TESIS - TI42307
APLIKASI
FUZZY RULE-BASED CLASSIFICATION
DALAM MENENTUKAN
CUSTOMER
’S
BRAND
CATEGORIZATION
SEBAGAI
DAMPAK
PENERAPAN STRATEGI HARGA
IDA BAGUS NEO KURNIA AMADEA 2513205442
DOSEN PEMBIMBING
ERWIN WIDODO, ST, M.Eng., Dr.Eng. Dr. Ir. I KETUT GUNARTA, MT
PROGRAM MAGISTER
BIDANG KEAHLIAN MANAJEMEN REKAYASA INDUSTRI JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA
THESIS - TI42307
THE APPLICATION OF FUZZY RULE - BASED
CLASSIFICATION IN DETERMINING CUSTOMER'S
BRAND CATEGORIZATION AS THE RESULT OF
PRICING STRATEGY
IDA BAGUS NEO KURNIA AMADEA 2513205442
SUPERVISOR
ERWIN WIDODO, ST, M.Eng., Dr.Eng. Dr. Ir. I KETUT GUNARTA, MT
MAGISTER PROGRAM
INDUSTRIAL ENGINEERING MANAGEMENT INDUSTRIAL ENGINEERING DEPARTMENT INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA
i
APLIKASI FUZZY RULE-BASED CLASSIFICATION DALAM
MENENTUKAN CUSTOMER’S BRAND CATEGORIZATION SEBAGAI
DAMPAK PENERAPAN STRATEGI HARGA
Tesis ini disusun untuk mengambil salah satu syarat memperoleh gelar Magister Teknik (MT)
di
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Oleh:
IDA BAGUS NEO KURNIA AMADEA, S.TP NRP. 2513205442
Tanggal Ujian: 19 Januari 2017 Periode Wisuda: Maret 2017
Disetujui oleh:
1. Erwin Widodo, ST, M.Eng., Dr.Eng.
NIP. 19740517199903002 (Pembimbing I)
2. Dr. Ir. I Ketut Gunarta, MT
NIP. 197208251998022001 (Pembimbing II)
3. Dr. Ir. Bambang Syairudin, MT.
NIP. 196310081990021001 (Penguji I)
4. Dr. Ir. Bustanul Arifin Noer, M.Sc
NIP. 195904301989031001 (Penguji II)
Direktur Program Pascasarjana
ii
iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ida Bagus Neo Kurnia Amadea Program Studi : Magister Teknik Industri – ITS
NRP : 2513205442
“APLIKASI FUZZY RULE-BASED CLASSIFICATION DALAM
MENENTUKAN CUSTOMER’S BRAND CATEGORIZATION SEBAGAI
DAMPAK PENERAPAN STRATEGI HARGA”
adalah benar-benar hasil karya intelektual mandiri, diselesaikan tanpa menggunakan bahan-bahan yang tidak diijinkan, dan bukan merupakan karya pihak lain yang saya akui sebagai karya sendiri.
Seluruh referensi yang dikutip dan dirujuk telah saya tulis secara lengkap di daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari ternyata pernyataan saya ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Surabaya, 21 Januari 2017 Yang membuat pernyataan
iv
v
APLIKASI FUZZY RULE-BASED CLASSIFICATION DALAM
MENENTUKAN CUSTOMER’S BRAND CATEGORIZATION
SEBAGAI DAMPAK PENERAPAN STRATEGI HARGA
Nama : Ida Bagus Neo Kurnia AmadeaNRP : 2513205442
Pembimbing : 1. Erwin Widodo, ST, M.Eng., Dr.Eng. 2. Dr. Ir. I Ketut Gunarta, MT
ABSTRAK
Perusahaan yang memiliki produk bersaing dalam industri ritel tentu berharap ketika konsumen akan melakukan keputusan pembelian, produknya dapat menjadi pertimbangan dan pilihan diantara merek lain. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan positioning atau memposisikan merek di dalam sebuah kategori produk atau market segment tertentu. Brisoux & Laroche, memperkenalkan konsep customer brand categorization atau pengkategorisasian merek oleh konsumen, untuk mengetahui posisi sebuah merek diantara merek lainnya dalam pandangan konsumen. Salah satu strategi positioning yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan penentuan posisi berdasarkan harga. Dalam situasi dimana konsumen dihadapkan dengan banyak merek, konsumen mengkategorikan semua produk yang dikenal ke dalam setiap kelompok, yakni kelompok consideration, hold, foggy dan reject. Konsep ini disebut model Brisoux-Laroche. Dalam model ini, konsumen dapat secara baik mengkategorikan setiap brand ke dalam kelompoknya. Namun, ketika terdapat atribut positif dan negatif dalam satu waktu, dapat meningkatkan kesulitan konsumen dalam menempatkan keputusan pembelian ke dalam kategori tersebut. Seperti adanya strategi harga terhadap merek yang kurang disukai. Pada penelitian ini akan diteliti, apakah brand mungkin dapat masuk ke dalam dua kelompok sekaligus ketika sebuah merek diberikan strategi harga. Menggunakan fuzzy-rule-based classification dan Structural Equation Modelling, penelitian ini meneliti bagaimana pengaruh strategi harga yakni reference, bundling, dan time limited pricing pada berbagai merek olahraga terhadap customer brand categorization. Penelitian menunjukkan merek dapat masuk ke dalam dua kelompok sekaligus, dan strategi harga yang berbeda memberikan pengaruh dalam perpindahan kelompok customer brand categorization.
vi
vii
THE APPLICATION OF FUZZY RULE-BASED
CLASSIFICATION IN DETERMINING CUSTOMER'S BRAND
CATEGORIZATION AS THE RESULT OF PRICING
STRATEGY
Name : Ida Bagus Neo Kurnia Amadea NRP : 2513205442
Supervisor : 1. Erwin Widodo, ST, M.Eng., Dr.Eng. 2. Dr. Ir. I Ketut Gunarta, MT
ABSTRACT
Companies which competing products in the retail industry certainly hopes when consumers will make purchasing decisions, product may be taken into consideration and selection among other brands. Therefore, the company needs to perform positioning or position the brand in a product category or a specific market segment. Brisoux & Laroche, introduced the concept of customer brand Categorization or categorization of the brand by the consumer, to know the position of a brand among the other brands in the consumer views. One of the positioning strategy that can be done is by positioning based on price. In situations where consumers are faced with many brands, consumers categorize all products are known in each group, a group of consideration, hold, foggy and reject. This concept is called a model Brisoux-Laroche. In this model, consumers can properly categorize each brand into the group. However, when there are positive and negative attributes at a time, can increase the difficulty of putting the consumer in the purchase decision into that category. As the price of the brand strategy is less preferred. This research will be investigated, whether brand may enter into two groups at a time when a given brand pricing strategies. Using fuzzy-rule-based classification and Structural Equation Modelling, this study examines how the influence of the reference pricing strategies, bundling, and limited time pricing on a variety of sports brands to the customer brand Categorization. Research shows brands can fit into two groups at a time, and different pricing strategies influence the direction of displacement Categorization brand customer groups.
viii
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga penelitian tesis sebagai syarat kelulusan jenjang pendidikan S2 Teknik Industri ITS ini dapat berjalan lancar dalam penyelesaiannya. Selama pelaksanaan penelitian Tesis ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, dan penulis sampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Tuhan YME yang telah memberikan rahmat, hidayah, karunia, rezeki, dan izin, sehingga saya mampu menyelesaikan Tesis ini.
2. Orang tua, Mbak Sari, Fiona, Chris dan Ditya yang selalu mendukung, mendoakan, dan memberikan kontribusi terbaik untuk pengembangan diri penulis.
3. Bapak Erwin Widodo, ST, M.Eng., Dr.Eng. dan Bapak Dr. Ir. I Ketut Gunarta, MT selaku selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan masukan-masukan dan motivasi kepada penulis.
4. Bapak Dr. Ir. Bambang Syairudin, MT., dan Bapak Dr. Ir. Bustanul Arifin Noer, M.Sc selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan Tesis ini.
5. Ratna Ayu yang memotivasi dan membantu penulis dalam bentuk tenaga juga pikiran untuk penyelesaian Tesis ini.
6. Nida, Wiwin, Rangga, seluruh teman-teman S2, dan teman-teman kontrakan, yang selalu membantu penulis dan memberikan semangat bagi penulis.
7. Dosen dan karyawan Tata Usaha Jurusan Teknik Industri yang memfasilitasi kegiatan belajar mengajar selama menimba ilmu di kampus.
8. Para responden yang telah mengisi kuesioner dan bersedia meluangkan waktu pada jam kerja untuk dimintai informasi.
9. Dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian Tesis ini.
Semoga penelitian Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi rekan-rekan di Teknik Industri ITS pada khususnya.
x
xi
2.1 Product Positioning ... 7
2.1.1 Brand Positioning Strategy ... 9
2.1.2 Brand Repositioning... 10
2.2 Brand Categorization Model ... 12
2.2.1 Product Typicality to Customer Brand Categorization ... 15
2.3 Pricing Strategy ... 16
2.3.1 Reference Pricing ... 17
2.3.2 Bundling Pricing ... 18
2.3.3 Time Limited Pricing... 18
2.4 Level of Product Involvment ... 19
xii
2.6 Stuctural Equation Modeling (SEM) ... 26
2.6.1 Model SEM... 28
2.6.2 Persamaan Matematis dalam SEM ... 29
2.6.3 Tahapan Analisa SEM ... 29
2.6.4 SEM-GSCA (Generalized Structured Component Analysis) ... 33
2.7 Posisi Penelitian ... 36
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 45
3.1 Tahapan Penelitian ... 45
3.1.1 Identifikasi Masalah dan Pengumpulan Referensi ... 45
3.1.2 Penentuan Kategori Produk ... 45
3.1.3 Penentuan Jenis Strategi Harga ... 46
3.1.4 Pemilihan Responden ... 46
3.1.5 Identifikasi Atribut dan Pembobotan ... 47
3.1.6 Identifikasi Customer Brand Categorization ... 47
3.1.7 Pembuatan Skenario Strategi Harga ... 48
3.1.8 Pembuatan Aturan Fuzzy-Rule Based Classification ... 48
3.1.9 Fuzzification ... 49
3.1.10 Defuzzification ... 49
3.1.11 Analisis Hasil ... 49
3.1.12 Kesimpulan dan Saran ... 49
3.1.13 Flowchart Penelitian... 49
BAB 4 PENGOLAHAN DATA... 51
4.1 Model Konseptual ... 51
4.2 Deskripsi Objek Penelitian ... 52
4.3 Penentuan Strategi Harga ... 54
4.4 Pemilihan Responden... 55
4.5 Pengukuran Four Set of Awareness ... 57
4.6 Pembuatan Skenario Strategi Harga ... 62
4.7 SEM-GeSCA pada Skenario Bundling Pricing ... 66
4.7.1 Pengujian Validitas Konstruk ... 66
4.7.2 Pengujian Kelayakan Model ... 68
xiii
4.8 SEM-GeSCA pada Reference Pricing... 70
4.8.1 Pengujian Validitas Konstruk ... 70
4.8.2 Pengujian Kelayakan Model ... 72
4.8.3 Pengujian Pengaruh antar Variabel ... 73
4.9 SEM-GeSCA pada Skenario Time-Limited Pricing ... 74
4.9.1 Pengujian Validitas Konstruk ... 74
4.9.2 Pengujian Kelayakan Model ... 76
4.9.3 Pengujian Pengaruh antar Variabel ... 77
BAB 5 ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 79
5.1 Analisa Customer Brand Categorization pada Merk Sepatu Olahraga... 79
5.2 Analisa Customer Brand Categorization terhadap Skenario Harga... 80
5.3 Analisa SEM-GeSCA pada Skenario Bundling Pricing ... 81
5.4 Analisa SEM-GeSCA pada Skenario Reference Pricing ... 83
5.5 Analisa SEM-GeSCA pada Skenario Time Limited Pricing ... 84
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 87
6.1 Kesimpulan ... 87
6.2 Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA... 89
xiv
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Brand Categorization... 14
Tabel 2.2 Perbandingan dari Tingkat Involvement... 21
Tabel 2.3 Empat Jenis Perilaku Pembelian... 22
Tabel 2.4 Indeks Pengujian Kelayakan Model... 32
Tabel 2.5 Gap dan Posisi Penelitian... 39
Tabel 2.6 Posisi Variabel Penelitian Terhadap Penelitian Terdahulu... 41
Tabel 3.1 Strategi Harga dan Pengaruhnya...46
Tabel 3.2 Atribut dan Bobot Kepentingan dari Kategori Produk Sepatu Olahraga... 47
Tabel 4.1 Atribut Sepatu Olahraga dan Definisinya... 53
Tabel 4.2 Strategi Harga dan Pengaruh Psikologinya... 54
Tabel 4.3 Pengujian ANOVA pada Responden... 56
Tabel 4.4 Four Set of Awareness pada Kategori Sepatu Olahraga... 58
Tabel 4.5 Ranking Merk Sepatu Olahraga Berdasarkan Tingkat Kesukaan..59
Tabel 4.6 Pembobotan Cognition, Attitude, Confidence, dan Intention pada Tiap Merk Sepatu... 60
Tabel 4.7 Klasifikasi Tiap Merk ke dalam Tiap Kelompok Berdasarkan Aturan Keanggotan... 62
Tabel 4.8 Pemberian Skenario Strategi Harga pada Tiap Merk... 63
Tabel 4.9 Hasil Pembobotan Setelah Pemberian Skenario Strategi Harga.... 66
Tabel 4.10 Perpindahan Kelompok Setelah Pemberian Skenario Strategi Harga... 66
Tabel 4.11 Measurement Model Sebelum dilakukan Bundling Pricing... 67
Tabel 4.12 Measurement Model Setelah Dilakukan Bundling Pricing... 68
Tabel 4.13 Kelayakan Model Sebelum Dilakukan Bundling Pricing... 69
Tabel 4.14 Kelayakan Model Setelah Dilakukan Bundling Pricing... 69
Tabel 4.15 Model Struktural Sebelum Dilakukan Bundling Pricing... 70
xvi
Tabel 4.17 Measurement Model Sebelum Dilakukan Reference Pricing... 71
Tabel 4.18 Measurement Model Setelah Dilakukan Bundling Pricing... 72
Tabel 4.19 Kelayakan Model Sebelum Dilakukan Reference Pricing... 73
Tabel 4.20 Kelayakan Model Setelah Dilakukan Reference Pricing... 73
Tabel 4.21 Model Struktural Sebelum Dilakukan Reference Pricing... 74
Tabel 4.22 Model Struktural Setelah Dilakukan Reference Pricing... 74
Tabel 4.23 Measurement Model Sebelum Dilakukan Time-Limited Pricing...75
Tabel 4.24 Measurement Model Setelah Dilakukan Time-Limited Pricing...76
Tabel 4.25 Kelayakan Model Sebelum Dilakukan Time-Limited Pricing... 77
Tabel 4.26 Kelayakan Model Setelah Dilakukan Time-Limited Pricing... 77
Tabel 4.27 Model Struktural Sebelum Dilakukan Time Limited-Pricing...78
Tabel 4.28 Model Struktural Setelah Dilakukan Time Limited-Pricing...78
Tabel 5.1 Indikator dari Variabel Customer Brand Categorization...79
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 The Brisoux-Laroche Model of Brand Recognition...13
Gambar 2.2 Komponen dari Model Mamdani... 25
Gambar 2.3 Permodelan SEM... 28
Gambar 3.1 Flowchart Penelitian... 50
Gambar 4.1 The Laroche Competitive Vulnerability Model... 51
Gambar 4.2 Pengembangan Laroche Competitive Vulnerability Model dengan Atribut dari Sepatu Olahraga... 53
xviii
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian...85
Lampiran 2 Rekap Data Responden untuk Bagian I...104
Lampiran 3 Hasil Analisa ANOVA Individualism/Kolektivsm Responden...106
Lampiran 4 Rekap Data untuk Variabel Cognition pada Produk Adidas...108
Lampiran 5 Rekap Data untuk Variabel Attitude dan Confidence pada Produk Adidas...109
Lampiran 6 Rekap Data untuk Variabel Intention pada Produk Adidas...112
Lampiran 7 Perhitungan Bobot Produk Adidas...114
Lampiran 8 Hasil Pembobotan dan Pengelompokan Seluruh Merk...116
Lampiran 9 Analisa SEM-GeSCA pada Skenario Time Limited Pricing...119
Lampiran 10 Analisa SEM-GeSCA pada Skenario Bundling Pricing...123
xx
xxi
DAFTAR SINGKATAN
AFIT Adjusted Fit
AGFI Adjusted Goodness of Fit Index ANOVA Analysis of Variance
AVE Average Variance Extracted CFI Comparative Fit Index
CR Critical Ratio
DF Degree of Freedom
FRB Fuzzy Rule Based
FRBS Fuzzy Rule Based System
GeSCA Generalized Structured Component Analysis GFI Goodness of Fit Index
RMSEA Root Mean Square Error of Approximation SEM Structural Equation Modelling
xxii
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Perusahaan yang bersaing dalam industri ritel tentu berharap ketika konsumen akan melakukan keputusan pembelian, merek mereka dapat menjadi pertimbangan dan pilihan diantara merek lainnya. Oleh karena itu, perusahaan perlu melakukan positioning atau memposisikan merek di dalam sebuah kategori atau market segment tertentu. Kotler (1997) mendefinisikan positioning adalah sebuah tindakan perusahaan dalam merancang produk dan bauran pemasaran sehingga menempati nilai yang berbeda dalam pikiran konsumen. Positioning diawali dengan melakukan analisa pasar dan pesaing dalam satu analisis internal perusahaan (total situation analysis). Brisoux & Laroche (1980) memperkenalkan konsep customer brand categorization atau pengkategorisasian merek oleh konsumen, untuk dapat mengetahui posisi sebuah merek diantara merek lainnya dalam pandangan konsumen.
Ketika konsumen dihadapkan dengan banyak merek di dalam sebuah kategori produk, konsumen hanya akan mempertimbangkan pembelian terhadap beberapa kelompok merek yang mereka ketahui (awareness set). Sedangkan pada merek lainnya yang mereka tidak ketahui (unawareness set), konsumen tidak melakukan pertimbangan pembelian. Konsep ini disebut dengan customer brand categorization (Brisoux Laroche, 1980), yang merupakan sebuah model untuk
memahami proses pengkategorisasian dan penilaian kriteria evaluatif yang digunakan oleh konsumen dalam menentukan pilihan merek.
Brisoux & Laroche (1980) menyempurnakan customer brand categorization dengan membagi kelompok merek yang diketahui konsumen
2
yang telah di evaluasi konsumen namun tidak dipertimbangkan untuk dilakukan pembelian dalam jangka waktu dekat atau hold set, dan kelompok merek belum dievaluasi oleh konsumen sehingga tidak dapat dilakukan pertimbangan pembelian atau foggy set.
Perusahaan tentu menginginkan merek produknya berada dalam posisi consideration set dalam pikiran konsumen, agar produknya dipertimbangkan
dalam pembelian. Namun, Erdem & Swait (2004) menyatakan bahwa dari keseluruhan merek yang ada dalam sebuah kategori, hanya terdapat beberapa merek yang masuk ke dalam consideration set konsumen dan sebagian besar lainnya berada dalam hold set atau rejection set. Sehingga wajar di dalam sebuah market segment hanya terdapat dua sampai tiga merek saja yang memegang
mayoritas market share, dan merek sisanya berada dekat atau jauh dari rata-rata market share (Laroche, Takahashi, Kalamas, & Teng, 2005). Hal inilah yang
mendasari perusahaan untuk melakukan positioning strategy terutama jika merek produknya berada di dalam kategori hold set atau rejection set dalam sebuah kategori. Positioning strategy dalam hubungannya dengan customer brand categorization adalah agar merek produk dapat berpindah dari hold atau reject set
menuju ke consideration set konsumen.
Salah satu strategi positioning yang dapat dilakukan oleh perusahaan melalui pemasar setelah melakukan analisa pasar dan mengetahui posisi produknya, adalah dengan melakukan penentuan posisi berdasarkan atribut dan harga (Kotler, 1997). Penentuan posisi menurut atribut dilakukan dengan memposisikan dengan menonjolkan atribut produk yang lebih unggul dibanding pesaingnya, seperti ukuran, lama keberadaannya, dan seterusnya. Pernyataan ini didukung oleh Hsu, Tsai, & Hung (2014), penelitiannya menyatakan bahwa merek yang memiliki citra atribut terkuat dalam sebuah kategori produk, akan lebih cepat masuk ke consideration set konsumen. Sedangkan yang dirasa oleh konsumen memiliki citra atribut paling lemah, akan masuk ke dalam hold atau reject set konsumen. Selain berdasarkan atribut, strategi peentuan posisi juga
3
menuju consideration set, dengan mengukur perubahan sikap dan minat beli konsumen terhadap merek yang diberikan strategi harga.
Konsep customer brand categorization yang dikemukakan oleh Brisoux & Laroche (1980), mengambil dasar bahwa konsumen dapat secara baik mengkategorikan setiap merek ke dalam setiap set. Namun, jika terdapat alternatif yang dirasa konsumen memiliki sisi positif dan negatif, akan mengarahkan konsumen kepada kesulitan pengambilan keputusan dan juga ambiguitas pengkategorisasian (Dhar, 1997). Misalnya terjadi pengkategorisasian yang ambigu berdasarkan atribut dan harga. Sebagai gambaran, dalam kategori sepatu olahraga atribut kenyamanan dan durabilitas merupakan atribut terpenting bagi konsumen (Hsu, Tsai, & Hung, 2014). Merek sepatu Nike dinilai memiliki nilai atribut paling kuat dengan atribut kenyamanan dan durabilitas dari keseluruhan merek sepatu olahraga, sehingga konsumen memasukkan Nike ke dalam consideration set nya. Sedangkan merek sepatu Converse dinilai memiliki atribut
yang jauh dengan atribut kenyamanan dan durabilitas, sehingga konsumen memasukkan Converse ke dalam hold atau rejection set nya. Namun ketika Converse melakukan strategi harga, konsumen merasa tertarik dan memiliki
pendapat positif juga negatif terhadap merek Converse dalam waktu yang bersamaan. Terdapat trade-off bagi konsumen antara kepentingan tawaran harga atau atribut dari kategori sepatu olahraga. Jadi dapat dikatakan ketika Converse melakukan strategi harga, kemungkinan merek Converse masuk ke dalam consideration dan hold set konsumen dalam waktu yang bersamaan. Konflik
seperti ini tentu membuat proses kategorisasi oleh konsumen menjadi sulit, dan pengukuran bagaimana konsumen mengkategorikan merek akan menjadi rumit.
4
ini (cognition, attitude, confidence, dan intention) yang menjadi determinan dalam mentukan keputusan fuzziness di dalam setiap set.
Ahmetoglu, Furnham, & Fagan (2014) mengamati pengaruh enam jenis strategi harga dan dampaknya kepada persepsi serta perilaku konsumen. Sebagai contoh, dua strategi harga yang dibahas dalam penelitian ini adalah bundling dan time limited pricing. Bundling pricing adalah penjualan dua atau lebih produk
yang berbeda dalam satu paket harga yang ditetapkan, atau penawaran harga pada tingkat kuantitas tertentu. Sedangkan time limited pricing, mengacu pada penawaran yang berlangsung hanya selama periode tertentu dan bahwa harga tidak tersedia di periode lain. Pada penelitian tersebut dijelaskan bahwa bundling dan time limited pricing memiliki daya tarik tersendiri dalam mempengaruhi
perilaku pembelian konsumen. Strategi bundling menawarkan “saving atau
penghematan” dan time limited memberikan sinyal “scarcity atau kelangkaan” kepada konsumen dan yang memberi dampak fuzziness decision terhadap brand categorization.
Penelitian sebelumnya (Teng, 2009) menguji dampak penerapan strategi harga kepada sebuah merek dalam kategori low-involvement product dan mengamati perubahan kategori merek yang terjadi. Teng mendapatan kesimpulan, setelah adanya penerapan strategi harga terjadi pergeseran posisi merek dari posisi hold set menuju consideration set dengan mengubah sikap dan minat beli
konsumen kepada merek tersebut. Namun pada penelitian lain Shin-low et. Al (2013) dijelaskan, bahwa pada merek yang masuk dalam kategori low-involvement menimbulkan perilaku pembelian impulsif, karena produk
low-involvement memiliki resiko setelah pembelian yang kecil dan melewati tingkat penilaian evaluatif yang rendah oleh konsumen. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan pembelian sebuah merek dalam kategori low-involvement, konsumen tidak mengalami fuzziness decision ketika terdapat alternatif lain, seperti adanya promosi penjualan.
Berbeda dengan merek produk dalam kategori high-involvement yang memiliki resiko yang besar setelah pembelian dan harus melewati tingkat penilaian evaluasi yang kompleks. Sehingga produk dalam kategori
5
decision jika diberikan alternatif seperti promosi penjualan. Karena dengan
adanya promosi penjualan, akan menyebabkan trade-off antara atribut produk dan promosi harga.
Untuk menguji hipotesis tersebut, penulis menggunakan pendekatan
Fuzzy Rule Based (FRB) Classification pada Brisoux-Laroche brand
categorization model) untuk menentukan pergeseran kelompok pada Brand
Categorization Model, dengan mengukur bagaimana tingkat cognition, attitude,
confidence dan intention konsumen sebelum dan sesudah dilakukan strategi harga,
dan menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk melakukan pengujian model dan mengetahui strategi harga yang paling mempengaruhi pergeseran tersebut.
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, dirumuskan masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana pengaruh dari penerapan strategi harga terhadap proses pengkategorisasian merek dan pergeserannya oleh konsumen pada produk high involvement melalui pendekatan fuzzy-rule-based classification dan
Structural Equation Modeling (SEM).
1.3Tujuan
Tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menguji strategi harga yakni reference, bundling dan time limited pricing kepada beberapa merek dalam posisi reject, hold atau foggy set dengan kategori produk high involvemet, dan mengetahui fuzziness yang terjadi.
2. Mengetahui kemungkinan adanya kepemilikan dua kelompok dalam satu merek dan mengukur perpindahannya kelompok merek setelah dilakukan strategi harga menggunakan pendekatan Fuzzy Rule Based Classification. 3. Menguji model menggunakan SEM (Structural Equation Modelling) dan
6 1.4Manfaat
Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagi bidang keilmuan, penelitan ini akan mengisi gap penelitian pada bidang retailing and consumer services dalam subjek consumer brand categorization
dan pricing pada merek yang memiliki atribut.
2. Bagi praktisi, penelitian ini sangat berguna bagi para pemasar atau perusahaan yang memiliki merek dengan posisi hold atau foggy set dengan kategori high involvement product. Perusahaan dapat mengetahui jenis dan penerapan
strategi harga yang efektif, sehingga biaya pemasaran bagi perusahaan untuk menarik konsumen ke dalam consideration set dapat berkurang.
3. Perusahaan dapat mengetahui bagaimana perilaku konsumen untuk menentukan strategi harga yang efektif.
1.5Batasan
Adapun batasan yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jumlah merek yang diujikan dalam penelitian ini terbatas pada 8 merek sepatu olahraga yang secara umum bersaing dalam retailer sepatu sport di Surabaya, yakni Adidas, Airwalk, Converse, Diadora, New Balance, Nike, Puma, dan Reebok.
2. Jenis dan besaran tingkat strategi harga yang diberikan kepada tiap merek ditentukan dari histori pemberian strategi harga oleh retailer sepatu olahraga. 3. Strategi harga yang digunakan pada penelitian ini adalah reference, bundling,
dan time limited pricing.
1.6Asumsi Adapun asumsi yang digunakan adalah Purchasing Power Pariarty (tingkat
7
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Product Positioning
Menurut Kotler (1997): “Positioning is the act of designing the
company’s offer so that it occupies a distinct and value placed in the target customer mind”. Dengan kata lain positioning adalah suatu tindakan dalam
merancang dan mendesain penawaran sebuah produk atau merek sehingga memunculkan nilai yang berbeda dibandingkan dengan pesaingnya di dalam pikiran konsumen. Berdasarkan definisi tersebut terkandung pengertian bahwa positioning berorientasi kepada pikiran atau persepsi konsumen terhadap produk
atau merek. Jadi positioning adalah strategi dalam menemukan sebuah cara agar konsumen memiliki penilaian dan gambaran khusus terhadap produk atau merek atau terhadap perusahaan sekalipun. Cravens (1991) menyatakan, positioning merupakan titik kritis dalam strategi pemasaran karena menjadi dasar dalam menentukan tujuan dan pengembangan strategi. Oleh karena itu, positioning merupakan langkah penting bagi perusahaan dalam meningkatkan kekuatan posisi produk atau merek di suatu market segment.
Mempertimbangkan pentingnya peran positioning pada keberhasilan suatu produk, terdapat tiga langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan positioning (Kotler, 2003).
Pertama, mengidentifikasi keunggulan-keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh perusahaan. Untuk mendapatkan keunggulan bersaing (competitive advantage) maka perusahaan harus melakukan kegiatan diferensiasi atas
8
Kedua, Memilih salah satu atau lebih keunggulan kompetitif yang dimiliki untuk dikomunikasikan dan diposisikan dalam pikiran konsumen Adapun persyaratan suatu keunggulan untuk dapat dipilih dan dikomunikasikan adalah:
Sesuatu yang penting bagi konsumen
Sesuatu yang khas dan unik
Bernilai superior
Sesuatu yang baru atau pioner
Harganya terjangkau
Dapat memberikan keuntungan
Ketiga, Memilih strategi positioning yang tepat melalui brand value proposition. Setiap merek memiliki nilai yang dapat ditawarkan kepada
konsumen. Sekumpulan manfaat yang dimiliki oleh sebuah merek, yang dapat dijadikan sarana untuk diposisikan dalam benak konsumen dikenal dengan istilah brand value proposition. Melalui brand value proposition, konsumen mengenal
value yang dimiliki dan ditawarkan oleh sebuah merek dibandingkan dengan pesaingnya.
Terdapat beberapa kombinasi dari brand value proposition yang dapat dijadikan alternatif strategi positioning. Kombinasi strategi dalam brand value proporsition menurut Kotler (2003) adalah sebagai berikut:
More for More adalah strategi positioning yang menekankan kepada konsumen bahwa kualitas merek produk atau jasa perusahaan lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas merek produk atau jasa pesaing dengan penetapan harga yang lebih tinggi pula dibandingkan harga produk pesaing.
More for The Same adalah strategi positioning yang menekankan kepada konsumen bahwa kualitas dari merek produk atau jasa perusahaan lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas merek produk atau jasa pesaing dengan penetapan harga yang sama dengan harga produk pesaing.
9
The Same for Less adalah strategi positioning yang menekankan kepada konsumen bahwa kualitas dari merek produk atau jasa perusahaan sama dengan kualitas merek produk atau jasa pesaing dengan penetapan harga yang lebih murah dibandingkan harga pesaing.
Less for Much Less adalah strategi positioning yang menekankan kepada konsumen bahwa kualitas dari merek produk atau jasa perusahaan lebih rendah sedikit dari kualitas merek produk atau jasa pesaing dengan penekanan harga yang jauh lebih murah dibandingkan harga pesaing.
Strategi positioning yang digambarkan dalam brand value propositioning tersebut dapat membantu perusahaan untuk memposisikan dirinya terhadap pesaing.
2.1.1 Brand Positioning Strategy
Brand positioning strategy adalah suatu strategi yang digunakan untuk
menanamkan suatu citra merek di benak konsumen sehingga produk tersebut terlihat menonjol dibandingkan dengan produk pesaing. Fokus utamanya adalah bagaimana caranya sehingga konsumen mempunyai persepsi yang sama dengan yang diharapkan produsen tentang produk yang ditawarkan. Kotler (1997) menjelaskan beberapa cara brand positioning yang dapat dilakukan pemasar dalam memasarkan produk kepada konsumen yang dituju, antara lain:
1. Attribute positioning, perusahaan memposisikan dirinya berdasarkan atribut tertentu, misalnya: ukuran, keamanan, pengalaman, dan lain-lain.
2. Benefit positioning, perusahaan memposisikan dirinya sebagai pemimpin dalam manfaat tertentu.
3. Use or application positioning, produk atau jasa diposisikan sebagai alternatif terbaik untuk situasi pemakaian atau aplikasi tertentu.
4. User positioning, Produk atau jasa diposisikan sebagai pilihan terbaik untuk kelompok pemakai tertentu.
5. Competitor positioning, perusahaan menghubungkan produk atau jasanya dengan posisi persaingan terhadap pesaing utamanya.
10
Quality atau price positioning, perusahaan berusaha menciptakan kesan atau citra berkualitas tinggi lewat harga premium, atau sebaliknya menekankan harga murah sebagai indikator nilai.
2.1.2 Brand Repositioning
Bagi perusahaan yang ingin berkembang dan dapat bersaing dengan merek yang lainnya harus terus menerus memposisikan mereknya di dalam pikiran konsumen dan membuat konsumen mengutamakan mereknyanya dibanding dengan merek pesaing. Untuk itu harus dilaksanakan repositioning. Menurut Lamb, Hair, McDaniel (2009), repositioning adalah merubah persepsi konsumen terhadap sebuah merek dalam relasinya terhadap kompetisi merek. Menurut Kertajaya (2004), Ada beberapa alasan mengapa perusahaan perlu melakukan repositioning, seperti:
1. Pesaing telah merebut value preposition dari sebuah merek
Ketika pesaing merebut value preposition yang sama, efektivitas positioning dari sebuah merek menjadi melemah dan menyebabkan
bergesernya manfaat utama dari sebuah merek di dalam perspektif konsumen. Sehingga value yang dimiliki merek tidak lagi unik.
2. Posisi merek membingungkan bagi konsumen
Hal ini dapat seringkali terjadi bagi sebuah merek, terutama ketika adanya sebuah pesan baru ingin disampaikan oleh perusahaan kepada konsumen, atau mungkin posisi merek tidak jelas dari awal merek diperkenalkan. Sehingga, menyebabkan konsumen bingung terhadap manfaat utama dari sebuah merek.
3. Perusahaan memiliki keunggulan kompetitif baru yang eksklusif
Seperti teknologi baru yang dipatenkan atau penawaran unik sehingga pesaing tidak dapat dengan mudah menduplikasi. Jika merek tidak dilakukan repositioning maka keunggulan kompetitif tersebut tidak akan memberikan manfaat dalam pemasaran.
4. Terdapat perubahan arah pada strategi perusahaan
11
kadaluwarsa. Perubahan strategis terhadap brand positioning diperlukan agar konsumen dapat mengerti apa dampak perubahan ini bagi mereka.
5. Sebuah pesaing baru datang dan mengubah permainan
Perubahan tidak bisa dihindari dan pesaing tetap ingin menjaga bisnis mereka. Ketika pesaing baru memasuki sebuah market segment dan mencuri konsumen dengan value preposition yang superior, maka repositioning perlu dilakukan untuk memastikan bahwa positioning saat ini masih relevan.
6. Menangkap tren baru
Pasar tidak ada yang statis, selalu ada tren baru yang muncul. Perkembangan ini tentu merubah preferensi dan perilaku konsumen. Hal ini menyebabkan perusahaan memikirkan kembali positioning merek saat ini. Repositioning diperlukan jika trend tersebut akan merubah perilaku konsumen
terhadap keputusan pembeliannya. 7. Mengubah value offering
Repositioning bisa dilakukan bila sebuah merek mencoba
menawarkan nilai yang berbeda. Nilai disini menunjukkan perbandingan antara apa yang didapatkan konsumen (total get) dengan apa yang diberikan (total give) konsumen. Dengan perubahan nilai yang ditawarkan ke konsumen, tentu
sebuah merek harus melakukan repositioning, agar menunjang perubahan value yang ditawarkan ke konsumen.
12 2.2Brand Categorization Model
Dalam dekade terakhir, peneliti telah mencoba untuk memahami proses pengkategorisasian merek dan kriteria evaluatif yang digunakan oleh konsumen dalam menentukan pilihan pada kategori merek tertentu. Brisoux & Laroche (1980), menunjukkan bahwa konsumen hanya mempertimbangkan beberapa alternatif dari total set ketika mereka menyederhanakan dan mengelola pemilihanan mereka. Howard membagi total set menjadi awareness set (set yang dikenali atau disadari) dan unawareness set (set yang tidak dikenali atau disadari). Lalu, Howard & Sheth (1969) mengemukakan konsep consideration set (set pertimbangan) yang dimana hanya beberapa jenis merek yang secara aktif diambil untuk masuk ke dalam proses pemilihan. Namun, model mereka hanya mempertimbangkan dan mengkategorikan produk yang dipertimbangkan sebagai alternatif pembelian. Selanjutnya Narayana & Markin (1975) membagi awareness set menjadi 3 subset, yaitu consideration set, inert set, dan inept set. Mengikuti
13
Gambar 2.1 The Brisoux-Laroche Model of Brand Recognition (Brisoux & Laroche, 1980)
14
mungkin juga melupakan merek tersebut dan menempatkannya ke dalam foggy set. Terakhir adalah reject set, terdiri dari merek yang dimana konsumen tidak pertimbangkan ketika membuat keputusan pembelian karena penilaian umum yang negatif dari konsumen terhadap merek tersebut.
Menurut Laroche, Kalamas, & Huang (2005), terdapat empat determinan (cognition, attitude, confidence dan purchase intention) dari setiap set yang bervariasi dari rendah hingga tinggi. Keempat determinan inilah yang menentukan sebuah merek masuk ke dalam sebuah set, dan menentukan perpindahan antar set. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Brand Categorization
Consideration
Set Hold Set
Foggy
Set Reject Set
Cognition High Average to
Low Average Low
Attitude High Average Low Lower than Average
Confidence High Average to
Low Average Low
Intention High Average to
Low Low Low
Sumber: Laroche, Kalamas, dan Huang, 2005
15
consideration set. Hal tersebut menurut Teng (2009) dapat dilakukan jika
perusahan melakukan strategi pemasaran, termasuk advertising, modifikasi kemasan, atau promosi penjualan.
2.2.1 Product Typicality to Customer Brand Categorization
Dalam dekade terakhir, berbagai penelitian telah dilakukan oleh para peneliti dan praktisi dalam bidang psikologi dan pemasaran untuk mengukur efek dari tipikalitas dalam kategori produk dalam pengambilan keputusan pembelian konsumen. Penelitian pada bidang psikologi kognitif telah menunjukkan bahwa seseorang melihat dan menilai anggota kategori dalam dari tipikalitasnya (Viswanathan & Childers, 1999).
Tipikalitas mengacu kepada sejauh mana objek secara alamiah menujukkan kualitas pentingnya dan menjadi perwakilan dari sebuah kelompok atau kategori (Osherson & Smith, 1997). Anggota kategori yang memiliki tipikalitas kuat cenderung lebih cepat diingat dibandingkan dengan yang lemah,
dan biasanya dijadikan sebagai “standar” oleh konsumen. Hal ini menyimpulkan
bahwa anggota produk yang miliki tipikalitas kuat akan lebih menunjukkan atribut positif pada produk dan lebih cepat dikenali oleh konsumen dibandingkan dengan yang kurang tipikal (Viswanathan & Childers, 1999). Sebagai contoh, konsumen diberikan beberapa pilihan merek dalam memilih merek dalam membeli smartphone, seperti Apple, Samsung, Nokia, Motorola dan HTC. Jika dalam kategori smartphone, atribut easy-to-use dan fashionable merupakan yang memegang tipikalitas paling kuat, maka merek Apple akan lebih cepat diingat oleh konsumen dibandingkan yang lainnya, hal ini dikarenakan merek Apple memiliki tipikalitas yang terkuat dalam kategori smartphone dibandingkan dengan merek lainnya (Nagarkoti, 2009). Tipikalitas dari sebuah kategori dapat dilihat dan diukur dalam tiga hal (Tsu, 2014):
1. Atribut produk apa yang mengatur tipikalitas dari kategori.
2. Bagaimana atribut produk ini memberikan pengaruh terhadap preferensi konsumen.
16
Sebelum membuat keputusan pembelian, konsumen akan menentukan tipikalitas dari sebuah kategori produk, lalu mengambil satu merek untuk dijadikan pertimbangan dan dibandingkan dengan produk lainnya di dalam memori mereka (Solomon, Bamossy, Askegaard, & Hogg, 2002). Sehingga merek produk yang menurut konsumen memiliki atribut yang lebih dekat atau kuat dengan tipikalitas kategorinya, akan lebih mudah masuk ke dalam consideration set konsumen, sedangkan merek yang memiliki tipikalitas jauh atau lemah akan
masuk ke dalam hold atau reject set. Hal ini memberikan informasi bagaimana konsumen membentuk sebuah kategori bagi sebuah merek, bagaimana mereka memasukkan merek tersebut ke dalam kategori yang diketahui, bagaimana mereka membentu dan menilai tipikalitas dari kategori produk, bagaimana mereka menilai atribut merek terhadap tipikalitas dari kategori produk, menentukan bagaimana sebuah merek masuk ke dalam brand categorization konsumen.
2.3Pricing Strategy
Strategi harga yang digunakan untuk mempromosikan produk dan jasa kepada konsumen, seperti 3 item untuk $5, potongan 60%, atau sale-one week only sangat lazim digunakan dalam industri ritel saat ini. Lebih lagi design label
harga, rabat, iklan penjualan, penawaran bundel, semakin berdasarkan variabel psikologi daripada variabel ekonomi (Poundstone, 2009).
Sejumlah penelitian mengenai pembuatan keputusan pada konsumen telah menyatakan bahwa konsumen rentan terhadap perubahan yang terkadang tidak relevan dengan utilitas tawaran (Ahmetoglu, Furnham, & Fagan, 2014). Seperti contohnya, konsumen cenderung membeli sebuah produk dalam kuantitas tinggi meskipun tidak ada alasan yang rasional untuk melakukannya. Bahkan sejumlah penelitian menyatakan bahwa kemauan konsumen untuk membeli sebuah produk dapat dipengaruhi dengan memanipulasi harga produk yang berdekatan dan secara fungsional tidak terkait (Nunes & Boatwright, 2004).
17
cepat, dan otomatis’, yang mengurangi tugas kompleks, menilai probabilitas dan memprediksi nilai-nilai untuk menyederhanakan operasi keputusan. Heuristik sering didasarkan pada tanda atau fitur kunci dalam lingkungan (warna, angka, suara, bau, dll). Sehingga ketika ada sebuah sinyal, respon otomatis dan refleksif dapat terjadi (Cialdini, 2001).
Gagasan bahwa, dalam bernyak situasi, konsumen lebih menggunakan mental heuristik ketika dihadapkan dengan keputusan pembelian yang spesifik, dibandingkan dengan evaluasi terhadap harga atau fitur dan alternatif, memiliki implikasi yang tinggi terhadap pemasaran. Secara khusus, mereka menunjukkan bahwa isyarat eksternal, atau fitur dari lingkungan, konteks dan bagaimana cara harga disajikan, semua cenderung memiliki dampak yang kuat terhadap penilaian konsumen. Ini adalah fitur kunci dari strategi harga. Menurut Ahmetoglu, Furnham, & Fagan (2014) terdapat enam praktek strategi harga yang telah diidentifikasi sebagai yang paling lazim digunakan di pasaran saat ini, yakni drip pricing, reference pricing, free offer, bait pricing, bundling, dan time limited offer.
2.3.1 Reference Pricing
Reference pricing (harga referensi) dijelaskan secara sederhana adalah
harga yang dikomunikasikan kepada konsumen sebagai “harga yang wajar”,
“komponen harga paling sering dibebankan”, atau “harga yang tidak diberikan
potongan harga” (misalnya, kemarin $199 sekarang $169). Terdapat tiga jenis dasar praktek referensi harga di ritel, yaitu membandingkan harga yang diiklankan dengan harga yang ditetapkan oleh pengecer pada produk tersebut, membandingkan harga yang diiklankan dengan harga yang mungkin akan ditagihkan oleh pengecer lain dlam wilayah perdagangan yang sama, dan membandingkan harga yang diiklankan dengan harga ritel yang disarankan oleh produsen.
Menurut Ahmetoglu, Furnham, & Fagan (2014), sama seperti drip pricing, prinsip psikologi fundamental (heuristik) adalah yang mendasari reference pricing, yakni anchoring. Secara garis besar, penelitian membuktikan
18
penawaran dan minat pembelian dan menurunkan minat pencarian jika dibandingkan pada kasus dimana tidak ada harga referensi. Reference Price dalam beberapa kasus dapat mempengaruhi sangat besar pada konsumen bahkan ketika terdapat konsumen yang skeptis terhadap kebenaran harga tersebutnya.
2.3.2 Bundling Pricing
Bundling pricing dapat dalam berbagai bentuk, termasuk penawaran
volume (volume offer) seperti “beli 3 untuk 2”, “beli satu dapat satu setengah harga”, “3 untuk $8”, dan bundel campuran (mixed bundle) yakni tawaran yang dibuat dalam sebuah “kerajang”, misalnya paket TV berbayar atau keranjang supermarket. Sebagian besar praktek-praktek bundling ini akan didasarkan pada heuristik anchoring yang telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Selain isyarat numerik, bundling offer mungkin lebih diminati karena strategi ini memberikan sinyal penghematan (bahkan meskipun bahwa sebenarnya tidak) hanya karena konsumen menganggap bahwa pembelian secara bundling menawarkan penghematan.
Penelitian Ahmetoglu, Furnham, & Fagan (2014) juga menunjukkan bahwa dengan adanya strategi harga multiple unit price dapat meningkatkan keinginan pembelian dalam kuantitas yang lebih dibandingkan dengan promosi single unit bahkan meskipun diskon yang ditetapkan sama (yaitu tidak ada
penghematan tambahan). Efek ini dapat menjadi hal yang substansial. Terutama karena bundle discount memiliki probabilitas untuk membuat konsumen untuk beralih ke produk bundle, bahkan ketika konsumen mungkin tidak memenuhi syarat untuk diskon (dengan demikian konsumen mengalami kerugian).
2.3.3 Time Limited Pricing
Time limited pricing secara umum mengacu kepada penawaran yang
19
disebabkan karena barang-barang yang susah didapatkan biasanya lebih berharga dan ketersediaan item hanya berfungsi sebagai isyarat jalan pintas terhadap kualitasnya (Lynn, 1989). Selanjutnya, konsumen akan lebih termotivasi oleh pikiran kehilangan suatu peluang yang baik dibandingkan mendapatkan sesuatu dengan nilai yang sepadan, dan ancaman dari kehilangan kesempatan memainkan peran yang kuat dalam pengambilan keputusan (Tversky & Kahneman, 1981).
Inman, Peter, & Raghubir (1997) melakukan serangkaian percobaan mengenai pembatasan (batas minimal pembelian, batas waktu, dan pembelian prasyarat) dalam pembelian pada strategi ini. Hasil penelitan memberikan gambaran bahwa pembatasan tersebut secara konsisten meningkatkan probabilitas pemilihan dan nilai kesepakatan yang dirasakan konsumen pada produk. Namun, hal ini hanya terjadi pada kasus dengan diskon tinggi (baik 20% atau 50%). Namun, ketika diskon rendah (5%), pembatasan dinilai rendah dan membuat niat pembelian menjadi lebih rendah dengan adanya kondisi pembatasan. Dengan demikian, tingkat diskon (apakah tinggi atau rendah) tampaknya memberikan efek terhadap pembatasan pada strategi ini.
Dalam studi lain (Swain, Hanna, & Abendroth, 2006), menemukan bahwa batas waktu yang lebih singkat dalam strategi ini juga turut menciptakan rasa mendesak yang lebih besar kepada konsumen, sehingga menyebabkan niat pembelian yang lebih tinggi. Namun, mereka juga menemukan bahwa batas waktu terlalu singkat dapat meningkatkan persepsi ketidaknyamanan pada konsumen, dan menuntun konsumen ke evaluasi kesepakatan yang lebih rendah kemudian berujung pada niat pembelian yang lebih rendah pula. Dengan demikian, tingkat diskon, panjang batas, atau durasi, tampaknya berdampak pada reaksi konsumen terhadap promosi waktu terbatas.
2.4Level of Product Involvment
20
dalam individu tertentu. Konsumen memiliki tingkat product involvement yang berbeda dalam setiap keputusan pembelian.
Keputusan pembelian produk low involvement memiliki resiko yang rendah terhadap konsumen dan usaha yang terbatas dalam memproses informasi (Schiffman & Kanuk, 2000). Beberapa pembelian produk low involvement dibuat tanpa perencanaan maupun pemikiran sebelumnya. Keputusan pembelian ini dinamakan impulsive buying (Tanner, 2012). Keputusan membeli seperti item ini biasanya adalah low involvement decision. Low involvement decision tidak selalu dilakukan pada produk yang dibeli berdasarkan dorongan, meskipun itu menjadi salah satu faktornya.
Sebaliknya, pembelian produk low involvement membawa risiko yang lebih tinggi atau membawa konsekuensi yang krusial bagi konsumen jika mereka merasa gagal. Konsumen cenderung memiliki pemahaman yang lebih dalam produk melalui tingkat partisipasi yang tinggi dalam proses penyampaian manfaat (Binter, Faranda, Hubbert, & Zeithaml, 1997). Barang-barang ini tidak sering dilakukan pembelian, produk high involvement relevan dan penting bagi pembeli. Menurut Tanner (2012), konsumen tidak terlibat dalam perilaku pembelian rutin (routine response behavior) ketika akan melakukan keputusan pembelian produk high involvement. Sebaliknya, konsumen akan terlibat dalam perilaku pemecahan
masalah yang panjang (extended problem solving), di mana konsumen akan menghabiskan banyak waktu membandingkan berbagai aspek seperti fitur dari produk, harga, dan garansi. High-involvement decision dapat menyebabkan pembeli mengalami dampak disonansi (kecemasan) pasca pembelian jika mereka tidak yakin mengenai keputusan pembelian mereka atau mereka memiliki waktu yang sulit untuk memutuskan antara dua alternatif.
Perbedaan mengenai produk high involvement dan low involvement, dijelaskan secara garis besar pada Tabel 2.2.
21 Tabel 2.2 Perbandingan dari Tingkat Involvement
Penilaian High involvement Low involvement
Product
attribute
importance
Atribut produk berkaitan dengan fungsi dan tujuan akhir
Atribut produk tidak
22 Tabel 2.3 Empat Jenis Perilaku Pembelian
Tingkat Signifikansi antar
Merek
High Involvement Low Involvement
Signifikan Complex Buying
Tabel 2.3 dijelaskan sebagai berikut: 1. Complex Buying Behaviour
Konsumen melalui perilaku pembelian kompleks ketika mereka sangat terlibat dalam pembelian dan sadar akan perbedaan yang signifikan antara merek. Konsumen sangat terlibat ketika akan membeli produk mahal, jarang dibeli, berisiko dan berkaitan dengan cerminan diri konsumen. Pembeli ini akan melewati proses belajar yang ditandai dengan pertama, mengembangkan keyakinan mengenai produk, lalu sikap, dan kemudian membuat keputusan pembelian yang matang.
2. Dissonance-Reducing Buying Behaviour
23 3. Habitual Buying Behaviour
Banyak produk yang dibeli dalam kondisi keterlibatan konsumen yang rendah akibat tidak adanya perbedaan merek yang signifikan. Sebagai contohnya adalah pembelian garam. Konsumen memiliki sedikit keterlibatan dalam kategori produk ini. Mereka pergi ke toko dan mengambil sebuah merek. Jika mereka tetap meraih merek yang sama dalam pembelian, maka hal telah menjadi kebiasaan dan bukan sebuah loyalitas merek.
Ada sebuah bukti bahwa konsumen memiliki keterlibatan yang rendah dengan produk yang memiliki biaya paling rendah, menjadi produk yang sering dibeli. Perilaku konsumen dalam kasus ini tidak melewati urutan keyakinan, sikap, perilaku. Konsumen tidak secara ekstensif mencari informasi tentang merek, mengevaluasi karakteristik mereka, dan melakukan pembobotan terhadap merek mana yang akan di beli.
4. Variety-Seeking Buying Behaviour
Beberapa situasi pembelian ditandai dengan keterlibatan konsumen yang rendah tetapi terdapat perbedaan merek yang signifikan. Berikut konsumen sering diamati untuk melakukan banyak merek 'switching. Contoh terjadi dalam pembelian cookies. Konsumen memiliki beberapa kepercayaan, memilih sebuah merek kue tanpa banyak evaluasi, dan mengevaluasi merek tersebut selama mengkonsumsi. Namun suatu ketika, konsumen dapat meraih merek lain karena bosan atau keinginan untuk mencoba rasa yang berbeda. Peralihan merek seringkali terjadi untuk memenuhi kepuasan.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa tingkat involvement produk memberikan perilaku konsumen yang berbeda, yang secara tidak langsung menentukan tingkat efektifitas strategi harga.
2.5Fuzzy Rule Based System
24
keanggotaan satu memiliki arti bahwa objek adalah anggota dari set, derajat keanggotaan nol memiliki arti bahwa objek bukan anggota, dan nilai diantaranya menunjukan tingkat parsial dari keanggotaan. Derajat keanggotaan dari elemen tersebut didefinisikan sebagai fungsi keanggotaan (membership function). Teori ini mengusulkan konsep baru dari sebuah set, yang merupakan sebuah generalisasi dari konsep klasik dan definisi untuk operasi yang sesuai, yaitu union, intersection, complementary dan sebagainya. Teori himpunan fuzzy menyediakan alat untuk mewakili dari konsep linguistik, variabel, dan aturan, mejadi model alami utuk mewakili human expert knowledge. Kunci dari konsep ini adalah variabel linguistik memiliki variabel yang nilainya adalah istilah lingustik, dan masing-masing secara semantik dijelaskan oleh himpunan fuzzy (Zadeh L. A., 1975).
Nilai linguistik mengacu kepada label yang digunakan untuk mewakili pengetahuan dan memiliki arti yang ditentukan dari fungsi keanggotaan. Sebagai contoh, variabel a1=“panas” dengan derajat µ=0,8 yang berarti variabel a1
memiliki nilai linguistik yang direpresentasikan oleh label “panas”, yang maknanya ditentukan oleh derajat 0,8.
Banyak penelitian yang memberikan penjelasan komprehensif mengenai teori fuzzy dan tekniknya, namun penelitian Klir & Yuan (1995) juga Pedrycz & Gomide (1998) memberikan perkembangan paling bermanfaat diantara teori himpunan fuzzy adalah salah satu perkembangan yang paling bermanfaat yakni FRBS (Fuzzy Rule Based System).
FRBS adalah pengembangan dari sistem berbasis aturan klasik (yang dikenal sebagai expert system). Pada dasarnya, FRBS diekspresikan dalam bentuk
dasar “jika A maka B” dimana A dan B ada fuzzy set. Masing-masing A dan B disebut bagian antesenden dan konsekuen dari aturan. Sebagai contoh, kecepatan dari sebuah kendaraan dapat ditentukan melalui jumlah kendaraan di jalan dan lebar jalan tersebut. Maka dapat diformulasikan secara linguistik sebagai berikut:
Jumlah kendaraan = kecil, sedang, besar.
Lebar jalan = sempit, sedang, lebar.
25
Berdasarkan kondisi diatas, fuzzy IF-THEN dapat didefinisikan sebagai berikut:
JIKA jumlah kendaraan kecil dan lebar jalan adalah sedang, MAKA kecepatan kendaaraan adalah cepat. Contoh ini menunjukkan bahwa penggunaan konsep fuzzy dapat mudah diintepretasikan dan lebih fleksibel untuk berubah dibandingkan dengan aturan klasik. Selain itu, nilai lingustik lebih mudah dimengerti dibandingkan bentuk numerik. Berdasarkan struktur dari aturannya, terdapat dua model dasar FRBS: Mamdani model dan TSK model. Pada penelitian ini digunakan model Mamdani untuk dasar FRBS.
Model Mamdani diperkenalkan oleh Mamdani (1974) dan Mamdani & Assilian (1975). Model ini dibangun berdasarkan variabel linguistik pada antesenden dan konsekuensinya. Sehingga dengan mempertimbangkan sistem multi-input and single-output (MISO), aturan fuzzy IF-THEN mengikuti bentuk
sebagai berikut:
IF X1 is A1 and ... and Xn is An THEN Y is B
Dimana Xi dan Y adalah sebagai input dan output variabel linguistik, dan masing-masing Ai dan B adalah nilai linguistik. Arsitektur dasar untuk model Mamdani dapat dilihat pada Gambar 2.2.
26
Model Mamdani ini terdiri dari empat komponen, yakni: fuzzication, knowledge base, inference engine, dan defuzzification. Fuzzification awal mengubah input mentah menjadi nilai linguistik. Knowledge base terdiri dari database dan rulebase. Dimana database berisi definisi fuzzy set dan parameter dari fungsi keanggotaan, dan rulebase berisi koleksi aturan dari IF-THEN fuzzy. Inference engine melakukan operasi penalaran sesuai dengan aturan fuzzy dan
memasukkan data. Deffuzification menghasilkan nilai matang dari nilai linguistik sebagai hasil akhir.
Fakta bahwa teknik fuzzy memungkinkan keanggotan parsial untuk lebih dari satu kategori adalah hal yang sangat penting. Untuk menguji ketidakjelasan keputusan, FRBS dibutuhkan karena FRBS memungkinkan keberadaan simultan dari sebuah merek berada lebih dalam satu set. FRBS menggunakan seperangkat aturan yang diekstrak dari model Brisoux-Laroche yang telah diuji dan divalidasi dalam banyak konteks dan seluruh kategori produk. Menggunakan aturan ini, derajat keanggotaan setiap set dihitung untuk merek dan konsumen. Derajat keanggotaan adalah sejauh mana merek adalah anggota dari sebuah set. Jika nilai-nilai keanggotan dari salah satu dari dua set yang sangat dekat, maka merek berada di kedua set dengan kekuatan yang sama dan keputusan ketidakejelasan terjadi.
2.6Stuctural Equation Modeling (SEM)
Sewal Wright mengembangkan konsep ini pada tahun 1934, pada awalnya
27
Teknik analisis data menggunakan Structural Equation Modeling (SEM), dilakukan untuk menjelaskan secara menyeluruh hubungan antar variabel yang ada dalam penelitian. SEM digunakan bukan untuk merancang suatu teori, tetapi lebih ditujukan untuk memeriksa dan membenarkan suatu model. Oleh karena itu, syarat utama menggunakan SEM adalah membangun suatu model hipotesis yang terdiri dari model struktural dan model pengukuran dalam bentuk diagram jalur yang berdasarkan justifikasi teori. SEM adalah merupakan sekumpulan teknik-teknik statistik yang memungkinkan pengujian sebuah rangkaian hubungan secara simultan. Hubungan itu dibangun antara satu atau beberapa variabel independen (Santoso, 2011).
SEM menjadi suatu teknik analisis yang lebih kuat karena mempertimbangkan pemodelan interaksi, nonlinearitas, variabel-variabel bebas yang berkorelasi (correlated independent), kesalahan pengukuran, gangguan kesalahan-kesalahan yang berkorelasi (correlated error terms), beberapa variabel bebas laten (multiple latent independent) dimana masing-masing diukur dengan menggunakan banyak indikator, dan satu atau dua variabel tergantung laten yang juga masing-masing diukur dengan beberapa indikator. Dengan demikian menurut definisi ini SEM dapat digunakan alternatif lain yang lebih kuat dibandingkan dengan menggunakan regresi berganda, analisis jalur, analisis faktor, analisis time series, dan analisis kovarian (Byrne, 2010). Yamin (2009) mengemukakan bahwa
di dalam SEM peneliti dapat melakukan tiga kegiatan sekaligus, yaitu pemeriksaan validitas dan reliabilitas instrumen (setara dengan analisis faktor konfirmatori), pengujian model hubungan antar variabel laten (setara dengan analisis path), dan mendapatkan model yang bermanfaat untuk prediksi (setara dengan model struktural atau analisis regresi).
28 2.6.1 Model SEM
Model SEM secara umum digambarkan pada gambar berikut ini.
Gambar 2.3 Permodelan SEM
Keterangan
Elips : konstruk laten (variabel laten). Kotak : variabel manifes (indikator).
ξ (ksi) : konstruk laten eksogen.
η (eta) : konstruk laten endogen.
γ (gamma) : parameter untuk menggambarkan hubungan langsung variabel eksogen terhadap variabel endogen.
β (beta) : parameter untuk menggambarkan hubungan langsung variabel endogen dengan variabel endogen lainnya.
ζ (zeta) : kesalahan struktural (structural error) yang terdapat pada sebuah konstruk endogen.
δ (delta) : measurement error yang berhubungan dengan konstruk eksogen.
29
λ (alfa) : factor loadings, parameter yang menggambarkan hubungan langsung konstruk eksogen dengan variabel manifesnya. X : variabel manifes yang berhubungan dengan konstruk eksogen. Y : variabel manifes yang berhubungan dengan konstruk endogen.
2.6.2 Persamaan Matematis dalam SEM
Ada 3 persamaan matematis dalam SEM, yaitu: 1. Persamaan model struktural
2. Persamaan model pengukuran variabel eksogen
3. Persamaan model pengukuran variabel endogen
2.6.3 Tahapan Analisa SEM
30 1. Pengembangan model teoritis
Dalam langkah pengembangan model teoritis, hal yang harus dilakukan adalah melakukan serangkaian eksplorasi ilmiah melalui telaah pustaka guna mendapatkan justifikasi atas model teoritis yang akan dikembangkan. SEM digunakan bukan untuk menghasilkan sebuah model, tetapi digunakan untuk mengkonfirmasi model teoritis tersebut melalui data empirik.
2. Pengembangan diagram alur
Dalam langkah kedua ini, model teoritis yang telah dibangun pada tahap pertama akan digambarkan dalam sebuah diagram alur, yang akan mempermudah untuk melihat hubungan kausalitas yang ingin diuji. Dalam diagram alur, hubungan antar konstruk akan dinyatakan melalui anak panah. Anak panah yang lurus menunjukkan sebuah hubungan kausal yang langsung antara satu konstruk lainnya.
Sedangkan garis-garis lengkung antar konstruk dengan anak panah pada setiap ujungnya menunjukkan korelasi antara konstruk. Konstruk yang dibangun dalam diagram alur dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu:
1) Konstruk eksogen (exogenous constructs), yang dikenal juga sebagai source variables atau independent variables yang akan diprediksi oleh
variabel yang lain dalam model. Konstruk eksogen adalah konstruk yang dituju oleh garis dengan satu ujung panah.
2) Konstruk endogen (endogen constructs), yang merupakan faktor-faktor yang diprediksi oleh satu atau beberapa konstruk. Konstruk endogen dapat memprediksi satu atau beberapa konstruk endogen lainnya, tetapi konstruk eksogen hanya dapat berhubungan kausal dengan konstruk endogen. 3. Konversi diagram alur ke dalam persamaan
Persamaan yang didapat dari diagram alur yang dikonversi terdiri dari persamaan struktural (structural equation) yang dirumuskan untuk menyatakan hubungan kausalitas antar berbagai konstruk.
31
Persamaan spesifikasi model pengukuran (measurement model), dimana harus ditentukan variabel yang mengukur konstruk dan menentukan serangkaian matriks yang menunjukkan korelasi antar konstruk atau variabel.
4. Memilih matriks input dan estimasi model
SEM menggunakan input data yang hanya menggunakan matriks varians atau kovarians atau matriks korelasi untuk keseluruhan estimasi yang dilakukan. Matriks kovarian digunakan karena SEM memiliki keunggulan dalam menyajikan perbandingan yang valid antara populasi yang berbeda atau sampel yang berbeda, yang tidak dapat disajikan oleh korelasi. Hair et.al (1996) menyarankan agar menggunakan matriks varians/kovarians pada saat pengujian teori sebab lebih memenuhi asumsi-asumsi metodologi dimana standar error menunjukkan angka yang lebih akurat dibanding menggunakan
matriks korelasi.
5. Kemungkinan munculnya masalah identifikasi
Problem identifikasi pada prinsipnya adalah problem mengenai ketidakmampuan dari model yang dikembangkan untuk menghasilkan estimasi yang unik. Bila setiap kali estimasi dilakukan muncul problem identifikasi, maka sebaiknya model dipertimbangkan ulang dengan mengembangkan lebih banyak konstruk.
6. Evaluasi kriteria goodness of fit
Pada tahap ini dilakukan pengujian terhadap kesesuaian model melalui telaah terhadap berbagai kriteria goodness of fit. Berikut ini beberapa indeks kesesuaian dan cut off value untuk menguji apakah sebuah model dapat diterima atau ditolak menurut Ferdinand (2000):
Uji Chi-square, dimana model dipandang baik atau memuaskan bila nilai Chi-square nya rendah. Semakin kecil nilai chi-square semakin baik model
itu dan nilai signifikansi lebih besar dari cut off value (p>0,05).
32
menunjukkan sebuah close fit dari model itu berdasarkan degrees offreedom.
GFI (Goodness of Fit Index) adalah ukuran non statistikal yang mempunyai rentang nilai antara 0 (poor fit) sampai dengan 1.0 (perfect fit). Nilai yang tinggi dalam indeks ini menunjukkan sebuah "better fit".
AGFI (Adjusted Goodness of Fit Index), dimana tingkat penerimaan yang direkomendasikan adalah bila AGFI mempunyai nilai sama dengan atau lebih besar dari 0,90.
CMIN/DF adalah The Minimum Sample Discrepancy Function yang dibagi dengan Degree of Freedom. Chi-square dibagi DF-nya disebut chi-square relatif. Bila nilai chi-square relatif kurang dari 2.0 atau 3.0 adalah indikasi dari acceptable fit antara model dan data.
TLI (Tucker Lewis Index), merupakan incremental index yang membandingkan sebuah model yang diuji terhadap sebuah baseline model, dimana sebuah model > 0,95 dan nilai yang mendekati 1 menunjukkan a very good fit.
CFI (Comparative Fit Index) semakin mendekati 1, mengindikasikan tingkat fit yang paling tinggi. Nilai yang direkomendasikan adalah CFI > 0,94.
Dengan demikian indeks-indeks yang digunakan untuk menguji kelayakan sebuah model adalah seperti dalam Tabel 2.4 berikut ini:
Tabel 2.4 Indeks Pengujian Kelayakan Model
No Goodness of Fit index Cut off value
1 Chi-square Diharapkan kecil
(dibawah nilai tabel)
2 Signifikansi > 0,05
3 RMSEA < 0,08