari “Hollywood juggernaut” (serbuan luar biasa dari

Hollywood). Rekomendasi pertemuan itu meminta agar perlindungan terhadap

kebudayaan lokal dikeluarkan dari kontrol WTO (Chesney, 2000: 82).

Kondisi globalisasi yang timpang tersebut memang tidak berarti ‘dunia

runtuh’, dan tidak pula semua orang menjadii pesimis. Ada suatu pemikiran yang

menarik tentang efek globalisasi buday a. Sebagaimana dikemukakan oleh

Richard Dawkins, ahli Biologi dari Oxford University, yang menunjukkan konsep

ketahanan sosial masyarakat dari perubahan. Dawkins ilmuwan selebritis dari

Inggris yang dikenal sebagai juru bicara teori Darwin dan penulis buk u Selfish

Gen (1978), mengungkapkan konsepsi meme dalam kehidupan sosial. Menurut

Dawkins setiap kelompok sosial memiliki meme, sebagaimana individu memiliki

gen yang akan senantiasa diturunkan kepada anaknya. Melalui meme, kelompok

(6)

kelompok itu diterpa serbuan gencar budaya lain. Meme menyebar melalui

komunikasi dan sosialisasi, ia merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di

benak seseorang, yang mempengaruhi kejadian di lingkungannya sedemikian

rupa sehingga makin tertular luas ke benak orang lain (Lull, 1998).

Bisa jadi karena meme, bangsa Jepang kendati maju seperti Barat, tetapi

budaya tradisional mereka tetap terpelihara dengan baik. Kesenian Tradisional

Jepang seperti Kabuki, Sumo, Karate, ataupun Tarian Yosakoi justru malah

berkembang dan dikenal di manca negara. Begitu pula orang Tionghoa, kendati

sudah ratusan tahun berada di negara lain, budaya mereka tetap bertahan,

dengan enclave China town di berbagai kota dunia. Tak heran kalau kalangan

Tionghoa di berbagai perantauan masih akrab dengan kesenian China daratan

seperti Barongsai, Liang Liong dan lain-lain. Ini juga berlaku untuk Orang Jawa

yang sudah tinggal ratusan tahun di Suriname.

Gerakan postmodernisme juga memberikan angin segar bagi budaya lokal

dan seni tradisional. Ketika masyarakat sudah mengalami kejenuhan dengan

berbagai hal yang bersifat modern dan global, maka justru mereka kembali

kepada hal-hal bersifat etnik, tradisionil, atau dikenal dengan r etradisionalisasi.

Namun terlepas dari itu semua, meningkatnya globalisasi dan

komersialisasi dalam sistem media memang layak untuk dicermati dan

diantisipasi. Fenomena komersialisasi media global dirasakan secara signifikan

semakin menyatu dengan konsep neoliberal, ekonomi kapitalisme global. Hal

demikian tidak aneh mengingat meningkatnya pasar media global disamping

dikarenakan perkembangan teknologi digital yang baru dan teknologi satelit yang

membuat pasar global menjadi semakin efektif dan lukratif (menguntungkan),

sebenarnya juga dipelopori oleh institusi kapitalisme dunia, seperti World Trade

Organisation (WTO), World Bank, International Monetery Fund (IMF), Pemerintah

Amerika Serikat dan Perusahaan -perusahaan Transnasional.

Dalam perkembangannya , sistem media global juga terbukti menurut

Robert W Chesney dalam pemberitaannya memiliki kebijakan mendukung misi

-misi WTO, IMF, NAFTA, GATT yang tak lain untuk mewujudkan sistem ekonomi

(7)

(Chesney, 2000, hal xxxxiii). Kritikan dan kekhawatiran terhadap media dan

jurnalis yang mendukung kepentingan holdings dan kapitalisme, juga

dikemukakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam Sembilan Elemen

Jurnalisme (2003).

Konsentrasi Pemilikan

Sementara itu, pusat industri media dunia sebagai penyebar budaya

global, benar-benar semakin menjadi alat kapitalisme. Media massa sebagai

produsen budaya, dewasa ini lebih berperan sebagai mesin bisnis pencari

keuntungan. Bentuknya menjadi semakin m enggurita, menjangkau ke mana

-mana, melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin

terkonsentrasi hanya pada beberapa orang saja. Peter Gollding dan Graham

Murdoch (2000: 71) pernah mengatakan “media as a political and economic

vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are

becoming fewer in number but through acquisition, controlled the larger part of

the world’s mass media and mass communication”.

Tahun 1983 diperkirakan ada 50 orang konglomerat yang mendomin asi

pemilikan televisi, radio, film, surat kabar, majalah, hingga penerbitan, di Amerika

dan Eropa. Tapi tahun 1997 setelah melalui proses merger dan akuisisi, para

baron atau mogul yang menguasai media dunia hanya tinggal 10 saja.

Sedangkan catatan tahun 2002 penguasa media dunia malah tinggal 3 holdings

besar. Mereka sering disebut sebagai The Holy Trinity of the Global Media

System.

Konsentrasi media global tentu saja akan mengurangi bobot peran media

dalam proses demokrasi, maupun representasi ker agaman publik dunia,

sebagaimana secara panjang lebar dibahas oleh Robert W Mc Chesney dalam

buku ”Rich Media Poor Democracy”, yang ditulis tahun 2000. Juga yang

dilakukan David Croteau dan William Hones dalam buku The Business of Media

(2001). Juga yang dilakukan Al Lieberman dengan Patricia Esgate dalam buku,

The Entertainment Marketing Revolution, Bringing The Moguls, The Media and

(8)

Mereka melihat semakin kuatnya media massa dipengaruhi oleh kekuatan

kapitalis, dan kecenderungan itu berlaku di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Pada dasarnya karateristik pengusaha pemilik holdings media, atau sering

dikenal dengan istilah the mogul, dimanapun mempunyai kecenderungan yang

sama. Yaitu senantiasa berupaya memperbe sar jaringan usahanya, kemudian

mengakumulasikan keuntungan dan modal itu untuk kepentingan mereka, yang

pada akhirnya sering bertentangan dengan tuntutan keadilan dan demokrasi.

They are constantly trying to increase profits, companies must develop new wa ys

to deliver goods and services at the lowest cost. This encourages efficiency on

the part of producers and ensures low prices for consumers (Croteau & Hoynes,

2001:22). Repotnya, sebagaimana dikhawatirkan banyak negara, globalisasi ini

lebih didominasi oleh Amerika Serikat, yang memiliki indusri budaya yang terkuat

di dunia sehingga menjadi pemegang simbol proses globalisasi.

Menurut data Gross Entertainment Revenues tahun 1990 dan tahun 1999

berikut ini nampak bagaimana Amerika Serikat itu amat domina n, sekaligus juga

mengalami perkembangan yang pesat dalam industri budayanya.

Gross Entertainment Revenues, 1990/1999 (in billions of $)

(9)

Data tahun 1990 dan 1999 menujukkan betapa AS di hampir semua sektor

media dan hiburan mengalami perkembangan yang hebat. Hanya dalam waktu 9

tahun pendapatannya melebihi dua kali lipat. Tapi yang lebih dikhawatirkan orang

adalah pendapatan AS yang melebihi 50% dari penda patan dunia. Artinya dalam

dunia media massa dan hiburan negara paman sam ini benar -benar dominan.

Padahal itu data tahun 1999, sedang data tahun 2004 diperkirakan kekuatan

Amerika Serikat sudah mendekati dua kali lipat dari data tahun 1999.

Kecenderungan struktur industri media di dunia, khususnya di Amerika

Serikat dalam beberapa tahun terakhir ini menurut David Croteau dan Wiliam

Hoynes (2001: 73) mengalami empat macam perkembangan, yaitu:

1. Growth (pertumbuhan) yang pesat, diwarnai dengan fenomena mergers

antar perusahaan atau joint, sehingga menjadi makin besar dan merambah

ke mana-mana.

2. Integration (integrasi), raksasa media baru terintergrasi secara horisontal

dengan bergerak ke berbagai bentuk media seperti film, penerbitan, radio

dan sebagainya. Integrasi perusahaan media baru juga terbentuk secara

vertikal, dengan memiliki perusahaan di berbagai tahapan produksi dan

distribusi, misalnya memiliki perusahaan produksi film, sekaligus

perusahaan bioskop, perusahaan DVD, dan jaringan stasiun televisi.

3. Globalization, untuk meningkatkan derajat keragaman, konglomerat media

telah menjadi entitas global, dengan jaringan pemasaran yang menembus

yuridiksi negara dan menjadi mendunia.

4. Concentration of ownership, kepemilikan holdings media yang menjadi

meanstream dunia semakin terkonsentrasi kepemilikannya.

Menurut catatan hingga tahun 2003, hanya tinggal tiga atau empat

kekuatan korporasi besar yang menguasai industri media di Amerika sekaligus

dunia. Pertama, adalah kelompok Time Warner Holding. Yaitu perusahaan yang

dikomandani oleh CEO, Gerald Lewin, seorang Yahudi sukses yang

(10)

services Primestars, France’s Canal Satelite, Citereseau dan Rhone Cable Vision

di Perancis, Midi Tele vision di Afrika Selatan, Japan’s Nippon Television

termasuk perusahaan pembuat programnya, dan Germany’s N-TV.

Time Warner juga memiliki sebagian saham dan kerja sama dengan TV

-TV Di Inggris, Spanyol, Italia, Kanada, juga di negara -negara Asia. Selain itu

holding ini juga menguasai perusahaan Warner Bros (WB) film studio, and

Warner Bros TV Productions studios, New Lines film studios, Columbia Pictures,

Cinemax, Hanna Barbara Animation studios di samping memiliki kelompok

media seperti majalah Time, People, Sport iIustrated dan majalah Fortune.

Time Warner juga menguasai European music Channel VIVA, Asian Music

Channel Classic V, Japanese Cable Company Titus and Chofu, Columbia House

Record Club, dan masih banyak perusahaan lain. Termasuk M ereka juga

memiliki perusahaan penerbitan buku -buku internasional, dan toko -toko buku

jaringan dunia. Dan jangan lupa perusahaan ini juga memiliki jaringan

perusahaan ritel, bergerak di bidang supermarket, levaransi yang merambah ke

seluruh pasar dunia. Bahkan kalau kita senang dengan film Harry Potter, Spider

Man, The Lord of The Rings, Batman, Hercules, Xena, dan lain -lain, termasuk film

kartun seperti Looney Toon berarti kita potensial ikut menyumbang kekayaan

pada kelompok Time Warner.

Bulan Januari 2001 Federal Communication Commission (FCC) telah

menyetujui perusahaan raksasa Time Warner bergabung dengan American On

Line (AOL) menjadi Time Warner and AOL (TWOL). Konvergensi dua

konglomerasi media ini menjadikan mereka sebagai perusahaan yang ni lai

asetnya mencapai lebih 200 milyar dolar Amerika (Lister, Dovey, Giddings, Grant,

Kelly, 2003 hal 213). Berarti holdings ini merupakan raksasa media terbesar

dunia. American On Line (AOL) memang perusahaan yang baru didirikan tahun

1985, tetapi keuntun gan perusahaan ini pada tahun 1998 saja sudah mencapai

762 juta dolar AS, sementara Time Warner pada tahun yang sama hanya

memperoleh untung 168 juta dolar AS. Maka AOL yang dipimpin oleh CEO Steve

(11)

sebagai A New Kid on The Block. Karena walaupun perusahaan masih baru

tetapi mengalami perkembangan yang amat pesat dan memiliki masa depan

cerah. AOL amat disukai para investor di pasar Wall Street, karena dianggap

sebagai a leader in the rapidly emerging world of internet based media. Dan para

investor tahu kalau AOL telah menempati posisi yang tepat sebagai pemain

industri media pada masa mendatang.

Menurut catatan tahun 2000, AOL telah memiliki pasar lebih dari 20 juta

pelanggan tetap. Melalui usaha-usaha internet provider mereka seperti

CompuServe, Netscape dan lain-lain, AOL setelah merger aktiv mempromosikan

CNN di situs-situs internet mereka. Sebaliknya CNN dan HBO pun gantian

mempromosikan AOL. Itulah yang namanya sinergi dan ko nvergensi.

Kedua, adalah kelompok Disney’s Holdings. Perusahaan ini meningkat

begitu pesat setelah CEO dipegang oleh Michael Eissener, seorang mogul media,

yang lagi-lagi juga seorang Yahudi yang brilian. Perusahaan ini menguasai

jaringan TV dan radio terbesar Amerika, ABC television and radio network, juga

jaringan TV NBC, US and Global Cable TV Channels, Disney Channels, ESPN,

Entertainment and Hystory Channels, Euro Sport TV Network, Spanish Tesauro

SA, German Terrestrial Channel RTL, German Cable TV, Brazilian TVA, dan

Argentina Film studio. Perusahaan ini juga memiliki Walt Disney Pictures, Info

Seeek (internet portal service), Mirammax and Touchstone studio, Buana Vista

Magezine publishing, Book publishing holding. Termasuk Hyperion Press, juga

Mamoth dan Walt Disney studio di Hollywood, resort Disney World di Florida,

Disney Land di California, juga di Tokyo dan Eropa. Disamping itu mereka juga

memiliki toko franchise Waltt Disney lebih dari 6600 outlet yang tersebar di

seluruh dunia, belum lagi pemilikan pada perusahaan Disney Cruise Line dan

anak perusahaan yang lain. Di Indonesia, ketika anak -anak membaca Donald

Bebek, atau membeli boneka Mickey Mouse, Lion King dan Hercules di toko-toko

berarti mereka ikut menyumbang pundi -pundi kekayaan pada holdings Michael

(12)

Ketiga, adalah korporasi New Corp.’s Holding millik Ruperth Murdoch.

Perusahaan inilah yang menguasahi jaringan US Fox Television Network, Fox

News Channel, Fox Sports, Fox Kids, Family Channel TV, Film Studio Twentieth

Century Fox, Twentieth Television, dan US International TV Production and

Distribution. Murdock juga menguasahi 130 koran besar dunia termasuk The

Times (London), New York Post, dan 70% surat kabar di Australia. Mereka juga

memiliki United Video Satelite Group, TV Guide, Harper Collin Publishing Co.,

British Sky TV, Latin Sky Broadcasting Satelite, Brazilian Pay TV Service,

Netherlands Fox TV Channel, Sky radio di Eropa (Swedia), Asian Star TV

Satelite, Star Movies dengan sembilan saluran di Asia, Japan Sky Perfect TV,

Star Chinese Channel, Phonix Chinese Chanel, New Zealand Sky TV, India Sky

Broadcasting Satelite, dan lain-lain. Termasuk menguasahi 55% penerbitan

media cetak di New Zealand, dan memiliki banyak perusahaan yang bergerak di

bidang olah raga dan budaya, salah satunya tim sepak bola Manchester United.

Belakangan ini Murdock juga sudah masuk ke media -media daratan Eropa, baik

di Jerman, Italia, Perancis maupun Spanyol. Tahun 2000 Murdoch sudah ke

Indonesia, mau menjajaki kerjasama dan pembe lian media di Indonesia. Salah

satu yang dincar waktu itu adalah TVRI, dan belakangan menurut Ishadi SK,

Trans TV pun sempat mau dibeli oleh Murdoch.

Diluar tiga holdings terbesar itu, masih ada satu yang sebenarnya

termasuk jaringan yang juga amat besar, yaitu CBS holdings. Perusahaan ini

menjadi makin besar setalah merger September 1999 dengan Viacom Holdings.

CBS merupakan perusahaan yang memiliki United Paramouth Network dan CBS

Television dengan 15 stasiun televisi dan 212 stasiun televisi lain yang tersebar di

dunia yang berafiliasi dengan mereka. Sementara Viacom adalah pemilik MTV

Network yang ada di hampir seluruh negara di dunia, baik di Amerika Serikat,

Eropa, Australia, Asia, bahkan di China, India, Turki, juga beberapa negara

Afrika. Mereka juga mempunyai Nickleodeon studios, MTV Film, Paramouth film

studios and television, World Visions Enterprise, Infinity Broadcasting stations

(13)

Viacom Holdings juga memiliki kelom pok The Free Press, Anne Schwartz Book,

pocket Books, Publishers Simon & Shuster, Famous Music, Paramouth Theater ,

Star Trek Francise, juga bisnis retail seperti Viacom Consumer Produck, Viacom

Entertainment Stores, hingga TDI World Wide. Dan juga masih ba nyak

perusahaan lain di bawah pemilikan Viacom dan CBS Holdings seperti

Blockbusters Video yang memiliki 6000 lebih toko di seluruh dunia dan melayani

persewaan film untuk berbagai stasiun TV dunia. Di Indonesia kalau anak kita

suka bermain play station dengan memainkan tokoh Tomb Raider, berarti kitapun

ikut menyumbang kekayaan holdings ini, apalagi kalau suka dan getol dengan

acara MTV.

Rich Media Poor Democracy

Persoalannya, apa jadinya kalau sistem produksi budaya massa,

informasi, dan kekuatan ekonom i, bahkan politik terkonsentrasi secara vertikal

maupun horisontal hanya ada pada segelintir orang? Maka tidaklah

mengherankan jika, kecenderungan media global adalah menyokong konsep

“Free Market”, WTO, GATT dan lain-lain, yang pada akhirnya akan semakin

menguntungkan mereka pemilik kapital, untuk bisa masuk ke mana -mana, ke

seluruh pelosok dunia, untuk menguasahi apa saja. Karena itu pada akhir tahun

1999, ketika terjadi demonstrasi besar -besaran menentang WTO di Seatle,

Washington State Amerika Serikat , juga peristiwa yang sama April 2000 di

Washington D.C, kalangan aktivis dan wartawan yang idealis menggunakan

media alternativ untuk menyuarakan kritikan pada free market. Mereka merasa

media-media utama tidak memberikan tempat yang memadai terhadap gera kan

anti pasar bebas. Karena itu di Seatle mereka mendirikan Independence Media

Center (IMC) yang tujuan utamanya memberikan informasi alternatif, dari

pemberitaan mainstream media.

Pengaruh kekuasaan pemiliki media terhadap pemberitaan, memang

sempat dipertanyakan korelasinya. Namun berdasar berbagai studi,

(14)

Law of Journalism, dikatakan “the content of the media always reflect the interest

of those who finance them” (McQuail, 2002 : 198). Dan inilah yang dibenarkan

Robert W Mc Chesney dalam Rich Media Poor Democracy, Communication

Politics in Dubious Times (2000), yang menyoroti berita -berita media global.

Bill Kovack dan Tom Rosentiel secara spesifik menujukkan bagaimana

para wartawan media holdings telah kehilangan esensi jurnalismenya. Kovach

menunjukkan bahwa holdings media sekarang ini kenyataannya sering

menghadapi dilema, dimana satu perusahaan mempunyai misi jurnalistik, dan

yang lainya tidak. Dicontohkan untuk warta wan yang bekerja di Time, CNN, dan

Fortune, mungkin mengalami konflik loyalitas ketika mencoba meliput internet,

kabel, dan bidang-bidang lain yang terkait dengan holdings perusahaan medianya

(Kovach & Rosenstiel, 2003, hal 29). Sekarang yang terjadi bukan sekedar

Disney meliput Disney (karena mereka juga memiliki ABC), tetapi menjadi lebih

mengkhawatirkan ketika sistem bonus yang diterima wartawan dari perusahaan

mereka itu dikaitkan dengan kinerja holdings di pasar modal dan keuntungan lain.

Tentu saja berita merekapun menjadi lebih disesuaikan dengan kepentingan

holdings. Karena itu Croteau dan Hoynes (2001,21), mengkritik bahwa ketika

dunia media betul-betul mengikuti mekanisme pasar, maka jelas -jelas menjadi

semakin jauh dari prinsip -prinsip demokrasi. Bahkan, dikatakannya “the more

money you have, the more influence you have in the market place .

James Curran, profesor komunikasi dari University of London, dalam

Rethingking Media and Democracy (2000: 121-154), menunjukkan efek negatif

yang lain dari konsep free market. Menurutnya dengan liberalisme, justru telah

mendorong media melakukan korupsi dan bias mekanisme pasar. Peran media

sebagai watchdog terhadap kekuasaan, ternyata tidaklah memunculkan sikap

independensi yang semata -mata melayani kepenting an publik, melainkan lebih

untuk keuntungan perusahaan. Menurut Curran, liberalisme justru menghambat

freedom to publish. Menciptakan kondisi media sebagai big business yang

membutuhkan modal amat tinggi, sehingga yang mampu mengelola hanya

kalangan elite. Pasar bebas juga telah mereduksi perputaran informasi publik,

(15)

besarnya porsi penempatan isi human interest yang meminggirkan liputan public

affairs, sebagaimana banyak terja di di televisi negara Eropa barat, dan AS. Tentu

saja hal demikian mengurangi bobot demokrasi, sebab kontrol terhadap public

affair menjadi semakin elitis, keterlibatbatan masyarakat menjadi semakin kecil,

padahal salah satu prasarat demokrasi adalah part isipasi publik.

Yang paling mengkhawatirkan dari liberalisme adalah terkonsentrasinya

pelayanan stasiun TV, hanya pada publik yang potensial secara pasar, sehingga

kelompok-kelompok minoritas yang lemah potensi pasarnya semakin

terpinggirkan.

Lebih lanjut hal yang sama menurut Bill Kovach, pada awal abad baru ini

kita menyaksikan tradisi perusahaan media, yang dulu memiliki produk berita, kini

produk itu jadi komponen yang kian mengecil dalam konglomerasi global.

Dicontohkan, ABC News kini hanya menyumbang kurang dari 2% keuntungan

perusahaan induknya Disney Holdings. Dulu berita pernah dianggap sebagai

penghasil terbesar Time Inc., tapi kini hanya jadi sekadar kepingan kecil dari

konglomerasi AOL Time Warner. Keuntungan NBC News kurang dari 2% dari

keuntungan total konglomerat General Electric(Kovach &Rosenstiel, 2003 : 32).

Di Amerika, para manajer organisasi berita kini jadi bawahan dalam

kelompok-kelompok perusahaan yang lebih besar, dan mereka harus berjuang

demi independensi mereka. Dan sejarah meng isyaratkan bahwa pergeseran ini

tampaknya akan mengubah sifat jurnalisme dan karakter isi media massa.

Menurut Croteau (2001), media massa sekarang menempatkan public atau

audience semata-mata dilihat sebagai consumer bukan warga negara (citizens).

Tujuan utama media adalah genarate profits for owners and stockholders.

Kemudian mendorong khalayak untuk enjoy themselves view ads, and buy

product. Karena itu apa yang dianggap menarik bagi publik oleh media, adalah

apapun yang populer di masyarakat. Dengan demikian tujuan ideal media untuk

promote avtive citizenship via information, education and social integration ,

tenggelam dengan gelombang komersialisasi dan liberalisasi. Jadinya ukuran

(16)

Akibatnya keadaan sekarang ini publik mengalami apa yang disebut oleh Hebert

J Gans (2003;15) sebagai political disempowerment.

Apa yang terjadi di Amerika dan tataran global ini, tentu berpengaruh

terhadap kondisi di Indonesia. Gejala global isasi dengan imperialisme

budayanya, serta kecenderungan konsentrasi pemilikan media, nampaknya juga

sudah mulai terasa di sini. Maka sungguh sangat Ironi kalau media massa

Indonesia yang awalnya dikuasai dan dikontrol oleh negara, setelah terjadi

liberalisasi di era reformasi, justru membawa mereka ke kekuasaan kalangan

mogul. Ini ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya. Lagi -lagi

kemerdekaan dan independensi media menjadi korban. Dan kembali yang

dirugikan adalah masyarakat banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Croteau, David & Hoynes, William, 2001 The Bussiness of The Media, Corporate Media and the Public Interest, Pine Forege Press, Thousand Oak, California.

Curran, James, 2000, Rethinking Media and Democracy, in James Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, Third Edition, Arnold London and Oxford University Press, New York.

Gans, Herbert J., 2003, Democracy and The News, Oxford University Press.

Golding, Peter & Murdoch, Graham, 2000., Culture, Communications and Political Economy, in James Curran and Michael Gurevitch, Mass Media And Society, Third Edition, Arnold London and Oxford University Press, New York.

Kovach, Bill & Rosenstiel, Tom, 2003, Sembilan Elemen Jurnalisme, Apa Yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Yang Dihara pkan Publik, Pantau.

(17)

Lister, Martin., Dovey, Jon., Gidding, Seth., Gran t, Iain., Kelly, Kieran., 2003, New Media A Critical Introduction, Routlege, London and New York.

Lull, James, 1998, Media Komunikasi Kebudayaan, suatu Pendekatan Global, Yayasan Obor Indonesia.

McBride, Sean., 1982, Many Voice One World, Unesco.

McChesney, Robert W., 2000, Rich Media Poor Democracy, Communication Politics in Dubious Times, The New Press, New York

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan temuan penelitian dengan adanya supervisi klinis kompetensi profesional guru mengalami peningkatan, hal ini terlihat dari proses kegiatan pembelajaran

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, secara umum siswa mengaku bahwa memikirkan konsep tentang momen inersia sangat penting dalam memahami soal yang diberikan,

Kalau membunuh diri karena sebab tidak tahan dengan ujian Allah swt diharamkan, lantas bagaimana dengan bunuh diri dalam rangka mempertahankan kedaulatan

Dalam hal ini perlakuan III A rasio C : N-nya paling cocok untuk pertumbuhan konsorsium meskipun substrat atau sludge minyak bumi yang ditambahkan lebih sedikit Laju maksimum

Proses penting lain yang pelu dilakukan sebelum melakukan proses pengenalan wajah adalah proses ekstraksi fitur wajah, fitur wajah merupakan suatu ciri khusus dalam

Maka hasil pengukuran nilai nisbah untuk pelet dengan komposisi yang sama dari proses milling baik HEM-SPEX 8000M maupun HEM E3D yang masing-masing mencapai nilai 40% dan 20% pada

Jika dilakukan pemeriksaan operasional pada aktivitas penjualan dan pengendalian persediaan PT Asturo Paper Indonesia, maka diharapkan dapat ditemukan kelemahan yang

Ukuran Panjang : (meter dengan pegangan; meter kayu; metermeja dari logam; tongkat duga; meter saku baja; ban ukur; depthtape).. Jangka sorong