• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Penelitian INFID No. 1/2013. Jalan Terjal. Menurunkan Angka Kematian Ibu. editor: Irawan Saptono. didukung oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Penelitian INFID No. 1/2013. Jalan Terjal. Menurunkan Angka Kematian Ibu. editor: Irawan Saptono. didukung oleh:"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

Jalan Terjal

Menurunkan Angka Kematian Ibu

editor: Irawan Saptono Laporan Penelitian INFID No. 1/2013

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105

Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 12540 Tel: (021) 781.9734, 781.9735

(2)
(3)

Jalan Terjal

Menurunkan Angka Kematian Ibu

INFID dan ISAI 2013

(4)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu Editor: Irawan Saptono

Peneliti dan Penulis:

Irawan Saptono, Helena Rea, dan Wiratmo Probo

Asisten Peneliti:

Jumono (DKI Jakarta) ; Chrisandi Demio (Jateng) ; Fricas Abdillah (Jatim) ; Herkulanus Agus (Kalbar) ; Sunardi Hawi (Sulsel) ; Indarwati Aminuddin (Papua)

Penerbit:

International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Jl. Jatipadang Raya Kav. 3 No. 105, P. Minggu

Jakarta, 12540

Tel: (021) 781.9734, 781.9735 Fax: (021) 788.44703 Email: infi d@infi d.org Website: www.infi d.org Cetakan pertama, Oktober 2013

Atas Dukungan dari:

Daftar Isi

Pengantar

Tiga Tujuan yang Tak Tercapai

Misteri Angka Kematian Ibu Melahirkan

Kemiskinan, Kematian dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

Kematian dan Tradisi Melahirkan

Akses dan Hak Memperoleh Informasi Kesehatan Program Instan Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan Per-panjanganWaktu v 1 23 31 51 57 65 73 Hal.

(5)

Daftar Isi

Pengantar

Tiga Tujuan yang Tak Tercapai

Misteri Angka Kematian Ibu Melahirkan

Kemiskinan, Kematian dan Layanan Kesehatan, Kisah dari Lima Daerah

Kematian dan Tradisi Melahirkan

Akses dan Hak Memperoleh Informasi Kesehatan Program Instan Menurunkan Angka Kematian Ibu dan Bayi

Agenda Pembangunan Pasca 2015: Dibutuhkan Per-panjanganWaktu v 1 23 31 51 57 65 73 Hal.

(6)
(7)

T

ingginya angka kematian ibu (AKI) masih menjadi peker-jaan rumah yang harus diselesaikan Indonesia hingga saat ini. Tercatat 228 kematian ibu untuk setiap 100.000 kelahiran hidup pada 2007 dan bahkan menjadi 359 kematian ibu pada 2012. Kenyataan tersebut bertolak belakang dengan ke-inginan pemerintah Indonesia sendiri, yang menargetkan penu-runan AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada 2015 sebagai bagian dari upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Lebih ironis, kondisi AKI saat ini tidak berbeda jauh dengan kondisi 22 tahun lalu yang angkanya mencapai 390 kematian ibu.

Kenyataan tersebut jualah yang mendorong INFID untuk me-nelusuri serta mencari bukti-bukti yang menjadi penyebab ting-ginya AKI. Bekerjasama dengan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) beragam persoalan yang disinyalir sebagai penyebab AKI seperti lemahnya kebijakan, buruknya pelaksanaan kebijakan hingga persoalan budaya di masyarakat coba ditelusuri secara cermat. Pencarian bukti-bukti ini berlangsung selama tiga bulan dari Juli hingga September 2013 dan tidak hanya dilakukan den-gan melihat data-data sekunder namun juga melalui wawancara langsung dengan pengambil kebijakan di tingkat pusat, wakil

(8)

rakyat, akademisi ditambah kunjungan ke beberapa daerah di Indonesia, seperti Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara (NTT), Kabupaten Muna (Sulawesi Tenggara), Ka-bupaten Pangkep dan Bone (Sulawesi Selatan), KaKa-bupaten Pegu-nungan Arfak dan Mamberamo (Papua), dan Kabupaten Kubu Raya (Kalimantan Barat). Hasil penelusuran tersebut, kemudian kami rangkai dalam sebuah laporan yang berjudul Jalan Terjal

Menurunkan Angka Kematian Ibu.

Laporan yang berisi fakta empiris dari berbagai daerah ini di-maksudkan INFID untuk menggerakkan dan menggegaskan In-donesia, terutama para elit politik dan pengambil kebijakan guna melakukan aksi, koreksi dan perubahan untuk menyelamatkan kaum perempuan dan kaum ibu Indonesia, sebelum semuanya terlambat. Maksud lain tentu saja, laporan ini dapat memberi-kan manfaat bagi aktivis-aktivis NGO, jurnalis, dan masyarakat sipil lainnya dalam memahami persoalan AKI di Indonesia.

Tidak lupa kami menghaturkan banyak terima kasih kepada Irawan Saptono dan Wiratmo Probo yang telah bekerja keras un-tuk menyelesaikan laporan ini. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada Bapak Rachmat Sentika (Staff Ahli Menkokes-ra), Ibu Diah Saminarsih (Asisten KUKPRI-MDGs), Ibu Vivi Yulaswati (Direktur Perlindungan dan Kejahteraan Masyarakat, Bappenas), Bapak Ahmad Syafi q (peneliti UI) dan narasumber lainnya serta kepada Yayasan TIFA yang telah mendukung ha-dirnya laporan ini.

Jakarta, 26 Oktober 2013 Hamong Santono

(9)

S

itus MDGs memasang hitungan mundur. Seperti injury

time di pertandingan sepakbola, waktu untuk mencapai

target-target dalam MDGs sudah hampir habis. Batas ak-hirnya 1 Januari 2015. Lonceng akan berbunyi pada hari itu dan negara-negara PBB yang 15 tahun lalu sepakat untuk memenuhi target-target dalam delapan tujuan pembangunan yang disepa-kati, harus melihat lagi apakah mereka telah berhasil. “Ada tiga tujuan yang tidak bisa kita capai pada 2015,” kata dr. Tb Rach-mat Sentika, staf ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Pencapaian MDGs.

Tiga tujuan adalah, No. 5: Meningkatkan Kesehatan Ibu; No. 6: Melawan HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya, dan No. 7: Menjamin Kelestarian Lingkungan. Pada midterm

re-view Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RP-JMN) Prioritas Nasional 3, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2013, tujuan MDGs yang targetnya tidak

Selama 15 tahun dikejar, tiga dari delapan tujuan dalam Millenium Development Goals (MDGs) tidak akan dicapai pada 1 Januari 2015. Dua di antaranya di sektor kesehatan.

(10)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

mungkin tercapai ada empat, yakni dengan tambahan tujuan No. 4: Menurunkan Angka Kematian Bayi. Namun, Kantor Kemen-terian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) me-yakinkan bahwa tujuan No. 4 bisa dicapai targetnya sebelum 1 Januari 2015. Sentika menegaskan, bahwa angka kematian bayi bisa ditekan dan mencapai target seperti yang ditetapkan MDGs.

MDGs adalah agenda PBB yang diluncurkan pada konferensi tingkat tinggi PBB, September 2000. Ini merupakan pertemuan pemimpin dunia terbesar dalam sejarah. Konferensi menyetujui Deklarasi Milenium PBB, mengabungkan diri pada kemitraan global baru untuk mengurangi kemiskinan dan menetapkan serangkaian target dengan tenggat waktu hingga 2015. MDGs menetapkan delapan tujuan agenda pembangunan dengan 18 target untuk mengatasi kemiskinan ekstrim, kelaparan, penya-kit, tempat tinggal yang tidak layak, mempromosikan kesetaraan gender, pendidikan, dan kelestarian lingkungan. MDGs juga berusaha memenuhi hak-hak dasar manusia dari setiap orang di muka bumi dalam hal kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan keamanan.

Klaim Keberhasilan, Kegagalan dan Apologi

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 26 Maret 2013, dalam acara MDGs Award di Bali, menyerukan dalam waktu yang ter-sisa, satu setengah tahun ke depan agar Indonesia memenuhi semua target MDGs. Kantor Kemenkokesra menyatakan ada tiga tujuan MDGs yang sulit dicapai yakni tujuan No. 5: Mening-katkan Kesehatan Ibu; No. 6: Melawan HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya, dan No. 7: Menjamin Kelestarian Lingkungan. Tapi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menam-bah satu tujuan yang bagi mereka juga sulit dicapai yakni tujuan No. 4: Menurunkan Angka Kematian Bayi. Dengan demikian se-mua tujuan yang sulit dicapai pada 2015, kecuali tujuan tentang

(11)

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

lingkungan, adalah tujuan di sektor kesehatan.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, khawatir karena batas waktu pencapaian delapan tujuan MDGs sudah hampir habis dan menyerukan agar semua sektor peme-rintah segera melakukan percepatan pencapaian tujuan MDGs dan memastikan semua dukungan bagi pencapaian MDGs. Laksono juga menyerukan agar semua kementerian fokus pada target-target dengan status yang memerlukan kerja keras. Tar-get-target dikelompokkan dalam tiga status yakni: Target yang Sudah Dicapai; Membutuhkan Kerja Keras; dan Target Sulit Di-capai.

Menurut Sentika, menteri juga menyerukan agar masalah-masalah yang tidak bisa terselesaikan di daerah, segera dilaku-kan koordinasi untuk mencari jalan keluar. Namun ia mengakui Rencana Aksi Daerah MDGs berupa peraturan daerah hingga sekarang baru diselesaikan di 22 provinsi, masih ada 11 provinsi yang belum menyelesaikan.

Pada 2012 Kementerian Pembangunan Nasional/Badan Per-encanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menerbitkan laporan berjudul, Laporan Pencapaian Tujuan

Pembangu-nan Milenium di Indonesia 2011 yang membagi capaian MDGs

dalam tiga status yakni (1) Telah Tercapai (2) Mengalami Kema-juan Signifi kan dan (3) Perlu Kerja Keras.

Midterm review RPJMN, Kementerian Pembangunan

Na-sional/Bappenas Bidang Kesehatan, 2013 menetapkan sembilan indikator pembangunan kesehatan RPJMN yang harus memper-oleh perhatian serius. Sembilan indikator ini ditetapkan dari 51 indikator yang disusun Bappenas yang harus dicapai untuk men-dorong pencapaian sejumlah target MDGs di bidang kesehatan. Dari sembilan indikator tersebut, ada lima indikator yang tidak mungkin tercapai pada 1 Januari 2015, yakni (1) Angka Kema-tian Ibu Melahirkan; (2) Angka KemaKema-tian Bayi; (3) Total

(12)

Fertil-Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

ity Rate; (4) Presentase Jangkauan Akses Sumber Air Bersih;

dan (5) Menurunnya Kasus Malaria.

Tapi data terakhir yang dikumpulkan oleh Kemenkokesra, Bappenas dan Kemenkes angka kematian bayi bisa ditekan dan pada 2015 mencapai sesuai target MDGs. Pada 25 Juli 2013, menurut Sentika, Pemerintah Indonesia siap melaporkan bahwa target angka kematian bayi per 1.000/kelahiran hidup itu akan tercapai. Menurut data yang dikumpulkan per 25 Juli, angka ke-matian bayi sudah 30-34 jiwa dari target 23. Angka ini, kata Sen-tika, sudah lumayan bagus, tapi data ini belum dipublikasikan.

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, angka kematian ibu melahirkan mencapai 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini berarti dalam sejam, tiga hingga empat ibu di Indonesia meninggal karena melahirkan. Sehari ada 72 hingga 96 kematian ibu melahirkan, sebulan 2.160 hingga 5.760 dan se-tahun 25.000 hingga 34.560 ibu meninggal karena melahirkan. Lebih banyak dari kematian akibat perang Vietnam yang seban-yak 20 ribuan orang.

Menurut Sentika, sekarang perhatian pemerintah pada angka

Infografi s 1

Capaian MDGs Indonesia yang Telah Tercapai

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1

Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Proporsi penduduk dengan pendapatan kurang dari US$ 1,00 (PPP) per kapita per hari.

MDGs 3

Mendorong Kesetaraan Gender dan Pember-dayaan Perempuan

Angka partisipasi murid perempuan terhadap laki-laki SMA/ Madrasah Aliyah/Paket C dan rasio angka melek huruf pe-rempuan terhadap laki-laki umur 15-24 tahun.

MDGs 6

Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru tuberkulosis (TB). Pencapaian ini diindikasikan oleh angka kejadian dan tingkat kematian, serta proporsi tuberkulosis yang ditemukan, diobati dan disembuhkan dalam program DOTS (internationally recommended TB control strategy).

(13)

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai Infografi s 2

Capaian MDGs Indonesia yang Mengalami Kemajuan Signifi kan (2011)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1

Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Terdapat kemajuan yang sangat signifi kan dari indeks kedalaman kemiskinan, proporsi tenaga kerja yang berusaha sendiri dan pekerja bebas keluarga terhadap total kesempatan kerja dan prevalensi balita dengan badan rendah/kekuarangan gizi.

MDGs 2

Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

Angka partisipasi murni sekolah dasar, proporsi murid kelas 1 yang berhasil menamatkan sekolah dasar, dan angka melek huruf pen-duduk usia 15-24 tahun, perempuan dan laki-laki semuanya sudah mendekati 100%.

MDGs 3

Mendorong Kesetaraan Gender dan Pember-dayaan Perempuan

Rasio Angka Partisipasi Murni perempuan/laki-laki di tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah/Paket A Sekolah Menengah Pertama/Ma-drasah Tsanawiyah/Paket B dan pendidikan tinggi hampir mendekati 100% dan kontribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor non-pertanian dan proporsi kursi yang diduduki perempuan di DPR meningkat.

MDGs 4

Menurunkan Angka Kematian Anak

Penurunan sudah mendekati dua pertiga angka kematian neonatal, bayi dan balita serta proporsi anak usia 1 tahun yang mendapat imunisasi campak yang meningkat pesat.

MDGs 5

Meningkatkan Keseha-tan Ibu

Peningkatan angka pemakaian kontrasepsi bagi perempuan menikah dengan menggunakan cara modern, penurunan angka kelahiran re-maja perempuan umur 15-19 tahun, peningkatan cakupan pelayanan antenatal baik 1 maupun 4 kali kunjungan, dan penurunan kebutuhan KB yang tidak terpenuhi (unmet need).

MDGs 6

Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa peningkatan proporsi penduduk terinfeksi HIV lanjut yang memiliki akses pada obat-obatan Antiretroviral (ARV). Selain itu, pengendalian penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru malaria yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi anak balita yang tidur dengan kelambu berinsektisida belum memadai dalam rangka menurunkan jumlah kasus baru malaria.

MDGs 7

Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Penurunan konsumsi bahan perusak ozon, proporsi tangkapan ikan yang tidak melebihi batas biologis yang aman, serta rasio luas kawasan lindung untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati terhadap total luas kawasan hutan dan rasio rasio kawasan lindung perairan terhadap total luas perairan teritorial yang keduanya meningkat.

MDGs 8

Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Keberhasilan pengembangan sistem keuangan dan perdagangan yang terbuka, berbasis peraturan, dapat diprediksi dan tidak diskriminatif yang diindikasikan oleh rasio ekspor dan impor terhadap PDB, rasio pinjaman terhadap simpanan di bank umum, dan rasio pinjaman terhadap simpanan di BPR yang semuanya meningkat pesat. Selain itu juga keberhasilan dalam menangani utang untuk dapat mengelola utang dalam jangka panjang yang diindikasikan oleh rasio pinjam-an luar negeri terhadap PDB dpinjam-an rasio pembayarpinjam-an pokok utpinjam-ang dpinjam-an bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor yang menurun tajam. Keberhasilan selanjutnya adalah dalam hal peman-faatan teknologi informasi dan komunikasi, yang diindikasikan oleh peningkatan proporsi penduduk yang memiliki jaringan telepon tetap dan telepon seluler.

(14)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

kematian ibu, walaupun sulit mencapainya. Mengapa? Rachmat Sentika mengajukan dua sebab utama, pertama usia perkawinan dini dan fasilitas kesehatan yang terbatas. “Masalahnya sebe-narnya adalah bagaimana menunda perkawinan dengan mening-katkan usia kawin dari 15 menjadi 22 hingga 25 tahun,” kataya.

Kematian ibu dan bayi yang tinggi di Indonesia sudah bisa diperkirakan akan sulit ditekan karena pernikahan usia muda yang meningkat. Ibu muda pemahamannya sangat kurang ten-tang kesehatan dan reproduksi. “Meningkatkan usia kawin akan mencegah terjadinya kematian, karena sekarang ini kematian ibu, dan kematian bayi sebagian besar karena perkawinan muda. Sekarang jumlah ibu hamil naik tinggi. Apakah bisa diturunkan? Tidak mungkin, karena soal hamil dan kawin itu hak asasi tidak boleh dihalangi,” tambahnya.

Infografi s 3

Capaian MDGs Indonesia yang Mememerlukan Kerja Keras (2011)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1

Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Penurunan hingga setengahnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

MDGs 5

Meningkatkan Keseha-tan Ibu

Penurunan hingga tiga perempatnya angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.

MDGs 6

Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa penurunan prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi, dan peningkatan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, baik laki-laki maupun perempuan menikah dan belum menikah.

MDGs 7

Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO2, konsumsi energi primer per kapita, elastisitas energi, serta proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terha-dap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak di perkotaan dan perdesaan.

MDGs 8

Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan komputer pribadi yang belum memadai.

(15)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

kematian ibu, walaupun sulit mencapainya. Mengapa? Rachmat Sentika mengajukan dua sebab utama, pertama usia perkawinan dini dan fasilitas kesehatan yang terbatas. “Masalahnya sebe-narnya adalah bagaimana menunda perkawinan dengan mening-katkan usia kawin dari 15 menjadi 22 hingga 25 tahun,” kataya.

Kematian ibu dan bayi yang tinggi di Indonesia sudah bisa diperkirakan akan sulit ditekan karena pernikahan usia muda yang meningkat. Ibu muda pemahamannya sangat kurang ten-tang kesehatan dan reproduksi. “Meningkatkan usia kawin akan mencegah terjadinya kematian, karena sekarang ini kematian ibu, dan kematian bayi sebagian besar karena perkawinan muda. Sekarang jumlah ibu hamil naik tinggi. Apakah bisa diturunkan? Tidak mungkin, karena soal hamil dan kawin itu hak asasi tidak boleh dihalangi,” tambahnya.

Infografi s 3

Capaian MDGs Indonesia yang Mememerlukan Kerja Keras (2011)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1

Menanggulangi Kemiski-nan dan Kelaparan

Penurunan hingga setengahnya persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional.

MDGs 5

Meningkatkan Keseha-tan Ibu

Penurunan hingga tiga perempatnya angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup.

MDGs 6

Memerangi HIV/AIDS, Malaria dan Penyakit Menular Lainnya

Mengendalikan penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS berupa penurunan prevalensi HIV dan AIDS, penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi, dan peningkatan proporsi penduduk usia 15-24 tahun yang memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV dan AIDS, baik laki-laki maupun perempuan menikah dan belum menikah.

MDGs 7

Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Rasio luas kawasan tertutup pepohonan, jumlah emisi CO2, konsumsi energi primer per kapita, elastisitas energi, serta proporsi rumah tangga dengan akses berkelanjutan terha-dap sumber air minum layak dan fasilitasi sanitasi dasar layak di perkotaan dan perdesaan.

MDGs 8

Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Peningkatan proporsi rumah tangga dengan akses internet dan kepemilikan komputer pribadi yang belum memadai.

Sumber: Tb.Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Republik Indonesia, Agustus 2013.

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai Pada 2013 Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat menerbitkan Status Pen-capaian MDGs Indonesia sebagai berikut:

TUJUAN MDGs CAPAIAN MDGs 1 Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan Penanggulangan kemiskinan. MDGs 3 Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Kesetaraan gender dalam semua jenis dan tingkat pendidikan.

MDGs 6

Memerangi HIV/AIDS, Ma-laria dan Penyakit Menular Lainnya

Penurunan prevalensi TBC.

Target yang Sudah Dicapai

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 1

Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan

Penurunan prevalensi balita dengan berat badan ren-dah, Gizi Kurang 17,9%, Gizi Buruk 4,9%.

MDGs 2

Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

Angka partisipasi murni untuk pendidikan dasar dan angka melek huruf penduduk

MDGs 3

Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

Rasio partisipasi murni perempuan terhadap pria pada pendidikan menengah dan tinggi.

MDGs 4

Menurunkan Angka Kematian Anak

Angka kematian balita yang menurun.

MDGs 8

Mengembangkan Kemitraan Global untuk Pembangunan

Kemitraan internasional.

Target yang Dapat Dicapai pada 2015 (on the track)

TUJUAN MDGs CAPAIAN

MDGs 5

Meningkatkan Kesehatan Ibu Angka Kematian Ibu yang tinggi (228/100.000) dari target 102/100.000 dan tingkat fertilitas stagnan di 2,6 (target 2,1)

MDGs 6

Memerangi HIV/AIDS, Ma-laria dan Penyakit Menular Lainnya

Jumlah penduduk dengan HIV/AIDS yang meningkat.

MDGs 7

Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup

Tingkat emisi gas rumah kaca yang tinggi, air bersih dan sanitasi yang layak.

(16)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

Ia menyodorkan data, menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jumlah penduduk Indonesia sekarang 252 juta dan menurut SDKI 2012, sebanyak 242 juta. Kalau dipakai jum-lah penduduk menurut SDKI 2012 yakni 242 juta jiwa saja, den-gan total fertility ratio mencapai 2,6 dan jumlah perkawinan mudanya tinggi maka diperkirakan 4,5 sampai 5 juta bayi akan lahir setiap tahun. Di SDKI 2012 diindikasikan bahwa 82% pa-sangan usia subur yang berusia 15 sampai 24 tahun ingin punya anak dua dan tiga di tahun ini dalam dua tahun ke depan jadi persoalan. Dengan ledakan pertambahan penduduk sebesar ini maka kemungkinan kematian juga sangat tinggi.

Jalan keluarnya, menurut Sentika adalah revitalisasi program keluarga berencana, terutama pada kelompok muda. Peserta ak-tif keluarga berencana sekarang untuk kelompok muda sebesar 61% harus dipertahankan.

Selain pernikahan dini, menurutnya, sebab utama kedua ke-matian ibu adalah masalah ketersediaan akses kesehatan. Ke-tersediaan fasilitas kesehatan baru melayani 82% persalinan. Ini artinya ada 18% dari 5 juta orang yang memiliki risiko kematian saat melahirkan. Sebanyak 18% yang berisiko ini kemungkinan besar berada di wilayah Indonesia Timur. Tapi bagi Sentika, masalahnya tidak bisa dilihat per wilayah, karena setiap wilayah memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Wilayah tengah Indone-sia, terutama Pulau Jawa dan Bali di mana jumlah penduduknya tidak terkendali, pelayanan kesehatan terlalu berat, beban ker-janya terlalu tinggi. Di sisi lain, wilayah timur penduduknya leb-ih sedikit tapi fasilitas kesehatannya sangat kurang. “Pertanya-annya sekarang, mana yang harus diprioritaskan?” sergahnya.

Kualitas pelayanan kesehatan sangat penting ditingkatkan. Karena penyebab kematian ibu tertinggi disebabkan oleh pen-darahan, eklampsi dan infeksi maka untuk mengatasi tiga pe-nyebab itu harus ditingkatkan keahlian dan pengetahuan para

(17)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

Ia menyodorkan data, menurut Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jumlah penduduk Indonesia sekarang 252 juta dan menurut SDKI 2012, sebanyak 242 juta. Kalau dipakai jum-lah penduduk menurut SDKI 2012 yakni 242 juta jiwa saja, den-gan total fertility ratio mencapai 2,6 dan jumlah perkawinan mudanya tinggi maka diperkirakan 4,5 sampai 5 juta bayi akan lahir setiap tahun. Di SDKI 2012 diindikasikan bahwa 82% pa-sangan usia subur yang berusia 15 sampai 24 tahun ingin punya anak dua dan tiga di tahun ini dalam dua tahun ke depan jadi persoalan. Dengan ledakan pertambahan penduduk sebesar ini maka kemungkinan kematian juga sangat tinggi.

Jalan keluarnya, menurut Sentika adalah revitalisasi program keluarga berencana, terutama pada kelompok muda. Peserta ak-tif keluarga berencana sekarang untuk kelompok muda sebesar 61% harus dipertahankan.

Selain pernikahan dini, menurutnya, sebab utama kedua ke-matian ibu adalah masalah ketersediaan akses kesehatan. Ke-tersediaan fasilitas kesehatan baru melayani 82% persalinan. Ini artinya ada 18% dari 5 juta orang yang memiliki risiko kematian saat melahirkan. Sebanyak 18% yang berisiko ini kemungkinan besar berada di wilayah Indonesia Timur. Tapi bagi Sentika, masalahnya tidak bisa dilihat per wilayah, karena setiap wilayah memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Wilayah tengah Indone-sia, terutama Pulau Jawa dan Bali di mana jumlah penduduknya tidak terkendali, pelayanan kesehatan terlalu berat, beban ker-janya terlalu tinggi. Di sisi lain, wilayah timur penduduknya leb-ih sedikit tapi fasilitas kesehatannya sangat kurang. “Pertanya-annya sekarang, mana yang harus diprioritaskan?” sergahnya.

Kualitas pelayanan kesehatan sangat penting ditingkatkan. Karena penyebab kematian ibu tertinggi disebabkan oleh pen-darahan, eklampsi dan infeksi maka untuk mengatasi tiga pe-nyebab itu harus ditingkatkan keahlian dan pengetahuan para

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

Sebab-Sebab Kematian Ibu Melahirkan

Grafi k ini menunjukkan distribusi persentase penyebab kematian ibu melahirkan, berdasarkan data tersebut tiga faktor utama penyebab kematian ibu melahirkan yakni, pendarahan, hipertensi saat hamil atau pre-eklamsia dan infeksi.

Pendarahan menempati persentase tertinggi penyebab kematian ibu (28%), anemia dan kekurangan energi kronis (KEK) pada ibu hamil menjadi penyebab utama terjadinya pendarahan dan infeksi yang meru-pakan faktor kematian utama ibu.

Di berbagai negara paling sedikit seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan; proporsinya berkisar antara kurang dari 10% sampai hampir 60%. Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan paska persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan. Persentase ter-tinggi kedua penyebab kematian ibu yang adalah eklamsia (24%), ke-jang bisa terjadi pada pasien dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) yang tidak terkontrol saat persalinan.

Hipertensi dapat terjadi karena kehamilan, dan akan kembali nor-mal bila kehamilan sudah berakhir. Namun ada juga yang tidak kembali normal setelah bayi lahir. Kondisi ini akan menjadi lebih berat bila hi-pertensi sudah diderita ibu sebelum hamil. Sedangkan persentase ter-tinggi ketiga penyebab kematian ibu melahirkan adalah infeksi (11%).

(18)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

bidan. Namun demikian, menurut Sentika, untuk kematian ka-rena perdarahan, seperti pendarahan kaka-rena anteparkum untuk mencegahnya dibutuhkan alat USG guna mengetahui lebih awal terjadinya kelainan, misalnya plasenta-nya rentan.

“Deteksi dini bisa mencegah pendarahan. Tetapi masalah-nya apakah di wilayah-wilayah terpencil ada fasilitas USG? Alat ini sebenarnya tidak mahal, sekitar Rp 17 juta untuk satu unit USG,” katanya.

USG alat maha penting karena dengan USG petugas kesehat-an bisa mengetahui masalah kehamilkesehat-an lebih dini dkesehat-an bisa me-rujuknya ke Puskesmas Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar (PONED). Puskesmas PONED adalah puskesmas yang memiliki fasilitas dan kemampuan memberikan pelayanan un-tuk menanggulangi kasus kegawatdaruratan obstetri dan neona-tal selama 24 jam. Sebuah Puskesmas PONED harus memenuh-i standar yang melmemenuh-iputmemenuh-i standar admmemenuh-inmemenuh-istrasmemenuh-i dan manajemen, fasilitas bangunan atau ruangan, peralatan dan obat-obatan, tenaga kesehatan serta fasilitas penunjang lain. Puskesmas PONED juga harus mampu memberikan pelayanan yang meli-puti penanganan pre-eklampsi, eklampsi, perdarahan, sepsis, sepsis neonatorum, asfi ksia, kejang, ikterus, hipoglikemia, hi-potermia, tetanus neonatorum, trauma lahir, berat badan lahir rendah (BBLR), sindroma gangguan pernapasan dan kelainan kongenital. Pusksemas PONED dibuat sebagai salah satu pro-gram menekan angka kematian ibu dan bayi. Selain Puskesmas PONED, di rumah sakit rujukan juga harus disediakan Instalasi awat Darurat Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergency Kompre-hensif (IGD PONEK), sebagai rujukan jika Puskesmas PONED tidak mampu menangani persalinan yang sulit.

Menurut Sentika, jika program Puskesmas PONED dan IGD PONEK berjalan, maka bisa mengurangi angka kematian ibu dan bayi. Tapi meningkatkan semua Puskesmas menjadi Puskesmas

(19)

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

PONED dan melengkapi rumah sakit dengan IGD PONEK men-urut Sentika terlalu mahal. Program ini tidak dikerjakan hanya diwacanakan. Masyarakat, katanya juga kurang peduli dengan program PONED dan PONEK. “Baru 2.000-an dari 9.000-an Puskesmas yang sudah menjadi Puskesmas PONED. Puske-masnya, alat-alatnya ada, tapi dokter tidak ada, bidannya tidak ada, bukan Puskesmas PONED. Dokter-nya ada, bidannya ada tapi tidak punya alat-alat bukan PONED juga. Jadi Puskesmas di seluruh Indonesia yang ada alat-alat PONED-nya dan dokternya baru 30%,” katanya.

Masalahnya memang anggaran. Pengangkatan pegawai kese-hatan direkrut dua tahun sekali, alokasinya sedikit. Kekurangan tenaga dokter bukan karena dokternya tidak bersedia bertugas di daerah, tapi soal alokasi anggaran. “Indonesia membutuhkan, 24 ribu sampai 30 ribu dokter untuk ditugaskan di daerah meng-isi ribuan Puskesmas yang kosong,” katanya. Namun, anggaran yang tersedia hanya untuk dua ribu sampai tiga ribu dokter. Pe-nyediaan tenaga dokter merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dalam hal ini kabupaten dan kota. Menurut Sentika, dari 535 kabupaten dan kota ada sekitar 191 yang bermasalah dengan ketersediaan tenaga kesehatan dan alat-alat kesehatan.

“Fasilitas kesehatan yang tersedia baru melayani 82% persali-nan. Ini artinya ada 18% dari 5 juta ibu memiliki risiko kematian saat melahirkan. Sebanyak 18% yang berisiko ini kemungkinan besar berada di wilayah Indonesia Timur”.

Bagaimanapun masalahnya adalah disparitas dalam fasili-tas pelayanan kesehatan. Para petugas medis seahli apapun dia, harus dibantu alat-alat kesehatan yang memadai untuk mem-bantu persalinan. Sebagai gambaran, menurut Sentika, Indo-nesia bagian barat yang disebut sebagai Regional Barat sudah aman dari ancaman kematian ibu dan bayi. Lalu Indonesia ba-gian tengah yang disebut sebagai Regional Tengah beban

(20)

kerja-Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

nya masih terlalu berat, sedangkan Regional Timur sangat berat. Mana yang harus didahulukan penanganannya? “Yang dipilih untuk diprioritaskan penanganannya adalah yang korbannya banyak, yaitu di Pulau Jawa, karena jika kematian ibu dan bayi di Jawa turun maka dampaknya akan menurunkan angka kematian ibu dan anak secara nasional,” katanya. Ini memang soal angka. Jika ibu-ibu dan bayi di wilayah Indonesia bagian timur tidak menjadi prioritas untuk diselamatkan, semata-mata hanya un-tuk mengejar agar angka kematian ibu dan bayi bisa memenuhi target MDGs.

Seorang dokter senior yang lama bertugas di lapangan, dan kini bekerja di Kemenkes. Ia tak bersedia dikutip namanya dan menuturkan bahwa sangat sulit menekan angka kematiann ibu dan bayi. “Itu pekerjaaan yang sulit. Selama puluhan tahun, sejak saya menjadi dokter muda di Puskesmas di sebuah kabu-paten di Jawa Barat, awal 1980, angka kematian ibu dan anak tidak beranjak turun. Mengapa? Faktor penyebabnya banyak. Di pedesaan tempat saya bertugas di Puskesmas, berpindah dari satu Puskesmas ke Puskesmas lainnya, di Jawa Barat masalah yang saya hadapi sama: kemiskinan, masalah kebiasaan setem-pat dan tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan pendi-dikan” katanya.

Kemiskinan, kata dia, menyebabkan perempuan hamil tidak melakukan pemeriksaan di awal kehamilan, atau trimester per-tama yakni di minggu ke-12 kehamilan yang sangat penting un-tuk mengetahui apakah ada kelainan pada kehamilannya. Jika kelainan diketahui di awal kehamilan lebih mudah bagi tenaga medis untuk mengatasinya daripada diketahui menjelang kela-hiran. “Mereka kebanyakan tidak datang ke Puskesmas karena tidak memiliki uang, walaupun biaya di Puskesmas sangat mu-rah, bahkan gratis, namun biaya transportasinya tidak bisa gra-tis,” tuturnya.

(21)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

nya masih terlalu berat, sedangkan Regional Timur sangat berat. Mana yang harus didahulukan penanganannya? “Yang dipilih untuk diprioritaskan penanganannya adalah yang korbannya banyak, yaitu di Pulau Jawa, karena jika kematian ibu dan bayi di Jawa turun maka dampaknya akan menurunkan angka kematian ibu dan anak secara nasional,” katanya. Ini memang soal angka. Jika ibu-ibu dan bayi di wilayah Indonesia bagian timur tidak menjadi prioritas untuk diselamatkan, semata-mata hanya un-tuk mengejar agar angka kematian ibu dan bayi bisa memenuhi target MDGs.

Seorang dokter senior yang lama bertugas di lapangan, dan kini bekerja di Kemenkes. Ia tak bersedia dikutip namanya dan menuturkan bahwa sangat sulit menekan angka kematiann ibu dan bayi. “Itu pekerjaaan yang sulit. Selama puluhan tahun, sejak saya menjadi dokter muda di Puskesmas di sebuah kabu-paten di Jawa Barat, awal 1980, angka kematian ibu dan anak tidak beranjak turun. Mengapa? Faktor penyebabnya banyak. Di pedesaan tempat saya bertugas di Puskesmas, berpindah dari satu Puskesmas ke Puskesmas lainnya, di Jawa Barat masalah yang saya hadapi sama: kemiskinan, masalah kebiasaan setem-pat dan tingkat pengetahuan yang berhubungan dengan pendi-dikan” katanya.

Kemiskinan, kata dia, menyebabkan perempuan hamil tidak melakukan pemeriksaan di awal kehamilan, atau trimester per-tama yakni di minggu ke-12 kehamilan yang sangat penting un-tuk mengetahui apakah ada kelainan pada kehamilannya. Jika kelainan diketahui di awal kehamilan lebih mudah bagi tenaga medis untuk mengatasinya daripada diketahui menjelang kela-hiran. “Mereka kebanyakan tidak datang ke Puskesmas karena tidak memiliki uang, walaupun biaya di Puskesmas sangat mu-rah, bahkan gratis, namun biaya transportasinya tidak bisa gra-tis,” tuturnya.

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

Tingkat pengetahuan yang rendah tentang kesehatan menye-babkan keluarga-keluarga tidak menganggap bahwa memerik-sakan kehamilan adalah sesuatu yang penting agar kandungan-nya sehat. Bagi mereka, hamil adalah hal yang alamiah sehingga masalah-masalah kehamilan akan selesai dengan sendirinya se-cara alamiah. “Padahal tidak demikian. Masalah ini tidak hanya terjadi di desa-desa yang jauh dari kota, namun juga terjadi di daerah seperti Kota Bekasi yang tidak begitu jauh dari ibukota, Jakarta. Ketika saya menjadi dokter Puskesmas di sana, ham-batan tidak hanya masalah kemiskinan, tradisi setempat, namun juga tiadanya niat pemerintah daerah untuk mengatasi masalah ini,” tambahnya.

Menurut pengamatan sumber ini, sejumlah kebijakan peme-rintah pusat maupun daerah tentang kesehatan seringkali juga menghambat pekerjaan para tenaga medis di lapangan dan para kader kesehatan di Puskesmas-Puskesmas. “Seringkali kebijak-an ykebijak-ang dibuat dengkebijak-an kalimat-kalimat indah, tidak bisa diim-plementasikan di lapangan,” katanya.

Vivi Yulaswati, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas memberi evaluasi ringkas mengapa kita tidak bisa mencapai target MDGs dalam hal menurunkan angka kematian ibu. “Umumnya penyebabnya adalah penanganan tiga terlambat: terlambat membawa ke fasilitas kesehatan, terlambat mendiagnosa atau merujuk, dan terlambat penanganan di fasili-tas kesehatan,” katanya.

Penyebab utama tiga terlambat ini antara lain karena per-masalahan klinis, dengan banyaknya kasus seperti perdarahan (20,4%), eklampsi (16,2%), hipertensi (9,2%) dan aborsi (4,1%). Penyebab lainnya karena fasilitas kesehatan, ditunjukkan pada kurang memadainya tempat persalinan (63,2%) dan tidak terse-dianya rumah tenaga medis dan non fasilitas kesehatan lainnya. Hal ini ditambah lagi sulitnya akses wilayah sehingga kunjungan

(22)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

kehamilan, pertolongan kehamilan, dan kunjungan nifas tidak berjalan, terutama di daerah-daerah terisolir. Lalu permasalahan administrasi dan sumber daya manusia seperti rendahnya kapa-sitas petugas kesehatan, kurangnya pelatihan, kurangnya per-alatan pendukung, gaji yang sering terlambat atau dirapel enam bulan sekali, insentif yang tidak memadai, masalah keamanan, dan lain sebagainya. “Belum lagi penyebab non-kesehatan, se-perti budaya sese-perti tidak mau diperiksa tenaga medis laki-laki, faktor tetua adat seperti lebih percaya berobat ke dukun, tingkat pendidikan, biaya, dan lain sebagainya memperburuk keadaan,” kata Vivi Yulaswati.

Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI un-tuk MDGs, menambahkan faktor penyebab kematian ibu mela-hirkan yakni Otonomi Daerah. Menurutnya, Otonomi Daerah bagus, tapi bila pengetahuan mengenai MDGs tidak merata ke semua daerah, ketika pemerintah daerah menentukan anggaran, tidak akan memprioritaskan hal-hal yang menjadi perhatian MDGs di daerahnya. “Saya yakin itu bukan sesuatu yang di-sen-gaja tapi itu hanya lack of information dan lack of knowledge pemda atau kepala pemdanya. Ini yang harus diperbaiki. Jadi untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak penting pem-berdayaan pemerintah daerah supaya berdaya, memiliki peng-etahuan untuk bisa memprioritaskan hal-hal seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang tepat,” katanya

Ahmad Syafi q peneliti dan pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia berpendapat lain. Penyebab utama terjadinya kematian ibu dan anak di Indonesia karena kekurangan gizi. Pada ibu, kekurangan gizi yang berhubung-an dengan kematiannya adalah kurang energi kronik (KEK) dan ane-mia, kekurangan zat gizi besi. Sedangkan pada anak kekurangan gizi penyebab kematiannya terutama kurang energi dan protein (KEP). “Juga kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A dan

(23)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

kehamilan, pertolongan kehamilan, dan kunjungan nifas tidak berjalan, terutama di daerah-daerah terisolir. Lalu permasalahan administrasi dan sumber daya manusia seperti rendahnya kapa-sitas petugas kesehatan, kurangnya pelatihan, kurangnya per-alatan pendukung, gaji yang sering terlambat atau dirapel enam bulan sekali, insentif yang tidak memadai, masalah keamanan, dan lain sebagainya. “Belum lagi penyebab non-kesehatan, se-perti budaya sese-perti tidak mau diperiksa tenaga medis laki-laki, faktor tetua adat seperti lebih percaya berobat ke dukun, tingkat pendidikan, biaya, dan lain sebagainya memperburuk keadaan,” kata Vivi Yulaswati.

Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI un-tuk MDGs, menambahkan faktor penyebab kematian ibu mela-hirkan yakni Otonomi Daerah. Menurutnya, Otonomi Daerah bagus, tapi bila pengetahuan mengenai MDGs tidak merata ke semua daerah, ketika pemerintah daerah menentukan anggaran, tidak akan memprioritaskan hal-hal yang menjadi perhatian MDGs di daerahnya. “Saya yakin itu bukan sesuatu yang di-sen-gaja tapi itu hanya lack of information dan lack of knowledge pemda atau kepala pemdanya. Ini yang harus diperbaiki. Jadi untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak penting pem-berdayaan pemerintah daerah supaya berdaya, memiliki peng-etahuan untuk bisa memprioritaskan hal-hal seperti kesehatan, pendidikan dan infrastruktur yang tepat,” katanya

Ahmad Syafi q peneliti dan pengajar Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia berpendapat lain. Penyebab utama terjadinya kematian ibu dan anak di Indonesia karena kekurangan gizi. Pada ibu, kekurangan gizi yang berhubung-an dengan kematiannya adalah kurang energi kronik (KEK) dan ane-mia, kekurangan zat gizi besi. Sedangkan pada anak kekurangan gizi penyebab kematiannya terutama kurang energi dan protein (KEP). “Juga kekurangan zat gizi mikro seperti vitamin A dan

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

mineral yang berhubungan dengan sistem imun seperti mineral metalik seperti zinc dan zat besi,” kata Ahmad Syafi q.

Menurutnya pemerintah sudah meluncurkan beberapa pro-gram untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak. Misalnya program gizi rutin melalui program suplemen-tasi zat besi bagi ibu hamil, suplemensuplemen-tasi vitamin A, iodium, penimbangan berat badan, suplementasi makanan tambahan melalui pos pelayanan terpadu (Posyandu), program pemberian makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS), program Desa Siaga, Program Keluarga Harapan, Gerakan Keluarga Sadar Gizi, dan Program Seribu Hari Pertama Kehidupan. Namun, menu-rutnya organsiasi non-pemerintah belum banyak yang tertarik mengatasi masalah gizi, beberapa mulai mencoba dengan mel-akukan analisis situasi masalah gizi dan mencoba beberapa pen-dekatan misalnya Plan Indonesia dan juga beberapa LSM lain yang menggunakan pendekatan positive deviance.

Menurut Ahmad Syafi q, beberapa program dan kebijakan su-dah dilaksanakan pemerintah, namun menurutnya ada persoalan mendasar mengapa kematian dan kesehatan ibu dan anak belum juga dapat diatasi secara tuntas, yakni kesungguhan pemerintah belum optimal. “Kebijakan pemerintah selalu merupakan kebi-jakan dan program bersifat top-down, parsial, non-partisipatif, dan short-cut,” katanya.

Untuk mengatasi tingginya angka kematian ibu dan bayi, menurut Vivi Yulaswati pemerintah telah melakukan banyak hal seperti perbaikan fasilitas, dan alat kesehatan, penyediaan tena-ga kesehatan, peningkatan fasilitas rumah sakit dan puskesmas, menggalakkan lagi program KB dan peningkatan gizi, dan koor-dinasi tingkat kabupaten dan kota seperti penyediaan tenaga kesehatan dan alat kesehatan, fasilitas pelayanan sesuai standar. “Pemerintah juga gencar melakukan pemberdayaan masyarakat untuk promosi kesehatan, peningkatan komunikasi, informasi

(24)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

dan edukasi di tingkat provinsi dan kabupaten dan kota, serta penguatan local wisdom yang mendukung kesehatan ibu dan anak, penguatan Posyandu dan Desa Siaga Aktif,” jelasnya.

P

encapaian target-target MDGs terhambat oleh banyak sebab. Salah satunya adalah Otonomi Daerah. Para kepala daerah dan jajaran di bawahnya, tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang MDGs. Berikut ini merupakan catatan implementasi MDGs dari Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs:

Bagaimana evaluasi Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs dalam hal pencapaian tujuan MDGs terutama untuk ke-matian ibu melahirkan dan keke-matian bayi?

Kalau kita bicara MDGs ada delapan goals, kecenderungan kita adalah melihatnya satu persatu, padahal kedelapannya

in-terconected. Tidak mungkin satu goal bisa dicapai jika goal-goal

lainnya tidak tercapai. Kita ingin menurunkan angka kematian ibu tapi yang disasar hanya kaum ibu saja, dikasih obat, dikasih persalinan gratis, kontrasepsi gratis, supaya ibu bisa mengatur jarak kehamilan.

Tapi kita lupa bahwa ada kaitan antara, seorang ibu sebelum hamil dengan misanya keadaan gizinya. Ibu bersangkutan ni-kah muda tidak, kalau dia nini-kah muda jarak antara kehamilan satu dan lainnya berapa lama. Berapa sebenarnya usia ideal utuk menikah. Pertanyaan-pertanyaan ini kaitannya dengan populasi, gizi sebagai seorang ibu muda. Kalau waktu muda gizinya kurang bagus, bisa terkena anemi dan ketika hamil risikonya mening-kat, bisa perdarahan dan meninggal saat melahirkan. Ibu yang tinggal di Jakarta, punya uang dan ke dokter swasta, berapapun biayanya bisa bayar.

“Otonomi Daerah adalah Salah Satu Kendala Pencapaian MDGs”

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

Bagaimana dengan ibu hamil yang harus menempuh jarak yang jauh ke Puskesmas terdekat, naik turun gunung? Lalu, sampai Puskesmas tidak ada dokternya? Diberi obat dan per-salinan gratis juga tidak akan menolong memperkecil risiko ibu itu. Ini sudah terkait dengan infrastruktur, soal jarak tempuh ke Puskesmas terdekat dan ketiadaan tenaga medis. Kaitannya banyak, ada infrastruktur, ada gizi dan lain-lain. Kalau seorang perempuan hamil, dia akan berfi kir minum vitamin, kalau uang terbatas dia akan berfi kir minimal berapa kali harus ketemu dok-ter, makanan apa yang seharusnya dimakan. Untuk berfi kir se-perti ini, seseorang membutuhkan edukasi. Ini kaitannya dengan MDGs yang ke-2. Bukan hanya sekolah formal, misalnya seorang pekerja rumah tangga dia sekolah formalnya minim, tadi tere-dukasi soal akses informasi, dia jadi tahu, bagaimana merawat anak majikannya dengan benar, itu artinya dia teredukasi. Ada tantangan tentang edukasi, edukasi juga bukan hanya sekolah formal tapi juga pendidikan. Pendidikan non-formal, ibu-ibu di pengajian bisa mendapatkan pengetahuan itu. Kita bicara pen-didikan, infrastruktur, fasiltas (sarana dan prasarana).

Masalahnya kait mengkait, tadi gizi, terus kemampuan ekono-mi. Kalau seseorang punya kemampuan ekonomi, aksesnya be-sar, dia bisa mempersiapkan dirinya. Rumah jauh dari Puskes-mas, dari petugas kesehatan profesional yang bisa membantu, jadi harus mondok dulu di kota kabupaten. Ini yang membutuh-kan uang. Kalau harus operasi cesar karena komplikasi, butuh kemandirian ekonomi. Jadi kita sudah bicara MDGs 1, 2, 5, 7, kita sudah lihat kaitannya.

Apa penyumbang terbesar kematian ibu melahirkan?

Penyumbang kematian ibu terbesar adalah perdarahan. Per-darahan sebabnya banyak, penyebab terbesar penPer-darahan ada-lah amenia, penyebab terbesar amenia adaada-lah kurang gizi. Kon-tribusi culture mungkin besar tapi tidak sebesar perdarahan itu. Bahayanya adalah, kalau ibu hamil ditolong dukun kemudian terjadi komplikasi dan perdarahan, dukun itu tidak bisa

(25)

meno-Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

Bagaimana dengan ibu hamil yang harus menempuh jarak yang jauh ke Puskesmas terdekat, naik turun gunung? Lalu, sampai Puskesmas tidak ada dokternya? Diberi obat dan per-salinan gratis juga tidak akan menolong memperkecil risiko ibu itu. Ini sudah terkait dengan infrastruktur, soal jarak tempuh ke Puskesmas terdekat dan ketiadaan tenaga medis. Kaitannya banyak, ada infrastruktur, ada gizi dan lain-lain. Kalau seorang perempuan hamil, dia akan berfi kir minum vitamin, kalau uang terbatas dia akan berfi kir minimal berapa kali harus ketemu dok-ter, makanan apa yang seharusnya dimakan. Untuk berfi kir se-perti ini, seseorang membutuhkan edukasi. Ini kaitannya dengan MDGs yang ke-2. Bukan hanya sekolah formal, misalnya seorang pekerja rumah tangga dia sekolah formalnya minim, tadi tere-dukasi soal akses informasi, dia jadi tahu, bagaimana merawat anak majikannya dengan benar, itu artinya dia teredukasi. Ada tantangan tentang edukasi, edukasi juga bukan hanya sekolah formal tapi juga pendidikan. Pendidikan non-formal, ibu-ibu di pengajian bisa mendapatkan pengetahuan itu. Kita bicara pen-didikan, infrastruktur, fasiltas (sarana dan prasarana).

Masalahnya kait mengkait, tadi gizi, terus kemampuan ekono-mi. Kalau seseorang punya kemampuan ekonomi, aksesnya be-sar, dia bisa mempersiapkan dirinya. Rumah jauh dari Puskes-mas, dari petugas kesehatan profesional yang bisa membantu, jadi harus mondok dulu di kota kabupaten. Ini yang membutuh-kan uang. Kalau harus operasi cesar karena komplikasi, butuh kemandirian ekonomi. Jadi kita sudah bicara MDGs 1, 2, 5, 7, kita sudah lihat kaitannya.

Apa penyumbang terbesar kematian ibu melahirkan?

Penyumbang kematian ibu terbesar adalah perdarahan. Per-darahan sebabnya banyak, penyebab terbesar penPer-darahan ada-lah amenia, penyebab terbesar amenia adaada-lah kurang gizi. Kon-tribusi culture mungkin besar tapi tidak sebesar perdarahan itu. Bahayanya adalah, kalau ibu hamil ditolong dukun kemudian terjadi komplikasi dan perdarahan, dukun itu tidak bisa

(26)

meno-Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

long menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan.

Oleh karena itu tidak boleh ada persalinan yang ditolong oleh tenaga non medis, karena tidak bisa mengatasi komplikasi.

Cul-ture lokal melahirkan tidak kita inginkan untuk dihilangkan,

mereka punya hak asasi untuk mempertahankan culture-nya itu. Namun yang seharusnya adalah bagaimana tenaga ahli profe-sional bisa mendekati para dukun bayi di masyarakat adat dan diberi pelatihan, diberitahu ke mana dia harus bertindak dengan merujuk ke lembaga-lembaga kesehatan. Kapan tanda-tanda ibu akan melahirkan. Misalnya seorang dukun bayi tahu bayi dalam kandungan posisinya melintang atau sungsang. Jangan ditolong sendiri, jangan diurut dan lain-lain, tapi dirujuk. Pengetahuan itu yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berada di ranah

culture ini.

Kita seharusnya jangan meniadakan peran mereka, kecuali kita sudah bisa menugaskan bidang yang kompeten, tapi bila be-lum siap yang bisa dimintai tolong oleh masyarakat. Maternal

instinc, setiap ibu yang melahirkan ingin tetap hidup agar bisa

merawat anaknya. Maka harus didorong kepada mereka agar tetap hidup di sinilah seharusnya melahirkan. Cara begini mem-bahayakan nyawa. Harus ada yang mendampingi para dukun ini. Kita tidak boleh bilang, tidak boleh melahirkan dengan cara sep-erti itu. Dan memberi edukasi terus-menerus kepada para dukun ini. Itu yang mesti dilakukan.

Kalau kita bicara statistik yang meninggal karena melahirkan dengan cara adat itu tidak memiliki kontribusi sebesar yang men-inggal karena perdarahan, karena kurang gizi, karena terlambat datang ke rumah sakit. Cuma harus dilihat lebih jauh perdarah-annya karena apa dan pada waktu perdarahan dia ada di mana. Dia terlambat karena apa, karena keluarganya berembuk dulu apakah harus dibawa ke rumah sakit atau ke dukun. Terlambat ke rumah sakit karena apa. Setiap angka pasti ada maknanya. MDGs itu targetnya kuantitatif, angka. Selama angkanya bagus, ya bagus. Tapi di balik angka itu kan ada manusianya. Tidak bisa hanya dilihat angkanya harus dilihat reason-nya, dan apakah

(27)

be-Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

long menyelamatkan nyawa ibu yang melahirkan.

Oleh karena itu tidak boleh ada persalinan yang ditolong oleh tenaga non medis, karena tidak bisa mengatasi komplikasi.

Cul-ture lokal melahirkan tidak kita inginkan untuk dihilangkan,

mereka punya hak asasi untuk mempertahankan culture-nya itu. Namun yang seharusnya adalah bagaimana tenaga ahli profe-sional bisa mendekati para dukun bayi di masyarakat adat dan diberi pelatihan, diberitahu ke mana dia harus bertindak dengan merujuk ke lembaga-lembaga kesehatan. Kapan tanda-tanda ibu akan melahirkan. Misalnya seorang dukun bayi tahu bayi dalam kandungan posisinya melintang atau sungsang. Jangan ditolong sendiri, jangan diurut dan lain-lain, tapi dirujuk. Pengetahuan itu yang seharusnya dimiliki oleh orang yang berada di ranah

culture ini.

Kita seharusnya jangan meniadakan peran mereka, kecuali kita sudah bisa menugaskan bidang yang kompeten, tapi bila be-lum siap yang bisa dimintai tolong oleh masyarakat. Maternal

instinc, setiap ibu yang melahirkan ingin tetap hidup agar bisa

merawat anaknya. Maka harus didorong kepada mereka agar tetap hidup di sinilah seharusnya melahirkan. Cara begini mem-bahayakan nyawa. Harus ada yang mendampingi para dukun ini. Kita tidak boleh bilang, tidak boleh melahirkan dengan cara sep-erti itu. Dan memberi edukasi terus-menerus kepada para dukun ini. Itu yang mesti dilakukan.

Kalau kita bicara statistik yang meninggal karena melahirkan dengan cara adat itu tidak memiliki kontribusi sebesar yang men-inggal karena perdarahan, karena kurang gizi, karena terlambat datang ke rumah sakit. Cuma harus dilihat lebih jauh perdarah-annya karena apa dan pada waktu perdarahan dia ada di mana. Dia terlambat karena apa, karena keluarganya berembuk dulu apakah harus dibawa ke rumah sakit atau ke dukun. Terlambat ke rumah sakit karena apa. Setiap angka pasti ada maknanya. MDGs itu targetnya kuantitatif, angka. Selama angkanya bagus, ya bagus. Tapi di balik angka itu kan ada manusianya. Tidak bisa hanya dilihat angkanya harus dilihat reason-nya, dan apakah

be-Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

nar angka sebesar itu?

Jadi untuk menekan angka kematian ibu melahirkan dan ke-matian bayi, semua goal harus dicapai?

Kalau ditanya apa upaya pemerintah untuk menurunkan ang-ka kematian ibu dan bayi, berarti harus ada upaya pembuatan infrastruktur, jalan harus dibuat dan diperbaiki untuk akses ken-daraan bermotor roda empat, pendidikan bukan hanya formal, mendorong sebanyak mungkin orang ke sekolah tapi juga men-dorong pendidikan non formal, pendidikan anak usia dini, policy yang mendukung itu semua. Banyak sekali policy sudah diterbit-kan, misalnya Jampersal (Jaminan Persalinan) untuk persalinan gratis.

Ibu-ibu yang tidak mampu bisa menggunakan Jampersal. Sekarang sudah banyak pendidikan non-formal untuk economic

empowerment perempuan, ada di Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak, Menkokesra punya PNPM Mandiri untuk mendorong kemandirian ekonomi.

Jadi sebenarnya sudah banyak policy, hanya kendala yang kita hadapi adalah kendala geografi s. Beragam sekali kondisi geografi snya, sulit. Kedua adalah kendala populasi yang me-mang sangat besar jumlahnya. Jadi sudah fokus ke satu tempat, hasilnya tidak kelihatan juga. Kendala lainnya adalah Otonomi Daerah.

Otonomi Daerah bagus, tapi bila pengetahuan mengenai MDGs tidak merata ke semua daerah, ketika pemerintah daerah menentukan anggaran maka mereka tidak memprioritaskan hal-hal yang menjadi perhatian MDGs di daerahnya. Saya yakin itu bukan sesuatu yang disengaja tapi itu hanya lack of information dan lack of knowledge pemda atau kepala daerahnya. Ini yang harus diperbaiki. Jadi pemberdayaan pemerintah daerah pent-ing supaya pemdanya berdaya, memiliki pengetahuan untuk bisa prioritaskan hal-hal seperti kesehatan, pendidikan dan infra-struktur yang tepat untuk pembangunan.

(28)

ke-Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

matian ibu dan anak, angka HIV-nya tinggi, kan tidak ada re-levansinya. Ini bisa dibilang otonomi daerah menjadi kendala. Pemerintah pusat tidak bisa lagi mencampuri kebijakan pem-bangunan pemerintah daerah, tidak bisa melarang pemda mem-bangun mall. Pemerintah Pusat sekarang hanya memfasilitas-inya. Prioritasnya ada di policy pemda sendiri.

Jadi sebenarnya ujung tombak pencapaian target MDGs ada di tangan pemerintah daerah namun di pihak lain, banyak pemerintah daerah tidak memahami MDGs?

MDGs harus dibuat sebagai alat agar menyatukan visi dan persepsi semua daerah, sebagai guideline untuk prioritas pem-bangunan. Harus ada edukasi untuk pemerintah daerah untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan apakah seorang perempuan bisa mengakses informasi Puskesmas atau tidak, dekat kaitan-nya apakah dia menikah terlalu muda, dan pukaitan-nya anak terlalu sering.

Pemerintah pusat harus membuat perencanaan keluarga, perencanaan populasi, kalau populasi demikian besar, maka akan banyak ibu dan anak yang meninggal. Presiden SBY ada-lah presiden yang paling banyak anaknya, 4,5 hingga 5 juta anak per tahun dikalikan 8 tahun jadi presiden. Sekarang ini kita menikmati bonus demografi karena keberhasilan KB Orde Baru. Jika tidak maka populasi kita bisa lebih banyak lagi. Tiga ken-dala tadi semuanya kenken-dala utama, ditambah satu lagi, sistem anggaran yang mendukungnya. Karena itu berkaitan erat den-gan apa yang dilaksanakan daerah di pembangunan daerahnya. Dulu pembangunan sentralisasi, sekarang desentralisasi. Daerah harus menentukan dari kerangka pembangunan nasional, dae-rah maunya apa.

Sehubungan dengan MDGs, Bappenas menyusun rencana aksi daerah. Ini bagus sekali karena memaksa daerah untuk mem-prioritaskan pembangunan daerah secara seragam, jadi Pemda

(29)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

matian ibu dan anak, angka HIV-nya tinggi, kan tidak ada re-levansinya. Ini bisa dibilang otonomi daerah menjadi kendala. Pemerintah pusat tidak bisa lagi mencampuri kebijakan pem-bangunan pemerintah daerah, tidak bisa melarang pemda mem-bangun mall. Pemerintah Pusat sekarang hanya memfasilitas-inya. Prioritasnya ada di policy pemda sendiri.

Jadi sebenarnya ujung tombak pencapaian target MDGs ada di tangan pemerintah daerah namun di pihak lain, banyak pemerintah daerah tidak memahami MDGs?

MDGs harus dibuat sebagai alat agar menyatukan visi dan persepsi semua daerah, sebagai guideline untuk prioritas pem-bangunan. Harus ada edukasi untuk pemerintah daerah untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Kematian ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan apakah seorang perempuan bisa mengakses informasi Puskesmas atau tidak, dekat kaitan-nya apakah dia menikah terlalu muda, dan pukaitan-nya anak terlalu sering.

Pemerintah pusat harus membuat perencanaan keluarga, perencanaan populasi, kalau populasi demikian besar, maka akan banyak ibu dan anak yang meninggal. Presiden SBY ada-lah presiden yang paling banyak anaknya, 4,5 hingga 5 juta anak per tahun dikalikan 8 tahun jadi presiden. Sekarang ini kita menikmati bonus demografi karena keberhasilan KB Orde Baru. Jika tidak maka populasi kita bisa lebih banyak lagi. Tiga ken-dala tadi semuanya kenken-dala utama, ditambah satu lagi, sistem anggaran yang mendukungnya. Karena itu berkaitan erat den-gan apa yang dilaksanakan daerah di pembangunan daerahnya. Dulu pembangunan sentralisasi, sekarang desentralisasi. Daerah harus menentukan dari kerangka pembangunan nasional, dae-rah maunya apa.

Sehubungan dengan MDGs, Bappenas menyusun rencana aksi daerah. Ini bagus sekali karena memaksa daerah untuk mem-prioritaskan pembangunan daerah secara seragam, jadi Pemda

Tiga Tujuan yang Tidak Tercapai

tahu prioritasnya apa. Tapi harus dilihat lebih jauh, rencana aksi ini pelaksanaannya bagaimana. Kalau hanya di atas kertas tapi operasionalisasinya mengikuti itu percuma saja. MDGs mung-kin kelihatan simpel, tapi sebenarnya akan benar-benar simpel jika kita melihatnya secara holistik. Tidak melihatnya per kotak-kotak. Sudah diberi vitamin, obat, kok ibunya mati terus ya? Seolah-olah menggarami air laut. Kita lupa bahwa harus dibawa ke hulu: lihat populasinya bagaimana, tingkat edukasinya seperti apa, infrastruktur agar ibu bisa mengakses ke pelayanan keseha-tan bagaimana, kualitas pelayanan kesehakeseha-tan bagaimana? Lalu, anggaran Pemda menunjang tidak? Kita harus menganalisa ini secara kritis. Tidak bisa hanya bisa melihat angka kematian ibu melahirkan dan kematian anak tinggi.

Soal MDGs dibandingkan negara-negara lain cukup baik pen-capaiannya. Namun di setiap angka ada manusianya. Kita punya amanah, agar tidak ada satu ibu pun yang meninggal saat mela-hirkan dan tidak ada satu bayipun mati saat dilamela-hirkan. Setiap orang harus punya akses air bersih secara berkelanjutan. MDGs menurut saya beyond numbers, soal kemanusiaan. Kalau ditan-ya angka kami terus berusaha, ditan-yang penting orang tidak boleh tidak bersekolah, orang tidak boleh tidak mampu beli beras.

Bagaimana dengan Agenda Pembangunan Post 2015?

Target-target MDGs tidak bisa disamaratakan untuk semua negara. Target harus ditentukan oleh negara itu sendiri. Jadi ada

global goals, orang tidak boleh lapar, ibu melahirkan tidak boleh

meninggal tapi berapa angkanya kita sendiri yang harus menen-tukan. Seperti kerangka pembangunan Post 2015, Global Goals National Targets. Nasional yang menentukan sendiri target-targetnya dengan begitu tidak ada generalisasi. Kalau digene-ralisasi rasanya kita jelek sekali. Padahal kita sudah berusaha. Kalau kita hanya mengejar aspek kuantiatifnya kita lupa aspek kualitatifnya.

(30)
(31)

A

ngka itu akhirnya diumumkan setelah lama disimpan, yakni: 359 per 100 ribu kelahiran hidup. Ini angka kema-tian ibu melahirkan. Angka ini lama tidak diumumkan karena hasilnya mengejutkan. Pada 28 September 2013, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mengumumkan angka kema-tian ibu melahirkan menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2012. Sebelumnya, Kementerian Kese-hatan (Kemenkes) menolak hasil survei ini, metodenya dianggap salah. Ang-ka ini naik hampir 40% dari angka SDKI 2007. SDKI dilakukan setiap lima tahun sekali. Angka kematian ibu melahir-kan 359 per 100 ribu kelahiran hidup ini sangat mengkawatir-kan. Ini berarti dalam satu jam, tiga hingga empat ibu meninggal karena melahirkan. Sehari ada 72 hingga 96 kematian, sebulan 2.160 hingga 5.760 dan setahun 25.000 hingga 34.560 ibu men-inggal karena melahirkan. MDGs mentargetkan angka kematian ibu melahirkan 102 per 100 ribu kelahiran hidup. Artinya, angka

Kementerian Kesehatan menyembunyikan angka kematian ibu melahirkan baik angka hasil Sensus 2010 maupun hasil SDKI 2012.

Misteri Angka Kematian Ibu Melahirkan

(32)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

kematian ibu melahirkan ini lebih dari 300% dari target MDGs. Kemenkes menghadapi tekanan dari dalam dan luar negeri untuk segera mengumumkan angka ini. Tapi tekanan-tekanan itu tidak membuat Kemenkes ini goyah.

Sampai, Fasli Jalal, Kepala BKKBN, 19 Agustus 2013, di depan acara BKKBN, mengumumkan angka tersebut. “Angka kema-tian ibu di Indonesia mengalami kenaikan dari 228 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2007, menjadi 359 per 100 ribu kelahiran hidup pada 2012 menurut SDKI 2012. Dengan adanya fakta ter-baru ini, walhasil upaya Indonesia untuk mencapai target pe-nurunan angka kematian berdasarkan Millenium Development Goals semakin mustahil untuk dicapai,” tegasnya.

Setelah pengumuman Fasli Jalal ini, Menkokesra, Agung Lak-sono, mengumumkan angka itu, 28 September 2013. Ia meng-atakan, “Terhadap penolakan hasil survei tersebut agar semua instansi pemerintah dapat menerima hasil pendataan SDKI 2012. Semua instansi harus menerima fakta bahwa memang ada lonjakan angka kematian ibu melahirkan yang cukup tinggi,” kata Agung Laksono.

Menurutnya, sangat masuk akal jika SDKI 2012 mencatat ra-ta-rata angka kematian ibu melahirkan melonjak. Itu antara lain kata Agung Laksono, karena sejumlah program terobosan untuk menekan kematian ibu melahirkan seperti Jaminan Persalinan (Jampersal) diakui kurang berhasil. “Selain itu sejak otonomi daerah, dukungan pemerintah daerah pada program KB jauh menurun,” kata Agung.

Kemenkes, mau tidak mau harus menerima angka tersebut sebagai sebuah kegagalan. Namun, Nafsiah Mboi, Menteri Ke-sehatan bisa sedikit lega, karena angka kematian ibu melahirkan hasil Sensus 2010 yang juga sampai sekarang belum diumum-kan, menurut bocoran dari Fasli Jalal, angkanya 259 per 100 ribu kelahiran hidup atau 100 poin lebih rendah dari hasil SDKI

(33)

Misteri Angka Kemati an Ibu Melahirkan

2012. Angka kematian ibu melahirkan di Sensus 2010 juga belum diumumkan, ini juga mengherankan. Rachmat Sentika, Staf Ahli Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Bidang Pencapaian MDGs mengatakan angka kematian ibu dalam Sensus 2010 be-lum bisa diketahui karena bebe-lum selesai diolah, datanya masih mentah, walau sudah tiga tahun pengolahannya. “Ini karena konsultan BPS yang mengolah sensus bukan konsultan di Sensus 2000. Mungkin karena konsultan BPS untuk Sensus 2010 dari universitas yang berbeda dengan konsultan Sensus 2000” kata Rahmat Sentika.

Laporan SDKI 2012 sebenarnya sudah dipublikasikan pada Desember 2012, namun laporan yang bisa diunduh di internet, tidak menyajikan angka kematian ibu melahirkan. Angka kema-tian bayi dan balita diumumkan di laporan survei ini, mungkin karena angkanya menurun dan bisa mencapai target MDGs pada 2015. SDKI 2012 dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Be-rencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian Kesehatan. Survei dibiayai oleh Pemerintah Indonesia dan United State Agency for International Development (USAID), badan kerjasama luar ne-geri pemerintah Amerika. Menurut pejabat BKKBN, hasil SKDI 2012 sudah dilaporkan kepada pemerintah akhir 2012, namun khusus untuk angka kematian ibu melahirkan, belum mendapat izin pemerintah untuk diumumkan. Maka, Laporan SDKI 2012 tidak mencantumkan angka kematian ibu melahirkan, hingga angka itu diumumkan oleh Fasli Jalal.

Menurut Fasli Jalal, angka ini belum disepakati pemerintah, namun ia mengumumkan sendiri angka ini agar jajaran BKKBN lebih bekerja keras dan turut memberikan kontribusi dalam pe-nurunan angka kematian ibu dan anak. Pengumuman oleh Fasli Jalal ini mengejutkan. Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi mem-bantah hasil survei itu, padahal Kemenkes juga terlibat dalam

(34)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

survei dimaksud. Nafsiah mempertanyakan metode perhitungan survei itu. Di survei sebelumnya yakni SDKI 2007 angka kema-tian ibu 228 per 100 ribu kelahiran hidup, setelah lima tahun naik menjadi 359 per 100 ribu kelahiran hidup (SDKI 2012). “Ada kemungkinan metode perhitungannya kurang tepat,” kata Nafsiah, karena lonjakan kenaikannya dibanding SDKI sebe-lumnya terlalu jauh.

Untuk sementara waktu, kata Nafsiah hasil SDKI 2012 belum bisa diumumkan ke publik. Tapi, Kepala BKKBN Fasli Jalal su-dah mengumumkannya.

Pada tahun yang sama dilakukannya SDKI, yang menemukan angka kematian ibu melahirkan yang mengejutkan ini, seorang dokter aktivis anti-rokok, Tobacco Control Support, bernama Hakim Sorimuda Pohan mencoba membandingkan angka ke-matian ibu melahirkan dengan angka keke-matian karena merokok. Ia mengatakannya di media dan mencoba mengecilkan angka kematian ibu melahirkan dengan mengatakan begini: “Di Indo-nesia, kematian akibat rokok angkanya mencapai 239 ribu per tahun. Ini lebih besar dibandingkan kematian ibu akibat persali-nan dan nifas, yang sekarang menjadi perhatian pemerintah dan dunia. Angka kematian akibat rokok sangat besar. Sekarang 239 ribu per tahun, tidak ada yang mengalahkan. Kematian ibu aki-bat persalinan dan nifas yang sering digembar-gemborkan, itu tidak seberapa dibandingkan merokok.”

Angka kematian ibu melahirkan tidak seberapa dibanding-kan kematian karena merokok? Pernyataan seperti ini tidak saja tidak metodologis, tidak bertanggungjawab, namun juga tidak adil terhadap ibu yang berjuang mempertahankan hidupnya dan hidup bayinya di seluruh Indonesia. Merokok adalah tindakan yang disengaja oleh seseorang, semua tahu rokok berbahaya bagi kesehatan, pemerintah sudah memberi peringatan bahaya itu, perokok tahu asap rokok membahayakn dirinya, jadi

(35)

kema-Misteri Angka Kemati an Ibu Melahirkan

tian karena merokok adalah tanggungjawab perokok itu sendiri. Tapi, kematian karena melahirkan? Semua ibu tidak ingin mati karena melahirkan, ia ingin hidup untuk merawat dan membe-sarkan anak yang dilahirkannya. Ini semua kesalahan dan tang-gungjawab pemerintah, bukan kesalahan ibu melahirkan. Dalam hal merokok kematian adalah kesalahan dan tanggungjawab perokok sendiri.

Angka kematian ibu melahirkan menurut SDKI 2012 ini lebih besar dari Malaysia yang diperkirakan hanya 25 per 100 ribu kelahiran hidup. Kemenkes sebenarnya memiliki angka yang tidak dipublikasikan. Direktorat Jendral Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) Kementerian Kesehatan, meng-hitung angka kematian ibu. Datanya dikumpulkan dari laporan provinsi-provinsi. Data ini tidak dipublikasikan tapi bisa diakses di www.gizikia.depkes.go.id/data/. Menurut data itu, pada 2012 angka kematian ibu adalah 196,3 per 100 ribu kelahiran hidup. Pada 2011 angkanya 173,8 per 100 ribu kelahiran hidup, pada 2010 adalah 118,61 per 100 ribu kelahiran hidup. Jadi ada ten-densi kenaikan dari tahun ke tahun, namun pada 2012 angkanya berbeda dengan angka SDKI 2012.

Pemerintah Indonesia mengakui tidak mampu memenuhi se-mua target tujuan pembangunan MDGs dan tidak akan menca-pai target seperti yang diminta MDGs. Angka kematian ibu dan anak di Indonesia masih menjadi masalah serius. Menteri Kese-hatan, Nafsiah Mboi, di media massa mengumumkan kegagalan itu dan hingga kini pemerintah terus mendata dan mengkaji cara menekan kematian ibu dan bayi.

Hasil pendataan menjadi bahan evaluasi untuk mempercepat capaian target MDGs, yaitu angka kematian ibu maksimal 102 per 100 ribu kelahiran hidup dan angka kematian bayi 23 per 1000 kelahiran hidup. Data? Benar, data tentang angka kema-tian ibu belum bisa dihitung oleh pemerintah. Dalam midterm

(36)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

review RPJMN Bidang Kesehatan, angka kematian ibu dari 2010

hingga 2012 tidak tersedia. Ini sangat mengejutkan. Bagaimana pemerintah tidak bisa menghitung angka kematian ibu selama tiga tahun? Bagaimana Menteri Kesehatan bisa menyimpulkan bahwa Indonensia tidak mampu memenuhi target MDGs jika data tidak tersedia? Di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hanya ditemukan data kematian bayi pada 2010 yakni mencapai angka 26 per 1000 kelahiran hidup. Ketika ditanyakan lebih lan-jut ke Kementerian Pembangunan Nasional/Bappenas menge-nai ketiadaan data kematian ibu melahirkan antara 2010 hingga 2012.

Vivi Yulaswati, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas, memberi jawaban bahwa kelengkapan data MDGs selalu diperbaiki melalui berbagai survei, baik yang dilakukan BPS maupun pihak lain. Namun, kata dia, updating data-data tersebut tidak dapat dilakukan setiap tahun mengingat biayanya cukup besar untuk diadakan setiap tahun dan secara metodologi membutuhkan waktu untuk mengukurnya meng-ingat kematian ibu melahirkan dan juga angka kematian anak mencakup beberapa indikator atau parameter pendukung lain-nya yang tidak selalu tersedia pada kurun waktu yang sama.

Tapi, Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, mengatakan bahwa angka kematian ibu melahirkan dan anak dihitung Bappenas setiap tahun. Kantor Utusan Khu-sus Presiden RI untuk MDGs, kata Diah S. Saminarsih, merujuk pada angka kematian ibu dan bayi dari Bappenas yang diambil dari BPS, Riset Kesehatan Dasar dan Survei Sosial Ekonomi Na-sional. Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs meng-kritisi dan menilai lebih jauh mencari benar atau tidak angka itu. “Kalau dilihat kondisi sekarang angka-angka yang ada tidak bisa dipakai, karena dari mana-mana menyebutkan angkanya makin tinggi. Pada 2010 angka kematian ibu dirilis dan 2012 angkanya

(37)

Jalan Terjal Menurunkan Angka Kemati an Ibu

review RPJMN Bidang Kesehatan, angka kematian ibu dari 2010

hingga 2012 tidak tersedia. Ini sangat mengejutkan. Bagaimana pemerintah tidak bisa menghitung angka kematian ibu selama tiga tahun? Bagaimana Menteri Kesehatan bisa menyimpulkan bahwa Indonensia tidak mampu memenuhi target MDGs jika data tidak tersedia? Di Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hanya ditemukan data kematian bayi pada 2010 yakni mencapai angka 26 per 1000 kelahiran hidup. Ketika ditanyakan lebih lan-jut ke Kementerian Pembangunan Nasional/Bappenas menge-nai ketiadaan data kematian ibu melahirkan antara 2010 hingga 2012.

Vivi Yulaswati, Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat Bappenas, memberi jawaban bahwa kelengkapan data MDGs selalu diperbaiki melalui berbagai survei, baik yang dilakukan BPS maupun pihak lain. Namun, kata dia, updating data-data tersebut tidak dapat dilakukan setiap tahun mengingat biayanya cukup besar untuk diadakan setiap tahun dan secara metodologi membutuhkan waktu untuk mengukurnya meng-ingat kematian ibu melahirkan dan juga angka kematian anak mencakup beberapa indikator atau parameter pendukung lain-nya yang tidak selalu tersedia pada kurun waktu yang sama.

Tapi, Diah S. Saminarsih, Asisten Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs, mengatakan bahwa angka kematian ibu melahirkan dan anak dihitung Bappenas setiap tahun. Kantor Utusan Khu-sus Presiden RI untuk MDGs, kata Diah S. Saminarsih, merujuk pada angka kematian ibu dan bayi dari Bappenas yang diambil dari BPS, Riset Kesehatan Dasar dan Survei Sosial Ekonomi Na-sional. Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs meng-kritisi dan menilai lebih jauh mencari benar atau tidak angka itu. “Kalau dilihat kondisi sekarang angka-angka yang ada tidak bisa dipakai, karena dari mana-mana menyebutkan angkanya makin tinggi. Pada 2010 angka kematian ibu dirilis dan 2012 angkanya

Misteri Angka Kemati an Ibu Melahirkan

juga dirilis Bappenas, tapi tidak digembar-gemborkan seperti angka tahun 2010,” katanya.

Menurut Rachmat Sentika, bahan dasar data untuk menghi-tung angka kematian ibu juga sulit didapatkan. Angka pemba-ginya 100 ribu, tidak ada kabupaten atau kota yang kelahirannya 100 ribu. Basis penghitungan angka kematian ibu dalam sebuah negara menggunakan data sensus, namun Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010 belum bisa digunakan karena para kon-sultan ahli yang sedang menghitung itu sampai hari ini belum bisa menyelesaikannya. Itu sebabnya angka kematian ibu untuk 2010, 2011 dan 2012 belum bisa dipublikasikan.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara meningkatkan minat dan hasil belajar ini dengan penggunaan media dalam pembelajaran yang mengakibatkan siswa mudah memahami dan hasil belajar siswa

Atur kontrol resistor 10 putaran sehingga meter kumpatan putar membaca kira-kira nol, kemudian atur kontrol "coarse" ke 100 dan atur resistor 10 putaran sehingga

Kinerja keuangan adalah gambaran setiap hasil ekonomi yang mampu di raih oleh perusahaan perbankan pada periode tertentu melalui aktivitas-aktivitas perusahaan

1. Teori proselitisasi ; teori ini akan digunakan dalam menganalisis bagaimana kegiatan penyebaran Islam di Nusantara. Dengan berpatokan pada teori Snouck Hurgronje

Keterampilan ini dapat dilakukan dengan baik oleh anak karena otot-otot yang digunakan untuk gerakan tersebut sudah cukup matang hingga siap digunakan untuk belajar duduk pada

dalam dupliknya Penggugat menyatakan oleh karena yang diputus Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri Jakarta Timur belum menyangkut pokok perkara maka Penggugat

Bahasa ibarat sebuah benda yang jika tidak dirawat dengan baik akan rusak, bahkan hancur. Bahasa Sunda sebagai bahasa alamiah yang memiliki fungsi referensial dan komunikasi

Penerapan Desain Arsitektur Tropis dalam Komplek Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan..