• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH IJTIHAD DAN TAKLID docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH IJTIHAD DAN TAKLID docx"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

IJTIHAD DAN TAKLID

oleh:

Rizki Juhansyah

Admiral Amir Kasim

Ridho Kurnia Putra

Mata Kuliah Ushul Fiqh

Dosen : H. Asnin Syafiuddin Lc, MA.

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS SATYAGAMA

(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. Wb.

Bismillahirrohmanirrohim, segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan kepada kita nikmat yang begitu banyak, yang dengan nikmat itu kita sekalian mampu menjalankan segala bentuk amanah yang diberikan kepada kita sebagai khalifatullah di muka bumi ini.

Shalawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya menjalani kehidupan di dunia ini agar kita selalu dalam lindungan dan Ridho Allah SWT.

Tak lupa penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Dosen Pembimbing mata kuliah Ushul Fiqh ini, Bapak H. Asnin Syafiuddin Lc, MA. Atas segala bimbingan, arahan, dan ilmu yang telah disampaikan kepada penulis.

Selanjutnya Alhamdulillah makalah yang berjudul “Ijtihad dan Taklid” ini dapat terselesaikan, meskipun masih banyak kekurangan didalamnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al Qur’an dan Hadits dengan jalan istinbath. Adapun Mujtahid (yang melakukan Ijtihad) itu adalah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap suatu hukum agama.

Sedangkan kata Taqlid berasal dari Bahasa Arab, yakni kata kerja “qallada”, “yaqallidu”, “taqlidan”, yang artinya meniru, menurut seseorang, dan sejenisnya. Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah Ilmu Fiqih adalah “menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui alas an perkataannya.” Sedangkan definisi taqlid menurut Imam Al Ghazali yaitu:

“menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”1

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan keterangan di atas, penulis akan membahas masalah Ijtihad dalam empat bahasan, yaitu:

A. Pengertian, Fungsi, Jenis-jenis, Hukum, dan Manfaat Ijtihad B. Kesalahan Dalam Ijtihad

C. Hal yang Boleh dan Tidak Boleh Diijtihadkan D. Dasar-dasar Ijtihad dan Syarat Menjadi Mujtahid

Adapun mengenail Taqlid, penulis akan membahasnya dalam dua bahasan, yaitu:

A. Pengertian, Jenis-jenis dan Hukum Taqlid B. Pendapat Empat Imam Tentang Taklid

(4)

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman bagaimana cara kerja Mujtahid untuk menjalani proses Ijtihad agar dapat mengeluarkan Istinbath. Dan untuk memberikan pemahaman mengenai apa itu Taqlid dan bagaimana hukumnya.

(5)
(6)

PEMBAHASAN

I.

IJTIHAD

A. Pengertian, Fungsi, Bentuk-bentuk, Hukum, dan Manfaat Ijtihad

Menurut etimologi, Ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan perhatian. Sedangkan menurut terminology, Ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Secara umum, pengertian Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al-Qur'an dan Hadist dengan syarat menggunakan akal sehat dan juga pertimbangan matang.

Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al Qur’anul Qareem, dan Al Hadits, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hulum Islam. Adapun orang yang melakukan Ijtihad disebut Mujtahid. Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya dapat dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat untuk melakukannya.

Contoh Ijtihad misalnya dalam penentuan I Syawal, Para ulama berkumpul untuk berdiskusi mengeluarkan argumennya untuk menentukan 1 Syawal, juga penentuan awal Ramadhan. Setiap ulama memiliki dasar hukum dan cara dalam penghitungannya, jika telah ketemu maka muncullah kesepakatan dalam

penentuan 1 Syawal.1

Funsi Ijtihad adalah:

1) Terciptanya suatu keputusan antara para ulama dan para ahli agama (yang berwenang) untuk mencegah kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’an dan Hadits.

2) Tersepakatinya suatu keputusan dari hasil Ijtihad yang tidak bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.

(7)

3) Dapat ditetapkannya hukum terhadap suatu persoalan Ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan

syariat berdasarkan prinsip-prinsip umum ajaran islam.2

Bentuk-bentuk ijtihad antara lain:

1) Ijma’ (kesepakatan) : Pengertian ijma adalah kesepakatan para ulama untuk menetapkan hukum agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam perkara yang terjadi. Hasil dari Ijma berupa Fatwa artinya keputuan yang diambil secara bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti oleh seluruh umat.

2) Qiyas : Pengertian qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan hukum dalam suatu perkara baru yang belum pernah masa sebelumnya namun memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama. Ijma dan Qiyas adalah sifat darurat dimana ada yang belum ditetapkan sebelumnya.

3) Maslahah Mursalah : Pengertian maslahah mursalah adalah cara menetapkan hukum yang berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.

4) Sududz Dzariah : Pengertian sududz dzariah adalah memutuskan suatu yang mubah makruh atau haram demi kepentingan umat.

5) Istishab : Pengertian istishab adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan sampai ada alasan yang mengubahnya.

6) Urf : Pengertian urf adalah tindakan dalam menentukan masih bolehkah adat-istiadat dan kebebasan masyarakat setempat dapat berjalan selama tidak bertentangan dengan aturan prinsipal Al-Qur'an dan Hadist.

7) Istihsan : Pengertian istihsan adalah tindakan dengan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan adanya suatu dalil syara’ yang

mengharuskan untuk meninggalkannya.3

Adapun yang menjadi dasar Ijtihad ialah Al Qur’an dan As Sunnah. Diantara dalil dalam Al Qur’an yang menjadi dasar Ijtihad adalah sebagai berikut:

(8)

ككييلكإإ بكاتككإليا ققإحكليابإ مكككحيتكلإ نكييبك سإانقكلا امكبإ ككاركأك هكلقكلا لوك نيككتك نكينإئإاخكليلإ امميصإخك

انقكإإ انكليزكنيأك

“sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penentang (orang-orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang berkhianat.” (QS An Nisa : 105)

Adapun Hadits yang menjadi dasar Ijtihad diantaranya adalah Hadits Amr bin ‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan Rasulullah SAW bersabda:

“apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan Ijtihad, kemudian benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi jika ia menetapkan hokum dalam ijtihad itu salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR Muslim).4

Manfaat dari dilakukannya Ijtihad antaralain:

Setiap permasalahan baru yang dihadapi setiap umat dapat diketahui

hukumnya sehingga Hukum Islam selalu berkembang serta sanggup

menjawab tantangan.

Dapat menyesuaikan hukum dengan berdasarkan perubahan zaman,

waktu dan keadaan.

Menetapkan fatwa terhadap masalah-masalah yang tidak terkait

dengan halal atau haram.

Dapat membantu Umat Islam dalam menghapi setiap masalah yang

belum ada hukumnya secara Islam.

(9)

B. Kesalahan Dalam Ijtihad

Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam berijtihad, diantaranya:

 Ijtihad dilakukan oleh mujtahid yang bukan ahlinya

 Berijtihad demi kepentingan individual dan kepentingan

kelompok, serta

 Berijtihad berdasarkan hawa nafsu, dll.

Terlepas dari penyebab individual atau kelompok, factor-faktor urgen yang menjadi penyebab kesalahan dalam berijtihad, seperti yang diketengahkan oleh Dr. Yusuf Al Qardhawi dalam bukunya “Al Ijtihad fi Al Syaria’ah Al-Islamiyah” dan juga dalam bukunya Drs. H. Rohadi Abdul Fatah, M.Ag. yang berjudul Analisis Fatwa keagamaan, antara lain sebagai berikut:

 Mengesampingkan Nash dan Mengedepankan Ra’yu

Hal ini adalah salah satu factor yang menjadikan kesalahan dalam berijtihad, nash Al Qur’anul Qareem, maupun sunnah Rasulullah SAW. Metode ijtihad yang dilakukan ulama salaf maupun ulama kontemporer harus selalu mengacu keoada Al Qur’an dan Hadits. Senadainya ada suatu problematika masyarakat yang mebutuhkan solusi, seorang mujtahid harus merujuk kepada Al Qur’an, jika tidak ditemukan jawaban yang sesuai, beralih kepada Hadits, jika masih belum menemukan solusi yang tepat, sasaran baru kemudian menggunakan metode selanjutnya. Urutan-urutan sumber hokum seperti ini, adalah urutan yang telah dilakukan oleh Sayyidina Abu Bakar ra dan Sayyidina Umar Bin Khattab ra, dan sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Muadz ibn Jabal. Beberapa contoh Ijtihad yang mengesampingkan Nash Al Qur’an dan Hadits antara lain: memperbolehkan mengadopsi anak buangan, memperbolehkan gambar secara keseluruhan.

(10)

Kesalahan ijtihad kontemporer terkadang tidak disebabkan oleh ketidakpahaman akan nash atau mengabaikannya, tetapi dapat disebabkan oleh kesalahan dan keliru dalam menginterpretasikan nash tersebut.

 Kontra Terhadap Ijma’ yang Telah Dikukuhkan

Yang dimaksud disini adalah Ijma’ yang telah diyakini, yang telah menjadi ketetapan fiqh dan Ijma’ itu telah ditetapkan oleh seluruh umat Islam.

 Qiyas Tidak Pada Tempatnya

Seperti kita ketahui bersama, Qiyas adalah menyamakan hokum sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya, karena ada persamaan illat antara keduanya. Diantara letak tergelincirnya Ijtihad kontemporer adalah penggunaan qiyas yang tidak pada tempatnya.

 Kealpaan Terhadap Realita Perkembangan Zaman.5

C. Yang Boleh dan Tidak Boleh Diijtihadkan

Mengenai masalah yang boleh diijtihadkan, adalah: masalah-masalah yang

ditunjuk oleh nash yang Zhanniyatul wurud (kemunculannya perlu

penelitian lebih lanjut) dan Zhanniyatul dilalah (makna dan ketetapan hukumnya tidak jelas dan tegas).

Masalah Zhanniyah terbagi menjadi 5 macam, yaitu:

1) Hasil Analisa Para Theolog: yaitu masalah yang tidak berkaitan dengan aqidah keimanan seseorang, karena hal itu membutuhkan pemikiran. Dan ilmu yang memerlukan pemikiran bukanlah ijtihad.

(11)

2) Aspek Amaliyah yang Zhanni: yaitu masalah yang belum ditentukan kadar kriterianya dalam nash. Contohnya: apakah batas-batas menyusui yang dapat menimbulkan mahram.

3) Sebagian Kaidah-kaidah Zhanni: yaitu masalah qiyash merupakan norma hokum tersendiri.

4) Masalah-masalah yang tidak ada nashnya samasekali.

Adapun hal-hal yang tidak boleh diijtihadkan adalah Masalah Qathiyah, yaitu masalah yang sudah ditetapkan dengan dalil-dalil yang pasti, baik melalui dalil naqli maupun dalil aqli. Hukum ini bersifat mutlak dan sudah pasti diberlakukan sepanjang masa, sehingga tidak mungkin terjadi adanya perubahan dan modifikasi serta tidak ada peluan juga dalam meng-istinbath-kan hukum bagi oara mujtahid. Contohnya kewajiban seperti shalat, zakat, puasa, haji. Karena untuk kewajiban tersebut Al Qur’an telah

mengaturnya dengan dalil yang tegas.6

D. Dasar-dasar Ijtihad dan Syarat Menjadi Mujtahid

Dua masalah penting yang harus diperhatikan ketika hendak melakukan Ijtihad adalah:

1. Dasar-dasar Ijtihad

Al Qur’an dan Hadits adalah menjadi dasar mutlak dalam melaksanakan ijtihad. Meski Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berate semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara mendetail oleh Al Qur’an maupun Hadits.

Selain itu, adanya perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Qur’an dengan kehidupan modern, sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan tentu saja diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu, atau di suatu masa tertentu, maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dalam Al Qur’an atau Al Hadits.

(12)

Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang sudah ada sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an dan Hadits. Namun jika persolana tersebut merupakan perkara yang tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an maupun Al Hadits, maka pada saat itulah umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tetapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang benar-benar paham Al Qur’an dan Al Hadits, mereka itulah yang disebut Mujtahid.

2. Syarat-syarat Menjadi Mujtahid

Menurutu Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, syarat-syarat untuk menjadi seorang mujtahid ada dua. Pertama mengetahui syariat-syariat yang ada serta hal-hal yang berkaitan dengannya, sehingga dapat mendahulukan yang seharusnya didahulukan dan mengakhiri sesuatu yng harusnya diakhiri. Kedua, Adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak keadilannya.

Lebih merinci, menurut Fakhir al Din Muhammad bin Umar bin Husain, syarat-syarat Mujtahid adalah:

1) Mukallaf, karena hanya mukallaf yang dapat melakukan penetapan hukum.

2) Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya

3) Mengetahui keadaan Mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah larangan.

4) Mengetahui keadaan lafadz; apakah meimliki qarimah apa tidak.

5) Memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al syariah), yaitu dlaruriyat ayng mencakup pemeliharaan agama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan dan pemeliharaan harta.

6) Mampu melakukan penetapan hukum

7) Memahami Bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.

8) Akhaqul karimah.7

(13)

II.

TAQLID

A. Pengertian, Jenis-jenis dan Hukum Taqlid

Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.8

Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:

ديلقتقلا لوبق ريغب ةجققح سيلو اقيرط ملعلل ىفل لوصليا ىفلو عورفلا

“Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”

Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:

ديلقتقلا وه ذخليا لوقبريغ ليلد

“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”9

Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:

a) Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang

b) Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.10

Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat :

Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang tidak mampu mengetahui hukum (yakni ber-istimbath dan istidlal, pent) dengan

8 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 323.

9 Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 324.

(14)

kemampuannya sendiri, maka wajib baginya taqlid. Berdasarkan firman Allah SWT:

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)

Dan hendaknya ia mengikuti orang (yakni ‘ulama) yang ia dapati lebih utama dalam ilmu dan waro '(kehati-hatian) nya, jika hal ini sama pada dua orang (‘ulama), maka hendaknya ia memilih salah seorang diantara keduanya.

Yang kedua : terjadi pada seorang Mujtahid suatu kejadian yang ia harus segera memutuskan suatu masalah, sedangkan ia tidak bisa melakukan penelitian maka ketika itu ia boleh taqlid. Sebagian ‘ulama mensyaratkan untuk bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam ushuluddin (pokok agama/aqidah, pent) yang wajib bagi seseorang untuk meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).

Dan yang rojih (kuat) adalah bahwa yang demikian bukanlah syarat,

berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala :

للههأل رركهذذرلا نإر مهتتنكت لل نلومتللعهتل اهولتألسهافل

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl : 43)

Ayat ini adalah dalam konteks penetapan kerasulan yang merupakan ushuluddin, dan karena orang awam tidak mampu untuk mengetahui (yakni ber-istinbath dan istidlal)1 kebenaran dengan dalil-dalinya. Maka jika ia

memiliki udzur dalam mengetahui kebenaran, tidaklah tersisa (baginya)

kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh subhanahu wa ta’ala:

(15)

“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian.” (QS. at-Taghobun : 16) Taqlid ada dua jenis, yakni :

Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia

mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua

urusan agamanya.

Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.

Adapun Hukum Taqlid terbagi 3 kelompok, yaitu:

1) Taqlid yang Diharamkan

 Taqlid yang semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat

nenek moyang atau orang terdahulu, yang bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

 Taqlid kepada orang aau sesuatu yang tidak diketaui kemampuan dan

keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian atau kekuatan berhala tersebut.

 Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang

bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah. 2) Taqlid yang Diperbolehkan

 Dibolehkan bertaqlid kepada seoramg Mujtahid dalam hal yang belum

(16)

berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Jadi sifatnya sementara.

 Golongan awam atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada

salah satu pendapat dari keempat Imam Madzhab. 3) Taqlid yang Diwajibkan

 Wajiib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai

dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.11

B. Pendapat Empat Imam Tentang Taklid

Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid:

 Imam Abu Hanifah (80-150H)

Beliau merupakan akal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa seseorang jika orang yang berfatwa tersebut tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.

 Imam Malik bin Anas (93-179H)

Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau menpunyai kelebihan. Prinsipnya, setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dulu sebelum diamalkan.

 Imam As Syafi’I (150-204H)

Beliau adalah murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “beliau akan meninggalkan pendapatnya pada saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan Hadits Nabi SAW.

 Imam Hambali (164-241H)

Beliau melarang bertaqlid kepada Imam manapun dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para

(17)

Sahabatnya. Sedangkan yang berasal dari Tabi’in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki terlebih dahulu. Mana yang benar diikuti,

mana yang salah ditinggalkan.12

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad adalah mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan seorang ahli fiqh dalam menetapkan (istinbath) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci. Orang yang melakukan Ijtihad disebut Mujtahid.

Fungsi Ijtihad diantaranya adalah untuk terciptanya suatu keputusan antara para ulama dan para ahli agama (yang berwenang) untuk mencegah

(18)

kemudharatan dalam penyelesaian suatu perkara yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al Qur’an dan Hadits.

Taqlid adalah mengambil kesimpulan dari perkataan orang lain tanpa dalil.

Taqlid ada 3 hukum; taqlid yang diharamkan, yang dibolehkan, dan taqlid yang diwajibkan.

B. Saran

Dalam penulisan dan pembahasan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kami sebagai penulis menghargai berbagai kritik dan saran dari rekan-rekan semua, agar dalam penulisan makalah berikutnya dapat lebih baik. Terima kasih.

Daftar Pustaka

Alaiddin Koto. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada

http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-ijtihad-fungsi-contoh-ijtihad

http://bijehpade.blogspot.co.id/2011/10/kekeliruan-ijtihad-kontemporer.html

(19)

http://islamicinemaker.blogspot.co.id/2012/01/pendapat-4-imam-madzhab-tentang-sikap_29.html

https://lzaieda.wordpress.com/2014/09/28/makalah-ijtihad-sebagai-sumber-ajaran-islam/

http://pengertianedefinisi.com/pengertian-ijtihad-definisi-fungsi-bentuk-dan-contoh

http://www.islamcendekia.com/2014/01/pengertian-ijtihad-dan-syarat-syarat-mujtahid.html

Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin. 2009. Kamus Ilmu Ushul

Referensi

Dokumen terkait

Menurut pendapat saya, pengembangan pemikiran terhadap arti ijtihad ini boleh saja bahkan perlu diteruskan dalam penafsiran al-Qur’an maupun al-Hadits yang

Administrasi Sarana dan Prasarana pendidikan merupakan seluruh proses yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara

Administrasi sarana dan prasarana pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta

Kaum Epicurus dan Stoa mengatakan bahwa memperoleh kebenaran yang sungguh dengan membentuk pikiran hasil pandangan menurut mereka semua itu

Ucapan terima kasih dan penghargaan tak lupa kami sampaikan kepada tim penyusun dan berbagai pihak yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mewujudkan Standar

perkara yang ditujukan kepada wanita yang sudah bersuami, yaitu mantap yang artinya tidak memiliki hasrat kepada orang lain selain suaminya , bersungguh-sungguh dalam ibadah

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

Menurut Wingkel (Riyanto, 2010: 61) bahwa: Minat belajar adalah keterlibatan sepenuhnya seorang murid dangan segenap kegiantan pikiran secara penuh perhatian untuk