• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu diantara 22 jenis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu diantara 22 jenis"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kakao

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu diantara 22 jenis marga Theobroma yang berasal dari suku Sterculiaceae. Tanaman kakao berasal dari hutan tropis di Amerika Tengah kemudian menyebar ke seluruh dunia mulai abad 15 (Baon & Wardani, 2010). Di Indonesia, kakao dikenalkan oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di daerah Sulawesi Utara (Baon & Wardani, 2010; Siregar et al., 2010) dan mulai menyebar ke seluruh wilayah di Indonesia pada tahun 1970an (Baon & Wardani, 2010; Siregar et al., 2010; Rahayu, 2013). Pada saat ini, Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar kedua di dunia di bawah Côte d'Ivoire dengan total produksi mencapai lebih dari 400 ribu ton per tahun dengan total devisa yang dihasilkan mencapai lebih dari US $ 1,2 milyard (FAO, 2014).

2.1.1 Morfologi Kakao

Tanaman kakao berbentuk pohon dengan tinggi sekitar 3,0- 8,0 meter (van Steenis et al., 2008). Batang kakao mengandung lignin dan memiliki bentuk bulat (Tjitrosoepomo, 1992). Batang kakao memiliki 2 percabangan yaitu cabang yang tumbuh ke atas (ortotrop) dan cabang yang tumbuh ke samping (plagiotrop) sehingga bersifat dimorfisme (Karmawati et al., 2010). Tanaman kakao pada percabangan ortotrop memiliki tangkai daun lebih panjang dengan jumlah daun lebih dari 15 lembar sedangkan pada percabangan plagiotrop memiliki tangkai

(2)

daun yang lebih pendek dengan jumlah daun sekitar 3- 8 lembar (Prawoto & Winarsih, 2010).

Tanaman kakao memiliki bentuk helaian daun yang bulat telur terbalik memanjang (obovatus) dengan panjang mencapai 10- 48 cm dan lebar mencapai 3- 20 cm (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Pangkal daun runcing (acutus), tangkai daun 1-3 cm dan ujung daun meruncing (acuminatus) (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Daun kakao memiliki susunan tulang daun yang menyirip dan menonjol ke bawah permukaan helai daun (van Steenis et al., 2008; Prawoto & Winarsih, 2010).

Tanaman kakao berbunga pada umur 3 tahun (Rahardjo, 2011). Pada umur 4-5 tahun, tanaman kakao memproduksi bunga paling banyak. Tanaman kakao mampu bertahan hidup sekitar umur 20 tahun jika perawatannya maksimal (Konam et al., 2009). Bunga kakao tumbuh di bekas ketiak daun pada bagian batang ataupun cabang, sehingga dikenal sebagai tanaman caulifloris (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Kakao dapat berbunga maksimal pada bulan Februari- April (Prawoto, 2008; Rahardjo, 2011; Gambar 2.1 A). Setiap tahun satu tanaman kakao akan menghasilkan sekitar 5.000- 12.000 bunga, akan tetapi hanya 1% saja yang mampu menjadi buah (Siregar et al., 2010).

Bunga kakao termasuk dalam kelompok bunga majemuk yang memiliki tangkai bunga yang pendek sehingga terlihat seperti bunga tunggal (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga kakao merupakan bunga yang sempurna yaitu memiliki perhiasan bunga yang lengkap dan kelamin bunga yang lengkap.

(3)

bunga (calyx) terdiri dari 5 sepala berbentuk lanset, berwarna putih dengan panjang mencapai 6- 8 mm (Backer & Bakhuizen van den Brink, 1963). Mahkota bunga (corolla) terdiri dari 5 petala berbentuk cekung dengan panjang mencapai 4mm (Bakhuizen van den Brink, 1963). Bunga kakao termasuk bunga banci (hermaproditus) karena memiliki 2 alat kelamin dalam satu kuntum bunga (van Steenis et al., 2008). Organ betina (gynaecium) yang di dalamnya terdapat bakal buah (ovary), tangkai putik (stylus), dan kepala putik (stigma) dan organ kelamin jantan (androecium) tersusun atas 5 benang sari yang steril (staminodia) dan 5 benang sari yang fertile (stamen; van Steenis et al., 2008; Gambar 2.1 B).

Proses pembungaan kakao diawali dari bunga yang masih kuncup (primordia), setelah 30 hari bunga kakao mekar. Bunga kakao yang sudah mekar bagian putik dan kepala sari sudah siap melakukan penyerbukan (Prawoto & Winarsih, 2010; Rahardjo, 2011). Setelah mengalami penyerbukan yang dibantu oleh serangga maka bakal buah akan berkembang manjadi buah sekitar umur 40 hari (Prawoto & Winarsih, 2010; Rahardjo, 2011).

Gambar 2.1 A. Bunga kakao yang muncul dari berkas ketiak daun pada cabang dari satu bantalan bunga (Caulifloris), B. Struktur bunga kakao (s) menunjukkan sepala, (p) menunjukkan petala, (sta) menunjukkan stamen, (sto) menunjukkan staminodia, (pi) menunjukkan pistil, (t) menunjukkan tangkai bunga dan (dt) menunjukkan dasar tangkai bunga. Sumber: (Prawoto & Winarsih, 2010).

(4)

Buah kakao merupakan buah buni yang berbentuk telur memanjang tersusun atas kulit buah (pod) yang tebal, arilus (pulp), dan biji (van Steenis et al., 2008; Limbongan, 2012). Kulit buah kakao mempunyai alur yang kedalamannya bervariasi tergantung dari kultivarnya. Biji terbungkus oleh daging buah (pulp) yang berwarna putih disebut dengan arilus. Arilus ini memiliki rasa yang asam manis dan diduga memiliki kandungan zat untuk menghambat perkecambahan (Prawoto & Winarsih, 2010). Biji kakao memiliki bentuk bulat telur dengan panjang 2 cm dan lebar 1,5 cm.

Gambar 2.2 A. Kulit buah kakao dipotong membujur yang terdiri dari lapisan eksokarp, mesokarp dan endokarp. B. Biji kakao. Sumber : (A) dari Limbongan, 2011 dan (B) dari Sari et al., 2013.

2.1.2 Kultivar Kakao

Buah kakao yang umum dibudidayakan ada 3 kultivar, yaitu kakao Criollo, Forastero dan Trinitario. Kultivar Criollo (Gambar 2.3 A) merupakan kakao yang menghasilkan biji dengan kualitas tinggi dengan cita rasa yang khas. Kakao tersebut termasuk dalam kakao mulia (Susanto, 1994). Namun, kultivar ini

(5)

Kulit buah Criollo kasar pada permukaannya dan memiliki alur yang dalam serta berwarna kuning atau merah (Karmawati et al., 2010).

Kultivar Forastero merupakan kakao yang mampu menghasilkan biji dengan kualitas sedang. Kakao ini memiliki pertumbuhan yang kuat, produktivitas tinggi, cepat berbuah dan tahan terserang hama serta penyakit. Kultivar ini biasanya dikenal dengan kakao curah atau lindak (Gambar 2.3 B; Prawoto & Winarsih, 2010). Kulit buah Forastero halus pada permukaannya dan memiliki alur yang dangkal serta warna kulit hijau (Prawoto & Winarsih, 2010).

Kultivar Trinitario merupakan kakao hasil persilangan antara Criollo dan Forastero. Kakao jenis ini yang memiliki ciri morfologi dan fisiologi yang bervariasi (Gambar 2.3 C; Prawoto & Winarsih, 2010).

Gambar 2.3 Tiga kultivar kakao, meliputi A. Criollo, B. Forastero dan C.Trinitario. Sumber : http://www.google/images/kakao.com

(6)

2.1.3 Manfaat kakao

Tanaman kakao dibudidayakan oleh petani untuk dimanfaatkan buahnya (Wahyudi & Rahardjo, 2008). Bagian yang dapat dimanfaatkan dari buah kakao, yaitu kulit buah, pulp dan biji (Erniati et al., 2012). Kulit buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak hewan ruminansia, bahan pupuk organik cair dan kompos, bahan untuk membuat briket sebagai pengganti arang aktif, bahan baku pembuatan bioetanol dan bahan baku pembuatan pektin dalam industri pangan, kosmetik maupun obat- obatan (Dachlan et al., 2009; Patabang, 2011; Sari et al., 2012).

Pulp buah kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan olahan produk pangan seperti nata de cacao. Selain itu, juga digunakan untuk olahan produk non pangan yaitu bahan pembuat kertas, rayon dan bioherbisida (Elizabeth, 2006; Harsini & Susilowati, 2010; Pratama et al., 2013).

Biji kakao juga mengandung lemak dengan kadar tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan utama pembuatan coklat bubuk (Gambar 2.4 a; Mertade & Basri, 2011; Erniati et al., 2012). Coklat bubuk memiliki cita rasa yang enak, manis dan aroma yang khas, sehingga dimanfaatkan sebagai bahan olahan produk makanan dan minuman yang digemari oleh semua lapisan masyarakat seperti hot choco, ice cream dan campuran pembuatan kue (Gambar 2.4 b; Zairisman, 2006; Roesmanto, 1991). Manfaat lain dari coklat bubuk adalah dimanfaatkan di bidang kosmetik seperti untuk perawatan kulit yaitu spa dan masker (Gambar 2.4 c) dan juga digunakan di bidang kesehatan.

(7)

Gambar 2.4 (a) Coklat bubuk; (b) Minuman berbahan baku coklat bubuk; (c) Masker (http://www.google/images/manfaatcocoa.com)

2.2 Budidaya Kakao dan Permasalahan Kakao di Indonesia 2.2.1 Produksi Kakao

Di Indonesia, kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan oleh petani kakao (Kurniasih et al., 2011; Respati et al., 2010). Pada tahun 2009, jumlah petani yang membudidayakan kakao mencapai lebih dari 1,4 juta kepala keluarga sehingga memiliki peranan penting bagi perekonomian Indonesia khususnya penyerapan tenaga kerja, sumber pendapatan dan devisa negara (Respati et al., 2010; Limbongan, 2011). Kakao juga sebagai komoditas eksport terbesar ke tiga pada sub sektor perkebunan setelah kelapa sawit dan karet dengan nilai total devisa mencapai lebih dari US $ 1,2 milyard (FAO, 2014).

Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar kedua di dunia dengan total produksi mencapai lebih dari 1,5 juta ton pada tahun 2010 (Gambar 2.5; FAO, 2014). Sementara, negara Côte d'Ivoire adalah negara dengan produksi kakao terbesar pertama didunia dengan total produksi mencapai 2,5 juta ton per tahun (FAO,2014)

(8)

Gambar 2.5 Sepuluh negara penghasil kakao terbesar di dunia tahun 2009- 2010. Indonesia (panah hitam) menempati posisi kedua sebagai penghasil kakao terbesar dunia (FAO, 2014)

Total produksi kakao di Indonesia dihasilkan dari luas perkebunan kakao yang meningkat dari tahun ke tahun (FAO, 2014). Pada tahun 2003, luas perkebunan kakao sekitar 900 ribu Ha, sedangkan tahun 2010, mencapai lebih dari 1,6 juta Ha (Gambar 2.6; FAO, 2014). Dengan luas perkebunan kakao tersebut maka menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perkebunan kakao terluas kedua di dunia setelah Côte d'Ivoire (FAO, 2014).

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 Cô te d 'I vo ire In do ne sia Gha na N ig eria Ca me ro on Bra zil Ec ua do r M ex ic o Do m inic an … Pe ru Pr od uk si K ak ao (t on/ th )

Negara Penghasil Kakao

2010 2009

(9)

Gambar 2.6 Perkembangan luas area negara penghasil kakao terbesar dunia dari tahun 2003- 2010. Indonesia (panah hitam; FAO, 2014).

2.2.2 Permasalahan Budidaya Kakao di Indonesia

Sebagai negara produsen kakao terbesar kedua di dunia Indonesia juga memiliki perkebunan kakao terluas kedua di dunia (Gambar 2.6; FAO, 2014). Namun dalam hal produktivitasnya, perkebunan kakao di Indonesia hanya mampu menghasilkan 550 kg biji kakao per Ha per tahunnya. Produktivitas tersebut hanya seperlima produktivitas kakao dari negara dengan produktivitas kakao tertinggi di dunia seperti Guatemala dan Thailand yang mampu menghasilkan biji kakao mencapai lebih dari 2,6 ton per Ha per tahunnya. Hal inilah yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-17 dalam hal produktivitas perkebunan kakao dari sekitar 58 negara penghasil kakao di dunia (Gambar 1.1; FAO, 2014).

Banyak faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya produktivitas kakao di Indonesia, seperti usia tanaman kakao yang dibudidayakan sudah tua. Tanaman kakao yang sudah tua dapat menurunkan produksi kakao mencapai 50%

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 20 10 Lua s ar ea K ak ao (H a) Tahun Côte d'Ivoire Indonesia Ghana Nigeria Brazil

(10)

dari potensi produksinya (Limbongan, 2011). Saat ini tanaman kakao yang sudah tua di Indonesia sudah mencapai 90% sehingga perlu diadakannya peremajaan (Taufik et al., 2010).

Faktor lain yang diduga menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas kakao di Indonesia adalah faktor kualitas bibit yang ditanam (Martede & Basri, 2011; Sugiharti, 2006). Oleh karena itu, perlu adanya upaya penyediaan bibit kakao yang berkualitas dalam jumlah yang banyak dengan kualitas unggul sehingga dapat meningkatkan produktivitas kakao di Indonesia.

2.2.3 Pembibitan Tanaman Kakao di Indonesia

Sebagian besar petani kakao di Indonesia membudidayakan kakao dengan menggunakan bibit yang berasal dari biji (Rahardjo, 2010). Biji kakao yang berkualitas dibersihkan dari pulp kemudian dikeringkan hingga kadar air 40% dan dikecambahkan selama 12 hari (Rahardjo, 2010). Benih kakao yang sudah berkecambah kemudian dipelihara pada media tanam kurang lebih 2 bulan kemudian bibit kakao siap untuk ditanam setelah berumur 4- 5 bulan.

Teknik pembibitan biji tersebut memiliki keunggulan di antaranya adalah mudah dilakukan dan dapat menghasilkan bibit dengan jumlah yang banyak dengan biaya yang murah (Winarsih et al., 2003; Prawoto et al., 2010). Namun pembibitan kakao menggunakan biji akan menghasilkan tanaman yang tidak seragam secara genetik (Maximova et al., 2002). Hal tersebut karena kakao merupakan salah satu tanaman yang melakukan penyerbukan silang (Li et al., 1998).

(11)

Alternatif lain yang dapat digunakan untuk mendapatkan bibit kakao yang memiliki genetik seragam dan sama dengan induknya adalah dengan menggunakan teknik pembibitan secara vegetatif (Siregar et al., 2010). Pada umumnya pembibitan kakao secara vegetatif dilakukan dengan teknik stek, okulasi ataupun sambung pucuk (Winarsih et al., 2003).

Teknik stek dilakukan dengan cara memotong batang atau ranting yang masih muda kemudian ditanam ke dalam pot (Siregar et al., 2010). Batang atau ranting yang di stek akan muncul akar sekitar umur 3 minggu dan siap untuk dipindahkan ke tanah setelah berumur 6 bulan (Rahardjo, 2010). Teknik ini akan menghasilkan tanaman yang memiliki sifat genetik yang sama dengan induknya dan biasanya akan cepat berbunga serta berbuah (Siregar et al., 2010; Rahardjo, 2010). Namun teknik pembibitan secara vegetatif tersebut hanya mampu menghasilkan bibit dengan jumlah yang terbatas dan dapat merusak tanaman induk (Li et al., 1998).

Teknik vegetatif lain yang dikembangkan oleh petani kakao adalah melalui okulasi. Teknik ini dilakukan dengan mengambil mata tunas berwarna hijau dari tanaman pertama yang berkualitas dan ditempelkan pada kulit kayu tanaman kedua yang sudah disayat kemudian diikat dan dipelihara sampai mata tunas tumbuh menjadi batang baru (Rahardjo, 2010). Tanaman yang diperoleh menggunakan pembibitan teknik ini akan membutuhkan waktu sekitar 12 bulan agar bibit siap ditanam. Kelebihan teknik ini adalah pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan bibit dari stek dan tingkat keberhasilannya tinggi yaitu mencapai 90% (Rahardjo, 2010). Namun, teknik ini juga akan merusak tanaman

(12)

induk dan jumlah mata tunas yang terbatas sehingga jumlah bibit yang diperolehpun sedikit (Li et al., 1998; Rahardjo, 2010).

Cara lain yang digunakan oleh petani kakao adalah melalui sambung pucuk (Siregar et al., 2010). Teknik ini dilakukan dengan cara memotong cabang muda dari tanaman yang berkualitas kemudian disambungkan pada bibit kakao yang berasal dari biji. Teknik sambung pucuk ini akan menghasilkan bibit dengan sifat genetika yang sama dengan induknya, akan tetapi teknik tersebut memiliki tingkat keberhasilan yang relatif rendah serta akan dihasilkan bibit dengan jumlah yang terbatas, karena terbatasnya jumlah pucuk yang akan disambung (Li et al., 1998). Oleh karena itu perlu dikembangkan teknik produksi bibit kakao yang mampu menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak dengan kualitas yang unggul dan sama dengan induknya.

2.3 Perkembangan Penelitian Embryogenesis Somatik Kakao

Salah satu upaya yang dapat dipergunakan untuk mengatasi kelemahan teknik pembibitan kakao secara konvensional di atas adalah menggunakan teknik kultur jaringan (Avivi et al., 2010). Kultur jaringan tanaman adalah teknik perbanyakan tanaman secara vegetatif dengan cara mengisolasi jaringan tumbuhan yang ditanam dan dipelihara pada medium buatan yang aseptis (Zulkarnain, 2009). Teknik ini mampu menghasilkan bibit dengan sifat yang seragam seperti induknya dan mampu menghasilkan tanaman dengan jumlah masal dalam waktu singkat (Hendaryono & Wijayani, 1994; Avivi et al., 2010). Namun, penggunaan teknik ini terdapat kelemahan utama yaitu tidak semua

(13)

penggunaan teknik ini juga memerlukan keahlian khusus yang dikerjakan di laboratorium sehingga membutuhkan biaya yang mahal (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Beberapa teknik kultur jaringan telah dikembangkan dalam upaya perbanyakan tanaman kakao adalah teknik kultur tunas aksiler dan melalui embryogenesis somatik. Kultur tunas aksiler merupakan teknik in vitro yang dilakukan dengan cara mengkultur tunas aksiler pada medium tanam dan dipelihara sampai menjadi tanaman baru yang lengkap (Zulkarnain, 2009). Teknik ini hanya memperbanyak tunas, memanjangkan tunas dan diferensiasi akar sehingga tidak memerlukan waktu lama untuk menjadi tanaman yang lengkap (Figuera et al., 1991). Namun, teknik ini belum berhasil dipergunakan untuk perbanyakan tanaman kakao (Figuera et al., 1991).

Salah satu teknik in vitro yang mulai dikembangkan dalam pembibitan kakao untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan menggunakan teknik in vitro lain yaitu melalui teknik kultur embryogenesis somatik (Avivi et al., 2010). Embryogenesis somatik merupakan salah satu teknik perbanyakan tanaman dari sel somatik yang akan berkembang membentuk tanaman baru melalui tahap perkembangan embryo yang spesifik tanpa terjadinya fusi gamet (Purnamaningsih, 2002). Tahap embryogenesis somatik pada tanaman kakao melalui 4 tahap, yaitu (1) induksi kalus embryogenik, (2) induksi embryo somatik, (3) perkecambahan, dan (4) aklimatisasi (Purnamaningsih, 2002).

Pada tahap induksi kalus, eksplan yang diisolasi kemudian ditumbuhkan pada medium tanam dengan ditambahkannya zat pengatur tumbuh (ZPT) dengan

(14)

konsentrasi yang tinggi (Purnamaningsih, 2002). Eksplan yang ditanam dipelihara sampai terbentuk kalus. Terdapat dua macam kalus yang dapat diinduksi dari eksplan kakao, yaitu kalus kompak dan kalus remah. Kalus kompak memiliki ciri- ciri berupa kalus yang keras, berwarna putih dan tidak bisa dipisah-pisahkan dengan mudah, sedangkan kalus remah memiliki ciri berupa kalus yang lunak, mudah dipisah-pisahkan dan berwarna kuning kecoklat-coklatan (Hilyatunnisa, 2013; Purwasih, 2013; Rahayu, 2013). Dari kedua jenis kalus tersebut, hanya kalus remah yang mampu diinduksi pembentukan embryo atau biasa disebut kalus embryogenik. Namun, tidak semua eksplan yang ditanam akan membentuk kalus yang bersifat embryogenik (Hilyatunnisa, 2013).

Tahap induksi embryo adalah tahap perkembangan kalus yang dipelihara pada medium induksi embryo hingga terbentuk embryo. Perkembangan embrio yang spesifik dimulai dari tahap globular, hati, torpedo, dan kotiledon (Gambar 2.7; Purnamaningsih, 2002). Tahap ketiga adalah perkecambahan yang dilakukan dengan menanam embryo somatik dan dipelihara sampai menjadi tanaman yang memiliki tunas dan akar (Planlet; Gambar 2.7; Purnamaningsih, 2002). Pada tahap aklimatisasi, tanaman yang lengkap dengan tunas dan akar kemudian dipindahkan pada medium ex vitro (Gambar 2.7; Purnamaningsih, 2002).

(15)

Gambar 2.7 Tahap perkembangan embryo somatik kakao: (a) tahap globular, (b) tahap hati, (c) tahap torpedo, (d) tahap kotiledon, (e) tahap planlet dan (f) tahap aklimatisasi (Li et al., 1998; Minyaka et al., 2008). Teknik kultur embryogenesis somatik memiliki kelebihan antara lain dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak (Li et al., 1998), sifat genetik bibit yang dihasilkan seragam seperti induknya, bibit yang dihasilkan memiliki sistem perakaran tunggang yang sama seperti biji dan menghasilkan embryo yang bersifat bipolar yaitu dapat berkembang membentuk tunas dan akar yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman (Purnamaningsih, 2002). Namun, teknik ini juga memiliki kelemahan yaitu keberhasilan induksi embryo somatik kakao masih rendah dan bervariasi dari 0 - 100% tergantung kultivar yang ditanam (Winarsih et al., 2003; Avivi et al., 2010) dan membutuhkan perawatan yang khusus seperti melakukan sub kultur yang berulang kali untuk mendapatkan kalus yang embryonik (Purnamaningsih, 2002).

Teknik embryogenesis somatik telah banyak dilaporkan berhasil digunakan untuk memperbanyak berbagai jenis tanaman seperti pada tanaman tanaman kopi

a b c

(16)

(Coffea arabica L.) yang ditanam pada medium MS menggunakan eksplan daun dengan tingkat keberhasilan mencapai 100% (Riyadi & Tirtoboma, 2004). Tanaman yang lain seperti cendana (Santalum album L.) menggunakan eksplan embryo zigot muda yang ditanam pada medium MS (Sukmadjaja, 2005) maupun pada tanaman manggis (Garcinia indica Choiss) menggunakan eksplan biji yang ditanam pada medium WPM (Thengane et al., 2006) juga berhasil diperbanyak melalui teknik embryogenesis somatik dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, yaitu sekitar 80 %.

Pada tanaman kakao teknik embryogenesis somatik juga telah dicobakan untuk perbanyakan tanaman tersebut. Upaya pembibitan kakao melalui teknik embryogenesis somatik telah dimulai sejak tahun 1970-an dengan tingkat keberhasilan yang masih cukup rendah (Young et al., 2000). Penelitian tentang embryogenesis somatik tanaman kakao dilaporkan pada tahun 1977 - 1980 dengan menggunakan eksplan embryo zygotik, namun hasil penelitian-penelitian tersebut belum berhasil menginduksi pembentukan embryo somatik (Alemanno, 1997).

Penelitian lebih lanjut menggunakan eksplan jaringan somatik juga belum berhasil dilakukan sampai Lopez-Baez et al. (1993) berhasil menginduksi embryo somatik kakao dari eksplan jaringan bunga. Meskipun demikian penelitian tersebut juga belum berhasil mendapatkan tanaman baru dari embryo somatik yang dihasilkan. Li et al. (1998) melaporkan keberhasilan induksi embryo somatik dari eksplan bunga dan embryo yang diperoleh berhasil dikecambahkan untuk dihasilkan tanaman kakao pertama kalinya, namun persentase keberhasilan

(17)

induksi embryo masih sangat bervariasi dari 1 sampai 100 % tergantung genotip tanaman yang digunakan.

Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, upaya pembibitan kakao melalui teknik embryogenesis somatik juga telah dilakukan dengan menggunakan kultivar Criollo. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hilyatunnisa (2013) menggunakan eksplan staminodia dan petala yang ditanam pada medium DKW dengan kombinasi Adenin 10-6 M & 2,4-D belum berhasil digunakan untuk induksi embryo, tetapi medium tersebut berhasil untuk menginduksi kalus.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Purwasih (2013) menggunakan medium DKW yang dikombinasikan dengan 10-6 M 2,4-D & 10-7 M BAP merupakan medium terbaik yang digunakan untuk menginduksi kalus. Medium tersebut dapat membentuk kalus dengan tipe yang friabel sehingga mampu untuk membentuk embryo somatik. Namun, tingkat keberhasilan dalam induksi embryo masih rendah sekitar 1%.

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Rahayu (2013) dengan menanam kalus pada medium DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) dengan penambahan kinetin 5x10-7 M & 10-6 M 2,4-D ke dalam medium tanam. Medium tersebut mampu menginduksi kalus bersifat embryogenik dan medium DKW yang hanya ditambah kinetin 5x10-8 M berhasil menginduksi embryo somatik, meskipun tingkat keberhasilan masih relatif rendah yaitu 1 %.

Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat keberhasilan induksi embryo somatik pada penelitian sebelumnya diduga karena

(18)

belum ditemukannya komposisi medium tanam yang tepat untuk menginduksi pembentukan embryo somatik pada tanaman kakao.

2.4. Medium Tanam

Medium kultur jaringan adalah medium tanam yang berisi berbagai komposisi dan macam - macam unsur hara (Nursetiadi, 2008). Medium kultur jaringan adalah salah satu penentu dari keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro (Yusnita, 2003). Medium dasar yang banyak digunakan dalam kultur jaringan antara lain medium dasar MS (Murashige & Skoog, 1962); medium dasar B5 (Gambrog, 1968) medium dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) maupun medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984). yang banyak diaplikasikan untuk embryogenesis somatik pada tanaman kakao (Hendaryono & Wijayanti, 1994). Komposisi medium yang tepat bagi suatu tanaman tergantung dari jenis tanaman dan jenis eksplan yang digunakan. Misalnya, medium dasar MS dapat diaplikasikan ke hampir semua jenis kultur, medium dasar B5 banyak diaplikasikan untuk kultur sel pada tanaman kedelai dan legume lain sedangkan medium dasar banyak diaplikasikan untuk tanaman berkayu. Untuk tanaman kakao, komposisi medium dasar DKW (Driver & Kuniyuki, 1984) banyak diaplikasikan untuk menginduksi pembentukan embryo somatik pada (Hendaryono & Wijayanti, 1994). Pada umumnya, media tanam mengandung unsur garam makro, garam mikro, vitamin, asam - asam amino essensial, gula dan zat pengatur tumbuh (ZPT).

(19)

2.4.1 Makronutrien

Kebutuhan garam mineral yang digunakan pada kultur jaringan kurang lebih sama dengan tanaman utuh. Unsur makro dibutuhkan tanaman dalam jumlah besar (1-15 mg/bk tanaman) seperti nitrogen (N), kalium (K), kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), dan sulfur (S; George dan Klerk, 2008; Nursyamsi, 2010). Pada umumnya unsur tersebut diberikan dalam bentuk persenyawaan (George dan Sherrington, 1984).

Beberapa unsur- unsur makro yang umum diberikan adalah dalam bentuk garam, antara lain: KNO3; NH4NO3; Ca(NO3).4H2O; NaNO3; CaCl2. 2H2O; MgSO4.7H2O; KCl; KH2PO4; NH4H2PO4; NaH2PO4. 2H2O; Na2SO4; (NH4)2SO4; NH4Cl; dan K2SO4 (George dan Sherrington, 1984). Macam dan konsentrasi garam makro yang optimum dari tiap-tiap komponen dalam memenuhi pertumbuhan yang maksimal untuk setiap jenis tanaman dan setiap jenis eksplan sangat bervariasi.

Salah satu garam yang banyak ditambahkan ke dalam medium tanam adalah garam kalium sulfat (Potassium Sulphate; K2SO4). Garam K2SO4 mengandung ion K dan ion sulfat. Ion K berperan dalam memacu pembelahan sel, sintesa karbohidrat dan protein, pembuatan klorofil serta untuk mereduksi nitrat (Salisbury & Ross, 1995). Selain itu, juga berperan untuk memperlancar metabolisme dan penyerapan makanan, serta mengatur tekanan osmotik di antara sel (Salisbury & Ross, 1995).

Ion sulfat berperan dalam meningkatkan proses metabolisme seperti sintesis asam amino dan sintesis protein di dalam sel (Saito, 2004; Leustek, 2002). Sulfur

(20)

banyak ditemukan sebagai komponen penyusun asam amino sistein dan metionin, dan sebagai penyusun vitamin thiamin dan biotin, serta penyusun koenzim A (Salisbury & Ross, 1995). Kondisi tersebut merupakan prasarat utama untuk terjadi proses-proses biologi pada tumbuhan tinggi termasuk proses embryogenesis (Minyaka et al., 2008). Ion sulfat yang terdapat di garam K2SO4 berfungsi untuk memacu perkembangan akar dan ketahanan atau proteksi tubuh tumbuhan.

Penambahan senyawa K2SO4 ke dalam medium tanam untuk menginduksi pembentukan kalus dan embryo somatik tanaman kakao telah dilaporkan. Penambahan K2SO4 sebanyak 4,473 mM ke dalam medium tanam DKW mampu menginduksi pembentukan kalus kakao genotipe Sca6 dari eksplan petala dengan tingkat keberhasilan 8%, sedangkan penambahan K2SO4 sebanyak 4 kali lebih tinggi (17,892 mM) mampu meningkatkan pembentukan kalus sampai 18% (Minyaka et al., 2008).

Perlakuan yang sama juga memberikan respon yang hampir sama dalam hal pembentuk embryo somatik kakao. Penambahan 4,473 mM K2SO4 ke dalam medium tanam DKW tidak mampu menginduksi pembentukan embryo somatik, sedangkan penambahan K2SO4 sebanyak 35,784 mM mampu menginduksi embryo somatik sampai 35% (Minyaka et al., 2008). Namun demikian, respon tersebut sangat bergantung dengan genotip tanaman kakao yang digunakan. Pada genotip IMC67, penambahan K2SO4 ke dalam medium tanam dengan konsentrasi tersebut hanya berhasil menginduksi embryo somatik sebesar 8 % (Minyaka et al.,

(21)

Upaya peningkatan keberhasilan induksi embryo somatik tanaman kakao kultivar Criollo dengan menambahkan K2SO4 ke dalam medium tanam belum pernah dilaporkan, sehingga pada penelitian ini dilakukan uji pengaruh penambahan K2SO4 ke dalam medium tanam terhadap keberhasilan induksi embryo somatik pada tanaman kakao.

2.4.2 Mikronutrien

Mikronutrien adalah unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang sangat sedikit (0,1μg - 0,1mg/g berat kering tanaman). Menurut Gamborg dan Shylluk (1981), yang termasuk dalam unsur mikronutrien adalah Besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Bor (B), Tembaga (Cu), Klor (Cl), dan Molibdenum (Mo). Unsur- unsur mikro yang diberikan dalam medium kultur jaringan seperti MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, H3BO3, KJ, NaMoO4.2H2O, CuSO4.5H2O dan CoCl2.6H2O (Indrianto, 2002). Walaupun hanya diperlukan dalam jumlah sedikit, akan tetapi jika tidak ada unsur hara mikro di dalam medium tanam maka dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan.

2.4.3 Vitamin

Vitamin berperan sebagai kofaktor dari reaksi-reaksi enzimatis dan dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Vitamin juga berperan dalam menstimulasi inisiasi, pertumbuhan dan perkembangan akar. Vitamin- vitamin yang umum diberikan dalam medium kultur jaringan yaitu tiamin (vitamin B1), piridoksin (vitamin B6) dan asam nikotinat. Beberapa macam vitamin yang umum digunakan dalam medium dasar kultur jaringan, antara lain: Thiamin-HCl, myo-inositol, Pyridoxin-HCl, Ca D-panthothenate, Folic acid, Choline chloride,

(22)

Riboflavin, Nicotinamida, Niasin, Glisin, Biotin dan Pyridoxin fosfat . Vitamin tersebut merupakan anggota dari vitamin B kompleks (George dan Sherrington, 1984).

2.4.4 Asam- Asam Amino

Asam amino berperan dalam pertumbuhan dan diferensiasi kalus. Untuk setiap tanaman asam amino yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya berbeda- beda. Asparagin dan Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino, karena dapat menjadi pembawa dan sumber amonia untuk sintesis asam – asam amino baru dalam jaringan. Beberapa asam amino yang umum diberikan dalam medium kultur jaringan seperti glutamine, glycine, cycteine, arginine, L-Aspartic acid, L-methionine (Hendaryono & Wijayanti, 1994).

2.4.5 Sumber Energi

Pada kultur jaringan, sel dan jaringan tumbuhan belum sempurna untuk melakukan asimilasi fotoautotrof, sehingga diperlukan gula sebagai sumber karbon dan energi. Selain sebagai sumber energi bagi sel dan jaringan, gula juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan tekanan osmotik potensial didalam medium.

Umumnya gula yang diberikan pada medium kultur berupa sukrosa atau komponen-komponennya seperti monosakarida glukosa atau fruktosa. Sukrosa pada medium kultur ditambahkan sebanyak 30 gr/l (Hendaryono & Wijayanti, 1994). Glukosa atau D-glukosa biasanya ditambahkan dengan konsentrasi 20 - 30 gr/l, tergantung dari jenis eksplan. Sukrosa lebih berpengaruh dalam

(23)

perkembangan kalus, sedangkan pengaruhnya terhadap organogenesis belum dapat dipastikan (George dan Sherrington, 1984).

2.5 Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Zat pengatur tumbuh berbeda dengan hormon tumbuhan (George & Sherrington, 1984). Hormon adalah senyawa aktif alami yang terdapat pada jaringan tumbuhan dengan konsentrasi rendah untuk pengatur tumbuh (George & Sherrington, 1984). Zat pengatur tumbuh merupakan senyawa organik maupun senyawa kimia sintetik dengan jumlah yang sedikit yang mampu mendukung, menghambat dan mempengaruhi respon fisiologis tumbuhan (George & Sherrington, 1984; Fahruddin, 2011).

Zat pengatur tumbuh yang umum digunakan pada kultur jaringan tumbuhan ada 4 kelompok, yaitu auksin, sitokinin, giberelin dan asam absisat (Salisbury & Ross, 1992). Sitokinin adalah salah satu ZPT yang berfungsi dalam pemacu pembelahan sel, pembentukan organ, pemanjangan sel, menunda penuaan, memacu perkembangn kloroplas dan sintesis klofil (Salisbury & Ross, 1992). Pada kultur jaringan sitokinin berperan dalam peningkatan pembelahan sel, merangsang pembentukan pucuk, dan mengontrol perkecambahan biji (Zulkarnain, 2009).

Salah satu zat pengatur tumbuh sitokinin yang banyak digunakan pada kultur jaringan adalah kinetin. Penambahan kinetin ke dalam medium tanam juga terbukti mampu menginduksi pembentukan embryo somatik pada tanaman kakao. Penambahan 0,1 mg/L kinetin ke dalam medium tanam DKW hanya mampu menginduksi pembentukan embryo somatik kakao sebesar 4,4% (Tan dan Furtek,

(24)

2004). Di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, induksi embryo somatik terbaik dilakukan dengan menggunakan medium DKW dengan penambahan kinetin sebesar 5x10-8 M, namun tingkat keberhasilannya masih cukup rendah, yaitu sekitar 1 %. Oleh karena itu dalam penelitian ini dilakukan uji perlakuan kinetin yang dikombinasikan dengan penambahan K2SO4 guna menginduksi pembentukan embryo somatik kakao.

Gambar

Gambar 2.1  A.  Bunga kakao yang  muncul dari  berkas ketiak daun pada cabang  dari  satu bantalan  bunga (Caulifloris), B
Gambar  2.2  A.  Kulit  buah  kakao  dipotong  membujur  yang  terdiri  dari  lapisan  eksokarp, mesokarp dan endokarp
Gambar  2.3  Tiga  kultivar  kakao,  meliputi  A.  Criollo,  B.  Forastero  dan  C.Trinitario
Gambar 2.5 Sepuluh negara penghasil kakao terbesar di dunia tahun 2009- 2010.  Indonesia (panah hitam) menempati posisi kedua sebagai penghasil  kakao terbesar dunia (FAO, 2014)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan kenakalan adalah perbuatan nakal, perbuatan tidak baik dan bersifat mengganggu ketenangan orang lain; tingkah laku yang melanggar norma kehidupan

Skripsi ini merupakan penelitian tentang penggunaan dan kepuasan pengiklan khususnya anggota Arcade Agency Indonesia dalam menggunakan situs berita periklanan

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Responsivitas Dinas Lingkungan Hidup dalam pemeliharaan jalur hijau jalan di Kota Surakarta sudah cukup baik, dilihat dari (1)

penyusunan laporan penelitian yang berjudul “ Pemanfaatan Tepung Kacang Koro Pedang ( Canavalia ensiformis [L.] DC) dan Tepung MOCAF (M odified Cassava Flour )

Dari uraian diatas, maka peneliti sangat tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang, “ Pengaruh Kepemimpinan Kepala Madrasah dan Penerapan Strategi

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir berjudul ” Peran Public Relations PT Dirgantara Indonesia Bandung dalam Meningkatkan Citra Positif di Mata Masyarakat ”

Dari keenam definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenal emosi yang sedang terjadi kemudian mengelola emosi tersebut

Untuk Mahasiswa yang akan menempuh mata kuliah elektif agar mendaftar di Bagian Akademik Fakultas Peternakan Univ.. Untuk Mata Kuliah Elektif, kuliah dan praktikum