• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH IJTIHAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH IJTIHAD"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebenarnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Dengan kata lain ijtihad merupakan sebuah media yang sangat besar peranannya dalam hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa ijtihad, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini serta ajaran Islam tidak akan bertahan dan tidak akan mampu menjawab tantangan zaman saat ini.

Yang dapat melakukan ijtihad hanyalah seorang mujtahid. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Dalam menentukan atau menetapkan hukum-hukum ajaran Islam para mujtahid telah berpegang teguh kepada sumber-sumber ajaran Islam.

Jadi, kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yang telah mengorbankan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam. Baik masalah-masalah yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun masalah –masalah yang baru terjadi di masa ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penyusun mencoba mengemukakan beberapa permasalahan pokok berkaitan dengan materi makalah ini, yaitu:

1. Apa pengertian Ijtihad? 2. Apa dasar hukum dari ijtihad? 3. Apa fungsi dari ijtihad? 4. Bagaimana lapangan ijtihad? 5. Apa saja syarat-syarat ijtihad?

(2)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 2 C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian ijtihad. 2. Untuk mengetahui dasar huykum ijtihad. 3. Untuk memahami fungsi dari ijtihad. 4. Untuk mengetahui lapangan ijtihad.

(3)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 3

BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN IJTIHAD

Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna ―badzl al-wus‘ wa al-majhud‖ (pengerahan daya dan kemampuan), atau ―pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar‖. ( DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73)

Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : ―mengerahkan segenap kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan menggunakan metode istinbath‖. Atau dengan rumusan yang lebih sempit : ―upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni‖. ( DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 75)

Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara‘) melalui salah satu dalil Syara‘, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil Syara‘ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini tidak disebut ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 162)

B. DASAR HUKUM IJTIHAD

Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya : 1. Al-Qur‘an

(4)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 4 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS.An-nisa:59)

dan firman-Nya yang lain :

“...Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)

Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur‘an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad. (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163).

firman-Nya yang lain :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-„Ankabut:69 )

―Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu‖. (Q.S.An-nisa:105) (Alhumaydy, Dasar Hukum Ijtihad, Online), ( http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad, diakses 05 Januari 2012)

(5)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 5 2. Al-Hadits

- Kata – kata Nabi s.a.w. : ―Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya‖ (Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 163)

-

ٌذِحاََ ٌش ْجَا ًَُهَف َأَط ْخَاَف َذٍََت ْج ِنِاََ ِناَش ْجَا ًَُهَف َباَصَاَف َذٍََت ْجا اَرِا ُمِكاَحْنَا .

)مهسم َ ِساخب(

“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

- Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu‘adz bin Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:

اًراَعُم َثَعْبَٔ ْنَأ َداَسَأ اَّمَن ِالله ُلُُْسَس َّنِإ ِمَبَج ِهْب راَعُم ِباَحْصَأ ْهِم صَمَح ِمٌَْا ْهِّم ٍسَاوُأ ْهَع ِهَمَْٕنا َِٓنا ِباَتِك ِٓف ْذِجَت ْمَن ْنِإَف :َلاَق .ِالله ِباَتِكِب ِّضْقَأ :َلاَق ؟ٌءاَضَق َكَن َضَشَعاَرِإ ِضْقَت َفَْٕك :َلاَق :َلاَق ؟الله َس ُذٍَِت ْجَا :َلاَق ؟ِالله ِباَتِك ِٓف َلَََ ِالله ِلُُْسَس ِةَّىُس ِٓف ْذِجَت ْمَن ْنِإَف :َلاَق .ِالله ِلُُْسَس ِةَّىُسِبَف . ُُْنل َلَََ ِِْٔا ِالله ِلُُْسَس َلُُْسَس َقَّفََ ِْْزَّنا ِ َّ ِلِلُّذْمَحْنَا :َلاَقََ ُيَسْذَص ِالله ُلُُْسَس َبَشَضَف ِالله ُلُُْسَس َٓ ْشَٔ اَّمَن ياَس( .)دَادُبا

“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal, bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya akan memutuskan berdasarkan Al-Qur‟an. Nabi bertanya lagi:, Jika kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur‟an?, Muadz menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur‟an?,Muadz menjawab:, Saya akan berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah

(6)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 6 terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud) (Alhumaydy, Dasar

Hukum Ijtihad, Online),

(http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad , diakses 05 Januari 2012)

3. Ijmak

Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas dianjurkannya ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar. Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh yang cukup kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai sekarang.

Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena sebagian besar dalil-dalil hukum syara‘ praktis adalah bersifat dzanni yang menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga memerlukan adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat atau yang terkuat. Demikian juga perkara-perkara yang tidak ada nashnya menuntut adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syara‘nya dengan menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena Syariat Islam harus menetapkan semua hukum perbuatan hamba-hamba Allah SWT maka tidak ada jalan lain selain ijtihad. (Dr. Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer, hlm 100)

C. FUNGSI IJTIHAD

Imam syafi‘I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan : ―Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya‖.

Pernyataan Syafi‘I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.

(7)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 7 Selanjutnya ijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya :

1. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.

2. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan yang terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya. (Zairif, Fungsi Ijtihad, Online), (http://zairifblog.blogspot.com/2010/11/fungsi-ijtihad.html , diakses 05 Januari 2012)

D. LAPANGAN IJTIHAD

Tidak semua lapangan hukum Islam bisa menjadi pokok ijthad, melainkan hanya beberapa lapangan tertentu. Lapangan yang tidak boleh menjadi objek ijtihad ialah :

1. Hukum yang dibawa oleh nas qat‘I baik kedudukannya maupun pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan makan harta orang. Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu syara‘ yang dibawa oleh Hadits mutawir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan raka‘at shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji, dan sebagainya.

2. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma‘kan) oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti pemberian warisan untuk nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan yang dilakukan antara wanita Islam dengan orang lelaki bukan muslim.

Adapun lapangan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah :

1. Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.

(8)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 8 2. Lapangan yang dibawa oleh nas yang qat‘I kedudukannya, tetapi dhanni

pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur‘an dan Hadits juga : Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.

3. Lapangan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi qat‘I pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek Ijtihad dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya dengan Rasul. Dalam ketiga-tiga lapangan hukum tersebut di atas semua, daerah ijtihad terbatas sekitar nas, di mana seseorang mujtahid tidak bisa melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.

4. Lapangan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma‘kan dan tidak pula diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad memakai qiyas, atau istihsan atau ‗urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerha ijtihad lebih luas daripada lapangan-lapangan lain.

Sudah barang tentu pandangan orang-orang yang berijtihad dapat berbeda-beda, terutama dalam lapangan yang ke-empat tersebut. Oleh karena itu dalam sesuatu persoalan bisa terdapat bermacam-macam pendapat, sesuai dengan perbedaan tinjauan dan jalan pengambilan hukum yang dipakai. Perbedaan-perbedaan pendapat yang kita dapati dalam lapangan hukum Islam mencerminkan bermacam-macamnya hasil ijtihad. Keadaan ini tidak perlu melemahkan kedudukan syri‘at Islam, bahkan menunjukkan sifat flexibilitasnya dan menjadi sumber kekayaan dan kepadatan pembicaraan-pembicaraannya.

Ringkasnya lapangan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath‘I wurud dan dalalahnya. Pembatasan lapangan ijtihad seperti ini sama dengan apa yang diikuti oleh sistem hukum positif, karena selama undang-undang menyatakan dengan jelas, maka tidak boleh ada pena‘wilan dan perubahan terhadap nas-nasnya dengan dalih bahwa jiwa undang-undangnya menghendaki adanya perubahan tersebut, meskipun andaikata hakim sendiri berpendapat bahwa undang-undang tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan, karena sumber undang-undang tersebut adalah majelis perundang-undangan sendiri, sedang wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan undang-undang tersebut, bahkan

(9)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 9 untuk mengadili undang-undang itu sendiri. ( Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 174)

E. SYARAT- SYARAT BERIJTIHAD

Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan persyaratan tersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas tertentu , dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan ijtihad (maksudnya : ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan membahayakan kehidupan ummat.

Untuk itu, dalam kajian usul Fikih, para ulama telah menetapkan syarat-syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al-Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat. Masing-masing dalam lima persyafatan itu akan dilihat di bawah ini:

- Pertama, mengetahui al-Kitab (al-Qur‘an) dan sunnah. Persyaratan pertamaini disepakati oleh segenap ulama usul Fikih. Ibn al-Hummam, salah seorang ulamah Fikih Hanafiah, menyebutkan bahwa mengetahui al-Qur‘an dana sunnah merupakan syarat mutlakyang harus dimiliki oleh mujtahid. Akan tetapi, menurut al-Syaukani, cukup bagi seorang mujtahid hanya mengetahui ayat-ayat hukum saja. Bagi al-Syaukani, ayat-ayat hukum itu tidak perlu dihafal oleh mujtahid, tetapi cukup jika ia mengetahui letak ayat itu, sehingga dengan mudah ditemukannya ketika diperlukan.

Sebenarnya , apa yang dikemukakan al-Syaukani di atas merupakansyarat bagi seseorang mujtahid mutlak yang akan melakukan ijtihad dalam segenap masalah hukum. Akan tetapi, bagi seseorang yang hanya ingin melakukan ijtihad dalam suatu masalah tertentu, ia hanya dituntut memiliki

(10)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 10 pengetahuan tentang ayat-ayat hukum yang menyangkut tersebut secara mendalam.

Adapun berkenaan dengan pengetahuan tetang sunnah, menurut al-Syaukini, seseorang mujtahid harus mengetahui sunnah sebanyak-banyakny.Ia mengetip beberapa pendapat tentang jumlah hadits yang harus diketahui oleh mujtahid. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa seseorang mujtahid harus mengetahui lima ratus hadits. Pendapat lain, yang diterima oleh Ibn al-Dharir dari Ahmad ibn Hanbal, menyebutkan bahwa seorang mujtahid harus mengetahui lima ratus ribu hadits.

Akan tetapi, hadits –hadits itu tidak wajib dihafal di luar kepala, cukup kalau ia mengetahui letak hadits-hadits itu, sehingga dapat ditemukan segera bila diperlukan.

Di samping itu, seseorang mujtahid – menurut al-Syaukani - tidak hanya wjib mengetahui sejumlah besar hadits dari segi lafalnya, tetapi wajib pula mengetahui rijal (periwayat-periwayat) yang terdapat dalam sanad (kesinambungan riwayat hadits sampai kepada Nabi) menyangkut hadits-hadits yang akan dipergunakannya, sehingga ia dapat memilah antara hadits yang sahih, hasan, dan dha‘if (lemah). Sekalipun demikian, hal itu tidak harus dihafalnya di luar kepala, cukup baginya mengetahui yang demikian dengan baik melalui kitab-kitab yang membicarakan tentang jarh (cacat periwayat hadits) dan ta‘dil (keadilan periwayat hadits).

- Kedua, mengetahui ijmak, sehingga ia tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan ijmak. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad.

Di sini, al-Syaukini terlihat tidak secara ketat menempatkan pengetahuan tentang ijmak sebagai syarat mutlak untuk dapat melakukan ijtihad. Menurutnya, bagi orang yang berkeyakinan bahwa ijmak sebagai dalil hukum, maka ia wajib mengetahui ijmak tersebut, karena melanggar suatu konsensus para mujtahid merupakan suatu kekeliruan dan dosa. Kendati demikian, tidak mungkin dipaksakan persyaratan ini pada mujtihad yang berpendapat bahwa ijmak bukan dalil hukum.

(11)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 11 - Ketiga, mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali

hukum dari al-Qur‘an dan sunnah secara baik dan benar.Dalam hal ini menurut al-Syaukani- seorang mujtahid harus mengetahui seluk-beluk bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu mengetahui makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur‘an dan sunnah Nabi saw. Secara rinci dan mendalam: mengetahui makna lafal-lafal gharib (yang jarang dipakai); mengetahui susunan-susunan kata yang khas (khusus), yang memilki keistimewaan-keistimewaan unik. Untuk mengetahui seluk-beluk kebahasan itu diperlukan beberapa cabang ilmu, yaitu: nahwu,saraf, ma‘ani dan bayan. Akan tetapi, menurutnya, pengetahuan (kaidah-kaidah) kebahasaan itu tidak harus dihafal luar kepala, cukup bagi seorang mujtahid mengetahui ilmu-ilmu tersebut melalui buku-buku yang ditulis oleh para pakar di bidang itu, sehinggah ketika ilmu-ilmu tersebut diperlukan, maka dengan mudah diketahui tempat pengambilannya.

Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi mujtahid hendaklah menguasai bahasa Aarab secara baik dan benar. Sebab, bahasa al-Qur‘an dan hadits adalah bahasa Aarab, seseorang tidak mungkin akan dapat menegluarkan hukum dari dua sumber hukum kalau tidak mengetahui bahasa Arab. Atas dasar demikian, sementara ulama- antara lain‘Abd al-Wahhab Khallaf—menempatkan pengetahuan tentang bahasa Arab sebagai syarat pertama bagi seorang mujtahid untuk dapat melakukan ijtihad.

- Keempat, mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih penting diketahui oleh seseorang mujtahid karena melalui ilmu inilah diketahui tentang dasar-dasar dan cara-cara berijtihad. Seseorang akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila ia mampu menggalinya dari al-Qur‘an dan sunnahndengan menggunakan metode dan cara yang benar pula . Dasar dan cara itu dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih. Bila dilihat secara cermat, terdapat tiga versi menyangkut penempatan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad :

 Pertama, yang menempatkan pengetahuan tentang usul fikih sebagai salah satu bagian dari pengetahuan tentang al-Qur‘an dan sunnah.

(12)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 12  Kedua, yang tidak menempatkan usul fikih secara umum sebagai syarat

ijtihad, tetapi menempatkan pengetahuan tentang qiyas sebagai gantinya.  Ketiga, yang menempatkan usul fikih sebagai syarat tersendiri dalam

ijtihad.

Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan suatu hal penting dalam menggali hukum dari sumber-sumbernya. Karena hanya di dalam usul fikih diajarkan tenteng cara-cara meng-istinbath-kan hukum dari sumber-sumbernya.Tanpa mengetahui cara meng-istinbath-kan hukum, tidak mungkin hukum akan ditemukan.

- Kelima, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan). Menurut al-Syaukani, pengetahuab tenteng nasikh dan mansukh penting agar mujtahid tidak menerapkan suatu hukum yang telah mansukh, baik yang terdapat dalam ayat-ayat atau hadits-hadits.

Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh para ulama usul fikih klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-syarat seperti yang telah disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh segenap ulama usul, mereka hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-dorongan dan petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.

Persyaratan-persyaratan ijtihad –sebagai telah dikemukakan di atas sangat penting untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena dalam ijtihad hukum itu—menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum Allah.Bagi al-Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan –persyaratan ijtihad telah mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian – menurutnya—

(13)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 13 wewenang itu hanya diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-Qur‘an dan sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa nafsu.

Dari kajian di atas terlihat bahw a al-Syaukani, sebagaimana para pakar usul fikih yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang yang telah memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian, seseorang ahli fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap dapat juga melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam. ( DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 87)

(14)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 14

BAB III

PENUTUP

Setelah memahami, membuat dan mempelajari makalah ini maka penyusun dapat menyimpulkan:

1. Ijtihad menurut pengetian kebahasaannya bermakna ―badzl al-wus‘ wa al-majhud‖ (pengerahan daya dan kemampuan), atau ―pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-aktivitas yang berat dan sukar‖.

2. Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : ―upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni. Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara‘) melalui salah satu dalil Syara‘, dan dengan cara-cara tertentu.

3. Dasar hukum ijtihad:

- Firman Allah surat An-nisa' :59 dan 105, Al-Hasyr : 2, Al-„Ankabut:69. - Banyak juga hadits-hadits Rosulullah SAW yang menyebutkan tentang

dasar-dasar ijtihad - Ijmak

4. Fungsi ijtihad :

- Mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah mursalah

- Menguji kebenaran hadits yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawattir. 5. Lapangan ijtihad secara umum terbagi menjadi dua :

- Perkara yang tidak ada nas (ketentuan) sama sekali

- Perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath‘I wurud dan dalalahnya. 6. Syarat-syarat seseorang dapat berijtihad menurut Al-Syaukani antara lain :

- Mengetahui al-Kitab (al-Qur‘an) dan sunnah - Mengetahui ijmak

- Mengetahui bahasa Arab - Mengetahui ilmu usul fikih

(15)

Ikramullah Mahmuddin | Makalah Ilmu Fiqh - Ijtihad 15

DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. 1999.Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta

Al Qardlawy, Yusuf. 1987. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang : Jakarta

Ash Siddieqy, Hasbi. 1993. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta

Jalaluddin Rahmat.Sumber Hukum Islam

http://alhumaydy.wordpress.com/2011/07/20/dasar-hukum-ijtihad

Referensi

Dokumen terkait

Hadirin yang dirahmati Allah.. Sungguh apa yang sedang dialami Umat Islam, berupa kemunduran dalam berbagai sektor kehidupan dan kehilangan kepemimpinan atas dunia

Setelah Nabi wafat barulah ijtihad diperlukan oleh ulama mujtahid untuk menjawab hukum permasalahan baru yang timbul dengan tetap berpegang kepada prinsip-prinsip yang terkandung

‘ilmu’ atau ‘ilmu pengetahuan.’ Dalam sudut pan- dang Islam, ilmu merupakan pengetahuan mendalam hasil usaha yang sungguh-sungguh (ijtihad) dari para ilmuwan muslim

Pada masa sekarang ini , bentuk-bentuk ijtihad yang dapat dilaksanakan, dapat berupa penyusunan undang-undang, fatwa, maupun melakukan penelitian

Kendati terdapat perbedaan versi dalam menempatkan pengetahuan tenteng usul fikih sebagai syarat ijtihad, segenap ulama memandang bahwa pengetahuan tentang usul fikhi merupakan

Adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara', dengan menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang

Secara umum ijtihad dapat idartikan sebagaipengerahan segala kesanggupan sesorang faqih (pakar ilmu fiqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang

Atas dasar itu, paradigma ijtihad Munawir Sjadzali dalam melakukan reaktualisasi hukum Islam di Indonesia terbukti memiliki tingkat relevansi yang tinggi dan menjadi kebutuhan