• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) 2.2 Agathis Ciri Pohon Agathis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) 2.2 Agathis Ciri Pohon Agathis"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

 

2.1 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)

Menurut Undang-undang Pokok Kehutanan No. 41 Tahun 1999, hasil hutan adalah benda-benda hayati, non hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. Salah satu kelompok hasil hutan yang dikenal di Indonesia adalah hasil hutan bukan kayu (HHBK), yaitu semua hasil hutan baik berupa makhluk hidup nabati (kecuali kayu pertukangan dan kayu bakar) dan hewani, maupun jasa dari kawasan hutan (Sumadiwangsa 1998). Menurut Statistik Kehutanan Indonesia (2010) produksi kopal setiap tahun mengalami peningkatan. Data terakhir produksi kopal mencapai 414 ton pada tahun 2009.

2.2 Agathis

2.2.1 Ciri Pohon Agathis

Agathis spp. merupakan tanaman dari famili Araucariaceae. Pohon ini

berukuran sedang hingga sangat besar, berumah satu, tingginya hingga 60-65 m, batang utamanya lurus, berbentuk silinder, diameter hingga 150 cm, tajuk berbentuk kerucut dan berwarna hijau dengan percabangan yang melingkari batang. Kulit luar berwarna kelabu sampai coklat tua, mengelupas kecil-kecil berbentuk bundar atau bulat telur. Pohon tidak berbanir, mengeluarkan damar yang lazim disebut kopal. Pohon agathis tumbuh dalam hutan primer pada tanah berpasir, berbatu-batu atau tanah liat yang selamanya tidak digenangi air, pada

ketinggian 2-1.750 m dari permukaan laut (Martawijaya et al. 2005).

Agathis loranthifolia memiliki kayu gubal keputih-putihan hingga

kecoklatan, kadang bersemu merah jambu tanpa teras yang jelas. Daun dewasa berhadapan, bundar telur, panjang 6-8 cm, lebar 2-3 cm, pangkal daun membaji, ujung runcing, banyak tulang daun sejajar. Bunga jantan dan betina berada pada tandan berbeda, pada pohon yang sama (berumah satu). Kerucut betina berbentuk elips hingga bundar berukuran 6-8,5 x 5,5-6,5 cm, terdiri dari sayap berukuran 30-40 x 20-25 mm, berbentuk segitiga kasar, batas bagian ujung membulat, sisinya rata, panjang 3-4 cm, diameter melintang 10 mm. Tangkai dari kelompok atau sebagian kerucut jantan memanjang hingga 4 mm, bersifat permanen atau

(2)

menyatu dengan dasarnya, diameter melintang microsporophyl berukuran hingga 2 mm, bagian ujung membulat. Kerucut jantan berwarna hijau sampai hijau cerah dan berubah menjadi coklat saat masak dan pelepasan serbuk sari. Serbuk sari

tidak bersayap berdiameter 20,16-50,4 mikron (Nurhasybi & Sudrajat2001).

Kayu agathis diklasifikasikan agak kuat namun tidak awet dan tidak tahan terhadap pembusukan. Kayunya terutama digunakan untuk korek api, perabot rumah tangga, finir bermutu baik, bahan kertas, kayu lapis dan pulp. Bagian dalam kulit kayu mengeluarkan resin bening (kopal), yang merupakan bagian penting dalam pembuatan pelitur dan dahulu digunakan dalam pembuatan minyak

pelapis lantai, pernis, dupa, cat dll (Nurhasybi & Sudrajat2001).

Menurut Salverda (1937) dalam Manuputty (1995), saluran-saluran getah

pada agathis terdapat dalam kulit bagian dalam, berjalan tangensial antara kambium dan kambium gabus. Jika ditampang, kulit bagian dalam agathis terlihat saluran-saluran damar yang lebar dan terang. Jalannya saluran-saluran damar membujur tetapi hubungan melintang dalam lapisan-lapisan tangensial juga terdapat. Lapisan masing-masing tidak berhubungan satu sama lain. Jika dilukai, tentu terdapat aliran yang keras oleh karena banyak saluran damar yang terpotong. Jumlah saluran kopal yang berada dalam kulit yang masih hidup itu, semakin ke dalam semakin bertambah. Jika suatu luka dibuat pada kulit dalam, maka sesudah beberapa detik, kopal mengalir keluar dari saluran-saluran dan merupakan titik-titik pada permukaan luka itu. Jika kopal mulai mengeras, saluran damar itu menjadi tersumbat dan luka itu harus diperbaharui setelah kopal diambil.

2.2.2 Penyebaran dan Habitat

Nurhasybi dan Sudrajat (2001) mengatakan bahwa daerah penyebaran alami

Agathis loranthifolia meliputi Papua New Guinea, New Britain, Indonesia

(Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Irian Jaya), Philipina, Malaya. Jenis ini umumnya tumbuh pada dataran tinggi (300 1.200 m dpl) dengan kelembaban (3.000-4.000 mm/tahun). Temperatur rata-rata tahunan 25-300°C. Pada dataran rendah, jenis ini ditemukan pada tanah berbatu seperti pasir podzolik (pada hutan kerangas), ultrabasa, tanah kapur, dan batuan endapan. Anakan jenis ini memerlukan naungan dan memperlihatkan pertumbuhan yang lambat selama

(3)

tahun pertama. Setelah bebas dari kompetisi dengan semak belukar, pertumbuhannya menjadi cepat, seperti terlihat pada sebagian besar hutan hujan primer. Sistem perakaran sensitif terhadap kekurangan oksigen dan pohon tidak tahan genangan air. Jenis ini ditanam sebagai hutan tanaman, penanaman sulaman dan reboisasi di berbagai wilayah sebaran alaminya. Di luar sebaran alaminya, telah di tanam di Jawa. Agathis memerlukan drainase yang baik dan tumbuh pada

kondisi tanah dengan pH 6,0-6,5 serta tahan terhadap tanah berat (heavy soil) dan

keasaman.

2.3 Struktur Anatomi Kayu Konifer

Mandang dan Pandit (1997) menyatakan kelompok kayu daun jarum, juga sering disebut kayu lunak atau kayu konifer. Struktur kayu daun jarum lebih sederhana bila dibandingkan dengan struktur kayu daun lebar. Oleh karena itu kelompok ini sering juga disebut sebagai kayu berstruktur homogen. Struktur anatominya meliputi:

1. Macam sel, fungsi dan susunannya

Berbeda dengan jenis-jenis pohon kayu daun lebar, jenis-jenis pohon kayu daun jarum tidak memiliki sel-sel pembuluh dalam kayunya. Yang ada hanya serat, parenkima aksial dan jari-jari. Fungsinya sama dengan sel-sel serupa pada daun lebar. Fungsi saluran air dan zat hara yang ada pada kayu daun lebar dijalankan oleh sel-sel pembuluh, pada kayu daun jarum dirangkap oleh serat. Tidak adanya pembuluh pada kayu daun jarum memudahkan untuk membedakannya dari kayu daun lebar secara makroskopik. Pada penampang bujur (tangensial/radial) kayu daun lebar terdapat goresan-goresan sel pembuluh, tetapi tidak demikian pada kayu daun jarum. Susunan sel-sel kayu daun jarum dalam batang pohon terdapat saluran interseluler, tetapi perlu diketahui bahwa tidak semua kayu daun jarum mempunyai saluran interselular.

2. Trakeid

Serat pada kayu daun jarum dikenal juga dengan nama trakeid yang ujungnya pipih. Serat berfungsi sebagai penguat batang pohon. Panjangnya dapat mencapai 6000 mikron, bahkan ada yang dapat

(4)

mencapai 10.000 mikron, 3-4 kali lebih panjang dari serat kayu daun lebar. Pada dindingnya terdapat noktah-noktah berhalaman.

3. Parenkima

Parenkima pada kayu daun jarum mempunyai bentuk dan fungsi yang sama dengan parenkima pada kayu daun lebar. Parenkima adalah sel-sel yang mirip kotak. Dinding selnya relatif tipis. Sel-sel inilah yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara hasil fotosintesis, dan mungkin juga sebagai tempat pengolahan lebih lanjut untuk keperluan jaringan di sekitarnya. Parenkima tidak ada atau sangat jarang terlihat pada kayu agathis dan araukaria. Pada beberapa jenis kayu terdapat rongga-rongga antar sel yang berupa saluran-saluran sempit yang dikelilingi oleh parenkima, serta selaput yang terdiri atas sel-sel epitel. Ke saluran interseluler ini, parenkima mengeluarkan zat-zat damar pada jenis-jenis pohon Dipterocarpaceae dan Pinaceae atau zat-zat seperti balsam pada pohon sindur dan pada pohon kenari.

Ada dua macam saluran interseluler jika dilihat dari arah bentangannya. Saluran interseluler yang membentang searah dengan sumbu batang dinamakan saluran aksial dan saluran yang membentang searah dengan jari-jari dinamakan saluran radial. Kehadiran saluran interseluler pada suatu jenis kayu mungkin akibat sifat keturunan, seperti yang terdapat pada kayu tusam, atau karena kombinasi faktor keturunan dengan faktor luar, misalnya serangan hama seperti yang sering dijumpai pada kayu dari pohon-pohon suku Dipterocarpaceae dan yang kadang-kadang dijumpai pada pohon sindur dan palapi. Saluran yang hadir karena faktor keturunan dinamakan saluran normal sedangkan saluran yang timbul karena faktor luar disebut saluran traumatik. Pada damar dapat dijumpai saluran radial, kehadiran saluran ini ditandai dengan getah yang berwarna putih ketika disayat (Yayan 1992).

2.4 Kopal

Menurut Whitmore (1977), kopal merupakan eksudat dari kulit dalam

(5)

lama semakin keras setelah terkontaminasi dengan udara. Schuitmaker dan

Koppel (1988) dalam Lempang (1997) menunjukan bahwa di Indonesia kopal

hanya diartikan untuk damar yang berasal dari pohon Agathis spp. yang termasuk

pohon konifer. Sedangkan dammar adalah semua damar-damar lainnya yang didapat dan utamanya berasal dari Dipterocarpaceae.

Menurut Manupputy (1995), istilah kopal sering dikacaukan dengan istilah damar, yaitu getah yang dihasilkan dari pohon-pohon famili Dipterocarpaceae dan Burceraceae. Adapun perbedaan-perbedaan yang tampak pada keduanya adalah pada kopal tidak terdapat lubang-lubang udara, sukar dihaluskan, dan mempunyai sifat larut dalam alkohol, tetapi tidak larut dalam minyak tanah atau terpentin serta akan terjadi nyala yang besar bila terbakar. Sedangkan damar mempunyai sifat-sifat kebalikan dari kopal, yaitu mempunyai banyak lubang udara, bisa dihaluskan, dan tidak larut dalam alkohol tetapi larut dalam minyak tanah atau terpentin, serta akan meleleh dan menetes bila terbakar.

Partadiredja dan Koamesakh (1973), menyebutkan bahwa kopal menurut asal dan cara dihasikannya ada dua jenis yaitu kopal sadap dan kopal galian. Kopal sadap yaitu kopal yang diperoleh dengan cara melukai pohon. Sedangkan kopal galian yaitu kopal yang diperoleh dalam tanah, berasal dari sekresi pohon damar yang tertimbun dalam tanah. Jenis kopal ini tanpa disadap, menetes dari pohon damar secara alami. Jenis-jenis kopal yang tergolong dalam kopal sadap adalah kopal loba, dan kopal melengket, sedangkan kopal yang tergolong dalam kopal galian adalah kopal bua. Secara umum kopal digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu :

1. Kopal loba yaitu kopal yang dipungut dari pohon setelah satu atau

beberapa bulan disadap, keadaannya lebih keras dan tidak mudah melengket. Berwarna putih kekuningan sampai kecoklatan tergantung lamanya pembersihan.

2. Kopal melengket yaitu kopal yang dipungut dari pohon sekitar dua

sampai tiga minggu setelah penyadapan, masih lembek dan lengket serta kotoran mudah melengket. Berwarna putih sampai kekuningan.

(6)

3. Kopal bua yaitu kopal yang tidak disadap, kopal keluar secara alami, sering terjadi setelah bertahun-tahun tertimbun di dalam tanah dan tercampur dengan kotoran sehingga berwarna coklat kehitam-hitaman.

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopal

Menurut Riyanto (1980), potensi kopal secara kuantitatif pada dasarnya dipengaruhi dua faktor pokok, yaitu:

1. Faktor pasif yang terdiri dari kualitas tempat tumbuh, umur pohon,

kerapatan tegakan, sifat genetik dan ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut

2. Faktor aktif yang terdiri dari kuantitas dan kualitas tenaga sadap,

perlakuan kimia, dan pelakuan mekanis, seperti penutupan luka dengan plastik.

Lempang (1997) menyatakan bahwa kelas ukuran diameter batang memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata. Semakin besar diameter batang semakin besar hasil kopal. Hal ini dapat dimengerti karena semakin besar diameter batang, maka lebar dan ketebalan kulit batang akan juga semakin besar. Dengan demikian semakin besar diameter batang akan semakin banyak jumlah jaringan epitel pada kulit batang yang memproduksi getah.

Selain pada faktor alat sadap, produksi kopal juga dipengaruhi oleh kondisi iklim pada lokasi penelitian, dimana kopal akan meningkat pada saat hari tidak hujan atau keadaan iklim yang relatif cerah. Hal ini diduga dengan kondisi iklim yg cerah atau hari tidak hujan maka proses keluarnya kopal menjadi lancar sehingga kopal akan tertampung sepenuhnya pada gelas penampung. Hal ini berbeda ketika kondisi hari hujan, kopal yang keluar dari jaringan kulit batang mengalir tidak tertampung pada gelas penampung melainkan meluap hingga jatuh ke permukaan tanah akibat gelas penampung terpenuhi oleh air hujan. Hal ini akan memberikan hasil yang berbeda pada saat dilakukan penimbangan dimana berat kopal cenderung jadi berkurang (Wratsongko 2005).

Menurut Sumantri dan Endom (1985), keluarnya kopal dipengaruhi oleh tutup luka sadapan, arah sadapan dan lamanya penyadapan. Menurut Siswandoyo (1999), perbedaan waktu penyadapan dan macam penutupan luka yang digunakan

(7)

menyebabkan produksi tersebut menjadi berbeda. Produksi getah paling banyak diperoleh bila penyadapan dilakukan pada pagi hari dan ditutup dengan plastik hitam. Hasil rata-rata produksi perpohon dengan cara ini mencapai 17,41 gram. Hal ini disebabkan kelembaban yang masih tinggi serta suhu udara rendah pada pagi hari dan sinar matahari belum mampu menembus kekebalan kabut yang ada, sehingga getah tidak cepat beku dan produksi getah lebih banyak.

2.6 Penyadapan Getah Agathis spp.

Pohon Agathis yang diambil getahnya harus diambil dari pohon yang sehat. Pohon-pohon yang tidak sehat atau tidak normal (busuk batang, kanker batang, dan terpuntir 30%) sebaiknya tidak disadap walaupun menghasilkan getah yang lebih banyak, karena akan lebih mudah terserang penyakit sehingga akan menurunkan kualitas kayunya. Pohon Agathis yang diambil getahnya adalah pohon yang berdiameter 30 cm ke atas. Penyadapan getah juga dilakukan pada pohon yang telah berumur 21 tahun (Hidayati 2005).

Menurut Riyanto (1980) bahwa ada beberapa cara penyadapan kopal,

diantaranya:

1. Cara primitif

Cara ini dilakukan dengan memukul kulit kayu menggunakan kayu atau alat pemukul pada batang setinggi 1-1,5 meter. Kulit yang terluka samar mengeluarkan getah dan mengalami peradangan. Cara ini menyebabkan pembusukan batang atau kanker batang.

2. Cara tradisional

Alat yang digunakan adalah kudi. Untuk membuat luka sadapan dipergunakan bagian perut kudi yang telah diasah tajam. Perut kudi dibacokkan berulang-ulang secara tidak teratur disekeliling pohon pada ketinggian 1-1,5 meter. Setelah 6 hari getah mengental dan dipungut sambil

memperbaharui luka. Cara ini menimbulkan bekas-bekas berupa callus yang

(8)

3. Cara baru

Cara ini menggunakan perlukaan-perlukaan tertentu, baik dalam pembuatan luka sadap, penutupan luka sadap, maupun pemberian bahan-bahan kimia untuk memperlambat penutupan luka sadap. Bentuk luka sadap yang pernah digunakan adalah:

a. Luka sadap bentuk vertikal dan sempit. Pembuatan luka sadap bentuk

vertikal dan sempit, aliran getah baik dan luka cepat kering sehingga harus dilakukan pembaharuan luka. Karena luka yang dibuat sempit mengakibatkan getah akan mengalir melalui kulit sehingga mudah menjadi kotor.

b. Luka sadap potongan miring. Pada penyadapan pola miring dapat

meningkatkan hasil kopal sebesar 15% dibandingkan dengan pola datar.

c. Luka sadap bentuk V dan V terbalik. Bentuk luka V meningkatkan hasil

getah 85% daripada bentuk V terbalik (Sumantri dan Endom 1985).

4. Cara perum perhutani

Pelukaan awal dibuat 10 cm di atas permukan tanah dengan lebar 10 cm dan dalam 1 cm, banyaknya koakan perpohon tergantung dari keliling pohon. Bagian-bagian sadap pada suatu pohon tidak boleh terlalu rapat, jarang satu dengan yang lainnya sekurang-kurangnya 0,8-1 cm, sedalam 1 cm dan lebar 10 cm dilakukan bersama dengan pemungutan getah.

2.7 Peranan Stimulansia Organik dan Zat Pengatur Tumbuh

Hormon tumbuhan adalah senyawa organik yang disintesis di salah satu bagian tumbuhan dan dipindahkan ke bagian lain, dan pada konsentrasi yang sangat rendah mampu menimbulkan suatu respons fisiologis (Frank & Cleon 1995).

Etilen merupakan suatu senyawa karbon sederhana yang tidak jenuh dalam bentuk gas yang memiliki sifat-sifat fisiologis yang luas pada aspek pertumbuhan,

perkembangan dan senescen tanaman. Etilen dianggap sebagai hormon tumbuhan

karena merupakan hasil metabolisme, bekerja pada jumlah yang kecil, bekerjasama atau antagonistik dengan hormon-hormon tumbuhan lainnya. Etilen berupa gas yang dibentuk dari pembakaran yang tidak sempurna dari

(9)

senyawa-senyawa yang kaya akan ikatan karbon seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam. Tanaman memproduksi etilen melalui proses metabolisma selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut. Buah yang dalam proses pemasakan memproduksi etilen dalam jumlah yang sangat tinggi. Selain iu etilen juga diproduksi pada jaringan-jaringan dan organ tanaman lainnya seperti bunga, daun, batang, akar, umbi dan biji. Jumlah etilen yang normal di dalam jaringan tanaman adalah rendah, biasanya kurang dari 0,1 ppm. Tetapi secara lokal konsentrasi etilen dapat meningkat tinggi pada sesuatu waktu tertentu di dalam masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wattimena 1988).

Menurut Moore (1979), ethylene dapat menstimulasi pemasakan buah,

absisi daun, menghambat pertumbuhan akar, meningkatkan permeabilitas batang, merangsang pembentukan bunga, dan lain sebagainya. Sedangkan menurut

Wattimena (1988) fungsi lain dari ethylene adalah merangsang eksudasi atau

pengeluaran getah.

Fahutan IPB (1989) menyatakan bahwa getah atau resin terbentuk sebagai akibat proses metabolisme sekunder dalam pohon. Getah berfungsi untuk melindungi sel-sel yang sedang tumbuh, memacu aktivitas pertumbuhan untuk penutupan luka mekanis jika terjadi serangan hama serta penyakit. Mengenai proses pembentukan getah, ada beberapa pendapat yang mencoba mengungkapkan, antara lain bahwa resin dibentuk untuk menyeimbangkan aktivitas hormon. Hormon pada pohon yang berpengaruh pada getah yaitu etilen. Hormon ini aktif bila ada kerusakan mekanis, stress dan terjadinya infeksi contohnya perlukaan. Suatu tahap pembentukan resin yang polanya cukup konsisten adalah adanya dehidratasi jaringan diikuti pembentukan etilen. Peranan etilen tersebut terutama mereorganisasi peranan enzim dalam sistem sel untuk sintesa grup polyphenol sehingga dapat mendorong terbentuknya resin dalam pohon. Oleh karena itu senyawa yang dapat merangsang pembentukan etilen dalam pohon sering dipergunakan sebagai stimulansia bagi peningkatan produksi resin. Sebagai contoh misalnya penggunaan 2-Chloro ethyl-phosponic acid (CEPA-Ethrel).

Produksi getah dalam pohon dapat ditingkatkan dengan memberikan rangsangan terhadap proses metabolisme dalam sel dan struktur jaringan lainnya.

(10)

Bahan-bahan yang dapat berfungsi memberi rangsangan tadi bisa berupa bahan-bahan kimiawi atau bentuk perlakuan mekanis pada pohon. Peranan stimulansia dalam hal ini adalah membantu produksi resin sehingga jumlahnya dalam pohon meningkat, namun adakalanya stimulansia tersebut menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan baik terhadap jumlah dan kualitas resin yang keluar maupun terhadap kondisi jaringan sel-sel penghasil resin itu sendiri (Fahutan IPB 1989).

Etilen merupakan senyawa yang larut di dalam lemak sedangkan membran dari sel terdiri dari senyawa lemak. Oleh karena itu etilen dapat larut dan menembus ke dalam membran mitokondria. Apabila mitokondria pada fase klimakterik diekrasi kemudian ditambah etilen, ternyata terjadi pengembangan volume yang akan meningkatkan permeabilitas sel sehingga bahan-bahan dari luar mitokondria akan dapat masuk. Dengan perubahan-perubahan permeabilitas sel akan memungkinkan interaksi yang lebih besar antara substrat buah dengan enzim-enzim pematangan. Produksi etilen juga dipengaruhi oleh faktor suhu dan oksigen. Suhu rendah maupun suhu tinggi dapat menekan produksi etilen. Pada kadar oksigen di bawah 2% tidak terbentuk etilen, karena oksigen sangat diperlukan. Oleh karena itu suhu rendah dan oksigen rendah dipergunakan dalam praktek penyimpanan buah-buahan, karena akan dapat memperpanjang daya simpan dari buah-buahan tersebut (Ratna 2008).

Asam sitrat atau asam β-3-hidroksi trikarbosiklis, 2-hidroksi-1,2,3-propana

trikarbosiklis, mempunyai rumus kimia C6H8O7. Asam sitrat merupakan asam

organik lemah yang ditemukan pada daun dan buah tumbuhan genus Citrus

(jeruk-jerukan). Winarno (2002) mengatakan bahwa asam sitrat bersifat sebagai

chelating agent (komponen penghambat) yaitu senyawa yang dapat mengikat

logam-logam divalen seperti Mn, Mg dan Fe yang sangat diperlukan sebagai katalisator (senyawa yang membantu mempercepat suatu reaksi) dalam reaksi-reaksi biologis. Karena itu reaksi-reaksi biologis dapat dihambat dengan penambahan asam sitrat, dimana asam sitrat dapat berperan seperti asam sulfat yaitu mampu menghambat getah untuk membentuk rantai siklik dan tetap dalam bentuk aldehida sehingga getah tetap encer.

(11)

2.8 Penggunaan Etilen di berbagai bidang

Bahan yang melepaskan etilen, yang dinamakan Ethrel (nama dagang) atau etepon (nama umum) tersedia di pasaran. Bahannya adalah asam 2-kloroetilfosfonat (C1-CH2-CH2-PO3H2) yang dengan cepat dapat terurai dalam air pada pH netral atau basa menjadi etilen serta sebuah ion Cl- dan H2PO4-. Biasanya digunakan sebagai pemacu pembungaan dan pemasakan buah dalam berbagai aspek hortikultura. Etepon sering pula digunakan dalam penelitian sebagai sumber etilen. Etilen dapat dianggap sebagai hormon stres sebab diproduksi dalam jumlah jauh lebih besar saat tumbuhan mengalami berbagai keadaan rawan. Etilen akan mengalami dekomposisi pada pH 4,1 atau lebih dan akan melepaskan etillen pada jaringan tanaman. Sedangkan dalam larutan encer di bawah pH 4 etepon akan tetap stabil. Selanjutnya dijelaskan bahwa pH sitoplasma sel tanaman pada umumnya lebih besar daripada 4. Maka jika etepon masuk ke dalam jaringan tanaman, akan menurunkan derajat kemasamannya dan terjadi dekomposisi yang akan melepaskan etilen pada jaringan tanaman (Manuputty 1995).

Efek etilen pada buah terlihat dari proses pemasakan yang cepat, diikuti oleh pengguguran. Pada bunga, akibat yang lazim adalah pengerutan, warna memudar, hara bergerak keluar, layu kemudian gugur. Pada daun, terjadi kehilangan klorofil, RNA dan protein, pengangkutan hara lalu gugur (Manuputty 1995).

Etilen juga digunakan sebagai stimulan untuk penyadapan getah karet guna meningkatkan produksi. Khaidir (2010) menyatakan bahwa senyawa kimia yang berfungsi sebagai stimulan dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu a) senyawa difolatan (misalnya Ferric chloride, chloroacetic acid, Pothasium loded), b) senyawa phosphonium (misalnya 2hydoxy ethyl-triphenyl phosphorium chloride, triphenyl phosphorium bromide), c) senyawa zat pengatur tumbuh (misalnya 2,4,5-T, NAA), dan d) senyawa pelepas etilen (misalnya etilen dibromida didalam ethanol dan butiran Zn, etephon). Sampai saat ini bentuk stimulan yang dikenal berupa cairan (etephon) dan gas. Baik stimulan cair maupun gas yang berperan sebagai stimulan produksi adalah sama yaitu etilen.

(12)

Bahan stimulan yang umum digunakan pada perkebunan karet ialah Ethrel Latex Stimulant yang mengandung bahan aktif 2 chloroethylphosphonic acid atau etefon. Etefon jika bercampur dengan air atau cairan tanaman di dalam sel tanaman akan berurai antara lain menjadi etilen. Etilen inilah yang berfungsi menginduksi produksi di dalam jaringan tanaman (Lukman 1995).

Menurut Tistama (2005), pengujian bahan untuk stimulan yang digunakan pada penyadapan karet adalah ZPT. Pengujian menunjukkan bahwa 2,4,5-

trichhloro phynony propionic acid 5%, napthalene acetic acid (NAA), dan

3-chloro propionic acid menunjukkan produksi yang baik. Yang lainnya adalah senyawa kimia pelepas etilen. Senyawa ini diperdagangkan dengan merek Ethrel (diproduksi oleh Amchem Amerika). Penemuan stimulan tersebut dinilai mampu mengefisienkan pengelolaan kebun.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Pada sistem ini, kamera yang digunakan adalah kamera web, atau yang sering disebut webcam. Untuk pemilihan kamera, sebaiknya kita memilih webcam yang memiliki kecepatan serta

Atas dasar penelitian dan pemeriksaan lanjutan secara seksama terhadap berkas yang diterima Mahkamah Pelayaran dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP)

Setelah 4-5 jam dalam pelayarannya kapal mengalami cuaca buruk dan ombak besar, Saksi melaporkan kepada Tersangkut Nakhoda bahwa kapal bocor dan diperintahkan

Dalam uraian analisis data diatas dan dengan berbagai metode yang dijelaskan dalam bab 3 dapat diketahui bahwa investor sudah mempunyai pengetahuan tentang

Dimana apabila menunjukan status tersedia dari sebuah sarana pada suatu tanggal tertentu itu artinya sarana tersebut masih bisa untuk dilakukan pemesanan karena

Gender dan Kesehatan Lansia: gangguan kesehatan pada usia lanjut, situasi kesehatan lansia di Indonesia, peran gender dalam kesehatan lansia. Prinsip-prinsip pengembangan program

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis akan meneliti pengaruh dari penerapan PSAK 24 khususnya mengenai imbalan pascakerja terhadap risiko perusahaan dan