• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

7

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD 2.1.1.1 Pengertian

Wahidin (2010: 37), menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warga Negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial. Pendapat ini lebih menekankan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan demokrasi, dimana siswa diharapkan kelak menjadi warga Negara yang demokratis dan partisipatif dalam kehidupan berbangsa.

Sementara itu, Winataputra (2012: 2), mendefinisikan Pendidikan Kewarganegaraan “sebagai wahana pendidikan yang dibangun untuk membina dan mengembangkan warga Negara yang cerdas dan baik dalam latar subsistem pendidikan formal, nonformal, dan informal, pada dasarnya sudah menjadi bagian inhern dari idea, instrumentasi dan praksis pendidikan nasional Indonesia”. Pendapat ini memberikan pengertian bahwa pembelajaran PKn yang diselenggarakan baik di lembaga formal maupun nonformal dilaksanakan dalam rangka membekali siswa dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap kewarganegaraan agar kelak siswa menjadi warga Negara yang baik dan cerdas.

Dalam lampiran Permendiknas No. 22 tahun 2006, dikemukakan bahwa:

“Mata pelajaran Pendidikan Kewargenegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada membentukkan warga Negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945”.

Pernyataan ini mengandung arti bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang menitikberatkan pada pembentukan diri siswa dari beberapa aspek kehidupan. Berdasarkan

(2)

lampiran Permendiknas tersebut, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa nilai yang diharapkan dimiliki siswa dengan belajar PKn, yaitu: pertama, siswa terbentuk menjadi pribadi yang mampu bersikap menghargai semua keragaman dengan memahami hak dan kewajiban dirinya dan orang lain sebagai warga Negara Indonesia; kedua, siswa diharapkan menjadi pribadi yang cerdas dimana kecerdasan ini diperoleh siswa dari proses pembelajaran PKn di sekolah; ketiga, siswa diharapkan terampil baik keterampilan intelektual maupun keterampilan partisipatoris; keempat, siswa menjadi pribadi yang berkarakter, dimana karakter ini dapat diperoleh dari watak kewarganegaraan yang dibina dan dikembangkan dalam proses pembelajaran PKn di sekolah. Nilai-nilai ini tentu saja dilandasi nilai moral luhur bangsa Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Sementara itu, dalam Encyclopedia of Educational Research, pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dapat dijelaskan dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, Pendidikan Kewarganegaraan adalah pembelajaran yang membahas masalah hak dan kewajiban.Pengertian ini didasarkan pada konotasi politik dari warga Negara.Sementara itu, dalam arti luas, pendidikan kewarganegaraan adalah pembelajaran yng berisi masalah moral, etika, sosial, serta berbagai aspek kehidupan ekonomi (Dasim Budimansyah, 2007: 7.5-7.6).

Sejalan dengan pendapat tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan memiliki visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional (Depdiknas, 2007). PKn merupakan pendidikan nilai demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial dan pendidikan politik. Akan tetapi, dari semua pendidikan tersebut yang paling menonjol dari PKn adalah pendidikan nilai dan moral. Alasannya antara lain yakni: pertama, materi PKn merupakan konsep-konsep nilai Pancasila dan UUD 1945 beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat Negara Indonesia; kedua, sasaran akhir dari belajar PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata kehidupan sehari-hari; ketiga, dalam proses pembelajarannya menuntut keterlibatan emosional, intelektual, dan

(3)

sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya sekedar dipahami (bersifat kognitif) tetapi dihayati dan dilaksanakan (bersifat afektif) (Aris Susanto, 2013: 42).

Berdasarkan visi PKn yang seperti di atas itulah, maka tujuan PKn menurut Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

a. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

b. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta anti korupsi.

c. Berkembang secara positif dan demokratis tis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Untuk mencapai tujuan pembelajaran PKn tersebut, delapan materi pokok standar isi mata pelajaran PKn di Indonesia untuk satuan dasar dan menengah memuat komponen sebagai berikut:

1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan 2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan

keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilannasional, Hukum dan peradilan internasional

(4)

3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM

4. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara

5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi

6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi 7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan

ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka

8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa PKn pada hakikatnya adalah pendidikan yang mengarahkan siswa agar terbentuk menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

(5)

2.1.1.2 Kompetensi Dasar Pembelajaran PKN SD Tabel 2.1

SK dan KD yang digunakan Dalam Penelitian Kelas 4, Semester 2 Stándar Kompetensi Kompetensi Dasar 4. Menunjukkan sikap terhadap globalisasi di lingkungannya

4.1 Memberikan contoh sederhana pengaruh globalisasi di lingkungannya

4.2 Mengidentifikasi jenis budaya Indonesia yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan internasional

4.3 Menentukan sikap terhadap pengaruh globalisasi yang terjadi di lingkungannya

2.1.1.3 Pembelajaran PKn SD

Pendidikan Kewarganegaraan dibangun atas dasar paradigma bahwa PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Secara teoretik, PKn dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Secara programatik, PKn dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experience) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Budimansyah, 2006: 37).

Dari pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa pada dasarnya PKn adalah pendidikan yang mengarahkan siswa agar terbentuk menjadi warga Negara yang baik dan bertanggung jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar Negara Pancasila. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ciri dan

(6)

pendekatan PKn adalah sebagai pendidikan nilai dan moral. Pendidikan nilai adalah suatu proses penyelenggaraan pendidikan dimana pengembangan yang lebih ditekankan adalah aspek afektif, bukan lagi kognitif dan diwujudkan dalam bentuk perilaku kehidupan sehari-hari peserta didik sebagai individu. Oleh karena itu, pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah Dasar (SD) seharusnya diarahkan untuk penanaman nilai-nilai dan moral Pancasila ke dalam diri siswa. Sasaran pembelajaran lebih kepada aspek afektif, sehingga diharapkan siswa tidak hanya sebatas memahami, tetapi juga dapat menerapkan nilai-nilai dan norma ini ke dalam kehidupan sehari-hari.

Seperti yang telah dipaparkan pada penjelasan sebelumnya bahwa hakikat dari pembelajaran PKn adalah penanaman nilai dan moral ke dalam diri siswa. Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya mampu mengeksplorasi internal side dari seseorang, dan salah satu hasil dari internal side ini adalah sikap. Sikap merupakan posisi seseorang atau keputusan seseorang sebelum berbuat, sehingga sikap merupakan ambang batas seseorang antara sebelum melakukan suatu perbuatan atau perilaku tertentu dengan berbuat atau berperilaku tertentu.

Pembelajaran PKn perlu dilaksanakan sesuai dengan visi misinya, yaitu melalui penerapan alternative pembelajaran yang relevan diantaranya dengan Model pembelajaran Konsiderasi, Role Playing, Portfolio Based Model,VCT, Cognitive Developmental Model, Reflective Inquiry, Inquiry Social, PKKBI. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT).

2.1.2 Model Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) 2.1.2.1 Pengertian VCT

Pembelajaran PKn erat kaitannya dengan pengembangan pada ranah afektif. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembelajaran PKn lebih menitikberatkan pada penanaman nilai dan moral pada siswa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu strategi pembelajaran yang tidak hanya

(7)

menyentuh sisi kognitif saja melainkan juga bertujuan mencapai sisi sikap dan keterampilan (afektif).

Salah satu strategi yang dapat digunakan sesuai dengan karakteristik Pkn adalah model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT). Value Clarification Technique atau yang sering disingkat VCT merupakan teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa (Sanjaya: 2006). Abdul Gafur (2006: 6), juga berpendapat bahwa VCT merupakan metode menanamkan nilai (values) dengan cara sedemikian rupa sehingga peserta didik memperoleh kejelasan/kemantapan nilai. Teknik yang digunakan pada VCT dapat berupa angket dan tanya jawab. Dari pendapat para ahli tersebut, dapat dipahami bahwa VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai.

Pembelajaran VCT dapat mengajarkan siswa tentang beberapa hal sebagai berikut:

a. Memberikan nilai atas sesuatu

b. Membuat penilaian yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan c. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan yang menyangkut

masalah nilai dengan jelas, rasional dan objektif

d. Memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Fathurrohman dan Wuryandani, 2011: 36-37).

Tujuan menggunakan model VCT dalam pembelajaran PKn menurut Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2012: 88) yaitu: (1) mengetahui dan mengukur tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; (2) menanamkan kesadaran siswa tentang nilai yang dimiliki; (3) menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional (logis) dan diterima siswa; (4) melatih siswa dalam menerima dan menilai nilai dirinya dan posisi nilai orang lain.

(8)

2.1.2.2 Karakteristik Model Pembelajaran VCT

Teknik mengklarifikasi nilai (Value Clarification Technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.

Kelemahan yang sering terjadi dalam proses pembelajaran nilai atau sikap adalah proses pembelajaran dilakukan secara langsung oleh guru, artinya guru menanamkan nilai-nilai yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan nilai yang sudah tertanam dalam diri siswa. Akibatnya, sering terjadi benturan atau konflik dalam diri siswa karena ketidakcocokan antara nilai lama yang sudah terbentuk dengan nilai baru yang ditanamkan oleh guru. Siswa sering mengalami kesulitan dalam menyelaraskan nilai lama dan nilai baru. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan.

Pembelajaran VCT menurut Djahiri dalam Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2012: 91), dianggap unggul untuk pembelajaran afektif karena; pertama, mampu membina dan menanamkan nilai dan moral pada internal side; kedua, mampu mengklarifikasi dan mengungkapkan isi pesan materi yang disampaikan; ketiga mampu mengklarifikasi dan menilai kualitas nilai moral diri siswa dan nilai moral dalam kehidupan nyata; keempat, mampu mengundang, melibatkan, membina dan mengembangkan potensi diri siswa terutama potensi afektualnya; kelima, mampu memberikan pengalaman belajar dalam berbagai kehidupan; keenam, mampu menangkal, meniadakan mengintervensi dan menyubversi berbagai nilai moral naif yang ada dalam sistem nilai dan moral yang ada dalam diri seseorang; ketujuh, menuntun dan memotivasi untuk hidup layak dan bermoral tinggi.

(9)

2.1.2.3 Langkah-langkah Model Pembelajaran VCT

Jarolimek (1977) dalam Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2012: 89-90) mengklasifikasikan langkah pelaksanaan model pembelajaran VCT ke dalam 7 tahap yang dibagi menjadi 3 tingkat. Setiap tahap dijelaskan sebagai berikut:

Tingkat 1. Kebebasan Memilih

Pada tingkat ini yang terdiri dari 3 tahap pembelajaran yaitu:

1) Memilih secara bebas, artinya kesempatan untuk menentukan pilihan yang menurutnya baik karena nilai yang dipaksakan tidak akan menjadi miliknya secara penuh;

2) Memilih dari beberapa alternatif, artinya untuk menentukan pilihan dari beberapa alternatif pilihan secara bebas;

3) Memilih setelah dilakukan analisis pertimbangan konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat pilihannya.

Tingkat 2. Menghargai

Pada tingkat ini terdiri dari 2 tahap pembelajaran, yaitu:

1) Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang menjadi pilihannya, sehingga nilai tersebut akan menjadi bagian dari dirinya; 2) Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya di

depan umum, artinya jika kita menganggap nilai itu suatu pilihan, maka kita akan berani dengan penuh kesadaran untuk menunjukkannya di depan orang lain.

Tingkat 3. Berbuat

Pada tingkat ini terdapat 2 tahap pembelajaran, yaitu:

1) kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya;

2) mengulangi perilaku sesuai dengan nilai pilihannya, artinya nilai yang menjadi pilihan itu harus tercermin dalam kehidupannya sehari-hari. Langkah-langkah model pembelajaran VCT sebenarnya tergantung pada teknik yang akan diambil, akan tetapi menurut Djahiri (1985: 10), secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut :

(10)

Stimulus yang ditentukan harus bersifat dilematis dan memuat konflik nilai/moral. Hal ini bertujuan agar siswa merasakan adanya dilema karena adanya dua atau tiga nilai yang sama berat, sama benar, ataupun sama salahnya yang mengharuskan siswa untuk memecahkan atau memilihnya.

2. Penyajian Stimulus

Penyajian stimulus ini dapat melalui berbagai kegiatan, misalnya meminta siswa untuk memperagakan, membacakan hal-hal sebagai berikut:

a. Masalah (konflik nilai/moral)

b. Identifikasi fakta yang dibuat stimulus c. Menentukan kesamaan pengertian

d. Menentukan masalah utama yang akan dipecahkan 3. Penentuan Pilihan

Siswa diberi posisi kesempatan untuk menanggapi melalui : a. Penentuan pilihan secara individual

b. Penentuan pilihan secara kelompok atau kelas

c. Klarifikasi atas pilihan yang dibuat (guru berperan untuk meluruskan, menjelaskan atau memperjelas dan memanipulasi klarifikasi siswa menuju target nilai).

4. Menguji Alasan

Dilakukan dengan cara :

a. Meminta argumentasi siswa/kelompok/kelas b. Pemantauan argumentasi melalui:

1) Mempertentangkan argumen demi argument (konsep dan teori diikutsertakan melalui argument tersebut).

2) Penerapan kejadian secara analogis

3) Mengkaji akibat-akibat penerapan tersebut 4) Mengkaji kemungkinan dari kegiatan. 5. Penyimpulan dan Pengarahan

(11)

a. Kesimpulan siswa/kelompok kelas

b. Kesimpulan dan pengarahan oleh guru sesuai dengan target materi pelajaran (konsep nilai/norma/moral)

6. Tindak Lanjut (follow up) Dapat berupa :

a. Kegiatan perbaikan /remedial/pengayaan

b. Kegiatan ekstra/latihan penerapan uji coba. Khususnya masalah/kegiatan ini ada baiknya diarahkan kepada:

1) Membina kesinambungan idealisme/nilai/moral yang diajarkan dengan realita.

2) Pembinaan kesinambungan antara pendapat/ucapan dengan perbuatan

3) Pembinaan kepentingan diri dengan kepentingan umum

4) Analisis esensi penerapan melalui telaah pro/kontra atau reportasi pengalaman/kenyataan atau kaji banding pengujian pro-kontra suatu/sejumlah perbuatan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sintaks yang disampaikan oleh Djahiri.

2.1.2.4 Analisis Komponen Model Pembelajaran VCT

Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun (2009: 104-106), mengemukakan bahwa setiap model pembelajaran memiliki unsur-unsur berupa 1) Sintaks; 2) Prinsip reaksi; 3) Sistem sosial; 4) Sistem Penduukung 5) Dampak Instruksional dan dampak pengiring. Berikut akan diuraikan analisis komponen pembelajaran VCT berdasarkan teori Bruce Joyce diatas.

1. Sintaks

Sintaks merupakan urutan langkah pengajaran yang menunjuk pada fase-fase atau tahap-tahap yang harus dilakukan oleh guru bila menggunakan model pembelajaran tertentu. Menurut Djahiri (1985: 10) sintaks model pembelajaran VCT dapat diuraikan sebagai berikut:

(12)

Stimulus yang ditentukan harus bersifat dilematis dan memuat konflik nilai/moral. Hal ini bertujuan agar siswa merasakan adanya dilema karena adanya dua atau tiga nilai yang sama berat, sama benar, ataupun sama salahnya yang mengharuskan siswa untuk memecahkan atau memilihnya.

2) Penyajian Stimulus

Penyajian stimulus ini dapat melalui berbagai kegiatan, misalnya meminta siswa untuk memperagakan, membacakan hal-hal sebagai berikut:

a) Masalah (konflik nilai/moral)

b) Identifikasi fakta yang dibuat stimulus c) Menentukan kesamaan pengertian

d) Menentukan masalah utama yang akan dipecahkan 3) Penentuan Pilihan

Siswa diberi posisi kesempatan untuk menanggapi melalui : a) Penentuan pilihan secara individual

b) Penentuan pilihan secara kelompok atau kelas

c) Klarifikasi atas pilihan yang dibuat (guru berperan untuk meluruskan, menjelaskan atau memperjelas dan memanipulasi klarifikasi siswa menuju target nilai).

4) Menguji Alasan

Dilakukan dengan cara :

a) Meminta argumentasi siswa/kelompok/kelas b) Pemantauan argumentasi melalui:

1. Mempertentangkan argumen demi argument (konsep dan teori diikutsertakan melalui argument tersebut).

2. Penerapan kejadian secara analogis

3. Mengkaji akibat-akibat penerapan tersebut 4. Mengkaji kemungkinan dari kegiatan. 5) Penyimpulan dan Pengarahan

(13)

a) Kesimpulan siswa/kelompok kelas

b) Kesimpulan dan pengarahan oleh guru sesuai dengan target materi pelajaran (konsep nilai/norma/moral)

6) Tindak Lanjut (follow up) Dapat berupa :

a) Kegiatan perbaikan /remedial/pengayaan

b) Kegiatan ekstra/latihan penerapan uji coba. Khususnya masalah/kegiatan ini ada baiknya diarahkan kepada:

1. Membina kesinambungan idealisme/nilai/moral yang diajarkan dengan realita.

2. Pembinaan kesinambungan antara pendapat/ucapan dengan perbuatan

3. Pembinaan kepentingan diri dengan kepentingan umum 4. Analisis esensi penerapan melalui telaah pro/kontra atau

reportasi pengalaman/kenyataan atau kaji banding pengujian pro-kontra suatu/sejumlah perbuatan.

2. Prinsip reaksi

Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa, termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respon terhadap siswa. Prinsip ini memberi petunjuk bagaimana seharusnya guru menggunakan aturan permainan yang berlaku pada setiap model pembelajaran.

Dalam pembelajaran dengan menggunakan model VCT ini guru berperan sebagai model, dalam arti guru harus menjadi teladan atau contoh sikap sesuai yang diharapkan dalam pembelajran PKn. Selain itu, dalam proses pembelajaran, guru menjadi fasilitator yang akan memberikan bantuan ataupun pengarahan bagi siswa. Hal ini dapat dilihat pada saat guru berperan untuk meluruskan, menjelaskan atau memperjelas dan memanipulasi klarifikasi siswa menuju target nilai pada saat terjadi adu argumentasi antar siswa. Kemudian guru juga

(14)

akan membimbing siswa untuk mengambil kesimpulan sesuai dengan target nilai yang telah ditetapkan.

3. Sistem sosial

Sistem sosial merupakan pola hubungan guru dengan siswa pada saat terjadinya proses pembelajaran (situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam penggunaan metode pembelajaran tertentu).

Dalam pembelajaran menggunakan model VCT ini kegiatan kelas berorientasi pada pemecahan masalah baik secara individu, kelompok, maupun kelas. Siswa difasilitatori oleh guru mengenal dan menganalisis masalah secara rinci. Peran siswa dan guru sederajat, walaupun dalam hal ini berbeda peran.

4. Sistem pendukung

Sistem Pendukung merupakan segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk menunjang terlaksananya proses pembelajaran secara optimal. Dalam pembelajaran menggunakan model VCT ini sistem pendukung yang diperlukan dari segi kondisi lingkungan fisik yaitu ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung seperti papan tulis atau LCD untuk menampilakan masalah dilematis. Selain itu, guru juga harus mempersiapkan rancangan pembelajaran berupa RPP, Lembar kerja siswa berbasis VCT analisis nilai, dan lembar evaluasi.

5. Dampak instruksional dan dampak pengiring.

Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai atau yang berkaitan langsung dengan materi pembelajaran. Jadi, dampak instruksional merupakan kemampuan siswa yang diperoleh setelah dilaksanakannya pembelajaran. Secara umum, dampak instruksional yang dimiliki siswa setelah mengikuti pembelajaran PKn menggunakan model pembelajaran VCT ini diantaranya yaitu siswa dapat menyebutkan pengertian globalisasi, siswa dapat menyebutkan pengaruh globalisasi pada makanan, minuman dan kebudayaan, siswa dapat menentukan sikap terhadap globalisasi.Dengan menggunakan

(15)

model VCT ini, siswa akan secara aktif memecahkan suatu masalah yang dilematis. Untuk memecahkan masalah tersebut, tentu dibutuhkan pengetahuan tentang masalah tersebut. Sasaran akhir dari model pembelajaran ini adalah siswa dapat mengambil keputusan dengan target nilai yang harus dicapai dalam pembelajaran. Tujuan akhir dari pembelajaran VCT ini menekankan pada aspek sikap siswa.

Dampak pengiring adalah hasil belajar sampingan (iringan) yang dicapai sebagai akibat dari penggunaan model pembelajaran tertentu. Secara umum, dampak pengiring yang akan timbul dengan penerapan model pembelajaran VCT ini adalah siswa lebih inovatif dalam menanggapi masalah, keaktifan dalam bekerja sama, pengendalian diri dalam penyelesaian konflik, kreatif dalam menganalisis suatu permasalahan, sensitif dalam menanggapi masalah-masalah baik di lingkungan kelas maupun di lingkungan yang lebih luas.

Gambar 2.1

Dampak Pengiring dan Dampak Instruksional Model Pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) Inovatif dalam menanggapi masalah Keaktifan dalam bekerja sama Pengendalian diri dalam penyelesaian konflik Kreatif dalam menganalisis suatu permasalahan Sensitif dalam menanggapi masalah-masalah Menyebutkan pengertian globalisasi Siswa dapat menyebutkan pengaruh globalisasi pada makanan, minuman dan kebudayaan. Value Clarification Technique Siswa dapat menentukan sikap terhadap globalisasi

(16)

Keterangan :

Dampak Instruksional :

Dampak Pengiring :

2.1.2.5 Penerapan Model Pembelajaran VCT dalam Pembelajaran PKn SD

Sebelum melaksanakan pembelajaran, perlu perencanaan yang matang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran menggunakan model tertentu. Oleh karena itu, pemetaan sintak dan langkah-langkah pembelajaran perlu dibuat. Pemetaan ini berguna sebagai patokan dalam menyusun Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Berikut akan diuraikan mengenai pemetaan sintak dan langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam pembelajaran PKn menggunakan model pembelajaran VCT. Tabel 2.2 Pemetaan Sintak VCT KEGIATAN GURU SINTAKS VCT KEGIATAN SISWA 1. Menyampaikan kompetensi dasar berkaitan tentang materi yang akan dipelajari. 2. Menentukan masalah dilematik Penentuan stimulus dilematik Mempersiapkan pengetahuan awal atau pengetahuan yang telah dimilikinya 1. Menyajikan masalah yang telah ditentukan. 2. Meminta siswa mengidentifikasi masalah (konflik nilai/moral) yang ada pada stimulus

Penyajian Stimulus dilematik 1. Memperhatikan stimulus yang disediakan 2. Mengidentifikasi masalah (konflik nilai/moral) berdasarkan apa yang pernah dilakukan dalam kehidupan

(17)

sehari-hari atau berbekal pengetahuan yang dimiliki siswa saat itu Meminta siswa menanggapi secara tertulis permasalahan pada stimulus Penentuan pilihan/pendapat Menanggapi permasalahan secara tertulis sesuai dengan stimulus yang ada

1. Meminta siswa berargumentasi secara lisan 2. Pemantauan argumentasi melalui mempertentangkan argumen demi argument, penerapan kejadian secara analogis, mengkaji akibat-akibat penerapan tersebut, dan mengkaji kemungkinan dari kegiatan. Pengujian alasan melalui tanggapan siswa 1. Menyampaikan argumentasi secara lisan

Bersama dengan siswa menyimpulkan apa yang telah dipelajari dan mengarahkan sesuai dengan target materi pelajaran

Pengarahan dalam penyimpulan siswa

Bersama dengan guru menyimpulkan apa yang telah dipelajari

Mengadakan

perbaikan/pengayaan

Tindak lanjut (follow up)

Melaksanakan remedial/pengayaan

2.1.3 Hasil Belajar PKn

Secara umum, proses pendidikan terdiri dari masukan (input), tahap atau proses pembelajaran dan hasil akhir atau hasil pembelajaran (output). Hasil belajar menunjukkan pada suatu perolehan akibat adanya aktivitas belajar.

(18)

Dalam proses pembelajaran di sekolah, setelah mengikuti pembelajaran siswa diharapkan dapat merubah perilakunya dibandingkan sebelum mengikuti pembelajaran.

Menurut Nana Sudjana seperti dikutip oleh Kunandar (2010: 276), hasil belajar adalah suatu akibat dari proses belajar dengan menggunakan alat pengukuran, yaitu berupa tes yang disusun secara terancana, baik tes tertulis, tes lisan maupun tes perbuatan. Sedangkan S. Nasution seperti dikutip oleh Kunandar (2010: 276), berpendapat bahwa hasil belajar adalah suatu perubahan pada individu yang belajar, tidak hanya mengenai pengetahuan, tetapi juga membentuk kecakapan dan penghayatan dalam diri pribadi individu yang belajar. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan kemampuan siswa yang dilakukan pada proses pembelajaran dan dapat dilihat dari penilaian.

Menurut Bloom dalam Agus Supriono (2009: 6-7), terdapat tiga ranah yang digunakan untuk mengukur hasil belajar, yaitu:

1. Ranah Kognitif

Ranah kognitif yaitu berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan, ingatan, pemahaman, aplikasi, análisis, síntesis, dan evaluasi. Dalam Pkn, aspek pengetahuan ini juga dikenal sebagai Civic Knowledge. Sesuai dengan tujuan Pkn yaitu untuk membentuk warga negara yang baik maka siswa perlu dibekali dengan pengetahuan tentang PKn itu sendiri. Center for Indonesian Civic Education (CICED) dalam Winarno (2013: 109) menyebutkan komponen pengetahuan kewarganegaraan meliputi: (1) Principle of democracy; (2) Comprehend of state constitution; (3) Citizen’s rights any responssibility; (4) State’s rule of law; (5) Good government; (6) Citizenship; (7) People sovereignty; (8) Free and fair tribune; (9) Equality and equity; (10) Justice; (11) Human rights; (12) Civilization; (13) Cultural differences; (14) Democratic processes; (15) Citizenship activities; (16) National identity/attributes; (17) Civil society; (18) Free market economy; (19) Political processes; (20) Separation/distribution of power.

(19)

2. Ranah Afektif

Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu penerimaan, jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Contoh hasil belajar afektif yaitu, kemauan untuk menerima pelajaran dari guru, perhatian siswa terhadap apa yang dijelaskan guru, bertanya, dan lain -lain.

Dalam Pkn, ranah afektif ini dikenal dengan Civic Disposition. Hal ini berkaitan dnegan karakter/watak/sikap yang ditunjukkan siswa setelah menerima pembelajaran PKn. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa Civic Disposition merupakan tujuan akhir dari PKn yaitu menjadikan warga Negara yang baik.

3. Ranah Psikomotor

Ranah psikomotor yaitu hasil belajar keterampilan, dan kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni: gerakan refleks (keterampilan pada gerakan yang tidak sadar), keterampilan gerakan-gerakan dasar, kemampuan perseptual (membedakan visual, auditif, dan motoris), kemampuan dibidang fisik (misalnya kekuatan, ketepatan), gerakan-gerakan skill, dan kemampuan yang berkenaan dengan gerakan ekspresif dan interpreatif.

Dalam Pkn, ranah psikomotor berkaitan dengan keterampilan kewarganegaraan (Civic Skill). Kecakapan kewarganegaraan kadang disebut sebagai kecakapan berpikir kritis. Kecakapan ini antara lain: mengidentifikasi dan menjelaskan; menjelaskan dan menganalisis; mengevaluasi, mengambil, dan memahami isuisu publik. Warga negara harus mampu menganalisis hal-hal seperti komponen dan konsekuensi dari ide-ide, proses sosial, politik, atau ekonomi, dan lembaga. Hal ini memungkinkan warga negara untuk membedakan antara fakta dan opini. Keterampilan ini memungkinkan warga negara untuk menilai dan membahas isu-isu publik.

Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah tersebut dalam pembelajaran PKn ranah afektif

(20)

yang seharusnya lebih banyak dikembangkan oleh guru di sekolah. Dalam penelitian ini, hasil belajar yang menjadi fokus perhatian adalah pada ranah afektif, terutama aspek sikap.

2.1.4 Penilaian Aspek Sikap pada Pembelajaran PKn

Mengenai pengertian “sikap” itu sendiri, banyak ahli dalam bidang psikologi sosial dan sosiologi yang telah memberikan definisi. Akan tetapi ada kesamaan yang dapat diterima semua pihak. Rokeach seperti dikutip oleh Mardapi (2008: 75), misalnya mengartikan sikap itu sebagai organisasi keyakinan yang relatif tetap tentang suatu objek atau situasi, yang menimbulkan kecenderungan pada seseorang untuk merespon dengan cara-cara tertentu. Sementara Alport seperti dikutip oleh Azwar (2011: 25) menekankan bahwa sikap merupakan suatu keadaan neuropsikis dari kesiapan seseorang untuk melakukan kegiatan mental dan kesiapan untuk merespon, suatu keadaan batin individu yang terarah pada suatu nilai. Dari dua pengertian sikap yang telah dikemukakan di atas, Nampak bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi berupa kesiapan dan kecenderungan untuk merespon. Dengan demikian sikap seseorang tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus ditafsirkan terlebih dahulu dari tingkah laku yang tampak baik verbal maupun non verbal. Di dalam sikap terdapat tiga komponen yang disebut dengan istilah kognisi, afeksi dan konasi. (Azwar, 2011: 27). Komponen kognisi berhubungan dengan keyakinan (belief, ide dan konsep). Komponen afeksi menyangkut kehidupan emosional seseorang sedangkan komponen konasi merupakan kecenderungan untuk berperilaku.

Ketiga komponen sikap tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan berinteraksi satu dengan yang lainnya secara kompleks. Dengan demikian timbulnya sikap terhadap suatu objek tidak bisa dilepaskan dari komponen kognisi, afeksi dan konasi. Komponen kognisi akan menimbulkan persepsi, ide dan konsep mengenai sesuatu yang dilihat. Persepsi

(21)

dipengaruhi oleh faktor pengalaman, proses belajar (sosialisasi), keluasan pandangan dan pengetahuan seseorang. Faktor pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk dan struktur terhadap hal yang dilihat. Sedangkan keluasan pandangan (cakrawala) dan pengetahuan akan memberi arti kepada obyek yang dimaksud. Kemudian berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai yang dianut seseorang, maka ia akan mempunyai keyakinan (belief) tertentu terhadap suatu obyek. Selanjutnya komponen afeksi memberikan evaluasi emosional yang berupa perasaan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju terhadap obyek tersebut. Pada tahab berikutnya berperan komponen konasi yang menentukan kesedian atau kesiapan untuk bertindak terhadap obyek itu.

Sikap yang dimiliki oleh seseorang lebih dipandang sebagai hasil belajar dari pada hasil perkembangan atau sesuatu yang diturunkan. Ini berarti bahwa sikap diperoleh melalui interaksi dengan obyek sosial atau peristiwa sosial. Oleh karenanya sikap dapat berubah-ubah, sehingga dapat dipelajari dan dibentuk.

Pertanyaan berikut berkaitan dengan sikap adalah bagaimana mengukur sikap? Ada empat pendekatan yang dapat dipergunakan untuk mengetahui sikap seseorang, yaitu: (1) dengan menggunakan laporan diri sendiri (self-report) (2) melalui laporan orang lain, (3) prosedur sosio metri, dan (4) pencatatan dokumen. Berdasarkan empat pendekatan tersebut dikembangkan teknik-teknik yang akan digunakan untuk mengukur sikap, seperti: wawancara langsung, laporan tertulis, kuesioner, pengumpulan pendapat (polls), observasi, teknik pilihan social, skala sikap, dan masih ada lainnya.

Keempat pendekatan yang telah dikembangkan diatas, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Demikian juga dengan teknik-teknik pengukuran yang dikembangkan; oleh sebab itu pemilihan terhadap salah satu dari empat pendekatan tersebut haruslah memperhatikan asumsi yang melandasinya. Misalnya, jika jika kita hendak menggunakan laporan diri sendiri (self-report), maka orang yang

(22)

sikapnya ingin kita ketahui seyogyanya: (a) dapat memahami pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan kepadanya, (b) memiliki kesadaran diri yang memadai untuk memberikan informasi yang diperlukan dan (c) terdapat kemungkinan yang besar bahwa mereka akan menjawab pertanyaan secara jujur. Atas dasar tujuan penelitian ini, pembahasan difokuskan pada skala sikap. Salah satu model skala sikap yang sudah familiar dalam penilaian pembelajaran adalah skala sikap model Likert.

Menyusun sejumlah besar pertanyaan sikap (item) merupakan langkah pertama dari proses penyusunan skala Likert. Untuk masing-masing item, penyusun perlu menetapkan apakah pernyataan sikap yang disusunnya itu menunjukan dukungan (favourable) atau menolak (unfavourable) terhadap obyek sikap. Akan tetapi dari item-item itu dalam kontinum psikologinya tidak diketahui. Oleh karena didalam memberikan respon, subyek diijinkan memilih salah satu dari kemungkinan jawaban yang disediakan; sangat setuju, setuju, ragu-ragu/ tidak ditentukan (undecided), tidak setuju, sangat tidak setuju. Dengan demikian subyek yang sangat positif sikapnya terhadap suatu obyek akan memiliki jawaban “sangat setuju” untuk pernyataan positif.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian dipandang perlu mempunyai kajian penelitian terdahulu yang relevan. Hasil penelitian yang relevan dengan penerapan model VCT yaitu penelitian yang dilakukan oleh N. L. P. Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I Nyoman Murda (2015), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perbandingan hasil perhitungan rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model VCT adalah 120,31 lebih besar dari rata-rata hasil belajar ranah afektif mata pelajaran PKn siswa yang mengikuti pembelajaran model konvensional adalah 97,14. Mendukung penelitian yang dilakukan N. L. P. Eka Agustini, Ndara Tanggu Renda, I Nyoman Murda (2015), Kd. Dewi Anggarini, I Nym. Murda, I Wyn. Sudiana (2013) telah membuktikan bahwa model pembelajaran Value Clarification Technique (VCT) berbantuan media gambar berpengaruh positif terhadap nilai karakter siswa

(23)

mata pelajaran PKn pada siswa kelas V di Gugus VI Tajun Kecamatan Kubutambahan.

Si Ayu Sri Wahyuni, Ni Nyn. Ganing, I Md. Suara (2013), juga telah berhasil menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil belajar PKn antara siswa yang dibelajarkan melalui Kontekstual Bermuatan Klarifikasi Nilai dengan siswa yang dibelajarkan secara konvensional (hitung (3,23) > tabel (1,980). Begitu pula dengan Mursetyadi Yuli Sadono, Muhsinatun Siasah Masruri (2014), hasil penelitiannya menunjukan bahwa rerata hasil belajar afektif siswa dengan pembelajaran VCT lebih tinggi daripada siswa yang belajar dengan teknik konvensional (151,47>138,91; α 0,000). Dewa Ayu, I Made Suara, I Gede Meter (2014), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT berbantuan media cerita bergambar berpengaruh dan signifikan terhadap hasil belajar PKn siswa kelas V SD Gugus 1 Kecamatan Gianyar.

Peneliti lain, yaitu Fairizah Haris (2013), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT efektif digunakan dalam pembelajaran PKn. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra Wahyu Perdana (2012), yang menunjukkan bahwa model VCT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Herniawati (2012), dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa model pembelajaran VCT dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Beberapa penelitian tersebut di atas menyatakan bahwa model pembelajaran VCT memberikan pengaruh yang positif terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn baik dari aspek kognitif maupun aspek afektif. Berbeda dengan temuan peneliti di atas, Farida Herna Astuti (2014) menemukan hasil yang berbeda. Penelitiannya mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan skor rata-rata yang signifikan setelah dilakukan pembelajaran dengan model VCT.

(24)

2.3 Kerangka Berpikir

Keberhasilan proses belajar mengajar di sekolah dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah kondisi siswa baik internal maupun ekternal, kurikulum, serta sarana prasarana yang tersedia.

Hasil belajar PKn ditentukan oleh proses belajar PKn. Jika proses belajar berjalan baik dan melibatkan intelektual dan emosional peserta didik secara optimal maka hasil belajar PKn juga akan optimal. Agar hasil belajar PKn sesuai dengan tujuannya yaitu sebagai sarana penanaman nilai, salah satunya dengan pemilihan model atau metode belajar yang sesuai dengan tujuan tersebut.

Untuk melakukan pembenahan dan inovasi terkait dengan strategi dan model yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn, salah satunya dengan model pembelajarn Value Clarification Technique (VCT). Model pembelajaran VCT merupakan model pembelajaran yang digunakan untuk penanaman nilai. Penanaman nilai ini dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada dalam diri siswa sebelumnya kemudian menyelaraskannya dengan nilai baru yang ingin ditanamkan. Dengan demikian diharapkan dapat diketahui pengaruh hasil belajar PKn pada aspek afektif antara siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional dengan model pembelajaran VCT.

(25)

Gambar 2.2 Kerangka Pikir Keterangan : Dampak Instruksional : Dampak Pengiring : Model VCT Penentuan stimulus Penyajian stimulus dilematik Tindak lanjut Penentuan pilihan Pengujian alasan Pengarahan dalam penyimpulan Hasil Belajar Ranah Afektif Siswa dapat menentukan sikap terhadap globalisasi Menyebutkan pengertian globalisasi Siswa dapat menyebutkan pengaruh globalisasi pada makanan, minuman dan kebudayaan. Inovatif dalam menanggapi masalah

Keaktifan dalam bekerja sama

Pengendalian diri dalam penyelesaian konflik Sensitif dalam menanggapi masalah-masalah Kreatif dalam menganalisis suatu permasalahan

(26)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka hipotesis tindakan yang penulis ajukan adalah sebagai berikut :

Hasil belajar berupa sikap terhadap Globalisasai pada pembelajaran PKn menggunkan VCT lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan hasil pembelajaran menggunakan model pembelajaran konvensional.

Gambar

Gambar 2.2  Kerangka Pikir   Keterangan :  Dampak Instruksional   :   Dampak Pengiring  :   Model VCT  Penentuan stimulus Penyajian stimulus dilematik Tindak lanjut Penentuan pilihan Pengujian alasan Pengarahan dalam penyimpulan  Hasil  Belajar Ranah Afekt

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang dilakukan oleh Tim IbM dalam melaksanakan solusi dari permasalahan Mitra asosiasi peternak kelinci ”Mandiri” untuk meningkatkan produksi dan memperbaiki

Kemampuan Guru dalam menyusun naskah tes dengan menggunakan kalimat efektif masih sangat memprihatinkan hal ini diketahui dari naskah yang disusun oleh Guru SMK Negeri

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak (Lembaran

Menurt Solomon dan Rothblum (Rachmahana, 2001, h.135) individu yang kurang asertif tidak mau mencari bantuan ( seeking for help) kepada orang lain untuk membantu

Hal ini dapat dilihat dari hasil kuisioner yaitu sebanyak 50 responden atau 48,08% yang menyatakan setuju serta 33 responden atau 31,73% yang menyatakan

KELAMIN (TEMPAT TINGGAL BAKAL.. Anggota : Dahliah Umar, MA. ....

Apabila konseling perorangan menunjukkan layanan kepada individu atau klien orang-perorangan maka bimbingan kelompok mengarahkan layanan kepada sekelompok individu. Dengan satu